repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,...

169
ISBN 978-602-294-065-4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I Diterbitkan Oleh : Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Universitas Udayana

Transcript of repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,...

Page 1: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

ISBN 978-602-294-065-4

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I

Diterbitkan Oleh :

Program Studi Magister Biologi

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Page 2: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I 2014

“Biodiversitas Sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”

Denpasar, 29 Desember 2014

Editor :

Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS

Dr. Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si

Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc, Ph.D

Ir. Made Pharmawati, M.Sc., Ph.D

Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D

Dr. Ir. Yenni Ciawi

Diterbitkan Oleh :

Universitas Udayana

Page 3: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan

Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 29 Desember 2014, serta

prosiding hasil seminar ini dapat tersusun dan diterbit sesuai rencana. Kegiatan seminar dengan

tema“Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”, merupakan realisasi kerjasama yang telah

dirintis oleh Program Magister Biologi dan Jurusan Biologi Universitas Udayana, dengan North Dakota

State University, USA. Tema ini sangat relevan diangkat karena ketahanan pangan merupakan issue yang

sangat penting dalam dua dekade terakhir. Pertambahan jumlah penduduk dunia yang sangat cepat yang

tidak diimbangi oleh penambahan luasan lahan pertanian telah menyebabkan adanya gap yang sangat

nyata antara produksi pangan dengan jumlah penduduk. Hal ini telah banyak menyebabkan bencana

kelaparan di banyak belahan dunia. Untuk menanggulangi masalah kekurangan pangan ini,

penganekaragaman sumber pangan yang bersumber dari darat dan laut menjadi issue yang sangat krusial,

sehingga hasil–hasil penelitian terkait biodiversitas, terutama yang dapat dijadikan sebagai sumber

pangan, sangat perlu didukung dan disebarluaskan, diantaranya melalui penerbitan prosiding seminar.

Topik yang tercakup dalam prosiding ini adalah Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan

Teknologi Pangan, Genetika dan Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan.

Topik-topik yang disajikan dalam buku sederhana ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam

mengembangkan keanekaragaman pangan, sehingga masalah kekurangan pangan secara bertahap dapat

diatasi.

Pada kesempatan ini, Panitia ingin menyampaikan rasa apresiasi yang sangat tinggi kepada para

peserta seminar, para penyaji makalah dan penyusun naskah, para tim editor dan reviewer, serta pihak-

pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, karena atas kerjasamanya penerbitan prosiding ini

dapat dilakukan.

Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat kepada masyarakat luas, terutama para pemerhati

biodiversitas, mahasiswa, peneliti, pemerintah serta swasta yang memiliki rasa kepedulian terhadap

biodiversitas. Sekali lagi, Terimakasih dan sampai jumpa pada Seminar Nasional Biosains II.

Denpasar, 13 Agustus 2015

Ketua Panitia Penyelenggara

Drs. Yan Ramona, M.App.Sc., Ph.D.

Page 4: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

ii

RINGKASAN

Prosiding ini merupakan kumpulan naskah yang telah disajikan pada Seminar Nasional Biosains I

yang diselenggarakan pada tanggal 29 Desember 2014, bertempat di Gedung Pascasarjana, Universitas

Udayana, Jl. PB Sudirman, Denpasar, Bali. Seminar Nasional Biosains I ini mengangkat tema

“Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”. Ada lima topik yang disajikan dalam

prosiding ini, yaitu Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan Teknologi Pangan, Genetika dan

Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan, dengan total 24 naskah.

Semoga naskah dalam prosiding ini memberi manfaat baik kepada semua pihak yang memiliki

perhatian pada keberlanjutan (sustainabilitas) biodiversitas di Indonesia serta manfaatnya dalam

menunjang ketahanan pangan bagi umat manusia.

Denpasar, 13 Agustus 2015

Tim Penyunting

Page 5: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................... i

RINGKASAN ................................................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................................. iii

MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK

MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE) ......................................................... 1 Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta ............................................................................. 1

VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze,

MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK ................. 12 Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni ......................................... 12

KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.) DI

BALI ............................................................................................................................................................... 20 Eniek Kriswiyanti ....................................................................................................................................... 20

TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT, FRAKSI

HUMAT, DAN MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI .............................. 26 Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu ................................ 26

BIOASSAY EKSTRAK KASAR (CRUDE EXTRACT) DAUN BROTOWALI (Tinospora crispa (L)

Miers) PADA BAKTERI GRAM POSITIF DAN BAKTERI GRAM NEGATIF ......................................... 35 Ida Ayu Putu Suryanti ................................................................................................................................. 35

KARAKTER MORFOLOGI DAN TINGKAT PERTUMBUHAN ANAKAN SEBAGAI BUKTI

TAKSONOMI PENDUKUNG VARIETAS Pandanus tectorius ASAL PULAU ROSWAR, TELUK

WONDAMA, WEST PAPUA ........................................................................................................................ 41 Nurhaidah I. Sinaga

1, Martinus Iwanggin

1, Cicilia M.E. Susanti

1 ............................................................... 41

STRUKTUR ANATOMI AKAR, BATANG DAN DAUN SERTA PENYEBARAN STOMATA DAN

TRIKOMATA PADA Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl ...................................................................... 48 Ni Putu Adriani Astiti ................................................................................................................................. 48

PERKEMBANGAN STRUKTUR MORFOLOGI EMBRIO CENDANA (Santalum Album Linn.) DARI

BUNGA MEKAR HINGGA TERBENTUKNYA BUAH MUDA ................................................................ 55 Ni Putu Yuni Astriani Dewi

1, Eniek Kriswiyanti

1,2, Ni Nyoman Darsini

2................................................... 55

DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN RAMBUTAN RAPIAH (Nephelium lappaceum L.) TERHADAP

PERTUMBUHAN TANAMAN KUNYIT ..................................................................................................... 64 Anak Agung Istri Mirah Dharmadewi

1, Ni Putu Adriani Astiti

1, Luh Putu Wrasiati

2 ................................ 64

PELAKSANAAN AWIG-AWIG FAKTOR KEBERHASILAN BIOLOGI KONSERVASI JALAK BALI

(Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 ) DI KEPULAUAN NUSA PENIDA ........................................... 72 Sudaryanto

1, Cut Sugandawaty Djohan

2, Satyawan Pudyatmoko

3, Jusup Subagja

2 .................................... 72

Page 6: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

iv

KONSERVASI HUTAN MANGROVE MELALUI DIVERSITAS PANGAN OLAHAN BUAH

MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN POHUWATO GORONTALO ................................................... 80 Ramli Utina

1,2, Jusna Ahmad

1, Abubakar Sidik Katili

1,2, Mustamin Ibrahim

1, ............................................ 80

GAMBARAN HISTOLOGI HATI TIKUS (Rattus norvegivus) YANG DIINJEKSI WHITE VITAMIN

C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA ............................................................................. 87 Ni Wayan Sudatri, Iriani Setyawati, Ni MadeSuartini, Dwi Ariani Yulihastuti ........................................... 87

KERAGAMAN GENETIK DNA MIKROSATELIT BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) ..... 95 I Wayan Rosiana, I Gede Widhiantara ........................................................................................................ 95

SEROPREVALENSI TUBERKULOSIS PADA SAPI BALI SEBAGAI LANGKAH AWAL

MONITORING PENCEGAHAN PENYAKIT ZOONOSIS (NEW EMERGING DISEASE) DI

PROVINSI BALI............................................................................................................................................ 101 Hapsari Mahatmi

1, Nyoman Adi Suratma

1, Nengah Kerta Besung

1 Ketut Budiasa

1, G.P. Widiarsa

2 .......... 101

STUDI EPIDEMIOLOGI KOKSIDIOSIS PADA SAPI DI BALI ................................................................. 107 Nyoman Adi Suratma, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata ................................................................... 107

POTENSI Lactobacillus rhamnosus SKG34 SEBAGAI STARTER YOGHURT DAN VIABILITASNYA

SELAMA PENYIMPANAN .......................................................................................................................... 113 Komang Ayu Nocianitri

1, I Nengah Sujaya

2, Ni Nyoman Puspawati

3 ........................................................ 113

EVALUASI SIFAT KIMIA DAN SENSORIS ROTI BUN YANG MEMANFAATKAN TEPUNG

SUWEG (Amorphopallus campanulatus B1) SEBAGAI BAHAN PENSUBSTITUSI TERIGU .................. 122 I DP. Kartika Pratiwi

*, Ni Made Indri Hapsari A., A.A.G.N. Anom Jambe ................................................ 122

POTENSI Streptomyces sp. DALAM MENGHAMBAT BAKTERI Klebsiella pneumoniae RESISTEN

TERHADAP AMPISILIN .............................................................................................................................. 130 Kadek Desy Kartika

1, Retno Kawuri

2, Putra Dwija

3 ................................................................................... 130

BIOREMEDIASI PERAIRAN TERCEMAR LIMBAH INDUSTRI PENCELUPAN DENGAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR SECARA OPTIMAL ........................................................................ 138 Ni Made Susun Parwanayoni dan Ni Luh Suryani ...................................................................................... 138

DESKRIPSI PERBEDAAN JUMLAH INDIVIDU KEPITING MANGROVE, SPESIES Scylla serrata

DAN Uca sp SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN PADA EKOSISTEM

MANGROVE DI DESA BULALO KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO

UTARA .......................................................................................................................................................... 145 Abubakar Sidik Katili

1,2),

Ramli Utina

2,2), Chairunnisah J.Lamangantjo

3,2) .............................................. 145

ASOSIASI MAKROZOOBENTOS PADA PADANG LAMUN DI PANTAI MERTA SARI DAN

SINDHU, SANUR-BALI ............................................................................................................................... 153 Gede Surya Indrawan

1, Deny Suhernawan Yusup

1, Devi Ulinuha

2............................................................. 153

Page 7: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

1

MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK

MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE)

MODIFICATION OF COCOYAM STARCH WITH HEAT MOISTURE TREATMENT TO

IMPROVE CHARACTERISTICS OF STARCH NOODLE

Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta

Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Email: [email protected]

INTISARI

Pati talas kimpul alami memiliki stabilitas tekstur yang kurang kokoh, memiliki profil pasta pati

dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti dengan viskositas breakdown yang tinggi dan viskositas

pasta dingin yang rendah. Perlakuan HMT (Heat Moisture Treatment) diharapkan penggunaan pati talas

kimpul dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan HMT

terhadapat pati talas kimpul dan mengetahui karakteritik pati talas kimpul termodifikasi yang nantinya

diaplikasikan pada pembuatan sohun. Talas kimpul diekstraksi, selanjutnya diberi perlakuan HMT yang

dikondisikan pada kadar air 30%, suhu 110OC dengan variasi waktu pmanasan 0, 4,8 dan 10 jam. Pati

talas kimpul alami dan pati HMT dianalisis meliputi kadar air, kadar amilosa dan sifat amilografinya.

Pati HMT yng menunjukkan hasil terbaik digunakan untuk pembuatan sohun dan dilakukan pengamatan

sifat noodlenya secara visual. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan terbaik hasil modifikasi adalah

perlakuan HMT 4 jam dengan analisis meliputi kadar air 10,26%, kadar amilosa 28,91% serta tidak

memiliki puncak viskositas tapi peningkatan viskositas terus terjadi selama pemanasan hingga akhir

pendinginan sebesar 6200cp.

Kata kunci: pati, talas kimpul, heat moisture treatment, sohun

ABSTRACT

A native cocoyam starch has a softer textural stability, has starch paste profile with high peak

viscosity followed by a high breakdown viscosity and low cold paste viscosity. Treated with (HMT) heat

moisture treatment, is expected to improve the application of cocoyam starch. The study aimed to observe

the effect of different heat moisture treatment on the characteristic of cocoyam starch and also to know

the best modified starch for application starch noodle preparation. Cocoyam starch extracted, then

treated with HMT was adjusted at restrict water content 30%, temperature 110OC for different time 0,4,8

and 16 hours. Native and treated starch were analysed for the water content, amilosa content and

amilograph profile. HMT which showed the best performance, were made into starch noodle and

evaluated the properties with visual. The result showed the best treatment of modificatiom was HMT

treated 4 hours with analysis results include water content 10.26%, amilose content 28.91% and no

pasting peak but rather a high viscosity which remains constantor increases during cooling.

Keywords: starch, cocoyam, heat moisture treatment, starch noodle

Page 8: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

2

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan menjadi masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Untuk mengatasi masalah

tersebut pemerintah melaksanakan beberapa program dan kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan

ketaha nan pangan nasional salah satunya adalah dengan penganekaragaman pangan (diversifikasi

pangan). Program ini ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif sumber

karbohidrat selain beras adalah dengan menggunakan komoditas lain yang dapat diperoleh secara lokal

dengan harga murah. Salah satu tanaman sumber karbohidrat yang berpotensi besar untuk dikembangkan

adalah talas kimpul.

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) atau yang dikenal di Bali dengan keladi merupakan

jenis umbi-umbian dan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peranan yang cukup strategis tidak

hanya sebagai sumber pangan dan bahan baku industri tetapi juga pakan ternak. Produk pangan yang

dibuat menggunakan bahan baku talas kimpul sangat jarang ditemui. Talas kimpul umumnya diolah

hanya dengan jalan direbus saja oleh masyarakat, sehingga kurang mempunyai nilai ekonomis.

Pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup saat ini menjadi isu yang

sangat penting. Makanan selain nasi kian digemari sepert roti, mie, bihun, kwetiau dan sohun karena

kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi menjadi pilihan pengganti bahan makanan pokok beras.

Pada umumnya pati talas kimpul memiliki sifat inferior untuk diproduksi menjadi sohun

(starch noodle). Sohun atau soun (suun) adalah produk makanan sejenis bihun atau mie halus yang dibuat

dari pati (Anon., 2012a). Dibanding jenis mie dan bihun, sohun lebih liat dan tidak mudah putus. Sohun

dijual dalam keadaan kering dan terlipat setelah direbus atau direndam, sohun berwarna bening,

bertekstur kenyal, dan memiliki permukaan yang licin.

Kualitas sohun banyak dipengaruhi oleh pati sebagai bahan dasarnya. Menurut Lii and Chang

(1991) di Cina, pati yang ideal untuk bahan dasar pengolahan sohun harus mempunyai kadar amilosa

yang tinggi seperti pati kacang hijau sebesar 33%, sedangkan pati talas mengandung amilosa sebesar

20-25% (Setyowati et al., 2007). Pati alami memiliki stabilitas tekstur yang baik, namun memiliki

keterbatasan saat pemanasan dan cenderung mudah teretrogradasi, sehingga memiliki keterbatasan

penggunaanya di dalam industri.

Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hydrogen dengan cara

terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya. Modifikasi pati diharapkan dapat

memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional dari pati alami. Salah satu cara modifikasi pati yang dapat

dilakukan untuk mengubah sifat-sifat pati adalah dengan cara Heat Moisture Treatment (HMT).

Perlakuan HMT pada pati didefenisikan sebagai modifikasi pati secara fisik dengan mengkombinasikan

antara kadar air dan panas yang akan merubah sifat-sifat pati. HMT dilakukan pada suhu diatas suhu

gelatinisasi (80-120OC) dan dengan kadar air kurang dari 35% (Stute, 1992).

Modifikasi pati secara fisikawi ini juga dianggap lebih alami dan aman dibandingkan dengan

memodifikasi pati dengan cara kimiawi. Modifikasi pati secara HMT relatif aman dan sederhana untuk

dilakukan, karena modifikasi ini tidak menggunakan bahan kimiawi dalam melakukan modifikasi

sehingga sangat cocok dilakukan untuk pati yang akan digunakan dalam bahan pangan.

Oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi pati alami dan pati

talas kimpul termodifikasi HMT yang kemudian akan digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh

HMT terhadap sifat fungsional pati yang diaplikasikan dalam pembuatan sohun (starch noodle).

Page 9: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

3

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Analisa Hasil Pangan, Laboratorium Biokimia dan

Nutrisi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali, Laboratorium Balai Besar Tanaman Padi,

Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli - Desember 2012.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah talas dari perkebunan petani, aquades,

HCL 25 %, NaOH 1%, Etanol 95%, Asam asetat, larutan Iod 2% dan bahan kimia untuk analisis.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixer, oven, plastik, pengemas vakum, ayakan

100 mesh, propipet, gelas ukur, pipet, loyang, kompor, panci, pencetak sohun, timbangan, pengaduk

mekanik atau manual, kabinet dyer, pisau, desikator, blender, spektrofotometer, perajang mekanis,

waterbath, Brabender Amylograph, Teksture analyzer serta alat-alat analisis lainnya.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yakni ekstraksi pati talas, selanjutnya modifikasi pati talas

dengan HMT dan pembuatan sohun (starch noodle). Pada penelitian ini diawali dengan mengekstraksi

pati talas dengan menggunakan metode Collado and Corke (1997). Pati talas alami yang telah

diekstraksi dianalisis rendemennya. Tahap selanjutnya adalah pembuatan pati HMT menggunakan

metode (Collado et al., 2001) yang dimodifikasi. Pati alami dan pati HMT kemudian dianalisis meliputi

kadar air, kadar amilosa dan amilografi pati. Kemudian perlakuan HMT terbaik diaplikasikan dalam

pembuatan starch noodle yang dibandingkan dengan pati alami (Gambar 1).

Page 10: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

4

Gambar 1. Diagram alir jalannya penelitian

Tahap 1. Ekstraksi Pati Talas

Pati talas diekstraksi dengan tahapan sebagai berikut : talas dicuci dan dikupas, lalu diparut.

Hasil parutan talas kemudian diekstraksi dengan perbandingan air dan bahan 1: 1 dan dilakukan

penyaringan dengan menggunakan ka in sa r ing diperoleh filtrat 1. Ampas yang diperoleh, kemudian

dicampurkan lagi dengan air dengan perbandingan air dan ampas 1: 0,5 dan dilakukan penyaringan

hingga diperoleh filtrat 2. Filtrat 1 dan 2 dicampur, kemudian dilakukan pengendapan selama 6 jam,

dan setiap 3 jam dilakukan penggantian air. Air dan endapan kemudian dipisah dan endapan yang

diperoleh disebut pati basah. Pati basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering

selama 24 jam pada suhu 50ºC, hingga diperoleh pati kering. Pati kering selanjutnya digiling dan diayak

dengan menggunakan ayakan ukuran 100 mesh, dan diperoleh pati dalam bentuk tepung. Pati yang

diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.

Page 11: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

5

Tahap 2. Heat Moisture Treatment

Modifikasi pati dengan HMT dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi.

Cara modifikasi pati dengan HMT adalah sebagai berikut :

Pati alami yang digunakan diatur kadar airnya menjadi 30%, kemudian disimpan pada suhu 4°C

selama 24 jam. Lalu dilakukan pemanasan dengan menggunakan oven pada suhu 110°C dengan

perlakuan lama pemanasan HMT 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Pati kemudian langsung didinginan untuk

mencegah gelatinisasi lebih lanjut, dan dilakukan pengeringan pada suhu 50°C selama 4 jam. Pati HMT

kemudian didinginkan pada suhu kamar selama 1 jam. Lalu pati dikemas dan dianalisis. Analisis yang

dilakukan meliputi kadar air (AOAC,1994), kadarar amilosa (AOAC, 1994), dan amilografi pati.

Tahap 3. Pembuatan Sohun (Starch noodle)

Metode pembuatan bihun instan mengacu pada Collado et al.(2001): Purwani et.al (2006) yang

dimodifikasi. Pembuatan bihun instan terdiri atas beberapa tahap, meliputi pembuatan binder adonan,

pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan, dan pengeringan. Tingkat substitusi pati modifikasi

HMT yang digunakan adalah 50% terhadap pati talas alami. Produksi sohun diawali dengan pembentukan

binder (perekat). Pembentuan binder dilakukan dengan mengelatinisasi sebagian pati (10%) yang akan

digunakan dalam pembuatan adonan sohun dengan menambahkan air dengan perbandingan (1 : 7 b/v).

Pati yang digunakan sebagai binder adalah pati talas alami mengingat pati talas termodifikasi memiliki

daya rekat yang lebih rendah. Selanjutnya suspensi pati dipanaskan selama 5 menit atau hingga mengental

yaitu mempunyai penampakan yang transparan. Pati yang telah mengental atau tergelatinisasi seluruhnya

digunakan sebagai binder.

Sisa Pati talas campuran antara pati talas alami dengan pati HMT (90%) dicampur dengan binder.

Campuran diaduk dan diadon hingga merata. Adonan yang sempurna terbentuk ketika pati kering telah

tercampur merata dan terikat oleh binder sehingga dapat menyatu saat digenggam. Selanjutnya adonan

dicetak pada mesin pencetak mie dan dilanjutkan dengan proses pengukusan yang berlangsung selama 4

menit. Sohun dikukus selama 2 menit kemudian dikeluarkan untuk dibalikkan susunannya. Selanjutnya

sohun dikukus kembali selama 2 menit.

Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak kelompok untuk analisis kadar amilosa dan

kadar air pati HMT yang dibandingkan dengan pati alami. Analisis variabel dilakukan untuk mengetahui

pengaruh perlakuan HMT terhadap sifat amilografi pati (suhu gelatinisasi, puncak viskositas, trough,

breakdown, setback, dan viskositas akhir) menggunakan ANOVA. Apabila pengaruhnya signifikan

(P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

Perlakuan lama HMT: T1 : 4 jam, T2 : 8 jam, T3 : 16 jam

Perlakuan diulang 3 kali sehingga didapat 12 unit percobaan. Masing-masing ulangan dilakukan

analisis sesuai dengan parameter yang diamati yang selanjutnya dibandingkan dengan kontrol.

Page 12: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

6

HASIL

Rendemen Pati

Tabel 1. Rendemen Pati Talas Alami

No Jenis Pati Rendemen (%)

1 Pati Alami 19.21

Kadar Air

Tabel 2. Kadar Air Pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT

No Perlakuan Kadar Air b/b (%)

1 T0 11,73 (a)

2 T1 10,26 (b)

3 T2 9,65 (b)

4 T3 8,87 (c)

Ket : Huruf yang sama menunjukkan bahwa kadar air tidak berbeda nyata pada

tingkat kepercayaan 95%.

Kadar Amilosa

Tabel 3. Kadar Amilosa pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT

No Perlakuan Kadar Amilosa (%)

1 T0 28,17 (b )

2 T1 28,91 (a)

3 T2 28,77 (a)

4 T3 28,37 (ab)

Ket : Huruf yang sama menunjukkan bahwa kadar amilosa tidak berbeda nyata

pada tingkat kepercayaan 95%.

Page 13: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

7

Amilografi

Gambar 2. Kurva amilografi Pati talas Kimpul Modifikasi

Tabel 4. Profil Pasta Pati Talas alami dan Pati Modifikasi HMT

Karakteristik Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Suhu awal gelatinisasi (OC) 71.23 78.57 82.70 79.83

Suhu puncak gelatinisasi (OC) 93.40 ND ND ND

Viskositas puncak (Cp) 3312.50 ND ND ND

Viskositas pasta panas (Cp) 3112.50 ND ND ND

Viskositas pasta dingin (Cp) 4879.17 6200.00 3975.00 5179.17

Viskositas breakdown (Cp) 200.00 ND ND ND

Viskositas set back (Cp) 1766.67 ND ND ND

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0 5 10 15 20 25 30 35 40

VIS

KO

SIT

AS

(C

p)

T (MENIT)

T0

T1

T2

T3

SUHU

Page 14: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

8

Sohun (Strach Noodle)

Tabel 5. Pengamatan visual sohun pati talas alami dan HMT 4 jam

Perlakuan Pengamatan visual

Pencetakan Pengukusan

Sohun alami untaian sohun mudah putus bila ditarik mudah putus

tekstur rapuh tergelatinisasi kurang sempurna

warna lebih putih Ukuran sohun kurang mengembang

Sohun HMT 4 jam Untaian sohun tidak mudah putus bila ditarik liat dan tidak mudah putus

tekstur lebih kokoh tergelatinisasi sempurna

warna agak putih/sedikit lebih buram Ukuran sohun mengembang

PEMBAHASAN

Rendemen Pati

Rendemen pati adalah perbandingan antara berat pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi

dengan berat bahan dasarnya. Rendemen pati secara langsung tidak mempengaruhi mutu produk pati

namun memiliki dampak pada aspek ekonomi pengolahan pati talas, karena rendemen yang tinggi

akan lebih menguntungkan produsen pati talas.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen pati talas sebesar 19,21%. Perbedaan kadar rendemen

pati talas bisa disebabkan oleh perbedaan varietas, usia tanam, dan proses ekstraksi, dimana proses

ekstraksi pati yang optimal akan menghasilkan rendemen pati talas yang tinggi. Semakin tinggi kandungan

pati talas segar diharapkan semakin tinggi rendemen pati yang dapat diekstrak dari talas

Kadar Air

Kadar air bahan pangan erat kaitannya dengan umur simpan bahan pangan tersebut, semakin

rendah kadar air dalam bahan pangan maka akan semakin lama bahan tersebut dapat disimpan dan

tentunya akan lebih aman dari kemungkinan kerusakan akibat kontaminasi dari lingkungan sekitarnya,

misalnya dari mikroorganisme. Hasil pengamatan erhadap kadar air pati talas alami dan pati talas

modifikasi HMT yang dihasilkan setelah dianalisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Data Tabel 2 menunjukkan bahwa perbedaan lama pemanasan perlakuan HMT berpengaruh

nyata terhadap kadar air pati talas yang dihasilkan. Kadar air tertinggi sebesar 11,73% pada perlakuan T0

(pati alami). Sedangkan kadar air terendah pada perlakuan HMT 16 jam. Kadar air pati HMT berkisar

8,87% sampai dengan 10,26%. Makin lama waktu HMT kadar air yang dihasilkan makin rendah,

dikarenakan semakin lamanya waktu pemanasan air pada bahan akan menguap lebih banyak. Kadar air

pati talas yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan kadar air beberapa jenis umbi yang lain

seperti ubi jalar pada penelitian yang dilaporkan Chen (2003) yaitu berkisar antara 8,6% sampai dengan

9,4%. Lama pemanasan dan banyaknya air yang terikat pada granula pati sangat mempengaruhi kadar

air pada pati.

Page 15: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

9

Kadar Amilosa

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan HMT selama 4 jam (T1) memiliki kadar

amilosa tertinggi yaitu 28,.91% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 8 jam (T2) dan 16 jam

(T3). Sedangkan kadar amilosa terendah adalah perlakuan pati alami 0 jam (TO) sebesar 28,17% yang

tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 16 jam (T3). Perbedaan lama waktu HMT berpengaruh nyata

terhadap kadar amilosa pati talas. Kadar amilosa pati talas alami dan hasil modifikasi HMT pada

penelitian ini berkisar 28% lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian (Setyowati et al., 2007)

mengandung amilosa sebesar 20-25%. Kadar amilosa merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi sifat pasting dan retrogradasi pati.

Kadar amilosa yang cenderung mengalami sedikit peningkatan dengan makin lamanya waktu

pemanasan. Keadaan ini diduga terjadi karena pada saat melakukan modifikasi dengan HMT, molekul

amilopektin mengalami degradasi pada rantai eksteriornya yang menyebabkan penurunan jumlah molekul

besar, tetapi menaikan jumlah molekul kecil. Rantai eksterior hasil degradasi tersebut merupakan rantai-

rantai linier dan berbentuk helix ganda, sehingga dapat dikatakan menyerupai molekul amilosa dan

mampu melakukan pengikatan dengan molekul amilosa melalui ikatan hydrogen (Lu et al., 1996).

Amilografi Pati

Setiap pati dari berbagai jenis tanaman memiliki sifat gelatinisasi yang berbeda. Hasil

pengamatan terhadap hasil pengukuran pasta pati dan sifat amilografi yang dihasilkan dapat dilihat pada

Gambar 2 dan profil pasta pati talas alami dan pati modifikasi pada perlakuan lama HMT yang

berbeda dapat dilihat pada table 4. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan lama HMT

memberikan pengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi pati alami dan pati modifikasi HMT yang

cenderung mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu HMT (Gambar 2). Suhu

gelatinisasi terendah adalah pada pati talas alami sebesar 71,.23 OC dan tertinggi adalah perlakuan HMT 8

jam (T2) sebesar 82,70OC. Diduga bahwa proses HMT menyebabkan meningkatnya kristalinitas pati

karena adanya perubahan dari struktur granula pati. kokohnya ikatan intramolekul pati karena HMT

membuat pati membutuhkan panas yang lebih besar untuk memecah struktur pati dan pembentukan pasta

terjadi. Keadaan ini menggambarkan bahwa pati HMT mempunyai kestabilan yang tinggi terhadap

panas (Lii et al., 1995) Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh

Collado and Corke (1999); Collado et al., 2001; Sigh et al. (2005); tsakama et al., 2011 pada pati ubi

jalar, serta penelitian Pukkahuta et al. (2008) pada pati jagung.

Pati alami memiliki viskositas puncak 3312.50 Cp, viskositas pasta panas 3112,50 Cp, viskositas

pasta dingin 4879.17 Cp, breakdown 200 Cp, set back 1766.67 Cp. Suhu gelatinisasi yang tinggi, puncak

viskositas yang menandakan pengembangan granula pati yang terbatas dan nilai breakdown rendah

meggambarkan kestabilan granula pati yang rendah, serta nilai setback dan Viskositas akhir gelatinisasi

yang tinggi, menggambarkan pati talas alami memiliki pola amilografi tipe B (puncak pasta lebih

rendah dan pengenceran yang tidak terlalu besar selama pemanasan) sehingga penelitian tersebut

berhasil mengubah pasta pati talas alami yang memiliki pasta pati tipe B dengan modifikasi HMT

menjadi pasta pati tipe C. Hal ini sejalan dengan penelitian (Collado et al., 2001); Tsakama et al., 2011)

pada pati ubi jalar dan Jiranuntakul et al., 2011) pada pati beras dan jagung yang mengubah pasta pati tipe

A menjadi tipe C.

Page 16: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

10

Sohun (Strach Noodle)

Pengamatan sohun dilakukan secara visual pada pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi

HMT terbaik yaitu pada perlakuan HMT 4 jam (T1) dikarenakan pati HMT 4 jam memiki pola amilografi

tipe C sehingga sesuai untuk karakteristik dijadikan sohun yaitu tidak memiliki viskositas puncak tetapi

lebih menunjukkan pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan

bahkan sampai pendinginan (Chen et al., 2003; Purwani et al., 2006). Bila dibandingkan dengan

perlakuan T2 (8 jam) dan T3 (16jam) yang juga memiliki pola amilografi tipe C, viskositas pati HMT

(T1) memiliki viskositas yang lebih tinggi sampai pada pendinginan (retrogradasi) suhu 50OC.

Pengamatan terhadap lembaran sohun dilakukan setelah pencetakan adonan sohun dan juga setelah

pengukusan. Pengamatan sohun alami dan sohun modifikasi HMT dapat dilihat pada Tabel 5.

Bila dilihat pada table 5, baik pada pencetakan ataupun pada pengukusan pati alami memiliki

tekstur yang lebih rapuh dan mudah putus dibandingkan dengan pati modifikasi HMT. Demikian pula

bila dilakukan pengukusan dengan waktu yang sama.

SIMPULAN

Pati HMT terbaik adalah lama HMT 4 jam yang dilihat dari pofil dan kurva amilografinya

dikarenakan perlakuan HMT 4 jam tidak memiliki viskositas puncak tetapi lebih menunjukkan pada

pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan bahkan sampai

pendinginan (profil pasta tipe C). Sohun yang dibuat dari pati HMT 4 jam memiliki tekstur yang lebih

kokoh dan untaian sohun tidak mudah putus pada saat pencetakan. Demikian pula pada saat pengukusan

pati talas HMT memiliki tekstur yang lebih liat, tergelatinisasi dengan sempurna serta ukurannya lebih

mengembang dibandingkan pati talas alami.

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2012a. Sohun. http://id.wikipedia.org/wiki/Sohun. Diakses 13 Februari 2012.

AOAC, 1984. Official Methodes of Analysis of the Association of Analytical Chemist. 14th ed. AOAC

Inc. Arlington. Virginia

Chen, Z., 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and their Application in Noodle

Products. Dissertation of Wageningen University, Netherland

Collado, L.S and Corke, H., 1997. Properties of starch noodles as effected by sweet potato genotype.

Cereal Chemist ry, 74 (2), 182-187

Collado, L.S and Corke, H., 1999. Heat moisture treatment effect on Sweet Potato starches differing in

amylose content. Food Chemistry, 65, 339-346

Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates C.G., and Corke, H., 2001. Bihon-type noodles from heat moisture

treated S weet Potato starch. J. Food Science, 66 (4), 604-609

Gunaratne, A., and Hoover, R. 2002. Effect of heat moisture treatment on the structure and phys

icochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers, 49, 425-437

Hoover, R., 2001. Composition, molecular structure, and p hysicochemical properties of tuber and root

starch : Review. Carbohydrate Polymers, 45: 253-267

Hoover, R. and Vasanthan, T. 1994. Effect of heat moisture treatment on structure and physicochemical

properties of cereal, legume and tuber starches. Carbohydrate Research, 252: 33-53

Page 17: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

11

Lii, C.Y., and Chang, Y.H., 1981. Characterization of Red Bean (Phaseolus radiatus Var. aurea) starch

and its noodle q uality. J. Food Science, 46: 78-81

Lii, C.Y., Tsai, M.L. and Tsang, K.H. 1995. Effect of amylose content of rheological of rice starch.

Cereal Chemistry, 73: 415-420.

Lu, S., C.Y.Chen and C.Y.Lii. 1996. Gel Chromatography fractintion and Thermal Characterizatin of

Rice Starch Affected by Hydrothermal Treatment. Cereal Chemestry, 73:5-11.

Pukkuhuta, C., Suwannawat, B., Shobsngob, S and Varavinit, S. 2008. Comparative Study of Pasting and

Thermal Transition characteristic of Osmotic Pressure and Heat Moisture Treated Corn Starch.

CCabohydrat Polymer, 72:527-536.

Purwani, E.Y., Widaningrum, R., Thahir, and Muslich, 2006. Effect of heat moisture treatment of Sago

starch on its noodle q uality. Indonesia Journal of Agricultural Science, 7 (1): 8-1 4

Sajilata, M.G., Singhal, R.S., and Kulkarni, P.R., 2006. Resistant starch-a review.J. Food Science and

Food Safety, 6: 1-17

Singh, S., Raina, C.S., Bawa, A.S. and Saxena, D.C. 2005. Effect of heat moisture treatment and acid

modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of

sweet potato starch. Journal of Food Science, 70 (6): 373-378

Stute, R. 1992. Hydrothermal modification of starches: the d ifference between anneling and heat

moisture treatment. Starch, 6:205-214

Tran, U.T., Okadome, H., Murata, M., Homma, S. and Ohtsubo, K. 2001. Comparisson of vietnamese

and japanese rice cultivars in terms of physicochemical properties. Journal Food Science and

Technology Research, 7:323-330

Page 18: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

12

VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze,

MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK

VIABILITY OF SUDAMALA’S LOTUS POLLEN (Nymphoides indica (L.) Kuntze,

MENYANTHACEAE) BASED ON COLOR TEST, IN-VITRO AND STIGMA’S SQUASH.

Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni

Program Studi Magister Biologi, Universitas Udayana

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berkecambah (viabilitas) serbuk sari

teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan uji warna, in-vitro dan squash kepala putik.

Sampel serbuk sari diambil dari 10 bunga (5 individu) dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan

setelah mekar, tempat pengambilan sampel di Danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,

Kabupaten Tabanan. Metode: uji warna aniline blue dalam laktofenol, in vitro 0,8% agar dalam 30%

larutan gula dan squash kepala putik menggunakan fiksatif Farmer dan pewarnaan 1 % aniline blue.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala: bulat, minuta, prolate

spheroidal. Persentase viabilitas serbuk sari tertinggi pada uji warna ± 100% dari bunga sebelum mekar,

mekar dan setelah mekar, paling rendah pada uji in - vitro yaitu dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru

mekar ± 1,1% (0-9,40%) dan setelah mekar ± 5,61% (0-21,56%) sedangkan pada squash kepala putik

dari bunga sebelum mekar ± 0%, mekar ± 14,44 (0-85,71%), dan setelah mekar ± 84,96% (70,93-

92,45%).

Kata kunci: serbuk sari, uji viabilitas, Nymphoides indica

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine the viability of Sudamala’s lotus pollen

germination by colortest, in-vitro and stigma’s squash. Flowersare usedrespectively- each 10 (5

individual) of before anthesis, anthesis and after anthesis, samples were taken from Candi Kuning village,

Lake Beratan, Baturiti, Tabanan. The methods: aniline blue’s color test in laktofenol, in-vitro 0,8%

jellyin 30% sugar and stigma’s squash use fixative Farmer. The results showedthe type of pollen forms

from Lotus Sudamalawere: circular,prolate spheroidalminuta and ruga. The percentage of pollen’s

viability from before anthesis, anthesis and after anthesis by color test, showed a very high viability is ±

100%. In – vitro test before anthesis showed the pollen’s viability was ± 0%, anthesis ± 1,10% (0-9,40%)

and after anthesis ± 5,61% (0-21,56%). Stigma’s squash method showed before anthesis was ± 0%,

anthesis ± 14,44 % (0-85,71%), and after anthesis ± 84,96% (70,93-92,45%).

Keywords: pollen, viability test, Nymphoides indica

Page 19: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

13

PENDAHULUAN

Di Indonesia telah ditemukan tiga spesies tanaman teratai yaitu Nympheae pubescens, N. stellata,

N. nouchali (Steenis dkk., 2005). Di Bali, khususnya di daerah Gianyar, berdasarkan hasil penelitian

pendahuluan ditemukan beberapa jenis teratai berdasarkan warna bunga yaitu teratai Sudamala

(Nymphoides indica), teratai Kuning, teratai Biru Tua (Nymphaea stellata Wild), teratai Merah Muda,

teratai Ungu Tua, teratai Ungu Muda, teratai Putih (Nymphaea nouchali Burm f.), teratai Biru Muda

(Nymphaea stellata Wild), teratai Tutur, teratai Dedari dan teratai Brumbun. Diantara teratai tersebut

yang paling menarik dan langka adalah teratai Sudamala (Budiwati, 2014).

Menurut masyarakat di Bali, teratai Sudamala (Nymphoides indica) digolongkan ke dalam

keluarga teratai – terataian tetapi hasil penelusuran pustaka teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.)

Kuntze) tidak tergolong ke dalam keluarga teratai. Tetapi termasuk familia Menyanthaceae yang

merupakan tanaman bisah air (Marwat et al, 2009). Tanaman ini hidup menahun, memiliki akar geragih

yang pendek, batang berbentuk silindris, daun berbentuk bulat (orbicularis), berbunga banyak dengan

mahkota berukuran kecil berbulu halus, berwarna kuning dan ada yang berwarna putih, pada corolla,

bagian pusatnya berwarna kuning (Marwat et al, 2009).

Pada umumnya tanaman ini merupakan tanaman kosmopolitan dengan distribusi yang luas,

namun akibat adanya eutrofikasi dan reklamasi lahan menyebabkan tanaman ini terancam punah

(Ornduff, 1966). Hal ini sesuai dengan pernyataan Shibayama and Yasuro (2003) yang menyebutkan

bahwa Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan tanaman yang terancam punah. Tanaman ini di Bali

ditanam sebagai tanaman hias dan sebagai sarana upacara keagamaan, di Papua New Guinea, tanaman ini

digunakan untuk merangsang kehamilan. Di Vietnam tanaman ini digunakan untuk menurunkan demam,

menyegarkan badan, serta meredakan masuk angin dan perut kembung (Wiart, 2006).

Reproduksi pada tanaman teratai umumnya secara generatif dan vegetatif (Tjiptrosoepomo,

2005), pada teratai Sudamala belum ada yang melaporkan cara perkembangbiakannya apakah secara

generatif atau vegetatif. Reproduksi generatif merupakan perkembangbiakan tanaman dengan

menggunakan biji, yang diawali dengan peristiwa penyerbukan, yaitu jatuhnya serbuk sari di kepala putik.

Salah satu penyebab dari gagalnya suatu tanaman membentuk biji atau pembuahan adalah sterilitas

serbuk sari. Parameter penting dalam menentukan keberhasilan penyerbukan salah satunya adalah

fertilitas serbuk sari, karena setelah penyerbukan serbuk sari harus hidup dan mampu berkecambah.

Fertilitas serbuk sariditentukan oleh kemampuan serbuk sari berkecambah (viabilitas), viabilitas yang

tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman (Widiastuti

dan Endah, 2008). Hilangnya viabilitas serbuk sari sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama

suhu dan kelembaban relatif (Shivanna et al., 1991).

Untuk mengetahui fertilitas serbuk sari dapat dilakukan uji viabilitas serbuk sari. Berdasarkan hal

tersebut maka dilakukan penelitian mengenai viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides

indica (L.) Kuntze) dengan teknik uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol, in - vitro dan squash

kepala putik.

MATERI DAN METODE

Sampel yang digunakan adalah serbuk sari dan putik dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides

indica (L.) Kuntze) sebelum mekar, mekar dan sesudah mekar. Sampel diambil dari danau Beratan Desa

Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Penelitiandilaksanakan di Laboratorium Struktur

dan Perkembangan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Udayana.Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober – Desember 2013.

Page 20: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

14

Uji viabilitas serbuk sari :

a. Uji warna 1 % aniline blue dalam laktofenol

Serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) yang telah diambil kemudian

dikumpulkan pada mikrotube yang telah diberi zat warna 1% aniline blue dalam laktofenol dan dibiarkan

selama 10 menit (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop

olymphus. Dihitung jumlah serbuk sari dengan dinding mengkerut dan tidak menyerap warna serta serbuk

sari yang tidak mengkerut dan dapat menyerap warna, dilakukan pengamatan untuk 10 preparat dan

dihitung rata – ratanya dalam persentase (Kriswiyanti, dkk., 2010).

b. Uji viabilitas serbuk sari secara in – vitro

Serbuk sari dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indicaL.) Kuntze) diambil dan ditaburkan

pada 10 gelas benda yang telah berisi media 0,8% agar dalam 30% larutan gula kemudian diinkubasi

selama ±24 jam (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Setelah diinkubasi selama ± 24 jam kemudian diamati

dengan menggunakan mikroskop, diamati serbuk sari dengan panjang buluh yang terbentuk sama atau

lebih panjang dari diameter serbuk sari. Dihitung persentase perkecambahan serbuk sari.

c. Uji viabilitas serbuk sari dengan teknik squash kepala putik

Kepala putik dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica L.) Kuntze) dipotong dan

dimasukkan ke dalam mikrotube yang telah berisi fiksatif Farmer selama ± 24 jam. Fiksatif dibuang dan

diganti dengan larutan clearing 10% NAOH selama 1-5 menit, pewarnaan dengan 1% aniline blue dalam

laktofenol selama 2-5 menit. Kemudian kepala putik diletakkan pada gelas benda dan ditutup, disquash.

Diamati serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Pengamatan mikroskopik dengan mikroskop,

viabilitas serbuk sari (%) = jumlah serbuk sari yang berkecambah dibagi dengan jumlah serbuk sari yang

berkecambah dan tidak kali seratus persen (Kriswiyanti, dkk., 2010).

Metode asetolisis

Serbuk sari difiksasi dalam AGG (Asam Asetat Glasial) selama 24 jam, disentrifugasi selama 5

menit, dicuci dengan air. Air dibuang diganti dengan larutan asetolisis AAG 9 bagian dan 1 bagian asam

sulfat pekat, tabung reaksi diletakkan dalam water bath yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap

mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifugasi selama 5-10

menit. Air dibuang diganti dengan glyserin jelly yang telah dicampur 1% safranin. Penutupan dan

labeling (Berlyn and Miksche, 1976). Serbuk sari diamati dengan mikroskop untuk menentukan tipe

bentuk (panjang, lebar dan diameter serbuk sari) dengan menggunakan mikrometri.

Parameter serbuk sari yang diukur meliputi panjang, lebar dan diameternya dilihat secara acak

dibawah mikroskop, kemudian diukur dengan menggunakan mikrometri untuk mengukur panjang axis

polar dan diameter bidang equatorial yang disebut indeks P/E. Serbuk sari yang diukur berasal dari 80

butir serbuk sari yang di ambil secara acak dari 10 gelas benda.

HASIL

Tipe Bentuk dan Struktur Serbuk Sari TerataiSudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) dengan

Metode Asetolisis

Berdasarkan hasil pengukuran serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.)

Kuntze) dengan metode asetolisis dapat diketahui serbuk sari dari bunga teratai Sudamalaberbentuk bulat,

memiliki rata – rata panjang aksis polar (P) 27,46µm ± 3,61 (15 - 40µm) dan rata – rata bidang equatorial

(E) 25µm ± 3,32 (20 - 35µm) sehingga indek P/E berkisar antara 1,00 – 1,14 yang tergolong ke dalam

Page 21: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

15

kelas tipe Prolate Spheroidal. Sedangkan diameternya berkisar antara 10-25µm sehingga termasuk

kelompok Minuta. Berdasarkan tipe aperture termasuk kelompok Ruga (Erdtman, 1952) (gambar 1).

Gambar 1. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze)

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala; a.Aperture B. Pengukuran serbuk sari dengan

menggunakan mikrometri; a. Eksin; b. Intin; c. Aperture

Viabilitas (%) Serbuk Sari Teratai Sudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) Dengan Uji Warna,

In - Vitro Dan Squash Kepala Putik

Berdasarkan hasil perhitungan viabilitas serbuk sari dari bunga teratai Sudamala sebelum mekar

(Gambar 2), baru mekar dan setelah mekar dengan menggunakan metode uji warna 1% aniline blue

dalam laktofenol, in – vitro dan squash kepala putik : pada uji warna serbuk sari bunga teratai Sudamala

sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar menunjukkan viabilitas yang sangat tinggi yaitu ± 100%.

Pada uji in - vitro viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar± 0%, baru mekar ± 1,10% (0 - 9,40%)

dan setelah mekar ±5,61% (0 - 21,56%). Pada squash kepala putik viabilitas serbuk sari bunga teratai

Sudamala dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru mekar ± 14,44% (0 – 85,71%), dan setelah mekar ±

84,96% (70,93 – 92,45%).

Gambar 2. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) sebelum mekar,

baru mekar dan setelah mekar dengan uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala baru mekar; B. foto serbuk sari teratai Sudamala; a. Serbuk

sari viabel; b. Serbuk sari tidak viabel

c

a

b a A B

A B

Page 22: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

16

PEMBAHASAN

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Uji Warna

Hasil uji viabilitas serbuk sari dengan metoda uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol

(Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), menunjukkan bahwa serbuk sari dari bunga teratai Sudamala

(Nymphoides indica) sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar memiliki viabilitas yang sangat tinggi

yaitu ±100%. Serbuk sari bunga sebelum mekar menunjukkan viabilitas sebesar ±100%, hal ini

disebabkan karena serbuk sari sel – selnya meristematik sehingga dapat menyerap warna dengan baik,

namun serbuk sari belum masak. Serbuk sari masak ditandai dengan lepasnya serbuk sari dari kepala sari

(anther) (Prana, 2007).

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Metoda In-vitro

Berdasarkan hasil pengamatan viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica

(L.) Kuntze) dengan metode in-vitro yaitu pada bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah

mekarmenunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, bunga baru

mekar sebesar 1,10% (0 - 9,40%) dan bunga setelah mekarsebesar 5,61% (0 - 21,56%). Viabilitas serbuk

sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, hal ini disebabkan karena serbuk sari belum masak ditandai

dengan belum lepasnya serbuk sari dari dalam anther (Prana, 2007).

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan serbuk sari secara in – vitro antara lain

:jenis tanaman, waktu pengumpulan serbuk sari, musim, metode pengambilan serbuk sari, penyimpanan

dan kerapatan serbuk sari serta kondisi lingkungan perkecambahan seperti suhu, media, dan pH (Galleta,

1983).

Rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena komposisi dan konsentrasi media

perkecambahan yang digunakankurang sesuai. Menurut Wang et al. (2004) komposisi dan konsentrasi

media yang digunakan dalam uji perkecambahan serbuk sari dapat mempengaruhi viabilitas serbuk sari

pada berbagai jenis tanaman. Selain komposisi dan konsentrasi media, rendahnya viabilitas serbuk sari

dapat disebabkan karena suhu dan kelembaban. Pada umumnya suhu yang lebih rendah akan lebih baik

bagi perkecambahan serbuk sari, namun hal ini juga tergantung dari genotip tanaman yang digunakan

(Parfitt and Almehdi, 1984). Pada suhu yang rendah tidak menyebabkan perubahan kandungan air serbuk

sari, karena air tersebut terikat dan tidak membeku (Widiastuti dan Endah, 2008).

Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi viabilitas serbuk sari. Suhu

yang baik bagi perkecambahan serbuk sari secara in – vitro berkisar antara 15 - 35 oC, sedangkan suhu

optimumnya adalah 25oC . Pada suhu yang terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40 - 50

oC, serbuk sari tidak

akan berkecambah karena pada suhu yang terlalu tinggi maka penguapan juga akan semakin tinggi,

penguapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serbuk sari mengering, sedangkan apabila suhu terlalu

rendah misalnya di bawah 10oC serbuk sari akan mengalami dehidrasi dan mengkerut sehingga tidak

mampu berkecambah (Darjanto dan Satifah, 1990). Viabilitas serbuk sari pada sebagian besar tanaman

dapat dipertahankan pada kelembaban relatif 0-30% (Setiawan dan Ruskandi, 2005).

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya viabilitasserbuk sari adalah tingkat kemasakan serbuk

sari. Makin tinggi tingkat kemasakan serbuk sari makapersentase perkecambahan makin tinggi (Bhojwani

dan Bahtnagar, 1999).

Page 23: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

17

Gambar 3. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil uji in - vitro

Keterangan: a.Serbuk sari tidak membentuk buluh (nonviabel); b. Serbuk sari membentuk buluh (viabel)

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Squash Kepala Putik

Viabilitas serbuk sari dengan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan

setelah mekarmenunjukkan bahwaviabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0%, bunga

baru mekar ±14,44% (0 - 85,71%) dan bunga setelah mekar±84,96% (70,93 - 92,45%). Persentase

viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0 %, hal ini disebabkan karena pada bunga

sebelum mekar, serbuk sari belum masak sehingga tidak terjadi penyerbukan (polinasi).

Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan squash kepala putik pada bunga setelah

mekar menunjukkan viabilitas yang tinggi. Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki

viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%. Viabilitas serbuk sari dari bunga baru mekar lebih

rendah dibandingkan bunga setelah mekar hal ini disebabkan karena serbuk sari membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk proses imbibisi air, garam – garam anorganik, dan sukrosa. Pada bunga setelah

mekar lebih banyak serbuk sari yang sudah melakukan proses imbibisi untuk pertumbuhan buluhnya

sehingga lebih banyak serbuk sari yang berkecambah dibandingkan dengan bunga baru mekar, dimana

pada bunga baru mekar belum semua serbuk sari telah selesai melakukan proses imbibisi sehingga belum

banyak serbuk sari yang berhasil membentuk buluh.

Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan serbuk sari dalam membentuk buluh antara lain:

reseptivitas kepala putik, kondisi serbuk sari, serta faktor luar yaitu suhu dan kelembaban. Putik yang

reseptif ditandai dengan perubahan warna pada putik menjadi lebih terang, pori – pori kepala putik

membesar, tangkai putik mulai lurus, putik memproduksi cairan ekstraseluler.

Gambar 6. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil squash kepala

putik

Keterangan : A.Serbuk sari tidak berkecambah (tidak viabel); B. Serbuk sari berkecambah (viabel).

b

a

A B

A B

Page 24: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

18

Berdasarkan hasil uji viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan uji warna, in – vitro

dan squash kepala putik menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamalatertinggi pada

uji warna mencapai 100% baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, dan pada

squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala

terendah terdapat pada uji in – vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%, hal ini

menunjukkan bahwa penyerbukan bunga teratai Sudamala terjadi setelah bunga mekar (Kasmogami).

Teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) menurut penelitian yang sudah dilakukan

sebelumnya merupakan tipe bunga Self-incompatibility.Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan

tanaman Perenial, Makrofita, Herkogami, Geitonogami, dengan tipe yang khas yaitu Heterostilidan Self –

incompatibility (Sibayama and Yasuro, 2003). Inkompatibilitas (incompatibility) adalah tanaman dengan

serbuk sari dan bakal biji (ovulum) yang normal tidak mampu untuk membentuk biji disebabkan karena

gangguan fisiologis yang menghalangi terjadinya pembuahan. Penyebab terjadinya ketidakserasian

sendiri adalah : a. Butir-butir serbuk sari tidak menempel pada kepala putik, atau b. Butir serbuk sari

berkecambah pada stigma atau buluh serbuk sari gagal mempenetrasi stigma (Candra, 2013).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : Tipe bentuk serbuk sari

teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze):bulat, prolate spheroidal, minuta dan ruga.

Persentase viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) tertinggi pada

uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol mencapai 100%, baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar

dan setelah mekar dan pada squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Persentase

viabilitas terendah pada uji in – vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%,

menunjukkan tipe penyerbukan Kasmogami dan teratai Sudamala termasuk tanaman perenial, makrofita,

herkogami, geitonogami, heterostilidan self – incompatibility.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kepada Bapak Drs. Pande Ketut Sutara, M. Si.dan Drs. Martin Joni, M. Si., atas masukan, kritik,

dan sarannya.

KEPUSTAKAAN

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtechnigque and Cytochemistry, The Lowa State

University Press. Ames. Lowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperm. Fourth Resived

Edition.Vikas Publishing House.PVT.LTD. Delhi.

Budiwati, G. A. N. 2014. Manfaat Tanaman Teratai (Nymphaea sp., Nymphaeaceae) di Desa Adat

Sumampan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Universitas Udayana. Jurnal

Simbiosis, 2 (1):122-134.

Candra, A. 2013. Pemuliaan Tanaman “Self Incompatibility and Male Sterility”. Jurusan Argoteknologi

Fakultas PertanianUniversitas Riau.

Darjanto dan S. Satifah. 1982. Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT Gramedia.

Jakarta.

Page 25: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

19

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palynology

I).The Chronica Co. New York.

Kriswiyanti, E., N. K. Y. Sari, dan H. R. Wahyuningtyas. 2010. Uji Viabilitas Serbuk Sari buah Naga

(Hylocereus spp.) dengan Metode Pewarnaan, In-Vitro, Hanging-Droff dan Squash Kepala Putik.

Prosiding Seminar Nasional Biologi, Fakultas Biologi UGM, 568:575.

Marwat, S. K., M. A. Khan., M. Ahmad and M. Zafar. 2009. Nymphoides Indica (L.) Kuntze, A New

Record For Pakistan. Department of Plant Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad.

Journal Pakistan, 41(6): 2657-2660.

Ornduff, R. 1966. The Origin of Dioecism From Heterostyly in Nymphoides (Menyanthaceae). Journal

Evolution. 20: 309-314.

Parfitt, D. E. and A.A. Almehdi. 1984. Liquid Nitrogen Storage of Pollen From Five Cultivated Prunus

Spesies. Departement of Pomology.University of California, Davis, CA 95616. 19(1):69-70.

Prana, M. S. 2007. Studi Biologi Pembungaan pada Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.). Pusat

penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong 16911. Jurnal

Biodiversitas. 8 (1): 63-66.

Setiawan dan O. Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Jurnal

Teknik Pertanian. Available at :http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/bt10105k.pdf.

Opened:14.8.2012

Shivanna, K. R., H. F. Linkens and M.Cresti. 1991. Pollen Viability and Pollen Vigor. Theory Application

Genetic.81: 38 – 42

Shibayama, Y.and Y. Kadong. 2003. Floral Morph Composition and Pollen Limitation in The Seed Set of

Nymphoides indica populations. Graduate School of Science and Technology and Faculty of

Science, Kobe University. Japan. Ecological Research.18: 725-737

Steenis, C. G. G. J. V. 2005. Flora. Cetakan ke 5.PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-15.Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Wang, Z., Y. Ge, M. Scott, G. Spangenberg. 2004. Viability and longevity of Pollen from Transgenic and

Non Transgenic Tall Fescue (Festuca arundinacea) (Poaceae) Plants. Available at :www.

Biotek.Lipi.go.id/perpus/index.php?=show detail.Opened :30.12.2013

Widiastuti, A.dan R.P. Endah. 2008. Viabilitas Serbuk Sari dan Pengaruhnya Terhadap Keberhasilan

Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Jurnal Biodiversitas. 9(1):35-38.

Page 26: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

20

KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.)

