I. PENDAHULUAN 1.pdf · hukum berkaitan dengan hal penegakan hukum, ... dan penyuluhan. ... Keadaan...
Transcript of I. PENDAHULUAN 1.pdf · hukum berkaitan dengan hal penegakan hukum, ... dan penyuluhan. ... Keadaan...
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena
merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang
telah bersalah melakukan tindak pidana1. Sistem peradilan pidana juga tidak dapat
dipisahkan dari sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip oleh
Esmi Warassih membedakan unsur sistem hukum ke dalam tiga macam yaitu
struktur (Legal Structure), Substansi (Legal Substance), Kultur budaya (Legal
Culture)2. Sistem hukum sendiri terdiri dari substansi hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum. Substansi hukum dalam hal ini yaitu seperangkat norma hukum
yang dianut dan dibentuk berupa peraturan perundangan. Sedangkan struktur
hukum berkaitan dengan hal penegakan hukum, yang di wujudkan melalui para
aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan
advokat. Baharudin Lopa berpendapat bahwa semua kegiatan di bidang hukum
perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya.3
Penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.4
Budaya hukum yaitu bagaimana kesadaran masyarakat pada hukum, apa harapan-
harapan masyarakat pada hukum dan pandangan hukum. Secara sempit budaya
1 Chairul Huda, 2006, “Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan menuju pada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana Media Group Jakarta, h 129. 2 Esmi Warassih Puji Rahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, ,
Suryandaru Utama, Semarang, h 29 3 Baharudin Lopa, 2001, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum, Bulan
Bintang, Jakarta, h 133 4 Barda Nawawi Arief, masalah penegakan hukum pidana dalam penanggulangan
kejahatan, jakarta, Kencana Prenada Media Group, , 2008 h 23
2
hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh
masyarakat hukum Indonesia5. Dalam pengertian yang lebih luas, budaya hukum
Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum
masyarakat Indonesia6.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawahi empat unit pelaksana
teknis, diantaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Balai Pemasyarakatan
(Bapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara (Rupbasan). Keempat unit tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-
masing. Khusus berkaitan dengan pelaksanaan pemidanaan dilaksanakan oleh
lapas dan bapas. Di dalam tugas pelaksanaan pidana penjara dilaksanakan oleh
pihak lapas. Sedangkan bapas berfungsi dalam kaitan proses pelaksanaan
pembimbingan pelanggar hukum di luar lapas, baik disebut Pembebasan Bersyarat
(PB), ataupun Cuti Bersyarat (CB). Hakikat pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan adalah upaya menyadarkan narapidana agar menyesali
perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada
hukum dan mejunjung tinggi nilai-nilai norma, sosial dan keagamaan sehingga
tercipta kehidupan masyarakat yang aman dan tertib7.
Rumah Tahanan Negara adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan,
tempat tersangka ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
5 Lili Rasidi dan I B Wiyasa Putra, 2003, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Bandung, h 193.
6 Ibid, h194.
7 Jokie Siahaan M.S., 2003, “Hak Asasi Manusia”, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, h
265.
3
di sidang pengadilan8. Di dalam rutan dilangsungkan proses pelayanan perawatan
tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai pengeluaran tahanan.
Rutan berfungsi sebagai tempat perawatan tahanan titipan yang sedang menjalani
proses peradilan atau belum menerima putusan hakim yang sah. Perawatan
tahanan meliputi pendaftaran, pendataan pribadi, pengaturan pengamanan dan tata
tertib, mengerjakan program perawatan fisik, mental, spiritual, memfasilitasi
bantuan hukum, dan penyuluhan.
Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam tata peradilan
pidana di Indonesia, memiliki tugas dan fungsi pembinaan terhadap narapidana
berdasarkan konsep “Sistem Pemasyarakatan”. Sejarah Istilah “Pemasyarakatan”
sendiri secara resmi menggantikan istilah “Kepenjaraan” sejak 27 April 1964,
melalui amanat tertulis Presiden Republik Indonesia yang deberikan pada
Konferensi Dinas para pejabat Kepenjaraan (sebutan masa lampau) di Lembang,
Bandung, juga dalam rangka mengadakan “retooling” dan “reshaping” dari
sistem kepenjaraan, yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide pengayoman
sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila9.
Tahanan merupakan tersangka atau terdakwa yang ditahan karena
dikhawatirkan akan melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti. Secara
yuridis bahwa terdakwa memiliki hak sipil dan politik yang sama dengan warga di
luar, terkecuali hak kemerdekaan bergerak. Dan perlu digaris bawahi bahwa
8 Yayan Madyana G, 2003, “Perawatan Tahanan Rumah Tahanan Negara”, Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Akademi Ilmu
Pemasyarakatan, Jakarta. 9 Soegondo, R , 1983, “Sejarah Pemasyarakatan(Dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan)”,
Jakarta, h 3.
4
tahanan bukanlah narapidana. Oleh sebab itu walaupun ditempatkan pada suatu
tempat bersama dengan narapidana, namun tetap harus mendapat perlakuan
selayaknya terdakwa yang masih belum bersalah dengan memperhatikan asas
praduga tak berasalah.
Tujuan pembinaan narapidana yaitu reintegrasi sosial. Pembinaan dalam
sistem pemasyarakatan ini bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani
masa pidananya di lembaga pemasyarakatan dapat menyesuaikan diri dan kembali
ditengah masyarakat dan hidup secara wajar, yaitu menjalankan aturan, norma-
norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan baik. Narapidana
merupakan bagian dari aset bangsa dalam upaya pembangunan. Oleh karena itu
narapidana perlu dibina dan dibimbing agar mereka dapat kembali menjadi
manusia yang bertanggung jawab serta mandiri. Sehingga apabila ia kembali ke
tengah-tengah masyarakat dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya agar
dapat menjadi manusia yang berdaya guna.
