I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...
Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sayuran bagi masyarakat Indonesia tidak bisa ditinggalkan dalam
kehidupan sehari‐hari karena manfaatnya yang begitu banyak diantaranya adalah
sebagai sumber vitamin dan protein. Di Indonesia, sayuran hampir dijumpai pada
semua makanan. Cabai merupakan sayuran buah yang kebanyakan ditemui dalam
masakan Indonesia sehingga dapat membuktikan bahwa masyarakat Indonesia
sangat menyukai cabai.
Cabai rawit sangat banyak digemari karena rasanya yang lebih pedas
dibandingkan dengan cabai merah biasa sehingga banyak petani yang tertarik
untuk membudidayakannya. Namun, sifat cabai yang tidak begitu tahan lama
untuk disimpan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses
pendistribusiannya sehingga akan menyebabkan kerugian pada petani. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mencoba untuk memproduksi cabai
kering untuk pembuatan bubuk cabai (Prajnanta, 2007).
Pengeringan merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
memperpanjang masa simpan komoditi hasil pertanian dan sangat penting untuk
penanganan pascapanen. Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kadar
air dari bahan yang ingin dikeringkan dengan cara penguapan. Namun, ada
berbagai macam pengeringan tradisional yang masih dilakukan hingga saat ini
oleh masyarakat yaitu dengan menjemur cabai rawit di tengah terik matahari atau
hanya mengangin-anginkan saja hingga kering (Prajnanta, 2007).
Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diadakan penelitian untuk
mengidentifikasi perubahan warna cabai selama proses pengeringan sehingga
diperoleh informasi warna yang dapat dijadikan acuan untuk pengolahan bubuk
cabai.
2
I.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan
warna cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) dan tanpa
perlakuan (non blanching) selama proses pengeringan.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi
bahan informasi dan pertimbangan bagi petani dan industri-industri pengolahan
cabai rawit kering untuk pembuatan bubuk cabai.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cabai
Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman dari famili terung-
terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar
2.000 spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil
lainnya. Dari banyaknya spesies tersebut, hampir dapat dikatakan sebagian besar
merupakan tumbuhan negeri tropis. Namun, secara ekonomis yang sudah dapat
dimanfaatkan yaitu baru beberapa spesies saja (Setiadi, 2008).
Cabai sendiri diperkirakan ada sekitar 20 spesies yang sebagian besarnya
tumbuh di tempat asalnya, Amerika. Diantaranya yang sudah akrab dengan
kehidupan manusia baru beberapa spesies saja, yaitu cabai besar (C. annum) dan
cabai kecil/rawit (C.frutescense) (Setiadi, 2008). Berdasarkan Prajnanta (2007),
cabai pada dasarnya terdiri atas dua golongan utama yaitu cabai besar (capsicum
annuum L) dan cabai rawit (Capsicum frutencens L). Cabai besar terdiri atas cabai
merah (hot pepper/cabai pedas), cabai hijau, dan paprika (sweet pepper/cabai
manis).
Tinggi tanaman cabai kecil pada umunya dapat mencapai 150 cm. Tangkai
daunnya hanya separo panjang tangkai daun cabai besar. Daunnya pun lebih
pendek dan lebih sempit. Posisi bunganya tegak dengan panjang tangkai
bunganya hampir sepanjang cabai besar. Mahkota bunganya berwarna kuning
kehijauan dengan jumlah cuping sama dengan pada cabai besar. Namun, panjang
cupingnya hanya 0,6-0,8 cm dan lebar hanya 0,3-0,4 cm. Warna tangkai putik
mirip warna mahkota bunganya dengan panjang kurang dari 0,5 cm
(Setiadi, 2008).
Selain berguna sebagai bahan penyedap masakan, cabai juga mengandung
zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia. Cabai mengandung protein,
lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin‐vitamin (salah
satunya adalah vitamin C) (Prajnanta, 2007).
4
2.2 Varietas Cabai Rawit
Varietas cabai rawit yang beredar dipasaran sangat terbatas karena petani
lebih banyak menanam bibit sendiri dari buah hasil panen. Berdasarkan Prajnanta
(2007), daerah yang kira-kira memiliki ketinggian tempat 300-400 m dpl sangat
cocok ditanami bebrapa varietas cabai berikut:
• Sky Hot. Merupakan cabai rawit hibrida yang akan segera dirilis oleh
distributornya di Indonesia (Tirta Mas). Cabai introduksi dari Hungnong
Seed, Korea ini memiliki warna hijau segar pada saat muda dan merah
cerah pada saat masak. Pertumbuhan tanamannya seragam, buahnya
banyak dan sangat bagus untuk dijual segar.
• Cakra putih (cengkek). Buah varietas ini berwarna putih kekuningan yang
berubah merah cerah pada saat masak. Pertumbuhan tanaman sangat kuat
dengan membentuk banyak percabangan. Posis buah tegak ke atas dengan
bentuk agak pipih dan rasa amat pedas. Varietas in mampu menghasilkan
12 ton per ha dengan rata-rata 300 buah per tanaman. Varietas ini dapat
dipanen pada umur 85-90 HST serta tahan terhadap serangan penyakit.
• Cakra Hijau (ceplik) . Varietas ini mampu beradaptasi baik di dataran
rendah maupun tinggi. Saat masih muda buahnya berwarna hijau dan
setelah masak berubah merah. Potensi hasilnya 600 gram per tanaman atau
12 ton per ha. Rasa buahnya pedas. Varietas ini tahan terhadap serangan
hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada
umur 80 HST. Cakra hijau maupun cakra putih merupakan varietas cabai
rawit yang bermerk Kapal terbang ex-Thailand.
Permintaan terhadap cabai terus meningkat, sehingga perlu didukung alih
teknologi budidaya intensif dan penanganan pasca panen yang memadai.
Komoditas cabai sangat besar peranannya dalam menunjang usaha pemerintah
meningkatkan usaha pendapatan taraf hidup petani, memperluas kesempatan
kerja, menunjang pengembangan agribisnis, meningkatkan ekspor sekaligus
mengurangi impor, dan melestarikan sumber daya alam.
5
Berdasarkan Rukmana (1996), Cabai mengandung gizi cukup tinggi.
Dalam setiap 100 gram nilai gizinya terdiri dari:
Tabel 1. Kandungan gizi buah cabai dalam tiap 100 gram
Komposis Gizi Proporsi Kandungan Gizi
Segar Kering
Kalori (Kal) 103,00 -
Protein (g) 4,70 15,00
Lemak (g) 2,40 11,00
Karbohidrat (g) 19,90 33,00
Kalsium (mg) 45,00 150,00
Fosfor (mg) 85,00 -
Vitamin A (Si) 11,050,00 1,000,00
Zat besi (mg) 2,50 9,00
Vitamin B1
(mg)
0,08 0,50
Vitamin C (mg) 70,00 10,00
Air (g) 71,20 8,00
Bagian yang
dapat dimakan
(Bdd,%)
85,00 -
Sumber : Rukmana (1996).
2.3 Pasca Panen Cabai
Berdasarkan Setiadi (2008), bahwa pascapanen merupakan salah satu
kegiatan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis. Meskipun hasil
panennya melimpah dan baik, tanpa penanganan pasca panen yang benar maka
resiko kerusakan dan menurunnya mutu produk akan sangat besar. Produk
holtikultura bersifat mudah rusak, mudah busuk, dan tidak tahan lama, hal ini
menyebabkan pemasarannya sangat terbatas dalam waktu maupun jangkauan
pasarnya sehingga butuh penanganan pasca panen yang baik dan benar.
Penanganan pascapanen dilakukan segera setelah buah dipetik. Kemudian
ditebar (diangin‐anginkan) (Setiadi, 2008). Setelah itu dilakukan sortasi
(pemilahan), dalam sortasi ini dipilah‐pilah antara cabai yang masih utuh dan
sehat, cabai utuh tetapi abnormal, cabai yang rusak sewaktu pemanenan, dan cabai
yang terserang hama dan penyakit. Setelah melakukan pemilahan selanjutnya
dilakukan grading yaitu penggolongan buah berdasarkan kualitas dan ukuran
6
buah setelah itu buah dimasukkan ke dalam karung goni dan langsung dijual ke
pasar (Prajnanta, 2007).
Salah satu cara menjaga agar tetap segar dalam waktu yang agak lama
adalah dengan menekan kerja enzim. Hal itu dilakukan dengan cara menyimpan
pada suhu rendah (Sumoprastowo, 2004). Suharto (1991), menambahkan dengan
menyimpan dalam suhu rendah dapat menghambat aktivitas pertumbuhan
mikroba.
Jumlah uap air di sekitar buah mempunyai pengaruh besar terhadap
kondisi fisiologis buah, udara yang hampir jenuh menyebabkan kulit buah pecah
abnormal, sedangkan penyimpanan dalam udara yang terlalu kering menyebabkan
kulit buah berkerut sehingga bentuknya abnormal (Susanto, et al., 1994 ).
2.4 Blanching (perendaman air panas)
Blanching merupakan proses pemanasan bahan pangan dengan
menggunakan uap air dengan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Blanching
bertujuan untuk mencegah perkembangan bau dan warna yang tidak dikehendaki
selama pengeringan dan penyimpanan. Blanching akan menyebabkan udara dalam
jaringan keluar dan pergerakan air tidak terhambat sehingga proses pengeringan
menjadi cepat. Menurut Sebayang (2005), perlakuan sebelum pengeringan cabai
yang umum dilakukan adalah blanching, yang bertujuan untuk menonaktifkan
enzim yang terdapat pada permukaan bahan tersebut, dan juga untuk
mempermudah pengeringan. Dari hasil penelitian blanching dapat mencegah
kehilangan vitamin C selama pengeringan dan penyimpanan.
Perlakuan blanching yang baik yaitu suhu sekitar 90-95 0C. Cabai
dibiarkan di dalam air panas selama 5-10 menit. Setelah itu, cabai yang telah
direndam diangkat dan ditiriskan (Nursani, 2008).
2.5 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menyerapkannya dengan
menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan dikurangi sampai
7
batas tertentu dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut
(Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Berdasarkan Estiasih dan Ahmadi (2009), pengeringan merupakan metode
pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan pangan sehingga daya
simpan menjadi lebih panjang. Perpanjangan masa simpan terjadi karena aktivitas
mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat dari air yang dibutuhkan
untuk aktivitasnya tidak cukup.
Pengawetan makanan dengan menurunkan kadar air telah dilakukan sejak
beribu-ribu tahun yang lalu. Secara tradisional, makanan dikeringkan dengan sinar
matahari tetapi sekarang beberapa makanan didehidrasi di bawah kondisi
pengeringan yang terkendali dengan menggunakan ragam metode pengeringan.
Walaupun demikian, pengeringan dengan sinar matahari tetap menjadi cara
pengolahan yang penting di negara-negara yang sedang berkembang
(Buckle et al., 2010).
Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air pada level tertentu untuk
menghambat pertumbuhan mikroba dan serangga serta mengurangi volume bahan
pangan sehingga mengefisienkan proses penyimpanan dan distribusi. Kombinasi
suhu dan lama pemanasan selama proses pengeringan pada komoditi biji-bijian
dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan biji. Suhu udara, kelembaban
relatif udara, aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar akhir bahan merupakan
faktor yang mempengaruhi waktu atau lama pegeringan (Brooker, et al., 1974).
Menurut Supryono (2003), pengeringan juga bertujuan agar volume bahan
pangan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah pengangkutan, menghemat
biaya angkut dan ruang untuk pengangkutan, pengepakan maupun penyimpanan.
Pada pengeringan, walaupun secara fisik atau kimia masih terdapat molekul-
molekul air yang terikat, air ini tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan
mikroba. Demikian pula enzim tidak mungkin aktif pada bahan yang dikeringkan,
karena reaksi biokimia memerlukan air sebagai medianya. Jadi pada pengeringan
diusahakan bahwa kadar air yang tertinggal tidak memungkinkan enzim dalam
mikroba menjadi aktif, sehingga bahan yang dikeringkan dapat disimpan lebih
lama.
8
Berdasarkan Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) dalam buku
Teknologi Proses Pengolahan Pangan, adapun keuntungan dan kerugian dari
proses pengeringan sebagai berikut:
� Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi tahan lama. Tahan lama
disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Berat bahan juga menjadi
berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian diharapkan biaya
produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu banyak bahan pangan yang hanya
dapat dikonsumsi setelah dikeringkan misalnya kopi dan teh.
� Kerugian proses pengeringan disebabkan oleh sifat asal bahan yang
dikeringkan berubah misalnya bentuk dan penampakan sifat fisik dan
kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Kerugian lain disebabkan karena
beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan misalnya
harus dibasahkan kembali (rehidratasi)
A. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeringan
Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah
panas dan pindah massa selama proses pengeringan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pindah panas dan massa tersebut adalah sebagai berikut
(Estiasih, 2009) :
1. Luas permukaan
Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan dikeringkan
mengalami pengecilan ukuran, baik dengan cara diiris, dipotong, atau digiling.
Proses pengecilan ukuran akan mempercepat proses pengeringan. Hal ini
disebabkan pengecilan ukuran akan memperluas permukaan bahan, air lebih
mudah berdifusi.
2. Suhu
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan
pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula
penguapan air dari bahan pangan. Dalam arti lain, semakin tinggi suhu yang
digunakan, maka proses pengeringan akan semakin cepat, begitu pula sebaliknya.