DI BALI

THE CHARACTERISTICS AND VIABILITY OF COCONUT POLLEN VARIETY (Cocos

nucifera, L.) IN BALI

Eniek Kriswiyanti

FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa

(Cocos nucifera, L.) di Bali. Sampel serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini 26 ragam kelapa,

masing-masing ragam 3 individu. Untuk mengetahui karakteristik serbuk sari ragam kelapa digunakan

metode asetolisis dan pewarnaaan 1% safranin, untuk mengetahui viabilitas serbuk sari digunakan uji

warna dengan 1% aniline blue dalam lactofenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik

serbuk sari dari 26 ragam kelapa di Bali memiliki bentuk bulat - lonjong, media, monosulcate, oblat

sferoidal pada kelapa Dalam (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat pada kelapa Genjah (Cocos

nucifera, L.var. typica). Panjang aksis polar (P) antara 24,15 µm (Genjah Bulan) sampai 40,12 µm

(Coklat Biasa), diameter bidang Equatorial (E) 27,4 µm (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat Biasa

). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) - 0,973 (Gading Bali). Rata-rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah

(0,81-0,87) lebih kecil daripada kelapa Dalam (0,89-0,97). Viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih

tinggi dari pada kelapa Dalam, rata-rata: 41,7±7,3% (bervariasi terendah 28,51±7,5% pada kelapa

Naga dan tertinggi 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan).

Kata Kunci : viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.

ABSTRACT

The aim of this research was to determine the characteristic and pollen viability of coconuts

(Cocos nucifera L.) in Bali. Pollen viability was tested in 1% aniline blue in lactophenole, and the

characteristic of pollen was prepared in acetolysis method and stained 1% Safranine. The result showed

that the morphology of pollens from 26 coconut variances was determined as circular-oval, mediate,

monosulcate, oblat sferoidal in tall coconuts (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat on drawf coconut

(Cocos nucifera, L.var. typica). The length of the polar axis (P) ranged from 27.4 µm (Genjah Udang) to

43.6 µm (Coklat Biasa ). P/E Indexes ranged from 0.814 µm in Genjah Hijau to 0.973 µm (Gading Bali).

The pollen size of dwarf coconut was 0.81-0.87 µm, smaller than tall coconut with the pollen size of 0.89

µm - 0.97 µm. Pollen viability of dwarf coconut was higher than tall coconut with the average of

41.7±7.3%, with the value of 28.51±7.5% in Naga tall and 60.6±8.8% in Bulan dwarf.

Keywords: viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.

Page 27: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

21

PENDAHULUAN

Hasil ekplorasi keragaman tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) di propinsi Bali berdasarkan

kegunaannya dapat dibedakan antara kelapa atau nyuh (bahasa Bali) biasa dan kelapa madan. Kelapa

biasa adalah jenis kelapa yang biasa digunakan untuk membuat bahan makanan dan kopra (minyak),

sedang kelapa madan adalah jenis kelapa yang memiliki ciri morfologi khusus (unik) dengan nama sesuai

ciri tersebut, diperlukan untuk bahan obat (usada) maupun sarana upakara agama Hindu. Kelapa madan

umumnya menghasilkan buah per tandan sedikit dibandingkan kelapa biasa dan kelapa genjah.

Keberadaannya belum banyak diketahui, sedikit diantara populasi kelapa biasa (Kriswiyanti, 2013, 2014).

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penyebab terbentuknya buah sedikit. Beberapa

penyebab kegagalan terbentuknya buah dan biji pada Plase (Butea monosperma (Lamk.) Taub.) adalah

struktur morfologi alat reproduksi yang tidak menunjang terjadinya penyerbukan: kepala sari lebih rendah

dari kepala putik dan keduanya tertutup oleh carina. Viabilitas serbuk sari rendah, self- incompatibility

yaitu buluh serbuksari tidak mau tumbuh pada kepala putik sehingga dapat menyebabkan tidak terjadi

pembuahan (Kriswiyanti dan Watiniasih, 2010). Bhojwani dan Bhadnagar (1999) mengatakan bahwa

salah satu penyebab kegagalan terbentuknya buah adalah sterilitas serbuk sari. Untuk mengetahui

sterilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan uji viabilitas serbuk sari dengan uji warna atau in- vitro. Uji

viabilitas serbuk sari secara in-vitro pada kelapa Rangda telah dilakukan oleh Nirmala (2013) yaitu <

3%, pada kelapa Ancak oleh Sari (2013) viabilitas lebih rendah yaitu < 2,5%. Berdasar latar belakang

diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam

kelapa (Cocos nucifera, L.) di Bali.

MATERI DAN METODE

Sampel serbuk sari dari 26 ragam (3 individu/ragam) kelapa yang digunakan berasal dari berbagai

kabupaten di propinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran panjang aksis polar, diameter bidang ekuitorial,

untuk menentukan indek Polar/Equatorial (P/E) dari serbuk sari digunakan metode asetolisis (Erdman,

1969; Faegri dan Iversen, 1989). Sedang uji viabilitas serbuk sari menggunakan metode pewarnaan 1%

aniline blue dalam Laktofenol (Berlyne dan Miscke, 1976; Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), sebagai

berikut:

Asetolisis: serbuk sari diambil dari anther bunga mekar (1-3 individu) difiksasi dalam AAG

(45%) 24 jam, sentrifuge 5 menit, kecepatan 3.500 rpm, kemudiaan dicuci air beberapa kali. Serbuk sari

diasetolisis dengan campuran AAG dan asam Sulfat pekat (9:1), dipanaskan dalam water bath yang telah

berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa

kali, disentrifuge lagi selama 5 menit 2 x, cuci dengan air. Air dibuang diganti glyserin jelly yang telah

dicampur dengan 1 % safranin, biarkan hingga kental. Pengamatan menggunakan mikroskop Merk

MEIJI, perbesaran 10, 40X, masing-masing kelapa serbuk sari yang diukur 30 butir dengan menggunakan

mikrometri.

Tipe bentuk serbuk sari ditentukan dengan menghitung perbandingan rerata ukuran panjang aksis

Polar (P) dan diameter bidang Equatorial (E), yang disebut sebagai indek P/E menurut Erdtman (1969)

sebagai berikut :

Berdasar hasil penghitungan indek P/E ditentukan klas tipe bentuk serbuk sari menurut Erdtman 1972

Page 28: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

22

Uji Viabilitas Serbuksari : untuk uji viabilitas serbuksari digunakan dengan uji warna dengan

1% aniline blue dalam laktofenol yaitu:

Viabilitas (V) serbuk sari (%) (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999):

Keterangan:

a = jumlah serbuk sari viabel adalah serbuk sari dengan dinding berwarna

b = jumlah serbuk sari nonviabel ( dinding tidak berwarna dan mengkerut)

dengan mikroskop masing-masing jenis kelapa 3 gelas benda.

HASIL

Karakteristik dan Viabilitas Serbuk sari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk serbuk sari mulai dari bulat hingga lonjong,

berukuran media, klas bentuk oblat sferoidal pada kelapa Dalam, suboblat pada kelapa Genjah, viabilitas

serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dibandingka pada kelapa Dalam. Data hasil penelitian ditampilkan

pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik dan Viabilitas Serbuk Sari Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.)

No

Nama

Ragam Kelapa

(1)

Viabilitas

(%)

(2)

Diameter

Equitorial/E

(µm) (3)

Panjang Aksis

Polar/P

(µm) (4)

Indek P/E

(5)

1 Ancak 40.96±6.1 30.7 29.62 0.964

2 Bejulit 43.18±6.4 31.75 30.145 0.949

3 Gadang Biasa 34.97±7.202 32.79 30.32 0.924

4 Coklat 34.1±4.4 43.16 40.12 0.966

5 Barak 35.85±2.9 29.93 27.6 0.958

6 Bingin 41.83±4.03 30.88 29.928 0.969

7 Bojog 41.47±5.47 31.29 29.58 0.945

8 Bulan 39.41±4.68 29.029 27.23 0.938

9 Gadang 38.38±5.7 39.04 36.32 0.930

10 Gading bali 37.59±7.85 30.015 29.232 0.973

11 Srogsogan 43.19±2.5 32.018 31.001 0.968

12 Mulung 29.49±7.71 26.75 23.9 0.893

13 Rangda 39.97±3.54 28.01 26.8 0.956

14 Bluluk 36.12±6.67 28.62 27.23 0.951

15 Sudamala 41.31±5.16 29.23 27.7 0.947

16 Surya 46.42±4.13 29.06 27.97 0.962

17 Udang 48.93±4.08 30.59 29.58 0.966

18 Kapas 36.94±.8.57 30.36 28.88 0.951

19 Kebo 42.64±5.38 29.49 27.75 0.941

20 Macan 42.21±6.505 30.595 29.58 0.966

21 Naga 28.51±7.568 29.4 27.14 0.923

Page 29: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

23

22 Pudak 31.99±5.858 28.71 27.318 0.951

23 Genjah hijau 55.87±10.4 30.45 24.79 0.814

24 Genjah putih 60.62±8.84 27.4 23.92 0.873

25 Genjah kuning 39.025±6.39 29.58 25.23 0.852

26 Genjah coklat 48.1±10.4 27.92 24.15 0.865

Rerata

41.731±7.32

30.64±3.43

28.57±3.53

0.932±0.0406

Rerata panjang aksis polar dan diameter bidang equatorial serbuk sari 26 ragam kelapa bervariasi.

Panjang aksis polar (P) antara 24,15 µm (Genjah Bulan) sampai 40,12 µm (Coklat). Diameter bidang

Equatorial (E) 27,4 µm (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) -

0,973 (Gading Bali). Rata-rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah (0,81-0,87/suboblat) lebih kecil daripada

kelapa Dalam (0,89-0,97/oblat sferoidal). Contoh beberapa bentuk serbuk sari yang didapat dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Serbuk Sari pada Empat Ragam Kelapa (Cocos nucifera L. )

Keterangan: Serbuk sari empat ragam dengan ukuran bervariasi, A. Serbuk sari kelapa Dalam Coklat

dengan SEM, bercahaya menunjukkan serbuk sari viabel (800x), B. a.Serbuk sari viable kelapa Bluluk,

perbesaran 400X, b. serbuk sari non viabel, c. apperture C. Serbuk sari kelapa Rangda dengan dinding

eksin dan intin jelas, D. Serbuk sari Genjah Gading dengan ukuran lebih kecil dari serbuk sari kelapa

Dalam.

Hasil uji viabilitas serbuk sari kelapa secara umum rata-rata dibawah 50% yaitu: 41,7 ± 7,3%

(28,51±7,5% pada kelapa Naga sampai 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan), viabilitas tertinggi pada

kelapa Dalam: kelapa Udang (48,93± 4,08%) (Table 1, Gambar 2).

a

b

A B

c

C D

A

30,18µm

25,5 µm 33,75 µm

Page 30: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

24

Gambar 2. Viabilitas Serbuk Sari dari 26 Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.) di Bali

PEMBAHASAN

Menurut Erdman (1965) dan Mulyani (2006) jika serbuk sari memiliki indek P/E antara 0,8-1,0

tergolong klas tipe bentuk oblat sferoidal, berdasar diameter bidang ekuatorialnya = 29,6 µm (25-50 µm)

digolongkan dalam serbuk sari media. Berdasar jumlah dan bentuk aperture : satu seperti alur memanjang

termasuk serbuk sari monosulcate (Dransfield, et al., 2008). Rata-rata indek P/E hasil penelitian ini lebih

besar dari indek P/E menurut Erdmund (1969) indek P/E Cocos nucifera L. <0,8 sehingga digolongkan

dalam tipe bentuk oblat, tetapi berdasar jumlah dan bentuk aperture sama yaitu monosulcate.

Armendariz, et al (2006) fertilitas serbuk sari tanaman kelapa sangat menentukan keberhasilan

terbentuknya buah. Berbeda dengan Armendariz, et al (2006), Ranasanghe, et al (2010) menyatakan

bahwa keberhasilan fruit set selain tergantung oleh kualitas serbuk sari dan persentase perkecambahan

serbuk sari, proses pertumbuh an buluh serbuk sari juga berperan dalam keberhasilan pembuahan.Hasil

Penelitian Setiawan dan Ruskandi (2005) viabilitas serbuk sari dari tiga kultivar kelapa Dalam Tenga

(DTA), Dalam Bali (DBI), dan Dalam Palu (DPU) setelah disimpan 24 minggu masih baik, dan dapat

digunakan untuk persilangan karena viabilitasnya di atas 30%. Namun sampai berapa lama viabilitas

serbuk sari kelapa tersebut dapat bertahan dalam penyimpanan perlu diteliti lebih lanjut.

Hasil penelitian Ranasinghe et al (2010) pada 6 kultivar kelapa di Sri Lanka menunjukkan bahwa

persentase viabilitas serbuk sari tergantung dari letak spikelet bagian mana sampel serbuk sari diambil,

apakah bagian ujung, tengah, atau pangkal. Viabilitas serbuk sari kelapa Dalam San Ramon dengan

sampel serbuk sari dari spikelet bagian ujung rata-rata viabilatasnya: 77,7%, spikelet bagian tengah 64,

26% dan spikelet bagian angkal aling rendah . Pada te erature aksi al rata-rata

viabilitas menurun menjadi hanya 11%.

SIMPULAN

Bentuk serbuk sari bulat-lonjong, media, oblat sferoidal pada kelapa Dalam, suboblat pada

kelapa Genjah, viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam.

Page 31: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

25

KEPUSTAKAAN

Armendariz, B.H.C., C.Oropeza , J. L. Chan,. B. Maust, N. Torres, C.D.C Aguilar and L. Sáenz. 2006.

Pollen Fertility and Female Flower Anatomy Of Micro propagated Coconut Palms, Rev. Fitotec.

Mex. 29 (4) : 373-378.

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtachnique and Cytochemistry. The Iowa State

University Press Ames. Iowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperms. Third Rivised Edition.

Vikas Publishing House P.V.T., LTD., New Delhi.

Erdtman. G.1969. Handbook of Palinology. Morfology - Taxonomy - Ecology. An Introduction to Study of

Pollen Grains and Spores. Hapner Publishing CO. New York.

Erdtman. G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palinology

I). The Chronica Botanica Co.Waltham.

Faegri, K and J. Iversen. 1989. Texbook of Pollen Analysis. 4 th

Edition (Revised by Faegri, Kaland, K

and Krzywinski, P.E.) John Wiley & Sons Ltd Chichester.

Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa (Cocos nucifera L. ) yang digunakan

sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII (1) 2013:15-19

Kriswiyanti, E, 2014.Karakteristik Ragam Kelapa (Cocos nucifera, L) di Bali Berdasarkan Morfologi,

Anatomi dan Molekuler. Ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,

Denpasar

Sari N. L. G. C., E. Kriswiyanti, dan N. N. Darsini. 2013. Perkembangan Mikro gametofit dan Uji

Viabilitas Serbuk Sari Kelapa (Cocos nucifera L.”Ancak” Jurnal Simbiosis 1 (1) 2013:51-58

Nirmala S., E. Kriswiyanti dan A. A. K. Darmadi. 2013. Uji Viabilitas Serbuk Sari Secara in-vitro Kelapa

(Cocos nucifera L.”Rangda” dengan waktu dan suhu Penyi anan yang Berbeda. Simbiosis 1 (

1 ) 2013: 59-69

Ranasinghe C. S., K. P. Waidyarathna, A. P. C. Pradeep and M. S. K. Meneripitiya. 2010. Approach to

Screen Coconut Varieties for High Temperature Tolerance by in-vitro Pollen Germination.

J.Cocos 19 : 01-11

Rhee, H. K., H. R Cho, K. J. Kim, and K. S. Kim. 2005. Comparison of Pollen Morphology in

Interspecific Hybrid Lilies after In-Vitro Chromosome Doubling. Acta Hort.673 : 639-643.

Setiawan, O dan Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Buletin

Teknik Pertanian 10 (1) : 37-38

Page 32: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

26

TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT,

FRAKSI HUMAT, DAN MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI

RESPONSE OF SOYBEAN DUE TO APPLICATION OF CRANDALLITE EXTRACT, HUMIC

FRACTION AND MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI

Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu

Fakults Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua Manokwari

Email: [email protected]

INTISARI

Lahan pertanian di Indonesia termasuk di Papua Barat umumnya membutuhkan pemupukan

fosfor (P) untuk memperoleh hasil tanaman yang optimal. Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji

pengaruh pemberian ekstrak krandalit, fraksi humat dan unsur mikro Molibdenum (Mo) sebagai pupuk

fosfat cair-plus terhadap produksi kedelai pada Inceptisols Prafi Manokwarit. Penelitian terdiri atas dua

tahap yaitu: 1) formulasi pupuk fosfat cair dari ekstrak tanah endapan fosfat krandalit asal Ayamaru

Kabupaten Maybrat, fraksi humat dan penambahan unsur mikro Mo. 2). Penentuan dosis optimum dari

pupuk fosfat cair-plus yang dhasilkan dan dibandingkan dengan pupuk NPK, NASA, Papua Nutrient, dan

krandalit padat yang diperkaya dengan bahan organik. Penelitian di Lapangan dirancang berasarkan

Rancangan Acak Kelompok dengan 10 perlakuan (0, 20, 30, 40, 50, 60 Lha -1 ) pupuk fosfat cair-plus

yang dihasilkan dari penelitian tahap kesatu, dan empat jenis pupuk pembanding. Masing-masing

perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pemberian pupuk fosfat cair-plus yang terdiri atas 60% ekstrak krandalit, 30% fraksi humat, dan

10% unsur mikro Mo pada berbagai dosis meningkatkan bobot kering tanaman, jumlah nodul, dan hasil

kedelai (t ha-1). Dosis optimum yang dihasilkan adalah 30 Lha-1 dapat meningkatkan produksi kedelai

dari 1,60 t ha-1

menjadi 2,04 t ha-1

pada tanah Inceptisol Prafi Manokwari.

Kata kunci; krandalit, fosfat, humat, Mo, kedelai

ABSTRACT

Agricultural lands in West Papua commonly require fertilization of Phosphate (P) to attain

optimum plant yield. The aims of this research were to study the effect crandallite extract application,

combined with humic fraction and Molibdenum (Mo) as fertilizers toward soybean production on

Inceptisols Manokwari. The target is to obtain optimum dose recommendation of -liquid phosphate plus

fertilizer for soybean on acid Inceptisols. The study were arranged on two phases: 1) the production of

plus liquid fertilizer formula of sediment soil extract of crandallite phosphate (CPSS) from Ayamaru, cow

feces extract, and additional of micro element Mo. 2) Determine of optimum dosage, production, and

quality of soybean product by treatment of plus liquid fertilizer formula in the preliminary phase. The

field experiments utilised Randomize Block Design with 10 treatments (0, 20, 30, 40, 50, 60 L ha-1 of P-

plus liquid fertilizer, NASA, NPK,Papua Nutrient (PN), and Crandllite Phosphate Sediment Soil+organic

matter. Each treatment unit was replicated so its produced 30 experiment units. Result showed that P-

plus liquid fertilizer (60% crandallite extract: 30% humic fraction, and 10% Mo) application at different

level increased dry matter, nodule, and result of soybean (t ha-1). Optimum dose of resulting plus liquid

phosphate fertilizer is 30 L ha-1.

Keywords: soybean, phosphorus, crandallite, humic, Molibdenum,

Page 33: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

27

PENDAHULUAN

Konsumsi kedelai terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sehingga

sebagian besar harus diimpor karena produksi di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Pada tahun

2009 kebutuhan konsumsi kedelai nasional adalah sebesar 1,97 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri

sebesar 0,92 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, produksi kedelai lokal tahun 2011

sebesar 851,29 ribu ton atau 29 persen dari total kebutuhan nasional. Salah satu yang menjadi penyebab

rendahnya produktivitas kedelai adalah rendahnya produktivitas lahan pertanian terutama di luar Pulau

Jawa termasuk di Provinsi Papua Barat. Produktivitas kedelai di Papua Barat sangat rendah yaitu kurang

dari 1,0 ton ha-1

.

Lahan pertanian di Papua Barat umumnya didominasi oleh tanah mineral masam yaitu Ultisols

dan Inceptisols yang berkendala ganda terutama defisiensi hara fosfor (P), rendahnya bahan organik dan

beberapa hara mikro terutama Molibdenum (Mo). Usaha peningkatan produksi kedelai di Papua Barat

melalui pemupukan berimbang pada tanah Inceptisols mutlak diperlukan. Provinsi Papua Barat memilki

salah satu sumberdaya alam yaitu Tanah Endapan Fosfat Krandalit (TEFK) seluas lebih dari 100 ribu

hektar dan sumberdaya organik yang dapat diproses menjadi pupuk fosfat-plus. Kajian tentang

pemanfaatan endapan fosfat krandalit dan kotoran ternak untuk diproses menjadi pupuk padat dan cair

menghasilkan nutrient tanaman lengkap telah dilakukan dengan menghasilkan produk pupuk “Papua

Nutrient” (Musaad, 2011). Ekstrak krandalit yang kaya akan P dan hara mikro Fe, Cu, Zn dan Mn dapat

digunakan sebagai nutrisi tanaman. Hasil penelitian tersebut telah memperoleh hak paten sehingga perlu

dikembangkan lebih lanjut. Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui keefektifan pupuk

fosfat cair–plus dari ekstrak krandalit, fraksi humat pada tanaman kedelai dengan penambahan unsur Mo,

karena Mo berperan penting dalam reaksi enzimatik pembentukan bintil akar dalam fiksasi N sehingga

mengurangi penggunaan pupuk N dan meningkatkan konsentrasi asam-asam amino.

Formulasi pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman kedelai dengan

memanfaatkan bahan baku lokal seperti Tanah Endapan Fosfat Krandalit dan bahan organik di Papua

Barat merupakan salah satu kajian yang sangat penting dan sangat strategis untuk meningkatkan

produktivitas kedelai. Keluaran penelitian ini dapat menghasilkan pupuk untuk tanaman kedelai sehingga

dapat mengurangi penggunaan pupuk-pupuk impor yang harganya relatif mahal serta sulit diperoleh

petani.

Pertanian organik yang dianjurkan pemerintah saat ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan oleh

petani karena berbagai kendala. Input pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai

pada lahan-lahan yang tidak subur diperlukan takaran tinggi berkisar 10 – 20 ton per hektar karena

konsentrasi hara N, P, K, dan hara mikro yang terkandung dalam bahan organik sangat rendah, meskipun

bahan organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk

organik perlu dimodifikasi dengan pupuk cair anorganik yang bersumber dari bahan baku lokal untuk

memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman kedelai. Dalam penelitian ini akan dikaji tanggap tanaman

kedelai terhadap pemberian formula pupuk dari ekstrak krandalit, fraksi bahan organik dan Molibdenum

(Mo) sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai di Papua Barat, khususnya di Kabupaten

Manokwari. Hasil formulasi ekstrak krandalit yang kaya akan hara P disertai penambahan fraksi humat

dari kotoran ternak dan unsur mikro Mo dalam penelitian ini disebut pupuk fosfat cair-plus. Bagaimana

tanggap tanaman kedelai terhadap pemberian formula pupuk fosfat cair-plus dari ekstrak krandalit, fraksi

humat dan Mo pada tanah Inceptisols Prafi Manokwari, maka penelitian ini perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian campuran ekstrak krandalit, fraksi

humat, dan unsur mikro Molibdenum (Mo) sebagai pupuk fosfat cair-plus terhadap produksi kedelai pada

tanah Inceptisols Prafi Manokwari. Tujuan khusus adalah untuk memperoleh formula, mengetahui

keefektifan agronomi, produktivitas dan takaran optimum pupuk fosfat cair yang dibutuhkan untuk

tanaman kedelai.

Page 34: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

28

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimen. Percobaan tahun pertama dirancang

menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas tujuh perlakuan yaitu : A0 = tanpa pemberian

pupuk, A1 = 100% ekstrak krandalit + 0 % fraksi humat + 0 % molibdenum; A2 = 80 % ekstrak krandalit +

15 % fraksi humat + 5% molibdenum; A3 = 60 % ekstrak krandalit + 30% fraksi humat + 10%

molibdenum; A4 = 40 % ekstrak krandalit + 50 % fraksi 0rganik + 10% molibdenum; A5 = 20 % ekstrak

krandalit + 60 % fraksi humat + 20% molibdenum; A6= 0% ekstrak krandalit + 80% fraksi humat + 20 %

molibdenum. Takaran masing-masing perlakuan 30 liter ha-1

. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali

sehingga diperoleh 21 satuan percobaan.

Bahan yang digunakan yaitu TEFK Ayamaru, bahan organik (kotoran ternak sapi), benih kedelai

varietas Grobogan, dan lahan percobaan. Pupuk urea CO(NH2)2 dengan kadar N 45%, sebagai pupuk

dasar digunakan dosis rendah (30 kg ha-1

). Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan

menggunakan pestisida Decis. Bahan kimia dan peralatan laboratorium yang digunakan untuk keperluan

analisis tanah, pupuk, dan tanaman disesuaikan dengan keperluan analisis berdasarkan metode dan

prosedur untuk setiap variabel respons dalam penelitian ini. Peralatan yang digunakan terdiri atas

peralatan lapangan untuk pengambilan contoh tanah, yaitu: bor tanah, cangkul, parang, tali rafia, dan

peraltan lainnya.

Contoh TEFK diambil dari beberapa tempat yang berkonsentrasi fosfat tinggi kemudian

dikompositkan. Endapan TEFK dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan pengganggu lainnya selanjutnya

diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 100 mesh. Endapan Fosfat Krandalit yang sudah diayak

dimasukkan ke dalam cawan-cawan porselin kemudian diproses secara termal pada suhu 600C selama 1

jam. Penentuan suhu 600C dan waktu satu jam didasarkan atas hasil penelitian Musaad (1996). Bahan

ini selanjutnya disebut TEFK-termal yang akan digunakan sebagai bahan pupuk fosfat dan dilanjutkan

dengan ekstraksi menggunakan HCL 1% untuk menghasilkan ekstrak krandalit sebagai fosfat cair.

Bahan organik dibersihkan dari kotoran yang mengganggu, kemudian ditumbuk dan disaring

hingga lolos ayakan (berdiameter lubang 0,5 mm). Bahan organik tersebut ditimbang dan dilarutkan

dalam larutan NaOH 0,5 M dengan perbandingan 1 : 10 (w/v). Selanjutnya bahan organik difraksionasi

sesuai prosedur (Stevenson, 1986). Fraksi bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fraksi satu (fraksi humat).

Petak-petak percobaan diukur setelah pengolahan tanah dan masing-masing petak percobaan

berukuran 4 x 3 =12 m2. Jarak antara petak dalam satu ulangan 0,5 m, sedangkan jarak antara ulangan

0,75 meter. Luas lahan yang dijadikan sebagai areal percobaan adalah : 18 x 20 m2 = 360 m

2. Varietas

kedelai yang digunakan adalah Varietas Anjasmoro. Pupuk dasar diberikan hanya 30% dari dosis anjuran

pada saat tanam sesuai takaran anjuran yaitu 30 kg ha-1

. Pemeliharaan tanaman dilakukan selama

percobaan di lapangan terutama pengendalian hama dan penyakit tanaman. Gejala-gejala yang tampak

baik gejala yang disebabkan oleh defisiensi atau toksisitas hara maupun akibat hama dan penyakit selama

masa pertumbuhan tanaman juga diamati. Pengendalian gulma dilakukan secara manual sesuai kebutuhan

selama masa pertumbuhan tanaman. Tanaman dipanen pada umur perkiraan generatif atau sampai

produksi (3 bulan setelah tanam).

Analisis tanah dilakukan terhadap contoh tanah awal (sebelum percobaan) untuk mengetahui

staus N,P, K dan bahan organik. Tanah disiapkan lolos ayakan 2 mm untuk keperluan analisis sesuai

prosedur analisis sifat-sifat tanah seperti diuraikan pada komponen variabel pengamatan.

Contoh jaringan tanaman yang diambil adalah daun yang berkembang penuh. Jaringan tanaman

dikeringkan dalam oven pada suhu 70C kemudian digiling halus untuk keperluan analisis konsentrasi

unsur hara dalam daun. Prosedur analisis seperti pada percobaan tahun pertama.

Page 35: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

29

Pengukuran variabel respons dilakukan pada akhir pertumbuhan vegetatif (40 HST). Variabel

pertumbuhan: tinggi tanaman, bobot kering tanaman, dan nodul. Sifat kimia tanah yang diukur terdiri

atas: pH, N-total P-tersedia, Mo-total dan Al-dd. Variabel konsentrasi

hara tanaman yang diukur adalah N, P, K, Fe, Mo, dan Al. Pengukuran komponen produksi (bobot biji

kering) kedelai t ha-1

dan komposisi kimia kedelai dan fraksi protein biji kedelai dilakukan setelah panen.

Data variabel respons diolah menggunakan analisis ragam (Uji F). Perbedaan antara rerata

perlakuan disajikan dalam bentuk grafik.

HASIL

Hasil pengamatan beberapa sifat fisik tanah menunjukan bahwa tekstur tanah adalah lempung liat

berpasir, aerasi tanah baik, struktur granuler, warna tanah coklat keabuan. Tanah pada area percobaan

diklasifikasikan sebagai tanah Inceptisols berdasarkan klasisifikasi (Soil Taxonomy Staff, 1992).

Hasil analisis ekstrak krandalit yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Data

Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak krandalit yang digunakan dalam penelitian ini mengandung unsur P

yang cukup tinggi yaitu 10,77% P. Unsur lain yang juga tinggi adalah kalsium (Ca) yaitu sebesar 580,421

ppm, dan kalium (190,970 ppm). Alumunium (Al) ekstrak krandalit ini sebesar 166,93 ppm.

Tabel 1. Hasil analisis komponen kimia ekstrak krandalit yang digunakan

No. Parameter Satuan Hasil

1. Kalium, K

mg L-1

190,970

2. Kalsium, Ca mg L-1

580,421

3. Magnesium, Mg mg L-1

5,600

4. Tembaga, Cu mg L-1

3,244

5. Seng, Zn mg L-1

11,015

6. Mangan, Mn mg L-1

30,423

7. Nikel, Ni mg L-1

1,472

8. Molibneum, Mo mg L-1

0,211

9. Besi, Fe mg L-1

24,022

10. Alumunium, Al mg L-1

166,932

11. Phospat, P % 10,77

Sumber: 1)

Hasil Uji Lab. Kimia F-MIPA Unipa, 2013

Komponen Pertumbuhan Tanaman

Tinggi Tanaman pada 2, 4, dan 6 Minggu Setelah Tanam (MST). Hasil analisis ragam pada

komponen tinggi tanaman dan bobot kering tanaman (4 dan 6 MST) disajikan pada Tabel 3. Perbedaan

pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan

formula ekstrak krandalit, fraksi humat, dan unsur mikro Mo berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi

tanaman tetapi berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Pengaruh perlakuan terhadap

komponen tinggi dan bobot kering tanaman disajikan pada Gambar 1.

Page 36: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

30

Gambar 1. Tinggi Tanaman (2, 4, 6 MST) dan Bobot Kering (4,6 MST)

Gambar 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pupuk NPK,

kemudian A1 (100 % ekstrak krandalit), A6 dan A0 (kontrol). Peranan N dari pupuk NPK baik sebagai

perlakuan pembanding dan pupuk dasar berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman fase vegetatif

maksimum tanaman kedelai (2-4 minggu setelah tanaman). Kemampuan pembentukan bintil akar

tanaman kedelai untuk memfiksasi N dari udara secara alamiah pada semua perlakuan memberikan

pengaruh yang sama terhadap komponen tinggi tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan formula pupuk P-Cair-Plus hanya berpengaruh nyata terhadap komponen bobot kering tanaman

(4 MST), dan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Data pada grafik

menunjukkan bahwa bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan A6 (ekstrak krandalit + 80% fraksi

humat + 20% + 20% Mo ) dan berbeda tidak nyata dengan semua perlakuan lainnya kecuali terhadap

perlakuan NPK.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering tanaman ( 4, 6 MST

Perlakuan Bobot kering tanaman (g)

4 MST 6 MST

A0 (0 ekstrak krandalit,0 organik, 0 Mo) 2,4 ab 16,7 a

A1 (100% ekstrak krandalit, 0 organik, 0 Mo) 3,0 ab 21,7 a

A2 (80% ekstrak krandalit +15% 0rg + 5% Mo) 2,4 ab 16,6 a

A3 (60% ekstrak krandalit + 30% org + 10% Mo) 2,8 ab 19,7 a

A4 (40% ekstrak krandalit + 50% org + 10% Mo) 2,8 ab 13,7 a

A5 (20% ekstrak krandalit + 60% org + 20% Mo) 2,7 ab 15,3 a

A6 (0% ekstrak krandalit + 80% org + 20% Mo) 3,1 a 15,5 a

A7 (NPK) 2,0 b 14,9 a

atatan. Angka yang diikut oleh huruf yang sa a berbeda tidak nyata enurut Uji BNT α= 0 05

Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa bobot kering tanaman tertinggi pada 6 MST diperoleh

pada perlakuan A1 (ekstrak krandalit 100%) meskipun berbeda tidak nyata denagn perlakuan lainnya.

Data yang ditunjukkan pada Gambar 5, terlihat bahwa formula pupuk fosfat cair-plus (A3 =60% ekstrak

Page 37: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

31

krandalit + 30% fraksi humat + 10 % Mo ) berpengaruh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan A2

(80% ekstrak krandalit + 15% fraksi humat + 5% Mo) dan A5 =20% ekstrak krandalit + 60% fraksi

organic + 20% Mo).

Gambar 2. Pengaruh Perlakuan Pupuk Fosfat Cair-Plus terhadap bobot kering tanaman

Perlakuan komposisi campuran ekstrak krandalit sebagai sumber P, fraksi humat, dan Mo

berpengaruh tidak nyata terhadap komoponen tinggi tanaman (2, 4, dan 6 MST), dan bobot kering

tanaman (6 MST), tetapi berbeda nyata terhadap bobot kering tanaman (4 MST). Data secara keseluruhan

memberikan indikasi bahwa terdapat kecenderungan penambahan bobot kering tanaman akan menurun

seiring dengan berkurangnya unsur hara P yang diberikan. Data secara keseluruhan memberikan indikasi

bahwa terdapat kecenderungan penambahan bobot kering biji kedelai akan menurun seiring dengan

berkurangnya unsur hara P yang diberikan melalui ekstrak krandalit.

Tinggi Tanaman akibat Perbedaan dosis dan Jenis Pupuk

Data hasil percobaan pot di Lapaagan yang meliputi komponen pertumbuhan tanaman disajikan

pada Gambar 3, 4 dan 5. Data pada gambar 3 menunjukkan bahwa tinggi tanaman bervariasi. Perlakuan

P4 menghasilkan tinggi tanaman tertinggi, dan yang terendah adalah perlakuan P2. Pada perlakuan tanpa

pemberian pupuk (P0) memberikan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2, NPK, dan

NASA.

Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kedelai

Dosis pemberian pupuk relatif berpengaruh meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan

dengan jenis pupuk NPK dan NASA.

Page 38: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

32

Jumlah cabang

Perlakuan dosis pupuk fosfat cair-plus berpengaruh terhadap jumlah cabang tanaman kedelai dan

sangat bervariasi. Jumlah cabang terbanyak adalah pada perlakuan P2 sedangkan paling rendah pada

perlakuan P4..

Gambar 4. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah cabang tanaman kedelai

Pupuk fosfat cair-plus yang dihasilkan dari campuran ekstrak krandalit, fraksi humat, dan Mo

yang digunakan dalam penelitian ini lebih berpengaruh terhadap komponen produksi dibandingkan

komponen vegetatif karena peranan hara P lebih dominan. Jumlah cabang tanaman kedelai tidak

dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan. Dalam penelitian ini data jumlah cabang yang diperoleh

tidak memberikan gambaran tentang pengaruh tersebut.

Jumlah bintil akar

Jumlah bintil akar akibat pengaruh perlakuan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh dosis dan jenis pupuk terhadap jumlah bintil efektif

Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk fosfat cait-plus pada takaran rendah cenderung

menurunkan jumlah bintil akar, sedangkan pada dosis 60 L ha-1

(P5) meningkatkan jumlah bintil akar dan

relatif sama dengan pengaruh pemberian pupuk lainnya.

Page 39: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

33

Hasil kedelai

Gambar 6 menunjukkan bahwa dosis optimum 30 L ha-1

pupuk fosfat cair-plus yang dihasilkan

dari campuran ekstrak krandalit, fraksi humat dan Mo dapat meningkatkan hasil tanaman kedelai dari 1,6

ton ha-1

menjadi 2,04 ton ha-1

dan cenderung meurun jika dosisnya ditingkatkan.

Gambar 6. Pengaruh dosis perlakuan terhadap hasil kedelai

PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formula pupuk P-Cair-Plus dari campuran

ekstrak krandalit, fraksi humat, dan Mo berpengaruh nyata terhadap komponen bobot kering tanaman (4

MST), dan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Bobot kering tanaman

tertinggi pada perlakuan A6 (tanpa ekstrak krandalit + 80% fraksi humat + 20% Mo ) tetapi berbeda tidak

nyata denga nperlakuan lainnya, kecuali terhadap perlakuan NPK. Hal ini disebabkan peranan fraksi

humat lebih dominan mensuplai N dan memperbaiki metabolisme tanaman, sedangkan Mo berperan

dalam meningkatkan aktivitas enzim dalam proses fiksasi N sehingga bobot kering tanaman meningkat.

Ekstrak krandalit sebagi sumber P dan beberapa hara mikro lebih berperan dalam fase generatif tanaman

dibandingkan fase vegetatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat bintil pada perakaran

tanaman untuk semua perlakuan, namun keefektivan bintil yang terbentuk berpengaruh tidak nyata

terhadap komponen pertumbuhan tanaman. Pengaruh perlakuan pada komponen tinggi tanaman relatif

tidak memiliki pola yang teratur. Hal ini disebabkan keseimbangan nutrisi belum berpengaruh nyata pada

awal pertumbuhan (0 sampai 4 MST).

Penyerapan hara maksimum diduga terjadi pada umur 3-4 MST, dan pada saat memasuki fase

generatif, penyerapan fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan hara lainnya. Pengisian polong

pada tanaman kedelai sangat ditentukan oleh ketersediaan hara P, karena P sanagat dibutuhkan dalam

transfer energi, pembentukan ATP dan ADP. Energi dari sinar matahari yang terperangkap pada daun

akan diubah menjadi energi kimia yang relatif stabil, selanjutnya digunakan untuk mereduksi C menjadi

karbohidrat melalui fotosintesis.

Pupuk fosfat cair-plus yang digunakan dalam penelitian ini lebih berpengaruh terhadap

komponen produksi dibandingkan komponen vegetatif karena peranan hara P lebih dominan. Jumlah

cabang tanaman kedelai tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan. Dalam penelitian ini data

Page 40: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

34

jumlah cabang yang diperoleh tidak meberikan gambaran tentang pengaruh tersebut. Hal ini disebabkan

residu pupuk pada pertanaman padi sebelum percobaan di lahan yang sama masih berpengaruh terhadap

pertumbuhan tananan kedelai. Residu pupuk urea dan NPK yang digunakan petani lebih berpengaruh

terhadap komponen vegetatif dibandingan komponen generatif. Pembentukan bintil akar sangat

dipengaruhi oleh aktivitas bakteri rhizobium yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Diduga kondisi

tanah pada lokasi penelitian sangat menunjang aktivitas bakteri rhizobium. Pemberian bahan organik

dapat meningkatkan kelarutan P di dalam tanah melalui pembentukan fosfo-humus yang lebih mudah

diserap oleh tanaman (Tisdale et al., 1993).

SIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian berdasarkan variabel pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai

adalah pupuk fosfat cair yang diformulasi dari ekstrak krandalit, fraksi humat kotoran sapi dan unsur

mikro molybdenum (Mo) berpengaruh terhadap bobot kering tanaman kedelai (4 MST) dibandingkan

tanpa pemberian pupuk P. Formula terbaik yang dapat digunakan sebagai pupuk P yang dihasilkan dari

komposisi ekstrak krandalit, fraksi humat kotoran sapi, dan unsur Mo adalah perlakuan A3 (60% ekstrak

krandalit + 30% fraksi humat kotoran sapi + 10% unsur mikro Molibdenum) untuk meningkatkan

pertumbuhan kedelai pada Inceptisols Prafi. Dosis optimum pupuk fosfat cair-plus dari hasil penelitian ini

adalah 30 L ha-1

dapat meningkatkan produksi kedelai dari 1,6 t ha-1

menjadi 2,04 t ha-1

pada Inceptisols

Prafi Manokwari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian MP3EI. Terima kasih kami sampaikan kepada

DP2M Dikti, yang telah mendanai kegiatan penelitian ini melalui Hibah Kompetitif Nasional Tahun

2013-2014.

KEPUSTAKAAN

Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka Ramalan II Tahun 2006

Produksi Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Musaad, I. 2011. Beberapa sifat Kimia Tanah Akibat Pemberian Ekstrak Krandalit dan Fraksi Bahan

Organik Pada Humic Hapludults. Jurnal Agrotek.Vol 2. No.3. Fakultas Pertanian dan Teknologi

Pertanian UNIPA Manokwari.

Musaad, I. 1996. Pengaruh Pemanasan dan Pengasaman terhadap Tahana Fosfat Tanah Endapan

Fosfat Krandalit Ayamaru Sorong. Bulletin Penelitian Pascasarjana UGM. 9 (3B), Agustus

1996.h. 333-337

Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika (Terjemahan Jayadinata, J.J). Penerbit ITB

Bandung

Stevenson, F. J. 1986. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. John Wiley and sons, New

York.

Tisdale, S., L. Nelson, and J. D. Beaton. 1993. Soil Fertility and Fertilizers. Second edition. Macmillan

Publishing Co. London Pp. 694-695.

Page 41: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

35

BIOASSAY EKSTRAK KASAR (CRUDE EXTRACT) DAUN BROTOWALI (Tinospora crispa (L)

Miers) PADA BAKTERI GRAM POSITIF DAN BAKTERI GRAM NEGATIF

BIOASSAY CRUDE EXTRACT OF BROTOWALI LEAVES (Tinospora crispa (L) Miers) IN

GRAM POSITIF AND NEGATIF BACTERIALS

Ida Ayu Putu Suryanti

Jurusan Pendidikan Biologi, F.MIPA

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak kasar daun brotowali pada

beberapa bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Steptococcus pyogenes dan Bacillus cereus) dan

beberapa bakteri Gram negatif (Salmonella thypi, Escherichia coli dan Vibrio colerae) dengan

menggunakan metode Kirby-Bauer. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi,

Laboratoriom Kimia Organik dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi, FMIPA

Universitas Udayana selama 4 bulan. Secara umum, zona hambat pada beberapa bakteri uji dalam

penelitian ini, yang dibentuk oleh ekstrak kasar daun brotowali dengan konsentrasi 100 ppm, 1000 ppm,

dan 10000 ppm, menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P < 0,05) dengan kontrol, walaupun belum

diketahui senyawa aktif apa saja dalam daun brotowali yang bersifat bakteriostatik atau bakterisida.

Pada bakteri Gram positif, zona hambat tertinggi yang terbentuk dari ekstrak daun brotowali dengan

konsentrasi rendah (1 ppm dan 10 ppm) terdapat pada Staphylococcus aureus yaitu berturut-turut 0,32

cm dan 0,47 cm sedangkan pada bakteri Gram negatif terdapat pada Escherichia coli yaitu 0,87 cm dan

0,49 cm. Bakteri Gram positif cenderung menunjukkan sifat yang lebih resisten pada perlakuan ekstrak

daun brotowali dengan konsentrasi rendah jika dibandingkan dengan bakteri Gram negatif, sedangkan

pada konsentrasi tinggi, bakteri Gram positif relatif lebih sensitif.

Kata kunci: Daun Tinospora crispa (L) Miers, Metode Kirby-Bauer, Bakteri

ABSTRACT

The main objective of this research was to investigate the toxicity of crude extract of leaves of

Tinospora crispa (L) Miers on several Gram positive bacterial species (Staphylococcus aureus,

Streptococcus pyogenes and Bacillus cereus), several Gram negative bacterial (Salmonella thypi,

Escherichia coli and Vibrio colerae) using Kirby-Bauer method. The project was conducted at the

Laboratory of Microbiology, Organic Chemistry and Plant Physiology, Faculty of Mathematic and

Natural Sciences, Udayana University. The results showed that the crude extract of leaves of Tinospora

crispa (L) Miers inhibited the growth of both Gram positive and Gram negative bacterial species when

exposed at the consentration of 100 ppm, 1000 ppm and 10,000 ppm in vitro. However, it is not known

which of active compounds of brotowali leaves have bacteriostatic or bactericidal properties. In Gram-

positive bacteria, the highest inhibition zones formed by extracts of Tinospora crispa (L) Miers leaves at

low concentrations (1 ppm and 10 ppm) on Staphylococcus aureus were 0.32 cm and 0.47 cm, on Gram-

negative bacteria Escherichia coli were 0.87 cm and 0.49 cm. Gram-positive bacteria are more resistant

at low concentration of Tinospora crispa (L) Miers extract when compared to Gram-negative bacteria.

Whereas, at high concentrations, Gram-positive bacteria are relatively more sensitive.

Keywords: Leave of Tinospora crispa (L) Miers, Kirby-Bauer method, bacteria

Page 42: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

36

PENDAHULUAN

Brotowali (Tinospora crispa (L) Miers) merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi

menyembuhkan berbagai macam penyakit. Di Indonesia, brotowali banyak tersebar di Jawa, Bali, dan

Maluku (Manan, 1996). Tanaman brotowali digolongkan dalam famili Menispermaceae yang tumbuh

merambat dan berkembang dengan baik di daerah tropis. Batangnya mempunyai ciri-ciri berbintil-bintil

rapat (duri semu) dan tidak beraturan, lunak, berair, rasanya pahit, dan mempunyai panjang kurang lebih

2,5 meter. Daunnya berbentuk jantung (cordatus), agak membulat, ujungnya lancip, dan termasuk jenis

daun tunggal. Bunganya berwarna hijau muda dengan lima mahkota bunga dan berukuran kecil. Buahnya

berkumpul dalam tandan serta berwarna merah muda (Kresnady dan Lentera, 2003).

Senyawa kimia yang terkandung dalam tanamam brotowali antara lain alkaloid berberina, damar

lunak, pati, glikosida, pikroretosid, harsa, pikroretin, tinokrisposid, kolumbin, dan kaokulin (Kresnady

dan Lentera, 2003). Alkaloid berberin yang banyak ditemukan di akar merupakan senyawa alkaloid

berwarna kuning yang sangat langka dan mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri.

Penyakit yang dapat disembuhkan antara lain: demam, sakit perut, diabetes melitus, sakit kuning, rematik,

malaria, dan luka infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Robinson, 1995 dan Manan, 1996).

Penelitian Limyati dkk. (1998) tentang efek farmakologi brotowali menunjukkan bahwa ekstraksi

batang brotowali pada konsentrasi 1,0 g/ml bersifat bakteriostatik terhadap Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus serta bersifat fungistatik terhadap Tricophyton ajelloi pada konsentrasi 0,8 g/ml.

Ekstrak ini tidak menunjukkan efektivitas terhadap Candida albican.

Ekstrak batang brotowali juga dapat menghambat Streptococcus beta hemoliticus standar strain

WHO dengan zona hambat 14,50 mm dengan kadar hambat maksimum 0,25 g/ml, Staphylococcus

epidermis sebesar 12,43 mm dengan kadar hambat maksimum 0,4 g/ml, Streptococcus aureus sebesar

10,91 mm dengan hambatan maksimum 0,4 g/ml, dan yang terkecil adalah Salmonella thyposa sebesar

8,11 mm dengan kadar hambat maksimum 0,9 g/ml (Soemiati dkk., 1998).

Penelitian mengenai uji toksisitas ekstrak terutama bagian batang dan akar tanaman brotowali

yang dikenal sebagai tanaman obat telah banyak dilakukan. Hanya saja uji toksisitas bagian daun tanaman

brotowali masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan bioassay

ekstrak kasar daun brotowali pada beberapa bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.

MATERI DAN METODE

Material Hidup

Material hidup berupa bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,

Bacillus cereus) dan bakteri Gram negatif (Salmonella thypi, Escherichia coli dan Vibrio colerae)

diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi F.MIPA UNUD dan Balai Laboratorium

Kesehatan (BLK) Sanglah. Daun brotowali diperoleh di sekitar Kampus Bukit Jimbaran, Universitas

Udayana, Bali.

Bahan Habis

Bahan habis yang digunakan dalam penelitian ini adalah nutrient broth (NB) Becton Dickinson,

nutrient agar (NA) Merck, alkohol, methanol, dan aquades steril.

Larutan Stok

Larutan stok (10.000 ppm) dibuat dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak kering daun brotowali

dalam pelarut dan volume akhir diatur sampai 100 ml. Konsentrasi kerja (1000 ppm, 100 ppm, 10 ppm,

Page 43: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

37

dan 1 ppm) dibuat dengan cara mengencerkan larutan stok ini dengan menggunakan rumus pengenceran

(M1 x V1 = M2 x V2).

Ekstraksi

Daun brotowali yang telah dicuci bersih dengan air mengalir dikering anginkan, diblender sampai

menjadi bentuk tepung, dan ditimbang 100 gram untuk dimaserasi dengan 500 ml metanol pada suhu

kamar selama 72 jam. Setelah itu, disaring, dan diuapkan dengan vacum rotary evaporator pada suhu

40oC dengan tujuan untuk memisahkan ekstrak dari pelarutnya. Ekstrak yang diperoleh dikeringkan

hingga membentuk kristal, sebelum dilakukan bioassay.

Bioassay Ekstrak Daun Brotowali

Suspensi bakteri uji dibuat dengan cara menginokulasi 50 ml medium NB dengan 1 loop jarum

ose biakan murni bakteri uji. Medium yang sudah diinokulasi tersebut diinkubasi pada 37oC selama 24

jam untuk memperoleh densitas suspensi yang setara dengan 108 sel/ml.

Aktivitas antibakteri dari ekstrak daun brotowali dengan berbagai konsentrasi ditentukan dengan

menggunakan etode Kirby dan Bauer 1966 dala Dwidjose utro 1994 . Untuk e buat “bacterial

Lawn” sebanyak 100 µl sus ensi bakteri uji disebarkan secara erata ada er ukaan ediu NA.

Kemudian kertas cakram yang sudah diisi (didepositkan) sebanyak 20 µl ekstrak dengan konsentrasi yang

bervariasi dite elkan ada er ukaan “bacterial lawn” dan diinkubasi ada suhu 7oC selama 24 jam.

Kertas cakram yang diisi (didepositkan) dengan pelarut saja dengan volume yang sama dengan ekstrak

berfungsi sebagai kontrol.

Aktivitas antibakteri dari ekstrak ditunjukkan oleh terbentuknya zona bening (halo) di sekitar

kertas cakram pada medium. Uji ini dilakukan sebanyak 5 kali ulangan, diameter hambatan diukur

sebanyak 3 kali, dan dirata-ratakan. Percobaan bioassay pada bakteri uji menggunakan rancangan acak

lengkap faktorial, dengan 5 variasi konsentrasi ekstrak ditambah kontrol dan 6 jenis bakteri yang terdiri

dari 3 bakteri Gram positif dan 3 bakteri Gram negatif.

Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis

sidik ragam (ANOVA), dan bila hasilnya berbeda nyata pada P < 0,05, maka analisis dilanjutkan dengan

uji jarak berganda Duncan (Vincent, 1991).

HASIL

Zona hambat yang bervariasi yang disebabkan oleh perlakuan ekstrak kasar daun brotowali (Tinospora

crispa (L) Miers) pada beberapa bakteri Gram positif dapat dilihat pada Grafik 1 dan bakteri Gram negatif

pada Grafik 2.

Grafik 1. Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali terhadap Beberapa Bakteri Gram positif

Page 44: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

38

Pada konsentrasi ekstrak rendah (1 ppm dan 10 ppm), Staphylococcus aureus menunjukkan zona

hambat yang paling tinggi yaitu berturut-turut 0,32 cm dan 0,47 cm, sedangkan zona hambat terendah

terdapat pada Bacillus cereus. Ketiga bakteri uji menunjukkan hasil yang bervariasi pada konsentrasi

tinggi (dari konsentrasi 100 ppm sampai 10000 ppm) (Grafik 1.).

Grafik 2. Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali terhadap Beberapa Bakteri Gram negatif.

Grafik 2 menunjukkan bahwa Escherichia coli kurang resisten dibandingkan dengan bakteri uji

lainnya, baik pada ekstrak kasar brotowali dengan konsentrasi tinggi maupun rendah. Zona hambat yang

terbentuk pada konsentrasi rendah (1 ppm dan 10 ppm) masing-masing adalah 0,87 cm dan 0,49 cm.

Sedangkan Vibrio colerae terlihat paling resisten bila dibandingkan dengan bakteri Gram negatif lainnya

pada penelitian ini.

Tabel 1. Diameter rata-rata zona hambatan ekstrak daun brotowali (Tinospora crispa (L) Miers) pada

berbagai konsentrasi terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif

Konsentrasi

(ppm)

Diameter Zona Hambatan (cm)

Bakteri Gram Positif Bakteri Gram Negatif

Staphylococcus

aureus

Streptococcus

pyogenes

Bacillus

cereus

Salmonella thypi Escherichia

coli

Vibrio colerae

0 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a

1 0,32 ± 0,44abcdefg 0,23 ± 0,33abcde 0,00 ± 0,00a 0,35 ± 0,33bcde 0,49 ±

0,45bcdefg

0,14 ± 0,31abc

10 0,47 ± 0,43bcdefghi 0,28 ± 0,38abcde 0,09 ± 0,21ab 0,44 ± 0,40bcdefg 0,86 ± 0,04ghi 0,15 ± 0,32abcd

100 0,63 ± 0,55defghij 0,43 ± 0,39bcdefg 0,59 ±

0,33cdefghi

0,56 ± 0,31cdefg 0,87 ± 0,07hi 0,43 ± 0,39bcdefg

1000 0,68 ± 0,38efghijk 0,72 ± 0,33f 0,81 ± 0,07gh 0,57 ± 0,32cdefg 0,89 ± 0,08f 0,71 ± 0,02f

10000 0,91 ± 0,01i 1,02 ± 0,05h 0,99 ± 0,04jk 0,83 ± 0,07gh 1,06 ± 0,06h 0,77 ± 0,04g

Keterangan : Nilai-nilai pada Tabel 1 ± standar deviasi merupakan rata-rata dari 5 x ulangan. Nilai-nilai

yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata (P < 0,05) dengan 4

ulangan. Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata (P

< 0,05), berdasarkan pada uji jarak berganda Duncan setelah dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA).

Page 45: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

39

Secara umum, terjadi peningkatan diameter hambatan pada bakteri uji yang berbanding lurus

dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak, walaupun tidak berbeda nyata secara statistik (P > 0,05).

Dalam beberapa kasus, seperti pada uji terhadap Streptococcus pyogenes, Bacillus cereus, dan Vibrio

colerae, aplikasi ekstrak sampai 10 ppm menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (0

ppm) (P > 0,05). Hambatan yang terjadi pada kasus ini lebih banyak disebabkan oleh resistensi bakteri-

bakteri tersebut setelah diberikan perlakuan. Efek ekstrak mulai terlihat pada pertumbuhan bakteri uji,

pada saat konsentrasi ekstrak ditingkatkan menjadi 100 ppm atau lebih, dengan zona hambatan yang

terbentuk secara statistik berbeda nyata dengan kontrol (P < 0,05). Namun secara umum, zona hambatan

yang terbentuk pada semua bakteri uji, yang diberikan ekstrak yang konsentrasinya 10.000 ppm,

menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan semua konsentrasi yang dipakai (Tabel 1).

PEMBAHASAN

Pada semua kasus, konsentrasi ekstrak memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol (P <

0,05). Zona hambatan yang terjadi disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak kasar

daun brotowali. Beberapa penelitian yang serupa yang menggunakan ekstrak daun brotowali juga telah

banyak dilakukan. Suanda (2002) misalnya melakukan bioassay ekstrak ini dapat mengendalikan larva

Plutella xylostella yang menyerang tanaman kubis. Limyati dkk. (1997; 1998), dan Chang (2003) juga

menyatakan bahwa ekstrak tumbuhan ini sangat efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri uji.

Walaupun tidak diidentifikasi dalam penelitian ini, beberapa peneliti lain menemukan bahwa

ekstrak tumbuhan brotowali mengandung senyawa anti bakteri, senyawa alkaloid berberin (Anonim,

2003). Senyawa ini juga telah banyak dilaporkan sebagai senyawa antibakteri pada luka yang masih

basah. Menurut Martin (1982) dan Pelczar dan Chan (1988) senyawa kimia yang mengandung gugus

fenol (termasuk alkaloid berberin) dapat merusak proses-proses di dalam sel dengan cara mengendapkan

protein atau mendenaturasi protein. Dalam penelitian ini masih belum diketahui apakah senyawa yang

diidentifikasi oleh peneliti-peneliti di atas berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.

