I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia...

24
POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA: INDONESIANISASI HUKUM ISLAM* Oleh: Kamsi I. Pengantar Topik ini didasarkan pada asumsi, bahwa hukum Islam --fikih Indonesia--, didasarkan pada kepribadian Indonesia sesuai tabiat dan watak Indonesia dengan mengefektifkan ijtihad. 1 Itu berarti menjembatani antara pilar ulama dan umara, sekaligus menghubungkan agama dan negara. 2 Dengan demikian fikih Indonesia merupakan bentuk hubungan diadik antara pendekatan “Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah“ (Fikih) dan “Keindonesiaan“ (Indonesia) itu sendiri. 3 Mengindonesiakan hukum Islam (Indonesianization of Islamic law) mengandung dua kecenderungan; pertama, adalah cita-cita membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam. Puncaknya ditandai dengan munculnya konsep fikih (hukum Islam) Indonesia. Kecenderungan kedua adalah keindonesiaan yang berorientasi konstitusional, yakni memformulasikan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan melalui konsensus (Ijma`) ulama Indonesia. 4 Dengan proses demikian hukum Islam menjadi hukum nasional. Untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat, salah satunya: semua gagasan harus masuk dalam bingkai tata hukum Indonesia ( tanpa perlu menyebut Islam). Hukum bagi kelompok mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan, * Studium General Mahasiswa PPs UMS pada tanggal 8 Februari 2020. 1 Mukti Ali ,“Sambutan“, dalam Nourouzzaman Shiddieqy, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Biografi, Perjuangan dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), hlm. vii. 2 Ibid., hlm. iv. 3 Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawesea Press, 2011), hlm. 28. 4 Yudian W. Asmin,“Reorientation of Indonesian Fiqh“,dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fikih Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 37.

Transcript of I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia...

Page 1: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA:INDONESIANISASI HUKUM ISLAM*

Oleh:Kamsi

I. Pengantar

Topik ini didasarkan pada asumsi, bahwa hukum Islam --fikih Indonesia--, didasarkan

pada kepribadian Indonesia sesuai tabiat dan watak Indonesia dengan mengefektifkan ijtihad.1

Itu berarti menjembatani antara pilar ulama dan umara, sekaligus menghubungkan agama dan

negara.2 Dengan demikian fikih Indonesia merupakan bentuk hubungan diadik antara

pendekatan “Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah“ (Fikih) dan “Keindonesiaan“

(Indonesia) itu sendiri.3

Mengindonesiakan hukum Islam (Indonesianization of Islamic law) mengandung dua

kecenderungan; pertama, adalah cita-cita membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia

dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam. Puncaknya ditandai

dengan munculnya konsep fikih (hukum Islam) Indonesia. Kecenderungan kedua adalah

keindonesiaan yang berorientasi konstitusional, yakni memformulasikan hukum Islam dalam

bentuk peraturan perundang-undangan melalui konsensus (Ijma`) ulama Indonesia.4 Dengan

proses demikian hukum Islam menjadi hukum nasional.

Untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat, salah

satunya: semua gagasan harus masuk dalam bingkai tata hukum Indonesia ( tanpa perlu

menyebut Islam). Hukum bagi kelompok mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan,

* Studium General Mahasiswa PPs UMS pada tanggal 8 Februari 2020.1Mukti Ali ,“Sambutan“, dalam Nourouzzaman Shiddieqy, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya,

Biografi, Perjuangan dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta: PustakaPelajar,1997), hlm. vii.

2Ibid., hlm. iv.3 Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika

(Yogyakarta: Nawesea Press, 2011), hlm. 28.4 Yudian W. Asmin,“Reorientation of Indonesian Fiqh“,dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fikih

Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam FakultasSyari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 37.

Page 2: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

1

dengan tujuan harus selalu dalam rangka memperkuat negara berdasarkan Pancasila.5

Terminologi Indonesianisasi hukum Islam telah jamak digunakan dalam literatur hukum Islam

di Indonesia seperti terlihat dalam pembahasan Undang–Undang Peradilan Agama di Indonesia

sebagaimana ditulis oleh Mark Cammack.6

Dalam tata hukum di Indonesia, hukum akan dapat diberlakukan jika telah ditetapkan

oleh lembaga negara seperti parlemen, sebaliknya hukum yang belum ditetapkan oleh lembaga

negara yang berwenang secara kategoris tidak dapat disebut hukum meskipun secara harfiyah

disebut hukum.7 Untuk itu, upaya untuk memperjuangkan hukum Islam menjadi hukum positif

merupakan bagian Indonesianisasi hukum Islam. Dengan kata lain Indonesianisasi hukum Islam

yaitu legislasi atau positivisasi hukum Islam melalui instrumen hukum sebagaimana tata hukum

Indonesia yang bisa melahirkan inklusivisme dan toleransi yang dibarengi pluralisme.