9
3. Kecepatan Aliran Udara Pengeringan
Kecepatan aliran udara pengeringan berfungsi membawa energi panas
yang selanjutnya akan mentransfer ke bahan pangan dan membawa uap air keluar
ruang pengering. Semakin cepat kecepatan udara pengeringan maka proses
pengeringan akan semakin cepat.
4. Kelembaban Udara Pengering
Kelembaban relatif (RH) merupakan kemampuan udara untuk menyerap
uap air. Semakin kering udara (kelembaban rendah), maka kemampuan menyerap
air semakin besar, dan kecepatan pengeringan semakin besar/tinggi pula, begitu
pula sebaliknya, semakin tinggi kelembaban udara, maka kecepatan pengeringan
semakin rendah.
5. Penguapan Air
Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air dari bahan pangan
yang dikeringkan sampai diperoleh produk kering yang stabil. Penguapan yang
terjadi selama proses pengeringan tidak menghilangkan semua air yang terdapat
dalam bahan pangan.
Berdasarkan Buckle, et al., (2010). faktor-faktor utama yang
mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah:
1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, dan kadar air)
2. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, dan
kecepatan udara)
3. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Pengeringan hasil pertanian menggunakan aliran udara pengering yang
baik antara 45 °C sampai dengan 75 °C. Pengeringan pada suhu dibawah 45 °C,
mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan
mutu bahan rendah. Sebaliknya pengeringan diatas suhu 75 °C akan menyebabkan
struktur kimiawi dan fisik produk rusak karena perpindahan panas dan massa air
yang cepat yang berdampak pada struktur sel bahan (Buckle et al., 2010).
10
B. Pengeringan Lapis Tipis (Thin Layer Drying)
Pengeringan lapis tipis (Thin layer drying) adalah proses pengurangan
kadar air (pengeringan) dengan evaporasi dimana udara pengeringan dilewatkan
pada lapis tipis bahan hingga diperoleh kadar air kesetimbangan (Equilibrium
Mosture Content). Pengeringan komoditi pertanian sangat bergantung pada suhu
pengeringan, kecepatan udara, kelembaban udara relatif, dan tingkat kematangan
(A.R Yadollahinia, 2007).
Salah satu model pengeringan yang dikenal saat ini adalah model
pengeringan lapisan tipis. Pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan
yang seluruh permukaan bahan dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung
aliran udara pengering. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan
bahan yang sepenuhnya terbuka pada hembusan udara yang menyebabkan semua
bahan dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (Hall,
1957).
Henderson dan Perry (1976) menambahkan, pengeringan lapisan tipis
adalah pengeringan dimana seluruh bahan dalam lapisan tersebut dapat menerima
langsung aliran udara pengering yang melewatinya dengan kelembaban relatif dan
suhu konstan. Pengeringan lapisan tipis dimasudkan untuk mengeringkan produk
sehingga pergerakan udara dapat melalui seluruh permukaan yang dikeringkan
yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar air dalam proses pengeringan.
Pengeringan lapisan tipis merupakan suatu pengeringan yang dilakukan dimana
bahan dihamparkan dengan ketebalan satu lapis.
Pengeringan lapisan tipis mempunyai beberapa kelebihan yaitu:
penanganan kadar air biji dapat dilakukan sampai minimum, biji dengan kadar air
maksimun dapat dipanen dan periode pengeringan dapat lebih pendek untuk kadar
air yang sama (Brooker, et al.,1974). Pengeringan lapisan tipis tidak hanya
diterapkan pada komoditi biji-bijian, tetapi sudah mulai diterapkan pada komoditi
buah dan sayuran seperti apel , kiwi, strawberry, kentang dan jahe. Pengeringan
lapisan tipis mempunyai beberapa kelebihan yaitu penanganan kadar air dapat
dilakukan sampai minimum, biji dengan kadar air maksimum dapat dipanen dan
periode pengeringan dapat lebih pendek untuk kadar air yang sama
(Brooker et al., 1981).
11
C. Kadar Air dan Laju Pengeringan
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar air,
pengeringan itu sendiri bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung di
dalam suatu bahan untuk menghambat perkembangan organisme pembusuk yang
nantinya akan merusak bahan itu sendiri. Kadar air suatu bahan berpengaruh
terhadap banyaknya jumlah air yang diuapkan dan lamanya proses pengeringan
(Taib et al., 1988).
Kadar air suatu bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung dalam
bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat. Selama proses
pengeringan, kadar air bahan mengalami penurunan, besarnya penurunan kadar air
tersebut berbeda-beda sesuai dengan banyaknya air yang diuapkan. Dengan
demikian pada awal proses penurunan kadar air sangat besar dan semakin
menurun sampai kadar air seimbang (Henderson dan Perry, 1976).
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet
basis) dan berat kering (dry basis) kadar air berat basah mempunyai batas
maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat
kering dapat melebihi 100 persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang
sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang
tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang
biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan
(Fachruddin dan Cahyana, 1997).
Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot
bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan
tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah
(wet basis) (Brooker et al., 1981).
12
Struktur bahan secara umum dapat didasarkan pada kadar air yang
biasanya ditunjukkan dalam persentase kadar air basis basah atau basis kering.
Kadar air basis basah (Mwb) banyak digunakan dalam penentuan harga pasar
sedangkan kadar air basis kering (Mdb) digunakan dalam bidang teknik
(Brooker, et al.,1974). Persamaan dalam penentuan kadar air adalah sebagai
berikut :
MCw.b = �����
���� � ............................................................... (1)
Dimana : MCw.b = kadar air basis basah (%)
Wa = berat bahan (g)
Wb = bobot bahan kering mutlak (g)
Untuk menentukan bobot kering suatu bahan, penimbangan dilakukan
setelah bobot bahan tersebut tidak berubah lagi selama pengeringan berlangsung.
Untuk itu biasanya dilakukan dengan menggunakan suhu 105°C. Berdasarkan
Brooker, et al,. (1981), perhitungan kadar air basis kering (dry basis) berlaku
rumus:
MCd.b = ���� ���
����– ��� atau
�����
�� ................................................. (2)
Dimana : MCd.b = kadar air basis Kering (%)
MCw.b = kadar air basis basah (%)
Wa = berat bahan (g)
Wb = bobot bahan kering mutlak (g)
Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan.
Proses pengeringan dengan laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami
bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa selama proses ini dikendalikan
oleh perpindahan internal bahan (Istadi dan Sitompul, 2002). Periode laju
pengeringan menurun meliputi 2 proses yaitu perpindahan air dari dalam bahan ke
permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar
(Henderson and Perry, 1976).
2.6 Tray Dryer
Dalam memilih alat pengering yang akan digunakan, serta menentukan
kondisi pengeringan harus diperhitungkan jenis bahan yang akan dikeringkan.
Juga harus diperhitungkan hasil kering dari bahan yang diinginkan. Setiap bahan
13
yang akan dikeringkan tidaklah sama kondisi pengeringannya, karena ikatan air
dan jaringan ikatan tiap bahan akan berbeda (Rachmawan, 2001).
Pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan alat mekanis
(pengering buatan) akan mendapatkan hasil yang baik bila kondisi pengeringan
dapat ditentukan dengan tepat dan selama pengeringan dikontrol dengan baik.
Setiap alat pengeringan digunakan untuk jenis bahan tertentu, mislanya tray dryer
untuk pengeringan bahan padat atau lempengan yang dikeringkan dengan system
batch (Rachmawan, 2001).
Tray dryer atau alat pengering berbentuk rak, mempunyai bentuk persegi
dan di dalamnya berisi rak-rak, yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan
dikeringkan. Bahan diletakkan di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan
alas yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan
udara panas dan uap air. Pada alat pengering ini, bahan ditempatkan langsung
pada rak-rak dapat juga ditebarkan pada wadah lain misalnya baki atau nampan.
Kemudian baki atau nampan ini disusun di atas rak yang ada di dalam alat
pengering (Rachmawan, 2001).
Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari
ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan
melalui lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak tersebut akan mengalir
melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga
terjadi proses penguapan air dari bahan. Dengan demikian, semakin ke bagian
atas rak suhu udara pengering semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur
sedemikian rupa agar pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan,
udara pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan terjadinya
penguapan air. Di samping itu kelembaban udara pengering pada saat mencapai
bagian atas harus dipertahankan tetap tidak jenuh sehingga masih mampu
menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam penggunaan alat pengering ini
perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal
tumpukan bahan yang dikeringkan sehingga hasil kering yang diharapkan dapat
tercapai (Rachmawan, 2001).
14
2.7 Warna
2.7.1 Peranan Warna Pada Bahan Pangan
Peranan warna dalam mutu bahan pangan adalah sangat penting,
karena umumnya konsumen atau pembeli sebelum mempertimbangkan nilai
gizi dan rasa, pertama-tama akan tertarik oleh keadaan warna bahan. Bila
warna bahan makanan kurang cocok dengan selera atau menyimpang dari
warna normal, bahan makanan tersebut tidak akan dipilih oleh konsumen,
walaupun rasa, nilai gizi dan faktor-faktor lainnya normal (I Gusti, 1996).
Selama proses grading dan pengemasan produk-produk makanan,
warna seringkali menjadi indikator untuk menunjukkan tingkat kualitas
produk. Oleh karena itu, penentuan warna dalam industri makanan tidak hanya
untuk alasan ekonomi, tetapi juga untuk kualitas merek dan standarisasi.
Ketika bahan mengalami penyimpangan dalam proses pengolahannya, baik
proses pemanasan, pengeringan atau proses lainnya maka secara fisik selain
terjadi perubahan tekstur, warna dari bahan juga akan mengalami perubahan.
Selama proses pengolahan, warna bahan akan mengalami perubahan yang
cepat terhadap waktu, suhu dan cahaya. Standarisasi warna fisik (pigmen) juga
penting untuk industri dimana kualitas ditentukan oleh nilai warna produk
tersebut (Culver, et al., 2008).
2.7.1 Pengukuran Warna
Instrument yang sangat berguna dalam mengukur warna adalah kamera
digital. Kamera digital memiliki tangkapan warna yang jelas dari setiap pixel
dari gambar objeknya. Dengan jenis kamera tertentu, cahaya yang dipantulkan
oleh suatu benda dideteksi oleh tiga sensor per pixel. Model warna yang
paling sering digunakan adalah model RGB. Setiap sensor menangkap
intensitas cahaya dalam merah (R), hijau (G) atau biru (B) spectrum masing-
masing. Dalam menganalisis gambar digital dari suatu objek maka terlebih
dahulu dilakukan analisis titik, meliputi sekelompok kecil pixel dengan tujuan
mendeteksi karakteristik kecil dari objek dan selanjutnya dilakukan analisis
15
global dengan menggunakan histogram warna untuk menganalisis
homogenitas dari objek (Leön, 2005).
Gambar 1. Diagram yang menggambarkan ruang warna (Color Space)
pada CIELab Color Model
2.7.2 Model CIELAB
CIELAB merupakan model warna yang dirancang untuk menyerupai
persepsi penglihatan manusia dengan menggunakan tiga komponen yaitu L
sebagai luminance (pencahayaan) dan a dan b sebagai dimensi warna yang
berlawanan. Perancangan sistem aplikasi ini menggunakan model warna
CIELAB pada proses segmentasi dan proses color moments. Color moments
merupakan metode yang cukup baik dalam pengenalan ciri warna. Color
moments menghasilkan tiga moments level rendah dari sebuah objek dengan
cukup baik. Model warna ini dipilih karena terbukti memberikan hasil yang
lebih baik daripada model warna RGB dalam mengukur nilai kemiripan ciri
warna terhadap objek. Model warna CIELAB juga dapat digunakan untuk
membuat koreksi kesimbangan warna yang lebih akurat dan untuk mengatur
kontras pencahayaan yang sulit dan tidak mungkin dilakukan oleh model
warna RGB (Isa dan Yoga, 2008).
CIELAB juga merupakan ruang warna yang didefinisikan CIE pada
tahun 1967. Dengan CIELAB kita mulai diberikan pandangan serta makna
dari setiap dimensi yang dibentuk, yaitu besaran CIE_L* untuk
mendeskripsikan kecerahan warna, 0 untuk hitam dan 100 untuk putih.
Dimensi CIE_a* mendeskripsikan jenis warna hijau-merah, dimana angka
negative a* mengindikasikan warna hijau dan sebaliknya CIE_a* positif
16
mengindikasi warna merah. Dimensi CIE_b* untuk jenis warna biru-kuning,
dimana angka negatif b* mengindikasikan warna biru dan sebaliknya CIE_b*
positif mengindikasikan warna kuning (Anonim, 2008).
Proses pengujian atau pengukuran warna memiliki beberapa kelemahan.
Pengujian visual yang akurat membutuhkan kontrol terhadap beberapa faktor,
yaitu kualitas pencahayaan, ukuran dan sudut dari sumber cahaya yang
digunakan, arah pengamatan sampel, jarak atau antar sampel dan observer
(pengamat), serta keamanan persepsi panelis. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pengukuran warna secara visual sangat sulit dilakukan secara
akurat dan efisien. Oleh karena itu diperlukan metode pengujian dan
pengukuran yang lebih akurat dengan menggunakan beberapa bantuan alat
misalnya Calorimeter, ataupun penggunaan alat yang lebih sederhana seperti
kamera digital yang dilengkapi dengan komputer dan software pengolah
gambar (Good, 2003).