Untuk setiap konsentrasi yang didedahkan, zona hambatan tidak dipengaruhi oleh jenis bakteri

uji, walaupun terjadi variasi zona hambatan pada jenis bakteri uji untuk konsentrasi ekstrak yang sama

namun secara statistik (P > 0,05), hasil tersebut tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P > 0,05)

(Tabel 1). Hal menarik yang dapat diamati pada tabel ini adalah bakteri-bakteri Gram positif secara umum

cenderung menunjukkan sifat yang lebih resisten pada ekstrak daun brotowali dengan konsentrasi rendah

jika dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Sebaliknya, pada konsentrasi tinggi bakteri Gram positif

relatif lebih sensitif terhadap ekstrak daripada bakteri Gram negatif, walaupun hasil-hasil ini tidak

berbeda nyata (P > 0,05). Penyebab dari kecenderungan tersebut tidak diketahui dengan pasti, dan perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Aplikasi ekstrak kasar daun brotowali, khususnya untuk mengontrol bakteri-bakteri penyebab

penyakit yang disebabkan oleh bakteri uji, memerlukan konsentrasi yang sedikit bervariasi tergantung

pada jenis bakteri yang akan dikontrol. Namun, konsentrasi yang disarankan adalah konsentrasi terendah

yang memberikan efek nyata pada pertumbuhan bakteri uji (secara statistik berbeda nyata dengan

kontrol). Hal ini dilakukan untuk meminimalkan efek-efek samping yang mungkin timbul sebagai akibat

diaplikasikannya ekstrak ini pada penderita. Dalam penelitian ini belum diidentifikasi apakah ekstrak

kasar daun brotowali bersifat bakteriostatik atau lethal pada bakteri uji yang didedahkan. Oleh karena itu,

penelitian lanjutan yang berhubungan dengan aspek tersebut masih perlu dilakukan dikemudian hari.

Page 46: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

40

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :

1. Zona hambat yang terbentuk pada perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm, 1000 ppm dan

10000 ppm menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol.

2. Pada bakteri Gram positif, zona hambat tertinggi dari ekstrak daun brotowali dengan konsentrasi

rendah (1 ppm dan 10 ppm) terdapat pada Staphylococcus aureus yaitu berturut-turut 0,32 cm dan 0,47

cm sedangkan pada bakteri Gram negatif terdapat pada Escherichia coli yaitu 0,87 cm dan 0,49 cm.

3. Bakteri Gram positif menunjukkan sifat yang lebih resisten pada perlakuan ekstrak daun brotowali

dengan konsentrasi rendah sedangkan pada konsentrasi tinggi bakteri ini cenderung lebih sensitif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ni Putu Adriani Astiti dan Bapak Yan Ramona

yang telah memberikan masukan dan saran pada penelitian ini serta semua pihak yang membantu.

KEPUSTAKAAN

Anonim. 2003. Brotowali (Tinospora crispa Miers. Hool. F & Thems). http//www.asiamaya.com/

jamu/isi/brotowali_tinosporacrispa.html. Diakses tgl. 17 Januari 2004

Chang, S.S. 2003. Brotowali. Warta Tanaman Obat Indonesia. http//www. Changjaya-abadi.com/

alternatives-11.html. Diakses pada 9 Oktober 2004.

Kresnady, B dan T. Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Brotowali, Sipahit Yang Menyembuhkan.

Agromedia Pustaka.

Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Limyati, D.A., N. Arif, dan Asmawati. 1997. Daya Antimikroba. Penentuan Daya Anti Bakteri Batang

Brotowali dengan Metode Bioautografi. Fakultas Farmasi Unversitas Widya Mandala.

http://www.lembaga.wima.ac.id/ ippm/dinaas97.pdf. Diakses tanggal 15 Juni 2003.

Limyati, D.A, Artawan, dan H. Junita. 1998. Daya Antimikroba Ekstrak Brotowali terhadap

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Candida albicans, dan Trichophyton ajelloi. Fakultas

Farmasi Unversitas Widya Mandala. http://www.lembaga.wima.ac.id/ippm/ppot/Abstrak-PEN-

PPOT-WEB-Mikro.hlml, Diakses tgl.15 September 2003

Manan, H.A. 1996. Tanaman Brotowali, Pahit Tapi Bermanfaat. Harian Suara Pembaharuan. 18 Jan 2003.

Martin, A.R. 1982. Obat Anti Infeksi. Buku Teks Wilson dan Gisvold. Kimia Farmasi dan Medical

Organik Edisi VIII. Editor R.F Doerge. Penerjemah: A.M. Fatah. IKIP Semarang Press.

Pelczar, M.J., dan E.C.S. Chan. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Penerjemah: R.S. Hadiototomo. UI

Press.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.

Suanda, I W. 2002. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora crispa (L) Miers) terhadap

Larva Pluttela xylostella L. pada Tanaman Kubis. Program Studi Teknologi Pertanian Universitas

Udayana. Tesis S-2. Tidak dipublikasikan.

Soemiati, A., Katrin., Ema, R. 1998. Uji Daya Antibakteri Infus Batang Brotowali Terhadap Beberapa

Kuman Standar. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 2(4): 20-2

Vincent, G. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Penerbit Armico Bandung.

Page 47: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

41

KARAKTER MORFOLOGI DAN TINGKAT PERTUMBUHAN ANAKAN SEBAGAI BUKTI

TAKSONOMI PENDUKUNG VARIETAS Pandanus tectorius ASAL PULAU ROSWAR, TELUK

WONDAMA, WEST PAPUA

MORPHOLOGICAL CHARACTER AND THE GROWTH RATE OF OFFSPRINGS AS AN

EVIDENCE OF TAXONOMIC VAREITY OF Pandanus tectorius FROM ROSWAR ISLAND,

WONDOMA GULF, WEST PAPUA

Nurhaidah I. Sinaga1, Martinus Iwanggin

1, Cicilia M.E. Susanti

1

1Fakultas Kehutanan, Universitas Papua

Email: [email protected] dan [email protected]

INTISARI

Pandanus mempunyai berbagai varieatas dalam speciesnya, tetapi bebrapa variasi tidaklah

cukup membedakan antar spesiesnya. Hal ini karena kami belum memiliki atau menemukan karakter

yang lengkap dari specimen herbarium, seperti kami tidak dapat membedakan antara bunga jantan dan

betina. Hal ini terjadi pada Pandanus tectorius dari Pulau Roswar. Oleh karena itu kami memerlukan

data lain dari sumber penting lainnya. Itulah alasanny adilakukan penelitian ini pada P. tectorius dari

Pulau Roswar, Teluk Cendrawasih, Papua. Dua varietas dari spesies ditanam menggunakan desain

penelitian dari metode statistic. Hasilnya menunjukkan bahwa Pandanus mempunyai dua varietas.

Perbedaan kedua varietas ditemukan baik pada karakter morfologi yang mana buahnya, khususnya jari-

jari dan juga daun dan karakter pertumbuhan anakannya. Pertumbuhan anakan dari Pandanus tectorius

memberikan persetujuan dalam level taxon. Paper ini akan mendiskusikan dan memperluas tektik dan

karakter-kharakter khususnya.

Kata kunci: Pandanus tectorius, Varietas, Bukti Taksonomi Pendukung, Pulau Roswar

ABSTRACT

Pandanus has many variaton under species but sometimes the variation has not enough to

separate the species. It is because we don’t have complete charactes during our research or our

characters from specimen herbarium not supported, like we missing the male or female flowers or we

don’t know yet which one is the male flowers of the female one. This problem present on Pandanus

tectorius from Roswar island too. So that we need supported characters from other impotant information.

That was the reason why we did our researches on the P. tectorius from Roswar Island, Cenderawasih

Bay, Papua. Two varietas of the species were planting using experimental design of statistical method.

The result showed that the Pandanus have two varieties. The differences between two varieties are found

on both morphological characters that are fruits, especially phalanges also leaves and developing of

seedling characters. The growing seedling of Pandanus tectorius has given approval for the level of the

taxon. This paper will be discussed and elaborated more on the uniqueness and distinctive characters.

Keywords: Pandanus tectorius, Varietas, supporting taxonomic evident, Roswar island

Page 48: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

42

PENDAHULUAN

Pandanaceae merupakan salah satu kelompok tumbuhan pantai yang pemanfaatannya telah

dilakukan oleh masyarakat sejak dulu, antara lain sebagai bahan makanan, pewangi, zat warna, obat-

obatan dan bahan anyaman (atap, tikar, tempat rokok, tas, dompet). Sebagai bahan ayaman produksi dari

pandan telah diimpor hingga ke Eropa. Untuk menghasilkan ayaman yang berkualitas maka serat pandan

perlu diperhatikan. Serat berkaitan erat dengan varietas pandan yang digunakan. Selain itu untuk

kelangsungan produksi diperlukan usaha budidaya pandan.

Serat dari varietas mana yang memiliki sifat unggul, kemudian ada berapa varietas pandan yang

penting untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Serangkaian penelitian yang dilakukan menunjukan

ada 2 (dua) varietas Pandan di Pulau Roswar dengan bukti taksonomi dari karakter morfologi yang

didukung oleh karakter pandan saat pertumbuhan anakan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan July hingga Oktober 2012. Bertempat di Pulau Roswar,

laboratorium Silvikultur serta laboratorium Konservasi dan Lingkungan Fahutan Unipa. Anakan diambil

dari pulau Roswar dan ditanam dengan mengikuti pola Rancangan Acak Lengkap dengan media tanam

perbadingan tanah dan pasir sebagai perlakuan.

HASIL

P. tectorius di Pulau Roswar memiliki perbedaan dengan jenis umumnya pada bunga jantan

yang dimiliki. Jenis Roswar ini juga menunjukan ciri monoceus dibandingkan dengan dioceus.

Taksonomi Pandanus tectorius

Pandanus tectorious yang tumbuh di Kawasan Taman nasional Teluk Cenderawasih yakni di

Kampung Yende dan Wasior hanya terdiri dari satu varietas. Sementara itu yang tumbuh di Pulau

Roswar yakni kampung Waprak dan Yomber ada 2 varietas. Selanjutnya varietas tersebut dibedakan atas

varietas A dan B. Deskripsi dari masing-masing varietas sebagai berikut:

P. tectorius varietas A

Perawakan: tumbuh berumpun dan berkembang menjadi pohon kecil 2 -8 m. Kanopi tersebar.

Akar nafas pada batang, permukaan akar berduri 2-14 cm diameter, panjang 1-1.5 m. Batang berduri

dengan diameter 15-25 cm. Daun tunggal, tersusun berbaris tiga dalam garis spiral, panjang 100-200 cm,

lebar 7-8 bentuk melidah atau memata pedang, menjangat, ujung runcing dengan panjang lebih dari 15

cm, seluruh tepi daun berduri tajam, permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah hijau kekuningan.

Bunga berumah satu, bunga jantan dan betina berada dalam satu pohon (umumnya berumah dua). Bunga

jantan berwarna putih, muncul beberapa perbungaan sekaligus 5-7 bunga dalam satu percabangan.Bunga

jantan terletak di bawah bunga betina. Memiliki 9 bracts yang tersusun tiga tiga dalam lingkaran spirali;

Perbungaan jantan memiliki tangkai perbungaan 4-5 cm, terdapat 4 bunga yang tersusun mengumpul

tepat di tengah dengan bunga jantan yang menyebar sepanjang 15-20 cm rakhis. Perbungaan betina

semusim buah hanya 1 buah dan terminal atau berada di ujung perbungaan. Cephalium terlihat seperti

buah nenas, bentuk bulat, diameter 20-25cm; tersusun atas kumpulan buah majemuk (phalanges), yang

berisi sekitar 50-60 phalanges; setiap phalanges memiliki 15 -19 sub phalanges; berwarna hijau

kekuningan saat matang (tidak berwarna kuning atau merah seperti varietas umumnya) dan pada

Page 49: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

43

permukaan atas sub phalanges memiliki 5 sisi yang tegas terlihat hamper menyerupai pyramid tumpul

dengan hanya satu stigma tertinggal tepat di tengahnya.

Gambar 1 A. P. tectorius varietas A: cephalium diameter 20-25 cm; dengan jumlah phalange 50-60;

jumlah sub phalange 15-19; B. P. tectorius varietas B:cephalium diameter 15-20 cm; dengan jumlah

phalange 35-45; sub phalange 7-9.

P. tectorious varietas B

Perawakan: tumbuh berumpun dan berkembang menjadi pohon kecil 2 -8 m. Kanopi tersebar.

Akar nafas pada batang, permukaan akar berduri 2-14 cm diameter, panjang 1-1.5 m. Batang berduri

dengan diameter 15-25 cm. Daun tunggal, tersusun berbaris tiga dalam garis spiral, panjang 100-150 cm,

lebar 5-6 cmbentuk melidah atau memata pedang, menjangat, ujung runcing dengan panjang lebih dari 15

cm, seluruh tepi daun berduri tajam, permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah hijau kekuningan.

Bunga berumah satu, bunga jantan dan betina berada dalam satu pohon (umumnya berumah dua). Bunga

jantan berwarna putih, muncul beberapa perbungaan sekaligus 5-7 bunga dalam satu percabangan.Bunga

jantan terletak di bawah bunga betina. Memiliki 9 bracts yang tersusun tiga tiga dalam lingkaran spirali;

Perbungaan jantan memiliki tangkai perbungaan 4-5 cm, terdapat 4 bunga yang tersusun mengumpul

tepat di tengah dengan bunga jantan yang menyebar sepanjang 15-20 cm rakis. Perbungaan betina

semusim buah hanya 1 buah dan terminali atau berada di ujung perbungaan. Cephalium terlihat seperti

buah nenas, bentuk bulat, diameter 20-25cm; tersusun atas kumpulan buahmajemuk (phalanges),

yangberisi sekitar 50-60 phalanges; setiap phalanges memiliki 15 -19 sub phalanges; berwarna hijau

kekuningan saat matang (tidak berwarna kuning atau merah seperti varietas umumnya) dan

padapermukaan atas sub phalanges memiliki 5 sisi yang tegas terlihat hamper menyerupai pyramid

tumpul dengan hanya satu stigma tertinggal tepat di tengahnya. Varietas P. tectorius yang ditemukan di

pulau Roswar ini memiliki kedekatan dengan varietas yang ada di kepulauan Samoa (Thomson et

al.,2006). Namun bunga jantan-nya sangat berbeda. Varietas Samoa memiliki bunga jantan yang tersusun

raceme dengan bunga yang dipisahkan oleh braktea tidak terkumpul di bagian tengah dan buahnya

memiliki sub phalange yang jauh lebih sedikit yakni 4-5. Varietas ini memiliki dua rumah artinya pohon

jantan dan betina terpisah.

A B

Page 50: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

44

Gambar 2. Bunga Jantan yang telah kering

Gambar 3. P. tectorius asal Samoa: A. Bunga jantan yang tersusun bertingkat dalam susunan raceme

B. Buah dengan jumlah sub phalange 4-5.

Tingkat Pertumbuhan Anakan

P. tectorius di Pulau Roswar tumbuh di pantai juga bebatuan karang laut. Kedua verietas ini

ditemukan hidup berdampingan sepanjang pantai Pasir Panas dan Pantai Waprak. Analisis statistik setelah

3 bulan pertumbuhan anakan menunjukan bahwa kedua varietas ini berbeda (Sinaga et al., 2012).

Perbedaan dalam tingkat pertumbuhan ditemukan pada jumlah tunas, tinggi anakan dan jumlah daun.

Rata-rata nilai Varietas A (V2) selalu lebih tinggi dari d Varietas B (V1), (Gambar 4).

Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Tunas

Gambar 4 . Pengaruh Perlakuan Media Tumbuh dan Varietas terhadap Jumlah Tunas P.tectorius

A B

Page 51: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

45

Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Anakan Pandan

Gambar 5. Pengaruh Perlakuan Media Tumbuh dan Varietas terhadap Tinggi Anakan P. tectorius

Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun Anakan

Gambar 6. Pengaruh Perlakuan Media Tumbuh dan Varietas terhadap Jumlah Daun Anakan P.tectorius

PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Tunas

Data penelitian untuk biji tanpa perlakuan saja yang bisa dianalisis sebab data penelitian untuk biji

dengan perlakuan banyak yang hilang (data hilang mencapai 22%) hal ini dikarenakan phalange yang

Page 52: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

46

terbuka memudahkan semut untuk mengambil dan memakan lembaga biji. Keadaan yang sama berlaku

untuk kedua variabel lainnya yakni tinggi anakan dan jumlah daun anakan. Data hasil penelitian dianalisis

dengan menggunakan Anova 2 arah, dimana Baris adalah 4 perlakuan dan kolom adalah 2 varietas yang

diulangi masing-masing sebanyak 5 ulangan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa daerah HO diterima untuk perlakuan media tumbuh/ tanah

dalam arti bahwa perlakuan yang diberikan memiliki pengaruh yang sama. Hal ini ditunjukan oleh nilai F

hitung yang lebih kecil dari F tabel (0,95 versus 2,92) Dengan demikian perlakuan media tanah tidak

berpengaruh terhadap jumlah tunas pandan, namun demikian varietas memperlihatkan pengaruh nyata.

Nilai F hitung untuk varietas lebih besar dari F tabel (29.29 versus 2.92).

Varietas A dan B memiliki pengaruh yang berbeda terhadap jumlah tunas P.tectorius yang

dihasilkan (Data disajikan dalam bentuk diagram batang dalam Gambar 4. Data menunjukkan bahwa

jumlah tunas anakan tertinggi rata-rata dari ke-4 perlakuan dimiliki oleh P. tectorius Varietas A (V1)

yang secara fisik memiliki ukuran lebih besar baik dalam hal ukuran daun dan buah, namun khusus untuk

ukuran tinggi pohon dan diameter batang relatif sama bagi kedua varietas. Jumlahnya dapat dilihat

berkisar antara 6 hingga 9 dalam lima kali ulangan sedangkan varietas B (V2) jumlah tunas berkisar

antara 2 hingga 4 anakan tunas biji. Diduga jumlah biji per phalange P. tectorius Varietas B (V2) boleh

jadi sangat sedikit, kemungkinan 2 biji atau bahkan 1 biji. Terdapat juga perbedaan respon antara P.

tectorius Varietas A dan B, dalam penelitian ini untuk jumlah anakan terbanyak pada P. tectorius

Varietas A dihasilkan dari media tanah 100 % atau P1, sementara itu untuk P. tectorius Varietas B

dihasilkan dari media tanah P2 yakni 75:25 tanah-pasir.

Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Anakan Pandan

Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan media tanah tidak berpengaruh terhadap tinggi

anakan P. tectorius. Nilai F hitung untuk media tumbuh/tanah adalah 0.19 sementara itu nilai F tabelnya

adalah 2,92. Respon yang berbeda ditunjukan oleh varietas yang memperlihatkan pengaruh nyata. Nilai F

hitung untuk varietas adalah 6,53 sementara itu nilai F tabelnya adalah 2,92. Dengan demikian varietas

A dan B memiliki pengaruh yang berbeda terhadap tinggi anakan P. tectorius. Data disajikan dalam

bentuk diagram batang dalam Gambar 5. Pada gambar 30 terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman P.

tectorius lebih besar pada Varietas A dari pada varietas B. Walaupun untuk pohon dewasa keduanya

memiliki tinggi yang relatif sama namun pada saat pertumbuhan selama 3 bulan pertama varitetas A jauh

lebih pesat pertumbuhan tingginya.

Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun Anakan

Data hasil penelitian yang diolah secara statistik menghasilkan Anova pada lampiran 1C. Hasil

penelitian menunjukan bahwa perlakuan media tanah tidak berpengaruh terhadap jumlah daun anakan

P.tectorius, dalam hal ini H0 diterima karena nilai F hitung adalah sebesar 0.47 lebih kecil dari nilai F

tabel yaitu 2.92. Hal yang berbeda terjadi pada varietas, sebagaimana kedua variabel yang telah diuraikan

lebih dahulu varietas juga memperlihatkan pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Diterimanya H1 karena

nilai F hitung adalah 12.71 lebih besar dari F tabel 2,92. Kedua varietas memberikan pengaruh yang

berbeda terhadap jumlah daun anakan P.tectorius, disajikan dalam diagram batang pada Gambar 6.

Hasil analisis data menunjukan bahwa P. tectorius dalam jumlah daun anakan lebih banyak yang

dimiliki oleh varietas A dari pada varietas B. Perlakuan media tumbuh pada grafik batang (Gambar 6)

cenderung menghasilkan jumlah daun yang sama dalam setiap varietas jadi tidak ada berpengaruh nyata.

Page 53: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

47

SIMPULAN

Sekalipun hidup berdampingan varietas A dan varietas B tetaplah varietas yang berbeda, karakter

morfologi dan tingkat pertumbuhan anakan menjadi bukti taksonominya. Perbedaan diantaranya diduga

berkaitan dengan isolasi perkawinan yang mana masa penyerbukan dan perkawinan berlangsung dalam

waktu yang berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada mereka yang terlibat dalam penelitian ini yaitu Yona

Randongkir, Sofia B Kameray dan Merriana Asmuruf. Penelitian ini dilakukan atas sponsor Proyek

Penelitian MP3EI 2012 karena itu ucapan terima kasih juga disampaikan pada Proyek MP3EI juga

Pemda Kabupaten Teluk Wondama, Distrik Wondama dan Masyarakat Pulau Roswar.

KEPUSTAKAAN

Sinaga, N. I., M. E. C. Susanti, dan Y. Kaber. 2012. Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

melalui Budidaya Pandanus tectorius di Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih,

Kabupaten Teluk Wondama. Laporan Penelitian Tahun I MP3EI, Lembaga Penelitian

Universitas Negeri Papua, Manokwari (tidak diterbitkan).

Thomsom. L.A. J., L. Engelberger, L. Guarino, R. R. Thaman, and C. Elevitch. 2006. Pandanus tectorius.

Species Profile for Pasific Island Agroforestry http://www.traditionaltree. org

Page 54: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

48

STRUKTUR ANATOMI AKAR, BATANG DAN DAUN SERTA PENYEBARAN STOMATA

DAN TRIKOMATA PADA Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl

THE ANATOMICAL STRUCTURE OF ROOT, STEM DAN LEAF AS WELL AS THE

DISTRIBUTION OF STOMATA AND TRICHOMA ON Monochoria vaginalis (Burm. F) Presl.

Ni Putu Adriani Astiti

Laboratorium Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi F MIPA UNUD.

Email: [email protected]

INTISARI

Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl adalah salah satu jenis gulma padi yang merugikan baik

secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengembangkan strategi pengendalian gulma ini

diperlukan penelitian tentang anatomi, morfologi, fisiologi, dan ekologi. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui struktur anatomi akar, batang dan daun dari M. vaginalis serta penyebaran

stomata dan trikomatanya mengingat spesies ini mempunyai kecenderungan bersaing dalam hal

penggunaan air, zat hara dan cahaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah freehand

section, semi permanent dengan pewarnaan menggunakan safranin dalam alkohol 70 %. Hasil penelitian

menunjukkan stomata terdapat pada permukaan atas dan bawah daun (amphystomatous) dan juga

tersebar pada batang. Stomata bertipe II, untuk Monocotyledoneae dengan sel penutup berbentuk ginjal

dan dikelilingi oleh 2 sel tetangga dengan dinding pemisah yang searah dengan poros panjang stoma.

Tipe ini hampir sama dengan tipe parasitic (parallel celled) untuk Dicotyledoneae. Trikomata merupakan

trikoma non glanduler, unicellular dan mempunyai penyebaran pada daerah permukaan bawah daun

dan pada batang. Pada akar tidak dijumpai adanya trikoma. Daun bertipe panikoid, dengan jaringan

tiang (palisade) hanya terdapat pada bagian adaksial (daun dorsiventral). Kristal oksalat ditemui pada

akar, batang dan daun bentuk rafida. Berkas pengangkut bertipe kolateral tertutup dengan tipe stele

ataktostele yaitu dengan berkas pengangkut tersebar. Rongga – rongga udara berkembang meluas dan

tersusun secara teratur diantara sel – sel. Parenkim pada M vaginalis berupa aerenkim.

Kata kunci: Monochoria, struktur anatomi, Akar, batang, daun,

ABSTRACT

Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl is one the rice weeds that has direct and indirect negative

impact ti the rice. To develop the strategy of weed management, research on the anatomy, morphology

physiology and ecology are necessary. The aim of this research was to examine the anatomical structure

of the roots, stems and leaves of M. vaginalis, as well as the distribution of stomata and trichomata

because this species tend to compete in water, mneral and light for its development. The method used in

this research was freehand sections, semi-permanent dyed in safranin in 70% alcohol. The results

showed that the stomata can be found below and above laminar leaves (amphystomatous) and also

distributed on stems. Type 2 stomata such as in Monocotyledoneae with renal shaped guard cells

surrounded by 2 neighbor cells, with separated wall lining at the same direction as the length of the

stomata. This type of stomata was similar to the parasitic type (parallel celled). It has trichomata non

glandular, unicellular and distributed below laminar leaves and stems. There was no trichome found on

roots. Panikoid leaf type, palisade on adaxial only (dorsoventral leaves). There was oxalate particle

found on roots, stems and with rafida leaf form. Closed collateral bundle sheets with atactostelle type.

Widen air cavities lay among parenchyma cells on M. vaginalis aerenchyma.

Keywords: Monochoria vaginalis , anatomical structure, root, stem, leaf.

Page 55: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

49

PENDAHULUAN

Monochoria vaginalis (Burm.F.) Presl adalah salah satu dari beberapa jenis gulma padi.

Tumbuhan ini tumbuh bersama tanaman padi dan bersaing dalam kebutuhan akan unsur hara, air, cahaya

dan ruang. Spesies ini adalah gulma golongan berdaun lebar yang mempunyai stadia pertumbuhan yang

cepat terutama dalam keadaan air tergenang. Spesies ini dikatakan mempunyai kecenderungan bersaing

dalam penggunaan air disamping zat hara dan cahaya. Pertumbuhan spesies ini sangat cepat pada stadia

vegetative tanaman padi sehingga dapat mendesak pertumbuhan anakan padi.

Mengingat besarnya kerugian yang disebabkan oleh Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl. ini,

maka perlu dilakukan penanganan yang serius untuk gulma ini. Untuk strategi pengendalian gulma ini

diperlukan penelitian tentang anatomi, morfologi, fisiologi, ekologi dan lain – lainnya. Fahn (1995)

mengatakan bahwa bagian tumbuh – tumbuhan yang langsung ataupun tidak langsung berguna untuk

menegakkan hidup tumbuh – tumbuhan terutama dengan makanan disebut alat hara (organum

nutritivum) seperti misalnya akar, batang dan daun.

Akar adalah bagian tumbuhan yang berperan penting dalam proses penyerapan air beserta garam

– garam. Akar juga merupakan bagian dari tumbuhan yang berperanan penting untuk memperkuat

berdirinya tanaman, Pada tanaman air (hidrofit) system akar kurang berkembang, dapat bercabang atau

tidak dibawah air. Akar kurang berarti bila seluruh permukaan dari tubuh tanaman kontak langsung

dengan air bertindak sebagai absorbsi permukaan dan absorbs air dan m,ineral. Kemungkinan hal inilah

yang menyebabkan akar dari hidrofit mereduksi atau tidak ada (Shukla and Chandel, 1982). Batang

merupakan bagian dari tubuh tumbuhan yang mendukung bagian tubuh yang ada di atas tanah, yaitu

daun, bunga dan buah, serta sebagai jalan pengangkutan air dan zat hara dari bawah ke atas dan jalan

pengangkutan hasil-hasil asimilasi dari atas ke bawah, dan menjadi tempat penimbunan zat-zat cadangan

makanan. Batang tanaman aquatic sangat halus dan berwarna hijau atau kuning, beberapa diantaranya

dapat bermodifikasi menjadi rizoma. Struktur daun pada tanaman mempunyai fungsi untuk pengambilan

zat-zat makanan (resorbsi) terutama untuk zat gas, pengolahan zat makanan (asimilasi), penguapan air

(transpirasi) dan pernafasan(respirasi). Struktur anatomi tumbuhan mempunyai fungsi guna menunjang

proses metabolisme dan untuk perlindungan pada tumbuhan. Stomata dan trikomata adalah derivate

epidermis yang terdapat pada jaringan kulit (Soerodikoesoemo dan Santosa 1987) . Salah satu fungsi

trikomata adalah sebagai jaringan pelindung yang mencegah penguapan yang berlebihan, dan membantu

penyerapan air dan garam – garam mineral. Fungsi utama stomata pada struktur tumbuhan adalah sebagai

tempat pertukaran gas atau sebagai alat pernapasan tumbuhan, dan untuk menyelamatkan tumbuhan dari

kehilangan air.

MATERI DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Freehand section, semi permanen, pewarnaan

menggunakan safranin dalam alcohol 70 %. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan

Rancangan. Acak Lengkap (RAL) untuk menghitung jumlah stomata dan trikomata.

HASIL

Dari hasil pengamatan pada preparat irisan epidermis dan penampang melintang daun, batang

dan akar menunjukkan hasil sebagai berikut :

Page 56: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

50

Penyebaran Stomata.

Stomata tersebar pada permukaan atas dan bawah daun (Amphystomatous) dan juga tersebar

pada bagian batang.

Gambar 1. Stomata pada daun M. vaginalis Gambar 2. Stomata pada batang M. vaginalis

Penyebaran Trikomata

Trikoma tersebar pada permukaan bawah daun dan pada batang.

Sel penutup (guard cell)

Sel tetangga

Porus

Inti sel

Sel epidermis

Trikoma uniseluler

Non glanduler

Sel epidermis

Gambar 3. Trikoma pada daun M. vaginalis Gambar 4. Trikoma pada batang M .vaginalis

Page 57: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

51

Struktur Anatomi Daun

Epidermis atas dan epidermis bawah terdiri dari selapis sel. Dinding sel epidermis mengandung

kutikula. Mesofil berdiferensiasi menjadi parenkim palisade dan parenkim penyimpan udara (aerenkim).

Gambar 5. Struktur Anatomi daun M. vaginalis

Gambar 6. Berkas pengangkut pada daun M vaginalis

Struktur Anatomi Batang

Batang berbentuk bulat, jaringan epidermis terdiri dari selapis sel yang menyelubungi batang. Di

bawah epidermis terdapat selapis sel hypodermis. Diantara sel – sel epidermis ditemui stomata dan juga

trikomata.

a. Epidermis atas

b. Jaringan palisade

c. Aerenkim

d. Rongga udara

e. Kristal ca-oksalat bentuk rafida

f. Berkas pengangkut

g. Sarung mestom

h. Epidermis bawah

i. Stomata

a. Parenkim

b. Buluh cincin

c. Sklerenkim

d. Trakea

e. Trakeida

f. Fluem

g. Sel pengiring

h. Ruang reksigen

Page 58: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

52

Gambar 7. Penampang melintang batang M vaginalis

Gambar 8. Berkas pengangkut pada batang M vaginalis

Struktur Anatomi Akar

Akar berbentuk bulat, jaringan epidermis berupa selapis sel. Lapisan terluar dari korteks

berupa selapis sel eksodermis. Korteks akar tersusun oleh sel – sel parenkim, dengan sel – sel berbentuk

poliedris.

e

d

c

a. Epidermis

b. Hipodermis

c. Berkas pengangkut

d. Aerenkim

e. Rongga udara

f. Kristal ca-oksalat

f

a. Ruang reksigen

b. Parenkim

c. Sklerenkim

d. Trakea

e. Trakeida

f. Fluem

g. Sel pengiring

Page 59: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

53

Gambar 9. Penampang melintang akar M vaginalis

PEMBAHASAN

Stomata pada M. vaginalis termasuk ke dalam tipe II (menurut Stebbins dan Kush, untuk

Monocotyledoneae) yaitu stoma mempunyai dua sel tetangga, tetapi kalau dilihat dari susunan sel

tetangganya termasuk ke dalam tipe parasitic (parallel celled) yaitu dua sel tetangga dengan dinding

pemisah yang searah dengan poros panjang stoma (Pandey, 1982). Ukuran stomata pada permukaan

bawah daun lebih besar dibandingkan pada permukaan atas. Stomata lebih banyak dijumpai pada

permukaan bawah daun dengan jumlah rata – rata stomata 162,5 per mm2, sedangkan pada permukaan

atas daun dengan jumlah rata – rata stomata adalah 146,87 per mm2. Indeks stomata adalah 14,44.

Trikoma pada M. vaginalis merupakan trikoma non glanduler yang terdiri dari sebuah sel yang

sederhana (uniseluler). Hal ini berkaitan dengan transpirasi. Trikoma tidak ditemukan pada permukaan

atas daun dan juga tidak ditemukan pada bagian akar. Hal ini disebabkan karena M. vaginalis termasuk

dalam tanaman air sehingga yang berhubungan dengan proses transpirasi adalah bagian batang dan daun,

sedangkan akar berfungsi sebagai penyangga tubuh tanaman dan sebagai penyerap nutrisi

(Kartasapoetara, 1991). Ukuran trikoma adalah 143,33 + 30,37 mikron.

Pengamatan Pada struktur anatomi daun menunjukkan, M. vaginalis merupakan daun dorsiventral

karena jaringan palisade hanya terdapat pada sisi adaksial. Berkas pengangkut bertipe kolateral tertutup

yang ditandai tidak adanya cambium diantara xylem dan fluem. Sel – sel yang ,mengelilingi berkas

pengangkut, morfologinya berbeda dengan sel – sel yang lainnya yaitu lebih besar, kloroplas lebih sedikit

dan dindingnya lebih tebal. Hal ini menunjukkan bahwa M. vaginalis mempunyai daun yang bertipe

panikoid. Sel – sel ini penyusun sarung (selubung) berkas pengangkut. Pada tulang daun yang lebih kecil,

berkas pengangkut lebih sederhana dan merupakan berkas pengangkut yang tidak sempurna yang hanya

terdiri dari fluem saja yang dikelilingi oleh sel – sel yang lebih besar dari sel – sel mesofil lainnya. Kristal

ca-oksalat yang ditemui pada daun berbentuk rafida.

Pada struktur anatomi batang tidak dapat dibedakan antara bagian korteks dan bagian stele.

Parenkim batang berupa aerenkim dengan sel – sel yang tersusun teratur dengan rongga – rongga udara

yang besar. Diantara aerenkim terdapat jaringan rekresi berupa sel – sel yang berisi Kristal ca-oksalat

bentuk rafida. Berkas pengangkut pada batang merupakan berkas pengangkut bertipe kolateral tertutup

yang ditandai dengan tidak adanya cambium diantara fluem dan xylem. Tipe stele adalah ataktostele yaitu

stele dengan system jaringan pengangkut tersebar.

Pada bagian korteks dari akar M. vaginalis tersusun oleh sel – sel parenkim, dengan sel – sel

berbentuk poliedris. Satu sel dikelilingi oleh empat ruang antar sel yang tersusun secara teratur. Sel – sel

a. Epidermis

b. Eksodermis

c. Parenkim korteks

d. Ruang antar sel

e. Kristal ca-oksalat

bentuk rafida

f. Endodermis

g. Perisikel

h. Jari – jari xylem

i. Metaxilem

j. Protoxilem

k. Fluem

Page 60: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

54

dengan Kristal ca-oksalat bentuk rafida juga ditemui pada parenkim korteks. Disebelah dalam endodermis

terdiri dari unsur – unsur pengangkut yaitu xylem dan floem rafida juga ditemui pada parenkim korteks.

Disebelah dalam endodermis terdiri dari unsur – unsur pengangkut yaitu xylem dan fluem.

SIMPULAN

Dari hasil pengamatan struktur anatomi dari M. vaginalis dapat disimpulkan : Stomata terdapat

pada permukaan atas dan bawah dari daun (amphystomatous) dan juga tersebar pada batang. Stomata

bertipe II (menurut Stebbins dan Kush, untuk monocotyledoneae) dengan sel penutup berbentuk ginjal

dan dikelilingi oleh dua sel tetangga dengan dinding pemisah yang searah dengan poros panjang stoma.

Tipe ini hampir sama dengan tipe parasitic (parallel celled) menurut Metcalfe dan Chalk, pada

Dicotyledoneae. Trikoma merupakan trikoma unisellular, non glanduler dan mempunyai penyebaran pada

daerah permukaan bawah daun dan pada batang. Pada akar tidak dijumpai adanya trikoma. Daun bertipe

panikoid, dengan jaringan palisade hanya terdapat pada bagian adaksial (daun dorsiventral). Kristal ca-

oksalat ditemui pada akar, batang dan daun dalam bentuk rafida. Berkas pengangkut bertipe kolateral

tertutup dengan tipe stele ataktostele . Rongga – rongga udara berkembang meluas dan tersusun secara

teratur diantara sel – sel. Parenkim pada M. vaginalis berupa aerenkim.

KEPUSTAKAAN

Fahn, A. 1995. Anatomi tumbuhan. UGM Press.Yogyakarta

Kartasapoetara, G.A. 1991. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan. Rineka Cipta.Jakarta.

Mulyani E.S., Sri. 2006. Anatomi Tumbuhan. Kansius, Yogyakarta.

Nugroho, H., Purnomo, dan Isirep, S. 2005. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta

Pandey, B.P. 1982. Plant Anatomy. S.Chand & Company LTD. Ramnagar, New Delhi.

Shukla and Chandel. 1982. Plant Ecology. S.Chand & Company LTD.Ramnagar, New Delhi.

Soerodikoesoemo, W. 1984. Anatomi Tumbuhan II (Histologi). Fakulta Biologi.UniversitasGadjah

Mada. Yogyakarta.

Soerodikoesoemo, W. dan Santosa, S. W. 1987. Anatomi Tumbuhan. Karunika, UT,

Taggart, R., and C. Starr, 2000. Plant Structure and Function. Brooks Cole. Australia.

Page 61: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

55

PERKEMBANGAN STRUKTUR MORFOLOGI EMBRIO CENDANA (Santalum Album Linn.)

DARI BUNGA MEKAR HINGGA TERBENTUKNYA BUAH MUDA

MORPHOLOGY STRUCTURE DEVELOPMENT OF SANDALWOOD EMBRYO (Santalum

Album Linn.) OF BLOOMING FLOWERS UNTIL YOUNG FRUIT

Ni Putu Yuni Astriani Dewi1, Eniek Kriswiyanti

1,2, Ni Nyoman Darsini

2

1Program Studi Ilmu Biologi Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali, Indonesia

2Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Udayana, Bali, Indonesia

E-mail : [email protected]

INTISARI

Penelitian tentang perkembangan struktur morfologi embrio Cendana dilakukan untuk

mengetahui perkembangan struktur morfologi embrio cendana (Santalum album Linn.) dari bunga mekat

hingga terbentuknya buah muda. Pengamatan mikroskopis dilakukan di Laboratorium Struktur

Perkembangan Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA, Unud. Sampel bunga dan buah sebanyak 50

karangan diambil dari 5 individu tanaman disekitar Kampus Bukit Jimbaran. Hasil penelitian

menunjukan bahwa pada bunga mekar, perkembangan embrio tahap globuler. Pada buah muda, mahkota

gugur ukuran 4 mm menunjukan embrio tahap bentuk hati, sedang embrio bentuk torpedo terlihat pada

irisan bujur buah muda ukuran 7 mm.

Kata kunci : Santalum album Linn., embedding, acropetal, fruitset, panikula.

ABSTRACT

Research about growth of Sandalwood embryo morphology structure conducted to know growth

of sandalwood embryo morphology structure (Santalum album Linn.) of flower bloom till forming of

young fruit. Microscopic perception done in “Struktur dan Perkembangan Tumbuhan Laboratory”

Departement of Biology, FMIPA, Unud. Flower and fruit samples counted 50 composition taken away

from 5 crop individual around Bukit Jimbaran Campus. The result of research showed that at flower

bloom, growth of phase embryo of globuler. At young fruit, crown be killed size measure 4 mm showed

heart phase embryo, form torpedo embryo seen at longitudinal slice of young fruit of size measure 7 mm.

Keywords : Santalum album Linn., embedding, acropetal, fruitset, panicula.

PENDAHULUAN

Cendana (Santalum album Linn.) tergolong keluarga Santalaceae yang memiliki keistimewaan

dibandingkan jenis kayu lainnya, karena kayunya mengandung minyak atsiri dan memiliki aroma yang

khas (Tjitrosoepomo, 2005). Cendana (S. album Linn.) adalah salah satu jenis cendana yang

menghasilkan kadar minyak terbaik di dunia (Lestari, 2010).

Page 62: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

56

Cendana (S. album Linn.) memiliki penyebaran terbatas di Indonesia antara lain Jawa Timur,

Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Maluku (Lestari, 2010). Tanaman cendana banyak dimanfaatkan

sebagai parfum, rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, sebagai bahan kerajinan, dan dipergunakan

dalam upacara-upacara keagamaan/adat. Masyarakat Bali banyak mempergunakan cendana sebagai obat

anti pembengkakan, bahan yang digunakan adalah rendaman dari gosokan kayu cendananya (Rahayu

dkk., 2002).

Awal pertumbuhan cendana merupakan tanaman setengah parasit dan memperoleh makanan dari

tanaman inang melalui akarnya yang dihubungkan melalui haustorium. Hal itu disebabkan sistem

perakarannya tidak sanggup untuk mendukung pertumbuhannya sendiri. Pertumbuhan cendana

memerlukan tanaman inang dan pelindung, antara lain Albizia chinensis, Acacia sp., Cassia siamea,

Tamarindus indicus, maupun Psidium guajava (Wawo, 2009).

Reproduksi generatif pada cendana menggunakan biji, proses pembentukan biji diawali dengan

penyerbukan (polinasi), yang merupakan peristiwa jatuhnya serbuk sari di atas kepala putik

(Tjitrosoepomo, 2005). Keberhasilan penyerbukan dan pembuahan ditentukan oleh beberapa hal seperti

struktur dan posisi alat reproduksi yang saling berjauhan (Tjitrosoepomo, 2005), kemasakan gamet jantan

(serbuk sari) dan gamet betina (putik) yang tidak terjadi secara bersamaan (Walker, 1999). Salah satu

penyebab kegagalan pembentukan buah dan biji adalah sterilitas serbuk sari. Menurut Bhojwani dan

Bhatnagar (1999) sterilitas serbuk sari dapat disebabkan oleh terganggunya proses meiosis sehingga

perkembangan gametofit maupun spora menjadi terhambat, terganggunya perkembangan kepala sari yang

menyebabkan proses mikrosporogenesis menjadi terhambat, bentuk serbuk sari yang pipih menyerupai

kelopak/ mahkota, serta adanya infeksi jamur dan virus pada kepala sari.

Bunga cendana (S. album Linn.) terletak pada ujung batang dan pada ketiak daun, menurut

Tjitrosoepomo (2005) bunga yang terletak pada ujung batang disebut flos terminalis, sedangkan bunga

yang terletak pada ketiak daun disebut flos axiler. Bunga cendana terdiri dari 4-5 kelopak/ mahkota,

panjang 4-5 mm dan diameter ± 2 mm (Prasetyaningtyas dan Na’ie 004 .

Cendana memiliki dua musim bunga yaitu bulan Desember - Januari dan Mei - Juni. Buah

cendana masak pada bulan Maret - April dan September - Oktober. Tanaman cendana telah berbuah pada

usia 3-4 tahun. Bibit yang terbaik adalah buah dari pohon yang telah berusia 20 tahun dan benih dapat

tumbuh pada lingkungan yang memiliki kandungan air yang dapat memacu perkecambahan (Rahayu

dkk., 2002).

Buah cendana merupakan buah batu (drupa), berbentuk bulat dan berwarna hitam ketika masak.

Bagian biji pada tumbuhan secara umum tersusun oleh kulit biji, endosperm, dan embrio (Campbell dkk.,

2000).

Penelitian mengenai perkembangan struktur morfologi bunga tanaman cendana secara alami,

belum ada yang melaporkan. Adapun penelitian tentang perkembangan embrio pada tanaman dikotil

au un onokotil telah banyak dilakukan se erti “Keraga an orfologi sela a erke bangan e brio

somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb. ” oleh Kasi dan Su aryono 006 “Regenerasi tana an Shorea

pinanga Scheff. melalui embriogenesis so atik” oleh Yelnitis 00 dan e briogenesis so atik

langsung pada cendana oleh Sukmadjaja (2005).

Penelitian mengenai perkembangan struktur embrio secara alami pada buah naga putih

(Hylocereus undatus (A. Berger) Britton and Rose) dan super merah (Hylocereus costaricensis (A.

Berger) Britton and Rose) dari tahap bunga sebelum mekar hingga terbentuk buah telah dilakukan Murni

(2010) menunjukan bahwa pada tahap akhir embrio masak sudah terbentuk bagian embrio bentuk

globuler dan integumen pada buah naga putih dengan persentase 86%, sedangkan bentuk hati pada buah

naga super merah dengan persentase 93%.

Page 63: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

57

Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui perkembangan

struktur morfologi embrio cendana (S. album Linn.) dari tahap bunga mekar hingga terbentuknya buah

muda.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan Jurusan

Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Pengambilan sampel

dilaksanakan pada pagi hari di sekitar Kampus Bukit Jimbaran. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Oktober 2011-Januari 2012.

Metode Pengumpulan Data. Pengambilan Sampel yaitu Sampel bunga dan buah sebanyak 50

karangan bunga diambil dari 5 individu tanaman berusia ± 10 tahun yang ada tahapan bunga mekar,

setelah mahkota gugur, dan buah muda. Sampel yang akan dibuat preparat disimpan dalam alkohol 70%

atau difiksasi langsung dengan larutan fiksatif FAA (9:1:1). Sampel yang akan dibuat preparat adalah

bunga hermaprodit dari mekar hingga buah muda untuk mengetahui perkembangan embrio.

Cara Pembuatan Preparat : Perkembangan struktur morfologi embrio cendana (S. album Linn.)

digunakan metode embedding, yaitu : Bunga pada tahapan yang berbeda disimpan dalam alkohol 70%

diambil untuk difiksasi dalam larutan FAA selama 24 jam. Dehidrasi dengan menggunakan alkohol

bertingkat 70%, 80%, 96% dan 100% (2x) masing-masing selama 10-15 menit. Dealkoholisasi dengan

larutan alkohol 100% dan xylol (2:1, 1:1, 1:2), xylol I, II masing-masing selama 10-15 menit. Infiltrasi

dengan xylol : paraffin 1:1 selama 2-5 jam kemudian xylol : paraffin 1:9 selama 24 jam, paraffin I selama

24 jam, paraffin II selama 1 jam. Kemudian dilakukan penanaman, penyayatan dengan mikrotom putar,

lalu penempelan pada kaca objek dengan gliserin albumin perbandingan 1:1, dibiarkan diatas thermostat

agar hasil sayatan merenggang. Rehidrasi dengan xylol I, II, xylol : alkohol 100% (2:1, 1:1, 1:2), alkohol

100% (2x), 80%, 70% masing-masing 10-15 menit, pewarnaan dengan 1% safranin dalam alkohol 70%

selama 24 jam. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat 70%, 80%, dan 100% masing-masing 3-5 celup. Lalu

dilakukan penjernihan dengan xylol, diberi Canada balsam dan ditutup dengan kaca penutup, diamati di

bawah mikroskop merk MG-Polar-4T-360 (Berlyn and Miksche, 1976). Variabel pengamatan meliputi :

Perkembangan struktur morfologi embrio dari tahap bunga mekar hingga terbentuknya buah mudabunga

sebelum mekar pada cendana (S. album Linn.).

Metode Pengolahan Data dilakukan secara kualitatif dengan merunut perkembangan morfologi

dan anatomi pada bunga mekar hingga terbentuknya buah muda. Kemudian data disajikan dalam bentuk

gambar perkembangan embrio maupun deskripsi secara morfologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Embrio dari Bunga Mekar Hingga Terbentuknya Buah Muda

Berdasarkan hasil penelitian perkembangan struktur morfologi dan anatomi embrio dari bunga

mekar hingga terbentuk buah muda menunjukan adanya perkembangan embrio menurut ukuran panjang

dan diameter dari buah muda. Hasil perkembangan struktur morfologi dan anatomi tahap bunga mekar

kelopak warna hijau dan kemerahan ukuran panjang 4 mm, diameter ± 2 mm, yaitu :

Page 64: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

58

Gambar 1. Struktur morfologi dan anatomi tahap bunga mekar kelopak berwarna hijau dan

kemerahan ukuran panjang 4 mm diameter ± 2 mm. Perbesaran 1X dan 100X .

Keterangan: morfologi bunga mekar hijau (A1) dan anatomi bunga mekar hijau (A2), Morfologi bunga

mekar kemerahan (B1) dan Anatomi bunga mekar kemerahan (B2). 1: kelopak bunga, 2: Mahkota bunga,

3: Benang sari, 4: Putik, 5: ovarium dan ovulum, 6: serbuk sari (Dok. Yuni 2012)

Deskripsi morfologi dan anatomi tahap bunga mekar hijau dan kemerahan ukuran panjang 4 mm dan

diameter ± 2 mm :

Gambar A1 dan B1 menunjukan morfologi tahap awal bunga mekar kelopak hijau dan

kemerahan berukuran 4 mm dan diameter ± 2 mm, memiliki kelopak berjumlah 4 yang berwarna hijau

(seperti gambar A1), kemerahan (gambar B1) hingga berangsur-angsur berwarna merah tua, memiliki

mahkota yang berukuran ± 1.5 mm berjumlah 4. Kepala sari berjumlah 4 berwarna kuning pada saat

kelopaknya berwarna hijau hingga kepala sari berwarna merah , memiliki putik yang memiliki 3 daun

buah yang berukuran ± 2 mm. Gambar A2 dan B2 menunjukan penampang membujur bunga ukuran

panjang 4 mm diameter ± 2 mm warna kelopak hijau dan kemerahan terlihat kepala sari yang memiliki 2

ruang sari. Satu ruang sari terdiri dari dua kantong sari dan serbuk sari sudah matang (no. 6).

Perkembangan struktur morfologi dan anatomi tahap bunga mekar kelopak warna merah ukuran 4

mm diameter ± 2 mm, yaitu:

6

A2. B2.

A1.

1

B1.

2

3

4

5

Page 65: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

59

Gambar 2. Struktur morfologi dan anatomi tahap bunga mekar kelopak berwarna merah ukuran panjang 4

mm diameter ± 2 mm. Perbesaran 1X dan 100X.

Keterangan : A. morfologi tahap bunga mekar kelopak berwarna merah B. embrio bentuk globuler, C.

endosperm (Dokumentasi Yuni, 2012).

Deskripsi morfologi dan anatomi tahap bunga mekar merah ukuran panjang 4 mm dan diameter ± 2 mm :

Gambar 2A menunjukan sebagian besar adanya persamaan secara morfologi pada bunga mekar

kelopak hijau dan kemerahan (Gambar 1), perbedaan yang terlihat yaitu warna kelopak yang berwarna

merah. Penampang membujur bunga ukuran panjang 4 mm diameter ± 2 mm warna kelopak merah

(Gambar 2B dan C) menunjukan adanya perkembangan secara anatomi di dalam bakal biji. Di dalam

bakal biji terdapat suatu ruang kosong, menurut Panchaksharappa and Syamasundar (1975) tentang studi

sitokimia perkembangan bakal biji pada Dipcadi mantanum Dalz, disebut kantong embrio sebagai tempat

berkembangnya embrio. Embrio bentuk globuler (gambar 2B) ditandai dengan sel-sel yang memiliki inti

besar dan jelas (Jenik et al., 2007). Gambar 2C menunjukan endosperm yang ditandai adanya butiran

amilum berwarna bening, menurut (Sumardi dan Pudjoarinto, 1993) endosperm berfungsi sebagai

pemberi nutrisi embrio.

Perkembangan struktur morfologi dan anatomi embrio dari tahap buah muda ukuran 2 mm

diameter ± 1 mm, yaitu:

Gambar 3. Struktur morfologi dan anatomi buah muda ukuran panjang 2 mm diameter ± 1 mm.

Perbesaran 1X dan 100X.

Keterangan : Morfologi dan anatomi buah muda ukuran panjang 2 mm diameter ± 1 mm (A dan B). 1.

bakal biji. (Dokumentasi Yuni, 2012).

Deskripsi morfologi dan anatomi tahap buah muda ukuran panjang 2 mm diameter ± 1 mm :

C.

B.

A.

1.

A. B.

Page 66: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

60

Gambar 3A menunjukan buah muda bentuk seperti lonceng, hijau, terdapat sisa perhiasan bunga

dan sisa tangkai utik. Menurut Prasetyaningtyas dan Na’ie 004 secara orfologi erubahan dari

bunga menjadi buah muda ditandai dengan lepasnya kepala sari dari tangkai sari dan mengeringnya/

gugurnya kelopak maupun mahkota.

Penampang membujur buah muda ukuran panjang 2 mm diameter ± 1 mm (Gambar 3B), secara

anatomi perkembangan embrio tidak dapat dilihat, disebabkan struktur dari kulit biji muda mulai

mengeras ditandai warna merah pekat pada bagian kulit biji sedangkan dalam bakal biji masih lunak,

sehingga pergantian zat maupun saat infiltrasi tidak sampai pada bagian dalam bakal biji dan saat

penyayatan dengan mikrotom bagian dalam bakal biji tidak tersayat. Hal tersebut kemungkinan dapat

menyebabkan hilangnya bagian dalam dari kantong embrio.

Perkembangan struktur morfologi dan anatomi embrio dari tahap buah muda ukuran panjang 4

mm diameter ± 2 mm, yaitu:

Gambar 4. Struktur morfologi dan anatomi buah muda ukuran panjang 4 mm diameter ± 2 mm.

Perbesaran 1X dan 100X.

Keterangan : morfologi buah muda (A), tempat embrio bentuk hati (B), Embrio bentuk hati (C).

(Dokumentasi Yuni, 2012).

Deskripsi morfologi dan anatomi tahap buah muda ukuran panjang 4 mm dan diameter ± 2 mm :

Gambar 4A menunjukan bahwa secara morfologi mengalami penambahan ukuran panjang dan

dia eter dari ukuran buah uda sebelu nya. Menurut Prasetyaningtyas dan Na’ie 004 ena bahan

ukuran dikatakan sebagai adanya pembesaran ke arah horizontal dan vertikal, pembengkakan terjadi

menandakan adanya perkembangan embrio dalam bakal biji. Gambar (4B) menunjukan bagian embrio

yang hilang akibat proses embedding yang kurang baik seperti halnya pada ukuran panjang buah muda 2

mm diameter 1 mm. Gambar 4C menunjukan penampang bujur embrio dengan metode irisan tangan

diperoleh embrio bentuk hati, masing-masing bagian supervisial akan berkembang membentuk dua

kotiledon, yang merupakan ciri perkembangan embrio pada tanaman dikotil (Iriawati, 2010).

Perkembangan struktur morfologi dan anatomi embrio dari tahap buah muda ukuran panjang 6

mm, diameter ± 4 mm dan panjang 7 mm, diameter ± 5 mm, yaitu:

A. B. C.

Page 67: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

61

Gambar 5. Struktur morfologi dan anatomi buah muda ukuran panjang 6 mm diameter ± 4 mm dan

panjang 7 mm diameter ± 5 mm. Perbesaran 1X dan 100X.

Keterangan : morfologi buah muda ukuran panjang 6 mm berdiameter ± 4 mm (A1), morfologi buah

muda ukuran panjang 7 mm berdiameter ± 5 mm (B1), radikula dari buah muda ukuran

panjang 6 mm berdiameter ± 4 mm (A2), embrio bentuk torpedo dari buah muda ukuran

panjang 7 mm berdiameter ± 5 mm (B2), 1. epikarpium, 2. mesokarpium, 3. endokarpium

dan kulit biji, 4. endosperm, 5. kotiledon, 6. hipokotil, 7. radikula. (Dokumentasi Yuni,

2012).

Deskripsi morfologi dan anatomi tahap buah muda ukuran panjang 6 mm diameter ± 4 mm dan panjang 7

mm diameter ± 5 mm:

Gambar 5A1 dan 5B1 menunjukan penambahan ukuran dan pembengkakan bagian biji, terdapat

sisa kelopak dan tangkai putik. Bentuk buah elips hingga bulat, memiliki lapisan kulit buah dengan

permukaan licin berwarna hijau, bagian tengah buah yang berdaging tipis, bagian dalam yang keras.

Sedangkan bagian biji memiliki kulit biji tipis, endosperm berdaging, dan terdapat embrio. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sharma (2004) bahwa, buah batu (drupa) memiliki lapisan kulit luar yang disebut

epikarpium, lapisan tengah berdaging (mesokarpium), dan lapisan dalam yang keras (endokarpium).