Dualisme tugas dan fungsi petugas Lapas Klas IIA Denpasar yaitu sebagai
petugas pembinaan narapidana, dan sebagai petugas pelayanan perawatan
tahanan. Satu sisi petugas lapas harus memberikan upaya paksa demi lancarnya
proses pembinaan narapidana. Sisi lain petugas lapas juga harus menghilangkan
upaya paksa dalam perlakuan pelayanan perawatan terhadap tahanan. Kondisi
demikian akan menimbulkan kontradiksi, serta diskriminasi dalam pemenuhan
hak asasi manusia bagi tiap tahanan dan narapidana.
5
Dualisme tujuan dari konsep perlakuan petugas terhadap tahanan dan
narapidana juga merupakan alasan penulis melakukan penelitian ini. Tujuan dari
pembinaan yaitu reintegrasi sosial, sedangkan tujuan pelayanan perawatan
tahanan yaitu terlaksanaya asas praduga tak bersalah. Konsep dalam pembinaan
narapidana yaitu dengan sistem pemasyarakatan, sedangkan konsep dalam
perawatan tahanan adalah penerapan asas praduga tak bersalah.
Sebuah adagium latin ubi societas ibi yusticia memiliki makna bahwa
dimana ada masyarakat dan kehidupan, maka disanalah ada hukum. Terpidana,
narapidana, dan tahanan yang dikumpulkan dalam suatu tempat secara bersama-
sama juga pasti akan menumbuhkan budaya tersendiri dalam kehidupan
kesehariannya. Seperti tragedi pembakaran Lapas Kerobokan oleh penghuni pada
februari 2012, dimana hasil pertemuan antara Kapolda Bali Inspektur Jenderal
Totoy Herawan Indra dengan perwakilan dari narapidana yang hasilnya antara
lain mereka(napi) meminta keadilan dan tidak lagi diskriminasi. Mereka
mencontohkan semisal ijin berobat. Selain itu mereka juga mengeluhkan kapasitas
Lapas Kerobokan yang sudah tidak memadai. Menurut mereka(napi), kondisi
lapas tidak manusiawi, karena diisi sekitar 1000 orang Narapidana yang melebihi
kuota seharusnya 300 narapidana10
.
Kasus-kasus tersebut mempunyai nuansa terselubung dan secara kasat mata
dianggap ada semacam penyimpangan hukum (deviant of law) dari fakta-fakta
hukum. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya oposisi pendapat dan
10
Mulyadi, 2012, Inilah Biang Kerusuhan di Lapas Kerobokan, http.//www.
Regional.kompas.com/read/2012/02/22, diakses 15 oktober 2014.
6
pandangan oleh para pengamat masalah hukum sebagai ajang pemicu konflik dari
berbagai pihak berkepentingan (vested interest) ataupun intervensi politis dari
pihak tertentu.11
Padatnya tingkat hunian lapas dan rutan menghambat pelaksanaan fungsi
pelayanan perawatan dan pembinaan. Bahkan pada tataran yang lebih ekstrem,
kondisi over kapasitas akan menurunkan kualitas hidup narapidana dan tahanan
karena daya dukung sumber daya yang dimiliki lapas dan rutan tidak memenuhi
kebutuhan hidup narapidana dan tahanan. Keadaan sanitasi dan kesehatan
lingkungan lapas atau rutan yang mengalami over kapasitas tidak akan mampu
mendukung secara optimal terhadap tingkat kesehatan narapidana atau tahanan.
Tingkat kematian yang tinggi, sebagaimana yang terjadi pada Lapas Klas IIA
Pemuda Tangerang dan Lapas Klas I Dewasa pada medio Februari hingga april
2007 yaitu sebanyak 22 orang meninggal dunia, merupakan salah satu dampak
dari kurang optimalnya pelayanan kesehatan narapidanan dan tahanan pada lapas
atau rutan yang mengalami over kapasitas12
.
Setiap manusia memiliki hak asasi yang dimiliki sejak lahir, begitu juga
dengan tahanan maupun narapidana. Walaupun ada sebagian hak yang harus
dibatasi dalam proses persidangan atau proses pemidanaan, namun tetap
perlindungan hak-hak lainnya harus tetap dijaga. Batasan perlindungan hak bagi
tahanan dan narapidana menjadi penting dalam penelitian ini, karena itu
11
Abraham H.F. Amos, 2004, Legal Opinion Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h 3 12
Aman Riyadi dan Andi Rifai, 2009, Penghukuman Teori dan Aplikasi, Vetlas Publishing,
Jakarta, , h 69.
7
merupakan tolak ukur dalam implementasinya. Berikut data penghuni pada Lapas
Klas IIA Denpasar
Kebenaran ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora tidak ada yang mutlak,
yang ada hanyalah kebenaran relatif. Artinya kebenaran ilmiah itu hanya menurut
asumsi dan konsep serta indikator yang dipergunakan untuk istilah atau variabel
tertentu13
.Adanya surat penahanan yang sah dari instansi yang berwenang untuk
menempatkan tahanan titipan dalam Lapas Klas IIA Denpasar tentu menjadi dasar
yuridis. Selama masih berstatus tahanan, maka orang tersebut masih
memungkinkan untuk mendapat putusan hakim bebas demi hukum. Meskipun
masih dalam tingkat banding atau kasasi, tetap statusnya tahanan. Dalam perkara
pidana, jenis-jenis putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung adalah
sebagai berikut14
: Putusan pemidanaan/ penghukuman (veroordeling), putusan
bebas/ pembebasan (vrijspraak). Putusan Lepas dari segala tuntutan pidana
(ontslag van alle rechtsvervolging). Istilah Pemidanaan itu sinonim dengan istilah
penghukuman yakni pemberian atau penjatuhan hukuman oleh Hakim (sentence
atau veroodeling15
).