Saat mengambil gambar untuk dianalisis warnanya, sumber pencahayaan
yang tepat sangat penting karena warna dari sampel pangan tergantung pada
bagian spektrum yang dipantulkan dari cahaya tersebut. Oleh karena itu,
distribusi spektral daya pencahayaan harus standar. CIE telah mendefinisikan
illuminants standar yang ditentukan oleh warna. Standar illuminants umum
digunakan dalam penelitian makanan adalah A (2.856 K), C (6774 K), D65
(6500 K), dan D (7500 K). Sumber cahaya C, D65, dan D dirancang untuk
meniru variasi siang hari (Yam dan Papadakis, 2004).
Model L*a*b adalah standar internasional untuk pengukuran warna yang
dikembangkan oleh Komisi Internationale d’Eclairage (KIE) pada tahun 1976.
Model warna L*a*b terdiri dari komponen luminance. Nilai L*, mulai dari 0
sampai 100, komponen a* (dari hijau hingga merah) dan komponen b* (dari
biru hingga kuning) (mulai dari) -120 hingga +120. L*a*b adalah perangkat
independen yang memberikan warna yang konsisten terlepas dari masukan
atau output seperti perangkat kamera digital, scanner, monitor, dan printer.
Model warna L*a*b sering digunakan studi penelitian dalam makanan (Yam
dan Papadakis, 2004).
17
Sudut antara sumbu lensa kamera dan sumbu pencahayaan sumber harus
pada sekitar sekitar 450, karena refleksi difusi warna terjadi pada 45
0 dari
cahaya. Selain itu, intensitas cahaya di atas sampel makanan harus seragam.
Hal ini dapat dicapai melalui percobaan dengan pengaturan berbagai
pencahayaan (seperti memvariasikan jarak antara sumber cahaya dan sampel
makanan) (Yam dan Papadakis, 2004).
2.7.3 Analisis perubahan warna
Berdasarkan jurnal mengenai CIELab yang diterbitkan oleh Hunterlab
Association Laboratory, 2008 perubahan-perubahan nilai L*,a*,b* dapat
dituliskan sebagai berikut:
a. Perubahan nilai L* (∆L)
Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai L*
yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih terang dari
sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih gelap dari
sebelumnya.
∆L* = L*0 – L* …….. (3)
Dimana :
∆L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu
L*0 = Nilai L* untuk sampel pada kondisi awal
L* = Nilai L* untuk sampel selama waktu tertentu
b. Perubahan nilai a* (∆a)
Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai a*
yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih merah dari
sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih hijau dari
sebelumnya.
∆a* = a*0 – a* …… (4)
Dimana :
∆a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu
a*0 = Nilai a* untuk sampel pada kondisi awal
a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu
18
c. Perubahan nilai b* (∆b)
Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai b*
yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih kuning
dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih biru dari
sebelumnya.
∆b* = b*0 – b* …….. (5)
Dimana :
∆b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu
b*0 = Nilai b* untuk sampel pada kondisi awal
b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu
d. Total perubahan nilai Lab* (∆E*)
Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana
perubahan/perbedaan nilai Lab* yang dihasilkan. Dimana semakin besar
nilai ∆E* maka semakin besar pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang
terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai ∆E* maka semakin
kecil pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi.
∆E* ====�∆�� �� �∆�� �� �∆���� …….. (6)
Dimana :
∆E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu
∆L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu
∆a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu
∆b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu
e. Total perubahan tingkat saturasi warna (C* dan ∆C*)
Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana tingkat saturasi
warna yang dihasilkan. Dimana semakin tinggi nilai C*, maka semakin
tinggi pula saturasi warna yang dihasilkan. Dan begitu pula sebaliknya,
semakin rendah nilai C*, semakin rendah pula nilai saturasi yang
dihasilkan.
C* =��� � �� …….. (7)
∆C* = C*0 – C* …..… (8)
Dimana :
C* = Nilai saturasi sampel selama waktu tertentu
19
a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu
b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu
∆C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu
C*0 = Nilai saturasi sampel pada kondisi awal
f. Perubahan warna/hue (∆H*)
Parameter yang digunakan untuk melihat perubahan warna yang dihasilkan.
Dimana semakin besar nilai ∆H* maka semakin besar pula perubahan
warna yang terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai ∆H*
maka semakin kecil pula perubahan warna yang terjadi.
∆H*=�∆�� � �∆�� �� �∆�� …….. (9)
Dimana :
∆H* = Perubahan warna selama waktu tertentu
∆E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu
∆L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu
∆C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu
20
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 bertempat di
Laboratorium Prosessing Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi
Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengering tray dryer
model EH-TD-300 Eunha Fluid Science, desikator, timbangan digital (ketelitian
0,01 gram), anemometer, kamera digital (Sony Cyber-shot 12,1 Mega Pixels),
lampu Philips, software Adobe Photoshop CS3, thermometer, dan wadah plastik.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai varietas Cakra
Putih, plastik kedap udara,kertas label dan air.
3.3 Perlakuan dan Parameter Pengamatan
a. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Perendaman dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non
blanching)
2. Kecepatan udara pengeringan, yakni 1,0 m/s dan 1,5 m/s
b. Parameter pengamatan dalam penelitian ini adalah:
1. Kadar air, meliputi kadar air basis basah dan kadar air basis kering. Berat
cabai pada setiap jam pengeringan dikonversi ke kadar air basis basah
dan basis kering dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Rumus kadar air basis basah
MCw.b = �����
���� �
Dimana : MCw.b = kadar air basis basah (%)
Wa = berat bahan (g)
Wb = bobot bahan kering mutlak (g)
21
b. Rumus kadar air basis kering
MCd.b = ���� ���
����– ��� atau
�����
���� �
Dimana : MCd.b = kadar air basis Kering (%)
MCw.b = kadar air basis basah (%)
Wa = berat bahan (g)
Wb = bobot bahan kering mutlak (g)
c. Berat kering diperoleh melalui proses oven cabai pada akhir
pengeringan .
2. Perubahan warna selama proses pengeringan berlangsung
3.4 Prosedur Penelitian
1. Persiapan Bahan
Persiapan bahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Cabai
a) Menyiapkan cabai rawit varietas Cakra Putih sebanyak lima puluh
biji.
b) Sampel dibagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk direndam ke
dalam air panas (blanching) selama 10 menit, serta satu bagian lain
tanpa perlakuan (non blanching).
c) Setelah dilakukan perendaman dengan air panas selama 10 menit,
cabai kemudian dimasukkan ke dalam tray dryer.
2. Proses Pengeringan
Penelitian ini menggunakan satu level suhu pada dua kecepatan
udara. Suhu pengeringan ditetapkan sekitar 47 °C dan kecepatan udara
masing-masing sebesar 1.0 m/s dan 1.5 m/s. Proses pengeringannnya
dilakukan seperti berikut ini:
1. Menyiapkan sampel cabai yang telah direndam pada air panas
(blanching) selama 10 menit dan cabai tanpa perlakuan (non
blanching).
22
2. Menyiapkan dua buah kawat kasa yang berukuran 10 x 10 cm2.
3. Menimbang masing-masing kawat kasa tersebut.
4. Menghamparkan cabai di atas wadah kawat kasa, masing-masing
untuk cabai yang telah direndam dengan air panas dan tanpa perlakuan
5. Menimbang cabai dengan kawat kasa sebagai berat awal.
6. Menyiapkan alat pengering dengan suhu 47 °C.
7. Mengatur kecepatan udara pengeringan sesuai dengan level kecepatan
yang ditetapkan pada penelitian ini (1.0 m/s dan 1.5 m/s).
8. Kawat kasa yang berisi sampel cabai hasil rendaman air panas
(blanching) dan cabai tanpa perlakuan (non blanching) dimasukkan ke
ruang pengeringan alat pengering.
9. Sampel dikeluarkan dari alat pengeringan, kemudian ditimbang dan
diukur perubahan warnanya pada setiap selang waktu satu jam. Untuk
menghindarkan beban yang berlebihan pada alat, pengeringan
dihentikan pada setiap interval pengeringan delapan jam. Selama
penghentian pengeringan, sampel dimasukkan ke dalam plastik kedap
udara kemudian disimpan di dalam desikator agar tidak terjadi
pertukaran udara antara sampel dan lingkungannya.
10. Setelah berat sampel konstan selama sekitar 27 (dua puluh tujuh) jam,
pengeringan dihentikan dan sampel tersebut dioven selama 72 jam
pada suhu 115°C untuk mendapatkan berat kering sampel.
3. Proses Pengukuran Perubahan Warna
Pengukuran perubahan warna dilakukan melalui pemotretan
dengan menggunakan kamera digital yang tersedia di Laboratorium
Prosessing Program Studi Teknik Pertanian. Hasil pemoteratan sampel
kemudian diinterpretasi dengan menggunakan software Photoshop CS3.
Langkah pengukuran perubahan warna ini diuraikan sebagai berikut:
1. Sampel cabai (blanching dan non blanching) pada masing-masing
kecepatan udara pengeringan dipotret setiap jamnya sesuai dengan jam
pengamatan pengeringan.
23
2. Untuk menjamin konsistensi pemotretan, maka setiap kali pemotretan
dilakukan sampel diberikan tanda yang terkait dengan kecepatan udara
pengeringan, dan jam pengeringan.
3. Hasil pemotretan disimpan pada file untuk selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan software Photoshop CS3.
4. Proses analisis pada software Photoshop CS3 dilakukan sebabagi
berikut:
a. Setiap foto ditetapkan pada posisi yang dianalisis pada setiap jam
dan posisi pengamatan harus konsisten. Untuk memudahkan
pengaturan posisi, maka setiap photo di-crop pada setiap sampel.
b. Untuk memudahkan pengamatan, sebaiknya pada foto yang diamati,
diberi grid yang tersedia pada fasilitas software photoshop. cara
menampilkannya yakni memilih show pada menu view, kemudian
klik grid
Gambar 2. Cara Menampilkan Grid Pada Software Adobe
Photoshop
c. Kemudian untuk melihat nilai L*a*b pada foto yang diamati,
caranya memilih histogram pada menu window, jendela histogram
akan muncul. Di dalam jendela histogram terdiri dari tiga menu,
yakni histogram, navigator yang memuat gambar yang akan
diamati, info yang memuat nilai-nilai seperti RGB, Lab, XY, dan
WH. Di menu info inilah kita dapat melihat nilai Lab gambar yang
diamati.
24
Gambar 3. Cara Menampilkan Histogram Pada Software
Adobe Photosop
d. Setelah mendapatkan nilai Lab, masukkan ke dalam rumus untuk
menghitung nilai Perubahan nilai L,a,b (∆ L, ∆b, ∆a), Total perubahan
nilai Lab (∆E), Total perubahan tingkat saturasi warna (C/∆C).
e. Selanjutnya, hasil perhitungan warna secara numerik (nilai L*, a* dan
b*) diinput pada Color Picker dalam Adobe Photoshop CS3. Kemudian
pilih menu Color Libraries. Menu ini akan menampilkan secara
otomatis warna yang sesuai atau mendekati dengan data numerik yang
telah diinput sebelumnya. Color Libraries dilengkapi dengan beberapa
panduan buku warna untuk menciptakan kesesuaian warna yang tinggi.
Gambar 4. Input Nilai L*, a* dan b* Pada Color Picker
25
Gambar 5. Pengidentifikasian Warna Pada Color Libraries
26
Gambar 6. Bagan Alir Prosedur Penelitian
Mulai
Persiapan Bahan ± 50 biji
Penimbangan wadah sampel
Perendaman sampel cabai dengan air panas (blanching)
dan tanpa perlakuan (non blanching)
Penimbangan wadah yang telah berisi sampel cabai
Pengambilan gambar awal dengan alat pencahayaan
objek dengan sudut pencahayaan 45o
Pengeringan dengan tray dryer, suhu 47oC dengan
kecepatan udara 1 m/s dan 1,5 m/s
Pengisian sampel bahan blanching dan non blanching ke
dalam wadah
Pengukuran berat bahan setiap 60 menit
Pengukuran Dry Bulb dan Wet Bulb Temperatur Ruang
Pengering Setiap 1 jam
Bahan dimasukkan dalam oven selama 72 jam pada
suhu 105oC untuk menentukan berat akhir bahan
Pengukuran Berat Akhir
Berat Bahan= Konstan
Analisa warna
Selesai
Tidak
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Suhu Ruang dan RH Udara Pengering
4.1.2 Suhu Ruang
Pada Gambar 7 terlihat suhu ruangan selama proses pengeringan. Pada
perlakuan 1,0 m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember 2012 terlihat pada jam 0
sampai 20 selama proses pengeringan suhu ruang yakni 290C kemudian naik
menjadi 30 0
C sampai akhir pengeringan. Sedangkan pada kecepatan 1,5 m/s
yakni pada tanggal 14-20 Desember terlihat pada jam 0 sampai 15 selama
proses pengeringan suhu ruang yakni 280C kemudian mengalami penurunan
suhu hingga mencapai suhu 260C dan diakhir pengeringan suhu ruang
mencapai 300C. Naik turunnya suhu pada level kecepatan 1,5 m/s disebabkan
oleh keadaan RH lingkungan. Dimana pada level kecepatan 1,5 m/s RH
lingkungan tinggi dan suhu ruangan rendah.
Gambar 7. Grafik Suhu Ruang terhadap Waktu
4.1.3 RH Udara Pengering
Pada Gambar 8 grafik RH menunjukkan pada perlakuan kecepatan 1,0
m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember 2012 terlihat pada jam 0 dan 1 RH
rendah yakni sekitar 38.5 %, kemudian naik menjadi 88,9% sampai 94,4%.