Kaitan dengan kontribusi hukum Islam terhadap pembangunan hukum nasional perlu

diformulasikan konsep kesamaan paradigma dalam upaya Indonesianisasi hukum Islam menjadi

hukum Islam sesuai tata hukum Indonesia. Dan dalam forum yang terhormat ini izinkanlah

kami untuk ikut mendorong upaya-upaya tersebut, khususnya Indonesianisasi hukum Islam

menuju positivisasi atau menjadi produk legislasi hukum Islam.

II. Konseptualisasi Indonesianisasi Hukum Islam di Indonesia

UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat). Hal ini mengisyratkan dengan tegas bahwa hukum

harus memainkan peran yang sangat penting dan menentukan untuk mewujudkan cita-cita

bangsa Indonesia. Di dalamnya sekaligus mengisyaratkan pentingnya politik hukum Islam di

Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan “ segala badan negara dan peraturan

yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Artinya secara konstitusional hukum Islam tetap berlaku seperti sebelum kemerdekaan.

5Lihat Akh. Minhaji, “Modern Trendsin Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson’s Life and Thought”, al-Jami`ah, Vol. 39 No.1. January-Juni 2001, hlm. 271-272.

6Mark Cammack, “Indonesia's 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonesianizationof Islam?” dalam Arskal Salim dan Azyumardi A zra (ed.), Shari`a and Polutics in Modern Indonesia, Singapore:Institute Of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 96.

7 Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat Dan Hukum Islam” dalamJurnal Al-Jami`ah, IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999, hlm.35.

Page 3: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

2

Penggantian atau perubahan hukum tidaklah mudah dan membutuhkan justifikasi bagi tetap

berlakunya hukum produk kolonial kendati hanya untuk sementara. Rumusan justifikasi yang

demikian jelas memberikan dorongan agar Pemerintah Indonesia segera membuat produk-

produk hukum yang sesuai dengan UUD 1945 dan menghapus semua produk hukum

peninggalan kolonial, terutama yang tidak sejalan dengan UUD 1945.8 Pada waktu yang sama

Pemerintah Indonesia harus menyeleksi hukum-hukum produk kolonial secara cermat jika ada

produk hukum yang tetap dipertahankan karena sangat mungkin di antara produk-produk hukum

kolonial itu memiliki nilai universal sehingga tetap dipertahankan berlakunya di Indonesia. Dasar

konstitusional ini menjadi tugas bangsa Indonesia melalui politik hukum yang berakar pada

filosofi dan budayanya sendiri, satu tugas yang tak ringan karena menyangkut banyak dimensi.9

Dari sudut pandang hukum, patut disadari bahwa Republik Indonesia yang

diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda,

bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Yang

dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih berlaku dalam ketentuan Pasal II Aturan

Peralihan UUD 1945, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, bukan

peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula kelanjutan

peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir sebelum terbentuknya negara

Republik Indonesia. 10

Keberadaan dan berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat secara

konstitusional berdasarkan pada tiga alasan. Pertama, alasan filosofis. Ajaran Islam merupakan

pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai

peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis.

Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan

kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan.

8Moh. MahfudM.D., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 329Ibid.10 Yusril Ihza Mahendra, ‘Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia”, dalam

Seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara oleh Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah, pada tanggal 5 Desember 2005.