13
Mohammad Mahfud MD, 2012, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h 4. 14
Hamdan, 2012, Alasan penghapus pidana teori, dan studi kasus, Refika aditama,
Bandung, h 2. 15
Adi Sujatno dan Didin Sudirman, 2008, Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman,
Vetlas Production, Jakarta, h 87.
8
Tabel 1. Data Jumlah Penghuni Lapas Klas IIA Denpasar
Berdasarkan Jenis Kelamin
No Kategori Dewasa Anak Jum
lah
Ket
Pria Wanita Pria Wanita
1 Narapidana 595 79 1 - 675
2 Tahanan 195 30 4 - 229
Jumlah 790 109 5 - 904
Sumber : Buku Harian Isi Lapas, Sub Seksi Registrasi Lapas Klas IIA
Denpasar, januari 2015. Data diolah oleh penulis.
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa Lapas Klas IIA
Denpasar dihuni oleh Narapidana dan Tahanan, dengan jenis kelamin laki-laki,
dan wanita, serta pula dihuni oleh tahanan anak atau narapidana anak Dualisme
fungsi petugas lapas disinyalir akan menimbulkan permasalahan dalam
Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan
pada Lapas Klas IIA Denpasar.
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 secara konstitusional mencerminkan prinsip
menjamin, menghormati, dan melindungi hak-hak asasi manusia. Negara
mengakui dan menjunjung tinggi penerapannya. Berdasarkan keselarasan dan
keserasian kehidupan manusia sebagai individu-individu dan masyarakat yang
bersumber dari kodratnya sebagai perseorangan dan mahkluk sosial. Pancasila
sendiri, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, bukan saja
merupakan norma dasar bagi kehidupan bangsa dan sumber dari segala sumber
9
hukum, tapi lebih dari itu, juga merupakan sumber dari segala sumber hak-hak
asasi manusia16
.
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui perlindungan hak asasi
manusia sejak awal berdirinya. Dalam penjelasan umum KUHAP angka 3
disebutkan bahwa oleh karena itu undang-undang ini yang mengatur tentang
hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup
bangsa dan dasar negara. Sudah seharusnyalah didalam ketentuan materi pasal
ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga
negara seperti diuraikan dimuka, maupun asas yang disebutkan selanjutnya.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur hak-
hak tersangka dan terdakwa sebenarnya sudah memadai.17
Selain itu ada beberapa
peraturan yang mendukung yaitu antara lain Pasal 10 Undang Undang Nomor 12
Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenan of Civil and Politic
Rights menegaskan bahwa penahanan yang dilakukan kepada orang yang belum
dinyatakan bersalah secara sah oleh hukum (tahanan) harus tetap memperhatikan
sisi manusiawi pihak tertahan sebagai seorang pribadi masyarakat yang utuh.
Dualisme tugas, fungsi dan perlakuan petugas terhadap tahanan dan
narapidana di dalam Lapas Klas II A Denpasar akan dapat menimbulkan
kontradiksi dan atau perlakuan diskriminasi. Untuk mendapatkan penelitian yang
lebih terperinci maka dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan penelitian
16
Ramdlon Naning, S.H., 1983, Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta, h ix. 17
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.
10
pada Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi Tahanan yang
dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar. Dari uraian tersebut maka penulis
melakukan penelitian lebih dalam tentang masalah tersebut dan penulis sajikan
dalam uraian Ilmiah (Thesis) dengan Judul “Implementasi Perlindungan Hak
Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan di Lapas Klas IIA Denpasar.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi
Tahanan Yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar ?
2. Apa saja faktor penghambat dan pendukung Implementasi
Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi Tahanan Yang dititipkan
pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dapat dibahas, maka dipandang
perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas
pada bab berikutnya. Penulis membatasi pembahasan permasalahan yaitu hak sipil
dan hak politik tahanan yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar. Tahanan yang
dimaksud disini adalah tahanan perkara pidana, bukan tahanan politik atau
tahanan lainnya. Didalam pasal 10 terdapat tiga poin penting yang menjadi objek
11
penelitian yaitu pertama perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan, kedua
penempatan tahanan yang harus dipisahkan dari narapidana, ketiga tahanan anak
yang harus dipisahkan dari narapidana serta segera disidangkan. Pembahasan akan
juga berkaitan dengan Undang Undang No 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan
Tahanan.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Sejak awal renaissance, tujuan ilmu pengetahuan adalah penemuan.18
Secara Umum Penelitian ini disusun untuk dapat memperluas pengetahuan
tentang ilmu hukum dan memberikan informasi yang benar dan akurat terhadap
publik mengenai Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan
yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Selain itu juga
agar dapat mengetahui faktor penghambat dan pendorong Implementasi
Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Selain itu juga sebagai bahan kajian
pengembangan Ilmu Hukum itu sendiri.
1.4.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan pada apa yang dirumuskan dalam rumusan
masalah yaitu :
18
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Pustaka
Pelajar, Jakarta, h 3.
12
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisa keadaan
sebenarnya, realita dilapangan mengenai Implementasi
Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan
pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
2. Untuk mengetahui, mengkaji, menganalisa faktor penghambat
implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan
yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan dan mengkaji lebih dalam mengenai keadaan faktual
Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan
pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Serta dapat menemukan
faktor penghambat dan pendukung implementasi Perlindungan Hak Sipil dan
Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana perlindungan hak sipil
dan politik bagi tahanan yang ditempatkan dalam lembaga yang notabene
berfungsi sebagai tempat pembinaan narapidana.
1.5.2. Manfaat Praktis
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan agar penulis dapat
menggambarkan keadaan sebenarnya Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan
Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Agar supaya hasil penelitian ini menjadi bahan atau pandangan baru
13
atau pertimbangan bagi para Petugas Lapas khususnya Lapas Klas IIA Denpasar
dalam memperlakukan tahanan yang dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar,
serta tetap tidak mengesampingkan kepentingan pembinaan narapidana.