0
5
10
15
20
25
30
35
0 10 20 30 40 50
Su
hu
(0C
)
Waktu (Jam)
7-12 Desember v=1,0
m/s
14-20 Desember v=1,5
m/s
28
Sedangkan pada 1,5 m/s yakni pada tanggal 14-20 Desember 2012 terlihat
pada jam ke 8 pengeringan RH sebesar 94,1% kemudian turun menjadi 40,1%
kemudian naik menjadi 94,1% sampai akhir pengeringan. RH pada perlakuan
kecepatan udara 1,5 m/s yakni pada tanggal 14-20 Desember 2011 umumnya
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan RH pada perlakuan kecepatan udara
1,0 m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember 2011. Tingginya RH pada level
kecepatan 1,5 m/s disebabkan oleh kelembaban udara disekitar lingkungan
pengeringan relatif tinggi, dimana cuaca lingkungan pada saat proses
pengeringan tidak menentu sehingga mempengaruhi RH udara pengering.
Gambar 8. Grafik RH terhadap Waktu
4.2 Kadar Air Basis Kering
Analisis kadar air dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kadar air
pada cabai selama pengeringan. Perilaku penurunan kadar air basis kering (KaBK)
cabai. Hasil perhitungan kadar air cabai dapat dilihat pada Gambar 9:
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
RH
(%
)
Waktu (Jam)
7-12 Desember 2011 v=1,0 m/s
14-20 Desember 2011 v=1,5 m/s
29
Gambar 9. Grafik Kadar Air Basis Kering Cabai Terhadap Waktu
Gambar 9 di atas jelas menunjukkan bahwa dari hasil pengamatan yang
telah diakukan, kadar air selama proses pengeringan akan mengalami penurunan.
Penurunan kadar air selama proses pengeringan mengikuti pola exponensial
sebagaimana lazimnya dijumpai pada komoditi pertanian lainnya.
Pada kadar air basis kering, perlakuan perendaman cabai dengan air panas
(blanching) dan kecepatan udara 1,0 m/s, penurunan kadar air terjadi dari 590,5%
bk hingga 48,6% bk sedangkan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching),
kecepatan udara 1,0 m/s, terjadi penurunan nilai kadar air dari 475,5% bk hingga
46,9% bk. Sementara itu, pada perlakuan perendaman cabai dengan air panas
(blanching), kecepatan udara 1,5 m/s, terjadi penurunan nilai kadar air dari
344,6% bk menjadi 11,4% bk dan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching),
kecepatan udara 1,5 m/s, penurunan nilai kadar air dari 357,6% bk hingga 11,2%
bk.
Pada grafik di atas nampak bahwa penurunan nilai kadar air yang
signifikan terjadi mulai dari awal sampai pada lama pengeringan 27 jam.
Perubahan kadar air hingga pada jam ke 27 relatif kecil. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa setelah jam ke 27, laju pengeringan berlangsung sangat
lambat dan bahan mulai mendekati kadar air kesetimbangan dengan lingkungan
pengeringan.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42
Ka
BK
(%
)
Waktu (Jam)
KABK Blanching v=1m/s
KABK Non Blanching v=1m/s
KABK Blanching v=1,5m/s
KABK Non Blanching v=1,5m/s
30
Gambar 9 juga menunjukkan bahwa tidak nampak adanya pengaruh yang
signifikan terhadap kecepatan laju pengeringan akibat perbedaan kecepatan udara
pengeringan 1,0 m/s dan 1,5 m/s. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat
dilakukan pengeringan dengan kecepatan udara 1,5 m/s, kelembaban udara pada
lingkungan pengeringan relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran RH dari data
pengukuran dry bulb dan wet bulb temperature ruangan, RH pada saat dilakukan
pengeringan dengan kecepatan udara 1,5 m/s tinggi dan relatif konstan pada 94%,
sedangkan RH untuk kecepatan udara 1 m/s berkisar antara 80 % sampai 94%.
Seperti yang dikatakan Estiasih (2009), kelembaban udara berpengaruh pada saat
pengeringan. Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah) maka
kecepatan pengeringan semakin tinggi. Kelembaban udara akan menentukan
kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan.
4.3 Laju Penguapan Air
Selama proses pengeringan, dikenal adanya laju penguapan air. Laju
penguapan air menjelaskan banyaknya air pada bahan mengalami penguapan
selama proses pengeringan. Pada Gambar 10 terlihat bahwa terjadi laju penguapan
air pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) maupun tanpa
perlakuan (non blanching) mengalami penurunan. Pada cabai dengan perlakuan
perendaman air panas (blanching) dan kecepatan 1,0 m/s pada awal pengeringan
0,03060 g H2O/menit menjadi 0,00008 g H2O/menit sedangkan pada cabai tanpa
perlakuan (non blanching) pada awal pengeringan 0,02072 g H2O/menit menjadi
0,00043 g H2O/menit. Sementara itu pada cabai (blanching) dan kecepatan 1,5
m/s pada awal pengeringan 0,01812 g H2O/menit pada cabai tanpa perlakuan
(nonblanching) pada awal pengeringan 0,01523 menjadi 0,00050. Perubahan laju
penguapan terlihat fluktuatif selama periode akhir pengeringan namun cenderung
terus mengalami penurunan. Penurunan kadar air yang fluktuatif menjelaskan
bahwa air dalam bahan masih berpotensi untuk mengalami penguapan selama
periode akhir pengeringan. Hal tersebut terjadi selama proses pengeringan. Selain
adanya air bebas yang cenderung lebih mudah menguap selama periode awal
pengeringan, adapula air terikat yaitu air yang sulit untuk bergerak naik ke
31
permukaan bahan selama pengeringan sehingga laju penguapan air semakin lama
semakin menurun.
Gambar 10. Grafik Laju Pengeringan terhadap Kadar Air Basis Kering
4.4 Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan
Berikut ini disajikan perilaku parameter warna sampel (L*, a*, b*, C*,
∆L*, ∆a*, ∆b*, C*, ∆E* dan ∆H*) selama proses pengeringan cabai rawit. Nilai
L* merupakan parameter terang gelap sampel selama proses pengeringan. Nilai
∆L* merupakan besarnya perubahan pada nilai L* selama proses pengeringan.
Nilai a* mendeskripsikan warna antara merah dan hijau. Nilai ∆a* merupakan
perubahan nilai a* selama proses pengeringan. Nilai b* mendeskripsikan warna
antara kuning dan biru. Nilai ∆b* merupakan perubahan warna yang terjadi pada
nilai b* selama proses pengeringan. Nilai C* merupakan sejauh mana tingkat
saturasi warna. Nilai ∆E* merupakan parameter untuk menilai sejauh mana
perubahan nilai Lab* yang terjadi. Nilai ∆C* merupakan perubahan untuk menilai
sejauh mana tingkat saturasi warna yang dihasilkan. Nilai ∆H* merupakan
merupakan parameter untuk melihat perubahan warna yang dihasilkan.
0.00000
0.00500
0.01000
0.01500
0.02000
0.02500
0.03000
0.03500
0.00% 100.00% 200.00% 300.00% 400.00% 500.00% 600.00%
Laju
Pe
ng
ua
pa
n A
ir (
g H
2O
/me
nit
)
Kadar Air Basis Kering
Laju Pengeringan Blanching v=1,0 m/s
Laju Pengeringan Non Blanching v=1,0 m/s
Laju Pengeringan Blanching v=1,5 m/s
Laju Pengeringan Non Blanching v=1,5 m/s
32
4.4.1 Nilai L* terhadap Waktu Pengeringan
Dari data hasil pengujian warna cabai pada perendaman dengan air
panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) (kecepatan udara
1 m/s dan 1.5 m/s), berdasarkan nilai L*, terjadi perubahan nilai L* yaitu
terjadinya penurunan dari awal hingga akhir pengeringan. Hal tersebut
menandakan bahwa warna cabai yang semulanya berwarna merah cerah
cenderung mengalami perubahan warna ke arah yang lebih gelap selama
proses pengeringan. Nilai L* merupakan parameter untuk mengetahui terang
gelapnya gambar. Nilai L* mulai dari 0 sampai 100, dimana 0 menghasilkan
warna gelap dan 100 menghasilkan warna yang terang
(Yam dan Papadakis, 2004).
Pola perubahan nilai L* sepanjang waktu pengeringan dan terhadap
perubahan kadar air sampel digambarkan berikut ini:
Gambar 11. Grafik Hubungan Nilai L* Terhadap Waktu
4.4.2 Nilai L* Terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai L* terhadap kadar air basis kering (Gambar 12)
menunjukkan penurunan nilai L* yang berbanding lurus dengan penurunan
kadar air basis kering pada bahan.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 9 18 27 36 45
Nil
ai
L*
Waktu (Jam)
Nilai L Blanching v=1m/s
Nilai L Non Blanching v=1m/s
Nilai L Blanching v=1,5m/s
Nilai L Non Blanching v=1,5m/s
33
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan
udara 1,0 m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 36.5 dengan kadar air
sebesar 590,5% bk, dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 14,8 dengan
kadar air sebesar 48,6% bk. Untuk cabai tanpa perendaman (non blanching),
kecepatan udara 1m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 40,5 dengan
kadar air 475,5% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 27 dengan
kadar air 46,9% bk.
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan
udara 1.5m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 38, dengan kadar air
sebesar 344,6% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 17 dengan
kadar air sebesar 11,4% bk. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching),
kecepatan udara 1.5m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 39,3, dengan
kadar air 357,6% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 25 dengan
kadar air sebesar 11,2% bk.
Penurunan nilai a* yang signifikan nampak terjadi sampai pada lama
pengeringan 27 jam. Perubahan nilai a* hingga jam ke 27 terakhir
pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang relatif
kecil. Sehingga dapat diasumsikan setelah jam ke 27 proses pengeringan
berlangsung nilai a* relatif stabil sampai akhir pengeringan.
Gambar 12. Grafik Hubungan Nilai L* Terhadap Kadar Air Basis Kering
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 100 200 300 400 500 600
Nil
ai
L*
Kadar Air Basis Kering (%)
Nilai L Blanching v=1m/s
Nilai L Non Blanching v=1m/s
Nilai L Blanching v=1,5m/s
Nilai L Non Blanching v=1,5m/s
34
4.4.3 Nilai a* terhadap Waktu Pengeringan
Hasil pengukuran a* terhadap waktu (Gambar 13) menunjukkan
bahwa terjadinya perubahan nilai a*, dimana nilai a* mengalami penurunan
selama proses pengeringan pada cabai dengan perendaman air panas
(blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) pada kedeua level kecepatan
(1,0 m/s dan 1,5 m/s).
Penurunan nilai a* menyebabkan perubahan warna cabai menjadi
coklat kemerahan. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai a* pada cabai
mengalami penurunan selama proses pengeringan sehingga pada akhir
pengeringan menghasilkan warna cabai menjadi coklat kemerahan. Nilai a*,
merupakan nilai untuk mencerminkan perubahan warna antara hijau (green)
dan merah (magenta).
Gambar 13. Grafik Hubungan Nilai a* Terhadap Waktu
4.4.4 Nilai a* Terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai a* terhadap kadar air basis kering (Gambar 14)
menunjukkan nilai a* mengalami penurunan. Nilai a* berbanding lurus
dengan nilai kadar air basis kering pada bahan.
Nilai a* untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching),
kecepatan udara 1 m/s, pada awal pengeringan sebesar 42,6 dengan kadar air
0
10
20
30
40
50
60
0 9 18 27 36 45
Nil
ai
a*
waktu (Jam)
Nilai A Blanching v=1
Nilai A Non Blanching v=1
Nilai A Blanching v=1,5
Nilai A Non Blanching v=1,5
35
basis kering sebesar 590,5%, dan pada akhir pengeringan nilai a* menurun
menjadi 17.3 dengan kadar air basis kering sebesar 48,67%. Untuk cabai tanpa
perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1,0 m/s, nilai a* pada awal
pengeringan sebesar 51,1, dengan kadar air basis kering sebesar 475,5% dan
pada akhir pengeringan nilai a* menurun menjadi 34, dengan kadar air 46,9%.
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan
udara 1.5 m/s, nilai a* pada awal pengeringan sebesar 44,83, dengan kadar air
basis kering sebesar 344,6% dan pada akhir pengeringan nilai a* menurun
menjadi 18, dengan kadar air basis kering sebesar 11,4%. dan Untuk cabai
tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1.5 m/s, pada awal
pengeringan nilai a* sebesar 46, dengan kadar air 357,6% dan pada akhir
pengeringan nilai a* menurun menjadi 34,1, dengan kadar air basis kering
sebesar 11,2%.
Penurunan nilai a* yang signifikan nampak terjadi sampai pada lama
pengeringan 27 jam. Perubahan nilai a* hingga jam ke 27 terakhir
pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang relatif
kecil. Sehingga dapat diasumsikan setelah jam ke 27 proses pengeringan
berlangsung nilai a* relatif stabil sampai akhir pengeringan.