Gambar 5A2 dan 5B2 menunjukan penampang membujur buah muda ukuran panjang 6 mm

diameter ± 4 mm 7 mm diameter ± 5 mm, terlihat embrio bentuk torpedo terdiri dari kotiledon, hipokotil

dan radikula. Menurut Bhojwani and Bhatnagar (1999), kotiledon terbentuk dari dua bagian supervisial

proembrio yang berkembang seimbang dan membentuk dua kotiledon. Menurut Iriawati (2010), kotiledon

memiliki peranan sebagai daun fotosintetik saat berkecambah. Hipokotil akan terdeferensiasi menjadi

calon batang, dan radikula yang memiliki peran sebagai akar (Esau, 1964).

SIMPULAN

Perkembangan embrio cendana bentuk globuler ditemukan pada bunga mekar panjang 4 mm dan

diameter ± 2 mm, buah muda ukuran yang sama telah terbentuk embrio bentuk hati, sedang embrio

bentuk torpedo terlihat pada buah muda ukuran panjang 7 mm diameter ± 5 mm.

1

2

3

5

4

6

7

A1 B1

A2 B2

Page 68: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

62

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Ibu Eniek, Ibu Darsini, dan Bapak Made Murdisedana serta

pihak Balai Pembenihan Tanaman Hutan yag telah memberikan bantuan dan informasi dalam penelitian

ini.

KEPUSTAKAAN

Ainsworth C., Susan, C., Vicky Buchanan-Wollaston., Madan, T., John P. 1995. Male and Female

Flowers of the Diocious Plant Sorrel Show Different Patterns of MADS Box Genen Expression .

Avaiableat:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC161015/pdf/071583.pdf. Opened :

05.02.2012

Backer, C. A., R. C. Bakhuizen Van Den Brink. 1965. Flora of Java (Spermatophytes Only) Vol. II. N. V.

P. Noor Dhoff-Groningen-The Netherlands. Page 76 and 78.

Berlyn,G.P. and J.P. Miksche.1976. Botanical Microtechnique and Chemistry. First Edition. The Lowa

state University Press Anes, Lowa.

Bhojwani, S. S. And S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperm. Fourth Resived Edition.

Vikas Publishing House. PVT. LTD. Delhi.

Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2000. Biologi. Edisi Kelima Jilid Kedua. Jakarta :

Erlangga..

Eldina, D. 2003. Pembuatan Larutan Safranin. Avaiable at : http:/www.asosiasipoliteknik.or.id

/index.php?module=display&jurnal_id=210. Opened : 27.08.2011

Elisa. 2004. Penyerbukan. Avaiable at : http:/www.penyerbukan.htm. Opened : 27.08.2011

Esau, K. 1964. Anatomy of Seed Plants. Second Edition. John Wiley& Son. New York.

Iriawati. 2010. Biji dan Perkembangan biji. Avaiable at: http://www.sith.itb.ac.id/profile/buiriawati/

XII.%20BIJI%20DAN%20PERKEMBANGAN%20BIJI.pdf. Opened : 19.09.2011

Jenik, P. D., C. Stewart, G., and L.Wolfgang. 2007. Embryonic Patterning in Arabidopsis thaliana.

Avaiableat:http://www.plantsci.cam.ac.uk/Haseloff/resources/PlantSciPart2_refs/Lecture1/Jenik2

007.pdf. Opened : 14.02.2012

Kasi dan Sumaryono. 2006. Keragaman morfologi selama perkembangan embrio somatik sagu

(Metroxylon sagu Rottb.). Bogor : Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Vol. (1)

44-52.

Kriswiyanti, E., I K. Muksin., L. Watiniasih., M. Suartini. 2008. Pola Reproduksi Pada Salak Bali

(Salacca zalacca Var. Amboinensis (Becc.) Mogea). Jurnal Biologi XII (2) : 78-82.

Kriswiyanti, E. 2006. Perkembangan Tumbuhan (Embriologi Tumbuhan Biji). Jurusan Biologi, F. MIPA,

UNUD. Denpasar.

Lestari, F. 2010. Karakteristik Pembungaan Tiga Provenan dan Empat Ras Lahan Cendana.

Avaiable at : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/72105966_1829-6327.pdf

Opened : 10.01.2012

Maheswari, P. 1950. An Introduction to the Embryology of Angiosperms. India : McGraw-Hill Book

Company, Inc.

Mulyani, S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Cetakan ke-1. Yogyakarta : Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).

Page 69: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

63

Panchaksharappa, M. G. and J. Syamasundar. 1975. A Cytochemical Study of Ovule Development in

Dipcadi montanum Dalz. Part of Thesis submitted by. J. S. for the Ph. D. degree in Botany,

Karnatak University, Dharwar, India.

Prasetyaningtyas, M. 2004. Informasi Singkat Benih Santalum album Linn.

Avaiable at: http://bpthsulawesi.net/files/Santalum%20album.pdf. Opened : 14.02.2012

Prasetyaningtyas M. dan M. Na’ie . 004. Study Fenologi Pembungaan Santalum album Linn. di

Wanagama,Yogyakarta. Avaiable at : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j & q

=studi+fenologi+cendana&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http%3A%2F%2Fiib.ug

m.ac.id%2Fjurnal%2Fdownload.php%3FdataId%3D650&ei=Sw49T7bZL4LsrAfT28yBw&usg=

AFQjCNE1swM6JeG_s0ke_qdKsFgLM6hixQ&cad=rja. Opened: 12.01.12

Rahayu, S., A.H. Wawo, M. Van Noordwijk, dan K. Hairiah. 2002. Cendana:Deregulasi dan Strategi

Pengembangannya. Bogor. World Agroforestry Centre (ICRAF).

Rai, I N., R. Poerwanto, L. K. Darusman dan B. S. Purwoko. 2006. Perubahan Kandungan Giberilin

dan Gula Total pada Fase-fase Perkembangan Bunga Manggis. Jurusan Budidaya Pertanian,

Faperta Universitas Udayana. Denpasar. Avaiable at : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j &

q=penelitian+mengenai+metode+parafin&source=web&cd=16&ved=0CEAQFjAFOAo&url=http

%3A%2F%2Fjournal.ipb.ac.id%2Findex.php%2Fhayati%2Farticle%2Fdownload%2F215%2F81

&ei=PmVCT8HgF83orQeLobXjBw&usg=AFQjCNFsI_AsISVwnicoBmMrEpXFPIpl8w&cad=rj

a. Opened : 20.12.2012

Sharma, R. 2004. An Introduction to Plant Morfology.. India : Campus Books International.

Sukmadjaja, D. 2005. Embriogenesis Somatik Langsung pada Tanaman Cendana. Bogor: Jurnal

Bioteknologi Pertanian.. Vol. 10: 3-6.

Sumardi, I. dan A. Pudjoarinto. 1992. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Yogyakarta : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga

Kependidikan Pendidikan Tinggi.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Cetakan ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-15. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press.

Walker, D. 1999. Studying Pollen

Avaiable at : http://www.geo.arizona.edu/palynology/pol_pix.html.

Opened on : 20.09.2011

Wawo, A. H. 2009. Pengaruh Jumlah Semai Akasia (Acacia villosa) Dan Lamtoro Lokal (Leucaena

glauca) Sebagai Inang Primer Cendana (Santalum album Linn.). Avaiable at :

http://bpthsulawesi.net/files/Santalum%20album.pdf. Opened : 14.02.2012

Yelnitis. 2008. Regenerasi tanaman Shorea pinanga Scheff. melalui embriogenesis somatik. Yogyakarta

: Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Page 70: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

64

DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN RAMBUTAN RAPIAH (Nephelium lappaceum L.)

TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KUNYIT

Anak Agung Istri Mirah Dharmadewi1, Ni Putu Adriani Astiti

1, Luh Putu Wrasiati

2

1Program Studi Magister Ilmu Biologi, Program Pascasarjana Universitas Udayana,Bali

2 Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana,Bali

Email: [email protected]

INTISARI

Rambutan rapiah (Nephelium lappaceum L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat

digunakan sebagai obat yang termasuk kedalam family Sapindaceae. Rambutan mengandung senyawa

alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman yang tumbuh disekitarnya. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun rambutan rapiah terhadap pertumbuhan

tanaman kunyit serta mengetahui kemampuan tanaman kunyit untuk bertahan terhadap pemberian

ekstrak daun rambutan.Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun,

jumlah daun, jumlah tunas dan berat rimpang diamati pada akhir pengamatan. Pemberian ekstrak daun

rambutan dengan konsentrasi 5%,10%,15%, 20% mengakibatkan tinggi tanaman, panjang daun, lebar

daun, jumlah daun lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, namun tidak memberikan pengaruh

terhadap jumlah tunas dan berat rimpang kunyit.

Kata kunci : Rambutan rapiah, ekstrak daun rambutan, kunyit

ABSTRACT

Rambutan rapiah (Nephelium lappaceum L.) is a plant species of plant that belong to

Sapindaceae family. This plant produces conpounds that can inhibit the growth of other plants. This study

is aimed to determine the inhibition effects of rambutan rapiah leaf extract on the growth of turmeric and

determine the ability turmeric to the plant. Parameters in this study were plant height, leaf length, leaf

width, number of leaves, number of shoots and rhizome weight. Aplication of rambutan leaf extract at

concentration of 5%, 10%, 15%, 20% decreased that plant height ,leaf length, leaf number than control,

but did not effect the number of shoots and weight of turmeric.

Keywords : Rambutan rapiah, rambutan leaf extract , turmeri

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditi obat-obatan yang potensial. Beraneka

ragam jenis tanaman obat-obatan telah diproduksi, yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar atau

bahan baku pembuatan obat modern ataupun tradisional. Salah satu jenis tanaman obat yang tumbuh di

Indonesia, yaitu rambutan rapiah (Nephelium lappaceum L.) yang dapat menyembuhkan berbagai macam

penyakit yaitu salah satunya Diabetes mellitus (Savitri, 2006). Seluruh bagian tanaman bisa digunakan

sebagai obat. Disamping kelebihannya, rambutan diduga menghasilkan suatu metabolit sekunder bersifat

alelopati (Taiz dan Zeiger, 1991). Senyawa ini diketahui bersifat toksik baik terhadap serangga maupun

tanaman lain yang terpapar senyawa tersebut.

Rambutan rapiah (Nephelium lappaceum L.) mengandung senyawa alelopati yang dapat

menghambat pertumbuhan tanaman yang tumbuh disekitarnya sehingga hanya tanaman tertentu saja yang

Page 71: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

65

dapat tumbuh di sekitar lahan rambutan (Savitri, 2006). Untuk meningkatkan produksi dan kontinyuitas

perkebunan perlu dilakukan usaha penanaman tanaman rambutan dalam skala besar. Hal ini tentu

membutuhkan lahan yang luas karena jarak tanam antara rambutan umumnya sekitar 12x12 meter untuk

pertumbuhan tanaman yang optimal. Menurut Warsana (2009), salah satu usaha untuk mengoptimalkan

penggunaan lahan yang ditanami yaitu dengan sistem tumpang sari atau penanaman tanaman sela di

sekitar tanaman rambutan.

Tanaman yang digunakan sebagai tanaman tumpang sari yaitu kunyit (Curcuma domestica Val.).

Tanaman ini dipilih karena dapat ditanam dalam pola tanam monokultur maupun tumpangsari/ganda, baik

dengan tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Selain itu penanaman anggota temu-temuan ini

selain sebagai tanaman sela juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat (TOGA). Peluang

pengembangan temu-temuan diantara pohon rambutan cukup besar, karena intensitas naungan yang dapat

ditolerir komoditas temu-temuan dapat mencapai 40% (Pribadi et al., 2000).

MATERI DAN METODE

Tahap Preparasi Sampel

Sampel daun rambutan dikumpulkan, kemudian dicuci dan dikeringanginkan selama 2 hari. Daun

yang sudah kering angin diblender hingga diperoleh serbuk. Serbuk daun rambutan lalu dibungkus dan

disimpan di tempat kering.

Pembuatan Ekstrak

Daun rambutan diekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi dari Oyun (2006). Bubuk daun

rambutan dimaserasi sebanyak 5 gram dengan 100 mL metanol 95% selama satu hari, lalu disaring.

Ampasnya dimaserasi kembali dengan 2 kali pengulangan masing-masing menggunakan 100 mL metanol

95%. Maserat yang diperoleh melalui penyaringan ditampung dan diuapkan dengan vaccum rotary

evaporator untuk mendapatkan ekstrak kental. Setelah didapatkan ekstrak kental (crude extract),

kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitis sesuai dengan konsentrasi yang digunakan.

Penyiapan Bibit Kunyit.

Bibit rimpang kunyit disemai sampai muncul calon rimpang di peti kayu, rimpang yang baru

dipanen dari kebun dijemur sementara (tidak sampai kering), kemudian disimpan. Dipilih rimpang yang

memiliki 3-5 mata tunas (berat rimpang seragam), dikemas dan dicelupkan kedalam larutan fungisida

selama 1 menit kemudian dikeringkan dan dimasukan kedalam peti kayu yang berukuran 40x40. Setelah

2-4 minggu bibit rimpang siap disemai (Nugroho, 1988).

Pemberian Perlakuan

Setelah semua polibag berisi bibit rimpang kunyit, kemudian tiap-tiap perlakuan diberi ekstrak

daun rambutan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan yaitu 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%.

Ekstrak diberikan kurang lebih 75ml, setiap 3 hari sekali selama 12 minggu, kemudian dilakukan

penyiraman dengan aquades setiap harinya.

Pengamatan Morfologi

Pengamatan morfologi tanaman kunyit dilakukan 2 hari setelah perlakuan awal diberikan dan

selanjutnya dilakukan setiap 1 minggu sekali selama 12 minggu. Pengamatan meliputi tinggi tanaman,

panjang daun, lebar daun, jumlah daun, jumlah tunas dan berat umbi.

Page 72: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

66

HASIL

Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap morfologi tanaman kunyit

Pemberian ekstrak daun rambutan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi

tanaman, panjang daun, jumlah daun, lebar daun (P<0,01) namun tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap jumlah tunas dan berat rimpang kunyit (P > 0,01).

Tabel 1. Signifikansi Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Rambutan Rapiah Terhadap Parameter yang

Diamati

Pameter yang diamati Kunyit bulan ke-

1 2 3

Tinggi tanaman ** ** **

Panjang daun ** ** **

Lebar daun ** ** **

Jumlah daun ** ** **

Jumlah tunas - - tn

Berat rimpang - - tn

Keterangan : tn :tidak berbeda nyata pada taraf uji 1% ( P<0,01), **:berbeda sangat nyata pada taraf uji

1% (P<0,01)

Hasil uji Anova menunjukkan bahwa ekstrak daun rambutan memberikan pengaruh yang sangat nyata

(P<0,01) terhadap tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah daun tanaman kunyit sehingga dapat

dilanjutkan ke uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dan dapat dinotasikan pada Gambar 1.

a. Tinggi Tanaman

Pemberian ekstrak daun rambutan rapiah memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman kunyit .

Pada akhir pengamatan diperoleh hasil tanaman kunyit tertinggi pada kontrol dengan tinggi 71,0 cm dan

terendah pada konsentrasi 20% dengan tinggi 36,2 cm.

Gambar 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap tinggi tanaman kunyit

Keterangan : Grafik yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan

Page 73: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

67

Hasil ANOVA menunjukan bahwa ekstrak daun rambutan rapiah memberikan pengaruh terhadap

tinggi tanaman kunyit (P< 0,01) Hambatan tertinggi yaitu pada konsentrasi 20% dibandingkan dengan

kontrol dimana pada akhir pengamatan terlihat perbedaan yang nyata antara kontrol dan pemberian

perlakuan.

b. Panjang Daun

Pemberian ekstrak daun rambutan rapiah memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang

daun temulawak ( P<0,01). Panjang daun tertinggi terdapat pada konsentrasi 0% (kontrol) dengan panjang

27,3 cm dan terendah pada konsentrasi 20 % dengan panjang 13,3 cm (Gambar 2).

Gambar 2. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap panjang daun kunyit

Keterangan : Grafik yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan

Hasil ANOVA menunjukan bahwa ekstrak daun rambutan rapiah memberikan pengaruh terhadap

panjang daun temulawak (P< 0,01). Dimana dapat dilihat pada grafik kontrol dan pemberian perlakuan

memberikan perbedaan yang nyata.

c. Lebar Daun

Ekstrak daun rambutan rapiah pada konnsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% memberikan

pengaruh yang nyata terhadap lebar daun tanaman kunyit (P< 0,01), dimana dapat dilihat adanya

perbedaan yang nyata antara kontrol dan pemberian perlakuan (Gambar 3).

d. Jumlah Daun

Pemberian ekstrak daun rambutan pada konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 20% terlihat adanya

perbedaan jumlah daun kunyit jika dibandingkan dengan kontrol (0%) (Gambar 4).

Page 74: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

68

Gambar 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap lebar daun kunyit

Keterangan : Grafik yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan

Hasil uji ANOVA menunjukan ekstrak memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap lebar

daun tanaman kunyit, dimana lebar daun terpanjang pada akhir pengamatan yaitu pada kontrol 7,6 cm dan

terendah pada konsentrasi 20% yaitu 4,5 cm.

Gambar 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap jumlah daun kunyit

Keterangan : Grafik yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan

Hasil uji Anova menunjukan ekstrak daun rambutan rapiah memberikan pengaruh yang nyata

terhadap jumlah daun kunyit (P<0,01) sehingga dapat dilanjutkan ke uji Duncan dengan jumlah daun

terbanyak pada kontrol yaitu 10 buah dan paling sedikit pada konsentrasi 20% dengan jumlah 6 buah,

dimana kontrol dan pemberian perlakuan memberikan perbedaan yang nyata, namun antar masing-

masing konsentrasi 5%,10%,15%,20% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang daun

kunyit (P>0,01)

Page 75: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

69

e. Jumlah Tunas

Gambar 5. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap jumlah tunas tanaman kunyit

Hasil uji Anova menunjukan bahwa ekstrak daun rambutan rapiah tidak memberikan pengaruh

terhadap jumlah tunas kunyit (P >0,01) dengan jumlah tunas tertinggi pada konsentrasi 0% dengan jumlah

7 buah dan terendah pada konsentrasi 20% sebanyak 6 buah. Sehingga tidak dilanjutkan ke Uji Duncan

untuk melihat masing-masing perbedaan.

f. Berat Rimpang

Pengaruh ekstrak daun rambutan terhadap berat rimpang kunyit setelah diberi perlakuan ekstrak

0%, 5%, 10%, 15%, 20% diperoleh berat rimpang tertinggi pada kontrol dengan berat 50,8 gram dan

terendah pada konsentrasi 15% dengan berat 36,7 gram.

Gambar 6. Pengaruh pemberian ekstrak daun rambutan rapiah terhadap berat rimpang tanaman kunyit.

Hasil uji Anova menunjukan ekstrak daun rambutan rapiah tidak memberikan pengaruh (P>0,01)

terhadap berat rimpang kunyit. Dimana dapat dilihat pada grafik yaitu pada kontrol dan pemberian

ekstrak daun rambutan 5%,10%,15%,20% tidak terlihat perbedaan yang nyata sehingga tidak dilanjutkan

ke Uji Duncan.

Page 76: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

70

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis statistik anova menunjukan pemberian ekstrak daun rambutan

memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, namun tidak

memberikan pegaruh terhadap jumlah tunas dan berat umbi kunyit. Pada akhir pengamatan, ekstrak

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Secara teori, pertumbuhan tinggi

tanaman disebabkan adanya proses pembelahan sel, yang dipengaruhi oleh aktivitas hormon seperti :

auksin, giberelin dan sitokinin. Hal tersebut didukung oleh pendapat Einhellig (1995), bahwa pengaruh

senyawa alelokimia yang terdapat pada ekstrak daun rambutan terhadap pertumbuhan dan perkembangan

organisme sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks. Proses tersebut diawali di membran

sel dengan terjadinya kerusakan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-

ase. Hambatan berikutnya terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta

aktivitas beberapa fitohormon salah satunya yaitu hormon auksin

Pada panjang daun ekstrak daun rambutan memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini dapat dilihat

dari penurunan panjang daun antara kontrol dan pemberian perlakuan.Hal ini disebabkan karena dengan

pemberian ekstrak daun rambutan mengganggu aktivitas hormon auksin dan giberelin penghambatan

pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga panjang daun mengalami penurunan.

Pada lebar daun menunjukan bahwa pemberian ekstrak daun rambutan memberikan pengaruh

terhadap lebar daun kunyit. Hal ini disebabkan adanya senyawa tanin yang terdapat pada tanaman

rambutan yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pada konsentrasi 15%, justru lebih lebar

dibandingkan dengan konsentrasi 20%. Ekstrak daun rambutan dapat merangsang pertumbuhan tanaman

apabila diberikan pada konsentrasi yang tepat (optimal) dan dapat menghambat pertumbuhan apabila

diberikan pada konsentrasi yang lebih tinggi. Tanin mempunyai bahan aktif senyawa fenol, dimana

senyawa fenol dalam bahan aktif memacu pertumbuhan apabila pada konsentrasi yang tepat dan

menghambat apabila pada konsentrasi yang berlebih (Ratnawati, 1988).

Pada jumlah tunas, ekstrak daun rambutan rapiah tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap pertumbuhan kunyit (P>0,01). Hal ini disebabkan karena karbohidrat yang tersimpan pada

rimpang tanaman kunyit mampu bertahan terhadap ekstrak daun rambutan. Selain itu faktor eksternal

seperti temperature juga mempengaruhi pertumbuhan tunas, dimana temperatur yang tepat dapat

mempengaruhi sehingga ekstrak daun rambutan rapiah tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas

kunyit.

Ekstrak daun rambutan rapiah tidak memberikan pengaruh terhadap berat rimpang kunyit (P>

0,01). Hal ini disebabkan karena hormon dan cadangan makanan yang tersimpan dalam rimpang kunyit

masih mampu bertahan terhadap pemberian ekstrak daun rambutan rapiah. Menurut Sutopo (2006),

semakin besar ukuran rimpang maka kandungan protein semakin banyak. Besar bibit rimpang

berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan dan produksi, karena besarnya bibit menentukan besarnya

calon rimpang pada saat permulaan dan berat tanaman saat dipanen.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan ekstrak daun rambutan memberikan pengaruh secara nyata (P<0,01)

terhadap variabel pertumbuhan yang diamati seperti : tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah

daun, namun tidak memberikan pengaruh (P>0,01) terhadap jumlah tunas dan berat rimpang. Perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut dengan ekstrak daun rambutan konsentrasi yang lebih tinggi serta

digunakan daun rambutan yang telah gugur untuk memastikan efek senyawa alelopati dari daun

rambutan. Selain itu dicoba menggunakan tanaman tumpang sari dengan jenis rimpang yang berbeda.

Page 77: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

71

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis berterimakasih kepada Dr. Dra. Ni Putu Adriani Astiti, M.Si, Dr. Ir. Luh Putu Wrasiati,

MP, Dra. I.G.A Sugi Wahyuni, M.Si, Ir Made Ria Defiani, M.Sc (Hons), Dra. Ni Made Puspawati,

M.Pill., Ph.D atas segala saran dan masukan yang telah diberikan dalam penulisan naskah ini

KEPUSTAKAAN

Einhelig, F.A. 1996. Interactions involving allelopathy in cropping system. Agron J. 88:886-

893.Fagliano, V. 1999. Method for measuring antioxsidant activity and its application to

monitoring the antioxsidant capacity of wine. JurnalAgricultur.Food.Chem. 4:1035-1040.

Nugroho, N. A. 1998. Manfaat dan prospek pengembangan kunyit. Ungaran,Trubus Agriwidya. 86 hal.

Oyun, M. B. 2006. Allelopathic potentialities of Gliricidia sepium and Acacia auriculiformis on the

germination ang seedling vigour of maize (Zea mays L.). American Journal of Agricultural and

Biological Science. 1(3): 44-47.

Pribadi, E.R., M. Januwati dan M. Yusron. 2000. Potensi tanaman obat sebagai tanaman sela di bawah

tegakan hutan rakyat. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VII PERAGI, Bogor, 21-23

Maret 200. pp. 336-344.

Savitri. 2006. Diabetes Cara Mengetahui Gejala Diabetes dan Mendeteksinya Sejak Dini. Jakarta: BIP

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Taiz, L. dan Zeiger, E. 1991. Plant Physiology Third Edition. Sinauer Associates Inc. Publishers.

Sunderland, Massachusetts.

Warsana. 2009. Introduksi teknologi tumpangsari jagung dan kacang tanah. BPTP. Jawa Tengah

Page 78: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

72

PELAKSANAAN AWIG-AWIG FAKTOR KEBERHASILAN BIOLOGI KONSERVASI JALAK

BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 ) DI KEPULAUAN NUSA PENIDA

AWIG-AWIG IMPLEMENTATION SUCCESS FACTORS FOR CONSERVATION BIOLOGY

BALI STARLING (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) IN NUSA PENIDA ISLANDS

Sudaryanto1, Cut Sugandawaty Djohan

2, Satyawan Pudyatmoko

3, Jusup Subagja

2

1Mahasiswa S3 Fakultas Biologi UGM,2 Fakultas Biologi UGM., 3 Fakultas Kehutanan UGM.

Email: [email protected]

INTISARI

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) sejak tahun 1966 oleh IUCN (International Union for

Conservation of Nature) Red List of Threatened Species dan CITES (Convention on International Trade

in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dikelompokkan sebagai satwa terancam punah dengan

kategori kritis (Critically Endangered) dan di Indonesia telah dilindungi sejak tahun 1970. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui pelaksanaan awig-awig yang merupakan faktor keberhasilan Biologi

Konservasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida. Pelaksanaan awig-awig di masyarakat diperoleh

melalui observasi, wawancara, pengisian kuesioner dengan indept interview. dengan jumlah responden

sebesar 95 orang. Analisis data dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA) (Analitic Hirarchy

Process) (Atmanti, 2008; Saaty,1993; 1999; 2008). Penghitungan populasi Jalak Bali dengan

penghitungan langsung secara terkonsentrasi, dan perilakunya menggunakan metode Scan Sampling

dengan Instantaneous Sampling (Altman, 1974; Martin & Bateson, 1987). Awig-awig dinilai sebagai

faktor paling penting yaitu 47,32%, kemudian kesejahteraan masyarakat 23,43%, keanekaragaman hayati

sebesar 13,74%, pariwisata 11,89%, dan hukum formal hanya 3,62%. Populasi Jalak Bali di Pulau Nusa

Penida dan Pulau Nusa Lembongan pada bulan Oktober 2014 ada 60 ekor, dan setahun melakukan

reproduksi sebanyak tiga kali yaitu bulan Desember, Juni dan September.

Kata kunci: awig-awig, jalak Bali, Leucopsar rothschildi, Nusa Penida, biologi konservasi.

ABSTRACT

Bali Starling (Leucopsar rothschildi) since 1966 by the IUCN (International Union for

Conservation of Nature) Red List of Threatened Species and CITES (Convention on International Trade

in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) are classified as the critically endangered category and

in Indonesia has been protected since 1970. The purpose of this study was to investigate the

implementation awig-awig a key success factor Conservation Biology Bali Starling on the islands of Nusa

Penida. Awig-awig implementation in society obtained through observation, interviews, questionnaires

with in depth interview. The number of respondents is 95 people. Analysis of the data by using the

Analytic Hierarchy Process (AHP) (Atmanti, 2008; Saaty, 1993; 1999; 2008). Calculation of the Bali

starling population is concentrated by direct calculation, and behavior using the Scan Sampling

Instantaneous (Altman, 1974; Martin & Bateson, 1987). Awig-awig rated as the most important factor is

47,32%, and 23,43% public welfare, biodiversity amounted to 13,74%, 11,89% tourism, and formal law

is only 3,62%. Bali starling population on the island of Nusa Penida and Nusa Lembongan Island in

October 2014 there were 60 birds, and a year reproducing three times, namely in December, June and

September.

Keywords: awig awig, Bali starling, Leucopsar rothschildi, Nusa Penida, biology conservation.

Page 79: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

73

PENDAHULUAN

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung endemik Pulau Bali, dan

pertama kali ditemukan oleh Erwin Stresemann pada tahun 1911 di Desa Bubunan Kecamatan Seririt

Kabupaten Buleleng, dan distribusinya sampai di Taman Nasional Bali Barat (van Balen et al. 2000;

Sudaryanto, 2014). Sementara itu, kehadiran burung tersebut pada tahun 1950an sudah tidak terlihat lagi

di Bubunan Buleleng. Namun pada tahun 1960an Jalak Bali masih terdapat di Selemadeg Tabanan, pada

tahun 1980an di Melaya Jembrana, dan pada tahun 1990an burung tersebut masih ditemukan di Pupuan

Tabanan (Sudaryanto, 2014). Selain itu, Schmidt (1983) mengatakan bahwa Jalak Bali pernah hidup di

Pulau Nusa Penida.

Burung Jalak Bali dalam IUCN Red List of Threatened Species dimasukkan ke dalam kategori

kritis (Critically endangered). CITES memasukan burung tersebut ke dalam Appendix I, dan juga PP RI

No 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (Anonymous, 1999; 2012a; b; Sodhi et

al. 2004; Jepson et al. 2008; Jepson & Ladle, 2008).

Jalak Bali merupakan burung peliharaan yang terkenal karena keindahan bulunya, dan harganya

mahal karena termasuk burung langka sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya. Di pasar gelap

burung ini pada tahun 2004 harganya sekitar Rp 40.000.000 per ekor (Anonymous, 2004). Penangkapan

Jalak Bali secara ilegal di TN. Bali Barat sudah terjadi sejak tahun 1960an, akibatnya populasi Jalak Bali

di TN. Bali Barat semakin berkurang (van Balen et al. 2000; Butchart et al. 2006; Indrawan et al. 2007).

Populasi Jalak Bali yang hidup liar di TN. Bali Barat pada tahun 2012 hanya 4 ekor. Sedangkan

usaha konservasi burung tersebut telah dilakukan oleh Kementrian Kehutanan, BirdLife Indonesia

Programme dan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) di TN. Bali Barat. Bahkan, sampai tahun 2009

telah dilepasliarkan kira-kira 100 ekor Jalak Bali di TN. Bali Barat (Dirgayusa, 1995, Sudaryanto et al.

2003; Sutito et al. 2012).

Konservasi Jalak Bali yang telah dilakukan di TN. Bali Barat ternyata belum berhasil. Oleh sebab

itu, mulai tahun 2006 usaha konservasi Jalak Bali juga dilakukan oleh Friends of the National Park

Foundation (FNPF) bekerjasama dengan Pemda Propinsi Bali dan Universitas Udayana bertempat di

Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung. Usaha tersebut dengan melepasliarkan 57 ekor Jalak Bali di

Pura Penataran Ped Pulau Nusa Penida, dan pertama kali dilepaskan pada tanggal 13 Juni 2006 sebanyak

satu pasang (Wirayudha, 2007).

Tri Hita Karana (Tri = tiga, Hita = baik, bahagia, atau sejahtera, Karana = penyebab) adalah

salah satu ajaran dalam agama Hindu, mengandung pengertian tiga penyebab kebaikan, kebahagiaan atau

kesejahteraan dan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: manusia dengan Tuhannya,

manusia dengan alam lingkungannya dan manusia dengan sesamanya. Penjabaran Tri Hita Karana berupa

awig-awig atau hukum adat adalah perangkat aturan yang mengatur warga di tingkat desa pakraman dan

banjar pakraman di Bali (Sutawan, 2004; Sudaryanto, 2007; Sudantra, 2008; Astiti et al. 2011).

Awig-awig adalah patokan-patokan bertingkah laku, baik yang ditulis maupun tidak ditulis, yang

dibuat masyarakat adat di Pulau Bali berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup didalam

masyarakat yang bersangkutan. Awig-awig mengatur tentang parhyangan sebagai segala

aspek/dimensi/bidang yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya, pawongan sebagai

dimensi/aspek atau bidang yang mencakup hubungan manusia dengan manusia lainnya dan palemahan

sebagai dimensi/aspek atau bidang yang menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya.

Sebagai patokan bertingkah laku, awig-awig dilengkapi dengan sanksi (pamindada) yang bersifat hukum,

sehingga awig-awig merupakan salah satu bentuk hukum adat Bali (Sutawan, 2004; Sudaryanto, 2007;

Sudantra, 2008; Astiti, 2007; Astiti et al. 2011).

Page 80: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

74

Di Kepulauan Nusa Penida sejak tahun 1997 sudah melaksanakan awig-awig untuk melindungi

semua jenis burung, yang harus ditaati seluruh warga Kepulauan Nusa Penida dan pendatang. Saat ini

sudah seluruh desa pakraman di Kepulauan Nusa Penida sebanyak 46 desa pakraman yang telah memiliki

dan melaksanakan awig-awig tersebut. Salah satu sanksi dari awig-awig tersebut adalah orang yang

menangkap, menjual dan menembak burung dikenai sanksi harus membayar denda. Sanksi sosialnya

yakni dikucilkan tidak boleh mengikuti upacara di pura, diberlakukan bagi yang berkali-kali melanggar

awig-awig tersebut (Sudaryanto, 2007; Wirayudha, 2007). Analisis data dengan menggunakan Proses

Hirarki Analitik (PHA) (Analitic Hirarchy Process/AHP) sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan alir konsep model Proses Hirarki Analitik (PHA)

Pada Biologi Konservasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida .

Hipotesis

Berdasarkan kajian dari penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa:

a) masyarakat Kepulauan Nusa Penida menaati dan melaksanakan awig-awig untuk melindungi burung

khususnya Jalak Bali.

b) populasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida bertambah banyak karena dukungan masyarakat yang

menaati awig-awig.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan dari bulan 1 November 2013 – 31 Oktober 2014. Data pelaksanaan awig-

awig di masyarakat diperoleh melalui observasi, wawancara, pengisian kuesioner dengan indept

interview. Di Kepulauan Nusa Penida terdapat 1200 orang kepala keluarga dan sebagai responden 95

orang. Analisis data dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA) (Analitic Hirarchy

Process/AHP) (Atmanti, 2008; Saaty,1993; 1999; 2008).

Untuk penghitungan populasi Jalak Bali menggunakan 2 cara yaitu: penghitungan dilakukan

secara langsung di pohon-pohon tempat tidur (roosting site) Jalak Bali (van Balen, 1995), dan

Biologi Konservasi

Jalak Bali

Populasi Jalak Bali Partisipasi Masyarakat

Hukum

formal

Keaneka-

ragaman

hayati

Pariwi-

sata

Awig-awig Kesejahteraan

Masyarakat

Level 1:

Tujuan

Level 2:

Kriteria

Level 3:

Alternatif

Page 81: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

75

penghitungan dilakukan di daerah Jalak Bali mencari makan (feeding site). Di Pulau Nusa Penida terdapat

10 tempat dan di Pulau Nusa Lembongan 2 tempat. Yaitu: Pulau Nusa Penida di areal Kantor Friends of

the National Park Foundation (FNPF), Pura Penataran Ped, Pura Dalem Bungkut, Banjar Biaung, Banjar

Sebunibus, Pura Puseh Desa Ped, Banjar Sental Kawan, Banjar Sental Kangin, Banjar Penida dan Pura

Tinggar Banjar Nyuh. Kemudian distribusi Jalak Bali di Pulau Nusa Lembongan pada 2 tempat, yaitu: di

Desa Lembongan dan di Pura Puaji Desa Jungut Batu.

Penelitian perilaku harian Jalak Bali dengan menggunakan metode Scan Sampling dengan

Instataneous Sampling (Altman, 1974; Martin & Bateson, 1987), dengan interval waktu pencatatan

adalah 5 menit.

HASIL

Seluruh desa pakraman di Kepulauan Nusa Penida sebanyak 46 desa pakraman, telah mempunyai

awig-awig yang didalamnya berisi perlindungan terhadap burung. Contohnya awig-awig dari Desa Adat

Lembongan:

Tabel 1. Pararem Awig-Awig Desa Adat Lembongan

(Anonymous, 2002)

Indik Kalestarian Lingkungan

6. Tan kadadosan mabedilan (nembak) kedis sajebag Desa Adat Lembongan.

7. Yan prade wenten sane piwal antuk kecaping ring ajeng patut kadanda

a. Kandanyakang ring sangkepan Desa

b. Tan polih pangerombo ilikita nyantos atiban

Gambar 2. Pemilihan alternatif Biologi Konservasi Jalak Bali

Page 82: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

76

Di Kepulauan Nusa Penida terdapat 1200 orang kepala keluarga, dengan jumlah responden

sebesar 95 orang, terdiri dari 65 orang kepala keluarga dan 30 orang pelajar SMP/SMA. Untuk

mengetahui pelaksanaan awig-awig dilakukan observasi, wawancara, pengisian kuesioner dengan indept

interview. Level kriteria keberhasilan biologi konservasi Jalak Bali adalah bertambahnya populasi burung

tersebut dan partisipasi dari seluruh masyarakat (Gambar 1). Ternyata kedua kriteria tersebut dianggap

sama-sama penting oleh mayarakat. Untuk level alternatif pelaksanaannya terdapat skala prioritas. Awig-

awig dinilai alternatif paling penting yaitu 47,32%, kemudian kesejahteraan masyarakat 23,43%,

keanekaragan hayati 13,74%, pariwisata 11,89%, dan hukum formal hanya 3,62% (Gambar 2).

Hasil penghitungan populasi Jalak Bali pada 12 lokasi di Kepulauan Nusa Penida selama satu

tahun hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Populasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida

No Lokasi

2007 Nov

13

Des

13

Jan

14

Feb

14

Mart

14

Apr

14

Mei

14

Jun

14

Jul

14

Agst

14

Sept

14

Okt

14

1 Pura Ped 42 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

2 FNPF* - 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 8

3 Bungkut - 3 4 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8

4

Sental

Kawan

- 3 4 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6

5 Puseh - 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 8

6 Biaung - 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

7 Sebunibus - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

8 Puaji - 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 6

9 Gala-gala - 4 4 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6

10 Penida - - - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

11

Sental

Kangin

- - - - - 4 4 4 4 4 4 4 4

12 Nyuh - - - - - - - - 2 2 2 2 2

13 Batu Madeg 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 57 27 31 46 46 50 50 50 52 52 52 52 60

Keterangan:

*FNPF: areal kantor Friends of the Natural Park Foundation.

- : tidak terdapat Jalak Bali.

0 : tidak ditemukan lagi Jalak Bali.

PEMBAHASAN

Semua responden menyatakan setuju Jalak Bali dilindungi awig-awig dan menjadi milik desa

pakraman. Meskipun pada awig-awig ditulis larangan berburu burung secara umum, contohnya: Tan

kadadosan mabedilan (nembak) kedis….. Tabel 1 teta i yang di aksud burung khususnya adalah Jalak

Bali. Pada level alternatif masyarakat lebih percaya dan patuh terhadap awig-awig (47,32%)

dibandingkan dengan hukum formal seperti Perda (Peraturan Daerah) untuk melindungi burung yang

hanya dipilih 3,62% responden. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kapolres Gianyar, bahwa

masyarakat lebih takut kepada hukum adat dibanding hukum positif, karena masyarakat masih sangat kuat

memegang adat yang ada (Anonymous, 2014a). Hal itu terjadi karena awig-awig adalah patokan

bertingkah laku, baik yang ditulis maupun tidak ditulis, yang dibuat masyarakat adat di Pulau Bali secara

Page 83: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

77

musyawarah, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup didalam masyarakat yang bersangkutan

(Sutawan, 2004; Sudaryanto, 2007; Sudantra, 2008; Astiti, 2007; Astiti et al. 2011).

Alternatif kesejahteraan masyarakat 23,43%, hal itu berkaitan dengan keperluan lapangan

pekerjaan yang dirasakan penduduk di sana. Di Kepulauan Nusa Penida perlu banyak lapangan kerja,

contohnya menurut Suwindra (2012) di Desa Suana penduduk yang berusia diatas 16 tahun yang sedang

mengikuti pendidikan 18,71%, sedangkan 81,29% tidak melanjutkan sekolah. Banyak juga penduduknya

yang bekerja di Pulau Bali, bahkan ada yang menjadi transmigran di Sulawesi dan Sumatra. Lapangan

pekerjaan tersebut juga berkaitan dengan alternatif pariwisata sebanyak 11,89%. Besar harapan

masyarakat bahwa pariwisata dapat memberikan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat.

Alternatif keanekaragaman hayati flora dan fauna sebanyak 13,74%, karena banyak wisatawan yang

datang ke Kepulauan Nusa Penida untuk menikmati hal tersebut. Pariwisata pengamatan Jalak Bali

dengan flora dan fauna lainnya menurut Agustina (2013) dapat mengembangankan ekowisata di

Kepulauan Nusa Penida.

Populasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida di bulan Oktober 2014 jumlahnya 60 ekor (Tabel

2), ini adalah merupakan keturunan kedua atau ketiga dari burung tersebut yang dilepaskan antara tahun

2006-2007. Hal tersebut diketahui karena burung yang ditemukan sekarang tidak memakai cincing di

kakinya, seperti burung-burung yang dilepaskan pada waktu itu. Jalak Bali dilepasliarkan ketika berumur

kira-kira 2 tahun, sedangkan rata-rata harapan hidup burung tersebut adalah 7,4 tahun (Anonymous,

2014b).

Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida ada yang dapat berkembang biak tiga kali dalam setahun

yaitu bulan Desember, Juni dan Oktober. Menurut Cahyadin (1993) dan Sudaryanto (2015) di TN. Bali

Barat, Jalak Bali hanya berbiak pada bulan Desember. Hal ini adalah karena berlimpahnya makanan Jalak

Bali di Pulau Nusa Penida. Ginantra et al. (2009) melaporkan pada kebun pemukiman (agroforestry) di

Pulau Nusa Penida terdapat105 jenis tumbuhan habitat Jalak Bali. Sedangkan Sudaryanto et al. (2013)

melaporkan bahwa habitat Jalak Bali di Pulau Nusa Penida terutama pada 27 spesies tumbuhan. Yaitu

pohon kelapa (Cocos nucifera), mangga (Mangifera indica), asam (Tamarindus indica), singapur

(Muntingia calabura), angih (Ficus sp.), ancak (Ficus rumphii), bunut (Ficus glabella), pungak-pungak

(Ficus sp.), api-api (Avicennia marina), buni (Antidesma bunius), kluwih (Arthocarpus altilis), aren

(Arenga pinnata), pule (Alstonia scholaris), jambu monyet (Anacardium occidentale), jati (Tectona

grandis), kayu urip (Euphorbia tirucalli), tuwi (Sesbania grandifolia), santan (Lannea grandis), duwet

(Syzgium cumini), kampuak (Psidium sp.), krasi (Lantana camara), pisang (Musa paradisiaca), ketela

pohon (Manihot utillisima), waru (Hibiscus sinensis), nangka (Artocarpus heterophylla), gamal

(Gliricidia sepium), lamtara (Leucaena glauca) dan kamboja (Plumeria acuminata).

Populasi Jalak Bali yang hidup liar di Kepulauan Nusa Penida saat ini lebih banyak dari pada di

TN. Bali Barat pada tahun 2012 yaitu 4 ekor (Sutito et al. 2012). Menurut informasi dari pihak Polsek

Nusa Penida, Bendesa Adat dan warga di Kepulauan Nusa Penida, selama ini belum ada laporan atau

yang melihat atau mendengar adanya pencurian Jalak Bali. Jalak Bali dilepaskan di Pura Penataran Ped

Pulau Nusa Penida dan Pura Puaji Jungut Batu Pulau Nusa Lembongan dengan upacara keagamaan, oleh

karena itu burung tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai burung Pura (Duwe Pura). Maka

masyarakat yang menaati awig-awig ikut menjaga kehadiran burung tersebut. Di dalam Biologi

Konservasi dikatakan bahwa konservasi suatu spesies di habitatnya akan berhasil bila masyarakat

sekitarnya juga ikut menjaga (Indrawan et al. 2007).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan: Biologi Konservasi Jalak Bali di

Kepulauan Nusa Penida berhasil terutama berkat adanya awig-awig. Populasi Jalak Bali di Kepulauan

Nusa Penida bertambah, berkesinambungan, dan dapat berkembangbiak tiga kali dalam setahun. Agar

Page 84: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

78

keberadaan awig-awig di Kepulauan Nusa Penida yang berisi larangan mengganggu burung khususnya

Jalak Bali dijaga dan dilestarikan. Agar keanekaragaman hayati di Kepulauan Nusa Penida sebagai habitat

Jalak Bali tetap terjaga.

KEPUSTAKAAN

Agustina, R. 2013. Strategi pengembangan ekowisata Jalak Bali (Bali starling) berbasis masyarakat di

Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung. (http://www.pps.unud.ac.id/thesis/detail-657-strategi-

pengembangan-ekowisata-jalak-balibali-starling-berbasis-masyarakatdi-pulau-nusa-penida-

kabupaten-klungkung.html). Diakses tanggal 18 Desember 2014.

Altman, J. 1974. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Behavior. 49: 227-267.

Anonymous. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Presiden Republik Indonesia.

(http://www.dephut.go.id/INFORMASI/pp/7_99.htm). Diakses tanggal 1 Juni 2009.

______. 2002. Pararem Awig-Awig Desa Adat Lembongan. Desa Adat Lembongan. Klungkung.

______. 2004. Pencuri Jalak putih Di TNBB Orang Dalam. Bali Post. 30 Juni 2004.

______. 2012a. Leucopsar rothschildi.The IUCN Red List of Threated Species.

(http://www.iucnredlist.org/details/106006822/0). Diakses tanggal 1 Desember 2012.

______. 2012b. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora.Appendices I, II and III. (http://www.cites.org). Diakses tanggal 1 Desember 2012.

______. 2014a. Awig-Awig Hukum Adat Lebih Ditakuti Warga Bali Dibanding Hukum Positif.

(http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/06/hukum-adat-lebih-ditakuti-warga-bali-

dibanding-hukum-positif). Diakses tanggal 18 Desember 2014.

______. 2014b. Bali Myna life Expectancy is 7.4 years. San Diego Animals.

(http://animals.sandiego.org/animals/bali-mynah). Diakses tanggal 23 Mei 2014.

Astiti, T. I. P., Windia, W., Sudantra, I K., Wijaatmaja, I G. M., Dewi. A. A. I. A. A. 2011. Implementasi

Ajaran Tri Hita Karana Dalam Awig-awig. Excellence Research Universitas Udayana 2011.

Denpasar.

Atmanti, H. D. 2008. Analytical hierarchy process sebagai model yang luwes. Prosiding INSAHPS.

Semarang.

Butchart, S. H. M., Stattersfield, A. J. and Collar, N. J. 2006. How many bird extinctions have we

prevented? Oryx. 40(3):266-278.

Cahyadin, Y. 1993. Study Beberapa Aspek Ekologi Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi

Stresemann, 1912) Pada Musim Berkembang Biak Di Teluk Kelor Taman Nasional Bali Barat.

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran.Bandung. Skripsi.

Dirgayusa, I W. 1995. Jalak Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912: Tinjauan Status, Pengetahuan

dan Konservasi. Workshop Important Bird Area.BirdLife International Indonesia

Programme.Bogor.

Ginantra, I K., Dalem, A. A. G. R. Sudirga, S. K. Wirayudha, I G. N. B. 2009. Jenis-jenis Tumbuhan

Sebagai Sumber Pakan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Di Desa Ped Nusa Penida lungkung

Bali. Jurnal Bumi Lestari. 9(1):97-102.

Indrawan, M., Primack R. B., Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta.

Page 85: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

79

Jepson, P. and Ladle, R. J. 2008. Developing new policy instruments to regulate consumption of wild

birds: socio-demographic characteristics of bird-keeping in Java and Bali. Oryx in press.

Jepson, P., Prana, M., Amama, F. 2008. Developing a certification system for captive bred birds in

Indonesia. TRAFFIC Bulletin. 22(1): 7-9.

Martin, P. & Bateson, P. 1987. Measuring behavior. An Introductory Guide Cambridge University Press.

Cambridge.

Saaty, T. L. 1993. Pengambilan keputusan bagi para pemimpin. Proses Hirarki Analitik

untuk pangambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Penterjemah: L. Setiono. PT. Gramedia.

Jakarta.

_____. 1999. The seven pillars of the analytic hierarchy process. ISAHP Procedings. Kobe.

_____. 2008. Decision making with the analytic hierarchy process. Int. J. Services Sciences. 1(1): 83-98.

Schmidt, C. R. 1983. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). (http://www.cites.org/-

eng/resources/ID/fauna/Volume2/A227.051.013.001%20Leucopsar%20rothschildi_E.pdf).

Diakses tanggal 20 Agustus 2010.

Sodhi, N. S., Koh, L. P., Brook, B. W., Ng, P. K. L. 2004. Southeast Asian biodiversity: an impending

disaster. TRENDS in Ecology and Evolution. 19(12): 654-660.

Sudantra, I K. 2008. Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-awig Desa Pekraman.

(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/5_%20naskah%20sudantra.pdf). Diakses tanggal 20 Agustus

2010.

Sudaryanto. 2007. Tri Hita Karana Menyelamatkan Jalak Bali. Seminar Nasional Penyelamatan Jalak

Bali Dan Habitatnya. Prosiding Seminar Nasional Penyelamatan Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi). Denpasar.Sudaryanto. 2015.

Behaviour Bali starling at Bali Barat National Park and Nusa Penida Island. Journal Veteriner in press.

Sudaryanto, M.J. Imansyah, A. Suryakusumah. 2003. Konservasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi

Stresemann, 1912). Proseding Seminar Nasional Biologi.

Program Studi Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.

Sutawan, N. 2004. Tri Hita Karana And Subak. In Search for Alternative Concept of Sustainable Irrigated

Rice Culture. Proceeding Symposium International Network for Water and Ecosystem in Paddy

Fields.Tokyo.

Sutito, A. D., Sumampau, T., Prana, M. S. ,Susilo, H. D., Sudarwati, R., Atmaja, I K., Wirayuda, IG. N.

B., Kasmono, A., Sultan, K., Febrian, M., Candra, I., Bayu, V., Siran. 2012. Laporan Hasil

Monitoring Dan Evaluasi Program Konservasi Curik Bali/ Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Di

Taman Nasional Bali Barat dan Desa Sumber Klampok. Asosiasi Pelestari Curik Bali. Bogor.

Suwindra, INP., IK Suma, IK Suardana, IK Yoga, K Widnyana. 2012. IPTEKS Bagi Wilayah Nusa

Penida.(http://lemlit.undiksha.ac.id/media/1227._i_nyoman_putu_suwindra,_m). Diakses tanggal

18 Desember 2014.

van Balen, B., Dirgayusa, I W. A., Putra, I M. W. A., Prins, H. H. T. 2000. Status and distribution of the

endemic Bali starling (Leucopsar rothschildi). Oryx. 34(3): 188-197.

Wirayudha, N. B. 2007. Pelepasliaran Dan Perlindungan Burung Jalak Bali Di Nusa Penida. Nusa

Penida Bird Sanctuary. Nusa Penida.

Page 86: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

80

KONSERVASI HUTAN MANGROVE MELALUI DIVERSITAS PANGAN OLAHAN BUAH

MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN POHUWATO GORONTALO

MANGROVE FOREST CONSERVATION

THROUGH DIVERSITY FOOD PROCESSED OF MANGROVE FRUIT IN COASTAL

POHUWATO GORONTALO

Ramli Utina1,2

, Jusna Ahmad1, Abubakar Sidik Katili

1,2, Mustamin Ibrahim

1,2

1Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, Kota Gorontalo

2Pusat Kajian Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal - UNG

Email: [email protected]

INTISARI

Artikel ini mengungkap implementasi kegiatan pemanfaatan buah mangrove menjadi pangan

bernilai ekonomi, dan kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove. Tujuannya adalah, mendorong kaum

perempuan pesisir melakukan konservasi hutan mangrove melalui usaha pengolahan buah mangrove

menjadi penganan. Pendekatan kegiatan yaitu pelatihan ketrampilan dan pendampingan kelompok

perempuan pesisir serta penguatan kelompok sadar lingkungan. Kegiatan ini telah dilakukan di tiga desa

pesisir di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Hasil implementasi kegiatan adalah, terbentuknya

tiga kelompok perempuan pesisir yang terampil membuat penganan berbahan dasar buah mangrove,

memasarkan produk, dan rehabilitasi tujuh hektar lahan mangrove. Melalui kegiatan ini diharapkan

penduduk pesisir memperoleh nilai ekonomi dari hasil hutan mangrove, menghindari penebangan

mangrove, dan melakukan konservasi hutan mangrove sebagai upaya menekan emisi karbon yang

berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim.

Kata kunci: konservasi, hutan mangrove, diversitas pangan

ABSTRACT

This article reveal to implementation of the utilization of mangrove fruit into a valuable economy,

and rehabilitation of mangrove forest. The goal is to encourage coastal women to conservation of

mangrove forest through utilization of mangrove fruit into the food product. The approach of activity is

skills training and mentoring of coastal women's groups, and strengthening the environmentally

conscious group. This activity has been carried out in three coastal villages Pohuwato, Gorontalo. The

results of the activity, three groups of coastal women are skilled confectionery (snack) products based on

mangrove fruit, product market and rehabilitation 7ha of mangrove forest. Through this activity, the

coastal community expected to derive economic value from mangrove forest, avoiding the harvesting of

mangroves forest, conservation mangrove as an effort to minimize impact of carbon emissions on global

warming and climate change.

Keywords: conservation, mangrove forest, diversity of food

Page 87: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

81

PENDAHULUAN

Kawasan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo menjadi salah satu

kawasan penyangga pesisir Teluk Tomini. Luas tutupan hutan mangrove di kawasan ini makin menurun,

tercatat dari tahun 1988 seluas 13.243,33Ha, dan di tahun 2010 tinggal 7.420,73 Ha (Djamaluddin, 2011).

Terdapat kecenderungan makin menurunnya luas tutupan mangrove ini hingga tahun 2014 akibat alih

fungsi lahan yang terus terjadi. Alih fungsi kawasan mangrove menjadi areal tambak menjadi penyebab

utama berkurangnya luas kawasan, selain penebangan mangrove dalam skala kecil untuk kayu bakar,

dijadikan arang dan bahan bangunan rumah oleh penduduk (Utina, 2008). Aktivitas perusakan kawasan

hutan mangrove ini telah berdampak hilangnya fungsi ekosistem mangrove sebagai penyangga ekosistem

pesisir lainnya, intrusi air laut dan menurunnya sumberdaya perikanan (Utina dan Alwiah, 2008).

Kawasan pesisir Kabupaten Pohuwato meliputi Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya dan Desa

Bumi Bahari, dihuni oleh sebagian terbesar suku Bajo. Tiga desa ini telah menjadi desa binaan dari

Universitas Negeri Gorontalo. Hutan mangrove di pesisir Torosiaje cenderung mendapat tekanan alih

fungsi hutan dari kawasan desa sekitarnya. Penduduk di desa-desa pesisir Torosiaje sebagian terbesar

mata pencaharian keluarga sebagai nelayan, dan ini sangat tergantung pada kondisi dan sumberdaya alam

pesisir dan laut (Ibrahim et al., 2013; Tri, dan Djenaan, 2007). Keterbatasan akses nelayan kecil kepada

sumberdaya perikanan tangkap serta iklim yang tidak menguntungkan menyebabkan sumberdaya ikan

sulit diperoleh sehingga keluarga nelayan beralih ke hutan mangrove, mereka dapat saja terpengaruh

merambah hutan mangrove demi kebutuhan hidup (Ibrahim et al., 2013). Dengan demikian faktor yang

mendorong aktivitas perusakan hutan mangrove adalah kebutuhan ekonomi untuk kelangsungan hidup

keluarga.

Persoalan utama yang harus dipertimbangkan adalah memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk

desa pesisir Torosiaje dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia. Kawasan Torosiaje

merupakan desa wisata budaya dan ekowisata yang didukung kawasan hutan mangrove, sementara kaum

perempuan memiliki pengetahuan lokal tentang pemanfaatan hutan mangrove. Buah mangrove selama ini

belum dimanfaatkan penduduk sebagai bahan dasar pangan, misalnya penganan khas berbahan dasar buah

mangrove yang mengisi pasar lokal maupun nasional juga masih terbatas.

Melihat potensi sumberdaya mangrove dan potensi kaum perempuan di Torosiaje, maka

kelompok perempuan di desa kawasan Torosiaje dapat diberdayakan dengan memanfaatkan buah

mangrove sebagai mata pencaharian yang mendukung pendapatan keluarga. Apabila kelompok

perempuan Torosiaje terampil mengolah dan memasarkan jenis pangan berbasis buah mangrove maka

permintaan buah mangrove makin meningkat. Ini berarti masyarakat terdorong menanam mangrove dan

memeliharanya hingga menghasilkan buah, sehingga terhindar dari tindakan menebang mangrove.

Tujuan kegiatan ini adalah (1) memberdayakan kelompok perempuan pesisir dalam usaha produk

pangan berbasis buah mangrove, dan (2) meningkatkan upaya rehabilitasi kawasan mangrove. Hasil yang

diharapkan adalah (1) meningkatnya keterampilan kelompok perempuan pesisir mengolah, mengemas

dan memasarkan produk pangan berbasis buah mangrove, sehingga mampu meningkatkan pendapatan

rumah tangga nelayan, dan (2) mendorong masyarakat menanam mangrove sebagai upaya konservasi

hutan mangrove.