Page 4: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

3

Dan ketiga, alasan yuridis sebagaimana tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 yang

memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.11

Secara umum kedudukan hukum Islam di Indonesia tidak hanya ada dalam Pasal 20 atau 24 UUD

1945 (di samping hukum-hukum lainnya), tetapi secara khusus tercantum juga dalam Pasal 29 ayat (1)

UUD 1945. Maka dalam pembangunan politik hukum nasional kedudukan hukum Islam selain terlihat

sebagaimana disebut di atas, juga terlihat dalam sejumlah aturan-aturan lainnya:

Pertama pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menyatakan bahwa

penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-

faktor agama. Tetapi sampai dengan awal pemerintahan Orde Baru (tanggal 27 Maret 1968) –

saat Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tidak lagi berlaku—tak satupun muncul undang-

undang dalam bidang perkawinan dan kewarisan walaupun Lembaga Pembinaan Hukum

Nasional telah menyiapkan RUU Peraturan Lengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum

Perkawinan, dan RUU Hukum Waris.12

Kedua, Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun

Bidang Hukum di dalamnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan salah satu komponen

tata hukum Indonesia dan menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional

Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13

Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang merupakan

produk era reformasi ditegaskan bahwa arah kebijakan hukum nasional, secara garis besar

bersumber hukum adat, hukum agama (dalam hal ini hukum Islam) dan hukum Barat.

Kempat, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

Dijelaskan bahwa pembangunan hukum nasioanal harus memperhatikan kesadaran hukum dalam

masyarakat dan tuntutan agar pembentukan hukum nasional memenuhi nilai sosiologis yang

sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa

pembentukan hukum nasional harus merujuk pada hukum yang hidup di masyarakat. Hukum

11Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam diIndonesia”, dalam Mimbar Hukum, Nomor. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994),hlm. 94-106.

12Isma`il Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam AmrullahAhmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H,(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 135.

13Muhammad Zainal Abidin, Kedudukan Hukum Islam dalam Negara RepublikIndonesia,http://www.masbied.com/2010/06/04/kedudukan-hukum-islam-dalam-negara-republik-indonesia/.Diakses tanggal 16 Mei 2011.

Page 5: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

4

Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarkat dan dianut oleh mayoritas waraga negara

Republik Indonesia juga merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia dan menjadi

salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional. Untuk itu setiap aturan hukum harus mengikuti

prosedur konstitusional dan sejalan norma hukum serta cita-cita hukum di Indonesia.14

Dengan melihat posisi hukum Islam dari aspek politik yang telah demikian kokoh

tersebut, maka dalam praktek, kita menjumpai hal-hal sebagai berikut: pertama, Peran hukum

Islam dalam mengisi kekosongan hukum positif. Hal ini terlihat dengan diberlakukan hukum

Islam bagi pemeluknya menjadi hukum positif oleh pemerintah melalui pengesahan beberapa

peraturan perundang-undangan.15 Berdasarkan itu hukum Islam telah mengisi kekosongan

hukum bagi umat Islam (lex spesialis) dalam bidang-bidang hukum keluarga, hukum waris,

perwakafan dan zakat. Kedua, Peran hukum Islam memberikan kontribusi dalam sumber nilai

terhadap pembuatan hukum nasioanal. Hukum tersebut berlaku bagi seluruh warga Negara

Indonesia (lex generalis). Sebagai sumber nilai aturan hukum yang akan dibuat, hukum Islam

tidak hanya terbatas pada bidang hukum perdata, tetapi dapat berlaku pula pada bidang hukum

yang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara. Untuk itu

hukum Islam benar-benar berperan sebagai sumber hukum.16

III. Akar Konflik Indonesianisasi Hukum Islam.

Sebagai bagian dari kehidupan manusia di mana pun, mereka tak pernah terbebas dari

konflik, baik dalam skala pribadi, keluaraga maupun kelembagaan17, termasuk lembaga hukum.

14Didi Kusnadi,“Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum)dalamhttp:// www.jevuskacom/topic/hukum+islam+di+indonesia+tradisi+pemikiran+politik+hukum+dan+produk.html. Diakses 15 Mei 2011.

15Dalam kenyataan sekarang ini terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formalmaupun materiel tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974tentang Perkawinan, (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, (3) Undang-Undang Nomor 7tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Undang-UndangNomor 10 Tahun1998 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan danUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya BankSyariah, (5) Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (6) Undang-Undang Nomor 17 tahun1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan (7) Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat danUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 38 tahun1999 tentang Pengelolaan Zakat.

16 LihatIchtiyanto, "Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia," dalam Eddi Rudiana Ariefdkk,, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm.97

17Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional RevitalisasiAgama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, Kerjasama Program Pascasarjana UIN Sunan Kaliaga DenganPemerintah Propinsi Gorontalo, (Yogyakarta: UIN Sunan Kaliaga Yogyakarta, 2008), hlm. 1.