Gambar 14. Grafik Hubungan Nilai a* Terhadap Kadar Air Basis Kering
0
10
20
30
40
50
60
0 100 200 300 400 500 600 700
Nil
ai
a*
Kadar Air Basis Kering (%)
Nilai A Blanching v=1m/s
Nilai A Non Blanching v=1m/s
Nilai A Blanching v=1,5m/s
Nilai A Non Blanching v=1,5m/s
36
4.4.5 Nilai b* Terhadap Waktu Pengeringan
Hasil pengukuran b* terhadap waktu (Gambar 15) menunjukkan
bahwa terjadinya penurunan nilai b* pada cabai dengan perendaman air panas
(blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) pada kedeua level kecepatan
(1,0 m/s dan 1,5 m/s).
Penurunan nilai b* menyebabkan perubahan warna cabai menjadi
coklat kemerahan. Hal ini disebabkan karena nilai b*, merupakan nilai untuk
mencerminkan perubahan warna antara biru dan kuning.
Penurunan nilai b* selama proses pengeringan menyebabkan
perubahan warna cabai dari warna merah cerah menjadi semakin coklat
kemerahan. Hal tersebut dikarenakan selama proses pengeringan nilai b* pada
cabai memudar atau kandungan nilai b* mengalami perubahan yakni menurun
selama proses pengeringan.
Gambar 15. Grafik Hubungan Nilai b* Terhadap Waktu
4.4.6 Nilai b* Terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai b* terhadap kadar air basis kering (Gambar 16)
menunjukkan penurunan nilai b* yang sejalan dengan penurunan kadar air
basis kering pada bahan.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 9 18 27 36 45
Nil
ai
b*
waktu (Jam)
Nilai B Blanching v=1m/s
Nilai B Non Blanching v=1m/s
Nilai B Blanching v=1,5m/s
Nilai B Non Blanching v=1,5
37
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan
udara 1m/s, nilai b* pada awal pengeringan sebesar 34,5 dengan kadar air
basis kering sebesar 590,5% dan terus mengalami penurunan hingga pada
akhir pengeringan nilai b* sebesar 13,1, dengan kadar air basis kering sebesar
48,6%. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1,0
m/s, nilai b* cabai pada awal pengeringan sebesar 38 dengan kadar air basis
kering sebesar 475,5% dan terus mengalami penurunan hingga pada akhir
pengeringan sebesar 27,1 dengan kadar air 46,9%.
Untuk cabai perendaman dengan air panas (blanching), kecepatan
udara 1.5 m/s, nilai b* cabai pada awal pengeringan sebesar 34,1, dengan
kadar air basis kering sebesar 344,6%, dan terus mengalami penurunan hingga
pada akhir pengeringan nilai b* sebesar 12, dengan kadar air basis kering
sebesar 11,4%. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara
1.5 m/s, pada awal pengeringan, nilai b* cabai sebesar 35,3, dengan kadar air
357,6%, dan terus mengalami penurunan hingga pada akhir pengeringan nilai
b* sebesar 25,5, dengan kadar air basis kering sebesar 11,2%.
Penurunan nilai b* yang signifikan nampak terjadi sampai pada lama
pengeringan 27 jam. Perubahan nilai b* hingga jam ke 27 terakhir
pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang relatif
kecil. Sehingga dapat diasumsikan setelah jam ke 27 proses pengeringan
berlangsung nilai b* relatif stabil sampai akhir pengeringan.
Gambar 16. Grafik Hubungan Nilai b* Terhadap Kadar Air Basis Kering
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 100 200 300 400 500 600 700
Nil
ai
b*
Kadar Air basis Kering (%)
Nilia B Blanching v=1m/s
Nilai B Non Blanching v=1m/s
Nilai Blanching v=1,5m/s
38
4.4.7 Nilai C* Terhadap Waktu Pengeringan
Hasil pengukuran C* terhadap waktu (Gambar 17) menunjukkan
bahwa terjadinya penurunan nilai C* pada cabai dengan perendaman air panas
(blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) pada kedeua level kecepatan
(1,0 m/s dan 1,5 m/s).
Penurunan nilai C* menyebabkan perubahan warna cabai menjadi
semakin semakin merah tua hingga mendekati coklat. Nilai C* atau tingkat
saturasi warna menunjukkan semakin rendah nilai C* maka menghasilkan
warna dengan kekentalan yang besar dalam artian warna yang dihasilkan akan
lebih tua begitupun sebaliknya.
Gambar 17. Grafik Hubungan Nilai C* terhadap Waktu
4.4.8 Nilai C* Terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai C* terhadap kadar air basis kering (Gambar 18)
menunjukkan penurunan nilai C* yang sejalan dengan penurunan kadar air
basis kering pada bahan.
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan
udara 1m/s, nilai C* pada awal pengeringan sebesar 54,8 dengan kadar air
basis kering sebesar 590,5% dan terus mengalami penurunan hingga pada
akhir pengeringan nilai C* sebesar 21,7 dengan kadar air basis kering sebesar
0
10
20
30
40
50
60
70
0 10 20 30 40 50
Nil
ai
C*
Jam (waktu)
Nilai C Blanching pada v=1,0 m/s
Nilai C Non Blanching v=1,0 m/s
Nilai C Blanching v=1,5 m/s
Nilai C Non Blanching v=1,5 m/s
39
48,6%. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1,0
m/s, nilai C* cabai pada awal pengeringan sebesar 63,7 dengan kadar air basis
kering sebesar 475,5% dan terus mengalami penurunan hingga pada akhir
pengeringan sebesar 43,5 dengan kadar air 46,9%.
Untuk cabai perendaman dengan air panas (blanching), kecepatan
udara 1.5 m/s, nilai C* cabai pada awal pengeringan sebesar 56,3, dengan
kadar air basis kering sebesar 344,6%, dan terus mengalami penurunan hingga
pada akhir pengeringan nilai C* sebesar 21,6 dengan kadar air basis kering
sebesar 11,4%. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara
1.5 m/s, pada awal pengeringan, nilai C* cabai sebesar 58,0 dengan kadar air
357,6%, dan terus mengalami penurunan hingga pada akhir pengeringan nilai
C* sebesar 42,6, dengan kadar air basis kering sebesar 11,2%.
Penurunan nilai C* yang signifikan nampak terjadi sampai pada lama
pengeringan 27 jam. Perubahan nilai C* hingga jam ke 27 terakhir
pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang relatif
kecil. Sehingga dapat diasumsikan setelah jam ke 27 proses pengeringan
berlangsung nilai C* relatif stabil sampai akhir pengeringan.
Gambar 18. Grafik Hubungan Nilai C* terhadap Kadar Air Basis Kering
0
10
20
30
40
50
60
70
0 100 200 300 400 500 600 700
Nil
ai
C*
Kadar Air Basis Kering (%)
Nilai C Blanching pada v=1,0 m/s
Nilai C Non Blanching v=1,0 m/s
Nilai C Blanching v=1,5 m/s
Nilai C Non Blanching v=1,5 m/s
40
4.4.9 Nilai ∆E* Terhadap waktu
Hasil pengolahan nilai ∆E* (total perubahan nilai L*, a* dan b*).
terhadap waktu (Gambar 19) menunjukkan bahwa terjadi pengelompokan
antara nilai ∆E* untuk kecepatan 1,0 m/s dan 1,5 m/s untuk masing-masing
perlakuan perendaman dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan
(non blanching).
Nilai ∆E* menunjukkan sejauh mana perubahan atau perbedaan nilai
L*a*b* yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai ∆E* maka semakin besar
perubahan atau perbedaan nilai L*a*b* yang terjadi. Dari pengamatan nilai
L*a*b* pada cabai selama proses pengeringan, terlihat bahwa terjadi
penurunan tingkat kecerahan warna, kandungan warna merah yang semakin
menurun (a*) dan penurunan kandungan warna kuning (b*).
Pada grafik terlihat nilai ∆E* pada cabai tanpa perlakuan
(nonblanching) dipengaruhi oleh perlakuan kecepatan udara. Perubahan ∆E*
pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) lebih cepat
dibandingkan dan cabai tanpa perlakuan (non blanching) dan pengaruh
kecepatan udara yang lebih rendah (1,0 m/s) selalu lebih besar perubahan nilai
∆E* dibandingkan kecepatan yang tinggi (1,5 m/s).
Gambar 19. Grafik Hubungan Nilai ∆E* Terhadap Waktu
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 9 18 27 36 45
Nil
ai
∆E
*
waktu (Jam)
Nilai Delta E Blanching v=1m/s
Nilai Delta E Non Blanching v=1m/s
Nilai Delta E Blanching v=1,5m/s
Nilai Delta E Non Blanching v=1,5m/s
41
4.4.10 Nilai ∆E* Terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai ∆E* terhadap kadar air basis kering (Gambar
20) menunjukkan nilai ∆E* mengalami peningkatan selama proses
pengeringan berlangsung. Nilai delta E* berbanding terbalik dengan nilai
kadar air pada bahan.
Nilai ∆E* untuk cabai perendaman dengan air panas (blanching),
kecepatan udara 1m/s, pada awal pengeringan sebesar 2,2 dengan kadar air
basis kering sebesar 590,5%, dan pada akhir pengeringan nilai ∆E* meningkat
menjadi 39,5 dengan kadar air basis kering sebesar 48,6%. Untuk cabai tanpa
perlakuan (non blanching) , kecepatan udara 1,0 m/s, nilai ∆E* pada awal
pengeringan sebesar 1,6 dengan kadar air basis kering sebesar 475,5% dan
pada akhir pengeringan nilai ∆E* meningkat menjadi 22,1 dengan kadar air
46,9%.
Untuk cabai perendaman denga air panas(blanching), kecepatan udara
1.5 m/s, nilai ∆E* pada awal pengeringan sebesar 2,1 dengan kadar air basis
kering sebesar 344,6% dan pada akhir pengeringan nilai ∆E* meningkat
menjadi 40,6 dengan kadar air basis kering sebesar 11,4%. dan Untuk cabai
tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1.5 m/s, pada awal
pengeringan nilai ∆E* sebesar 1,6 dengan kadar air 357,6% dan pada akhir
pengeringan, nilai ∆E* meningkat menjadi 18,8 dengan kadar air basis kering
sebesar 11,2%.
Peningkatan nilai ∆E* yang signifikan Nampak terjadi sampai pada
lama pengeringan 27 jam. Perubahan nilai ∆E* hingga jam terakhir
pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang juga
relatif kecil.
42
Gambar 20. Grafik Hubungan Nilai ∆E* Terhadap Kadar Air Basis Kering
4.4.11 Nilai ∆H* terhadap Waktu
Dari data hasil pengujian warna pada cabai berdasarkan nilai ∆H*
merupakan perubahan warna yang terjadi selama proses pengeringan.
(Gambar 21 dan 22), terjadi peningkatan warna cabai pada perendaman
dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching), dari awal
hingga akhir pengeringan.
Nilai ∆H* digunakan untuk melihat secara keseluruhan perubahan
warna yang yang dihasilkan saat proses pengeringan. Peningkatan nilai ∆H*
selama proses pengeringan menunjukkan perubahan warna yang terjadi
selama proses pengeringan semakin signifikan, yakni warna pada cabai
semakin gelap, berubah dari merah menjadi merah kecoklat-coklatan.
Pada grafik terlihat nilai ∆H* pada cabai tanpa perlakuan
(non blanching) dipengaruhi oleh perlakuan kecepatan udara. Perubahan ∆H*
pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) lebih cepat
dibandingkan dan cabai tanpa perlakuan (non blanching) dan pengaruh
kecepatan udara yang lebih rendah (1,0 m/s) selalu lebih besar perubahan nilai
∆H* dibandingkan dengan kecepatan yang tinggi (1,5 m/s).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 100 200 300 400 500 600 700
Nil
ai
∆E
*
Kadar Air Basis Kering (%)
Nilai Delta E Blanching v=1m/s
Nilai Delta E Non Blanching v=1m/s
Nilai Delta E Blanching v=m/s
Nilai Delta E Non Blancing v=1,5m/s
43
Selain itu, meskipun mengalami perubahan warna selama pengeringan
namun pada kecepatan 1,5 m/s warna cabai lebih cerah dibandingkan dengan
kecepatan 1,0 m/s.
Gambar 21. Grafik Hubungan Nilai ∆H* Terhadap Waktu
4.4.12 Nilai ∆H* terhadap Kadar Air Basis Kering
Hasil pengukuran nilai ∆H* terhadap kadar air basis kering (gambar 22)
menunjukkan nilai Delta H* mengalami peningkatan. Nilai Delta H*
berbanding terbalik dengan nilai kadar air basis kering pada cabai yang
semakin menurun selama proses pengeringan.
Nilai ∆H* untuk cabai perendaman dengan air panas (blanching)
kecepatan udara 1 m/s, pada awal pengeringan sebesar 2,9 dengan kadar air
basis kering sebesar 590,5%, dan pada akhir pengeringan nilai ∆H* meningkat
menjadi 55,9 dengan kadar air basis kering sebesar 48,6%. Untuk cabai tanpa
perlakuan (non blanching) , kecepatan udara 1,0 m/s, nilai ∆H* pada awal
pengeringan sebesar 2,0, dengan kadar air basis kering sebesar 475,5% dan
pada akhir pengeringan nilai ∆H* meningkat menjadi 32,8 dengan kadar air
46,9%.
Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching) kecepatan udara
1.5m/s, nilai ∆H* pada awal pengeringan sebesar 2,9, dengan kadar air basis
kering sebesar 344,6% dan pada akhir pengeringan nilai ∆H* meningkat
0
10
20
30
40
50
60
70
0 9 18 27 36 45
Nil
ai
∆H
*
waktu (Jam)
Delta H Blanching v=1m/s
Delta H Non Blanching v=1m/s
Delta H Blanching v=1,5m/s
Delta H Non Blanching v=1,5m/s
44
menjadi 57,4, dengan kadar air basis kering sebesar 11,41%. dan Untuk cabai
tanpaperlakuan, kecepatan udara 1.5m/s, pada awal pengeringan nilai ∆H*
sebesar 2,3 dengan kadar air 344,6% dan pada akhir pengeringan nilai ∆H*
meningkat menjadi 28,23 dengan kadar air basis kering sebesar 11,4%.
Gambar 22. Grafik Hubungan Nilai ∆ H* Terhadap Kadar Air Basis Kering
4.5 Perubahan Warna Berdasarkan Nilai Rata-Rata L*, a* dan b*
Pada grafik L*, a*, dan b* sebelumnya telah dijabarkan secara numerik
dalam pembahasan namun belum merepresentasikan warna secara visualisasi
sehingga dilakukan pengidentifikasian warna dengan melakukan input nilai L*,
a*, dan b* kedalam software Adobe Photoshop CS3 yang menyediakan referensi
warna yang sesuai. Berikut ini table identifikasi warna berdasarkan nilai L*, a*,
dan b* pada awal dan akhir pengeringan untuk masing-masing perlakuan
kecepatan udara (1,0 m/s dan 1,5 m/s).
0
10
20
30
40
50
60
70
0 100 200 300 400 500 600 700
Nil
ai
∆H
*
Kadar Air basis kering (%)
Nilai Delta H Blanching v=1m/s
Nilai Delta H Non Blanching v=1m/s
Nilai Delta H Blanching v=1,5m/s
45
Tabel 2. Perubahan Warna Cabai
Waktu
(Jam) Blanching v=1,0 m/s
Non Blanching v=1,0
m/s
Blanching v=1,5
m/s
Non Blanching
v=1,5 m/s
0
Nilai
L*=36,5
a*=42,6
b*=34,5
Nilai
Nilai
L*=40,5
a*=51,2
b*=38
Nilai
Nilai
L*=38
a*=44,8
b*=34,2
Nilai
L*=39
a*=46
b*=35
7
Nilai
L*=28,1
a*=33,5
b*=28
Nilai
L*=34,2
a*=42,8
b*=33,2
Nilai
L*=32
a*=39,6
b*=30,6
Nilai
L*=34
a*=43,8
b*=32,1
14
Nilai
L*=21
a*=22
b*=19,8
Nilai
L*=32,5
a*=39,8
b*=31,5
Nilai
L*=30
a*=35,1
b*=25,6
Nilai
L*=31,1
a*=40,5
b*=30,3
t
akhir
Nilai
L*=14,8
a*=17,3
b*=13,1
Nilai
L*=27
a*=34
b*=27
Nilai
L*=24
a*=23,6
b*=16,8
Nilai
L*=25
a*=34,1
b*25,5
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
46
Tabel di atas memperlihatkan secara jelas perubahan nilai L*, a*, dan b*
yang terjadi pada awal sampai akhir pengeringan. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil perubahan nilai L*, a*, dan b* secara numerik sesuai dengan identifikasi
warna secara visualisasi. Dapat kita lihat perubahan warna yang signifikan terjadi
pada perlakuan perendaman dengan air panas (blanching) dan pada level
kecepatan yang rendah yaitu 1,0 m/s. Lain halnya pada cabai tanpa perlakuan
(non blanching) pada level kecepatan 1,5 m/s tidak terjadi perubahan warna yang
signifikan dalam artian warna cabai lebih cerah. Dari hasil warna yang telah
diperoleh maka warna tersebut bisa menjadi acuan untuk industri pembuatan
bubuk cabai.
Dari pembahasan di atas, berikut ini disajikan fakta yang ditemukan pada
penelitian ini:
1. Nilai L* pada cabai yang direndam di dalam air panas (blanching) lebih
rendah atau lebih gelap dibandingkan dengan cabai tanpa perlakuan
(non blanching). Pada sisi lain, pengaruh perbedaan kecepatan udara
pengeringan (1.0 m/s dan 1.5 m/s) tidak menunjukan adanya pola
perubahan nilai L* yang konsisten.
2. Nilai a* sepanjang waktu pengeringan mengalami penurunan sehingga
mengalami perubahan warna menjadi coklat kemerahan sampai akhir
pengeringan. Nilai a* Pada cabai yang direndam di dalam air panas
(Blanching), lebih rendah dibandingkan pada cabai tanpa perlakuan
(non blanching). Pada sisi lain pengaruh kecepatan udara pengeringan (1,0
m/s dan 1,5 m/s) tidak menunjukkan adanya pola perubahan nilai a* yang
konsisten.
3. Nilai b* sepanjang waktu pengeringan mengalami penurunan sehingga
mengalami perubahan warna merah cerah menjadi coklat kemerahan. Pada
cabai yang direndam di dalam air panas (Blanching), lebih rendah
dibandingkan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching). Pada sisi lain
pengaruh kecepatan udara pengeringan (1,0 m/s dan 1,5 m/s) tidak
menunjukkan adanya pola perubahan nilai b* yang konsisten.
47
4. Nilai ∆E* perubahan nilai L*, a* dan b* secara keseluruhan yang
dipengaruhi oleh perlakuan cabai dengan perendaman air panas
(blanching) dan kecepatan udara. Perubahan ∆E* pada cabai dengan
perlakuan perendaman air panas (blanching) lebih cepat dibandingkan dan
cabai tanpa perlakuan (non blanching) dan pengaruh kecepatan udara yang
lebih rendah (1,0 m/s) selalu lebih besar perubahan nilai ∆E*
dibandingkan kecepatan yang tinggi (1,5 m/s).
5. Nilai ∆H* keseluruhan perubahan warna pada pada cabai tanpa perlakuan
(non blanching) dipengaruhi oleh perlakuan kecepatan udara. Perubahan
∆H* pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) lebih
cepat dibandingkan dan cabai tanpa perlakuan (non blanching) dan
pengaruh kecepatan udara yang lebih rendah (1,0 m/s) selalu lebih besar
perubahan nilai ∆H* dibandingkan kecepatan yang tinggi (1,5 m/s).
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Penurunan kadar air pada cabai terlihat hampir sama pada kedua level
kecepatan udara (1,0 m/s dan 1,5 m/s) baik pada cabai yang direndam
dengan air panas (blanching) dan cabai tanpa perlakuan (non blanching).
Penurunan kadar air yang relatif stabil sampai pengeringan dihentikan
terjadi setelah lama pengeringan 27 jam.
2. Dari seluruh parameter warna yang diuji, nampak bahwa nilai L* a*dan b*
dipengaruhi oleh perlakuan perendaman air panas (blanching) dan
kecepatan udara.
3. Nilai ∆E* dan ∆H* dipengaruhi oleh kecepatan udara. Nilai ∆E* dan ∆H*
pada kecepatan udara yang lebih rendah (1,0 m/s) pada cabai yang
direndam dengan air panas (blanching) perubahan nilai ∆E* dan ∆H*
selalu lebih besar dibandingkan dengan kecepatan udara yang tinggi (1,5
m/s). Warna yang paling cerah dan dianggap sesuai untuk pengolahan
bubuk cabai diperoleh pada cabai tanpa perlakuan (non blanching) dengan
level kecepatan udara pengering 1,5m/s.
5.2 Saran
Untuk memastikan apakah kecepatan udara penegringan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perubahan warna cabai, disarankan pada
penelitian selanjutnya digunakan tingkat kecepatan udara yang lebih
bervariasi. Suhu udara pengeringan juga dapat divariasikan untuk melihat
apakah kombinasi suhu dan kecepatan udara pengeringan memiliki pengaruh
yang signifikan.
49
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. CIE L*a*b* Color Scale Vol. 8 No.7. Hunterlab. Application
Note. Technical Service Departement Hunter Associates Laboratory, Inc.
Vol. 8 No.7 Hal. 1-4. Diakses Pada 2 Februari 2012.
A.R. Yadollahinia, M. Omid
dan S. Rafiee, 2007. Design and Fabrication of
Experimental Dryer for Studying Agricultural Products. Department of
Agricultural Machinery, Faculty of Bio-Systems Engineering, University
of Tehran, Karaj, Iran. International Journal of Agriculture and Biology
ISSN Print: 1560–8530; ISSN Online: 1814–9596.
Brooker, Donald B, Barker-Arkema, F.W., dan Hall, 1974. Drying Cereal Grains.
The AVI publishing Company, Inc. Wesport.
Brooker, D.B., Barker-Arkema, F.W., dan Hall, C.W. 1981. Drying Cereal
Grains. AVI Publishing. Company.Inc. Westport.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. 2010. Food Science.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Culver, Catherine A., and R. E. Wrolstad. 2008. Color Quality of Fresh and
Processed Foods. ACS Symposium Series 983. ACS Division of
Agricultural and Food Chemistry, Inc. Oxford University Press.
American Chemical Society, Washington, DC.
Estiasih, Teti dan Kgs Ahmadi, 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi
Aksara. Malang.
Fachruddien, A.S. dan Cahyana, Y. 1997. Pengeringan. Penanganan Pasca
Panen Bahan Hasil Pertanian. Depdikbud. Ditjen Dikdasmen. PPPG
Pertanian Cianjur.
Good, H. 2003. Phisical Property Testing. Food Quality Magazine, Jan/Feb 2003
issue.
Hall, C.W. 1957. Drying farm Corps. Agricultural Consuling Associates, Inc. East
Lansing, Michigan.
Henderson, S.M dan Perry, R.L. 1976. Agricultural Process Engineering. The
AVI Publishing. Company.Inc., Westport Connecticut, USA.
Holinesti, Rahmi. 2009. Studi Pemanfaatan Pigmen Brazilein Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L.) Sebagai Pewarna Alami Serta Stabilitasnya
50
pada Model Pangan. Jurnal Pendidikan dan Keluarga UNP, Vol. I, No. 2,
Page 11-21.
I Gusti N.A. 1996. Pigmen Pada Pengolahan Buah dan Sayur (Kajian Pustaka).
Majalah Ilmiah Teknologi Pertanian Vol. 2, No. 1, Page 57-59.
Isa, M. S. dan Y. Pradana. 2008. Flower Image Retrieval Berdasarkan Color
Moments, Centroid-Contour Distance dan Angle Code Histogram. Konferensi
Nasional Sistem dan Informatika Bali, Vol. 108, No. 57, Page 321-326.
Istadi dan Sitompul, J.P. 2002. A Heterogenenous Model For Deep-Bed Corn
Grain Drying, Mesin Vol. 15 No.3 Hal 63-68. Institur Pertanian Bogor.
Bogor.
Muchtadi, R. Tien, dan Ayustaningwarno, Fitriyono. 2010. Teknologi Proses
Pengolahan Pangan. Jakarta. Alfabeta.
Nursani, Daragantina. 2008. Pengeringan Lapisan Tipis Rimpang Temu Putih.
IPB
Prajnanta, F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta. Penebar Swadaya.
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan, dan Pengemasan Komoditas
Pertanian. Buletin Agroindustri Edisi 5 Hal. 12-23.
Rukmana, Rahmat. 1996. Usaha Tani cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik.
Yogyakarta. Kanisisus.
Sebayang, S. N. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung
Cabai. Universitas Sumatra Utara.
Setiadi. 2008. Cabai Rawit Jenis dan Budaya. Jakarta. Penebar Swadaya.
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Makanan. Jakarta. Bumi Aksara.
Sumoprastowo, 2004. Memilih dan Menyimpan SayurMayur, BuahBuahan,
dan Bahan Makanan. Jakarta. Bumi Aksara.
Supryono. 2003. Mengukur Faktor-Faktor Dalam Proses Pengeringan. Proyek
Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan Sekolah Menengah
Kejuruan, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Susanto, T. Bambang, H, Suhardi. 1994. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen.
Yogyakarta. Akademika.