1.6. Orisinalitas Tesis
Penulisan tesis dengan judul Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan
Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Sebagai bahan pembanding terhadap tesis yang pernah dilakukan
sebelumnya adalah sebagai berikuti :
a) Pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam Pembinaan Narapidana (Studi
Lembaga Pemasyarakatan se-Nusakambangan dan Cilacap Jawa Tengah)
(oleh Diyah Irawati, S.H , tahun 1998, Universitas Diponegoro Semarang)
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana keterkaitan antara pelaksanaan Hak Asasi Narapidana
dengan Pembinaan Narapidana d Lapas-Lapas Se-Nusakambangan
berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan?
2. Bagaimana pelaksanaan Hak-Hak Narapidana di Lapas-Lapas Se-
Nusakambangan?
3. Apa Kendala dan upaya yang dilakukan dalam Pelaksanaan HAM
terhadap pembinaan Narapidana di Lapas-Lapas se-Nusakambangan ?
b) Perlindungan Hukum Narapidana Wanita dalam Sistem Pemasyarakatan
(oleh Ni Wayan Armasanthi, 2011, Universitas Udayana Bali)
Rumusan Masalah :
14
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam
sistem pemasyarakatan?
2. Apakah perlindungan narapidana wanita sudah sesuai dengan sistem
pemasyarakatan ?
c) Hak Narapidana atas Fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomoer 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
(oleh Rio Mulyadi Sitorus, 2008, Universitas Padjajaran Bandung)
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak narapidana atas fasilitas
makanan dan pelayanan kesehatan yang layak di lembaga
pemasyarakatan dihubungkan dengan Undang Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan?
2. Bagaimana tanggung jawab lembaga pemasyarakatan dengan tidak
terpenuhinya hak atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang
layak bagi narapidana dihubungkan dengan Undang Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan?
1.7. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan asas-asas
hukum, doktrin, dasar hukum, dan yurisprudensi. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan asas-asas hukum, doktrin dan dasar hukum sebagai landasan
15
teoritis. Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya suatu norma hukum.19
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenan of Civil and Politic Rights mengatur tentang hak sipil dan hak politik
yang dimiliki oleh setiap warga negara. Khusus berkaitan dengan penelitian ini
yaitu pada pasal 10 ayat 1, dimana menyatakan bahwa semua orang yang
dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan
menghormati martabat yang melekat pada umat manusia. Pasal 10 ayat 2 huruf a
menyatakan bahwa para terdakwa, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus,
harus dipisahkan dari para narapidana, dan harus mendapatkan perlakuan
tersendiri sesuai dengan statusnya sebagai orang-orang yang bukan narapidana.
Pasal 10 ayat 2 huruf b menyatakan bahwa para terdakwa yang masih dibawah
umur harus dipisahkan dari narapidana dan secepat mungkin dibawa ke sidang
pengadilan. Secara umum penulis merangkum isi pasal 10 yaitu mengatur (1)
perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan, (2) penempatan bagi para tahanan
yang terpisah dari narapidana, (3) perlakuan bagi tahanan anak.
Pasal 10 ayat 1 mengatur hak atas pelayanan perawatan tahanan yang
manusiawi. Perlakuan manusiawi disini dimaksudkan yaitu perlakuan oleh
petugas pemasyarakatan dalam pemenuhan hak atas pelayanan perawatan tahanan.
Aturan yang mengatur secara lengkap tentang hak atas pelayanan perawatan
tahanan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
19
Marwan M. dan Jimmy, P., 2009, Kamus hukum; Dictionary of Law Complete Edition,
cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h 56
16
Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
Penelitian ini akan juga mengupas aturan tersebut sebagai kepanjangan tangan
dari Pasal 10 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Pasal 10 ayat 2 a Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang
menyatakan bahwa para terdakwa, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus,
harus dipisahkan dari para narapidana dan harus mendapatkan perlakuan tersendiri
dengan statusnya sebagai orang-orang yang bukan narapidana. Kondisi sangat
khusus berarti kondisi yang tidak ideal dan dengan sangat terpaksa dilakukan
pengecualian namun tetap harus memiliki dasar yang logis dan yuridis. Menurut I
Made Suardhana bahwa penyatuan tempat tahanan dan narapidana dikarenakan
Lapas Klas IIA Denpasar merupakan satu-satunya institusi atau lembaga yang
terdapat dan memungkinkan dijadikan tempat penitipan tahanan yang sedang
dalam proses peradilan wilayah hukum Denpasar dan Badung (Hasil Wawancara
dengan I Made Suardana, seorang Petugas Lapas Klas IIA Denpasar pada 25 Desember
2014).
Berbeda dengan rumah tahanan dimana berfungsi dan dirancang khusus
sebagai tempat perawatan tahanan. Dalam pasal 1 ayat 2 PP No. 58 tahun 1999
tentang Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab
Perawatan Tahanan menyatakan bahwa Tahanan adalah tersangka atau terdakwa
yang ditempatkan dalam Rutan/Cabang Rutan. Tempat penahanan bagi tersangka
atau terdakwa yang belum dinyatakan bersalah yaitu berada pada rumah tahanan
17
negara. Ketika tahanan tidak dititipkan pada institusi rutan dan bahkan dititipkan
di lapas, maka hal tersebut sudah merupakan sebuah pelanggaran aturan. Kondisi
tersebut merupakan kondisi yang tidak ideal dan terpaksa dilakukan karena ada
pertimbangan khusus.
Pasal 2 ayat 2 PP No. 58 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan Tahanan menyatakan bahwa
dalam hal lembaga pemasyarakatan (lapas) tertentu ditetapkan oleh menteri
sebagai rutan, maka tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan oleh kepala lapas/cabang lapas. Seperti Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dimana juga berfungsi sebagai rumah
tahanan. Kondisi tersebut merupakan keadaan yang tidak ideal dan penuh resiko
negatif dalam pelaksanaannya. Kondisi dualisme fungsi Lapas Klas IIA Denpasar
tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Menurut Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pasal 10 menyebutkan bahwa
tahanan harus dipisahkan dari narapidana. Kesenjangan terjadi antara kondisi
yang seharusnya dilaksanakan (das sein) dengan kondisi sebenarnya (das sollen).