Page 6: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

5

Secara historis tersemai konflik dalam problem penenerapan syariat Islam, baik melalui jalur

politik dan konstitusi maupun melalui perjuangan fisik, dan hal itu telah menjadi bagian dari

sejarah panjang perjuangan umat Islam di negeri ini. Namun demikian kenyataan sosial politik

menujukkan bahwa gagasan semacam itu tidak pernah mendapat dukungan mayoritas penduduk

Indonesia. Oleh banyak pengamat fenomena ini dianggap aneh, sebab Indonesia dikenal sebagai

negeri dengan penganut Islam terbesar di dunia. Pertanyaan yang patut kita renungkan:

bagaimana mungkin di negeri yang mayoritas penduduk muslim gagasan penegakkan syariat

Islam tidak pernah mendapat sambutan serius.18

Kenyataan politik menunjukkan bahwa Indonesia secara konstitusional bukan negara

Islam melainkan negara Pancasila. Oleh karenanya, tidaklah mungkin secara formal

kelembagaan umat Islam mewujudkan seutuhnya prinsip Islam tentang hukum terutama dalam

bentuknya yang resmi.19

Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus

dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi masyarakat luas

sehingga produk hukumnya sesuai dengan hati nurani rakyat. Jalannya roda kenegaraan tidak

dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan

yang senantiasa memainkan peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah

ditentukan. Namun dalam pelaksanaannya satu sama lain sering berbenturan karena kekuasaan

yang dijalankan tersebut berhubungan erat dengan kekuasaan politik yang sedang bermain.

Dalam sebuah negara, kekuasaan hukum dan politik merupakan satu kesatuan yang sulit untuk

dipisahkan, karena semua komponen tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda

kenegaraan dan pemerintahan.20 Karena itu perlu dicari akar konfliknya, yaitu

perbedaan21tersebut bisa terjadi juga pada upaya positivisasi hukum (Islam).

Hal yang menarik bahkan unik persoalan positivisasi hukum Islamtidak bisa lepas dari

wacana dan perdebatan tentang konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam sebagai

18Ahmad Faissal, “Rekonstruksi Syariat Islam (Kajian Tentang Pandangan Ulama Terhadap GagasanPenegakkan Syuar`at Islam Oleh KPPSI di Sulawesi Selatan”, Disertasi Doktor Program Pascasarjana UIN SunanKaliaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004) hlm. 2-3.

19Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam” hlm. 4320Firdaus, “Politik Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum)”, dalam Jurrnal

Hukum Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005, hlm. 49-50..21Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional Revitalisasi

Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, hlm. 1.

Page 7: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

6

dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan hukum lain yang juga

berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.22Berdasarkan catatan sejarah bangkitnya

nasionalisme Indonesia, pada masa tersebut ditandai dengan munculnya pergerakan yang

berjuang melawan kolonial Belanda dan Jepang untuk segera bebas dari cengkeraman penjajah.

Dalam perjuangan ini Islam mempunyai peran penting dalam menentukan eksistensi negeri ini

dan perdebatan tentang apakah negara merdeka kelak berideologi Islam atau non Islam dapat

diikuti dalam catatan-catatan sejarah nasional kita.

Pertama, pada tahun 1916, muncul heboh Jawi Hisworo, yaitu pertarungan politik antara

perjuangan ideologi non Islam melawan Islam. Ketika itu sebuah koran berbahasa Jawa Jawi

Hisworo memuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad dengan mengatakannya sebagai

pemabuk dan pemadat yang tentu saja kemudian membangkitkan umat Islam untuk membela

haknya disertai muatan gagasan bahwa masyarakat perlu diatur secara Islam, seperti yang

disyariatkan melalui Nabi Muhammad Saw. Gerakan ini secara gencar disuarakan oleh Sarekat

Islam. Menghadapi reaksi umat Islam seperti ini pada tahun 1918 pendukung Jawi Hisworo

membentuk Panitia Kebangsaan Jawa. Panitia ini mengecam gerakan kelompok Sarekat Islam

dalam kehidupan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini

menandaskan bahwa politik dan agama harus dipisah, sedang kelompok Sarekat Islam justru

ingin mengaitkan politik dengan agama (Islam).

Kedua, Polemik antara Soekarno dan Natsir23 tentang Islam dan Negara. Polemik ini

diawali dari tulisan Soekarno dalam Panji Islam dengan judul Memudakan Pengertian Islam.

Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas Mansur yang berjudul

Memperhatikan Gerakan Pemuda di dalam Majalah Adil dan Panji Islam. Tulisan Soekarno

berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-

pengertiannya. Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu diperbaharui dan

tidak dipertahankan secara kolot sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu menyesuaikan

22 Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam Syamsul Anwar, AntologiPemikiran Hukum Islam di Indonesia antara Idealitas dan Realitas, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN SunanKalijaga, 2008), hlm. 60.

23Polemik antara dua tokoh ini juga terjadi pada masa pascakemerdekan hanya saja objeknya kebijakanmerebut Irian Barat. Mereka berbeda pemikiran strategi politik walaupun mempunyai dampak yang sama, yaituujungnya pada persoalan ideologi antara Nasionalis dengan Islam. Lihat A. Syafii Maarfif, Islam dan Politik diIndonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) hlm. 73-77

Page 8: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

7

dengan kultur dan perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan. Selain itu

Soekarno juga menyinggung hubungan negara dengan agama, yaitu demi kebaikan bahwa

agama dan negara keduanya harus dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal at-Taturk

pada tahun 1928. Tulisan Soekarno selanjutnya ditanggapi oleh Natsir dengan nama samaran

Muchlis dalam Majalah al-Manar dan Panji Islam dengan judul Perskot dengan melontarkan

keheranannya terhadap Soekarno yang mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan

negara dengan agama, dan mengapa pula Soekarno menolak persatuan negara dan agama

dengan alasan tidak ada ijmak. Maka dalam tulisannya Natsir membalik logika Soekarno

tentang ijmak dengan menanyakan, kalau tidak ada ijmak tentang persatuan negara dan agama,

maka adakah ijmak tentang keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena itu

pandangan Soekarno harus ditolak karena tidak ada ijmak.24

Ketiga. Perdebatan formal di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

(BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April 1945 maupun dalam Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), suatu badan yang dibentuk untuk menyatakan

kemerdekaan, melakukan pengalihan kekuasaan, mensahkan konstitusi, dan membentuk

pemerintahan bagi Indonesia jika akan merdeka.25. Di sinilah puncak pertentangan tampak

semakin jelas ketika proses pembentukan dasar negara Republik Indonesia. Pertentangan-

pertentangan seperti ini, selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya hasil

maksimal dari proses devide et empera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat

kedudukannya.26 Dengan kata lain ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis

menjadi jelas ketika Jepang membentuk BPUPKI dan sidang-sidangnya ketika membahas

dasar negara, dengan bentuk kolaborasi dengan beberapa kelompok bangsa Indonesia. Ketika

itu bangsa Indonesia setidak-tidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kelompok yaitu

elite nasionalis, elite priyayi, dan elite Islam. Dalam melangsungkan kolaborasinya, ketiga

24 Diliar Noer, Gearakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 296.25Ibid. hlm. 66.26 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pedudukan Jepang, alih

bahasa: Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 185.

Page 9: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

8

kelompok ini diakomodasi secara bergantian,27 sehingga sejak itu hubungan politik Islam dan

negara terjadi saling curiga mencurigai yang melahirkan hubungan antagonistik.28

Pada sidang pleno ke-2 tanggal 10-16 Juli 1945 dicapai kesepakatan tentang dasar

negara dan UUD negara yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945. Piagam Jakarta yang

dituangkan dalam rancangan Mukadimah mengakomodasi Islam sebagai dasar negara

khusus bagi umat Islam, yang dimasukkan di dalam sila pertama dengan kalimat

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya.”

Terlepas dari isinya yang memang tak diperdebatkan, penyusun Mukadimah

dengan Piagam Jakarta dijelaskan oleh kedua sumber buku secara berbeda. Menurut

keterangan Yamin, Piagam Jakarta itu disusun oleh Panitia Sembilan yang ditunjuk oleh

BPUPKI pada sidang tanggal 1 Juni 1945,29 tetapi menurut AB Kusuma dikemukakan

bahwa sebenarnya Panitia Sembilan itu tidak pernah dibentuk oleh BPUPKI, melainkan

dibentuk secara spontan dan tidak prosedural oleh Soekarno karena perkembangan situasi

Perang Dunia II yang sedang memanas pada saat itu. Pendapat AB Kusuma ini didasarkan

pada isi pidato Bung Karno sendiri yang meminta maaf kepada sidang BPUPKI karena

telah mengumpulkan 9 orang secara tidak prosedural untuk menyusun rancangan

Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul “Mukadimah”, oleh Yamin diberi

nama “Piagam Jakarta” dan oleh Dr. Sukiman disebut dengan Gentlemen`s Agreement

karena belum menjadi keputusan BPUPKI.30.