Dampak kegiatan ini adalah adanya perubahan pemahaman kaum perempuan pesisir bahwa

mangrove memiliki potensi sebagai bahan pangan, dapat dibuat penganan khas dan menjadi mata

pencaharian penduduk. Kemudian, untuk menyediakan bahan baku buah mangrove secara berkelanjutan

maka perempuan terdorong menanam mangrove dan melestarikannya. Dengan demikian, kegiatan ini

dapat pula memberdayakan kaum perempuan sehingga memiliki akses dalam upaya konservasi

mangrove, menekan emisi karbon ke atmosfer yang berdampak pada pemanasan global dan perubahan

iklim.

Page 88: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

82

MATERI DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan pendampingan kelompok masyarakat, melibatkan

kelompok perempuan (PKK) dan Kelompok Sadar Lingkungan (KSL). Lokasi kegiatan di 3 desa yaitu;

Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya dan Desa Bumi Bahari Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato

Provinsi Gorontalo (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove

Aktivitas proyek meliputi (1) penyusunan modul pelatihan, (2) pelatihan keterampilan dan

pendampingan tiga kelompok perempuan di 3 desa dalam usaha mengolah dan mengemas produk pangan

berbasis buah mangrove, (3) pendampingan kelompok perempuan di 3 desa dalam usaha memasarkan

produk pangan berbasis buah mangrove, dan (4) pendampingan rehabilitasi kawasan mangrove.

Pelatihan keterampilan kelompok perempuan mengolah, mengemas dan memasarkan produk

pangan berbasis buah mangrove dilaksanakan bulan Juni 2014. Setiap desa satu kelompok perempuan,

setiap kelompok terdiri atas 10 orang perempuan meliputi 7 orang kaum ibu dan 3 orang remaja putri.

Pelatihan keterampian diawali dengan penyusunan modul dan pembentukan kelompok peserta.

Pendampingan kelompok perempuan dilaksanakan hingga Februari 2015.

Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan di pesisisr desa Torosiaje Jaya pada lahan seluas 7

hektar ditanami 75000 bibit mangrove. Kegiatan rehabilitasi diawali dengan FGD dengan Kelompok

Sadar Lingkungan (KSL) Desa Torosiaje Jaya, kegiatan penyemaian bibit mangrove dalam polybag,

penanaman bibit mangrove di lahan rehabilitasi, dan penyulaman. Pendampingan rehabilitasi mangrove

dilaksanakan hingga Februari 20015.

HASIL

Pendampingan Kelompok Perempuan dalam Pengolahan Pangan Berbasis Buah Mangrove

Pendampingan kelompok perempuan dilaksanakan oleh 3 tim yang dibentuk oleh Pusat Kajian

Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal Jurusan Biologi UNG. Tim pelaksana menyusun modul pelatihan

keterampilan mengolah buah mangrove menjadi berbagai bentuk penganan, dan melakukan ujicoba

produk. Tim melakukan focus group discussion (FGD) dengan PKK dan Kelompok Sadar Lingkungan

(KSL) di 3 desa yaitu; desa Torosiaje, Torosiaje Jaya dan desa Bumi Bahari. Diskusi ini untuk

Page 89: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

83

membentuk persepsi yang sama dalam mencapai tujuan kegiatan, serta pembentukan kelompok

perempuan sebagai peserta pelatihan.

Gambar 2. Sebagian kegiaan pelatihan dan pendampingan kelompok perempuan dalam pembuatan

produk pangan (kue pia) berbahan dasar buah mangrove

Kelompok perempuan peserta pelatihan dibentuk di tiga desa, masing-masing desa satu

kelompok, setiap kelompok 10 orang terdiri dari 7 orang ibu rumah tangga dan 3 orang remaja putri.

Kelompok perempuan dilatih keterampilan mengolah buah mangrove menjadi pangan/penganan berupa:

pia mangrove, dodol, stick, cake, pudding, kerupuk dan keripik (Gambar 2). Buah mangrove yang diolah

menjadi bahan pangan terdiri dari jenis Bruguiera gymnorrhiza (bahasa Bajo:”Munto” , Avicennia spp

(bahasa Bajo: “A ap i” , dan Sonneratia caseolaris bahasa Bajo: “ a a” .

Pelatihan keterampilan dilaksanakan selama 3 hari pada minggu kedua bulan Juni 2014, dan

pendampingan kelompok dilaksanakan mulai Juli 2014 selama 8 bulan. Pendampingan kelompok

perempuan oleh fasilitator dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memotivasi agar terjadi keberlanjutan

kegiatan produksi, dan mengatasi kendala yang ditemui di lapangan. Kelompok awal yang dibentuk

merupakan motivator bagi kaum perempuan lain sehingga dapat juga dibentuk kelompok baru. Kelompok

perempuan di Desa Bumi Bahari dan Torosiaje Jaya termotivasi membentuk kelompok baru untuk

kegiatan produksi dan pemasaran produk berbasis buah mangrove yang dimotivasi dan dibina oleh

kelompok awal.

Pelatihan pembuatan kemasan produk pangan dan pemasaran produk pangan dilaksanakan pada

hari ke 3 pelatihan. Pada awalnya pemasaran masih terbatas di sekitar lokasi proyek, kemudian

berkembang hingga memenuhi pesanan dari luar lokasi proyek. Produk pangan dipasarkan pada perayaan

hari raya Idul Fitri dalam acara festival budaya dan wisata tahunan di wilayah pesisir Torosiaje serumpun.

Produk ini telah beroleh sertifikat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pohuwato, sehingga memungkinkan

untuk memperluas pasar produk.

Produk pangan olahan mangrove berupa pia mangrove, stick, kerupuk dan keripik mangrove yang

diproduksi oleh kelompok perempuan ini telah mengikuti pameran produk Mangrove for the Future

(MFF) di Kamboja pada bulan Oktober 2014. Selain itu, produk pangan berbasis buah mangrove kini

tersosialisasi melalui media film yang dibuat oleh Institute of Nature Film Society (INFIS) dan Asosiasi

Jurnalistik Indonesia (AJI).

Page 90: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

84

Pendampingan Kelompok Sadar Lingkungan dalam Rehabilitasi Kawasan Mangrove

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove diawali dengan focus group discussion (FGD) dengan

Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) dan Kepala Desa Torosiaje Jaya. Diskusi ini menghasilakn beberapa

kesepakatan, yaitu: penetapan lokasi penananam mangrove, penyemaian bibit, dan pembagian tugas KSL

dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Lokasi penanaman mangrove seluas 7 hektar telah ditetapkan

dengan surat keterangan Kepala Desa Torosiaje Jaya nomor; 140/TRJ/334/IX/2014 pada koordinat

N:000 ’ 0” dan E:1 1

0 6’00”. Kegiatan rehabilitasi angrove di kawasan esisir ini didukung oleh

kawasan Laboratorium Alam Ekologi Pesisir yang dibangun Jurusan Biologi UNG dan dikelola bersama

KSL Desa Torosiaje Jaya.

Penyemaian dilakukan Juni hingga Juli 2014, dengan jumlah bibit mangrove 90.000 polybag,

yaitu 75.000 bibit untuk penanaman dan 15.000 bibit untuk penyulaman. Bibit mangrove yang disemai

terdiri dari jenis Rhizophora sp., Avicennia sp., Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris. Jenis

mangrove ini sesuai dengan kondisi lahan di lokasi rehabilitasi. Pada bulan ke 2 periode penyemaian telah

menunjukkan pertumbuhan lebih dari 80% bibit dalam kondisi baik. Penyemaian ini telah diupayakan

dengan maksimal oleh kelompok masyarakat (KSL) seperti membuat naungan di atas bedengan karena

musim kemarau yang panjang, dan pemagaran bedengan dengan menggunakan jaring terutama untuk

mencegah gangguan hewan ternak.

Penanaman mangrove di lahan rehabilitasi 7 Ha mulai dilaksanakan pada bulan Oktober sampai

November 2014 (Gambar 3). Bibit dalam polybag yang ditanam mencapai 75.000 bibit. Pekerjaan

penananam mangrove melibatkan warga masyarakat termasuk kaum perempuan, pelajar dan mahasiswa.

Pendampingan rehabilitasi dilakukan tenaga ahli pusat kajian secara kontinyu untuk memperkuat

komitmen masyarakat khusus Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) atas penyelamatan fungsi kawasan

mangrove. Penyulaman dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang optimum

bibit mangrove yang ditanam.

Gambar 3. Salah satu sisi lokasi rehabilitasi lahan mangrove 7 ha, di pesisir selatan Desa Torosiaje Jaya

Page 91: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

85

PEMBAHASAN

Kegiatan mengolah buah mangrove menjadi penganan telah mendorong kaum perempuan pesisir

di Torosiaje serumpun (di lingkungan 3 desa lokasi) melakukan kegiatan produksi dan pemasaran produk

pangan berbasis buah mangrove. Pendapatan dari penjualan produk dirasakan mampu menanggulangi

sebagian kebutuhan sehari-hari ibu rumah tangga, terutama anggota yang terlibat dalam kelompok.

Namun demikian, tidak semua pesanan produk penganan buah mangrove dapat dipenuhi karena

ketersediaan buah mangrove yang terikat dengan musim.

Pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan proyek ini antara lain, perempuan memiliki partisipasi

yang cukup tinggi dalam proses pengambilan keputusan atas kebutuhan keluarga, karena itu keputusan

ibu rumah tangga ikut menentukan keikutsertaan perempuan dalam kegiatan ini. Umumnya aktivitas

ekonomi perempuan masih sangat terbatas, mereka biasanya bekerja untuk mensupport kebutuhan

ekonomi keluarga pada saat ikan sukar diperoleh. Kegiatan ekonomi biasanya menjual jasa sebagai

pencuci pakaian tetangga bagi yang membutuhkan dengan upah yang diperoleh sangat kecil.

Kegiatan yang melibatkan ibu rumah tangga di pedesaan perlu memperhatikan aktivitas pasar

harian yang merupakan hari belanja mingguan bagi setiap rumah tangga. Dengan ditetapkannya Desa

Torosiaje, Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari menjadi kawasan Desa Wisata (ekowisata dan wisata budaya)

maka produk-produk pangan/penganan yang telah dikembangkan masyarakat melalui proyek ini dapat

dipasarkan kepada wisatawan.

Program pemberdayaan masyarakat desa pesisir ini dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah

dalam bentuk bantuan modal dan bantuan teknis. Bagi pemerintah Kabupaten Pohuwato dan mitra

lainnya, kegiatan ini dapat dikembangkan dan ditindak lanjuti misalnya mengeluarkan peraturan daerah

yang terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut serta pelestarian nilai-niai

lokal.

Kegiatan rehabilitasi mangrove ini mendorong masyarakat secara sukarela melakukan penanaman

mangrove, hal ini dapat terjadi karena motivasi memperoleh buah mangrove yang dibutuhkan untuk

pengolahan bahan pangan menjadi penganan yang dapat dipasarkan. Keberhasilan rehabilitasi kawasan

mangrove di lokasi proyek ini ke depan dapat dikembangkan menjadi obyek wisata alam (ekowisata

mangrove).

Kegiatan pendampigan masyarakat perlu melibatkan warga masyarakat sejak dari perencanaan

hingga evaluasi program. Pertimbangan lain adalah aktivitas sehari-hari masyarakat nelayan dan

perempuan pesisir, seperti aktivitas mingguan atau perayaan tertentu. Faktor musim dan substrat lahan

adalah faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove.

SIMPULAN

Pemberdayaan kelompok perempuan pesisir dalam usaha produk pangan berbasis buah

mangrove telah memberikan alternatif sumber pendapatan keluarga, dan memotivasi kaum perempuan

melakukan kegiatan penanaman mangrove. Upaya rehabilitasi kawasan mangrove telah mendorong warga

masyarakat pesisir untuk menanam mangrove sebagai upaya konservasi hutan mangrove, selain untuk

penyediaan permintaan buah mangrove pada kegiatan produksi pangan yang dilakukan kelompok

perempuan. Dengan dengan, penduduk memperoleh nilai ekonomi dari hasil hutan mangrove, melakukan

konservasi hutan mangrove sebagai upaya menekan emisi karbon yang berdampak pada pemanasan

global dan perubahan iklim.

Page 92: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

86

UCAPAN TERIMA KASIH

Proyek ini dilaksanakan oleh Pusat Kajian Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal Jurusan

Biologi Universitas Negeri Gorontalo, dengan dana hibah kompetisi Small Grant Fasilities - Mangrove

for the Future (MFF) Project tahun 2014-2015 dari DANIDA Denmark. Untuk itu disampaikan

terimakasih kepada MFF melalui IUCN, Wetland International Indonesia dan Project MFF Gorontalo

yang telah memfasilitasi penyelenggataan proyek ini.

KEPUSTAKAAN

Djamaluddin, R. 2011. Survei Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Pohuwato. Program Teluk

Tomini (SUSCLAM). Tomini Bay Sustainable Coastal and Livelihoods Management Project.

CIDA

FAO. 2007. The world’s mangrove 1980-2005. FAO forestry paper 153, Rome, Italy.

Ibrahim, M., Ramli, U., dan K. A. Sidik, 2013. Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Pelestarian Nilai-

Nilai Kearifan Lokal Suku Bajo Melalui Pengembangan Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) dan

Pembuatan Laboratorium Alam. Laporan KKN-PPM, Jurusan Biologi UNG

Kepel, R. C., 2007. Laporan Hasil Identifikasi Produksi Perikanan Dan Lingkungan Pesisir Di

Teluk Tomini. Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods And Management (SUSGLAM

Project lnception Phase)

Mc.Callum I., and L. Watson. 2008. Ecological Intelligence, Rediscovering Ourselves in Nature

Pramudji, 2008. Mangrove di Indonesia dan Upaya Pengelolaannya; Orasi pengukuhan Professor Riset,

Bidang Ilmu Biologi Laut - LIPI. (Tidak dipublikasi)

Rasyid A. S, Rahardjo, S. Sairin. 2002. Reinterpretasi Konsep Pembinaan Masyarakat Terasing Menuju

Konsep Pemberdayaan Berorientasi Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 3,

No. 2, 2002: 93-106

Sukarjo, S., and D. M. Alongi. 2012. Mangrove of the Southu China Sea: Ecology and Human Aspects of

Indonesia’s forest. Nova Science Publisher Inc.

Sukarjo, S. Indonesian Mangroves – critical challenges and strategies for sustainable management after

tsunami 26 December 2004 (unpublish paper)

The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 1984. Why Conservation?

Commission on Ecology Occasional Paper Number 4. IUCN, 1984. Switzerland

Ananda, Mc T., dan L. Djenaan, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Teluk Tomini: Analisis awal

Isu-isu perekonomian masyrakat dan gender. Program Teluk Tomini. Tomini Bay Sustainable

Coastal, Livelihoods and Management (SUSCLAM) Gorontalo

Utina, R. 2008. Pendidikan Lingkungan Hidup dan Konservasi Sumber Daya Alam Pesisir. UNG Press.

Gorontalo

Utina, R., dan Alwiah. 2008. Bapongka: Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem Laut dan Pesisir

pada Masyarakat Bajo. J.Matsains. vol. 12. No.3, 2008: 108-120

Page 93: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

87

GAMBARAN HISTOLOGI HATI TIKUS (Rattus norvegivus) YANG DIINJEKSI WHITE

VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA

THE HISTOLOGY OF RAT LIVER (Rattus norvegivus) INJECTED WITH HIGH DOSE OF

WHITE VITAMIN C IN LONG TERM CONDITION

Ni Wayan Sudatri, Iriani Setyawati, Ni MadeSuartini, Dwi Ariani Yulihastuti

Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran-Badung,Bali

Email : [email protected]

INTISARI

Asam askorbat atau lebih dikenal dengan nama vitamin C adalah salah satu vitamin larut air

yang berperan dalam menjaga sistem imunitas tubuh, mempercepat proses penyembuhan dan membuat

kulit lebih cerah. Namun penggunaan white vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu lama berpotensi

untuk merusak hati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek samping injeksi vitamin C dosis tinggi

dalam jangka waktu lama terhadap gambaran histologis hati. Rancangan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyuntikan vitamin C

dosis tinggi yang berbeda. yaitu: P0 (kontrol), P1 (lama diinjeksi 30 hari), P2 (lama diinjeksi 50 hari),

P3 (lama diinjeksi 70 hari) dan P4 (lama diinjeksi 90 hari). Parameter yang diamati adalah persentase

sel hati yang mengalami degenerasi hidrofis, degenerasi lemak,inti piknotik, nekrosis, infiltrasi sel

radang dan kongesti sinusoid. Dari uji Kruskal Wallis, degenerasi hidrofis tidak berbeda nyata (p=0.

054), sedangkan degenerasi lemak dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P<0.001) antar

perlakuan dan kontrol. Inti piknotik dan nekrosis dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata antara

kontrol dan perlakuan dengan nilai (p <0.016) dan p<0.01). Penyuntikan white vitamin C dosis tinggi

dalam jangka waktu lama meningkatkan persentase kelainan histologis sel-sel hati tikus betina.

Kata kunci: hati, white vitamin c, tikus betina

ABSTRACT

Ascorbic acid, or known as vitamin C is one of the water-soluble vitamin that plays a role in

maintaining the immune system, accelerate the healing process and cause brighter skin. However, the use

of white high doses of vitamin C in the long term has a potential for damaging liver. The purpose of this

study was to determine the side effects of high-dose injections of white vitamin C in the long term to the

histological liver. The design used in this research was completely randomized design (CRD) with long

treatment injection of high doses of white vitamin C in 5 different doses, namely: P0 (control), P1

(injected for 30 days), P2 (injected for 50 days old), P3 (injected for 70 days) and P4 (injected for 90

days). Parameters measured were the percentage of liver cell hydrophis degeneration, degeneration of

fatty, core pycnotic, necrosis, infiltration of inflammatory cells and sinusoidal congestion. Kruskal-Wallis

test showed that degeneration hydrophis not significantly different (p=0. 054), where as the fatty

degeneration with ANOVA test found significant differences (p<0.001) between the treatment and

control. Pycnotic and necrotic with ANOVA test found significant differences between the control and

treatment (p< 0.016) and (p<0.01) respectively. Injection of high dose white vitamin C, in the long term,

increase the percentage of histological abnormalities of liver cells on female rats.

Keywords: liver, white vitamin c, female rats

Page 94: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

88

PENDAHULUAN

Asam askorbat atau lebih dikenal dengan nama vitamin C adalah salah satu vitamin larut air yang

berperan dalam menjaga sistem imunitas tubuh, mempercepat proses penyembuhan dan membuat kulit

lebih cerah. Manfaat vitamin C untuk mengencangkan dan mencerahkan kulit terjadi karena vitamin C

merangsang pembentukan kolagen, suatu protein ekstraseluler yang berperan dalam mengencangkan sel

(Kembuan dkk, 2012). Saat ini penggunaan vitamin C injeksi untuk mencerahkan atau memutihkan

kulit sudah banyak dilakukan di rumah-rumah kecantikan atau oleh dokter kulit. Dosis yang digunakan

berkisar antara 1000-4000 mg/sekali suntik, sedangkan dosis vitamin C yang diperlukan untuk menjaga

kesehatan tubuh hanya berkisar 50-75 mg/hari.Vitamin C berlebih dalam suntik vitamin C tidak hanya

bekerja pada kulit saja, tetapi untuk seluruh tubuh. Ini berarti organ-organ lain seperti lambung, hati dan

ginjal pun akan terkena dampak dari kelebihan vitamin C ini ( Aguirre and May, 2008).

Hati merupakan salah satu organ kelenjar, yang terletak di dalam rongga perut sebelah kanan.

Fungsi hati diantaranya; sebagai organ detoksifikasi, dimana hati memecah beberapa senyawa racun

menjadi urea, amonia dan asam urat untuk selanjutnya dikeluarkan melalui ginjal. Fungsi hati ini

dilakukan oleh sel hati yang disebut hepatosit. Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-

parenkimal. Sel parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan

melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal (Kmiec, 2001). Dan

fungsi hati yang tidak kalah pentingnya adalah melindungi penumpukan zat-zat berbahaya dan racun yang

masuk dari luar tubuh (Manatar dkk, 2013). Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-

dimensional, hati juga menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon

berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis. Seringkali hepatitis dimulai dengan

reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati (Sebastiana, 2009).

Untuk mengetahui adanya kerusakan hati dilakukan beberapa tes darah sederhana seperti uji

kadar spartate aminotransferase (AST atau SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT atau SGPT.

Enzim-enzim ini biasanya terkandung dalam sel-sel hati. Jika hati terluka, sel-sel hati menumpahkan

enzim-enzim ini ke dalam darah, sehingga peningkatan kadar enzim ini dalam darah, menandakan

adanya kerusakan hati(Babu et al., 2012).

Di samping uji darah, pada hewan coba untuk melihat kerusakan hati dibuat preparat histologis

hati. Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa penggunaan zat-zat berlebih seperti MSG, obat-

obatan berlebih dapat menyebabkan kelainan histologi pada hati seperti nekrosis, hemoragi pada

hepatosit, dan kongesti sinusoid yang ditandai peningkatan jumlah sel Kupffer pada hepar (Reza dkk,

2012). Penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharya et al. (2011) dengan menggunakan mencit yang

diberi MSG dosis 2 mg/bb/hr selama 75 hari secara oral menemukan adanya perubahan histologi pada

hepar, yang meliputi kerusakan inti hepatosit, inflamasi, dan peningkatan diameter hepatosit. Demikian

pula penggunaan injeksi white vitamin C dosis tinggi untuk memutihkan kulit berpotensi untuk

meningkatkan kelainan histologi hati pada hewan coba yang digunakan.

MATERI DAN METODE

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan

perlakuan lama injeksi white vitamin C dosis tinggi yang berbeda, yaitu lama injeksi 30 hari (P1), lama

injeksi 50 hari (P2), dan lama injeksi 70 hari (P3), lama injeksi 90 hari (P4) dan kontrol (P0) serta

ulangan 10 kali sehingga hewan model yang dipakai sebanyak 50 ekor. Bahan utama yang digunakan

dalam penelitian ini adalah vitamin C dosis tinggi (4000 mg/sekali injeksi) untuk manusia. Dosis yang

digunakan dikonversikan dari dosis yang digunakan pada manusia ke tikus. Faktor konversi dari tikus ke

manusia adalah 0.14 Berat badan wanita dewasa yang diinjeksi diperkirakan kurang lebih 70 kg, sehingga

dosis vitamin C yang diberikan pada tikus adalah 0.14 x 0.02 x 4000 = 11,2 mg/sekali injeksi/ ekor.

Page 95: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

89

Hewan model yang digunakan adalah tikus betina dewasa usia 3-4 bulan dengan berat badan antara 150-

200 gram.

Perlakuan pada hewan uji

Sebanyak 50 ekor tikus betina berumur 3–4 bulan diukur berat badan awalnya, diberi diet formula

standar ayam untdan minum air secara ad libitum serta diaklimatisasi selama 4 minggu, kemudian hewan

uji dibagi secara random menjadi 5 kelompok yaitu: P0 = kontrol, kelompok hewan tidak mendapat

injeksi vitamin C; P1 = kelompok hewan yang mendapat injeksi white vitamin C selama 30 hari; P2 =

kelompok hewan yang mendapat injeksi white vitamin C selama 50 hari; P3 = kelompok hewan yang

mendapat injeksi white vitamin C selama 70 hari; P4 = kelompok hewan yang mendapat injeksi white

vitamin C selama 90 hari. Injeksi vitamin C dilakukan secara intramuskular dengan jarum suntik ukuran 1

ml. Injeksi dilakukan 2 hari sekali sesuai lama waktu perlakuan.

Koleksi Sampel

Setelah perlakuan injeksi vitamin C selesai, tikus dibius dengan penyuntikan xylasin (20 mg/kg)

dan ketamin (10 mg/kg) secara intramuskuler. Pada keadaan terbius tikus dibedah organ hati diambil dan

difiksasi terlebih dahulu dalam larutan fiksatif formalin 10%.

Proses pembuatan blok parafin dan preparat histologi

Potogan hati dimasukkan ke dalam tissue casse, kemudian dilakukan proses dehidrasi di dalam

larutan etanol bertingkat 70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut dua kali pemindahan, kemudian

dilanjutkan dengan proses penjernihan (clearing) dengan larutan xilol tiga pemindahan, masing-masing

tahap berlangsung selama 60 menit pada suhu kamar. Proses selanjutnya yaitu infiltrasi parafin dengan

memasakkan jaringan pada parafin cair (suhu 60ºC) tiga kali pemindahan masing-masing selama 45

menit. selanjutnya jaringan dibenamkan di dalam cetakan berisi parafin cair, kemudian didinginkan dalam

suhu kamar sehingga menjadi blok parafin.

Blok parafin disayat setebal 5µm dengan menggunakan rotary microtome. kemudian sayatan

diletakkan dipermukaan air hangat dengan suhu 45ºc dan ditempelkan pada gelas obyek yang telah

dilapisi gelatin. Preparat dikeringkan dengan cara diletakkan secara vertikal, kemudian diletakkan pada

slide warmer sampai menempel pada objeck glass.

Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Potongan jaringan dalam parafin yang akan diwarnai dengan hematoxilin-eosin diatur dalam rak

untuk pewarnaan, kemudian diinkubasi pada suhu 60ºC selama 45 menit, setelah itu diletakkan pada suhu

ruangan sampai dingin. Selanjutnya dilakukan deparafinisasi melalui tahap-tahap pelarutan parafin dalam

xilol sebanyak 3 kali, kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dalam alkohol bertingkat 100%,

95%, dan 80%, 70%m masing-masing tahap berlangsungselama 5 menit, kemudian dimasukkan dalam

akuades selama 10 celup atau sampai alkohol larut.

Proses selanjutnya adalah pewarnaan dalam hematoksilin dengan merendam slide dengan larutan

hematoxilin selama 5 menit kemudian dicuci pada pada air mengalir selama 5 menit, dan dilanjutkan

dengan pewarnaan menggunakan eosin selama 3 menit, Setelah diwarnai dalam eosin, slide dimasukkan

dalam larutan alkohol bertingkat dari 70%, 80%, 90%, sampai 100% masing-masing selama 10 celup.,

kemudian dilanjutkan dengan proses clearing menggunakan xilol sebanyak dua kali masing-masing

selama 2 menit, setelah itu preparat ditutup dengan kaca penutup dengan media balsam kanada. Dan

preparat siap untuk diamati.

Page 96: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

90

Pengamatan Mikroskop

Preparat sayatan hati diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40 Jumlah semua

sel hati per lapangan pandang dihitung, baik yang normal maupun yang mengalami kelainan. Untuk

menghitung persentasi sel yang mengalami kelainan, dihitung jumlah sel yang mengalami kelainan

dibagi jumlah semua sel per lapangan pandang, kemudian dikali 100%. Pengamatan diulang sebanyak 5

kali lapang pandang untuk setiap preparat. Hasil yang didapat kemudian dirata-ratakan. Untuk data

kualitatif, gambar preparat histologi hati difoto dengan kamera opticlab yang telah dihubungkan dengan

komputer.

Analisis Data

Data kuantitatif yang didapatkan dianalisis secara statistika dengan menggunakan software SPSS

dan bila terdapat pengaruh nyata a akan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 0.05 dan 0.01.Data

yang tidak terdistribusi secara normal maka diuji dengan Test Kruskal Wallis. Sedangkan data kualitatif

disajikan dalam bentuk gambar.

HASIL

Dari hasil pengamatan didapatkan kelainan histologis hati yang ditemukan pada penelitian ini

adalah: degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik, nekrosis hepatosit, kongesti sinusoid dan

infiltrasi sel radang.

Tabel 1. Uji Kruskal Wallis dan rerata degenerasi hidrospis sel hati tikus betina (Rattus norvegivuss L.)

yang diinjeksi white vitamin C dosis tinggi

No Perlakuan Ranking Mean Chi Square Signifikansi (p) Rata-rata

1 K (Kontrol) 7.30 9.304 0.054 6.0

2 P1 (30 hari) 9.70 7.3

3 P2 (50 hari) 12.90 9.0

4 P3 (70 hari) 15.10 16.5

5 P4 (90 hari) 20.00 18.3

Dari uji Kruskal Wallis degenerasi hidropis tidak berbeda nyata (P=0. 054)

Tabel 2. Uji ANOVA dan standar error rerata degenerasi lemak, Inti piknotik, dan nekrosis sel hati tikus

betina (Rattus norvegivus L.) yang diinjeksi white vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan

uji Duncans

No Perlakuan Degenerasi lemak Inti piknotik Nekrosis

1 K (Kontrol) 7.0 ± 3.0 a 9.0 ± 1.87 a 7.0 ± 2.0 a

2 P1 (30 hari) 61.0 ± 6.78 b 27.67 ± 2.81 b 26.3 ± 5.4 b

3 P2 (50 hari) 59.0 ± 5.56 b 32.00 ± 5.14 b 2 5.0 ± 3.16 b

4 P3 (70 hari) 58.0 ± 4.06 b 35.50 ± 5.33 b 24.0 ± 1.87 b

5 P4 (90 hari) 59.3 ± 11.9 b 32.46 ± 8.75 b 31.3 ± 3.39 b

Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda

Degenerasi lemak dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.000) antar perlakuan dan

kontrol. Inti piknotik dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.016) antar perlakuan dan

Page 97: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

91

kontrol. Sedangkan nekrosis hepatosit dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.01) antar

perlakuan dan kontrol.

Gambar 1. Degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik sel hati tikus betina (Mus musculus L.)

yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi

Tabel 3. Uji ANOVA dan standar error rerata Kongesti sinusoid hati tikus betina (Rattus norvegivuss L.)

yang diinjeksi white vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans

No Perlakuan Kongesti sinusoid Infiltrasi sel radang

1 K (Kontrol) 4.2 ± 1.06 a 4.0 ± 1.00 a

2 P1 (30 hari) 6.4 ± 0.88 a b 4.3 ± 2.64 a

3 P2 (50 hari) 6.4 ± 0.93 a b 5.6 ± 0.90 a

4 P3 (70 hari) 10.46 ± 3.2 b 5.7 ± 0.75 a

5 P4 (90 hari) 4.6 ± 0.84 a 5.9 ± 0.46 a

Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda

Kongesti sinusoid hati dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.019) antar perlakuan

dan kontrol. Sedangkan infiltrasi sel radang pada hati dengan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan nyata

(P=0.55) antar perlakuan dan kontrol.

Page 98: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

92

Gambar 2. Grafik nekrosis hepatosit, kongesti sinusoid dan infiltrasi sel radang hati tikus betina (Rattus

norvegivus L.) yang diinjeksi white vitamin C dosis tinggi

Gambar 6. Gambaran histologi hati tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi

dengan pewarnaan HE (pembesaran 400x insert 500X). A. Normal B. Degenerasi hidrospis

C. Inti piknotik D. Kongesti sinusoid. E. Degenerasi lemak F. Nekrotik G. Infiltasi sel

radang

PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan histologi hati didapatkan bahwa sel hati (hepatosit) yang diinjeksi dengan

white vitamin c dosis tinggi mengalami kelainan-kelainan seperti degenerasi hidrofis, degenerasi lemak,

inti piknotik, nekrosis hepatosit, kongesti sinusoid dan infiltrasi sel radang yang lebih tinggi dibandingkan

dengan sel hati kontrol. Bahkan dari pengamatan makroskopis sudah terlihat bahwa hati tikus yang

diinjeksi vitamin C dosis tinggi menunjukkan adanya jaringan lemak yang berwarna kuning. Hal ini

Page 99: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

93

diperkuat dengan dilakukannya pembuatan preparat histologi, yang menunjukkan bahwa banyak sel hati

yang mengalami peningkatan degenerasi lemak pada kelompok hewan perlakuan.

Degenerasi hidropis merupakan merupakan kerusakan sel hati yang bersifat sementara yang

disebabkan karena sel mengalami kekurangan nutrisi, ketuaan sel maupun sebagai suatu cara adaptasi sel

hati terhadap terjadinya peningkatan metabolisme di hati. Keadaan ini dapat sembuh dan sel kembali

normal. Secara mikroskopis, sel yang mengalami degenerasi hidropis terlihat banyak vakuola-vakuola di

sitoplasma dan ukuran sel terlihat lebih besar dibandingkan sel normal (Andi, 2014) . Banyaknya white

vitamin C yang terdapat di darah akibat pemberian vitamin C secara injeksi menyebabkan sel-sel hati

bekerja keras untuk memetabolisme kelebihan ini untuk dibuang melalui ginjal. Hal ini menyebabkan

pompa Natrium-Kalium yang berfungsi mengatur ion-ion yang masuk ke dalam sel mengalami

gangguan, air dan protein tetap berada dalam sitoplasma, kemudian air dengan cepat berpindah dari

sitosol ke reticulum endoplasma sehingga sel terlihat lebih besar atau membengkak (Cheville, 2006).

Walaupun terdapat perbedaan, namun kerusakan degenerasi hidrofis pada penelitian ini tidak berbeda

nyata secara statistik.

Apabila kerusakan degenerasi hidrofis tidak kembali normal, maka sel hati akan mengalami

degenerasi lemak sebelum terjadi kerusakan yang bersifat irreversible (tetap). Secara mikroskopis, di

sitoplasma sel banyak terdapat lemak, bercak-bercak lemak yang berlihat berwarna putih (gambar 4).

Degenerasi lemak terdapat baik pada hewan kontrol maupun hewan perlakuan, namun sejalan dengan

lamanya perlakuan jumlah sel hati yang mengalami kerusakan degenerasi lemak persentasenya semakin

meningkat. Hal ini mungkin diakibatkan white vitamin C yang tinggi menghambat kerja enzim lipase

intraseluler.

Sel hati bila terus menerus meningkatkan metabolismenya atau dengan kata lain bekerja keras

maka bisa menyebabkan terjadinya peningkatan kematian sel (nekrosis). Nekrosis adalah kerusakan sel

yang bersifat irreversible. Sel terlihat hancur, inti sel dan bagian-bagian sel tidak terlihat jelas. Lama

perlakuan pada penelitian ini meningkatkan persentase sel yang mengalami nekrosis. Sebelum sel

mengalami nekrosis, inti sel akan mengalami piknotik dimana pada preparat histologis terlihat warna inti

gelap dibandingkan inti hepatosit normal. Hal ini terjadi karena kromosom di dalam inti yang mengalami

piknotik mengalami homogenesasi dan banyak menyerap zat warna (Utomo dkk, 2012).

Di samping itu, terdapat banyak kongesti sinusoid hati pada kelompok perlakuan dibandingkan

kelompok kontrol. Kongesti sinusoid adalah adanya penggumpalan sel darah merah di sinusoid.

Tingginya white vitamin C di dalam darah yang bersifat asam dapat merusak membran endothelium

sinusoid yang menyebabkan sel darah merah mudah menggumpal (Erlangga dkk, 2013). Terdapatnya

infiltrasi sel radang baik pada kelompok hewan kontrol maupun kelompok hewan perlakuan karena

hepatosit mengalami kerusakan sehingga sel-sel darah putih yang dikirim ke hati untuk membersihkan

atau memakan sel-sel yang sudah rusak tersebut. Peningkatan kerusakan sel hati pada kelompok hewan

perlakuan yang diinjeksi white vitamin C dosis tinggi sejalan dengan hasil uji SGPT dan SGOT, bahwa

terdapat peningkatan nilai SGOT pada kelompok hewan perlakuan karena terjadinya kerusakan sel hati

sehingga kadar enzim ini di dalam darah meningkat (Sudatri dkk. 2014).

SIMPULAN

Terjadi peningkatan persentase kelainan histologi hati (degenerasi lemak, inti piknotik, nekrosis

hepatosit, kongesti sinusoid pada tikus betina yang yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dalam waktu

yang lama.

Page 100: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

94

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Universitas Udayana dan Dikti atas dana yang diberikan melalalui dana Desentralisasi

Hibah Bersaing tahun anggaran 2014.

KEPUSTAKAAN

Aguirre, R. and M. J. May 2008. Inflammation in the Vascular Bed.Importance of Vitamin C. Pharmacol

Ther. 119(1) : 96-103

Yoga I K. W. A., N. I. Wiratmini, N. W. Sudatri. 2014. Histologi hati mencit (Mus musculus L.) yang

diberi ekstrak daun lamtoro (leucaena leucocephala). Jurnal Simbiosis .II (2): 226- 235

Ashoka , V.L. Babu; G. Arunachalam, K. Narasimha,Jayaveera, M. Varadharajan. S. Banu. 2012.

Hepatoprotective activity of methalonic extract of Ecrobolium viride (FOR SSK ) alston roots

against carbon tetrachloride induce hepatocity. IRJP . 3 (8)

Bhattacharya. T., A. Bhakta, and S.K. Ghosh. 2011. Long term effect of monosodium glutamate in liver

of albino mice after neo-natal exposure. Nepal Med Coll J: 13(1): 11-16

Cheville, N. F. 2006. Introduction to Veterinary Phatology. 3 rd ed. United State of America: Iawa State

University Press. Hlm. 6-42

Erangga J, H. Busman, dan N. Nurcahyani, 2013. Struktur Histologis Hati Mencit (Mus musculus L.)

Sebagai Respon Terhadap Kebisingan. Seminar Nasional Sains & Teknologi V. Lembaga

Penelitian Universitas Lampung 19-20 November 2013. 353-361.

Kembuan, M., S. Wangko, G. N. Tanudjaja,. 2012. Peran Vitamin C dalam Mencegah Pigmentasi Kulit.

Jurnal Biomedik Vol 4, No 3.

Kmiec Z. 2001. Cooperation of liver cells in health and disease. Anat Embriol Cell Biol. 161 (3):1- 151

Manatar, A.F., W. Sunny, M. K. Marie., 2013. Gambaran Histologik Hati Tikus Wistar Yang Diberi

Virgin Coconut Oil Dengan Induksi Parasetamol. Jurnal Biomedik 5(1): 60-67

Muliartha, I. K. G., E. Sriwahyuni, Yuliawati. 2009. Pemberian Kombinasi Vitamin C dan E Peroral

Memperbaiki Kerusakan Hepar Akibat Paparan Rokok Kretek Sub Kronik. Jurnal Kedokteran

Brawijaya, XXIV(1).

Reza A, T. R. Soeprobowati, dan H. S. Nanik.Potensi Teh Hijau (Camelia sinensis L.) Dalam Perbaikan

Fungsi Hepar Pada Mencit Yang Diinduksi Monosodium Glutamat (MSG) .2012.Buletin Anatomi

dan Fisiologi XX( 2):15-23

Sebastiani, G. 2009.Non-invasive assessment of liver fibrosis in chronic liver diseases: Implementation in

clinical practice and decisional algorithms. J Gastroenterol. 15(18): 2190–2203.

Sudatri, NW. I. Setyawati, N. M. Suartini. 2014. Kadar SGPT, SGOT dan kreatinin plasma darah tikus

betina yang diinjeksi vitamin c dosis tinggi. Prosiding Seminar Nasional Sain dan Teknologi

2014 . Peranan Sain dan Teknologi yang Berwawasan Lingkungan dalam Meningkatkan

Kesejahteraan Umat Manusia. Denpasar 18-19 September 2014.

Utomo,Y., A. Hidayat, M. Dafip, dan F. A. Sasi. 2012. Gambaran Histologi Hati mencit (Mus musculus

L.) yang diinduksi pemanis buatan. Jurnal Mipa 35 (2): 122-129

Page 101: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

95

KERAGAMAN GENETIK DNA MIKROSATELIT BURUNG JALAK BALI (Leucopsar

rothschildi)

GENETIC DIVERSITY OF DNA MICROSATELLITE OF BALI STARLING (Leucopsar

rothschildi))

I Wayan Rosiana, I Gede Widhiantara

Program Studi Biologi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains, dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura,

Badung, Bali INDONESIA 80351 Corresponding author, tel/fax: 081805567739/081999983055

Email: [email protected]; [email protected]

INTISARI

Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui keragaman genetik DNA Mikrosatelit pada Burung

Jalak Bali Leucopsar rothschildi melalui identifikasi alel-alel DNA mikrosatelit. Keragaman Genetik

DNA Mikrosatelit dapat memberikan gambaran mengenai alel-alel yang ditemukan dalam satu spesies

ataupun populasi yang dapat digunakan untuk melihat keragaman genetik pada tingkat spesies ataupun

populasi sehingga dapat menentukan strategi konservasi di kemudian hari. Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil sebanyak

lima sampel yang dapat bersumber dari darah, pangkal bulu, kerokan kulit ataupun dari daging (khusus

untuk burung yang sudah mati). Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Serologi dan Molekuler Forensik

UPT Forensik Universitas Udayana di kampus Bukit Jimbaran sedangkan amplifikasi dan analisis DNA

dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ekstraksi DNA

menggunakan metode Phenol-Kloroform (Sambrook dan Russel, 2001) dengan modifikasi. DNA hasil

isolasi diamplifikasikan pada mesin PCR (Aplied Biosystem 2720 Thermal Cycler) dengan menggunakan

dua pasang primer mikrosatelit. Adapun campuran untuk proses PCR adalah : PCR Master Mix Solution

9,5 µl, DNA template 2 µl dan primer mikrosatelit 1 µl dengan volume total 12,5 µl. Hasil penelitian

mendapatkan alel monomorfik 128 Pb pada primer TH3 dan 180 Pb pada primer TH6.

Kata Kunci: Keragaman genetik DNA Mikrosatelit, Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)

ABSTRACT

The aim of this study was to investigate the genetic diversity of DNA microsatellite of Bali

starling (Leucopsar rothschildi) by identifying the alleles of microsatellite DNA. The diversity of alleles in

a species or a population can be used as a tool in conservation strategy of the species due to its

representation of the diversity of genetic in a species or a population. Samples were collected using the

Purposive Sampling Technique. Five samples from 5 individual birds were extracted from blood,

feathers, skin scrub, or from flash of dead bird. Samples extraction was conducted in the Serology and

Molecular Forensic Laboratory, UPT Forensic, Udayana University, Bukit Jimbaran, while the DNA

amplification and analysis were conducted in Molecular Biology Laboratory, Faculty of Medicine,

Udayana University, Denpasar. The DNA was extracted with Phenol-Chloroform methods following

Sambrook and Russel, 2001 with modification. Extracted DNA was, then amplified in PCR machine

(Applied Biosystem 2720 Thermal Cycler) by comparing to 2 pairs of DNA primers. The samples mixture

for the PCR processing contained of 9,5 µl PCR Master Mix Solution, 2 µl DNA template, and 1 µl

microsatellite primer. The result shows that there were monomorphic alleles found in 128bp of TH3

primer and 180bp in TH6 primer.

Keywords: Genetic diversity, DNA Microsatellite, Bali Starling (Leucopsar rothschildi)

Page 102: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

96

PENDAHULUAN

Bali merupakan salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman biodiversitas khususnya

burung yang cukup tinggi. Terdapat jenis burung endemik Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang hanya

ditemukan di provinsi ini. Jalak Bali atau dalam nama ilmiahnya Leucopsar rothschildi adalah burung

yang berasal dari suku Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya memiliki bulu yang

putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Jalak Bali

memiliki pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan

dimana burung jantan dan betina serupa (Mackinnon et al., 1998). Jalak Bali hanya ditemukan di hutan

bagian barat pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dimana pada tahun

1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali dan keberadaan hewan endemik ini dilindungi

undang-undang.

Populasi burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di habitat aslinya sudah sangat terancam.

Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas yang

menyebabkan populasi Jalak Bali cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Sejak tahun

1966, IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) telah memasukan

Jalak Bali ke dala “Red Data Book” yaitu buku yang e uat jenis flora dan fauna yang teranca

punah. Dalam konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Jalak Bali terdaftar dalam Appendix I, yaitu

kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan (TNBB, 2010).

Untuk menjaga kelestarian burung Jalak Bali, banyak pihak sudah berusaha untuk tetap menjaga

eksistensi keberadaan burung ini. Beberapa lembaga konservasi seperti : PT. Taman Burung Citra Bali

Internasional, Bali Zoo, Yayasan Bhagawan Giri dan Friend National Park Foundation telah

melaksanakan usaha konservasi secara eksitu terhadap jenis burung ini. Untuk mendukung usaha

konservasi ini maka diperlukan berbagai data mengenai usaha konservasi yang dilakukan termasuk

database DNA. Database DNA diperlukan untuk mendukung penelitian tentang Jalak Bali yang sudah

pernah dilakukan seperti : studi perilaku makan, perilaku reproduksi, perilaku sosial dan interaksi dengan

habitat. Sampai saat ini data genetik berupa DNA yang dapat digunakan untuk berbagai aspek seperti :

finger print, hubungan kekerabatan dan strategi konservasi masih sangat kurang untuk jenis burung ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui

keragaman genetik dari Jalak Bali sehingga diperoleh ragam alel mikrosatelit yang dapat digunakan

sebagai database DNA untuk berbagai keperluan. Dari penelitian ini juga diharapkan mendapat luaran

berupa publikasi ilmiah dan data penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan dalam

konservasi Jalak Bali.

MATERI DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan di lembaga konservasi PT. Taman Burung Citra Bali Internasional

(Bali Bird Park). Jumlah sampel yang diambil dari penelitian ini sebanyak 5 ekor dengan menggunakan

teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara menentukan individu yang akan

ditetapkan sebagai sampel. Sampel yang digunakan berasal dari darah dan daging burung (khusus untuk

burung yang sudah mati). Penelitian dilakukan di Laboratorium Serologi dan Biologi Molekuler UPT

Forensik Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran dan Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

DNA diekstraksi dengan menggunakan metode fenol-kloroform (Sambrook dan Russell, 2001)

dengan modifikasi. DNA hasil isolasi diamplifikasi pada mesin PCR dengan menggunakan dua pasang

primer mikrosatelit yaitu primer TH3 dan TH6. Adapun campuran untuk proses PCR adalah : PCR

Page 103: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

97

Master Mix Solution 9,5 µl, DNA template 2 µl dan primer mikrosatelit 1 µl dengan volume total 12,5 µl

(Junitha, 2007).

Optimalisasi PCR dilakukan dengan metode Sambrook dan Russell (2001) yang dimodifikasi.

Penyesuaian DNA dilakukan pada suhu 95oC selama 5 menit. Denaturasi DNA pada suhu 95

oC selama

45 detik. Setelah proses denaturasi dilanjutkan proses penempelan primer (annealing) pada suhu 54 0C

untuk primer TH3 dan 60 0C untuk primer TH6 selama 60 detik. Proses pemanjangan DNA (elongation)

dilakukan pada suhu 72 o

C selama 90 detik. Keseluruhan proses PCR tersebut (denaturasi, annealing dan

elongation) dilakukan sebanyak 30 siklus dan dilanjutkan dengan proses pemanjangan tahap akhir pada

suhu 72 oC selama 5 menit.

Elektroforesis produk PCR menggunakan polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) 6% selama

90 menit dengan tegangan konstan 110 volt. Visualisasi DNA hasil amplifikasi mikrosatelit menggunakan

metode Tegelström (1986) dengan reagen pewarna perak nitrat (AgNO3). Jarak migrasi pita-pita DNA

pada polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) 6% diukur dan hasil pengukuran dianalogikan pada

kertas semilog untuk menetapkan panjang DNA hasil amplifikasi mikrosatelit. Keragaman genetik

dihitung dengan menggunakan rumus heterozigositas dari Nei (1987).

HASIL

Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan sampel Burung Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi) di PT. Taman Burung Citra Bali International sebanyak lima sampel dengan menggunakan

metode purposive sampling. Burung yang menjadi sampel penelitian di PT. Taman Burung Citra Bali

Internasional tersebut berasal dari indukan dan anakan burung yang dikembangkan di PT. Taman Burung

Citra Bali International dan berasal dari Yayasan Bhagawan Giri.

Gambar 5.1 Pita-Pita DNA Sebagai Alel Pada Gel Polyacrilamide Hasil Amplifikasi PCR Lokus TH3

Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 Merupakan Sampel Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)

Dari keseluruhan sampel yang diperoleh dalam penelitian ini, semua sampel berasil teramplifikasi

pada primer TH3 (Gambar 5.1) dan TH6 (Gambar 5.2) dan menghasilkan alel yang bersifat monomorfik

pada masing-masing lokus yang digunakan.

Page 104: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

98

Gambar 5.2. Pita-Pita DNA Sebagai Alel Pada Gel Polyacrilamide Hasil Amplifikasi PCR Lokus TH6

Keterangan : M (Marker Standar 100 bp ladder), 1, 2, 3, 4, dan 5 Merupakan Sampel Burung Jalak Bali

(Leucopsar rothschildi)

PEMBAHASAN

Semua sampel berhasil teramplifikasi pada primer TH3 dan TH6. Hal tersebut menunjukkan

bahwa primer site pada urutan basa DNA cetakan belum mengalami mutasi sehingga primer TH3 dan

TH6 menempel dengan baik pada DNA Jalak Bali. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel Jalak Bali

yang diperoleh dari PT. Taman Burung Citra Bali International belum mengalami mutasi mikrosatelit

pada kedua primer tersebut. Penelitian Watiniasih et al (2011) yang menggunakan Jalak Bali dari

berbagai sumber seperti dari Taman Nasional Bali Barat, Bali Bird Park dan Nusa Penida menunjukkan

hasil berbeda dimana sampel Jalak Bali yang digunakan kemungkinan sudah mengalami mutasi pada

primer site TH3 sehingga pada primer tersebut tidak menghasilkan band atau pita DNA.

Pada kedua primer yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan alel atau jumlah pasang

basa yang bersifat monomorfik yang artinya hanya ditemukan satu jenis alel pada kedua primer tersebut.

Pada primer TH3 alel yang ditemukan berukuran 128 pb. Tingginya frekuensi alel 128 Pb pada primer

TH3 yang ditemukan pada keseluruhan Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang diperoleh di PT.

Taman Burung Citra Bali International dapat dijadikan penanda atau penciri genetik burung tersebut pada

primer TH3. Alel 128 kemungkinan merupakan alel leluhur atau ancestor dari Burung Jalak Bali

(Leucopsar rothschildi) di PT. Taman Burung Citra Bali International yang belum mengalami mutasi

genetik. Hal tersebut dapat dilihat dimana hasil genetik antara indukan awal dan keturunan seluruhnya

sama.

Pada primer TH6 alel yang ditemukan berukuran 180 Pb. Tingginya frekuensi alel 180 Pb pada

primer TH6 menunjukkan bahwa alel ini kemungkinan juga merupakan alel leluhur atau alel ancestor

pada Burung Jalak Bali di PT. Taman Burung Citra Bali International. Alel leluhur merupakan alel umum

yang nantinya dapat mengalami mutasi dimana dari alel leluhur akan menghasilkan alel dengan jumlah

pasang basa yang lebih besar ataupun sebaliknya menghasilkan alel yang lebih kecil.

Apabila kita bandingkan pola DNA yang didapat pada primer TH3 maupun Th6 tidak terdapat

perbedaan pola genetik pada kedua sampel yang memiliki riwayat sumber sampel yang berbeda baik dari

indukan dan anakan di PT. Taman Burung Citra Bali International ataupun dari Yayasan Bhagawan Giri.

Hal tersebut menunjukkan rendahnya keragaman alel yang ada pada Burung Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi) yang digunakan dalam sampel penelitian ini. Apabila kita bandingkan antara sumber sampel

yang diperoleh tidak terdapat perbedaan antara sampel yang burung yang dikembangkan di PT. Taman

Burung Citra Bali International dengan yang bersumber dari Yayasan Bhagawan Giri dan menjadi

inventory atau koleksi di PT. Taman Burung Citra Bali International. Hal tersebut kemungkinan karena

PRIMER TH6

Page 105: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

99

sumber muasal dari Burung Jalak Bali berasal dari satu monotype genus yang ditemukan oleh Van Ballen.

Walaupun mereka hidup dan berkembang di berbagai wilayah dan bahkan di reintroduksi lagi ke Bali

tidak akan merubah pola-pola genetik pada burung tersebut. Hal yang sama juga ditemukan pada

penelitian Watiniasih et al (2011) yang tidak menemukan perbedaan pola genetik pada Burung Jalak Bali

di Taman Nasional Bali Barat, Nusa Penida dan Bali Bird Park.

Pada penelitian ini tidak ditemukan Keragaman genetik Burung Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi) dengan mengunakan primer mikrosatelit TH3 dan TH6. Rendahnya keanekaragaman genetik

disebabkan munculnya sifat monomorfik pada semua primer yang digunakan sehingga frekuensi masing-

masing alel menjadi 1. Keragaman genetik yang rendah ini disebabkan juga oleh laju mutasi yang rendah

pada DNA mikrosatelit yang ada pada lokus gen TH3 dan TH6. Mutasi merupakan sumber

keanekaragaman genetik yang dapat meningkatkan heterozigositas. Tanpa adanya mutasi pada DNA

mikrosatelit maka alel yang ditemukan serta keanekaragaman genetiknya akan sangat rendah.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yaitu keragaman genetik Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi) yang ditemukan dalam penelitian ini sangat rendah yang disebabkan oleh rendahnya variasi

alel yang ditemukan pada keseluruhan sampel yang digunakan. Disarankan untuk penelitian selanjutnya

menambah jumlah lokus yang digunakan dan menggunakan sampel Burung Jalak Bali (Leucopsar

rothschildi) dari berbagai sumber lembaga konservasi sehingga bisa dilihat pola-pola genetik dan

perbedaannya pada burung tersebut dari berbagai sumber.

KEPUSTAKAAN

Brandström, M., A. T. Bagshaw, N. J. Gemmell., H. Ellegren. 2008. The Relationship Between

Microsatellite Polymorphism and Recombination Hot Spots in the Human Genome. Molecular

Biology and Evolution 25(12):2579-2587.

Hillis, D. M., C. Moritz and B. K. Mable. 1996. Molecular Systematics, 2nd

ed. Sinauer Associates, Inc

Publisher. Sunderland. USA.

Junitha, I. K. 2004. Keragaman Genetik Masyarakat Di Desa-Desa Bali Aga Berdasarkan Analisis DNA

Dan Sidik Jari. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi S3. Tidak

Dipublikasikan.

Junitha, I. K. 2007. Penggunaan DNA Mikrosatelit Untuk Penelusuran Kawitan Pada Soroh-Soroh

Masyarakat Bali (Suatu Kajian Pustaka). Bali. Jurnal Biologi XI (2) : 50-54.

MacKinnon, J., Karen P., Bas van Balen. 1998. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali, dan

Kalimantan. Penterjemah: W. Rahardjaningtrah., A. Adikerana.,P. Martodihardjo.,E. K.

Supardiyono.,Bas van Balen. Puslitbang Biologi-LIPI/BirdLife International Indinesia

Programme. Bogor.

Moeljopawiro, S. 2007. Marka Mikrosatelit Sebagai Alternatif Uji Buss Dalam Perlindungan Varietas

Tanaman Padi. Available at :

http://www.zuriat.unpad.ac.id/index.php/volume/doc_download/20-5-marka-mikrosatelit-

sebagai-alternatif-uji-buss-dalam-perlindungan-varietas-tanamam-padi1.html. Opened :

25.08.2009

Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York. Columbia University Press.

Page 106: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

100

Prasetiyono, J dan Tasliah. 2008. Penanda Mikrosatelit: Penanda Molekuler yang Menjanjikan.

Available at : http://anekaplanta.wordpress.com/2008/03/02/marka-mikrosatelit-markamolekuler-

yang-menjanjikan/. Opened : 5.09.2009

Pujo dan Mariana. 2007. Konservasi Ex Situ Burung Endemik Langka Melalui Penangkaran Available at:

www.dephut.go.id/files/Pujo_Mariana.pdf Opened : 24.11.2012

Sambrook, J., D.W. Russell. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 3rd

edition. New York.

Cold Spring Harbor Lab Pr.

Suryo. 2005. Genetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tegelström, H. 1986. Mitochondrial DNA in Natural Population: an improved routine for screening of

genetic variation based on sensitive silver staining. Electrophoresis 7:226-229.

(TNBB) Taman Nasional Bali Barat. 2010. Pengelolaan Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothscildi)

Di Taman Nasional Bali Barat. Available at : www.google.co.id./jalak bali.html. Opened : 1. 4.

2011.

Watiniasih, N. L., I K. Junitha., Sudaryanto., I. W. Windia. 2011. Genetic Diversity of an Indigenous

Balinese Bird (Leucopsar rotschildi) from Bali and Overseas Breeding Sites. International

Conference on Biological Science Faculty of Biology.Universitas Gadjah Mada 2011 (ICBS BIO-

UGM 2011)

Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga.