Aturan memerintahkan tahanan dipisahkan dari narapidana (das sein) namun
realitanya tahanan ditempatkan pada satu tempat bersama dengan narapidana (das
sollen)..
Dalam pasal 4 Undang Undang Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-
syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab
18
Perawatan Tahanan dimana berbunyi Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dalam melaksanakan tugasnya wajib memperhatikan perlindungan hak asasi
manusia. Adanya perbedaan status tahanan dan narapidana maka perlakuan
petugas juga harus berbeda sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing
tahanan atau narapidana. Tahanan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda
dengan narapidana. Perbedaan perlakuan petugas terhadap kedua status hukum ini
dimungkinkan secara sosiologis menimbulkan kesenjangan sosial antara si
tahanan dan si narapidana. Pemerintah menyatukan penempatan tahanan dan
narapidana dalam satu tempat secara bersama namun tetap harus memenuhi hak
atas penahanan yang manusiawi
Ketika tahanan juga ditempatkan didalam Lapas Klas IIA Denpasar maka
akan mempengaruhi pembinaan narapidana. Pancasila sebagai tonggak utama
dalam proses pemidanaan harus juga tercermin dalam Pola Pembinaan
Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karena secara tugas dan fungsi
bahwa Lapas Klas IIA Denpasar sengaja dibangun dan didesain untuk pembinaan
narapaidana. Hal tersebut diwujudkan dalam pemberian Hak-Hak Narapidana
yang diberikan secara utuh, adil, dan merata. Landasan teoritis yang dipakai
dalam penelitian ini antara lain yang utama dan terutama adalah pembinaan
narapidana yang berdasarkan pancasila serta sistem penahanan yang manusiawi.
Konsep pemasyarakatan yang lahir tahun 1964 akhirnya dapat dituangkan dalam
suatu aturan perundangan yang sah dan baku pada Undang Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Serta didukung oleh peraturan lainnya
19
seperti peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan
menteri dan seterusnya.
Proses pelaksanaan pembinaan narapidana untuk tercapainya tujuan
pemasyarakatan, maka unsur-unsur pokok yang sangat terkait terdiri dari Petugas
Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Masyarakat20
. Ketiga unsur pokok
tersebut diatas harus saling bersinergi untuk tercapainya tujuan cita-cita luhur
pemasyarakatan. Cita-cita sistem pemasyarakatan yaitu mengembalikan kesatuan
hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan narapidana. Pada
perkembangannya dalam praktek pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan
dirumuskan adanya 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan:
1. Orang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal hidup
sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat.
2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk penjara.
5. Selama kehilangan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan
masyarakat dan tidak boleh diasingkan.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu, atau hanya diperuntukkan kepada kepentingan instansi atau
negara dan pemerintah sewaktu-waktu saja.
7. Bimbingan atau didikan harus berdasarkan Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia tersesat.
9. Narapidana hanya dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan.
10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan
ialah warisan-warisan rumah penjara yang keberadaannya menyedihkan
yang sekarang disesuaikan dengan Tugas Pemasyarakatan yang letaknya
ditengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal 21
.
20
Simanjuntak S, , 2003, “Politik dan Praktek Pemasyarakatan”, Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, h 73. 21
Ibid, h 38.
20
Aturan norma tersebut diatas selalu dilakukan pengkajian untuk
penyempurnaan-penyempurnaan, agar tetap dapat sesuai dengan perkembangan
zaman dengan tidak keluar dari koridor pancasila. Berdasarkan Sepuluh Prinsip
Pemasyarakatan maka terbentuk Program Pembinaan dalam Lapas antara lain :
1. Pembinaan Kepribadian
a. Pembinaan fisik :
1) Penempatan hunian,
2) Kesehatan
3) Olahraga
b. Pembinaan Psikis
c. Pembinaan Mental dan Spiritual
1) Agama
2) Kepercayaan
3) Kebebasan
d. Pembinaan Pendidikan
1) Umum
2) Ketrampilan
e. Pembinaan Kemasyarakatan
1) Pengenalan Lingkungan
2) Asimilasi
3) Intergrasi
2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi :
a. Pembinaan Kesadaran Beragama.
b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara.
c. Pembinaan Kemampuan Intelektual.
d. Pembinaan Kesadaran Hukum.
e. Pembinaan Mengintegrasikan diri ke dalam Masyarakat22
.
Adanya program pembinaan tersebut diatas, besar harapan pemerintah
agar menurunya angka residivis atau pengulangan tindak kejahatan. Namun
dengan adanya penempatan tahanan pada Lapas Kerobokan maka akan
berpengaruh terhadap proses pembinaan. Selain itu juga akan berpengaruh
terhadap pemenuhan hak atas pelayanan perawatan tahanan didalamnya. Karena
22
Ibid, h 44.
21
harus dipahami bahwa tahanan belum tentu bersalah dan belum tentu dipidana
penjara.
Masyarakat umum harus memahami secara luas akan proses
pemasyarakatan serta tujuan cita-cita luhur pemasyarakatan agar dapat terwujud
rasa keadilan dan ketenangan serta perlindungan hukum. Karena bagaimanapun
juga kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan
baik lahir maupun bathin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial.
Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat
merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung
pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka23
.Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu Segala
daya upaya yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh
lapisan masyarakat tanpa kecuali.24
Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dalam implementasinya menjadi
bagian dari tugas dan fungsi pihak pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan tidak
terlepas dari tujuan dari falsafah pancasila dimana salah satu tujuannya yaitu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Hal ini selaras
dengan konsep budaya bali yaitu Trihitakarana. Nama Trihitakarana diambil dari
Kata Tri (tiga), Hitha (sejahtera/bahagia) dan Karanan berasal dari kata Sang
Hyang Jagat Karana, nama lain Sang Hyang Widhi Wasa selaku penyebab
23
Mahjudin Dudu Dusuna, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Bandung,
Renika Aditama, h.26-27. 24
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, ,
Rajawali Grafindo Persada Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 23.