Taib, G., Said, G., dan Wiraatmadja, S. 1988. Operasi Pengeringan pada
Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
51
Yam, K.L dan Papadakis, S.E. 2004. A Simple Digital Imaging Method For
Measuring and Analyzing Color of Food Surfaces. Jurnal of Food
Engineering Vol. 61 Tahun 2004 Hal.137-142
52
LAMPIRAN
1. Tabel Hasil Perhitungan Kadar Air Selama Proses Pengeringan Pada
Cabai Dengan Perendaman Air Panas (Blanching) dan Kecepatan Udara
1,0 m/s
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
No Waktu
(Jam)
Berat Kasa
(g)
Berat
Kasa+ Bahan
(g)
Berat
bahan (g)
KA.bb
(%)
KA.bk
(%)
1 0 6.534 29.750 23.216 85.52% 590.54%
2 1 6.534 27.914 21.380 77.61% 535.93%
3 2 6.534 26.181 19.647 70.15% 484.38%
4 3 6.534 24.835 18.301 64.35% 444.35%
5 4 6.534 23.716 17.182 59.53% 411.06%
6 5 6.534 22.545 16.011 54.48% 376.23%
7 6 6.534 21.445 14.911 49.75% 343.52%
8 7 6.534 20.359 13.825 45.07% 311.21%
9 8 6.534 18.982 12.448 39.14% 270.26%
10 9 6.534 17.972 11.438 34.79% 240.21%
11 10 6.534 16.681 10.147 29.23% 201.81%
12 11 6.534 15.772 9.238 25.31% 174.78%
13 12 6.534 14.907 8.373 21.58% 149.05%
14 13 6.534 14.222 7.688 18.63% 128.67%
15 14 6.534 13.313 6.779 14.72% 101.64%
16 15 6.534 12.781 6.247 12.43% 85.81%
17 16 6.534 12.426 5.892 10.90% 75.25%
18 17 6.534 12.114 5.580 9.55% 65.97%
19 18 6.534 11.891 5.357 8.59% 59.34%
20 19 6.534 11.736 5.202 7.93% 54.73%
21 20 6.534 11.663 5.129 7.61% 52.56%
22 21 6.534 11.616 5.082 7.41% 51.16%
23 22 6.534 11.591 5.057 7.30% 50.42%
24 23 6.534 11.572 5.038 7.22% 49.85%
25 24 6.534 11.558 5.024 7.16% 49.43%
26 25 6.534 11.547 5.013 7.11% 49.11%
27 26 6.534 11.538 5.004 7.07% 48.84%
28 27 6.534 11.533 4.999 7.05% 48.69%
53
2. Tabel Hasil Perhitungan Kadar Air Selama Proses Pengeringan Pada
Cabai Tanpa Perlakuan (Non Blanching) dan Kecepatan Udara 1,0 m/s
No Waktu
(Jam)
Berat
Kasa (g)
Berat
Kasa+Bahan
(g)
Berat Bahan
(g)
KA.bb
(%)
KA.BK
(%)
1 0 6.198 27.258 21.060 82.63% 475.57%
2 1 6.198 26.015 19.817 76.72% 441.60%
3 2 6.198 24.852 18.654 71.20% 409.81%
4 3 6.198 23.815 17.617 66.28% 381.47%
5 4 6.198 22.913 16.715 61.99% 356.82%
6 5 6.198 21.964 15.766 57.49% 330.88%
7 6 6.198 21.066 14.868 53.22% 306.34%
8 7 6.198 20.185 13.987 49.04% 282.26%
9 8 6.198 19.309 13.111 44.88% 258.32%
10 9 6.198 18.526 12.328 41.16% 236.92%
11 10 6.198 17.651 11.453 37.01% 213.01%
12 11 6.198 16.882 10.684 33.36% 191.99%
13 12 6.198 16.251 10.053 30.36% 174.75%
14 13 6.198 15.604 9.406 27.29% 157.06%
15 14 6.198 14.914 8.716 24.01% 138.21%
16 15 6.198 14.328 8.130 21.23% 122.19%
17 16 6.198 13.965 7.767 19.51% 112.27%
18 17 6.198 13.493 7.295 17.26% 99.37%
19 18 6.198 13.144 6.946 15.61% 89.83%
20 19 6.198 12.610 6.412 13.07% 75.24%
21 20 6.198 12.307 6.109 11.63% 66.96%
22 21 6.198 12.027 5.829 10.30% 59.31%
23 22 6.198 11.848 5.650 9.45% 54.41%
24 23 6.198 11.749 5.551 8.98% 51.71%
25 24 6.198 11.681 5.483 8.66% 49.85%
26 25 6.198 11.636 5.438 8.45% 48.62%
27 26 6.198 11.599 5.401 8.27% 47.61%
28 27 6.198 11.573 5.375 8.15% 46.90%
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
54
3. Tabel Hasil Perhitungan Kadar Air Selama Proses Pengeringan Pada
Cabai Dengan Perendaman Air Panas (Blanching) dan Kecepatan Udara
1,5 m/s
No Waktu
(Jam)
Berat
Kasa (g)
Berat
Kasa+ Bahan
(g)
Berat
Bahan (g)
KA.bb
(%)
KA.bk
(%)
1 0 6.763 25.231 18.468 77.51% 344.69%
2 1 6.763 24.144 17.381 71.63% 318.52%
3 2 6.763 23.050 16.287 65.70% 292.17%
4 3 6.763 22.247 15.484 61.35% 272.84%
5 4 6.763 21.457 14.694 57.08% 253.82%
6 5 6.763 20.691 13.928 52.93% 235.37%
7 6 6.763 20.094 13.331 49.70% 221.00%
8 7 6.763 19.403 12.640 45.96% 204.36%
9 8 6.763 18.849 12.086 42.96% 191.02%
10 9 6.763 18.109 11.346 38.95% 173.20%
11 10 6.763 17.436 10.673 35.30% 156.99%
12 11 6.763 16.910 10.147 32.46% 144.33%
13 12 6.763 16.275 9.512 29.02% 129.04%
14 13 6.763 15.758 8.995 26.22% 116.59%
15 14 6.763 15.320 8.557 23.85% 106.04%
16 15 6.763 14.867 8.104 21.39% 95.14%
17 16 6.763 14.415 7.652 18.95% 84.25%
18 17 6.763 14.096 7.333 17.22% 76.57%
19 18 6.763 13.792 7.029 15.57% 69.25%
20 19 6.763 13.562 6.799 14.33% 63.71%
21 20 6.763 13.315 6.552 12.99% 57.77%
22 21 6.763 13.129 6.366 11.98% 53.29%
23 22 6.763 12.889 6.126 10.68% 47.51%
24 23 6.763 12.703 5.940 9.68% 43.03%
25 24 6.763 12.557 5.794 8.89% 39.51%
26 25 6.763 12.413 5.650 8.11% 36.05%
27 26 6.763 12.297 5.534 7.48% 33.25%
28 27 6.763 12.193 5.430 6.91% 30.75%
29 28 6.763 12.116 5.353 6.50% 28.89%
30 29 6.763 11.940 5.177 5.54% 24.66%
31 30 6.763 11.829 5.066 4.94% 21.98%
32 31 6.763 11.760 4.997 4.57% 20.32%
33 32 6.763 11.691 4.928 4.20% 18.66%
34 33 6.763 11.638 4.875 3.91% 17.39%
35 34 6.763 11.595 4.832 3.68% 16.35%
36 35 6.763 11.551 4.788 3.44% 15.29%
37 36 6.763 11.505 4.742 3.19% 14.18%
38 37 6.763 11.459 4.696 2.94% 13.07%
39 38 6.763 11.434 4.671 2.80% 12.47%
40 39 6.763 11.407 4.644 2.66% 11.82%
41 40 6.763 11.390 4.627 2.57% 11.41%
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
55
4. Tabel Hasil Perhitungan Kadar Air Selama Proses Pengeringan Pada
Cabai Tanpa Perlakuan (Non Blanching) dan Kecepatan Udara 1,5 m/s
No Waktu
(Jam)
Berat
Kasa (g)
Berat
Kasa+Bahan
(g)
Berat
Bahan (g)
KA.bb
(%)
KA.bk
(%)
1 0 6.594 27.316 20.722 78.15% 357.64%
2 1 6.594 26.402 19.808 73.74% 337.46%
3 2 6.594 25.586 18.992 69.80% 319.43%
4 3 6.594 24.747 18.153 65.75% 300.91%
5 4 6.594 23.915 17.321 61.74% 282.53%
6 5 6.594 23.291 16.697 58.73% 268.75%
7 6 6.594 22.649 16.055 55.63% 254.57%
8 7 6.594 22.098 15.504 52.97% 242.40%
9 8 6.594 21.503 14.909 50.10% 229.26%
10 9 6.594 20.757 14.163 46.50% 212.79%
11 10 6.594 20.192 13.598 43.77% 200.31%
12 11 6.594 19.604 13.010 40.93% 187.32%
13 12 6.594 19.043 12.449 38.23% 174.93%
14 13 6.594 18.569 11.975 35.94% 164.47%
15 14 6.594 18.022 11.428 33.30% 152.39%
16 15 6.594 17.559 10.965 31.06% 142.16%
17 16 6.594 16.979 10.385 28.26% 129.35%
18 17 6.594 16.549 9.955 26.19% 119.85%
19 18 6.594 16.207 9.613 24.54% 112.30%
20 19 6.594 15.836 9.242 22.75% 104.11%
21 20 6.594 15.512 8.918 21.19% 96.95%
22 21 6.594 15.171 8.577 19.54% 89.42%
23 22 6.594 14.747 8.153 17.49% 80.06%
24 23 6.594 14.476 7.882 16.19% 74.07%
25 24 6.594 14.178 7.584 14.75% 67.49%
26 25 6.594 13.944 7.350 13.62% 62.32%
27 26 6.594 13.691 7.097 12.40% 56.74%
28 27 6.594 13.517 6.923 11.56% 52.89%
29 28 6.594 13.318 6.724 10.60% 48.50%
30 29 6.594 12.908 6.314 8.62% 39.44%
31 30 6.594 12.708 6.114 7.65% 35.03%
32 31 6.594 12.522 5.928 6.76% 30.92%
33 32 6.594 12.388 5.794 6.11% 27.96%
34 33 6.594 12.235 5.641 5.37% 24.58%
35 34 6.594 12.106 5.512 4.75% 21.73%
36 35 6.594 11.932 5.338 3.91% 17.89%
37 36 6.594 11.820 5.226 3.37% 15.42%
38 37 6.594 11.753 5.159 3.05% 13.94%
39 38 6.594 11.705 5.111 2.81% 12.88%
40 39 6.594 11.660 5.066 2.60% 11.88%
41 40 6.594 11.630 5.036 2.45% 11.22%
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
56
5. Nilai Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan Pada Cabai Dengan
Perendaman Air Panas (Blanching) dan Kecepatan Udara 1,0 m/s
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Waktu
(t) L* a* b* ∆L* ∆a* ∆b* ∆E* C* ∆C* ∆H*
0 36.5 42.7 34.5 0.0 0.0 0.0 0.0 54.9 0.0 0.0
1 34.5 42.2 35.3 2.0 0.5 -0.8 2.2 55.0 -0.1 3.0
2 34.7 36.8 32.7 1.8 5.8 1.8 6.4 49.2 5.6 8.7
3 34.5 36.3 32.5 2.0 6.3 2.0 6.9 48.7 6.1 9.5
4 34.2 35.2 31.7 2.3 7.5 2.8 8.3 47.3 7.5 11.5
5 32.5 35.8 31.2 4.0 6.8 3.3 8.6 47.5 7.4 12.0
6 32.5 36.8 31.2 4.0 5.8 3.3 7.8 48.2 6.6 11.0
7 28.2 33.5 28.0 8.3 9.2 6.5 14.0 43.7 11.2 19.8
8 24.7 30.8 24.8 11.8 11.8 9.7 19.3 39.6 15.3 27.3
9 24.5 30.3 24.3 12.0 12.3 10.2 20.0 38.9 16.0 28.3
10 22.5 29.3 23.7 14.0 13.3 10.8 22.2 37.7 17.2 31.3
11 22.0 29.5 23.0 14.5 13.2 11.5 22.7 37.4 17.5 32.1
12 21.8 24.7 22.7 14.7 18.0 11.8 26.1 33.5 21.4 36.8
13 21.2 23.3 26.8 15.3 19.3 7.7 25.8 35.6 19.3 35.7
14 21.0 22.0 19.8 15.5 20.7 14.7 29.7 29.6 25.2 42.0
15 19.5 21.7 18.5 17.0 21.0 16.0 31.4 28.5 26.4 44.4
16 20.3 21.5 18.7 16.2 21.2 15.8 31.0 28.5 26.4 43.8
17 19.3 21.5 18.5 17.2 21.2 16.0 31.6 28.4 26.5 44.7
18 18.8 21.7 17.5 17.7 21.0 17.0 32.3 27.9 27.0 45.7
19 18.5 22.8 17.2 18.0 19.8 17.3 31.9 28.6 26.3 45.1