Page 107: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

101

SEROPREVALENSI TUBERKULOSIS PADA SAPI BALI SEBAGAI LANGKAH AWAL

MONITORING PENCEGAHAN PENYAKIT ZOONOSIS (NEW EMERGING DISEASE) DI

PROVINSI BALI

SEROPREVALENCE TUBERCULOSIS OF BALI COWS AS EARLY PREVENTION STEPS

ON MONITORING ZOONOSIS DESEASE (NEW EMERGING DESEASE) IN BALI

PROVINCE

Hapsari Mahatmi1, Nyoman Adi Suratma

1, Nengah Kerta Besung

1 Ketut Budiasa

1, G.P. Widiarsa

2

1Fakultas Kedokteran Hewan ,Unud , 2Balai Karantina Kelas I Denpasar,

Email: [email protected]

INTISARI

Bovine tuberculosis (BTB) merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting, yang disebabkan

oleh Mycobacterium bovis. BTB merupakan bakteri yang sangat patogen yang mampu menyerang hewan

vertebrata, terutama sapi, hewan domestik, dan hewan liar, bahkan manusia atau sebaliknya pada semua

umur. Penyebaran penyakit tuberkulosis hampir ke seluruh dunia, baik negara maju seperti Amerika,

Eropa, termasuk Inggris, dan frekuensi semakin tinggi pada negara-negara berkembang yang kondisi

sanitasi lingkungannya belum menjadi perhatian yang serius dan sedikitnya laporan atau monitoring

yang dilakukan terhadap BTB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi BTB di provinsi

Bali. Jumlah sampel sapi yang digunakan sebanyak 376 ekor. Metode pemeriksaan sampel serum darah

sapi dengan menggunakan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi BTB di

wilayah provinsi Bali adalah sebesar 0,53% yang didapatkan dari kabupaten Bangli. Sedangkan wilayah

kabupaten lain sama sekali tidak ditemukan adanya seropositif. Simpulan penelitian adalah

kemungkinan besar BTB sudah ada di provinsi Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut, perlu dilakukan

pemeriksaan yang lebih mendalam dengan menggunakan whole blood dan organ predeleksi yang

diperoleh di rumah potong hewan setempat.

Kata kunci: Bovine Tubercolosis (BTB), seroprevalensi, seropositif, whole blood, ELISA

ABSTRACT

Bovine tuberculosis (BTB) is a very important zoonotic disease, caused by Mycobacterium bovis.

BTB is the most universal pathogen among mycobacteria and affects many vertebrate animals of all age

groups including humans although, cattle, goats, and pigs are found to be the most susceptible

Tuberculosis spread almost to all over the world, both developed countries such as in America, Europe

including The United Kingdom, and the higher frequency was found in developing countries where

environmental sanitation have not been a serious concern and the lack of reports or monitoring

conducted on BTB. This study aimed to determine the seroprevalence BTB in the province of Bali. 376

cows were used as samples. Blood serum was examinated by ELISA method. The results of study showed

that the prevalence of BTB in the province of Bali is 0.53 % which was found in Bangli district, whereas

in other districts in Bali, no seropositive was found. These results suggested that BTB exists in Bali

Province. Further research needs to be done to obtain a BTB agent through examination of whole blood

and organs at the local abattoir especially at Bangli regency.

Keywords; Bovine Tubercolosis (BTB), Anigen*, seroprevalence, whole blood, ELISA

Page 108: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

102

PENDAHULUAN

Bovine tuberculosis (BTB) merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting, yang saat ini

sudah menyebar ke seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex

(MTBC). M. tuberculosis umumnya menyerang manusia sebagai inang utamanya sedangkan M. bovis

mampu menyerang lebih banyak inang seperti manusia, sapi, hewan domestik, seperti anjing, kucing,

dan hewan peliharaan lain, serta hewan liar. Oleh karenanya, deteksi awal adanya titer antibodi terhadap

tuberkulosis merupakan suatu indikator terhadap ancaman tuberkulosis baik pada manusia maupun pada

hewan, khususnya pada sapi. Penularan umumnya melalui makanan, udara, dan kontak dengan cairan

lendir penderita. Baik tuberkulosis yang diakibatkan oleh infeksi M. tuberculosis dan M. bovis sangat sulit

dibedakan berdasarkan gejala klinis yang tampak, maupun pemeriksaan patologi, keduanya menunjukkan

perubahan yang sangat mirip. Untuk membedakan keduanya, perlu pemeriksaan yang lebih spesifik

seperti dengan metode ELISA dan PCR (Gaborick et al., 1996; Hassanain et al., 2009); Wernery et al.

(2007).

Pada manusia, tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat ditakuti karena bersifat persisten

dan menahun (Acha dan Syfres, 2001 dan Dharmojono, 2001). Laporan WHO (2009) menyebutkan

bahwa penderita TB di wilayah Asia Tenggara mencapai jumlah ke dua terbesar setelah Afrika, yaitu

sebesar 30 % dari jumlah total penderita sedunia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dari negara-negara

se-Asia Tenggara. Kasus TB pada manusia tidak terlepas dari ledakan kasus HIV dan Bali merupakan

wilayah ke dua terbesar jumlah penderita HIV-nya di seluruh Indonesia. Hal ini juga merupakan suatu

kondisi yang diprediksi akan meningkatkan kasus tuberkulosis yang diakibatkan oleh infeksi M. bovis

pada manusia (Kantor, et al, 2010).

Provinsi Bali mempunyai jumlah populasi sapi 683.800 ekor (Disnak Prov.Bali, 2010), yang

setiap tahunnya mengirimkan rata-rata 75.000 ekor sapi potong ke luar provinsi. Bali merupakan

penghasil ternak sapi yang sangat potensial. Namun, tidak terlepas dari berbagai permasalahan, yang

salah satunya adalah kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit sapi yaitu tuberkulosis.

Perdagangan bebas dan globalisasi berdampak pada penyebaran penyakit yang lebih cepat

khususnya pada komoditi ternak, tidak terkecuali di Indonesia, dengan peningkatan kebutuhan protein

hewani yang terus meningkat. Kondisi ini memberi peluang masuk hama penyakit hewan karantina

(HPHK), khususnya BTB ke wilayah Bali. Jadi, perlu pengawasan/kontrol terhadap lalu lintas hewan

secara intensif di berbagai pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran (exit dan entry point). Dalam

pelaksanaan kegiatan ini, perlu ada hubungan yang terintegrasi serta koordinasi antar instansi terkait

untuk mewujudkan perlindungan terhadap keamanan pangan hewani, sehingga tidak membahayakan

kesehatan hewan dan manusia. Selama tahun 1994, TB hanya ditemukan di Propinsi Jawa Barat, yaitu

sejumlah 3 kasus (Dharmojono, 2001). Mahatmi dan Goncales (2011) melaporkan bahwa jumlah

seropositif ELISA adalah sebesar 29,3 % pada sapi di Timor Leste.

Bali sebagai asal sapi bali berpotensi menjadi pusat pengembangan dan penelitian sapi bali,

khususnya di Universitas Udayana. Oleh karenanya, sangat penting dilakukan penelitian tentang berbagai

aspek tentang Sapi Bali. Jadi, perlu dilakukan penelitian tentang seroprevalensi tuberkulosis pada Sapi

Bali sebagai dasar pemetaan wilayah lokasi tertular berdasarkan hasil seropositip dari sampel yang

diperiksa. Data ini merupakan database yang sangat penting untuk menentukan kebijakan dan langkah

selanjutnya mengingat BTB merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam undang-undang karantina.

MATERI DAN METODE

Sampling Lapang terhadap Sapi Bali di seluruh provinsi Bali

Penelitian difokuskan pada pengamatan seroprevalensi dengan menggunakan Observasional

Cross-Sectional Study untuk mengetahui prevalensi tuberkulosis pada sapi bali di Provinsi Bali (Anonim,

Page 109: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

103

2011). Sampling dilakukan di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi Bali. Sumber data yang digunakan yaitu

data primer dengan pengambilan sampel darah sapi di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Sedangkan data

sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan Provinsi Bali. Pengambilan sampel didasari perhitungan detect

disease dengan tingkat konfidensi 95%, prevalensi 2% (Sumiarto, 2009).

Pemeriksaan Sampel Serum darah Sapi Bali

Setiap ekor sapi terpilih sebagai sampel diambil darahnya dengan mengggunakan vacuntainer 10

ml. Darah diambil dari vena jugularis, kemudian dibiarkan sebentar pada posisi miring. Kemudian

disimpan dalam coolbox dan dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan serum dan sel darah merahnya.

Serum koleksi diberi label dan disimpan dalam freezer sampai saat dilakukan pemeriksaan dengan metode

ELISA (Anigen*). Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan gold standard untuk

pemeriksaan seroprevalensi tuberkulosis yang mempunyai akurasi yang sangat tinggi (Lilenbaum dan

Fonseca, 2006; Lequin, 2005).

Tabel 1. Jumlah Sampel yang di periksa dari masing-masing kabupaten yang ada di Provinsi Bali

No Kabupaten Jumlah Sampel yang Diuji

1

2

3

4

5

6

7

Bangli

Buleleng

Klungkung

Gianyar

Negara

Tabanan

Badung

100

56

50

50

40

40

40

Jumlah 376

HASIL

Hasil uji serologis ELISA terhadap sampel serum yang berasal dari 376 ekor sapi Bali yang

diperoleh dari wilayah provinsi Bali, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Serologis BTB dengan Uji ELISA

No Kabupaten Jumlah Sampel

yang Diuji

Hasil Uji ELISA

Jumlah Sampel Positif

Seroprevalensi

(%)

1

2

3

4

Bangli

Buleleng

Klungkung

Gianyar

100

56

50

50

2

-

-

-

2,00

0

0

0

Page 110: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

104

5

6

7

Negara

Tabanan

Badung

40

40

40

-

-

-

0

0

0

Jumlah 376 2 0,53

Hasil Pemeriksaan ELISA

Sampel serum dari seluruh wilayah di 9 Kabupaten yang ada di Bali sejumlah telah dilakukan

pemeriksaan daengan metode ELISA. Hasil pemeriksaan terhadap sampel serum darah dari 376 ekor sapi

menunjukkan bahwa terdapat 3 seropositip BTB pada pemeriksaan pertama. Namun, setelah dilakukan

pemeriksaan ulang, yang benar-benar positif hanya 2 sampel serum yang berasal dari Kabupaten Bangli.

PEMBAHASAN

BTB merupakan penyakit zoonosis yang saat ini menjadi perhatian dunia, mengingat BTB

ternyata merupakan penyebab utama kasus tuberkulosis pada manusia, khususnya di perdesaan dan pada

pekerja rumah potong di banyak negara. Afrika merupakan benua yang mempunyai presentasi BTB yang

berkisar antara 5 – 50 %. Di Etiopia, seroprevalensi BTB berkisar 3,5%-5,2%, yang ditemukan di rumah

potong hewan (Domenech, 2006; Etter et al., 2006; Han et al., 2013). Sedangkan di Tibet, seroprevalensi

BTB yang ditemukan pada hewan liar sebangsa serigala adalah sebesar 2,6 % (Han et al, 2013).

BTB merupakan penyakit yang bersifat kronis, lambat, dan sangat sedikit menampakkan gejala

klinis, terutama pada sapi. Mengingat dampaknya yang serius, kondisi ini perlu dicermati dan seharusnya

mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Di banyak negara, status bebas BTB selalu bergerak setiap

saat, seperti di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, selalu terjadi perubahan status dari tertular

menjadi bebas dan dari bebas menjadi tertular. Untuk bisa membebaskan BTB dari suatu negara perlu

waktu dan biaya yang sangat besar, seperti yang dilaporkan oleh Center for Food Security and Public

Health (2009) dan Good dan Duignan (2011). Program eradikasi di beberapa Negara di Eropa, Jepang,

Selandia Baru, Meksiko dan negara bagian tengah Amerika Serikat menunjukkan kemajuan yang sangat

signifikan, Meskipun eradikasi BTB telah dilakukan di sebagian besar negara bagian di Amerika, tetapi

masih ada laporan tentang adanya kasus atau seropositip terhadap BTB (Cosivi et al., 2010). Yang juga

sering terjadi adalah hilangnya status bebas BTB pada negara yang tidak secara rutin melakukan tindakan

pemantauan terhadap BTB. Pemberantasan yang paling sulit dilakukan adalah BTB yang menyerang

hewan liar yang ada di negara-negara tersebut.

Faktor Resiko BTB

Hasil pengujian dengan metode ELISA menunjukkan bahwa ternyata hanya 2 dari 376 (0,53%)

sampel yang menunjukkan reaksi positif BTB, dan 1 sampel diragukan BTB. Sapi yang positip ELISA

terhadap BTB merupakan sapi lokal Bali umur 2,5 tahun, jenis kelamin betina, cara pemeliharaannya

dikandangkan. Dari hasil kuisioner dan wawancara dengan pemilik sapi yang terpilih sebagai sampel

penelitian, ternyata hampir sebagian besar adalah peternak kecil yang jumlah sapi peliharaannya adalah 2-

5 ekor. Umumnya, sapi dipelihara secara konvensional, dikandangkan, dan diberi pakan hijauan yang

tersedia di sekitar lokasi. Tempat tinggal pemilik dan lokasi kandang berjarak relatif dekat. Pengetahuan

peternak tentang BTB sangat minim bahkan tidak tahu, meskipun mereka umumnya tahu penyakit TBC

pada manusia, tetapi umumnya tidak tahu bahwa sapi penderita dapat menularkan penyakit tersebut

kepada manusia. Beberapa petani bahkan tinggal sangat berdekatan dengan kandang sapi untuk menjaga

dari adanya encurian. Menurut hasil enelitian yang dila orkan oleh Kang’ethe et al. (2007), jarak

Page 111: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

105

antara kandang sapi dan tempat tinggal pemilik sangat berpengaruh terhadap besarnya faktor resiko.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa BTB sangat

besar kemungkinannya sudah ada di Bali meskipun dengan seroprevalensi yang cukup kecil, tetapi perlu

mendapat perhatian serius. Saran yang diberikan adalah perlunya dilakukan penelitian lebih mendalam

tentang penelusuran agen BTB pada berbagai sumber yang berasal dari sapi bali di wilayah tersebut.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Dirjen Dikti atas pembiayaan Hibah Unggulan Perguruan

Tinggi Tahun 2013 dan kepada Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali, sejawat yang terlibat dalam

penelitian, dan berbagai pihak yang telah turut melancarkan penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Acha P. and B. Szyfres. 2001. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals.

Bacterioses and Mycoses. 3rd edition. Washington, DC: Pan American Health Organization,

Scientific and Technical Publication 580: 283–299.

Anonim. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Penyakit Tuberkulosis di Daerah Sebar Hama

Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani

Badan Karantina Pertanian.

Center For Food Security And Public Health (2009).

Cosivi O., J. M. Grange, C.J. Daborn, M.C. Raviglione, T. Fujikura, D. Cousins, R.A. Robinson,

H.F.A.K. Huchzermeyer, and F.X. Meslin. 2010. Zoonotic Tuberculosis due to Mycobacterium

bovis in Developing Countries.Worl. Health Organization, Geneva, Switzerland.

Dharmojono, H. 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia.

Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2010. Data Populasi Sapi potong dan Sapi Perah pada Tahun 2010.

Domenech, R. D. 2006 Human Mycobacterium bovis infection in the United Kingdom: Incidence, risks,

control measures and review of the zoonotic aspects of bovine tuberculosis. Epub 86(2):77-109.

Etter E, P. Donado, F. Jori, A. Caron, F. Goutard, and F. Roger. 2006. Risk Analysis and Bovine

Tuberculosis, a re-Emerging Zoonosis. Ann N Y Acad Sci. 1081:61-73

Gaborick, C M., M. D. Salman, R. P. Ellis, dan J. Triantis. 1996. Evaluation of a five-antigen ELISA for

diagnosis of tuberculosis in cattle and Cervidae. J.American Veterinary Medical Association

209(5):962-966.

Good, M. and A. Duignan. 2011. Perspectives on the History of Bovine TB and the Role of Tuberculin in

Bovine TB Eradication. Vet. Med. Int. 17: 410470.

Hassanain, N. A., N. A. Hassanain, Y. A. Soliman, A. A. Ghazy, and A. Yasser. 2009 Bovine

Tuberculosis in a dairy cattle farm as a threat to public health. Africa Journal of Microbiology

Research 3(8): 446-450

Han, C. J., M. Gao, X. Meng, M. Liu, X. Zhang, D. Zhang, A. Guo, and S. Sizhu. 2013. Seroprevalence

of bovine tuberculosis infection in yaks (Bos grunniens) on the Qinghai-Tibetan Plateau of China.

Trop. Animal Health Prod. 45 (6).

Page 112: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

106

Kang’ethe E. K., C. E. Ekuttan, and V. N. Kimani 2007 Investigation of the prevalence of bovine

tuberculosis and risk factors for human infection with bovine tuberculosis among dairy and non-

dairy farming neighbour households in Dagoretti Division, Nairobi, Kenya. 84 (11 Suppl): S92-5.

Kantor I N., P. A. LoBue, and C.O. Thoen. 2010. Human tuberculosis caused by Mycobacterium bovis in

the United States, Latin America and the Caribbean. Int J Tuberc Lung Dis14 (11):1369-73.

Lilenbaum, W and L.S. Fonseca. 2006. The use of Elisa as a complementary tool for bovine tuberculosis

control in Brazil Braz. J. Vet. Res. Anim. Sci.43(2).

Lequin, R., 2005. Enzyme Immunoassay (EIA)/ Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). J Chin.

51: 2415-2418.

Mahatmi, H. dan L. Goncales. 2011. Laporan Proyek kerjasama dengan Susu Bean Project for Timor

Leste.

Sumiarto, B. 2009. Pengambilan Sampel Monitoring HPHK pada Hewan, BAH dan HBAH.

Laboratorium Epidemiologi. Bagian Kesmavet FKH. UGM.

Wernery U., J. Kinne, K. L. Jahans, H. M. Vordermeier, J. Esfandiari, R. Greenwald, B. Johnson , A. Ul-

Haq, and K. P. Lyashchenko. 2007. Tuberculosis outbreak in a dromedary racing herd and rapid

serological detection of infected camels. Vet Microbiol. 122(1-2):108-15.

WHO Annual Report 2010. Tuberculosis in the South-East Asia Region.

Page 113: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

107

STUDI EPIDEMIOLOGI KOKSIDIOSIS PADA SAPI DI BALI

THE EPIDEMIOLOGY STUDY OF CATTLE COCCCIDIOSIS IN BALI

Nyoman Adi Suratma, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata

1. Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Email :[email protected]

INTISARI

Koksidiosis adalah penyakit parasitik pada saluran usus yang disebabkan oleh genus Eimeria sp.

dan merupakan salah satu penyakit yang paling umum dan penting pada ternak di seluruh dunia.

Penentuan prevalensi, komposisi spesies, faktor risiko yang terkait dan manajemen hewan sangat

berguna dalam merancang strategi pengendalian yang efisien. Penelitian yang dilakukan merupakan

penelitian observasional cross sectional di wilayah pulau Bali. Dalam hal ini Bali dibagi menjadi empat

strata, yaitu daerah dataran rendah kering dan basah serta daerah dataran tinggi kering dan basah.

Pengambilan sampel ternak sapi dilakukan secara purposive dengan jumlah sebanyak 400 ekor ternak

sapi (Thrusfield, 2005). Ternak sapi yang dipergunakan sebagai sampel penelitian adalah sapi yang

berumur 1 – 12 bulan (kelompok I) dan diatas 12 bulan (kelompok II) yang diambil dari sampel wilayah

secara purposif. Untuk menentukan terjadinya infeksi Eimeria sp.dan tingkat infeksi pada sapi dilakukan

dengan melakukan pemeriksaan feses dengan metode pengapungan dan metode Mc Master, dilanjutkan

dengan melakukan identifikasi dan sporulasi dari ookista yang ditemukan untuk menentukan spesiesnya

(Soulsby, 1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, prevalensi koksidiosis pada sapi di Bali sebesar

39,75 %, terdapat hubungan yang bermakna (P,0,05) antara kondisi wilayah, umur dan jenis kelamin

dengan prevalensi koksidiosis pada sapi di Bali

Kata kunci: epidemiologi, koksidiosis, sapi, Bali

ABSTRACT

Coccidiosis is a parasitic disease of the intestinal tract caused by the genus Eimeria sp. and is

one of the most common diseases and important in cattle worldwide. Determination of the prevalence,

species composition, associated risk factors and management of animals is very useful in designing an

efficient control strategy. Research conducted an observational cross-sectional study in the region of the

island of Bali. In this case Bali is divided into four strata, namely the dry and wet lowland and upland

areas of dry and wet. Sampling is purposive cattle with a total of 400 head of cattle (Thrusfield, 2005).

Cattle were used as the study sample was aged cows 1-12 months (group I) and over 12 months (group II)

were taken from the sample purposively region. To determine the level of infection sp.dan Eimeria

infection in cattle feces examination conducted by the flotation method and the method of Mc Master,

followed by identifying and sporulation of the oocysts were found to determine the species (Soulsby,

1982). The results showed that the prevalence of coccidiosis in cattle in Bali by 39,75 %, there is a

significant relationship between the condition of the area, age and gender to the prevalence of coccidiosis

in cattle in Bali

Keywords: epidemiology, cocccidiosis, cattle, Bali

Page 114: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

108

PENDAHULUAN

Ternak sapi bali adalah merupakan satu plasma nuftah yang sangat potensial untuk menjaga

ketahanan pangan di Indonesia khususnya dalam pemenuhan kebutuhan akan protein hewani, karen

ternak ini mempunyai tingkat produktifitas yang tinggi. Namun dalam perkembangannya banyak faktor

yang dapat menghambat produktifitasnya diantaranya faktor penyakit. Salah satu penyakit parasit yang

dapat menghambat pertumbuhan anak sapi adalah koksidiosis.

Koksidiosis adalah penyakit parasitik pada saluran usus yang disebabkan oleh genus Eimeria sp.

dan merupakan salah satu penyakit yang paling umum dan penting pada ternak di seluruh dunia. Penyakit

ini umumnya menginfeksi ternak-ternak muda dapat mengakibatkan diare yang berkepanjangan, depresi

dan anemi sehingga dapat menghambat pertumbuhan (Radostits et al., 1994). Banyak penelitian

menunjukkan bahwa dalam kondisi alamiah, lebih umum terjadi infeksi campuran dari Eimeria sp.

Dalam hal ini diketahui 13 spesies Eimeria yang dapat menginfeksi sapi, namun yang dianggap paling

pathogen adalah Eimeria bovis dan Eimeria zuernii. Perkembangan koksidiosis pada sapi terutama

tergantung pada faktor-faktor seperti spesies Eimeria, usia hewan yang terinfeksi, jumlah ookista tertelan,

adanya infeksi bersamaan dan manajemen pemeliharaan (Daugschies dan Najdrowsk, 2005). Dengan

demikian, penentuan prevalensi, komposisi spesies, faktor risiko yang terkait dan manajemen hewan

sangat berguna dalam merancang strategi pengendalian yang efisien.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui epidemiologi

koksidiosis pada sapi di Bali, sehingga diketahui faktor resiko yang berpengaruh terhadap penyakit ini.

MATERI DAN METODE

Rancangan Penelitian

Peneltian yang dilaksanakan merupakan penelitian observasional cross sectional, dengan

memperhatikan beberapa faktor resiko terhadap terjadinya infeksi Eimeria sp. pada sapi. Adapun faktor

resiko yang akan dinalisis diantaranya, wilayah tempat sapi dipelihara, umur dan jenis kelamin sapi serta

manajemen pemeliharaan sapi.

Sampel Wilayah Penelitian

Sampel wilayah penelitian adalah wilayah di Bali yang dibagi menjadi empat strata, yaitu

dataran rendah basah (Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Abiansemal

Kabupaten Badung), dataran rendah kering (Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem dan Kecamatan

Seririt Kabupaten Buleleng), dataran tinggi basah (Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dan

Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem) dataran tinggi kering (Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten

Badung dan Kecamatan Kintamani Kabbupaten Bangli)

Sampel Sapi

Ternak sapi yang dipergunakan sebagai sampel penelitian adalah sapi yang berumur 1 – 12 bulan

(kelompok I) dan di atas 12 bulan (kelompk II) yang diambil dari sampel wilayah secara purposif.

Jumlah sampel sapi yang akan diamati ditentukan menurut Thrusfield (2005) sebagai berikut:

n = 1.962 × Pexp (1- Pexp) / d

2

dimana n = ukuran sampel yang diperlukan, Pexp = prevalensi yang diharapkan (57 %), d = presisi

mutlak diinginkan 0.05 n = 77 ekor ≈ 400 ekor sa i

Oleh karena pada setiap setiap sampel wilayah akan diamati 100 ekor sapi..

Page 115: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

109

Isolasi dan Identifikasi Eimeria sp. pada Sapi.

Untuk menentukan adanya infekai pada sapi dilakukan dengan pemeriksaan feses yang diambil

langsung dari rektum, selanjutnya diperiksa dengan metode pengapungan dan metode Mc Master untuk

menentukan intensitas dari infeksi. Selanjutnya dilakukan identifikasi spesies dari Eimeria, yang

dilakukan dengan melakukan sporulasi ookista Eimeria, selanjutnya dilakukan pengamatan waktu

perkembangan dan morfologi dari ookista (Soulsby, 1982).

Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan analisis Chi square dan ditentukan resiko relatif dari

masing-masing faktor resiko.

HASIL

Prevalensi Koksidiosis pada Sapi

Jumlah sapi yang telah diperiksa pada penelitian ini sebanyak 400 ekor, yang berasal dari

Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Penebel, Kecamatan Rendang, Kecamatan Kerambitan, Kecamatan

Kubu, Kecamatan Kintamani, Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Seririt. Sapi-sapi yang diperiksa

tersebut diantaranya terdiri dari 156 ekor sapi jantan dan 244 sapi betina, sedangkan dari umur sapi

ternyata 132 ekor sapi berumur 1-12 bulan dan 268 ekor berumur diatas 12 bulan. Setelah dilakukan

pemeriksaan, ternyata 159 ekor (39,75 %) sapi di Bali terinfeksi koksidia, dengan kisaran 28 % sampai

51 % pada masing-masing wilayah.

Hubungan Wilayah dan Prevalensi Koksidiosis

Prevalensi kokdiosis pada sapi didaerah dataran tinggi kering adalah sebesar 28 %, dataran tinggi

basah 35 %, dataran rendah kering 45 % dan daerah dataran rendah basah sebesar 51 %. Setelah

dilakukan analisis, ternyata hanya prevalensi tampak adanya hubungan yang bermakna (P <0,05) antara

kondisi wilayah dengan dengan prevalensi infeksi koksidia pada sapi di Bali.

Gambar 1. Hubungan wilayah dan prevalensi koksidiosis

Page 116: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

110

Hubungan Umur Sapi dengan Prevalensi Koksidiosis

Setelah dilakukan pengamatan ternyata prevalensi koksidiosis pada sapi yang berumur 1-12 bulan

adalah sebesar 44,7 %, sedangkan pada sapi yang berumur diatas 12 bulan sebesar 37,31 %. Setelah

dilakukan analisis ternyata tampak adanya hubungan yang bermakna (P <0,05) antara umur sapi dengan

infeksi koksidia pada sapi di Bali. Dalam hal ini prevalensi infeksi koksidia pada sapi muda lebih tinggi

dibandingkan pada sapi dewasa.

Gambar 2. Hubungan umur sapi dengan prevalensi koksidiosis

Hubungan Jenis Kelamin Sapi dengan Prevalensi Koksidiosis

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa prevalensi koksidiosis pada sapi jantan sebesar 33,97 %,

sedangkan prevalensi pada sapi betina sebesar 43,44 % . Setelah dilakukan analisis , ternyata keadaan ini

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (P<0,05) antara jenis kelamin terhadap prevalensi infeki

koksidia pada sapi di Bali, dalam hal ini prevalensi pada sapi betina lebih tinggi dibanding sapi jantan.

Gambar 3. Hubungan jenis kelamin sapi dengan prevalensi koksidiosis

Page 117: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

111

PEMBAHASAN

Tingginya angka prevalensi ini disebabkan masih kurangnya sanitasi, karena selain dilepas,

dalam pemeliharaan sapi sebagian besar hanya dikandangkan pada kandang tanah yang tidak pernah

dipersihkan seningga menjadi media yang baik untuk perkembangan dan penularan Eimeria penyebab

koksidiosis. Adanya hubungan yang bermakna antara kondisi wilayah dengan prevalensi infeksi koksidia

pada asapi di Bali, disebabkan karena siklus hidup koksidia sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan

kadar air dari suatu daerah. Selain itu ketinggian daerah juga dapat mempengaruhi, karena dengan

semakin tinggi suatu wilayah maka kemungkinan kadar air dari wilayah tersebut juga semakin kecil.

Dalam hal ini makin tinggi kelembaban, maka perkembangan ookista dari koksidia di alam akan semakin

baik. Adanya hubungan yang bermakna antara umur sapi dengan infeksi koksidia pada sapi di Bali,

berkaitan dengan terbentuknya respon imun terhadap infeksi, dimana pada sapi dewasa respon imun yang

terbentuk lebih sempurna dibandingkan pada sapi muda, sehingga daya tahan sapi umur muda juga lebih

rendah dibandingkan sapi dewasa dan kemungkinan untuk terinfeksi koksidia akan lebih tinggi. Adanya

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap prevalensi infeki koksidia pada sapi di Bali,

kemungkinan disebabkan karena faktor hormonal yang dimiliki oleh hewan betina, yaitu progesterone

yang dapat menurunkan imunitas dari hewan betina, sehingga lebih mudah untuk terinfeksi penyakit.

SIMPULAN

Prevalensi koksidiosis pada sapi di Bali sebesar 39,75 %, terdapat hubungan antara kondisi

wilayah, umur dan jenis kelamin dengan prevalensi koksidiosis pada sapi di Bali.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimaksih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui

Direktorat Pendidikan Tinggii yang telah mendanai penelitian ini melalui Dana Hibah Desentralisasi

(BOPTN) tahun Anggaran 2014.

KEPUSTAKAAN

Abebe R, B. Kumesa, A. Wessene.2008. Epidemiology of Eimeria infections in calves in Addis Ababa

and Debre Zeit Dairy Farms, Ethiopia. Intern. J. Appl. Res. Vet. Med. 6:24-30.

Astiti, L. G. S. 2011. Identifikasi Parasit Internal pada Sapi Bali di Wilayah Dampingan Sarjana

Membangun Desa di Kabupaten Bima. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.

Alemayehu, A., M. Nuru., and T. Belina. 2013. Prevalence of Bovine Coccidia in Mbolcha District of

South Wollo Ethiopia. J.Vet.Med.Anim.Health.

Daugschies, A., and M. Najdrowski.. 2005. Eimeriosis in Cattle: Current Understanding. Journal of

Veterinary Medicine

Ernst J. V., and G. W. Benz. 1986. Intestinal coccidiosis in cattle. The veterinary clinics of North

America/parasites: epidemiology and control. W.B. Saunders Company, Philadelphia, PA..

Fitriastuti, E. R., 2011. Studi Penyakit Koksidioasis pada Sapi Betina di 9 Propinsi di Indonesia. Balai

Besar Pengujian Mutgu Obat Hewan.

Page 118: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

112

Fraser, C. M. 2006. The Merck Veterinary Manual, A Hand Book of Diagnosis Therapy and Disease

Prevention and Control for Veterinarians. 7th Ed., Merck and Co. Inc, Rahway, NIT, USA.

Georgi, J. R. 1985. Parasitology for veterinarians. Fourth ed. W. B. Saunders Co., Phila. PA.

Hammond, M., G. W. Bowman, L. R. Davies, and B. T. Simms. 1946. The endogenous phase of the life

cycle of Eimeria bovis. J. Parasit. 32:409.

Levine, 1985. Veterinari Parasitology. Ames Iowa State Univesity Press

Pandit, B. A. 2009. Prevalence of Coccidiosis in Cattle in Kashmir valley. Vet. Scan. 4:16-20.

Pascoti, F. R., M. A. Lopes1; F. A. Demeu1, C. A. Perazza1; M. F. Pedrosa1; and A. M Guimarães. 2011.

Frequency of species of Eimeria in females of the holstein-friesian breed at the post-weaning

stage during autumn and winter. Rev. Bras. Parasitol. Vet., Jaboticabal,

Puspa, A. C. 2006. Faktor Resiko Lokasi Peternakan dan Umur terhadap Kejadian Infeksi Eimeria sp.

Pada Sapi Bali di Kabupaten Karangasem: kajian Lintas Seksional. Skripsi FKH IPB.

Radostits O. M, Blood D. C, and Gay C. C (1994). Veterinary Medicine. A Textbook of the Diseases of

Cattle,Sheep, Pigs, Goats, and Horses. 8th Ed., Bailliere Tindall, Philadelphia.

Rind, R., A. J. Propert and A. A. Kamboh. 2007. The Incidence of Eimeria Species in Naturally Infected

Calves. International Journal OF Agriculture &Biologi

Page 119: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

113

POTENSI Lactobacillus rhamnosus SKG34 SEBAGAI STARTER YOGHURT DAN

VIABILITASNYA SELAMA PENYIMPANAN

THE POTENCY OF Lactobacillus rhamnosus SKG34 AS YOGHURT STARTER AND ITS

VIABILITY DURING STORAGE

Komang Ayu Nocianitri1, I Nengah Sujaya

2, Ni Nyoman Puspawati

3

1Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fak. Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, 2PS Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fak Kedokteran, Universiats Udayana, 3Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fak. Teknologi Pertanian, Universitas Udayana

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dari Lactobacillus rhamnosus SKG34 sebagai

starter pada pembuatan yoghurt untuk pengembangan pangan fungsional. Yoghurt dibuat menggunakan

L. rhamnosus SKG34 sebagai starter tunggal dan starter campuran dari L. rhamnosus SKG34 dengan

Streptococcus thermophilus atau Lactobacillus bulgaricus. Yoghurt disimpan selama 15 hari dan

pengamatan dilakukan setiap 3 hari terhadap total BAL, pH, dan sifat sensoris. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa L. rhamnosus SKG34, baik tunggal maupun dikombinasikan dengan S. thermophilus

atau L. bulgaricus, menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda, yaitu total BAL

berkisar 108 cfu/g sampai 1010 cfu/g, pH berkisar 4.22 sampai 4.60, tekstur dari biasa sampai kental, rasa

biasa sampai asam dan penilaian keseluruhan agak suka sampai suka. Hal ini menunjukkan bahwa L.

rhamnosus SKG 34 dapat digunakan sebagai starter tunggal pada pembuatan yoghurt sehingga dapat

dikembangkan untuk memproduksi produk pangan fungsional yang mengandung probiotik.

Kata kunci: probiotik, yoghurt, Lactobacillus

ABSTRACT

This study aims to determine the potential of Lactobacillus rhamnosus SKG34 as a starter in the

manufacture of yoghurt to the development of functional food. Yoghurt is made using L. rhamnosus

SKG34 as a single starter and the starter mixture of L. rhamnosus SKG34 with Streptococcus

thermophilus or Lactobacillus bulgaricus. Yoghurt was stored for 15 days and the observations were

done every 3 days for a total BAL, pH, and sensory properties. The results showed that L. rhamnosus

SKG34 either singly or in combination with S. thermophilus or L. bulgaricus produce yogurt with

characteristics that are not much different from that in total BAL ranged between 108 cfu/g to 1010 cfu/g,

the pH ranged from 4.22 to 4.60, the texture of ordinary until thick, taste sour and unusual to the overall

assessment rather like to like. This suggests that L. rhamnosus SKG 34 can be used as a single starter in

the manufacture of yoghurt that can be developed to produce functional food products containing

probiotics.

Keywords: probiotics, yoghurt, Lactobacillus

Page 120: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

114

PENDAHULUAN

Dewasa ini, pangan fungsional berkembang dengan pesat. Pangan yang dikonsumsi diharapkan

tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan zat nutrisi, tetapi juga dapat menstimulasi salah satu fungsi

khusus dalam kesehatan individu. Bakteri asam laktat (BAL) telah banyak dimanfaatkan oleh industri

pangan dalam menciptakan produk pangan fungsional untuk memelihara kesehatan saluran pencernaan

manusia, yang dikenal dengan istilah probiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang apabila

diberikan pada jumlah yang tepat dapat bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan (FAO, 2002).

Susu kuda sumbawa telah banyak diklaim mempunyai berbagai efek menyehatkan serta dapat

menyembuhkan beberapa penyakit. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri dominan pada

susu kuda sumbawa terfermentasi dan diduga menjadi salah satu yang berkontribusi dalam efek

menyehatkan. Penelitian BAL pada susu kuda sumbawa telah dilakukan dan diperoleh Lactobacillus

rhamnosus SKG34 sebagai strain yang potensial sebagai probiotik (Sujaya et al., 2008a,b). L. rhamnosus

SKG34 merupakan strain probiotik yang mempunyai sifat fungsional sebagai penurun kolesterol darah

(Nocianitri et al., 2013, tidak dipublikasi) sehingga potensial untuk dapat dikembangkan sebagai makanan

fungsional.

Salah satu produk pangan populer yang mengandung probiotik saat ini adalah yoghurt. Aspek

utama yang dilihat dari produk yoghurt yang mengandung probiotik adalah interaksi antara probiotik

dengan bakteri starter dari yoghurt yang mempunyai hubungan saling menguntungkan. Starter yoghurt

yaitu L. bulgaricus dan S. thermopillus dan bakteri probiotik yang ditambahkan dalam pembuatan yoghurt

harus mempunyai sinergi dalam menghasilkan tingkat keasaman, produksi aroma, dan CO2, proporsi

kultur starter yang stabil, dan menghasilkan zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen

(Heller, 2001). Jika antara bakteri probiotik dan bakteri starter yoghurt mempunyai hubungan yang tidak

saling menguntungkan, akan dihasilkan yoghurt yang mempunyai karakteristik menyimpang. Untuk itu,

perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah L. rhamnosus SKG34 dapat digunakan sebagai

starter tunggal pada pembuatan yoghurt, atau dikombinasikan dengan bakteri starter yang umum

digunakan dalam pembuatan yoghurt untuk menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang baik serta

bagaimana viabilitasnya selama penyimpanan.

MATERI DAN METODE

Pembuatan bio-yoghurt menggunakan L. rhamnosus SKG34 sebagai kultur tunggal dan

kombinasi L. rhamnosus SKG34 dengan S. thermophillus atau L. bulgaricus sebagai starter. Penelitian ini

menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri atas 4 perlakuan, yaitu: L. rhamnosus SKG34

sebagai starter tunggal (A); Kombinasi L. rhamnosus SKG34 dengan S. thermophillus (AB), kombinasi

L. rhamnosus SKG 34 dengan L. bulgaricus (AC) dan kombinasi ketiga isolat, yaitu; L. rhamnosus SKG

34, S. thermophillus, dan L. bulgaricus (ABC).

Proses pembuatan Bio-yoghurt

Penelitian ini diawali dengan penyegaran L. rhamnosus SKG34, S. thermophillus, dan L.

bulgaricus. Stok isolat L. rhamnosus SKG34, S. thermophillus, dan L. bulgaricus yang disimpan dalam

gliserol 30% pada suhu -200C diambil sebanyak 100 µl dan diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang

berisi 5 ml media MRS broth. Tabung reaksi diinkubasi secara aerob selama 24 jam pada suhu 370C. Sel

dicuci 2 kali dengan akuades steril dan siap digunakan untuk membuat starter. Starter yoghurt (plain

yoghurt) dibuat terlebih dahulu sebelum membuat yoghurt. Proses pembuatan starter yaitu: susu segar

dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit, kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai 45

0C

dan diinokulasi dengan L. rhamnosus SKG34, S. thermophillus, atau L. bulgaricus sebanyak 2,5% v/v.

Page 121: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

115

Starter diinkubasi pada suhu 410C selama 24 jam kemudian didinginkan dalam refrigerator pada suhu

100C. Setelah mengalami proses ini, starter siap digunakan untuk pembuatan yoghurt.

Prosedur pembuatan bio-yoghurt meliputi tahap-tahap sebagai berikut: pemanasan, penambahan

starter, inkubasi, dan pendinginan. Susu segar dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit dan

ditambahkan agar yang sudah dipanaskan sebanyak 0,1% b/v. Setelah proses pasteurisasi selesai, susu

didinginkan sampai mencapai suhu 450C, kemudian ditambahkan starter sebanyak 6% (b/v). Susu

diinkubasi dalam inkubator pada suhu 41oC selama 18 jam. Tahap selanjutnya adalah pendinginan pada

suhu 40C yang bertujuan untuk menghentikan proses fermentasi. Pengamatan dilakukan pada

penyimpanan hari ke 0, 3, 6, 9, 12, dan 15. Variabel yang diamati meliputi: total BAL, pH, dan nilai

sensoris yang meliputi uji skor terhadap tekstur dan rasa, serta uji kesukaan terhadap warna, aroma,

tekstur, rasa, dan penerimaan keseluruhan.

Penghitungan total populasi BAL pada yoghurt dilakukan dengan cara: 1 g sampel diencerkan dengan

larutan saline 0.85% sampai pengenceran 10-7

dan sampel yang yang telah diencerkan (pengenceran 10-5

-

10-7

) disebar pada permukaan media agar MRS yang telah ditambah Bromo Cresol Purple (BCP),

kemudian diinkubasi secara aerob selama 24 jam pada suhu 37o

C. Setelah diinkubasi dilakukan

penghitungan jumlah koloni yang tumbuh. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung menggunakan metode

pengenceran dengan asumsi bahwa satu koloni yang tumbuh berasal dari satu sel. Oleh karena itu, total

populasi bakteri didapatkan dengan mengalikan jumlah koloni yang tumbuh dengan faktor pengencernya

(Fardiaz, 1993).

Pengukuran pH menggunakan pH meter (TOA ion meter IM 40S). pH yoghurt diukur dengan

mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel dan hasilnya dicatat. Penilaian sensoris dilakukan

dengan uji skor dan uji kesukaan. Uji skor dilakukan terhadap tekstur dan rasa. Kriteria uji skor terhadap

tekstur adalah sebagai berikut: nilai 1 (tidak kental), nilai 2 (agak kental), nilai 3 (biasa), nilai 4 (kental),

dan nilai 5 (sangat kental). Kriteria uji skor untuk rasa adalah sebagai berikut: nilai 1 (tidak asam), nilai 2

(agak asam), nilai 3 (biasa), nilai 4 (asam), dan nilai 5 (sangat asam). Uji kesukaan dilakukan terhadap

warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan secara keseluruhan. Kriteria uji kesukaan adalah sebagai

berikut: nilai 1 (sangat tidak suka); nilai 2 (tidak suka); nilai 3 (agak tidak suka); nilai 4 ( biasa); nilai 5

(agak suka), nilai 6 (suka), dan nilai 7 (sangat suka).

HASIL

Bio-yoghurt dibuat menggunakan L. rhamnosus SKG 34 sebagai starter tunggal dan kombinasi

L. rhamnosus SKG 34 dengan starter yang umum digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu

S.thermophillus dan L.bulgaricus. Starter yoghurt dapat dilihat pada Gambar 1. Bio-yogurt dibuat dengan

menggunakan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34 (A), kombinasi L. rhamnosus SKG 34 dengan S.

thermophillus (AB), L. rhamnosus SKG 34 dengan L. bulgaricus (AC), dan kombinasi ketiga isolat

(ABC). Keempat jenis yogurt dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Starter yoghurt dari L. rhamnosus. SKG 34 (A), S. thermophillus (B), dan L. bulgaricus (C).

Page 122: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

116

Gambar 2. yoghurt dari L. rhamnosus. SKG 34 (A), S. thermophillus (B), dan L. bulgaricus (C)

a. Total BAL

Total BAL pada yoghurt dari keempat perlakuan pada awal penyimpanan berkisar 108 cfu/g

sampai 1010

cfu/g dan sedikit mengalami penurunan selama 15 hari penyimpanan (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat pada yoghurt selama penyimpanan (cfu/g)

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 4,71 X 10 8 1,07 X 10

9 1,16 X 10

10 2,27 X 10

9 1,89 X 10

9 2,33 X 10

9

AB 5,05 X 10 9 3,32 X 10

8 8,25 X 10

8 8,6 X 10

7 8,8 X 10

7 8,0 X 10

8

AC 2,43 X 10 9 8,58 X10

9 1,51 X 10

10 4,28 X 10

9 2,62 X10

8 2,62 X10

8

ABC 3,6 X 10 10

1,59 X 10 10

3,31 X 10 9 1,01 X 10

10 2,61 X 10

9 1,0 X 10

9

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; dan C: L. bulgaricus

b. pH

Derajat keasaman (pH) yoghurt dari keempat perlakuan berkisar antara 4,22 dan 4,6 pada awal

penyimpanan dan cenderung tetap selama 15 hari penyimpanan (Tabel 2).

Tabel 2. pH pada yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 4,46 4,49 4,37 4,53 4,37 4,5

AB 4,33 4,39 4,14 4,34 4,18 4,3

AC 4,22 4,31 4,12 4,33 4,11 4,24

ABC 4,3 4,35 4,14 4,43 4,17 4,31

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; dan C: L. bulgaricus

c. Warna

Nilai kesukaan terhadap warna yogurt selama 15 hari penyimpanan berkisar 5,21 – 6 dengan

kriteria agak suka sampai suka (Tabel 3). Nilai kesukaan terhadap warna pada keempat perlakuan

Page 123: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

117

menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Perlakuan starter dari jenis bakteri yang berbeda tidak

berpengaruh terhadap warna yoghurt.

Tabel 3. Nilai kesukaan terhadap warna pada yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 5,29 5,71 5,79 5,86 6 5,43

AB 5,36 5,71 5,64 5,71 5,64 5,36

AC 5,36 5,71 5,43 5,64 5,64 5,36

ABC 5,21 5,93 5,36 5,71 5,5 5,5

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; dan C: L. bulgaricus

d. Aroma

Nilai kesukaan terhadap aroma yoghurt selama 15 hari penyimpanan berkisar 4,36 – 5,71 dengan

kriteria biasa sampai suka (Tabel 4). Perlakuan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34 aromanya lebih

disukai dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Tabel 4. Nilai kesukaan terhadap aroma pada yoghurt selama penyimpanan

Jenis isolat Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 5,71 4,86 4,64 5,64 5,43 4,93

AB 4,86 5,50 4,64 5,21 5,00 4,36

AC 4,71 5,14 4,50 5,14 5,00 4,36

ABC 4,50 5,07 4,86 5,07 4,50 4,29

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

e. Tekstur

Nilai kesukaan terhadap tekstur yogurt selama 15 hari penyimpanan berkisar 4,57 – 6,07 dengan

kriteria agak suka sampai suka (Tabel 5). Keempat perlakuan menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda.

Uji skor menunjukkan nilai antara 2,93 – 4,29 dengan kriteria biasa sampai kental (Tabel 6).

Tabel 5. Nilai kesukaan terhadap tekstur pada yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 5,36 5,29 5,36 6,07 5,93 4,86

AB 5,14 4,71 4,86 5,50 5,57 4,79

AC 5,29 5,36 4,71 5,43 5,36 4,57

ABC 5,64 5,29 5,07 5,21 5,14 4,79

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34 B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

Page 124: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

118

Tabel 6. Nilai skor terhadap tekstur yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 4,21 3,36 4,00 4,29 4,07 3,07

AB 3,57 3,14 3,71 4 3,86 3,07

AC 4,21 3,57 4,00 4 3,86 3,07

ABC 3,86 3,64 3,93 3,57 3,71 2,93

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

f. Rasa

Nilai kesukaan terhadap rasa yogurt selama 15 hari penyimpanan berkisar 4,36 – 6,07 dengan

kriteria biasa sampai suka (Tabel 7). Uji skor menunjukkan nilai 3,43 – 4,36 dengan kriteria biasa sampai

asam (Tabel 8).

Tabel 7. Nilai kesukaan terhadap rasa yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 5,36 5,00 4,79 6,07 5,93 5

AB 4,64 4,64 4,00 5,57 5,29 4,71

AC 4,93 5,29 4,43 5,5 5,29 4,86

ABC 4,36 4,71 4,00 4,93 4,71 4,5

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

Tabel 8. Nilai skor terhadap rasa yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 3,79 4,14 4,36 4,36 4,07 4,07

AB 3,71 3,79 3,71 3,71 3,71 4,14

AC 4,07 3,93 3,71 4,21 3,64 4,14

ABC 3,71 4,07 4,21 4,00 3,43 4,07

Keterangan: A: L. rhamnosus, SKG 34; B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

Page 125: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

119

g. Penilaian keseluruhan

Penilaian keseluruhan terhadap yogurt selama 15 hari penyimpanan berkisar pada 4,5 – 5,86

dengan kriteria agak suka sampai suka (Tabel 9). Nilai kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan

tertinggi pada yoghurt dengan perlakuan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34.

Tabel 9. Nilai penilaian secara keseluruhan yoghurt selama penyimpanan

Jenis

isolat

Lama penyimpanan (hari)

0 3 6 9 12 15

A 5,71 5,21 5,5 5,86 5,86 5,07

AB 5,36 5,07 4,57 5,5 5,36 4,5

AC 5,14 5,07 4,93 5,14 5,29 4,64

ABC 5,14 5,00 4,93 4,93 5,07 4,64

Keterangan: A: L. rhamnosus SKG 34; B: S. thermophillus; C: L. bulgaricus

PEMBAHASAN

Bio-yoghurt dibuat menggunakan L. rhamnosus SKG 34 sebagai starter tunggal dan kombinasi

L. rhamnosus SKG 34 dengan starter yang umum digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu S.

thermophillus dan L. bulgaricus, Yoghurt dengan perlakuan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34

menunjukkan total BAL yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain, akan tetapi

cenderung stabil selama penyimpanan. Kasmiati dan Harmayani (2002) menyatakan bahwa peningkatan

jumlah sel kultur campuran sedikit lebih tinggi dari pada kultur tunggal pada media yang sama, Selain itu,

selama inkubasi, S. thermophillus akan menurunkan pH dan menghasilkan asam formiat yang akan

menguntungkan bagi pertumbuhan L. rhamnosus SKG 34 dan L. bulgaricus yang mulai berkembang biak

setelah pH turun sampai kira-kira 4,5. Menurut Indratiningsih et al. (2004), jumlah minimal sel probiotik

hidup untuk dapat berperan sebagai agensia pemacu kesehatan adalah 106 cfu/g, sedangkan Chandan dan

Shahani (1993) menyatakan bahwa jumlah mikroba aktif yang harus terdapat dalam yoghurt paling

sedikit 107

cfu/g sehingga L. rhamnosus SKG 34 baik digunakan secara tunggal maupun dikombinasikan

dengan kultur starter yang lain berada di atas jumlah mikroba yang dipersyaratkan.

BAL yang umum digunakan sebagai starter pada proses fermentasi yoghurt adalah S.

thermophillus dan L. bulgaricus akan merombak laktosa pada susu menjadi asam sehingga pH susu

menjadi turun. S. thermophillus akan berkembang lebih cepat mengawali pembentukan asam laktat

melalui fermentasi laktosa (Hidayat et al., 2006), Proses fermentasi dilakukan sampai pH 4,4 – 4,5, yang

diikuti dengan terbentuknya senyawa asam laktat, asam asetat, asetaldehida, diasetil, dan senyawa volatil

lainnya. Yoghurt dengan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34 memiliki pH yang cenderung stabil

selama penyimpanan, dengan jumlah mikroba ini juga cenderung stabil selama penyimpanan (Tabel 1).

Hal ini disebabkan karena L. rhamnosus SKG 34 sebagai mikroba probiotik mempunyai ketahanan yang

baik pada pH rendah sehingga mampu mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan.

Pada proses fermentasi yoghurt, BAL akan memecah kandungan nutrisi pada susu menjadi

senyawa–senyawa asam, seperti asam laktat, asam asetat, karbonil, asetaldehida, aseton, asetoin, dan

diasetil (Wahyudi dan Samsundari, 2008). Substansi yang dihasilkan oleh BAL yang berupa senyawa

Page 126: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

120

volatil akan memberikan aroma yang khas pada yoghurt (Widodo, 2003). Asam yang terbentuk selama

proses fermentasi menyebabkan turunnya pH yoghurt. Pada pH rendah, protein susu akan mengalami

koagulasi sehingga terbentuk gumpalan (Wahyudi dan Samsundari, 2008), yang membentuk tekstur dari

yoghurt. Rasa asam disebabkan karena terbentuknya senyawa-senyawa asam seperti asam laktat dan asam

asetat selama fermentasi yoghurt. Perlakuan starter tunggal L. rhamnosus SKG 34 menghasilkan yoghurt

dengan rasa asam dan tekstur yang kental yang disukai panelis.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan L. rhamnosus SKG 34 dapat digunakan sebagai starter

tunggal dalam pembuatan yoghurt dengan populasi yang cenderung tetap selama penyimpanan dengan pH

sesuai dengan standar pH yoghurt. Kombinasi L. rhamnosus SKG 34 dengan S. thermophillus atau

dengan L. bulgaricus sebagai starter yoghurt menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang tidak jauh

berbeda, yaitu tekstur dari biasa sampai kental, rasa biasa sampai asam, dan penilaian keseluruhan agak

suka sampai suka.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah membiayai penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Chandan dan Shahani. 1993. Yoghurt. In: Hui, Y,H,, editor, Dairy Science and Technology Handbook,

Vol.2, VCH Publisher, New York, pp. 1-56.

FAO/WHO. 2002. Joint FAO/WHO Working Group Report on Drafting Guidelines for the Evaluation of

Probiotics in Food, London.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Heller, K. J. 2001. Probiotic bacteria in fermented foods: product charachteristics and starter organisms.

J.Nutr.375: 2-3

Hidayat, N., Padaga, M., dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi, Yogyakarta,

Indratiningsih, Widodo, Siti, dan W. Endang, 2004. Produk yoghurt shiitake sebagai pangan kesehatan

berbasis susu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 54 – 60,

Kasmiati, U. T. dan E. Harmayani. 2002. Ilmu dan Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada Press,

Yogyakarta.

Nocianitri, K. A., I N Sujaya, dan I D. M. Sukrama. 2013. Pengembangan Probiotik Lactobacillus sp.

SKG34 serta Formulasinya dalam Bentuk Pangan Fungsional (sifat fungsional probiotik

L.rhamnosus SKG34), Laporan penelitian Hibah Bersaing, Universitas udayana.

Sujaya, I N., N. M. U. Dwipayanti, N. L. P. Suariani, N. P. Widarini, K. A. Nocianitri, dan N. W. Nursini,

2008a. Probiotic characterization of Lactobacillus sp. isolated from Sumbawa mare milk. J. Vet.

9: 33-40.

Sujaya, I N., Ramona, Y., N. M. U., Dwipayanti, , N. L. P., N. P SuarianiWidarini, K. A. Nocianitri, dan

N. W. Nursini, 2008b. Isolation and characterization of Lactic acid bacteria from Sumbawa mare

milk J. Vet. 9: 52-59.

Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press, Yogyakarta.

Page 127: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

121

Wahyudi dan Samsundari. 2008. Karakteristik mikrobiologis, Kimia, Fisik, dan Organoleptik Yoghurt.

Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 21: 5 – 6.

Page 128: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

122

EVALUASI SIFAT KIMIA DAN SENSORIS ROTI BUN YANG MEMANFAATKAN TEPUNG

SUWEG (Amorphopallus campanulatus B1) SEBAGAI BAHAN PENSUBSTITUSI TERIGU

QUALITY AND SENSORY EVALUATIONS OF BREAD BUN USING THE FLOUR OF

Amorphopallus campanulatus B1ASA SUBSTITUTE FOR WHEAT FLOUR

I DP. Kartika Pratiwi*, Ni Made Indri Hapsari A., A.A.G.N. Anom Jambe

Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kimia dan sensoris roti bun hasil substitusi

terigu dengan tepung suweg, yang didasari semakin meningkatnya impor gandum di Indonesia sehingga

perlu dilakukan pengkajian mengenai alternatif bahan pengganti terigu, terutama yang berbasis umbi-

umbian. Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) merupakan salah satu umbi yang dapat dijadikan

alternatif pangan sumber karbohidrat pengganti terigu. Penelitian ini menggunakan pola RAL

(rancangan acak lengkap), dengan enam perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg, yaitu R0 =

100:0; R1 = 95:5; R2 = 90:10; R3 = 85:15; R4 = 80:20; R5 = 75:25. Berdasar hasil uji sensorik

(hedonik) (friedman test), perlakuan substitusi suweg dengan terigu R3 (85:15) direkomendasikan

sebagai perlakuan yang memberikan kualitas sensorik yang dapat diterima oleh 25 panelis semi terlatih,

dengan kesukaan yang baik terhadap semua atribut mutu (warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan

keseluruhan) berkisar dari agak suka sampai suka. Roti bun dengan perlakuan substitusi terigu dengan

tepung suweg (85:15) memiliki kadar air 25,70%; kadar abu 0,89%; kadar protein 7,21%; kadar lemak

1,73%; kadar karbohidrat 64,46%; dan kadar serat kasar 10,02%.