22
(karana) kehidupan di permukaan bumi berjalan25
. Ada tiga unsur yang
terkandung didalam kehidupan dan selanjutnya mesti dijadikan pegangan dalam
setiap kegiatan dalam hidup. Unsur tersebut yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Alam,
dan Manusia itu sendiri. Seperti proses pemasyarakatan yang tetap
mengedepankan pembinaan kesadaran beragama, dan pembinaan kesadaran
kepribadian, namun kurang adanya Pembinaan kesadaran Lingkungan.
Komponen-komponen sistem peradilan pidana berawal dari proses
penyidikan oleh pihak kepolisian. Pola pemeriksaan yang diperlukan bagi POLRI
adalah pola pemeriksaan yang scientcetific investigation yang tentunya
menghindari segala bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik, maupun
psikologi. Kesatuan sistem yang dimaksud adalah criminal justice system
sebagaimana dikemukakan oleh Remington dan Ohlin bahwa pemakaian
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap tingkah laku sosial.26
Sedangkan penegakan hukum sendiri merupakan upaya dari penegak hukum
untuk memulihkan kembali keamanan dan ketertiban masyarakat yang sempat
terganggu sehingga tercipta kepastian hukum.27
Hak asasi manusia adalah hak seorang manusia yang sangat asasi yang
tidak bisa diintervensi oleh manusia diluar dirinya atau oleh kelompok atau oleh
25
Mertha Sutedja, I Wayan, 1998, Penjara Bukan Cara, Denpasar, h 87. 26
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporet, Prada Media Group,
Jakarta, h 2. 27
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h 36.
23
lembaga-lembaga manapun untuk meniadakanannya28
. Pada dasarnya hak asasi
manusia telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya,
hingga lahir dan sepanjang hidupnya, hingga suatu saat meninggal. Dalam hal
pemidanaan terhadap pelanggar hukum, maka negara berhak melindungi atas hak-
hak asasi pelanggar hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Sistem peradilan
pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dengan
tujuan untuk :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya29
.
Pembatasan pemberian hak asasi manusia bagi pelanggar hukum yaitu
hanya kebebasan bergerak atau hilang kemerdekaan, seperti tertuang pada pasal 5
huruf f Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang
Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on
Civil dan Political Right dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun
1999 tentang Syarat dan Cara Pelaksanaan tugas wewenang, dan tanggung jawab
perawatan tahanan menjadi salah satu dasar dalam implementasi perlindungan hak
atas sistem penahanan yang manusiawi bagi tahanan yang dititipkan pada Lapas
Klas IIA Denpasar.
28
Bazar A. Harahap, dan Nawangsih Sutardi, 2006, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya,
Jakarta, h 6 29
Abdussalam, HR, dan Sitompul, DPM, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, h 3
24
Dalam pembahasan dan analisa permasalahan dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan teori antara lain :
1. Teori Hak Asasi Manusia
Teori Hak Asasi Manusia merupakan bagian dari aliran hukum
alam. Ham adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan
di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak
tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan. Hak-
hak sipil dianggap sebagai hak-hak alami. Thomas Jefferson menulis
bahwa orang bebas(mengklaim) hak-hak mereka sebagai berasal dari
hukum alam, dan bukan sebagai karunia hakim utama mereka30
.Dalam hal
ini tahanan merupakan suatu sebutan bagi para pelanggar hukum yang
masih dalam proses persidangan dan belum dinyatakan bersalah. Mereka
ditahan berdasarkan surat penahanan dari pihak berwenang. Alasan
penahanan yaitu untuk memudahkan proses persidangan. Dan juga agar si
tahanan tidak dapat berkeliaran untuk menghilangkan barang bukti.
Namun tetap tidak menghilangkan asas praduga tak bersalah. Dengan
demikian hak tahanan yang dibatasi dalam tempat penahanan yaitu hanya
hak bebas. Hak-hak manusia memiliki pengertian yang sangat luas, baik
yang bersangkut paut dengan berlakunya maupun konotasinya. Hak-hak
manusia menunjukkan pada hal hal yang memperoleh pengakuan secara
internasional atau juga difahami sebagai hal-hal yang dibela dan
30
Anissa Faricha, 2013, Hak Sipil sebagai Pelindung Kebebasan Fundamental Individu,
www.lbhyogyakarta.org/2013/04/hak-sipil-sebagai-pelindung-kebebasan-fundamental-individu,
diakses 12 januari 2015.
25
dipertahankan secara internasional. Lebih-lebih manusia juga menjadi layu
besar dalam teori praktek hubungan internasional31
.
2. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan
di lain pihak.32
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.33
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum
lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang
diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-
anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.34
Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
31
Yohanes Usfunan, 2011, Ham Politik Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Udayana
University Press, Bali, h 177. 32
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h 53. 33
Ibid, h 69 34
Ibid, h 54
26
sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif.35
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang
resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.36
Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan
pola yang jelas, dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini
perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau
“perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah
ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan
hukum dan hak asasi korban.37
Perlindungan secara tidak langsung dalam
peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan
secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum
yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa
keadilan.