Perebutan pengaruh politik antar dua kubu, yaitu Islam dan nasionalis tampak ketat

yang demikian terlihat dalam perdebatan pada sidang-sidang di BPUPKI/PPKI. Kelompok

Islam menyatakan bahwa Indonesia kelak harus menjadi negara Islam atau Islam menjadi

ideologi negara. Kelompok nasionalis mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan

nasional. Dalam perkembangan berikutnya kelompok Islam pecah menjadi dua, yaitu kubu

yang tetap ingin ideal dengan cita-cita negara Islam dan kubu yang bersikap akomodatif.

Sementara kelompok Nasionalis pecah menjadi dua juga, yakni nasionalis sekuler dan

27Ibid., hlm. 209 dan 243.28Hubungan Antagonistik, adalah pola hubungan yang mencerminkan hubungan yang hegemonik anatara

Islam dengan pemerintah. Dapat dilihat dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: SebuahKajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9.

29Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia....”, .hlm. 66.30MR. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 21.

Page 10: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

9

nasionalis agamis. Kelompok Islam akomodasionis inilah yang sekarang bersama dengan

nasionalis agamis berusaha untuk memperjuangkan Islam bukan dari labelnya tetapi

substansialnya.31

Perdebatan ini merupakan polemik yang tidak pernah berkesudahan sejak

BPUPKI/PPKI pada tahun 1945, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan bahkan sampai

pada Orde Reformasi tema ini muncul kembali melalui perdebatan pasal 29 UUD 1945

yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR . Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai

Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan

umum mereka bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam batang tubuh

UUD 1945, khususnya pasal 29. Mereka menegaskan dengan ditambahkannya tujuh kata

seperti dalam Piagam Jakarta itu tidak berarti akan terbentuknya negara Islam.32

IV. Indonesianisasi Hukum Islam Indonesia

Perjalanan hukum Islam dalam tata hukum nasional tidak terlepas dari politik hukum

yang dikembangkan pararel dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Positivisasi

hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun)

merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama

dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan

pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan

elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat

legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.33Adapun prosedur

pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam

(legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan

negara secara kolektif.

Kekuasaan tersebut juga disebutkan dalam Pasal 20 ayat (4) Presiden mengesahkan

rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang dan Pasal

21 ayat (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak

31Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga,2008), hlm. 61.

32Arskal Salim and Azyumardi Azra, ‘Introduction The State and Shari`a in the Perspective of IndonesianLegal Politics’ dalam Arskal Salim and Azyumardi Azra (ed.), Shari`a and Politics in Modern Indonesia,(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 1.

33Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976). hIm. 35-48

Page 11: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

10

disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan

Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.34

Meski demikian baik dari internal maupun eksternal masyarakat Islam hambatan

seringkali muncul. Hal ini dipengaruhi oleh politik hukum --teori receptie--35 dari pemerintah

kolonial Belanda yang diciptakan oleh C. Snouck Hurgronje. Dan realitas politik secara

konstitusional juga harus dipahami bahwa negara kita bukan negara Islam melainkan negara

Pancasila dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, plural yang dihadapkan

pada konfigurasi etnik, agama, dan geografis, maka secara teori pluralistik bahwa masyarakat

majemuk akan dapat membangun sistem sosial politik yang solid dan stabil bilamana mereka

mampu membangun nilai bersama.36

Berkait dengan realitas politik dan konstitusi, muncul berbagai pemikiran atau

pandangan tentang persoalan positivisasi atau legislasi hukum Islam sebagai berikut:

1. Teori Formalistik-Legalistik, penerapan syari’at Islam harus melalui institusi negara

dan syari`at melalui konstitusi harus diusahakan untuk menjaga substansi agama agar

bisa dilaksanakan secara baik. Karenanya secara formalistik harus diperjuangkan,

bagaimana syari`at Islam masuk dalam undang-undang dasar, kemudian diikuti oleh

undang-undang lain.

2. Teori Strukturalistik, Pemikiran strukturalistik dalam penerapan syari`at Islam di

Indonesia menekankan kepada transformasi dalam tatanan sosial dan politik agar

bercorak Islami melalui pendekatan struktural. Pendekatan struktural mensyaratkan

pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi

masukan bagi kebijakan umum.