Kata kunci: suweg, terigu ,roti bun, sifat kimia, sensoris.

ABSTRACT

The objective of this research was to determine the quality and sensory evaluation of the bread

bun made suweg flour as the substitute for wheat flour. Effective ratio of wheat flour and suweg flour are

needed to produce good quality bread bun. The research was conducted using completely randomized

design experiment with six treatments of ratio of wheat flour and suweg flour as R0 = 100: 0; R1 95: 5;

R2 = 90:10; R3 = 85:15; R4 = 80:20; R5 = 75:25. Hedonic rating performed by 25 untrained panelist

recommended that bread bun with ratio of wheat flour and suweg flour of 85:15 (R3) had the best

attributes based on aroma, taste, texture, color, and overall preference, which contained water of

25.70%; ash 0.89%; protein 7.21%; fat 1.73%; carbohydrate 64.46%; and crude fiber 10.02%.

Keywords: suweg flour, wheat flour, bread bun, quality and sensory evaluations.

PENDAHULUAN

Suweg (Amorphophallus campanulatus B1.) merupakan salah satu umbi lokal, yang memiliki

potensi sebagai pengganti terigu. Peningkatan keanekaragaman produk makanan yang diolah

Page 129: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

123

menggunakan suweg dapat dilakukan dengan mengolah umbi suweg menjadi tepung sehingga lebih

mudah untuk diaplikasikan menjadi berbagai produk pangan berbahan dasar terigu. Beberapa penelitian

telah dilakukan dengan memanfaatkan tepung suweg sebagai bahan pensubstitusi terigu pada pembuatan

biskuit. Selain biskuit, roti merupakan salah satu produk makanan yang diolah menggunakan 100%

terigu. Pemanfaatan tepung suweg pada pengolahan roti diharapkan dapat membatasi ketergantungan

terhadap terigu.

Roti bun atau yang lebih dikenal dengan sebutan roti burger, berbentuk setengah lingkaran

dengan permukaan yang berwarna kecoklatan, merupakan roti yang paling sering dikonsumsi sehari-hari

selain roti tawar. Pada prinsipnya, roti dibuat dengan cara mencampurkan terigu dan bahan penyusun

lainnya menjadi adonan kemudian difermentasikan dan dipanggang (Nurhidayat, 2009).

Substitusi terigu dengan menggunakan tepung suweg pada pembuatan roti bun dapat menjadi

suatu alternatif baru untuk mengurangi penggunaan terigu. Namun, dalam aplikasinya harus diperhatikan

beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan dalam pembuatan roti, salah satunya adalah

kurangnya kandungan protein tepung suweg dibandingkan dengan terigu. Tepung bahan lain, seperti

umbi-umbian belum mampu sepenuhnya menggantikan terigu karena tidak mengandung gluten sehingga

tepung dari bahan pangan lokal rata-rata baru bisa mensubstitusi terigu sekitar 25-30 %, terutama aneka

roti dan mie (Ratnaningsih et al., 2010).

Salah satu persyaratan dari produk pangan adalah selain bernilai gizi juga memiliki kualitas

sensoris yang dapat diterima. Penilaian secara sensoris terhadap rasa, tekstur, warna, aroma, dan

penampilan dari roti bun yang dihasilkan dari substitusi terigu dengan tepung suweg menjadi faktor utama

dalam menentukan kualitas roti bun. Penggunaan tepung suweg sebagai pensubstitusi terigu dalam

pembuatan roti bun diharapkan dapat menghasilkan roti bun yang memiliki nilai gizi yang baik dan

kualitas sensoris yang dapat diterima. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas kimia

dan sensoris dari roti bun yang disubstitusi dengan tepung suweg.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa Hasil Pangan, Laboratorium Biokimia dan Nutrisi

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Agustus

sampai dengan Desember 2013.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah: umbi suweg, terigu merk "Segitiga

Biru", gula, telur, margarin "Blue Band", garam, dan ragi instan (fermipan), HCl, natrium bikarbonat.

Bahan kimia yang digunakan untuk analisis meliputi: NaOH, asam asetat–kloroform, petroleum eter (PE),

kalium iodida, natrium thiosulfat, alkohol, Na2S2O3, zink, indikator methilen blue, dan alkohol, diperoleh

dari Laboratorium Analisa Pangan, Biokimia dan Nutrisi, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pembuatan tepung suweg, pembuatan roti bun dengan

substitusi terigu, dan penentuan kualitas kimia dan sensoris dari roti bun.

Tahap 1. Proses Pembuatan Tepung Suweg

Proses pembuatan tepung suweg (Kurdi, 2002, dimodifikasi): umbi suweg dikupas dan dicuci

dengan air, diiris tipis dengan ukuran 0,3 cm. Irisan umbi basah direndam dalam larutan asam klorida

0,25% selama 4 menit, kemudian ditiriskan dan direndam dalam larutan natrium bikarbonat 1%, selama 5

menit. Irisan umbi dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Dikeringkan dengan oven pengering pada

Page 130: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

124

suhu 60oC selama 5 jam atau sampai chips mudah dipatahkan dan digiling sampai halus dan kemudian

diayak menggunakan saringan 60 mesh.

Tahap 2. Proses pembuatan roti bun

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam membuat roti ditimbang dan ditakar sesuai komposisi

yang diberikan pada Tabel 1. Tepung terigu bersama ragi, garam, dan gula pasir diaduk rata.

Ditambahkan telur, diaduk rata sambil dituangi air sedikit demi sedikit sampai adonan setengah kalis,

kemudian dimasukkan margarin. Adonan diuleni kembali sampai lentir dan kalis, dibulatkan kemudian

difermentasi selama 1 jam pada suhu ruang. Selanjutnya, adonan dipotong-potong seberat 50 g, dibentuk

bulat, dan difermentasi kembali selama 30 menit, kemudian dipanggang dalam oven pada 200oC selama

20 menit.

Tabel 1. Komposisi bahan baku dalam pembuatan roti bun

Perlakuan Terigu T. Suweg Gula (g) Ragi

(g)

Air

(ml)

Telur

(g)

Mentega

(g)

Garam

(g)

R0 (0%) 1000 - 100 10 500 120 100 10

R1 (5%) 950 50 100 10 500 120 100 10

R2 (10%) 900 100 100 10 500 120 100 10

R3 (15%) 850 150 100 10 500 120 100 10

R4 (20%) 800 200 100 10 500 120 100 10

R5 (25%) 750 250 100 10 500 120 100 10

Rancangan Penelitian

Pembuatan roti bun menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) non-faktorial dengan 3

kali ulangan. Faktor tunggal yaitu substitusi terigu dengan tepung suweg (R) (substitusi terigu 0%, 5%,

10%, 15%, 20%, 25%). Data hasil penelitian kualitas kimia akan dianalisis menggunakan analisis sidik

ragam. Bila terdapat pengaruh erlakuan yang nyata dilakukan uji lanjutan enggunakan Duncan’s

multiple range test (DMRT). Data hasil penilaian sensoris akan dianalisis menggunakan analisis data non-

parametrik dan Friedman-test.

Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan adalah sifat sensoris yang meliputi warna, rasa, tekstur, aroma, dan

penerimaan secara keseluruhan (Larmond, 1970). Analisis kimia roti meliputi kadar air dengan metode

oven (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995), kadar lemak dengan metode soxhlet (AOAC, 1995),

kadar protein dengan metode semi-makro Kjeldahl (AOAC, 1995), kadar karbohidrat dengan metode by

difference (Apriyantono, et al., 1989).

HASIL

Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis, perlakuan perbandingan terigu dengan tepung suweg menunjukkan

pengaruh nyata terhadap kadar air roti bun. Kadar air dari roti bun berkisar 24,60% sampai dengan

27,08%, perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg dapat menurunkan nilai kadar air dari roti bun

yang dihasilkan. Pada Tabel 2. dapat diketahui bahwa nilai kadar air roti bun tertinggi yaitu pada

Page 131: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

125

perlakuan R0 (kontrol) sebesar 27,08% dan yang terendah perlakuan substitusi tepung suweg 25% (R5)

sebesar 24,60%. Kadar air dari masing-masing perlakuan terus menurun secara nyata seiring dengan

meningkatnya substitusi terigu dengan tepung suweg. Roti bun yang menggunakan tepung suweg 5%

(R1) memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan kontrol, sedangkan kadar air

roti bun yang menggunakan tepung suweg 10% (R2) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan

kontrol.

Tabel 2. Pengaruh substitusi terigu dengan tepung suweg terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein,

kadar lemak, dan kadar karbohidrat roti bun

PERLAKUAN

Kualitas Kimia Roti Bun

Kadar Air (%)

Kadar Abu

(%)

Kadar

Proteintn

(%)

Kadar Lemak tn

(%)

Kadar

Karbohidrat (%)

R0 27,08±0,13a 0,60±0,027

a 8,92±0,38 1,62±0,06 61,77±0,35

a

R1 26,83±0,11a 0,76±0,045

b 8,41±0,36 1,72±0,07 62,28±0,46

a

R2 25,70±0,18b

0,89±0,087bc

7,21±0,19 1,73±0,13 64,46±0,19b

R3 25,65±0,21b 0,92±0,056

c 7,13±0,38 1,69±0,14 64,61±0,32

b

R4 25,04±0,40bc

1,03±0,75d 6,90±0,1 1,69±0,01 65,34±0,06

c

R5 24,60±0,91c 1,36±0,25

de 6,89±0,46 1,70±0,04 65,45±0,05

c

Keterangan: angka pada kolom yang sama dengan notasi yang berbeda enunjukkan berbeda nyata P ≤

0,05).

Kadar Abu

Berdasarkan hasil analisis, perlakuan perbandingan terigu dengan tepung suweg menunjukkan

pengaruh nyata pada kadar abu dari roti bun. Kadar abu dari roti bun suweg semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya substitusi terigu dengan tepung suweg, kadar abu roti bun berkisar 0,6%-1,36%.

Tabel 2 menunjukkan nilai kadar abu roti bun terendah pada perlakuan R0, yaitu sebesar 0,06%, dan

tertinggi pada perlakuan R5, yaitu sebesar 1,36%. Kadar abu roti bun yang menggunakan tepung suweg

5% (R1) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (R0). Kadar abu pada setiap perlakuan menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap kadar abu kontrol.

Kadar Protein

Hasil analisis protein roti bun berkisar 6,89%-8,92%. Perlakuan substitusi terigu dengan tepung

suweg menurunkan kadar protein dari roti bun yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan nilai kadar protein

roti bun tertinggi pada kontrol (R0), yaitu sebesar 8,92% dan terendah pada perlakuan tepung suweg 25%

(R5), yaitu sebesar 6,89%. Secara umum, terigu memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan

tepung suweg yang mempengaruhi kadar protein roti bun yang dihasilkan.

Kadar Lemak

Kadar lemak roti bun berkisar 1,62%-1,73%. Perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg

meningkatkan kadar lemak roti bun yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan kadar lemak roti bun terendah

pada perlakuan R0, yaitu sebesar 1,62 %, dan tertinggi pada perlakuan R2, yaitu sebesar 1,73%.

Page 132: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

126

Kadar Karbohidrat

Berdasarkan hasil analisis, perlakuan perbandingan terigu dengan tepung suweg menunjukkan

pengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat roti bun. Hasil analisis karbohidrat roti bun adalah berkisar

61,77%-65,45%. Perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg meningkatkan kadar karbohidrat roti

bun yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan nilai kadar karbohidrat roti bun terendah pada perlakuan R0,

yaitu sebesar 61,77 %, dan tertinggi pada perlakuan R5, yaitu sebesar 65,45%. Kadar karbohidrat roti bun

kontrol (R0) tidak berbeda nyata dengan kadar karbohidrat roti bun dengan perlakuan substitusi tepung

suweg 5% (R1) (P<0,05), sedangkan perlakuan substitusi tepung suweg 10% (R2) berbeda nyata dengan

perlakuan substitusi tepung suweg 5% (R1) (P>0,05).

Evaluasi sensoris

Nilai rata-rata kriteria mutu dari roti bun yang dihasilkan berdasarkan penilaian sensoris dari 20

orang panelis dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata-rata penerimaan terhadap warna roti bun berkisar 6,4

(suka)-3,4 (agak tidak suka). Nilai rata-rata penerimaan terhadap aroma roti bun berkisar 5,75 (suka)-3,5

(agak tidak suka). Nilai rata-rata penerimaan terhadap tekstur roti bun berkisar 6,05 (suka)- 4,05 (biasa).

Nilai rata-rata penerimaan terhadap rasa roti bun berkisar 5,9 (suka)- 4,75 (agak suka). Nilai rata-rata

terhadap penerimaan keseluruhan dari roti bun berkisar 5,8 (suka)- 4,45 (biasa).

Hasil analisis statistik terhadap penilaian sensoris dari roti bun (uji Friedman) oleh 20 panelis

semi terlatih menyatakan bahwa perlakuan substitusi tepung suweg sebanyak 10% (R2) menghasilkan

nilai yang paling mendekati kontrol (R0, terigu 100%). Perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg

25% (R5) menghasilkan produk roti bun yang paling sedikit mendapatkan nilai dari panelis (Tabel 4).

Tabel 3. Nilai Rata-Rata Kualitas Mutu Sensoris dari Roti Bun

Perlakuan Warna Aroma Tekstur Rasa

Penerimaan

Keseluruhan

R0 6,4 5,75 6,05 5,90 5,80

R1 5,5 5,35 5,5 5,35 5,70

R2 4,85 5,35 5,6 5,60 5,80

R3 4,5 4,9 5,05 5,45 5,30

R4 3,75 4,2 4,60 4,95 4,85

R5 3,4 3,5 4,05 4,75 4,45

Tabel 4. Hasil Uji Friedman Terhadap Kualitas Sensoris Roti Bun

Perlakuan Warna Tekstur Aroma Rasa

Penerimaan

Keseluruhan

R0 5,38 4,65 4,72 4,47 4,44

R1 4,4 4,15 3,9 3,58 3,69

R2 3,7 4,18 4,15 4 4,06

R3 3,25 3,53 3,4 3,45 3,31

R4 2,4 2,68 2,78 2,95 3,14

R5 1,88 1,83 2,05 2,55 2,36

Page 133: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

127

PEMBAHASAN

Perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg dapat memberikan pengaruh yang nyata

(P<0,05) terhadap kadar air, kadar abu, kadar karbohidrat dari roti. Pada Tabel 2. terlihat bahwa kadar air

roti bun mengalami penurunan setelah substitusi terigu dengan tepung suweg. Kadar air roti bun

cenderung mengalami penurunan dengan adanya substitusi tepung suweg dengan terigu, karena semakin

berkurangnya kemampuan tepung untuk menarik air akibat berkurangnya kandungan gluten pada adonan

roti. Roti bun kontrol (R0) dengan terigu 100% memiliki kadar air paling tinggi, hal ini sesuai dengan

pernyataan Koswara (2009), yaitu bahwa protein terigu bersifat mengikat air akan tetapi tidak larut dalam

air. Protein terigu ini akan mengikat air membentuk gluten yang akan membentuk tekstur dari adonan roti

sehingga dalam pembuatan roti diperlukan terigu dengan protein tinggi. Selanjutnya, Gumilar et al.

(2011) menyatakan bahwa semakin menurunnya kadar protein akan menyebabkan turunkan daya ikat air

sehingga sangat mempengaruhi kadar air roti.

Kadar abu dari roti bun mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya substitusi terigu

dengan tepung suweg, akan tetapi jumlah peningkatannya masih memenuhi persyaratan standar mutu roti,

yakni maksimum 3% bb (SNI, 1995). Peningkatan kadar abu diduga berhubungan dengan bahan baku

pensubstitusi yaitu tepung suweg yang mengandung beberapa mineral sehingga meningkatkan kadar abu

dari roti yang dihasilkan. Richana dan Sunarti (2004) menyatakan bahwa secara kuantitatif nilai kadar abu

dalam tepung berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan kontaminasi tanah dan udara

selama pengolahan, selanjutnya dikemukan bahwa kadar abu pada tepung umbi cenderung lebih tinggi

karena proses pengolahan menjadi tepung lebih singkat.

Pada perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg, terjadi penurunan kadar protein roti bun

yang disebabkan oleh perubahan komposisi bahan utama yaitu tepung, pada kontrol (R0) mengandung

100% terigu, dengan kadar protein sebesar 13-14%, sedangkan tepung suweg memiliki kadar protein

7,56%. Penurunan kadar protein roti bun suweg diduga berhubungan dengan kemampuan daya ikat air,

seperti yang dikemukakan oleh Gumilar et al. (2011) bahwa semakin menurunnya kadar protein akan

menurunkan daya ikat air.

Kadar lemak pada roti bun yang dihasilkan dengan perlakuan substitusi tepung suweg tidak

berbeda nyata dengan kontrol (R0). Hal ini dikarenakan kedua bahan utama dalam pembuatan roti, yaitu

terigu dan tepung suweg tidak memiliki kandungan lemak yang tinggi, yaitu terigu sebesar 0,98% (bk)

dan tepung suweg 0,29%, sehingga adanya substitusi terigu dengan tepung suweg tidak berpengaruh

terhadap kadar lemak dari roti bun.

Perbedaan kadar karbohidrat dari masing-masing sampel berhubungan dengan kadar karbohidrat

dari tepung yang dipergunakan. Tepung suweg mengandung karbohidrat sebesar 87,32%, sedangkan

terigu mengandung karbohidrat sebesar 79,66%. Kadar karbohidrat dari tepung suweg yang lebih tinggi

mengakibatnya semakin tingginya kadar karbohidrat roti bun seiring dengan meningkatnya penambahan

tepung suweg.

Pada penilaian uji sensoris yang mempergunakan panelis semi terlatih sebanyak 20 orang,

didapatkan hasil bahwa pada umumnya panelis menyukai roti bun dengan perlakuan substitusi terigu

dengan tepung suweg 15%, hal ini dikarenakan dari segi warna, tekstur, aroma, rasa dan penerimaan

keseluruhan masih menyerupai kualitas sensoris dari roti bun kontrol (R0), yaitu terigu 100%. Hal

tersebut sesuai dengan hasil analisis uji Friedman, yaitu roti bun dengan substitusi terigu sampai dengan

15% masih dapat diterima oleh panelis dengan nilai tingkat kesukaan yang mendekati nilai roti perlakuan

substitusi terigu 0%. Roti bun dengan perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg 20% dan 25%

memiliki kriteria mutu tidak disukai oleh panelis, karena roti tersebut memiliki aroma khas suweg yang

tajam, yang sedikit berbeda dengan aroma roti terigu, begitu pula dengan warna yang lebih kecoklatan

dan tekstur roti yang tidak empuk. Jadi, panelis lebih menyukai roti bun dengan perlakuan substitusi

terigu dengan tepung suweg di bawah 20%.

Page 134: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

128

SIMPULAN

Substitusi terigu dengan tepung suweg pada pembuatan roti bun memiliki pengaruh yang sangat

nyata α=0 01 terhada kadar air kadar abu karbohidrat teta i tidak ber engaruh terhada kadar rotein

dan lemak roti bun.

Perlakuan substitusi terigu dengan tepung suweg (85%: 15%) memberikan kualitas sensoris yang

dapat diterima oleh panelis dengan kriteria mutu warna 4,85 (agak suka), tekstur 5,35 (agak Suka); aroma

5,6 (suka); rasa 5,6 (suka); penerimaan keseluruhan 5,8 (suka). Roti bun dengan perlakuan substitusi

terigu dengan tepung suweg (85%: 15%) memiliki kadar air 25,70%; kadar abu 0,89%; kadar protein

7,21%; kadar lemak 1,73%; kadar karbohidrat 64,46%.

KEPUSTAKAAN

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc. Washington D.C.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto. 1989. Analisis Pangan. IPB

Press, Bogor.

Berenbaun, R. L. 2003. The Bread Bible. W.W. Norton and Company, New York.

El, S. N. 1999. Determination of glicemic index for some breads. Journal Food Chemistry. 67:67-69.

Gumilar, J., O. Rachmawan, dan W. Nurdyanti. 2011. Kualitas Fisikokimia Naget Ayam Yang

Menggunakan Tepung Suweg. Jurnal Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Faridah, D. N. 2005. Kajian Sifat Fungsional Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) secara in

Vivo Pada Manusia. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda-IPB. Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor.

Foster-Powell, K. and B. Miller. 1995. International Tables of Glicemic Index. American Journal of

Clinical Nutrition. 62: 871s-893s.

Hartono. 1993. Bagaimana Kita Membuat Roti, Bolu, Cake Taart, dan Kue. Depot Informasi Obat,

Jakarta:

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Roti. e-Book Pangan.

Kurdi, W. 2002. Reduksi Kalsium Oksalat pada Talas Bogor Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Keripik

Talas. Skripsi. Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Mudjajanto, E. S. dan L. N. Yuliati. 2013. Bisnis Roti.: Penebar Swadaya, Jakarta

Nurhidayat. 2009. Fermentasi Roti.

Avaliable at: http//www.nurhidayat.lecture.ub.ac.id/2009/09/28/fermentasi-roti/. Accessed: 23 Juni 2013.

Putra, I N. K., I K. Suter, I. M. Sugitha, N. M. Yusa, K. A. Nocianitri, N. W. Wisaniyasa, P. Suparthana

dan N. Puspawati. 2011. Pengolahan Keladi Menjadi Tepung Dan Pemanfaatannya Sebagai

Pensubstitusi Tepung Beras Pada Pengolahan Kue Tradisional Bali. Universitas Udayana,

Denpasar.

Ratnaningsih, A.W. Permana dan N. Richana. 2010. Pembuatan Tepung Komposit dari Jagung, Ubi

Kayu, Ubi Jalar dan Terigu (Lokal dan Impor) untuk Produk Mi. Prosiding Pekan Serealia

Nasional, Jakarta.

Richana, N. dan T.C. Sunarti. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari

Umbi Ganyong, Suweg, Ubi kelapa, dan Gembili. Jurnal Pasca Panen. 1(1): 29-37.

Page 135: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

129

Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cara Mudah Memilih Pangan Yang

Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Whitney, E. N., E. M. N. Hamilton, and S. R. Rolfes. 1990. Understanding Nutrition. 5th

ed. West

Publishing. New York.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F. G. dan S. Koswara. 2002. Iles-iles dan Hasil Olahannya. MBrio Press, Bogor.

Page 136: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

130

POTENSI Streptomyces sp. DALAM MENGHAMBAT BAKTERI Klebsiella pneumoniae

RESISTEN TERHADAP AMPISILIN

THE POTENCY OF Streptomyces sp. IN INHIBITING Klebsiella pneumoniae RESISTANT TO

AMPICILLIN

Kadek Desy Kartika1, Retno Kawuri

2, Putra Dwija

3

1Program Studi Biologi FMIPA, Unud,

2Lab.Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA, Unud,

3Lab.Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Unud

Email:[email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan mengetahui adanya isolat Streptomyces sp. dari tanah rizosfer serta

mengetahui potensi isolat Streptomyces sp. dari tanah rizosfer menghambat pertumbuhan bakteri

Klebsiella pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Ditemukan 11 isolat Streptomyces yaitu:

Streptomyces sp. isolat 1 sampai Streptomyces sp. isolat 11). Dari 11 isolat Streptomyces sp. yang berhasil

diisolasi, empat di antaranya memiliki daya hambat terhadap K. pneumoniae resisten antibiotik ampisilin,

dan daya hambat yang paling tinggi dhasilkan oleh Streptomyces sp. isolat 8.

Kata kunci: Streptomyces sp., potensi, Klebsiella pneumoniae, rizosfer

ABSTRACT

The aim of this research was to isolate Streptomyces sp. from rhizosphere soil and to determine

the potency of Streptomyces in inhibiting Klebsiella pneumoniae resistant to ampicillin. Eleven isolates of

Streptomyces have been found, that were Streptomyces sp. isolate 1 up to Streptomyces sp. isolate 11.

Four isolates; Streptomyces sp. isolate 1, Streptomyces sp. isolate 4, Streptomyces sp. isolate 5, and

Streptomyces sp. isolate 8 were capable to inhibit the growth of Klebsiella pneumoniae resistant to

ampicillin. Streptomyces sp. isolate 8 was the strongest.

Keywords: Streptomyces sp., potency, Klebsiella pneumoniae, rhizosphere

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dan memiliki tingkat biodiversitas yang

tinggi, yang terlihat dari banyak ditemukannya jenis mikroba yang menguntungkan, baik dalam bidang

industri, pertanian, maupun kesehatan. Pemanfaatan mikroba dalam bidang kesehatan, salah satunya

adalah sebagai penghasil antibiotik (Tabarez, 2005), contohnya bakteri Streptomyces yang merupakan

salah anggota dari Actinomycetes. Potensi ini disebabkan oleh kemampuannya menghasilkan zat

antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya yang merugikan (Rahayu,

2006).

Antibiotik yang telah berhasil ditemukan di antaranya adalah tetrasiklin yang dihasilkan oleh

Steptomyces aureofaciens, kloramfenikol oleh S. venezuelae, eritromisin oleh S. erythreus, oleandomisin

oleh S. antibioticus, linkomisin dan klindamisin oleh S. lincolnensis, streptomisin oleh S. griceus,

kanamisin oleh S. kanamyceticus, dan neomisin oleh S. fradiae (Neneng, 2008).

Page 137: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

131

Streptomyces yang berpotensi sebagai penghasil antibiotik dapat diisolasi dari berbagai tempat.

Tanah merupakan salah satu habitat dari bakteri Streptomyces. Populasi Streptomyces dominan pada

tanah dibandingkan dengan populasi mikroorganisme lainnya (Rao, 2001). Streptomyces banyak

ditemukan pada daerah rizosfer tanah, hal ini disebabkan oleh banyaknya unsur hara di sekitar daerah

rizosfer jika dibandingkan dengan daerah non-rizosfer (Ferfinia, 2010).

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan yang menyerang saluran

pernapasan bagian bawah. Penyakit ini mengakibatkan bagian alveolus paru-paru terisi eksudat atau

cairan sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida menjadi terhambat (Sigalingging, 2011).

Klebseilla pneumoniae merupakan salah satu bakteri penyebab pneumonia. Belakangan ini, telah

ditemukan K. pneumoniae yang telah resisten terhadap antibiotik. Hal ini dapat disebabkan oleh

pemberian antibiotik yang tidak rasional dan tidak sesuai anjuran. Selain itu, muncul kelompok bakteri

yang mampu memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) yang mampu menghidrolisis

antibiotik sehingga mengakibatkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik (Nugroho dkk., 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas, yaitu dengan semakin meningkatnya resistensi patogen

terhadap antibiotika, maka peneliti mencoba mengeksploitasi Streptomyces pada rizosfer tanaman yang

memiliki potensi antibiosis terhadap Klebsiella pneumoniae yang resisten terhadap antibiotik ampisilin.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi-Universitas Udayana

dan Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah pada bulan September hingga November 2014.

Isolasi bakteri Streptomyces sp.

Bakteri Streptomyces sp. diisolasi dari tanah rizosfer yang ada di sekitar kampus FMIPA, Unud,

Bukit-Jimbaran menggunakan metode pengenceran (plating method) dan ditanam pada media YMA

(Yeast Malt Agar/ISP4 (Iinternational Streptomyces Project). Isolat Streptomyces yang didapat di-reisolasi

sehingga didapatkan isolat murni Streptomyces. Selanjutnya, dilakukan uji pewarnaan Gram, uji

pewarnaan tahan asam, dan uji katalase. Isolat-isolat Streptomyces yang didapatkan diidentifikasi dengan

menggunakan metode Holt et al. (1994).

Uji daya hambat Streptomyces sp. terhadap pertumbuhan bakteri K. pneumoniae yang resisten

terhadap ampisilin secara in vitro

Suspensi K. pneumoniae sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian dituang

media PCA (Plate Count Agar) ke dalam cawan petri. Bakteri Streptomyces sp. usia 5 hari dipotong

dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm. Selanjutnya koloni Streptomyces dletakkan ditengah

cawan petri yang telah berisi suspensi K. pneumoniae pada media PCA. Cawan petri selanjutnya

diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 hari. Kemudian dilakukuan pengamatan dan pengukuran diameter

terhadap zona hambat yang terbentuk dari bakteri Streptomyces sp. terhadap pertumbuhan K.

pneumoniae.

HASIL

Ditemukan 11 Streptomyces sp. pada 10 sampel tanah risosfer. Seluruh isolat Streptomyces yang

ditemukan bersifat tidak tahan asam pada pewarnaan tahan asam, merupakan bakteri Gram positif, serta

menunjukkan hasil positif pada uji katalase menggunakan hidrogen peroksida 3% yang ditandai oleh

adanya gelembung udara. Pernyataan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 138: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

132

Morfologi makroskopik koloni Streptomyces yang ditemukan berbeda satu dengan lainnya, dan

dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 2. Hasil uji antagonistik Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae

resisten antibiotik ampisilin ditunjukkan pada Gambar 2, sedangkan besarnya diameter zona hambat yang

dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 1. Hasil pewarnaan tahan asam, pewarnaan Gram, dan uji katalase isolat Streptomyces sp.

No. Isolat Pewarnaan tahan

asam

Pewarnaan

Gram

Uji

katalase

Dinding sel

L-DAP

1. Streptomyces sp. (isolate 1) Tidak tahan asam + + +

2. Streptomyces sp. (isolate 2) Tidak tahan asam + + +

3. Streptomyces sp. (isolate 3) Tidak tahan asam + + +

4. Streptomyces sp. (isolate 4) Tidak tahan asam + + +

5. Streptomyces sp. (isolate 5) Tidak tahan asam + + +

6. Streptomyces sp. (isolate 6) Tidak tahan asam + + +

7. Streptomyces sp. (isolate 7) Tidak tahan asam + + +

8. Streptomyces sp. (isolate 8) Tidak tahan asam + + +

9. Streptomyces sp. (isolate 9) Tidak tahan asam + + +

10. Streptomyces sp. (isolate 10) Tidak tahan asam + + +

11. Streptomyces sp. (isolate 11) Tidak tahan asam + + +

Streptomyces sp.

(isolate 1)

Streptomyces sp.

(isolate 2)

Streptomyces sp.

(isolate 3)

Streptomyces sp.

(isolate 4)

Streptomyces sp.

(isolate 5)

Streptomyces sp.

(isolate 6)

Streptomyces sp.

(isolate 7)

Streptomyces sp.

(isolate 8)

Page 139: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

133

Streptomyces sp.

(isolate 9)

Streptomyces sp.

(isolate 10)

Streptomyces sp.

(isolate 11)

Gambar 1. Koloni Streptomyces sp. (isolate 1-11) yang berhasil diisolasi dari tanah rizosfer

Tabel 2. Morfologi isolat Streptomyces secara makroskopik dan mikroskopik

No. Streptomyces Makroskopik Mikroskopik x1000

1. Streptomyces sp.

(isolate 1)

Koloni berbentuk bulat, permukaan kasar,

tepi halus berwarna merah sedangkan

pada bagian tengah berwarna putih

Terdapat konidia berbentuk

batang berantai dan konidia

bergerombol

2. Streptomyces sp.

(isolate 2)

Koloni berbentuk bulat, permukaan halus

dan cembung, ukuran kecil, tepi halus,

berwarna putih terang

Konidia bulat berantai dan

konidia bergerombol

3. Streptomyces sp.

(isolate 3)

Bentuk koloni tidak beraturan, permukaan

koloni halus, koloni usia muda berwarna

merah sedangkan yang tua berwarna putih

Konidia bulat kecil, dan hifa

bercabang tidak bersepta

4. Streptomyces sp.

(isolate 4)

Bentuk koloni tidak beraturan, permukaan

halus, tepi koloni berwarna merah dengan

tengah berwarna putih.

Konidia berbentuk bulat ada

yang berantai dan

bergerombol.

5. Streptomyces sp.

(isolate 5)

Bentuk koloni tidak beratran, permukaan

koloni kasar, tepi koloni berwarna merah

dan tengah berwarna putih

Konidia bentuk bulat

berantai dan bergerombol,

terdapat hifa tidak aseptat.

6. Streptomyces sp.

(isolate 6)

Bentuk koloni tidak bulat, permukaan

koloni bertepung dengan warna koloni

kuning serta tepi koloni rata.

Konidia bulat berantai dan

bergerombol, hifa bercabang

dan tidak bersepta.

7. Streptomyces sp.

(isolate 7)

Bentuk koloni tidak rata, ukuran kecil,

permukaan bertepung.

Konidia bulat berantai dan

bergerombol

8. Streptomyces sp.

(isolate 8)

Bentuk koloni tidak rata, permukaan

halus, tepi koloni tidak rata, warna koloni

merah.

Konidia bulat bergerombol.

9. Streptomyces sp.

(isolate 9)

Bentuk koloni bulat, permukaan tidak rat,

tepi tidak rata, warna koloni putih

Konidia berbentuk bulat dan

hifa tidak bersepta.

10. Streptomyces

sp.(isolate 10)

Bentuk koloni tidak beraturan, permukaan

tidak rata, tepi koloni tidak rata, warna

koloni putih.

Konidia bulat berantai.

11. Streptomyces sp.

(isolate 11)

Bentuk koloni tidak beraturan, permukaan

halus, tepi koloni tidak rata, warna koloni

merah

Konidia berbentuk batang

dan tersusun berantai

Page 140: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

134

Kontrol

Streptomyces sp.

(isolate 1)

Streptomyces sp.

(isolate 2)

Streptomyces sp. (isolate

3)

Streptomyces sp.

(isolate 4)

Streptomyces sp.

(isolate 5)

Streptomyces sp.

(isolate 6)

Streptomyces sp. (isolate

7)

Streptomyces sp.

(isolate 8)

Streptomyces sp.

(isolate 9)

Streptomyces sp.

(isolate 10)

Streptomyces sp. (isolate

11)

Gambar 2. Uji antagonis Streptomyces terhadap K. pneumoniae

Page 141: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

135

Tabel 3.2. Uji daya hambat isolat Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae yang resisten terhadap

ampisilin

No. Isolat Diameter zona hambat

1. Kontrol -

2. Streptomyces sp. 1 10, 88 mm

3. Streptomyces sp. 2 -

4. Streptomyces sp. 3 -

5. Streptomyces sp. 4 12, 56 mm

6. Streptomyces sp. 5 9, 56 mm

7. Streptomyces sp. 6 -

8. Streptomyces sp. 7 -

9. Streptomyces sp. 8 12, 75 mm

10. Streptomyces sp. 9 -

11. Streptomyces sp. 10 -

12. Streptomyces sp. 11 -

PEMBAHASAN

Sebelas koloni Streptomyces yang diperoleh memiliki bentuk koloni yang berbeda-beda, seperti

berbentuk bulat, bergelombang dan tidak beraturan. Warna dan struktur permukaan isolat berbeda satu

sama lainnya serta mengalami pertumbuhan yang lambat dan menempel erat pada substratnya. Agrios

(2005) menyatakan bahwa pertumbuhan permukaan koloni Streptomyces awalnya agak licin, namun

lama-kelamaan terdapat miselium yang mengakibatkan permukaan koloni bertepung. Munculnya struktur

bertepung pada permukaan Streptomyces disebabkan oleh munculnya hifa aerial dari substrat yang

menutupi seluruh koloni. Holt et al. (1994) juga menyatakan bahwa pertumbuhan koloni Streptomyces

sangat lambat, dalam waktu ± 5 hari pertumbuhan koloni baru bisa terlihat namun masih dalam ukuran

yang sangat kecil. Seluruh isolat Streptomyces sp. menghasilkan bau khas seperti tanah.

Goodfellow (1983) menyatakan bahwa koloni Streptomyces yang berhasil diisolasi memiliki bau

yang khas seperti tanah, hal ini dapat disebabkan oleh dihasilkannya asam asetat, acetildehida, etanol,

isobutanol dan isobutil asetat yang mengakibat Streptomyces mampu menghasilkan bau yang khas seperti

tanah. Koloni Streptomyces merupakan bentuk massa filamen bercabang. Streptomyces memiliki

miselium aerial yang merupakan struktur dari miselium vegetatif. Miselium udara dapat dibedakan

berdasarkan panjang hifa, apabila hifa pendek maka koloni seperti tepung dan apabila hifa medium atau

panjang maka koloni mirip kapas (Locci et al.,1983). Ensign dan Barnard (2002) menyatakan bahwa

struktur bertepung pada permukaan koloni Streptomyces merupakan spora aerial yang dihasilkan oleh

miselium aerial pada saat koloni sudah dewasa.

Identifikasi terhadap Streptomyces dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Gram dan tahan

asam. Pada pewarnaan Gram, seluruh isolat berwarna ungu yang menandakan bahwa Streptomyces

merupakan bakteri Gram positif. Pada pewarnaan tahan asam didapatkan hasil bahwa Streptomyces yang

berhasil diisolasi tidak tahan asam, karena terwarnai oleh pewarna dasar methylene blue. Bakteri Gram

positif berwarna ungu pada perwarnaan Gram disebabkan karena zat pewarna Kristal violet tetap

dipertahankan sehingga bakteri terlihat berwarna ungu. Sedangkan pada pewarnaan tahan asam, bakteri

yang tidak tahan asam akan memudarkan warna karbol fuhsin dan terwarnai oleh pewarna methylene blue

(Pelczar dan Chan, 2010). Holt et al. (1994) menyatakan bahwa Streptomyces yang termasuk ke dalam

kelompok Actinomycetes memiliki dinding sel yang tersusun atas L-DAP dan glisin. Sedangkan Rao

Page 142: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

136

(2001) menyatakan bahwa Streptomyces merupakan bakteri Gram positif, bersifat aerob, dan tidak tahan

asam.

Uji antagonis isolat Streptomyces terhadap K. pneumoniae menunjukkan hasil bahwa dari sebelas

isolat Streptomyces yang diisolasi empat di antaranya memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan K.

pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Isolat yang mampu menghambat pertumbuhan K.

pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin ialah Streptomyces sp.(isolate 1), Streptomyces sp. (isolate

4), Streptomyces sp. (isolate 5) dan Streptomyces sp. (isola 8). Di antara keempat isolat Streptomyces

yang mampu menghambat, isolat Streptomyces sp. (isola 8) memiliki daya hambat yang paling besar

terlihat dari diameter zona bening yang dihasilkan paling besar yaitu 12,75 mm, sedangkan diameter zona

bening yang paling kecil dihasilkan oleh Streptomyces sp. (isola 5) yaitu 9,56 mm. Daya hambat yang

dihasilkan oleh Streptomyces sp. (isolate 8) dikategorikan kuat sedangkan daya hambat yang dihasilkan

oleh Streptomyces sp. (isolate 5) dikategorikan sedang. El-Tarabily et al. (2009) menyatakan bahwa jika

diameter zona hambat ≥ 0 daya ha bat sangat kuat 10-20 mm (daya hambat kuat), 5 – 10 mm

(daya hambat sedang) serta < 5 mm (daya hambat lemah).

Adanya variasi besarnya zona hambat yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan karakteristik

Streptomyces yang diisolasi, dan kemungkinan berbeda senyawa metabolit sekunder dan konsentrasinya.

Selain itu, perbedaan jenis antibiotik yang dihasilkan juga mempengaruhi besarnya zona hambat yang

dihasilkan (Glazer and Nikaido, 1998 ).

Tidak adanya zona hambat yang dihasilkan oleh tujuh dari sebelas genus Streptomyces yang

diisolasi dapat disebabkan oleh setiap Streptomyces memerlukan kondisi nutrisi dan kondisi fermentasi

yang berbeda untuk menghasilkan metabolit sekunder (Yu et al., 2008). Faktor lain kemungkinan

Streptomyces sp. menghasilkan antibiotik golongan beta laktam. Hal ini disebabkan oleh K. pneumoniae

yang diuji telah mengalami resistensi terhadap antibiotik ampisilin yang merupakan kelompok antibiotik

beta laktam. Joung et al. (2000) menyatakan bahwa resistensi bakteri terhadap antibiotik kelompok beta

laktam disebabkan oleh munculnya strain bakteri yang menghasilkan enzim antibetalaktamase sehingga

bakteri memiliki menjadi resisten terhadap antibiotik beta laktam yang dihasilkan oleh Streptomyces yang

diisolasi.

SIMPULAN

Didapatkan 11 isolat Streptomyces sp. di kawasan kampus FMIPA, Universitas Udayana, Bukit-

Jimbaran, yaitu Streptomyces sp. isolate 1 sampai Streptomyces sp. 11. Uji daya hambat secara in vitro

menggunakan 11 isolat Streptomyces sp., 4 isolat mampu menghambat K. pneumoniae yang resisten

terhadap ampisilin, daya hambat tertinggi dihasilkan oleh Streptomyces sp. isolate 8 dengan diameter

zona hambat yaitu 12,75 mm, yang dikategorikan berdaya hambat yang kuat.

KEPUSTAKAAN

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, New York.

El-Tarabily, K. A., M. H. Soliman, A. H. Nassar, H. A. Al-Hassani, K. Sivasithhamparan, F. McKenna

and G. E. Hardy. 2009. Biological control of Sceretonia minor using a chitinologytic bacterium

and actinomycetes. Plant Pathology 49: 573 – 583

Ensign J. C. and B. Barnard. 2002. Isolation of Antibiotic-Producing Microbes from Soil. Available at :

Http://www.Acces.excelllence.org/AE/AEC/AEF /1995/ goudie_isolation.html.

Glazer, A. N. and H. Nikaido. 1994. Microbial Biotechnology, Freeman Publishers.

Page 143: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

137

Goodfellow, M., S. T. William and M. Mordarski. 1988. Actinomycetes in Biotechnology, Academic

Press, New York.

Holt, J. G., N. R. Krig, P. H. A. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of

Determinative Bacteriology. 9th ed. Baltimore: Williams and Wilkins.

Locci, R. and G. P. Sharples. 1983. Morphology of Actinomycetes in Goodfellow M., S.T. William and

M. Mordarski (Eds.) The Biology of the Actinomycetes, Academic Press, London.

Neneng L. 00 . Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Penghasil Antibiotik Inhibitor β –Laktamase Tipe

TEM-1 dari Ekosistem Air HitamI MIPA 37 (1); 86-90.

Nugroho, F., P. I. Utami dan I. Yuniastuti. 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Penyakit

Pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga. J. Pharmacy 8 (1); 141-154.

Rahayu, T. 2006. Potensi Antibiotik Isolat Bakteri Rizosfer Terhadap Bakteri Escherichia coli

Multiresisten. J. Penelitian Sains dan Teknologi 7 (2); 81-91.

Rao, S. N. S. 2001. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press, Jakarta.

Tabarez, M. R., 2005, Discovery of the new Antimicrobial compound 7-O-malonyl macrolactin,

Disertasi, Universitas Carolo-Wilhelmia, Jerman

Sigalingging, G. 2011. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia Pada Anak Di Ruang Merpati II

Rumah Sakit Umum Herna Medan. J. Darma Agung; 69-78.

Yu, J., Q. Liu, X. Liu, Q. Sun, J. Yan, X. Qi and S. Fan. 2008. Effect of liquid culture requirements on

antifungal antibiotic production by Streptomyces rimous MY02. Bioresour. Technol, 99:2087 –

2091.

Page 144: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

138

BIOREMEDIASI PERAIRAN TERCEMAR LIMBAH INDUSTRI PENCELUPAN DENGAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR SECARA OPTIMAL

BIOREMEDIATION CONTAMINATED WATER INDUSTRIAL WASTE WATER PLANTS

DYEING WITH AN OPTIMUM UTILIZATION

Ni Made Susun Parwanayoni dan Ni Luh Suryani

Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana

Email : [email protected]

INTISARI

Tujuan penelitian secara umum adalah memanfaatkan keanekaragaman tumbuhan air secara

optimal, dengan pembiayaan yang murah dan ramah lingkungan, untuk mengatasi masalah pencemaran

logam berat Pb, Cd dan warna dari air limbah industri pencelupan serta menunjang program

pemerintah menuju produksi bersih.Sampel air limbah pencelupan diambil dari Desa Pedungan

Kecamatan Denpasar Selatan Bali. Dilanjutkan dengan percobaan bioremediasi yang meliputi 2 tahap

percobaan. Kombinasi 3 jenis tumbuhan air (Salvinia sp, Nymphaea stellata dan Hidrilla verticillata)

yang memiliki efektifitas paling tinggi pada percobaan tahap I dilanjutkan ke tahap II. Percobaan

Tahap II diberi perlakuan dengan penambahan nutrisi yang berbeda yaitu : 0 (N0) (kontrol), 4 (N1), 8

(N2), 12 gr (N3). Pada hari ke 0, 10 dan 20 dilakukan analisis kandungan logam berat Pb dan Cd

dengan Spektrofotometer Absorpsi Atom (AAS), dalam air limbah pencelupan maupun akumulasi logam

berat pada organ tanaman. Pada penambahan konsentrasi nutrisi 12 gr menghasilkan efektifitas

kombinasi 3 jenis tumbuhan air yang paling tinggi yaitu masing-masing 44,026% dan 38,071%. Paku

air memiliki kemampuan paling tinggi dalam mengakumulasi logam berat Pb maupun Cd yaitu masing-

masing 15,80 mg/kg dan 5,53 mg/kg.

Katakunci : Bioremediasi, tumbuhan air, logam berat dan limbah

ABSTRACT

General research objective is to utilize optimally the diversity of aquatic plants, with cheap

financing and environmentally friendly, to tackle the problem of pollution of heavy metals Pb, Cd and

color of industrial waste water immersion and to support government programs towards cleaner

production.Dyeing waste water samples taken from the village of South Denpasar District Pedungan

Bali. Followed by bioremediation experiments covering 2 experimental stage. The combination of three

kinds of aquatic plants (Salvinia sp, Nymphaea stellata and Hidrilla verticillata) which has the highest

effectiveness in phase I trials proceed to Phase II. Phase II trial were treated with the addition of different

nutrients namely: 0 (N0) (control), 4 (N1), 8 (N2), 12 g (N3). On days 0, 10 and 20 carried out the

analysis of heavy metals Pb and Cd by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), the dyeing waste

water and heavy metal accumulation in plant organs.In addition nutrient concentrations of 12 g produces

the effectiveness of the combination of three types of aquatic plants, the highest of each 44.026% and

38.071%. Salvinia sp has the highest ability to accumulate heavy metals Pb and Cd are respectively 15.80

mg / kg and 5.53 mg / kg.

Keywords: Bioremediation, water plants, heavy metals and waste

Page 145: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

139

PENDAHULUAN

Perkembangan industri pencelupan selain memberi sumbangan besar terhadap perekonomian

masyarakat bali, disisi lain membawa dampak timbulnya pencemaran lingkungan, akibat belum adanya

pengolahan limbah secara integratif. Limbah pencelupan terutama mengandung logam berat (Pb maupun

Cd) dan sisa zat warna yang dapat mencemari badan air. Hasil penelitian (Qismawati, 2008)

menunjukkan tanaman kangkung air (Ipomoea aquatica) yang ditanam pada daerah tercemar limbah

industri pencelupan, di Suwung Denpasar Selatan mampu mengakumulasi ti bal Pb 4 7 μg/g dan

chad iu d 7 7μg/g. Hal ini enandakan erairan terce ar li bah encelu an e iliki

kandungan pb dan Cd yang cukup tinggi dan telah melewati ambang batas baku mutu lingkungan.

Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan

bioremediasi. Bioremediasi dengan tumbuhan air, merupakan metode yang mudah diterapkan,

pembiayaannya murah dan tidak menimbulkan dampak lain pada lingkungan. Kombinasi beberapa jenis

tumbuhan air yang memiliki cara hidup berbeda dalam perairan yaitu mengapung (floating), pertenggahan

(emerged) dan tengelam (submerged plants) merupakan potensi yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Dengan memanfaatan 3 kelompok tumbuhan air ini bioremediasi dapat berlangsung secara menyeluruh

mulai dari permukaan sampai dasar perairan (Priyanto dan Joko, 2010). Paku air (Salvinia sp) merupakan

tumbuhan air mengapung (floating plants), lebih banyak membersihkan polutan atau logam berat di

bagian permukaan perairan. Teratai (Nymphaea sp) merupakan tumbuhan emerged plants, dengan sistem

perakaran melayang di bagian tengah dan beberapa ada yang dapat mencapai dasar tergantung dari

kedalaman perairan dan panjang pendeknya akar, lebih banyak membersihkan polutan atau logam berat

di bagian tengah, serta daunnya yang mengapung di permukaan sebagian dapat membersihkan logam

berat di bagian permukaan. Hidrilla verticillata merupakan tumbuhan tenggelam (submerged plants),

dapat membersihkan polutan atau logam berat yang terdapat di bagian dasar perairan. Kombinasi

beberapa jenis tumbuhan air floating, emerged dan submerged plants bioremediasi Pb dan Cd pada air

tercemar limbah pencelupan berlangsung secara maksimal dan menyeluruh mulai dari permukaan sampai

ke bagian dasar perairan (Aiyen, 2009 dan Amri, 2011).

MATERI DAN METODE

Sampel air limbah tercemar industri pencelupan diambil dari Pusat Pembuangan Limbah Industri

Pencelupan Desa Pedungan Kecamatan Denpasar Selatan Bali. Sedangkan sampel tumbuhan air diambil

dari daerah rawa-rawa Mengwi Badung. Sampel yang telah diambil sebagian dianalisis di Laboratorium

untuk menentukan kandungan logam berat Pb dan Cd awal pada air limbah pencelupan dan tumbuhan air,

sebelum digunakan untuk percobaan bioremediasi. Air limbah pencelupan yang akan di proses dalam

percobaan bioremediasi, di masukkan ke dalam ember-ember percobaan, kemudian diberi perlakuan

sesuai dengan rancangan percobaan.

Percobaan bioremediasi dilakukan dengan dalam 2 tahap yaitu : tahap I merupakan pengujian

efektifitas jenis dan kombinasi jenis tumbuhan air yang memiliki cara hidup berbeda dalam perairan,

yaitu paku air (Salvinia sp), teratai (Nymphaea stellata) dan Hidrilla verticillata terutama untuk

meremediasi logam berat Pb dan Cd dalam air tercemar limbah industri pencelupan. Pengujian ini

bertujuan untuk mendapatkan efektifitas jenis dan kombinasi jenis yang paling tinggi kemampuannya

dalam meremediasi logam berat Pb dan Cd. Untuk lebih memaksimalkan efektifitas kombinasi jenis

tumbuhan air yang telah didapat dari pengujian tahap I, proses bioremediasi dilanjutkan ke tahap II.

Percobaan bioremediasi Tahap II yaitu pengujian pengaruh nutrisi terhadap efektifitas

kombinasi jenis tumbuhan air (yang didapat dari hasil percobaan tahap I) dalam meremediasi logam berat

Page 146: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

140

Pb dan Cd. Pengujian tahap II untuk mendapatkan konsentrasi nutrisi yang paling tepat dengan efektifitas

kombinasi jenis tumbuhan air yang paling tinggi kemampuannya dalam meremediasi (menurunkan dan

mengakumulasi) logam berat Pb dan Cd. Percobaan bioremediasi tahap II ini menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi nutrisi (pupuk NPK), yang meliputi : 0 (N0)

(kontrol), 4 (N1), 8 (N2), 12 (N3) gr. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali, sehingga terdapat 16 unit

percobaan. Masing-masing perlakuan diperlakukan pada air limbah industri pencelupan selama 20 hari.

Pada hari ke 0, 10 dan 20 dilakukan analisis kandungan logam berat Pb dan Cd dengan menggunakan

Spektrofotometer Absorpsi Atom (AAS).

Dari hasil analisis kandungan logam berat Pb dan Cd pada masing-masing perlakuan selanjutnya

dihitung efektifitasnya (persamaan 1) (King and Sheldon,1992). Sedangkan pengukuran akumulasi Pb

dan Cd dalam organ tumbuhan air dilakukan pada perlakuan yang efektifitasnya paling tinggi dalam

menurunkan kadar Pb dan Cd, di awal dan akhir percobaan.

Efektifitas (%) = (A-B) X 100% .................... persamaan 1)

A

A = Nilai (kandungan Pb dan Cd) sebelum diberi perlakuan

B = Nilai (kandungan Pb dan Cd) sesudah diberi perlakuan

HASIL

Bioremediasi Tahap I

Kandungan awal logam berat Pb dan Cd pada air limbah pencelupan sebelum proses bioremediasi

masing-masing 5,178mg/l dan 1,400mg/l (Tabel 1). Kombinasi 3 jenis tumbuhan air ((Salvinia sp,

Nymphaea stellata, Hidrilla verticillata) (P7) pada percobaan bioremediasi tahap I menghasilkan

efektifitas yang paling tinggi dalam menurunkan kandungan logam berat Pb dan Cd yaitu masing-masing

30,47% dan 37,85%, dari kandungan awal Pb (5,17mg/l), Cd (1,40mg/l) dan akhir setelah diberi

perlakuan dengan kombinasi 3 jenis tumbuhan air yaitu Pb (3,60mg/l), Cd (0,90mg/l) (Tabel 2).

Kombinasi 3 jenis tumbuhan air yang efektifitasnya paling tinggi pada percobaan tahap I ini, setelah

dilanjutkan ke percobaan bioremediasi tahap II menunjukkan hasil seperti pada Gambar 1 dan 2.

Tabel 1. Kandungan logam berat Pb dan Cd dalam air limbah pencelupan sebelum proses bioremediasi

No. Logam berat Kandungan logam

berat (mg/l)

1

2

Pb

Cd

5,178

1,400

Page 147: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

141

Tabel 2. Efektifitas tumbuhan air menurunkan kandungan logam berat Pb dan Cd dalam air limbah

pencelupan selama 20 hari proses bioremediasi

No. Tumbuhan air Efektifitas (%)

Pb Cd

1

2

3

4

5

6

7

8

P0

P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

0,019 0,142

12,282 14,285

19,853 15,000

7,686 10,714

23,715 35,714

21,170 24,000

28,427 30,000

30,475 37,857

P0 = Kontrol P4 = Teratai & paku air

P1 = Teratai P5 = Teratai & hidrilla

P2 = Paku air P6 = Paku air & hidrilla

P3 = Hidrilla P7 = Teratai, paku air & hidrilla

Bioremediasi Tahap II

Pada percobaan bioremediasi tahap II selama 20 hari, penambahan nutrisi memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap kemampuan (efektifitas) kombinasi 3 jenis tumbuhan air dalam menurunkan

kandungan logam berat Pb maupun Cd pada air tercemar limbah pencelupan.

Gambar 1. Pengaruh nutrisi terhadap efektifitas kombinasi 3 jenis tumbuhan air dalam menurunkan

kandungan logam berat Pb pada air tercemar limbah pencelupan

Page 148: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

142

Gambar 2. Pengaruh nutrisi terhadap efektifitas kombinasi jenis tumbuhan air dalam menurunkan

kandungan logam berat Cd pada air tercemar limbah pencelupan

Keterangan : N0 = Kontrol N2 = 8gr

N1 = 4gr N3 = 12gr

Penambahan nutrisi selain dapat meningkatkan penyerapan logam berat, juga dapat meningkatkan

kemampuan tumbuhan air dalam mengakumulasi logam berat Pb maupun Cd (Tabel 3).

Tabel 3. Kemampuan tumbuhan air dalam mengakumulasi logam berat Pb dan Cd

Tumbuhan Air Akumulasi logam berat (mg/kg) Kadar

Pb Cd

Paku air 15,80 5,53

Teratai 14,76 4,12

Hidrilla 13,05 4,71

PEMBAHASAN

Dari Gambar 1 dan 2 dapat dilihat semakin tinggi penambahan nutrisi, efektifitas kombinasi 3

jenis tumbuhan air dalam menurunkan logam berat Pb maupun Cd juga semakin tinggi. Dari 4

konsentrasi nutrisi yang diuji coba selama 20 hari, perlakuan N3 (12gr) memberikan pengaruh yang

paling tinggi yaitu 41,594% dan 19,857% pada hari ke 10 dan meningkat menjadi 44,026% dan

38,071% pada hari ke 20. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Idiyanti dkk (2010) penambahan

nutrisi ke dalam sistem perakaran dapat menurunkan nilai COD rata-rata 73 % dalam retensi waktu 10

hari. Hasil penelitian Heriyanti (2009) dalam Hari Kurniawan 2010 diperoleh bahwa tumbuhan eceng

gondok mampu menyerap klorofenol hingga 46,67% dengan adanya penambahan nutrisi.