3. Teori Sistem Hukum
35
Pjillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, h 2 36
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk Produk
Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang,, h
18. 37
Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.I/No.I, h 16-17
27
Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) dari Lawrence
M.Friedman yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem
hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu :
a. Substansi Hukum (Legal Substance)
“The substance id composed of substantive rules and rules
about how instittutions should behave.” 38
(Substansi tersusun
dari peraturan-peraturan dan ketentuan menhenai bagaimana
institusi-institusi harus berperilaku / bertindak. Dalam hali ini
dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan perundangan
yang digunakan sebagai dasar dalam menjalankan tugas pokok
dan fungsinya.
b. Struktur Hukum (Legal Structure)
“Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the
legal system...... The structure of a system is its skeletal
framework , it is the elements shape, the institutional body of the
system.” (struktur adalah satu dasar dan merupakan unsur nyata
dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah
kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem
hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum
adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata
dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut
melaksanakan aturan-aturan hukum.
38
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspective, Russell
Sage Foundation, New York, h 14.
28
c. Budaya Hukum (Legal Culture)
“Legal culture refers, to those parts of general culture, customs,
opinion, ways of doing and thinking, that bend social forces
toward or away from the law and in particular ways. (Budaya
hukum merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang
dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah
laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang
bergerak mendekati hukum dengan cara – cara tertentu). Dalam
hal ini dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku
masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta
ditaati.
Ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapatdigunakan
untuk mengkaji efektifitas penerapan suatu sanksi dalam suatu aturan
hukum. Kata efektif berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung arti ada efeknya (akibat pengaruhnya, kesannya, manjur atau
mujarab, dapat membawa hasil atau berhasil guna, mulai berlaku).39
Efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang
ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.40
Meneliti efektifitas
hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal
hukum.. Efektifitas dalam konteks dengan hukum diartikan bahwa hukum
itu benar-benar hidup dan berlaku, baik secara yuridis, sosiologis, dan
39
Naniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, h 59. 40
Ibid.
29
filosofis.41
Orang mengatakan bahwwa kaidah hukum berlaku secara faktual
atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu
berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.42
Efektif atau tidaknya aturan hukum secara umum, juga tergantung
pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk
menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang
mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum
interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus
kongkret.43
4. Teori Bekerjanya Hukum
Sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau
perilaku yang pantas. Hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya
berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai sikap
yang pantas. Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan dengan efektifitas
hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum
untuk menegakan sanksi tertentu. Teori Bekerjanya Hukum yang
dekemukakan oleh Robert B.Siedman yang dimuat dalam bukunya yang
berjudul The State, Law and Development. Pada intinya teori berlakunya
41
Ibid. 42
Bruggink, J.J.JAL., ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan
Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h 149. 43
Ahmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum ( Legal Theory), dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Cetakan Keempat, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h 378.
30
hukum dikemukakan oleh Robert B. Siedmean dijabarkan dalam 4 proposisi
yaitu :
a. We can meet that objection, however, by substituting for the judge the
processes of government concerned with implementation, that is, with
inducing desired activity (the bureaucracy, the police, state
coorporation and so fort. (Kita bisa mencapai tujuan tersebut dengan
cara menggantikan peran hakim. Proses-proses dari implementasi
yang menjadi perhatian pemerintah yaitu dengan mendorong aktifitas
yang menjadi tujuan Implementasi (birokrasi, polisi, perusahaan
pemerintah dan semua yang dapat dijadikan benteng)
b. Broaden the concept of the norm addressed to the role – occupant to
include exhortation or other sort of prescripton, indicated by a wavy
line. I indicate the role addressed to the role occupant by a straight
line. I indicate the exhortation by wavy line. (Memperluas cakupan
konsep aturan/norma kepada warga negara dilakukan dengan
memasukkan nasihat maupun deskripsi lain yang ditandai dengan
suatu garis yang bergelombang. Saya menegaskan aturan dengan garis
yang tegas dan garis yang bergelombang ditujukan untuk semua
warga).
c. Any law, once passed, changes from the day of passage, either by
format amendment, or by the way the bureaucracy acts. It changes
because the arena of choice changes. Feedback constotutes the most
important explanation of these changes. Citizens exprss their
reactions to a particular law or programme to law makers or to
bereaucrats, who in turn communicate to lawmakers. In addition,
various sorts of formal and informal monitoring deveces teach law-
makers and bereaucrats about the rule’s relative success this affecting
decisions about the law. (Setiap aturan, sekali saja terlewati perubahan
dari saat dilanggar, baik berdasarkan amandemen, ataupun karena
perilaku birokrat. Aturan berubah seiring dengan ruang lingkup
hukum itu sendiri. Yang paling penting adalah adanya penjelasan dari
konstitusi dasar perubahan tersebut. Warga Negara memberikan reaksi
mereka terhadap aturan tertentu ataupun program tertentu kepada
pembuat aturan ataupun para birokrat, yang akan diteruskan /
dikomunikasikan dengan para pembuat aturan/hukum tersebut.
Sebagai tambahan, berbagai macam perangkat monitor secara formal
maupun informal, memberikan pelajaran bagi para pembuat atuaran
dan para birokrat tentang kesuksesan pelaksanaan aturan itu sendiri
secara relatif, yang akan mepengaruhi keputusab yang akan diambil
terkait aturan itu sendiri).
31
d. The categories law makers and judge mus be replaced by law making
processes adn law implementing processess44
. (Kategori para pembuat
aturan dan hakim, seharusnya digantikan dengan proses pembuatan
aturan dan proses implementasi aturan)
Robert B. Seidman juga menjelaskan mengenai perilaku
pemegang peran dalam menghadapi peraturan yang ditujukan kepada
mereka oleh pembuat hukum. Hal ini juga dapat dijadikan indikator dalam
pengkajian pengimplementasian hukum. “law as a divice to structure
choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behaviour,
and its importance as the principal instrument that government has to
influensce behaviour45
. (Hukum sebagai alat untuk struktur pilihan
mengekspresikan sekaligus hukum marginalitas biasa dalam mempengaruhi
perilaku)
5. Teori Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto adalah ada 5 faktor yang
mempengaruhi efektif tidaknya keberlakuan suatu hukum yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan diman hukum itu berlaku atau
diterapkan;
44
Robert B. Siedmen, 1978, The State, Law, and Development, St. Martin’s Press, New
York, h 74-75, lihat juga Prasetyo, Budi, 2014, Implementasi Tugas dan Wewenang Penyidik
terhadap perlindungan Penyu Hijau (Studi kasus di direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali),
(tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h
51 45
Ibid, h74
32
e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang
didsasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.46
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari
pada efektifitas penegakan hukum.