20 16.8 20.8 17.2 19.7 21.8 17.3 34.1 27.0 27.9 48.2
21 16.8 20.0 16.0 19.7 22.7 18.5 35.3 25.6 29.3 49.9
22 16.8 19.5 15.3 19.7 23.2 19.2 35.9 24.8 30.1 50.8
23 16.7 19.2 15.3 19.8 23.5 19.2 36.2 24.5 30.3 51.2
24 16.5 18.8 14.0 20.0 23.8 20.5 37.3 23.5 31.4 52.7
25 15.7 18.3 13.7 20.8 24.3 20.8 38.2 22.9 32.0 54.0
26 15.2 17.7 13.2 21.3 25.0 21.3 39.2 22.0 32.8 55.4
27 14.8 17.3 13.2 21.7 25.3 21.3 39.6 21.8 33.1 56.0
57
6. Nilai Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan Pada Cabai Tanpa
Perendaman (Non Blanching) dan Kecepatan Udara 1,0 m/s
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Waktu
(t) L* a* b* ∆L* ∆a* ∆b* ∆E* C* ∆C* ∆H*
0 40.5 51.2 38.0 0.0 0.0 0.0 0.0 63.7 0.0 0.0
1 39.3 51.5 36.8 1.2 -0.3 1.2 1.6 63.3 0.4 2.0
2 39.3 51.2 36.7 1.2 0.0 1.3 1.6 62.9 0.8 2.2
3 38.8 49.0 36.5 1.7 2.2 1.5 3.0 61.1 2.6 4.3
4 38.3 48.0 34.8 2.2 3.2 3.2 4.2 59.3 4.4 6.5
5 37.0 43.7 33.3 3.5 7.5 4.7 8.6 54.9 8.8 12.8
6 36.0 43.3 34.7 4.5 7.8 3.3 9.2 55.5 8.2 13.2
7 34.2 42.8 33.2 6.3 8.3 4.8 10.7 54.2 9.6 15.7
8 35.5 42.5 32.7 5.0 8.7 5.3 10.3 53.6 10.1 15.3
9 35.3 42.2 32.3 5.2 9.0 5.7 10.6 53.1 10.6 15.9
10 35.2 41.0 32.2 5.3 10.2 5.8 11.7 52.1 11.6 17.4
11 33.0 41.0 31.8 7.5 10.2 6.2 12.9 51.9 11.8 19.0
12 33.3 39.7 31.8 7.2 11.5 6.2 13.8 50.9 12.9 20.2
13 32.7 39.0 30.0 7.8 12.2 8.0 14.7 49.2 14.5 22.1
14 32.5 39.8 31.5 8.0 11.3 6.5 14.1 50.8 13.0 20.8
15 32.2 40.0 31.2 8.3 11.2 6.8 14.2 50.7 13.0 21.0
16 32.0 39.0 31.3 8.5 12.2 6.7 15.1 50.0 13.7 22.1
17 31.7 38.8 30.7 8.8 12.3 7.3 15.4 49.5 14.3 22.8
18 31.7 38.5 29.5 8.8 12.7 8.5 15.7 48.5 15.2 23.6
19 31.3 38.3 29.0 9.2 12.8 9.0 16.1 48.1 15.7 24.2
20 30.5 38.5 28.8 10.0 12.7 9.2 16.4 48.1 15.6 24.8
21 30.3 37.5 28.5 10.2 13.7 9.5 17.3 47.1 16.6 26.1
22 30.3 37.3 28.5 10.2 13.8 9.5 17.4 47.0 16.8 26.2
23 29.2 36.8 28.3 11.3 14.3 9.7 18.5 46.5 17.3 27.7
24 29.2 35.2 28.2 11.3 16.0 9.8 19.9 45.1 18.7 29.5
25 28.3 34.7 27.8 12.2 16.5 10.2 20.7 44.5 19.3 30.8
26 27.7 34.5 27.3 12.8 16.7 10.7 21.3 44.0 19.7 31.7
27 27.0 34.0 27.2 13.5 17.2 10.8 22.1 43.5 20.2 32.8
58
7. Nilai Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan Pada Cabai Dengan
Perendaman Air Panas (Blanching) dan Kecepatan Udara 1,5 m/s
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Waktu
(t) L* a* b* ∆L* ∆a* ∆b* ∆E* C* ∆C* ∆H*
0 38.0 44.8 34.2 0.0 0.0 0.0 0.0 56.4 0.0 0.0
1 36.2 44.3 33.2 1.8 0.5 1.0 2.1 55.4 1.0 3.0
2 36.2 41.5 33.0 1.8 3.3 1.2 4.0 53.0 3.3 5.5
3 35.0 41.3 31.5 3.0 3.5 2.7 5.3 52.0 4.4 7.5
4 33.8 40.8 31.3 4.2 4.0 2.8 6.4 51.5 4.9 9.1
5 33.5 40.5 30.8 4.5 4.3 3.3 7.1 50.9 5.5 10.0
6 34.5 40.0 31.7 3.5 4.8 2.5 6.5 51.0 5.4 9.1
7 32.0 39.7 30.7 6.0 5.2 3.5 8.7 50.1 6.2 12.2
8 31.8 38.8 29.7 6.2 6.0 4.5 9.7 48.9 7.5 13.7
9 31.5 38.7 29.0 6.5 6.2 5.2 10.3 48.3 8.0 14.6
10 31.5 38.0 28.3 6.5 6.8 5.8 11.1 47.4 9.0 15.7
11 30.5 32.2 27.5 7.5 12.7 6.7 16.2 42.3 14.0 22.7
12 30.3 35.8 27.0 7.7 9.0 7.2 13.8 44.9 11.5 19.5
13 31.0 36.5 26.0 7.0 8.3 8.2 13.6 44.8 11.6 19.2
14 30.0 35.2 25.7 8.0 9.7 8.5 15.2 43.5 12.8 21.4
15 28.7 34.7 24.7 9.3 10.2 9.5 16.8 42.5 13.8 23.6
16 28.3 32.7 23.0 9.7 12.2 11.2 19.1 40.0 16.4 27.0
17 28.2 33.0 21.7 9.8 11.8 12.5 19.8 39.5 16.9 27.8
18 27.5 31.7 21.5 10.5 13.2 12.7 21.1 38.3 18.1 29.7
19 27.7 31.5 19.7 10.3 13.3 14.5 22.2 37.1 19.2 31.2
20 26.8 29.7 19.5 11.2 15.2 14.7 23.9 35.5 20.9 33.6
21 26.8 26.7 21.0 11.2 18.2 13.2 25.1 33.9 22.4 35.4
22 26.2 25.3 18.3 11.8 19.5 15.8 27.8 31.3 25.1 39.3
23 25.5 26.5 17.7 12.5 18.3 16.5 27.7 31.8 24.5 39.0
24 25.3 25.0 18.0 12.7 19.8 16.2 28.6 30.8 25.6 40.4
25 25.0 24.2 17.3 13.0 20.7 16.8 29.7 29.7 26.6 41.9
26 24.0 24.3 17.8 14.0 20.5 16.3 29.7 30.2 26.2 42.0
27 23.7 23.7 16.8 14.3 21.2 17.3 30.9 29.0 27.3 43.7
28 23.3 23.7 16.7 14.7 21.2 17.5 31.1 28.9 27.4 44.0
29 23.0 23.5 16.2 15.0 21.3 18.0 31.7 28.5 27.8 44.8
30 23.2 23.3 15.7 14.8 21.5 18.5 32.0 28.1 28.3 45.2
31 23.7 23.2 16.2 14.3 21.7 18.0 31.6 28.2 28.1 44.7
32 24.5 22.8 15.3 13.5 22.0 18.8 32.0 27.5 28.9 45.1
33 23.7 22.8 15.2 14.3 22.0 19.0 32.4 27.4 29.0 45.8
34 21.5 20.7 14.3 16.5 24.2 19.8 35.4 25.2 31.2 50.0
35 21.0 20.5 13.8 17.0 24.3 20.3 36.0 24.7 31.6 50.8
36 19.8 20.3 12.5 18.2 24.5 21.7 37.4 23.9 32.5 52.8
37 18.7 19.0 12.7 19.3 25.8 21.5 38.8 22.8 33.5 54.8
38 18.7 18.7 12.3 19.3 26.2 21.8 39.2 22.4 34.0 55.4
39 17.3 18.5 12.2 20.7 26.3 22.0 40.1 22.1 34.2 56.6
40 17.0 18.0 12.0 21.0 26.8 22.2 40.6 21.6 34.7 57.4
59
8. Nilai Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan Cabai Non Blanching
dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012.
Waktu
(t) L* a* b* ∆L* ∆a* ∆b* ∆E* C* ∆C* ∆H*
0 39.3 46.0 35.3 0.0 0.0 0.0 0.0 58.0 0.0 0.0
1 38.3 45.2 34.2 1.0 0.8 1.2 1.7 56.6 1.4 2.4
2 38.5 44.7 33.8 0.8 1.3 1.5 2.0 56.0 2.0 2.9
3 37.5 44.5 33.3 1.8 1.5 2.0 2.8 55.6 2.4 4.1
4 35.2 44.3 32.3 4.2 1.7 3.0 4.8 54.9 3.1 7.1
5 34.7 44.0 32.2 4.7 2.0 3.2 5.4 54.5 3.5 7.9
6 34.7 44.2 32.3 4.7 1.8 3.0 5.3 54.7 3.3 7.8
7 34.3 43.8 32.2 5.0 2.2 3.2 5.8 54.4 3.6 8.5
8 34.0 43.5 31.8 5.3 2.5 3.5 6.2 53.9 4.1 9.1
9 33.3 42.8 31.7 6.0 3.2 3.7 7.0 53.3 4.7 10.4
10 34.2 42.7 31.3 5.2 3.3 4.0 6.5 52.9 5.1 9.7
11 30.0 42.5 31.5 9.3 3.5 3.8 10.2 52.9 5.1 14.7
12 33.2 41.7 31.0 6.2 4.3 4.3 7.8 51.9 6.1 11.7
13 31.0 41.5 30.5 8.3 4.5 4.8 9.7 51.5 6.5 14.4
14 31.2 40.5 30.3 8.2 5.5 5.0 10.1 50.6 7.4 14.9
15 31.7 40.0 30.2 7.7 6.0 5.2 10.0 50.1 7.9 14.9
16 31.3 40.5 31.0 8.0 5.5 4.3 9.9 51.0 7.0 14.5
17 30.8 40.3 31.7 8.5 5.7 3.7 10.4 51.3 6.7 15.0
18 30.5 40.0 29.7 8.8 6.0 5.7 10.9 49.8 8.2 16.3
19 30.5 39.8 29.7 8.8 6.2 5.7 11.0 49.7 8.3 16.4
20 30.3 39.7 29.3 9.0 6.3 6.0 11.3 49.3 8.7 16.8
21 30.3 39.8 29.8 9.0 6.2 5.5 11.2 49.8 8.2 16.5
22 30.2 38.7 28.3 9.2 7.3 7.0 12.0 47.9 10.1 18.2
23 30.2 38.3 28.0 9.2 7.7 7.3 12.3 47.5 10.5 18.6
24 30.2 37.3 28.0 9.2 8.7 7.3 12.9 46.7 11.3 19.5
25 30.7 37.8 28.2 8.7 8.2 7.2 12.2 47.2 10.8 18.5
26 30.0 37.7 28.2 9.3 8.3 7.2 12.8 47.0 11.0 19.3
27 29.8 37.2 29.8 9.5 8.8 5.5 13.2 47.7 10.3 19.3
28 29.8 37.0 28.0 9.5 9.0 7.3 13.4 46.4 11.6 20.1
29 29.7 37.0 27.8 9.7 9.0 7.5 13.5 46.3 11.7 20.3
30 29.3 36.5 27.8 10.0 9.5 7.5 14.1 45.9 12.1 21.1
31 28.8 31.2 27.7 10.5 14.8 7.7 18.4 41.7 16.3 26.7
32 28.7 36.0 27.5 10.7 10.0 7.8 14.9 45.3 12.7 22.3
33 28.3 36.2 27.5 11.0 9.8 7.8 15.0 45.4 12.6 22.5
34 28.2 35.8 26.8 11.2 10.2 8.5 15.4 44.8 13.2 23.2
35 27.8 35.5 26.7 11.5 10.5 8.7 15.8 44.4 13.6 23.8
36 27.5 35.3 26.3 11.8 10.7 9.0 16.2 44.1 13.9 24.4
37 26.8 34.8 25.7 12.5 11.2 9.7 17.0 43.3 14.7 25.8
38 25.5 34.5 25.8 13.8 11.5 9.5 18.3 43.1 14.9 27.3
39 25.3 34.5 25.5 14.0 11.5 9.8 18.4 42.9 15.1 27.6
40 25.0 34.2 25.5 14.3 11.8 9.8 18.8 42.6 15.4 28.2
60
9. Perubahan Warna Pada Cabai
Jam 0 Jam 3 Jam 7 Jam 14 Jam 21 Jam 27
Blanching
1
(v=1m/s)
Blanching
2
(v=1m/s)
61
Jam 0 Jam 3 Jam 7 Jam 14 Jam 21 Jam 27
Non
Blanching
1
(v=1m/s)
Non
Blanching
2
(v=1m/s)
62
Jam 0 Jam 3 Jam 7 Jam 14 Jam 21 Jam 27
Blanching 1
(v=1,5m/s)
Blanching 2
(v=1,5m/s)
63
Jam 0 Jam 3 Jam 7 Jam 14 Jam 21 Jam 27
Non
Blanching 1
(v=1,5m/s)
Non
Blanching 2
(v=1,5m/s)
64
Blanching
v= 1,0 m/s
Jam Gambar Warna Nama Buku Nilai L*a*b*
0
Pantone®solid to process
coated EURO
L*= 36,5
a*= 42,6
b*= 34,5
7
Pantone ®solid to process
coated EURO
L*= 28,1
a*= 33,5
b*= 28
14
Pantone®color bridge
CMYK EC
L*= 21
a*= 22
b*= 19,8
27
Pantone®color bridge
CMYK EC
L*= 14,8
a*= 17,3
b*= 13,1
Non Blanching v= 1,0
m/s
0
HKS Z Process L*= 40,5
a*= 51,2
b*= 38
7
TRUMATCH L*= 34,2
a*= 42,8
b*= 33,2
14
Pantone®process
uncoated
L*= 32,5
a*= 39,8
b*= 31,5
27
Pantone ®solid to process
coated EURO
L*= 27
a*= 34
b*= 27
65
Blanching v= 1,5 m/s 0
Pantone®process coated
L*= 38
a*= 44,8
b*= 34,2
7
Pantone®process
coated
L*=32
a*= 39,6
b*= 30,6
14
Pantone®solid coated L*= 30
a*= 35,1
b*= 25,6
27
Pantone®color bridge
CMYK EC
L*= 24
a*= 23,6
b*= 16,8
40
Pantone®color bridge
CMYK PC
L*= 17
a*= 18
b*= 12
Non Blanching v=1,5
m/s
0
Pantone®process
coated
L*=39
a*= 46
b*= 35
7
TRUMATCH L*= 34
a*= 43,8
b*= 32,1
14
Pantone®process
coated
L*= 31,1
a*= 40,5
66
b*= 30,3
27
Pantone®process
uncoated
L*= 39,8
a*= 37,1
b*= 29,8
40
Pantone®color bridge
CMYK PC
L*= 25
a*= 34,1
b*= 25,5