Page 149: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

143

Peningkatan efektifitas ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah nutrisi. Menurut

Kurniawan (2010) Banyak faktor yang mempengaruhi bioremediasi (penyerapan, akumulasi atau

pembersihan) polutan atau logam berat dari lingkungan perairan salah satunya nutrisi. Nutrisi

berperan/diperlukan oleh tumbuhan salah satunya untuk pertumbuhan. Bila kekurangan nutrisi

pertumbuhan akan terhambat, apabila tumbuhan tersebut digunakan sebagai tumbuhan bioremediasi maka

bioremediasi juga akan terhambat. Tumbuhan yang pertumbuhannya terhambat dapat menyebabkan

antara lain: mudah terserang penyakit, mekanisme pembentukan zat/senyawa tertentu yang berperan

dalam menghadapi unsur toksik atau bahan pencemar menjadi terhambat pula, sehingga penyerapan atau

akumulasi zat pencemar menjadi rendah. Kandungan logam berat Pb dan Cd pada air limbah pencelupan

setelah mengalami proses bioremediasi, bila dibandingkan dengan baku mutu limbah cair yaitu untuk Pb

0,010 ppm dan Cd 0,15 ppm, masih diatas baku mutu.

Dari Tabel 3 menunjukkan paku air memiliki kemampuan paling tinggi dalam mengakumulasi Pb

maupun Cd, yaitu masing-masing 15,8mg/kg dan Cd 5,53mg/kg. Tingginya kemampuan paku air dalam

mengakumulasi logam berat Pb maupun Cd sangat berkaitan dengan tingginya kemampuan Paku air

dalam menyerap logam berat Pb dan Cd pada air limbah pencelupan, logam berat yang diserap oleh

tumbuhan akan terakumulasi dalam organ tumbuhan, akar batang dan daun. Menurut Darmiyati dan

Kusmana (2011) tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga terakumulasi disekitar akar

tumbuhan. Akar tumbuhan kemudian menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam jaringan

atau organ tumbuhan. Logam-logam berat akan terakumulasi dalam jaringan tumbuhan dengan tidak

mengganggu proses metabolismenya. Tumbuhan dapat melakukan mekanisme tertentu untuk

menghadapi konsentrasi toksik antara lain : tumbuhan dapat meminimumkan pengaruh unsur toksik,

dengan mengembangkan sistem metabolik yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik.

SIMPULAN

Semakin tinggi konsentrasi nutrisi yang ditambahkan semakin tinggi juga efektifitas kombinasi 3

jenis tumbuhan air menurunkan kandungan logam berat Pb dan Cd dalam air tercemar limbah

pencelupan. Pada penambahan konsentrasi nutrisi 12 gr efektifitas kombinasi 3 jenis tumbuhan air

paling tinggi yaitu masing-masing 44,026% dan 38,071%. Paku air memiliki kemampuan paling tinggi

dalam mengakumulasi logam berat Pb maupun Cd yaitu masing-masing 15,80 mg/kg dan 5,53 mg/kg.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi (DP2M DIKTI) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LPPM) Universitas

Udayana yang telah mendanai keseluruhan penelitian ini, kepada Staf di Laboratorium Analitik dan

Laboratorium Bersama FMIPA Universitas Udayana serta kepada berbagai pihak, teman dan mahasiswa

yang telah banyak terlibat membantu dan memberi petunjuk dalam penelitian maupun penyusunan artikel

ini.

KEPUSTAKAAN

Aiye. 2009. Ilmu Remediasi untuk Atasi Pencemaran Tanah di Aceh dan Sumatra Utara, Fakultas

Pertanian universitas Tadulako, Palu. Publikasi di Web Site.

Amri. 2011. Emas Tak Mabuk Pertanda Aman BPPT Jakarta. Atvailable at : http//www.bplhd jabar.go

id/artikel.cfm?doc.id = 222.

Page 150: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

144

Darmiyati, M, dan C. Kusmana. 2011. Akumulasi Logam Berat (Mn, Zn, Cu) pada Rhizophora

Mucronata di Hutan Tanaman Mangrove Cilacap, Majalah Duta Rimba Edisi Maret–April 2011.

Idiyanti ,T., S. Aiman, R. Trisnamurti dan S. Inijah, 2010, Pengolahan Sistem Kontinyu Air Limbah

Industri Herbisida dengan Lumpur Aktif, Prosiding Lokakarya Nasional Mikrobiologi

Lingkungan:104 -113.

King, R. B., G. M. Long and J. K. Sheldon, 1992, Practical Enviromental Bioremediation. Lewis

Publisher. London.

Kurniawan H. 2010. Fitoremidiasi Air Tercemar Triclorophenol dengan Menggunakan Eceng Gondok.

Publikasi di Web Site .

Priyanto B. dan Joko P. 2010. Fitoremediasi sebagai sebuah Teknologi Pemulihan Pencemaran,

Khususnya Logam Berat. Publikasi di Web Site.

Qismawati N. 2008. Perbandingan Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Chadmium (Cd) pada Organ

Tanaman Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk). Skripsi Jurusan Biologi FMIPA Universitas

Udayana.

Page 151: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

145

DESKRIPSI PERBEDAAN JUMLAH INDIVIDU KEPITING MANGROVE, SPESIES Scylla

serrata DAN Uca sp SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN PADA

EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BULALO KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN

GORONTALO UTARA

DESCRIPTION OF DIFFERENCES MANGROVE CRAB INDIVIDUAL NUMBER, SPESIES

Scylla serrata & Uca sp AND RELATIONSHIP WITH ENVIRONMENTAL FACTORS IN

MANGROVE ECOSYSTEM IN VILLAGE bulalo Kwandang DISTRICT NORTH GORONTALO

Abubakar Sidik Katili 1,2)

, Ramli Utina

2,2), Chairunnisah J.Lamangantjo

3,2)

21)Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jenderal Sudirman No. 06

Kota Gorontalo, Kode Pos 96128

1) email: [email protected]

2) email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan jumlah individu kepiting mangrove spesies

Scylla serrata dan spesies Uca sp yang hidup di bawah tegakan vegetasi mangrove serta

mendeskripsikan hubungan kedua spesies kepiting tersebut dengan faktor lingkungan yakni; salinitas,

kekeruhan air, kandungan N,P,K serasah, biomassa serasah dan kadar C-organik serasah pada kawasan

mangrove. Penelitian ini dilakukan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2013 di

kawasan mangrove desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Metode yang

digunakan ini adalah survey deskriptif. Lokasi pengambilan data dibagi menjadi 4 titik berdasarkan pada

kenampakan vegetasi mangrove, karakteristik setiap wilayah pengamatan, serta kemudahan dalam

peletakan titik sampling yang representatif. Dilakukan pula wawancara dengan petugas Dinas

Kehutanan Kabupaten Gorontalo Utara. Data yang diperoleh dianalisis kuantitatif deskriptif. Analisis

kuantitatif menggunakan korelasi sederhana, analisis varians dan uji DMRT. Hasil penelitian

menunjukkan, perbandingan kepiting untuk spesies Scylla serrata.Forssk pada tiap titik pengamatan

terdapat perbedaan antara titik pengamatan 1, 2, 3 dan 4. Berdasarkan uji DMRT untuk titik pengamatan

2, 3 dan 4 tidak berbeda nyata satu sama lain, sedangkan untuk titik pengamatan 1 tidak berbeda nyata

dengan titik 2 dan 4, tetapi berbeda nyata dengan titik pengamatan 3. Untuk spesies Uca sp berdasarkan

analisis varians menunjukkan adanya perbedaan nyata antara titik pengamatan 1, 2, 3 dan 4.

Berdasarkan uji DMRT bahwa jumlah individu pada titik pengamatan 1 berbeda nyata dengan titik

pengamatan 3 dan 2, sedangkan yang tidak berbeda nyata adalah titik pengamatan 4 dan titik

pengamatan 1. Analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat dua faktor lingkungan berkorelasi secara

signifikan dengan jumlah kepiting yakni kadar C-organik serasah dan biomassa serasah. Hal ini berarti

bahwa kadar C-organik serasah dan biomassa serasah secara tidak langsung dapat memberikan peran

dalam kehadiran dan aktivitas kepiting. Disimpulkan bahwa tumbuhan mangrove memberikan kontribusi

terhadap aktivitas kepiting yang hidup di bawah tegakannya, yakni pemanfaatan serasah mangrove oleh

kepiting sebagai bahan makanannya. Karena itu pengelolaan mangrove perlu mempertimbangkan aspek

ekologis diantaranya adalah peran kepiting sebagai bagian dari komponen dalam rantai makanan di

ekosistem mangrove.

Kata kunci : Mangrove, Scylla serrata, Uca sp, faktor lingkungan

Page 152: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

146

ABTRACT

The objective of this study was to determine differences number of individuals mangrove crab

Scylla serrata and Uca sp which living under the stands of mangrove vegetation and to describe the

relationship between the two species of crabs with environmental factors namely; salinity, turbidity, N, P,

K of litter, litter biomass and organic C of litter in the mangrove areas. This study was conducted in

November until December 2013 in mangrove areas at Bulalo, Kwandang district north Gorontalo. The

method was use descriptive survey. The location of data collection was divided into 4 points based on the

appearance of mangrove vegetation, the characteristics of each observation regio, based of ease laying

representative sampling point. Also conducted interviews with officials of Forestry Office in north

Gorontalo district. The data analyzed by quantitative descriptive. Quantitative analysis using a simple

correlation, analysis of variance and DMRT. The results show that comparison Scylla serrata, Forssk at

each observation point have the difference between observation points 1, 2, 3 and 4. Based DMRT, for

observation points 2, 3 and 4 were not significantly different from each another, while for the observation

point 1 is not significantly different from point 2 and 4, but significantly different from the observation

point 3. For Uca sp based show significant differences between observation points 1, 2, 3 and 4. Based

DMRT alaysis, the number of it individuals at the point of observation 1 was significantly different from

the observation point 3 and 2, while no significant difference in observation point 4 and 1. The

correlation analysis show that are two environmental factors correlated significantly with the number of

crabs, they are levels of C-organic litter and litter biomass. This means that the levels of C-organic litter

and litter biomass can indirectly provide a role in the presence and activity of crabs. The Conclusion of

this study; mangroves can give contribution to the activity of crab which lives under the stand of

mangrove, that is the utilization of mangrove litter by the crab as a food ingredient. Therefore mangrove

management needs to consider the ecological aspects including the role of the crab as part of the food

chain in the mangrove ecosystem.

Keywords: Mangrove, Scylla serrata, Uca sp, Enviromental factor

PENDAHULUAN

Suatu komunitas terdiri atas banyak jenis dengan berbagai macam fluktuasi populasi dan interaksi

antara satu dengan lainnya. Komunitas juga terdiri atas berbagai organisme dan saling berhubungan pada

suatu lingkungan tertentu. Secara ringkas komunitas adalah seluruh populasi yang hidup bersama di suatu

daerah tertentu dan sering disebut sebagai komunitas biotik (Irwan, 1992). Hutan mangrove merupakan

satu bentuk komunitas yang terdiri atas vegetasi pantai yang memiliki karakteristik, tumbuh di daerah

intertidal, jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara

berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama, menerima pasokan air tawar

yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang arus besar dan arus pasang surut. Hutan mangrove

dapat dibedakan ke dalam beberapa zonasi berdasarkan atas jenis pohon penyusun yang dominan (Begen,

2002). Lebih lajut Fachrul (2007) mengungkapkan bahwa hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas

terdapat di sepanjang pantai landai atau muara sungai. Hutan mangrove telah menyesuaikan diri dengan

terpaan ombak, dengan salinitas tinggi serta tanahnya senantiasa digenangi air. Hutan pantai tersebut

tumbuh baik di daerah tropis maupun sub tropis. Istilah mangrove digunakan untuk tumbuhan yang hidup

di pantai (hidrosere communities). Hutan itu disebut hutan pantai (coastal woodland) atau hutan pasang

surut (tidal forest).

Sebagai salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir, komunitas hutan mangrove memiliki

manfaat yang sangat luas ditinjau dari aspek ekologi, fisik, ekonomi dan sosial. Secara ekologis, hutan

mangrove berfungsi menangkap dan mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut dari daratan

lewat aliran sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin, juga sebagai

Page 153: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

147

tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan,

primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem

mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di

sekitarnya. Habitat mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-

hewan tersebut, sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan

memijah (spawning ground) serta tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta

kerang dari predator (Irwanto, 2006).

Salah satu Kawasan hutan mangrove yang ada di Indonesia terdapat di wilayah pesisir

Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, pulau Sulawesi. Berdasarkan data dari Dinas

Kehutanan Kabupaten Gorontalo Utara, luas kawasan hutan mangrove di wilayah ini telah mengalami

penyusutan. Pada sebelum tahun 1995 luasnya mencapai 3000 ha, kemudian pada tahun 1998 menjadi

2300 ha dan pada tahun 2005 luasnya menjadi 1800 ha (Dokumen SLHD Gorut 2010). Adanya

penyusutan luasan kawasan mangrove tersebut, menyebabkan densitas tumbuhan mangrove menurun.

Akibatnya penutupan lahan menjadi berkurang, keadaan ini bersama-sama dengan faktor lingkungan yang

ada dapat mengubah komunitas ke arah yang berbeda dari kondisi sebelumnya. Hal tersebut akan

berdampak langsung tehadap keanekaragaman hayati dalam komunitas mangrove, termasuk di dalamnya

penurunan jumlah berbagai spesies kepiting mangrove yang merupakan salah satu sumber hayati pesisir

di wilayah tersebut. Terkait dengan hal di atas, pengelolaan hutan mangrove haruslah didukung oleh

data-data ekologis salah satu diantaranya kondisi sumber daya hayati dalam hal ini biota pada ekosistem

mangrove tersebut yakni kepiting serta faktor lingkungan pendukung kehidupannya. Kurangnya data-data

tersebut mengakibatkan kegiatan pengelolaan dan konservasi hutan mangrove di wilayah ini tidak akan

dapat mencapai hasil yang diharapkan serta tidak dapat memenuhi prinsip pengelolaan yang berkelanjutan

(sustainable). Di sisi lain, kegiatan penelitian yang mengkaji tentang tersebut di kawasan ini masih sangat

kurang. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar (data base) untuk penelitian lanjut guna

perlindungan satwa dan lingkungan, dan menjadi masukan untuk perencanaan wilayah dan

pengembangan sumberdaya alam berbasis ekologis.Berdasarkan beberapa uraian di atas dilakukan

penelitian tentangdeskripsi perbedaan jumlah individu kepiting bakau spesies Scylla serrata dan spesies

Uca sp serta hubungannya dengan faktor lingkungan pada ekosistem mangrove di Desa Bulalo kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif. Lokasi penelitian di kawasan mangrove

desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Penentuan lokasi ini dilakukan secara

purposive sampling dan berdasarkan kenampakan vegetasi mangrove, karakteristik setiap wilayah

pengamatan, kemudahan dalam peletakan titik sampling yang representatif. Dilakukan pula wawancara

dengan petugas dari dinas kehutanan setempat.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi 2 spesies

kepiting yakni Scylla serrata dan spesies Uca sp. Lokasi pengambilan data di bagi menjadi empat titik

pengamatan dan setiap titik pengamatan dibuat 24 plot. Titik koordinat lokasi adalah sebagai berikut; titik

pengamatan 1 pada koordinat N: 00050’ 5 9”E: 1

05 ’41 1” titik enga atan ada koordinat N:

00050’ 7 0” E: 1

0 5’ 5 6” titik enga atan ada koordinat N: 00

050’15 ” E: 1

05 ’ 1” dan titk

pengamatan 4 pada koordinat N: 00050’0 7” E: 1

05 ’0 ”.Datasekunder data-data yang diperoleh

dari hasil penelusuran dokumen dari instansi terkait lingkungan hidup di daerah terutama dokumen status

lingkungan hidup daerah (SLHD) dari kawasan yang menjadi lokasi penelitian.Data yang diperoleh

dianalisis kuantitatif deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan teknik korelasi sederhana, analisis

varians dan uji DMRT dengan menggunakan aplikasi program SPSS.

Page 154: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

148

HASIL

Tabel 1. Klasifikasi spesies kepiting Scylla serrata.Forssk dan Uca sp. yang terdapat di lokasi

pengamatan

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Crustaceae

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Infraordo : Brachyura

Familia : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla serrata.Forssk

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Crustaceae

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Infraordo : Brachyura

Familia : Ocypodidae

Genus : Uca

Spesies : Uca sp

(Sumber : Romimohtarto, 2007)

Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada tabel 1, dua spesies kepiting yang menjadi

objek pengamatan pada ke empat titik pengamatan yakni Scylla serrata Forssk dan Uca sp. Kepiting

merupakan hewan invertebrata dan termasuk dalam kelompok fauna aquatik serta menempati subtrat yang

lunak (lumpur) dalam hutan mangrove. Menurut Supriharyono (2007) hewan yang hidup di perairan

hutan mangrove dibedakan atas dua kelompok, yakni: yang hidupnya meliang (burrowing spesies), dan

yang tinggal di atas substrat (epifauna). Kepiting dapat digolongkan dalam epifauna terutama dari genus

Uca dan kelompok famili Portunidae.

Menurut Gunarto (2004), fungsi lubang bagi kepiting yang tinggal di liang atau menggali lubang

adalah: sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik,

sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat pertahanan, dan tempat

mengerami telur atau anaknya; seperti Scylla serrata dapat menggali lubang hingga5 m ke luar dari sisi

tebing sungai masukke mangrove. Campuran deposit organik dengan flora, bakteria, diatom, dan

mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber makanan bagi berbagai

jenis kepiting. Kepiting Uca sp betina mengambil lumpur dengan kedua kaki capitnya yang kecil

sehingga lebih cepat mengambil makanan dibandingkan dengan Uca sp jantan yang hanya mempunyai

satu kaki capit yang kecil, sedangkan kaki capit satu lagi ukurannya besar sehingga sulit untuk mengambil

makanan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis dari masyarakat setempat bahwa kepiting jenis

Scylla serrata, yang dalam bahasa daerah lokal setempat dikenal dengan kata walimango, merupakan

kepiting yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Masyarakat setempat sering mengkonsumsi kepiting jenis

ini dan cara pengambilannya dengan menggunakan jaring. Pemanfaatan kepiting jenis ini oleh masyarakat

masih rendah, karena hanya digunakan sebagai lauk pegganti, disamping ikan sebagai lauk utama.

Page 155: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

149

a b

Gambar 1. a. Kepiting jenis Scylla serrata. Forssk dan b. Uca sp

Kehadiran jumlah kepiting, juga dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang masuk ke dalam

ekosistem hutan mangrove. Bahan organik tersebut terkandung dalam jumlah daun, ranting dan bagian

lainnya dari tumbuhan mangrove yang jatuh ke lantai hutan.Menurut Robertson dan Vernberg dalam

Supriharyono (2007), serasah daun dapat dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan makrobenthos seperti

kepiting, tanpa melalui proses dekomposisi oleh mikrobia terlebih dahulu. Lebih lanjut diungkapkan

bahwa sekitar 30% - 80% daun, ranting dan bagian lainnya dari tumbuhan mangrove yang jatuh ke

perairan dikonsumasi langsung oleh kepiting.

Hasil penelitian yang manggambarkan perbandingan jumlah kepiting spesies Scylla serrata.

Forssk dan Uca sp pada setiap titik pengamatan pengamatan untuk musim hujan, dapat dilihat dalam

grafik pada Gambar 9 berikut.

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Plot

Ju

mla

h K

ep

itin

g

Scylla serrata Uca sp

Gambar 2. Grafik Jumlah Kepiting Pada Setiap Plot Pada Empat Titik Lokasi Pengamatan

Pada grafik tesebut terlihat bahwa spesies Uca sp memiliki jumlah yang lebih banyak

dibandingkan dengan spesies Scylla serrata. Keadaan ini jika dihubungkan dengan struktur vegetasi

mangrove pada lokasi penelitian yang penyebarannya didominasi oleh mangrove jenis Rhizophoraceae.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Katili (2008) yang mengemukakan bahwa

bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume merupakan spesies yang

Page 156: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

150

mempunyai penyebaran yang luas di kawasan pesisir Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.Keadaan ini

dapat disebabkan oleh karena spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume

cenderung mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan baik dalam komunitas mangrove di pesisir

Kwandang. Fakta tersebut ditunjukkan dengan keberadaan spesies Rhizophora mucronata Lamk dan

Rhizophora apiculata Blume yang tersebar merata di kawasan pesisir tersebut, sehingga dapat

mengindikasikan bahwa Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume memiliki kisaran

toleransi yang luas di kawasan hutan mangrove ini. Kondisi ini dipihak lain menunjang kepiting Uca

spuntuk dapat hidup dengan baik di bawah tegakan mangrove family Rhizophoraceae. Diketahui bahwa

kepiting jenis ini memiliki kesukaan dan kerakusan yang tinggi dalam mengkonsumsi dan memanfaatkan

serasah mangrove jenis Rhizophoraceae (Supriharyono, 2007).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis varians, perbandingan kepiting untuk spesies Scylla serrata.Forssk,

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara titik pengamatan 1, 2, 3 dan 4. Selanjutnya

dilakukan uji duncan yang memperlihatkan hasil bahwa titik pengamatan 2, 3 dan 4 tidak berbeda nyata

satu sama lain, untuk titik pengamatan 1 tidak berbeda nyata dengan titik pengamatan 2 dan 4, tetapi

berbeda nyata dengan titik pengamatan 3.

Hasil analisis varians jumlah kepiting spesies Uca sp. menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antara titik pengamatan 1, 2, 3 dan 4. Karena terdapat perbedaan pada hasil analisis varians

maka kegiatan dilanjutkan dengan melakukan uji duncan. Hasil uji duncan menunjukkan bahwa jumlah

kepiting speises Uca sppadatitik pengamatan 1, berbeda nyata dengan titik pengamatan 3 dan titik

pengamatan 2, sedangkan yang berbeda adalah titik pengamatan 4 dan titik pengamatan 1. Hasil analisis

korelasi antara jumlah kepiting dengan faktor lingkungan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara jumlah kepiting dengan kadar C-organik serasah dan biomassa. Dari hasil analisis

korelasi yang diuraikan tersebut, terlihat bahwa faktor lingkungan yang sangat berhubungan dengan

jumlah kepiting adalah kadar C-organik serasah dan biomassa serasah.

Dapat diartikan bahwa kadar C-organik serasah dan biomassa serasah, secara tidak langsung

dapat memberikan peran dalam kehadiran dan aktivitas kepiting dalam ekosistem mangrove di lokasi

kajian. Menurut Micheli (1993) bahwa sekitar 30% - 80% serasah daun, ranting dan bagian lainnya dari

tumbuhan mangrove mangrove yang jatuh ke perairan langsung dikonsumsi atau dikubur terlebih dahulu

pada substrat dasar oleh kepiting. Sisa dari serasah termasuk serpihannya yang telah dimanfaatkan oleh

kepiting dikonsumsi oleh hewan lainnya, ditransportasikan atau diuraikan oleh bakteri. Pemanfaatan

serasah oleh kepiting ini lebih mendominasi dibandingkan dengan hewan benthos lainnya.

Selain itu pula diketahui bahwa kesuburan di hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh hasil

dekomposisi serasah daun mangrove, sedangkan dalam proses dekomposisi, peran kepiting sangat

dominan. Menurut Kathiresan dan Bingham (2001) bahwa distribusi dan kehadiran kepiting dalam

habitat mangrove memperlihatkan distribusi yang sangat jelas dipengaruhi oleh beberapa faktor

lingkungan diantaranya serasah mangrove, karakteristik substrat dan salinitas.

Pemanfaatan searasah mangrove langsung oleh kepiting lebih mendominasi dibandingkan dengan

cara pemanfaatan atau pendistribusian serasah daun oleh biota selain kepiting, dengan kata lain bahwa

kepiting lebih mendominasi pemanfaatan serasah mangrove dibandingkan dengan hewan makrobenthos

lainnya. Kepiting memiliki kemampuan untuk memindahkan (memanfaatkan) lebih dari 70% dari total

serasah tiap tahunnya. Pada umunya setelah serasah daun mangrove yang jatuh ke permukaan kemudian

dikonsumsi oleh hewan benthos terutama kepiting dan ditransportasikan ke luar sistem dan hanya

sebagian saja yang didekomposisikan (Micheli, 1993).

Perbandingan faktor lingkungan berupa salinitas (air dan tanah), kekeruhan air, biomassa serasah,

dan kadar nitrogen secara signifikan tidak berbeda nyata antara titik pengamatan 1, 2, 3, dan 4. Hasil

analisis varians mengenai faktor lingkungan berupa salinitas tanah, N, P, K, dan C-organik serasah,

Page 157: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

151

menunjukkan bahwa antara titik pengamatan 1, 2, 3, dan 4, terdapat perbedaan yang signifikan.

Perbedaan faktor lingkungan pada setiap titik pengamatan seperti yang dijelaskan di atas di uji dengan uji

duncan. Adanya perbedaan faktor lingkungan di setiap titik pengamatan pengamatan, dapat disebabkan

oleh perbedaan karakteristikdari masing-masing titik pengamatan antara lain perbedaan tutupan kanopi

vegetasi mangrove yang memberikan pengaruh secara tidak langsung pada prosuksi serasah, perbedaan

substrat dasar, serta perbedaan kondisi fisik lokasi yang menjadi titik pengamatan misalnya ada tidaknya

muara sungai yang secara tidak langsung mempengaruhi fluktuasi kadar salinitas. Dari beberapa faktor

tersebut, diduga bahwa yang memberikan kontribusi besar dalam meneyababkan perbedaan faktor

lingkungan adalah keadaan vegetasi mangrove pada masing-masing titik pengamatan pengamatan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Supriharyono (2007) bahwa tumbuhan mangrove mempunyai

toleransi yang berbeda terhadap kondisi faktor lingkungan yang terdapat di habitatnya.

SIMPULAN

Ditemukan perbedaan jumlah individu kepiting spesies Scylla serrata Forssk dan Uca sp. di

empat titik pengamatan. Secara umum jumlah kepiting spesies Uca sp lebih besar dibandingkan dengan

kepiting spesies Scylla serrata Forssk. Perbedaan jumlah individu kepiting spesies Scylla serrata Forssk

dan Uca sp berhubungan dengan dengan struktur vegetasi mangrove pada lokasi penelitian yang

penyebarannya secara umum didominasi oleh mangrove jenis Rhizophoraceae, dimana kepiting Uca sp

dapat hidup dengan baik di bawah tegakan mangrove family Rhizophoraceae.

Terdapat dua faktor lingkungan yang berhubungan dengan kehadiran kepiting yakni biomassa

serasah dan kadar C-organik serasah. Diketahui bahwa kepiting memiliki peranan dalam proses

pendistribusian dan dekomposisi serasah. Ditemukan pula adanya hubungan yang signifikan antara

jumlah kepiting dengan densitas mangrove pada lokasi penelitian. Tumbuhan mangrove memberikan

kontribusi terhadap aktivitas kepiting yang hidup di bawah tegakannya, yakni pemanfaatan serasah

mangrove oleh kepiting sebagai bahan makanannya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gorontalo Utara. 2010. Status Lingkungan Hidup Daerah

Kabupaten Gorontalo Utara (SLHD) Tahun 2010. Gorontalo Utara

Begen, D.G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir

dan Kelautan IPB. Bogor.

Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au,

diakses 30 November 2013).

Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 155 hal.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. dalam

Jurnal Ilmiah Litbang Pertanian. No. 23(1). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Sulawesi

Selatan.

Irwan Zoer’aini Dja al. 199 . Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hal.

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com. di akses 2

Februari 2008.

Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan,

Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Jakarta.

Kathiresan,. K and B.L. Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Advances In

Marine Biology Vol 40: 81-251.

Page 158: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

152

Katili, Abubakar Sidik, 2009. Struktur Vegetasi Mangrove Di Kecamatan Kwandang Kabupaten

Gorontalo Utara. Dalam Jurnal Pelangi Ilmu. No. 6 Vol. 2. September 2009. ISSN : 1979-

5262Forum Mahasiswa PascasarjanaGorontalo (PMPG) Yogyakarta.

Marianingtyas. 2009. Studi Pola Penyebaran Kepiting Di Perairan Surabaya. Tesis Tidak diterbitkan.

Surabaya. FMIPA, Istitut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Micheli, F. 1993. Feeding Ecology of Mangrove Crabs in North Eastern Australia : Mangrove Litter

Consumption by Sesarma messa and Sesarma smithii J. Exp. Biol. Ecol., 197: 165.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nyabakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

Odum, Eugene. 1971. Fundamental of Ecology. Saunders College Publishing, a division of hold, Rinehart

and Winston, Inc. 697 p.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove.

Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum.

Banyuasin.

Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat.

Departemen Kehutanan Fakultas Kehutanan USU. Medan.

Romimohtarto, Kasijan dan Sri Juawana. 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.

Sara, L. dkk. 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay,

Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science, (Online), Vol. 19; 331-347,

(www.asianfisheriessociety.org, diakses 8 Desember 2013).

Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 8 Desember 2013).

Soekardjo, S. 1993. Perilaku Ekosistem Mangrove dan Usaha Konservasi di Indonesia. dalam Buletin

Ilmiah Instiper. Vol. 4 No. 2 Oktober 1993. Yogyakarta.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Van Steenis, C.G.G.J. 1978. Ekologi (The Introductory Part to The Rhizophoraceae by Ding Huo). Flo.

Mal. 5 : 431-441.

http://nio.org.gif. 2008. Crab Life Cycle, (Online), (diakses 8 Desember 2013).

Page 159: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

153

ASOSIASI MAKROZOOBENTOS PADA PADANG LAMUN DI PANTAI MERTA SARI DAN

SINDHU, SANUR-BALI

THE ASSOCIATION OF MACROZOOBENTHOS WITH SEAGRASS BEDS IN MERTA SARI

AND SINDHU, SANUR-BALI

Gede Surya Indrawan1, Deny Suhernawan Yusup

1, Devi Ulinuha

2

1Jurusan Biologi F. MIPA Universitas Udayana 2Manajemen Sumberdaya Perairan, FKP Universitas Udayana

Email : [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun dan

tipe sedimen di pantai Merta Sari dan Sindhu. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember

2013 dan pengambilan sampel mengikuti tabel pasang surut pada saat air surut terendah. Pengambilan

sampel dilakukan dengan metode transek kuadrat yang terdiri dari 3 transek dan dibentangkan

sepanjang 300 m dengan interval antar transek 50 m. Hasil penelitian diperoleh 47 spesies dengan 9

kelas, nilai diversitas (H’) 4,38, keseragaman (E) 0,79, dominansi (C) 0,07. Tutupan lamun di pantai

pantai Sindhu 30,6 %, dan pantai Merta Sari 27,28 %. Tipe sedimen di kedua lokasi didominansi oleh

pasir kasar. Sebaran makrozoobentos di pantai Merta Sari menunjukkan asosiasi yang linier dengan

kepadatan tutupan lamun dan tipe sedimen gravel. Sebaran makrozoobentos pantai Sindhu tidak

menunjukkan asosiasi secara langsung dengan kepadatan tutupan lamun, tetapi lebih berasosiasi dengan

tipe sedimen gravel.

Kata kunci: asosiasi, padang lamun, makrozoobentos

ABSTRACT

A research on association of macrozoobentos seagrass beds and sediment types, was conducted

from October to December 2013. Sampling was carried out along three perpendicular transect ( each

300 m). This study observed 47 species with 9 classes, the indeks of H’ was 4,38, E was 0,79, and C was

0,07. Seagrass cover percentage was 30,6 % in Shindu beach and 27,28% in Merta Sari beach. The

sediment types were dominated by coarse sand. The distribution and density of macrozoobenthos in

Merta Sari beach seems to associated with seagrass cover percentage and gravel sediment types.

Distribution of macrozoobentos in Sindhu beach didn’t showed association with the density of seagrass

cover but association increased with gravel sediment types.

Keywords: association, seagrass beds, macrozoobenthos

PENDAHULUAN

Lamun merupakan tumbuhan berbunga serta mepunyai akar sejati yang dapat hidup pada daerah

salinitas cukup tinggi terutama di zona tidal dan subtidal (Dahuri, 2003; Kannan and Thangaradju, 2008).

Lamun dapat membentuk komunitas yang padat dan lebat yang dikenal dengan padang lamun (Kusnadi et

al., 2008). Secara ekologis maupun biologis peranan padang lamun dalam ekosistem sangat penting bagi

kehidupan biota laut. Biota laut seperti hewan invertebrata dan ikan-ikan kecil memanfaatkan lamun

Page 160: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

154

sebagai tempat berlindung dari serangan predator, tempat pemijahan, tempat pengasuhan serta tempat

mencari makan (Arifin dan Jompa, 2005; Manik, 2011).

Kawasan padang lamun mepunyai keanekeragaman yang tinggi, terdapat 153 jenis mikroalga,

359 makroalga dan 178 jenis invertebrata yang ditemukan di padang lamun (Kannan and Thangaradju,

2008). Invertebrata seperti makrozoobentos yang hidup pada padang lamun mempunyai peran penting

sebagai biondikator kualitas suatu perairan (Indarmawan dan Manan, 2011). Informasi penelitian tentang

lamun beserta biota laut yang berasosiasi sudah banyak dilakukan antara lain: asosiasi Krustasea di

ekosistem padang lamun perairan Teluk Lampung (Pratiwi, 2010); pemanfatan bulu babi secara

berkelanjutan pada kawasan padang lamun Sanur (Yulianto, 2012); distribusi horizontal Moluska di

kawasan padang lamun pantai Merta Segara Sanur, Denpasar (Istiqal et al., 2013). Tetapi sejauh ini masih

sedikit informasi hasil penelitian mengenai makrozoobentos yang berasosiasi dengan padang lamun di

Denpasar.

Makrozoobentos mencakup organisme yang dapat hidup dan menetap pada dasar perairan baik

pada permukaan sedimen atau dibawah sedimen (Hutabarat dan Evans, 1985). Struktur rantai makananan

pada ekosistem lamun sangat dipengaruhi oleh kelimpahan makrozoobentos, dan keberadaannya dapat

menggambarkan kestabilaan dan kemantapan ekosistem tersebut (Ruswahyuni, 2008; Wijayanti, 2007).

Perairan yang ekosistemnya terganggu dapat mempengaruhi kelangsungan hidup makrozoobentos karena

mobilitas yang terbatas dan mudah terpengaruhi oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar

biologi (organisme), fisik (suhu, tekstur sedimen, salinitas dan kandungan bahan organik di sedimen), dan

kimia (pH, O2, CO2) (Odum, 1993; Huda, 2005).

Kawasan pantai Merta Sari dan Sindhu, Sanur Denpasar Bali mempunyai kondisi kepadatan

tutupan lamun yang beragam. Kawasan perairan Sanur terdapat 8 jenis lamun yang sudah dapat

teridentifikasi Asy’ari 009 . Banyaknya aktifitas asyarakat ada kawasan tersebut se erti sebagai

tempat penambatan kapal, obyek pariwisata, upacara keagamaan dan pembuangan limbah dapat

mempunyai efek negatif terhadap komunitas padang lamun. Dampak negatif tersebut juga akan

berpengaruh terhadap makrozoobentos yang berasosiasi di dalamnya Oleh sebab itu perlu dilakukan

penelitian tentang struktur komunitas makrozoobentos yang berasosiasi pada padang lamun di kawasan

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun dan

tipe sedimen di pantai Merta Sari dan Sindhu.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2013 dan pengambilan sampel pada saat air

surut terendah. Proses pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat

(English et al.,1994). Tiap lokasi terdiri dari tiga transek tegak lurus pantai (antar transek 50 m) di bagi

menjadi 10 titik sampel dengan interval 30 m. Pada masing-masing titik sampel, kuadrat diletakkan secara

acak di kanan atau kiri transek. Variabel yang diamati adalah kepadatan tutupan lamun, makrozoobentos

yang masih hidup (di atas dan di dalam sedimen) dan tipe sedimen.

Pengambilan data sampel tutupan lamun menggunakan kuadrat 0,5 m x 0,5 m, kemudian pada

sampel lamun yang didapatkan dilakukan pengukuran dengan membandingkan kepadatan lamun dengan

menggunakan panduan Short et al (2006). Selanjutnya untuk mendapatkan persentase penutupan kawasan

lamun dianalisa dengan menggunakan metode Saito dan Atobe (English et al., 1994).

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada 5 titik (pojok dan tengah) pada kuadrat 5 m

x 5 m. Sedangkan pengamatan makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi

Universitas Udayana. Selanjutnya proses identifikasi makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan

acuan dari Dharma (1988, 1992), Colin and Arneson (1995), Mather and Bennett (1994).

Sampel sedimen diambil setiap kuadrat dan dimasukkan ke dalam saringan bertingkat sehingga

dapat dianalisa berdasarkan kriteria skala menurut McLachlan dan Brown (2006).

Page 161: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

155

HASIL

Tabel 1. Kepadatan jenis makrozoobentos (ind/m2) di pantai Merta Sari dan Sindhu

Phylum Kelas Family Jenis

Rata-rata

(ind/m2)

P. MS P. S

Echinodermata Asteroidea Oreasteridae Protoreaster nodusus 0,032 0

Pentaceraster regulus 0,007 0

Culcita novaeguinea 0,004 0

Ophidiasteridae Linckia sp. 0,003 0,001

Nardoa tuberculata 0 0,001

Echinoidea Diadematidae Diadema savignyi 0,004 0,001

Diadema setosum 0,001 0,007

Astropyga radiata 0,003 0

Toxopneustidae Toxopneustes sp. 0,001 0

Tripneustes gratilla 0,008 0,016

Echinometridae Echinometra mathaei 0,024 0,032

Holothuroidea Synaptidae Synaptula sp. 0,172 0,001

Holothuridae Holothuria atra 0,016 0

Ophiuroidea Ophiodermatidae Ophiarachna incrassata 0,059 0,025

Ophiocomidae Ophiarthum pictum 0,02 0

Ophiotrichidae Ophiothrix fragilis 0 0,169

Mollusca Gastropoda Nassariidae Nassarius corronatus 0,008 0,021

Volutidae Cymbiola vespertillo 0,004 0

Naticidae Polinices flemingana 0,008 0,012

Architectonicidae Architectonica sp. 0,001 0

Cerithiidae Cerithium aluco 0,012 0

Terebridae Terebra sp. 0 0,001

Pleurobranchidae Pleurobranchus forskalii 0 0,005

Conidae Conus virgo 0 0,007

Chormodoridae

Glossodoris

atromarginata 0 0,003

Olividae Oliva annulata 0 0,003

Bivalvia Cardiidae Vepricardium sinense 0,003 0

Arthropoda Malacostraca Portunidae Thalamita sp. 0,077 0,123

Portunus sp. 0 0,008

Xanthidae Etisus sp. 0,041 0,027

Pilumnidae Glabropilumnus sp. 0,019 0,045

Grapsidae Pachygrapsus sp. 0,023 0,016

Callappidae Matuta sp. 0,011 0,007

Callapa sp. 0 0,005

Page 162: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

156

Leucosiidae Philyra sp. 0,009 0,005

Majidae Schizophrys sp. 0,004 0,017

Hyastenus sp. 0,007 0

Alpheidae Alpheus sp. 0,017 0,055

Processidae Nikoides sp. 0,076 0,108

Gonodactylidae Gonodactylus sp. 0,003 0,001

Annelida Polychaeta Amphinomidae Eurythoe sp. 0,073 0,045

Chloeia sp. 0,005 0

Eunicidae Eunice sp. 0,013 0,019

Polynoidae Harmothoe sp. 0,001 0,004

Sipuncula Sipunculidea Sipunculidae Sipunculus sp. 0,047 0,019

Themistidae Themiste sp. 0,004 0,001

Phascolosomidae Phascolosoma sp. 0,001 0

P. MSG= Pantai Merta Segara; P. S= Pantai Sindhu

Tabel 2. Jumlah individu, jumlah jenis, indeks diversitas, keseragaman, dominansi, kepadatan

jenis makrozoobentos, dan kepadatan lamun di tiap lokasi

Pantai Merta Sari Pantai Sindhu

Jumlah individu 616 610

Jumlah jenis 38 33

H’ Indeks Diversitas) 4,17 3,9

E (Keseragaman) 0,79 0,77

C (Dominansi) 0,09 0,1

Kepadatan jenis makrozoobentos (ind/m2) 0,82 0,81

Kepadatan lamun (%) 27,28 30,6

Pantai Merta Segara dan Sindhu memiliki keanekaragaman yang baik dilihat dari hasil

pengamatan bahwa jumlah individu yang ditemukan di pantai Merta Segara termasuk dalam 9

kelas. Kelas dengan individu terbanyak adalah kelas Malacostraca, sedangkan kelas dengan

individu paling sedikit adalah kelas Bivalvia (Gambar 1 dan 2). Jumlah individu pada masing-

masing kelas yang berhasil ditemukan di atas dan dalam sedimen dapat dilihat pada Gambar 3

dan 4.

Page 163: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

157

Gambar 1. Jumlah individu perkelas makrozoobentos di pantai Merta Sari

Gambar 2. Jumlah individu perkelas makrozoobentos di pantai Sindhu

Gambar 3. Perbandingan makrozoobentos di atas dan dalam sedimen pantai Merta Sari

Page 164: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

158

Gambar 4. Perbandingan makrozoobentos di atas dan dalam sedimen pantai Sindhu

Makrozoobentos di pantai Merta Sari yang berada di atas permukaan sedimen ditemukan

sebanyak 290 individu dengan 5 kelas dan kelas dari Holothruidea banyak ditemukan, sedangkan yang di

dalam sedimen ditemukan 4 kelas dengan jumlah individu sebanyak 326 individu dan kelas yang banyak

ditemukan dari Malacostraca (Gambar 3). Pada pantai Sindhu di atas permukaan sedimen ditemukan 5

kelas juga yaitu Asteroidea, Holothuroidea, Ophiuroidea, Echinoidea, dan Gastropoda dengan jumlah

total sebanyak 226 individu. Sedangkan bagian dalam sedimen ditemukan 384 individu dengan 3 kelas

yaitu Malacostraca, Polychaeta, dan Sipunculidea. Pada pantai Sindhu tidak ditemukan kelas dari

Bivalvia (Gambar 4).

Asosiasi makrozoobentos dengan tutupan lamun di pantai Merta Sari, menunjukkan bahwa

sebaran kepadatan makrozoobentos memiliki korelasi positif dengan kepadatan tutupan lamun (Gambar

5A). Sedangkan pantai Sindhu menunjukkan bahwa sebaran kepadatan makrozoobentos korelasi negatif

dengan kepadatan tutupan lamun (Gambar 5B). Pada kedua pantai kepadatan makrozoobentos

menunjukkan korelasi positif dengan tipe sedimen gravel sepanjang kuadrat (Gambar 6 A dan B).

Gambar 5. Asosiasi kepadatan makrozoobentos dengan tutupan lamun pada pantai Merta Sari (A) dan

Sindhu (B)

Page 165: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

159

Gambar 6. Asosiasi kepadatan makrozoobentos (ind/m2) dengan tipe sedimen di pantai Merta Sari (A)

dan Sindhu (B)

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan total jenis yang didapatkan dari dua lokasi yaitu 47 jenis

dari 1226 individu makrozoobentos. Pantai Merta Sari e iliki indeks diversitas H’ 4 17 nilai tersebut

lebih tinggi dibandingkan dengan antai Sindhu yang hanya nilai indeks diversitas H’ 9. Bila dilihat

secara keseluruhan nilai indeks diversitasnya lebih dari 3, menggambarkan keanekaragaman yang tinggi

dan kondsi yang stabil. Perbandingan nilai diversitas yang didapatkan sesuai dengan jumlah jenis

makrozoobentos yang ditemukan, semakin banyak jumlah jenis yang ditemukan semakin tinggi nilai

indeks diversitasnya (Krebs, 1989).

Pantai Merta Sari dan Sindhu memiliki nilai indeks keseragaman (E) yang mendekati 1. Nilai

indeks keseragaman yang mendekati 1 ini menunjukan bahwa keseragaman pada setiap lokasi penelitian

tinggi dan memiliki penyebaran individu yang merata (Dahuri, 2003). Selain itu pada tiap lokasi tidak

terdapat jenis yang mendominansi, hal ini terlihat dari nilai dominansi (C) memiliki nilai di bawah 0,50.

Menurut Magurran (1988) kriteria 0,00 < C ≤ 0 50 eru akan do inansi rendah sedangkan 0 75 < C ≤

1,00 merupakan dominansi tinggi. Suatu kawasan pantai dengan perairan kondisi tidak tercemar akan

menunjukan keanekaragaman yang tinggi, keseragaman dan meratanya penyebaran individu, serta tidak

adanya spesies yang mendominansi (Wijayanti, 2007; Iswanti et al., 2012).

Jumlah jenis makrozoobentos pada kedua lokasi tergolong masih sedikit, bila dibandingkan

dengan kawasan lain seperti di estuaria Bontang Kuala Kota Bontang Kalimantan Timur ditemukan 104

spesies (Irawan, 2003) , sedangkan di perairan Pulau Barrang Lompo ditemukan 70 genus (Ira, 2011).

Namun jumlah jenis makrozoobentos di pantai Merta Sari (38 jenis) dan Sindhu (33 jenis) masih

tergolong tinggi. Hal ini bila dibandingkan dengan kawasan perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh

Besar hanya diperoleh 12 jenis makrozoobentos (Fadli et al., 2012), dan pantai Pererenan Kabupaten

Badung Bali hanya diperoleh 17 jenis makrozoobentos (Wiratmini, 2008). Perbedaan jumlah jenis dalam

Page 166: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

160

setiap perairan dapat disebabkan karena faktor lingkungan, seperti kondisi kepadatan tutupan lamun, tipe

sedimen, aktifitas masyarakat, dan bahan pencemar (Nybakken, 1988; Huda, 2005).

Kepadatan makrozoobentos pada pantai Merta Sari berkisar 0,001-0,172 ind/m2, jenis Synaptula

sp. dan Thalamita sp. yang paling banyak ditemukan. Sedangkan di pantai Sidhu kepadatan

makrozoobentos berkisar dari 0,001-0,169 ind/m2, dengan jenis Thalamita sp., Ophiotrix fragilis, dan

Nikoides Sp. yang banyak ditemukan. Banyaknya jenis Thalamita sp. pada kedua lokasi disebabkan

karena jenis tersebut saat pasang surut mempunyai adaptasi yang baik dengan bersembunyi dengan cepat

dibawah sedimen atau patahan-patahan karang sehingga terhindar dari predator dan gelombang

(Nybakken, 1988). Selain itu, jenis ini belum diketahui nilai ekonomisnya sehingga tidak dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat (Patang, 2012).

Banyaknya ditemukan kelas Malacostraca dikedua lokasi dan berlimpah didalam sedimen dapat

disebabkan perilaku menggali sedimen saat terjadi pasang surut untuk menghindari paparan cahaya dan

gelombang (Nybakken, 1988). Malacostraca yang mencakup beberapa jenis udang dan kepiting menurut

informasi setempat belum mempunyai nilai ekonomis sehingga tidak terjadi pemanfaatan oleh

masyarakat. Selain itu, melimpahnya makrozoobentos dalam sedimen dapat memyebabkan keseimbangan

ekosistem. Ketersediaan unsur hara yang cukup untuk lamun karena lubang-lubang yang dibuat

meningkatkan penyerapan unsur hara dan oksigen kedalam substrat , serta menggambarkan sedikitnya

kandungan anorganik (Ira, 2011; Taqwa, 2010).

Makrozobentos di atas sedimen pada pantai Merta Sari banyak ditemukan kelas Holothuroidea

sedangkan pantai Sindhu dari kelas Ophioroidea. Banyaknya jumlah individu dari kelas tersebut karena

mampu beradaptasi terhadap kepadatan lamun yang berguna sebagai tempat berlindung dan mencari

makan, selain itu tipe sedimen yang berpasir menjadi habitat yang sesuai (Wulandari et al., 2012).

Sedikitnya jumlah individu dari kelas Bivalvia di atas dan di dalam sedimen pada kedua lokasi, hal ini

diduga karena adanya penangkapan oleh masyarakat untuk konsumsi. Akibat adanya nilai ekonomis akan

mempunyai dampak terhadap penangkapan yang mengarah ke eksploitasi (Patang, 2012). Perilaku

Bivalvia dengan mengguburkan diri tidak dapat dilakukan secara optimal karena tipe sedimen yang

sedikit berlumpur dan adanya pengaruh faktor lingkungan (Riniatsih dan Widianingsih, 2007).

Asosiasi kepadatan makrozoobentos dengan peningkatan tutupan lamun dari tepi ke arah tubir di

pantai Merta Sari secara rata-rata menunjukkan hubungan yang linear (Gambar 5). Sehingga terdapat

asosiasi saling menguntungkan yang menggambarkan adanya suatu hubungan organisme terhadap

lingkungannya dan sumber makanannya dalam suatu ekosistem (Nybakken, 1988). Menurut Irawan

(2011) peningkatan pola tutupan lamun dalam suatu kawasan mempengaruhi jumlah jenis dan kepadatan

makrozoobentos. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ira (2011) menyatakan meningkatnya kelimpahan

makrozoobentos yang berasosiasi pada lamun diikuti juga peningkatan kerapatan tutupan lamun karena

meningkat pula bahan total organic yang tersedia pada kawasan tersebut.

Di pantai Sindhu menunjukkan kepadatan makrozoobentos dengan tutupan lamun tidak terlihat

hubungan yang linear (Gambar 5B). Menurunnya pola tutupan lamun dari tepi kearah tubir, dapat

disebabkan faktor lingkungan dan manusia. Faktor lingkungan seperti tipe sedimen berbatu atau banyak

patahan karang tidak sesuai dengan habitat lamun karena akar lamun tidak dapat menembus permukaan

sedimen (Dahuri, 2003). Sedangkan faktor manusia seperti adanya jalur kapal dan tambatan kapal tanpa

memperhatikan kondisi padang lamun akan memberikan dampak negatif. Dampak negatif seperti akibat

terhalangnya sinar matahari dapat memperlambat pertumbuhan lamun serta akibat baling-baling kapal

merusak secara fisik tumbuhan lamun (Short et al., 2006). Namun meningkatnya kepadatan

makrozoobentos dipengaruhi oleh tipe sedimen, bahwa zona berbatu dapat memberikan tempat

berlindung dari hembasan gelombang (Hutabarat dan Evanas 1985; Nybakken, 1988).

Sedimen mempunyai peran penting sebagai tingkat keberhasilan hidup makrozoobentos, kedua

lokasi memiliki tipe sedimen yang didominansi tipe sedimen pasir kasar. Hal ini menunjukkan bahwa

aliran air di kawasan tersebut relatif sedang. Tekstur sedimen berpasir dalam perairan mempengaruhi

Page 167: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

161

ketersediaan oksigen dan makanan yang berguna untuk makrozoobentos, serta mempengaruhi

penyebaran, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme (Sanusi, 2006).

Adanya faktor lain seperti arus mempunyai dampak terhadap tipe sedimen yang ditempati oleh

makrozoobentos. Ini dilihat dari tepi kearah tubir terjadi peningkatan tipe sedimen gravel dan peningkatan

kepadatan makrozoobentos pada kedua lokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kepadatan

makrozoobentos nampak linier untuk pengaruh arus karena tipe sedimen gravel menyediakan tempat

berlindung untuk makrozoobentos. Bila arus yang lemah akan membuat sedimen dominan lumpur dan

tanah organik, sedangkan arus yang kuat tipe sedimennya dominan gravel dan batu. Sehinggga terjadi

pengelompokan dan sebaran makrozoobentos yang berbeda akibat adanya tipe karakteristik sedimen

(Fadli et al., 2012).

SIMPULAN

Kondisi ko unitas akrozoobentos ada adang la un di kedua lokasi tergolong stabil H’:

4,38, E: 0,79, C: 0,07) dan sebaran kepadatan makrozoobentos linear dengan tipe sedimen. Sebaran

makrozoobentos di pantai Merta Sari menunjukkan asosiasi yang linier dengan kepadatan tutupan lamun,

sedangkan di pantai Sindhu tidak menunjukkan asosiasi secara langsung dengan kepadatan tutupan

lamun.

KEPUSTAKAAN

Arifin. dan J. Jompa. 2005. Studi Kondisi dan Potensi Ekosistem Padang Lamun Sebagai Daerah Asuhan

Biota Laut. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 12 (2): 73-79

Asy'ari, H. 2009. Studi Sebaran Spasial Tumbuhan Lamun di Pantai sekitar Denpasar. Jurusan

Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. (Skripsi).

Tidak Dipublikasikan.

Colin, P. L. and A. C. Anerson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press. U. S. A.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut (Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia). Jakarta :

PT Gramedia Pustaka Utama.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell. Jakarta. PT. Sarana Graha

1992. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell II. Jakata. PT. Sarana Graha

English, S., C. Wilkinson. and V. J. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources.

Australia: ASEAN-Australia Marine Project

Fadli, N., I. Setiawan. dan N. Fadhilah. 2012. Keragaman Makrozoobentos di Perairan Kuala Gigieng

Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Depik. 1 (1): 45-52

Huda, Q. 2005. Kondisi Pantai Geger Desa Bualu Kecamatan Kuta Selatan Dilihat Dari Komunitas

Padang Lamun dan Makrozoobentos Serta Implikasinya Dalam Pengelolaan Pantai. Jurusan

Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. (Skripsi). Tidak

Dipublikasikan.

Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Indarmawan, T. dan A. Manan. 2011. Pemantauan Lingkungan Estuaria Perancak Berdasarkan Sebaran

Makrzoobenthos. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3 (2): 215-220

Page 168: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

162

Ira. 2011. Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik dengan

Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo. Program Studi Ilmu

Kelautan Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tesis).

Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos Berdasarkan Letak Padang Lamun di Estuaria Bontang Kuala

Kota Bontang Kalimantan Timur. Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana. Institut

Pertanian Bogor. (Tesis).

Istiqal, B. A., D. S. Yusup. dan N. M. Suartini. 2013. Distribusi Horizontal Moluska di Kawasan Padang

Lamun Pantai Merta Segara Sanur, Denpasar. Journal of Biology. 17 (1): 10-14

Iswanti, S., S. Ngabekt. dan N. K. T. Martuti. 2012. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis

Makrozoobentos di Sungai Damar Desa Weleri Kabupaten Kendal. Unnes Journal of Life

Science. 1 (2): 86-93

Kannan, L. and T. Thangaradjou. 2008. Seagrases. Centre of Advanced Study in Marine Biology.

Annamalai University.

Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper and Row Publisher.694 p

Kusnadi, A., U. E. Hermawan. Dan T. Tiandiza. 2008. Inventarisasi Spesies dan Potensi Moluska Padang

Lamun Kepulauan Kei Kecil, Maluku Utara. Biodiversitas. 9 (1): 30-34

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey: Princetown Press.

Manik, N. 2011. Struktur Komunitas Ikan di Kawasan Padang Lamun Kecamatan Wori, Sulawesi

Selatan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 37 (1): 29-41

Mather, P. and I. Bennett. 1994. A Guide To The Geology, Flora And Fauna Of The Great Barrier Reef.

Surrey Beatty and Sons Pty Limited. Australia.

Mclachlan, A dan A. C. Brown. 2006. The Ecology of Sandy Shore. Elsevier Inc. USA

Nybakken, J. W. 1988. Ekologi Laut Suatu Pendekatan Ekolgi. PT. Gramedia. Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah Ir. Tjahjono Samingan, M.Sc. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.

Patang, F. 2012. Makrozoobentos Yang Bernilai Ekonomis di Pesisir Pantai Lamaru Balikpapan.

Mulawarman Scientifie. 11 (2) : 229-235

Pratiwi, R. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Lampung. Ilmu

Kelautan. 15 (2): 66-76

Riniatsih, I. dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan Dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalve) di

Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Kelautan. 12 (1): 53-58

Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Yang Berasosiasi Dengan Lamun Pada Pantai

Berpasir di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2) : 33-36

Sanusi H. S. 2006. Kimia Laut (Proses Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan). Departemen Ilmu

dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Short, F. T., L. J. McKenzie., R. G. Coles., K. P. Vidler. and J. L. Gaeckle. 2006. SeagrassNet Manual for

Scientific Monitoring of Seagrass Habitat, Worldwide Edition. University of New Hampshire

Publication. 75 pp.

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrozoobentos

Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota

Tarakan, Kalimantan Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Pantai. Program

Pascasarjana. Universitas Diponogoro. Semarang. (Tesis).

Page 169: repositori.unud.ac.id · i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara

163

Wijayanti, H. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan Komunitas

Hewan Makrozoobentos. Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Program

Pascasarjana. Universitas Diponogoro. Semarang. (Tesis).

Wulandari, N., M. Krisanti. dan D. Elfidasari. 2012. Keragaman Teripang Asal Pulau Pramuka,

Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. Unnes Journal of life science. 1 (2): 133 -139

Wiratmini, N. I., J. Wiryatno. dan A. A. G. R. Dalem. 2008. Makrozoobentos Pantai Pererenan

(Kabupaten Badung): Jenis, Status dan Manfaatnya Bagi Masyarakat. Jurnal Bumi Lestari, 8 (2):

176-179

Yulianto, A. R. 2012. Pemanfaatan Bulu Babi Secara Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun.

Jakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. (Tesis).