Secara teroritis, kewenangan bersuber dari peraturan perundang
undangan tersebut diperoleh dengan tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat.47
Menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized
power (kekuasaan yang dilembagakan).48
46
Op.Cit., Soerjono Soekanto I, h.8. 47
Ridwan H.R. , 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h
100 -102. 48
Arifin Firmansyah, dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), Jakarta, h 16.
33
1.8. Kerangka Berpikir
34
1.9. Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Empiris. Dimana
merupakan penelitian yang mengkaji Implementasi Perlindungan Hak
Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan di Lapas Klas IIA
Denpasar dikaitkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant of Civil and Politic Rights. Suatu
penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dan
das sein yaitu kesenjangan antara teori atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dengan realita pelaksanaanya
dilapangan, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan
atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan
akademik49
.
1.9.2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris ini merupakan penelitian yang bersifat
Deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau
untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar suatu gejala dengan
gejala lain di masyarakat50
.karena lebih kepada mencari data faktual
keadaan sebenarnya mengenai keberlakuan hukum dalam peri kehidupan
komunitas tahanan dan narapidana, serta dalam hal pemenuhan
49
Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar Bali, 11
April 2013 h 52 50
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h 25
35
Perlindungan Hak Sipil dan Politik khususnya bagi Tahanan yang
dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
1.9.3. Data dan Sumber Data
Data yang akan dicari antara lain :
a. Data Primer : berupa hasil data yang bersumber dari Responden dalam
hal ini tahanan dan petugas Lapas Klas IIA Denpasar, dan informan
lainnya. Sampel tahanan berjumlah 30 persen dari jumlah tahanan,
dan sampel petugas berjumlah 30 persen dari jumlah petugas yang
bersinggungan langsung dengan tahanan.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian, hasil
penelitian dalam bentuk laporan, Skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan
perundangan51
Data sekunder dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Bahan hukum primer
Merupakan bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan
perundangan terkait obyek penelitian antara lain :
a. Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
b. Undang Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c. Undang Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
51
Ali Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h 106
36
d. Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat
dan Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab
Perawatan Tahanan.
e. Undang Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
f. Undang Undang RI No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
2. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan penelitian hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bagan hukum primer. Sebagai
bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku – buku hukum
termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal – jurnal
hukum52
. Bahan hukum sekunder dapat juga diambil dari artikel
dari internet.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus
hukum dan kamus bahasa Indonesia.
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam Penelitian ini Penulis akan mengumpulkan data melalui :
a. Teknik Studi Dokumen
52
Peter Mahmud Masduki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h 155.
37
Melalui aturan-aturan serta literatur buku-buku sehingga penulis dapat
menentukan kondisi ideal dalam pemenuhan hak tahanan, terkait
perlindungan Hak Asasi Manusi bagi Tahanan.
b. Teknik Observasi/Pengamatan
Untuk mendapatkan informasi yang valid maka penulis hendak
mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung terhadap Tahanan dalam kehidupannya bermasyarakat
dengan Narapidana, Terpidana, dan Petugas Lapas Sendiri
c. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian ilmu hukum dalam aspek empiris53
.
Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan
data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang
informan atau seorang autoritas (seorang ahli atau yang berwenang
dalam suatu masalah)54
. Wawancara yang dilakukan oleh penulis
adalah wawancara terbuka (face to face) untuk memperoleh informasi
langsung dari narasumber. Informan yang akan diwawancarai oleh
penulis antara lain Tahanan dan Petugas Lapas.
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penentuan Sampel menjadi penting karena sampel harus dapat
mewakili keadaan keseluruhan populasi yang hendak diteliti. Populasi
adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.
53
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op Cit, h 61. 54
Gorys Keraf, 1993, Komposisi Cetakan ke 9, Nusa Indahj, Flores, NTT, h 161.
38
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati),
kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang
sama55
. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam
penelitian, yang menentukan seberapa besar keberlakuan generalisasi
hasil penelitian56
. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan
atau objek penelitian. Sampel adalah bagian dari populasi yang akan
diteliti yang dianggap mewakili populasi. Dalam penentuan Sampel
Penelitian, penulis menentukan menggunakan teknik Probability
Sampling/Random Sampling. Teknik ini didasarkan pada teori
probabilitas yaitu bahwa semua elemen atau setiap unit atau individu
dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi
sampel. Penentuan teknik ini didasarkan data awal yang telah penulis
dapat dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Cara yang
digunakan dalam penggunaan teknik ini yaitu cara Simple Random
Sampling/ teknik random sampling sederhana yaitu : dengan cara lotere
(fishbowl). Dari jumlah populasi tahanan 229 orang, maka akan diambil
30 % dari jumlah tersebut. Kemudian akan diacak berdasarkan nama.
Dari tiga puluh persen tersebut penulis mendapatkan 77 orang tahanan
yang dipilih acak untuk dijadikan sampel.
55
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h 118 56
Ibid, h118
39
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh baik berupa data primer, data sekunder
kemudian diolah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan
secara deskriptif kualitatif dan sistematis57
. Setelah diolah kemudian data
dikaitkan dengan teori hukum , asas, dan pendapat para pakar hukum
agar dapat memperoleh kesimpulan yang jelas dan dipaparkan dalam
bentuk uraian-uraian guna menjawab rumusan permasalahan. Dengan
analisis deskriptif kualitatif diharapkan penulis dapat menggambarkan
secara luas dan jelas tentang hasil pengamatan terhadap populasi yang
hendak di teliti.
57
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar Bali, h 76