3. Teori Kulturalistik, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku

sosial agar bercorak Islami. Pendekatan ini hanya mensyaratkan sosialisasi dan

internalisasi syari’at Islam oleh umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari

otoritas politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan kultural ini ingin

34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 yang telah diamandemen.35 Teori resepsi dapat dilumpuhkam dengan Iijtihad jama`i atau konsensus jika dilaksanakan dengan

kerjasama yang baik. Lihat Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, hlm. 44.36 Pudjo Suharso, ‘Pluralisme Bangsa Menuju Indonesia Baru’ dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (Ed.),

Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN SunanKalijaga bersama Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 147.

Page 12: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

11

menjadikan Islam sebagai sumber etika dan moral; sebagai sumber inspirasi dan

motivasi dalam kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer dalam

pembentukan struktur sosial.

4. 4. Teori Subtantialistik-Aplikatif, penerapannya diserahkan kepada umat Islam

sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau bersifat struktural, kultural,

substansial, individu, atau kolektif. Telah menjadi wacana bagaimana menjadikan

hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum

Pancasila.

Untuk melihat hukum Islam dalam tatanan politik hukum di Indonesia, ada beberapa

unsur penting yang saling berhubungan yaitu:

1. Landasan konstitusional, yakni Pancasila dan dioperasionalisasikan secara struktural

dalam UUD 1945.

2. Diimplementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum nasional yang

diarahkan kepada perubahan tata hukum untuk menyelenggarakan negara hukum.

3. Perubahan masyarakat, watak alami dan abadi dalam suatu masyarakat, mengalami

perubahan, baik struktur maupun pola budayanya.

4. Perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional, disengaja, berencana, dan

berjangka, yang secara konkret dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional di

bidang hukum. Dan ini berhubungan dengan berbagai faktor perubahan dan

kesinambungan hukum Islam.

5. Perubahan itu sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang

majemuk, yaitu kalangan elite, untuk mewujudkan norma-norma dalam kehidupan

masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kelima unsur ini memiliki variasi hubungan fungsional (symmetric), hubungan searah

(asymmetric), dan hubungan timbal balik (reciprocal).37

Proses legislasi merupakan perpaduan antara politik hukum nasional dengan kultur

hukum (kesadaran hukum masyarakat). Kedua unsur ini berkait kelidan satu sama lain.

Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah

legislasi untuk mencapai substansi hukum yang aspiratif sesuai dengan keinginan dan karakter

37 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, hlm. 17.

Page 13: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

12

masyarakat, tradisi dan suasana kehidupan keagamaan yang ada di masyarakat.38 Karena itu

proses legislasi harus memperhatikan prinsip kemanusiaan (humanity), prinsip hak asasi

manusia, dan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law).39 Selain itu prinsip-

prinsip di atas perlu menempatkan negara dan masyarakat dalam dinamika politik yang tidak

saling berbenturan, kompromistik, dan dapat berbagi peran dalam proses pembentukan hukum

(Legisprudence kritik).40 Politik hukum Islam tidak bisa lepas dari model relasi Islam dengan

badan kekuasaan negara.

Hukum adalah produk politik, dan politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh

politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.

Sebagaimana pernah disampaikan oleh Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama, produk

hukum dan kebijakan akan bersifat Islam manakala sebagian besar anggota parlemen berasal dari

partai politik yang berasaskan Islam atau orang-orang yang memiliki misi keislaman, maka

keputusan-keputusan parlermen akan diwarnai nilai-nilai ajaran Islam.41

Sebuah keniscayaan bahwa Indonesanisasi hukum Islam dengan langkah legislasi hukum

adalah untuk menuju kodifikasi dan univikasi hukum di Indonesia berhadapan dengan

pluralisme bangsa Indonesia dengan berbagai suku, etnik baik bidang sosial budaya dan politik,

etik serta agama.42 Karena itulah persitegangan antara sistem hukum Islam, Adat dan Barat tidak

dapat dihindari, dan ini telah terjadi sejak zaman pendudukan kolonial di Indonesia.

Persitegangan hukum tersebut tidak jarang berujung pada konflik horizontal maupun vertikal.43

Ketidak harmonisan adalah akibat dari kebijakan pembangunan hukum nasional yang

mentransplantasikan hukum yang ‘asing’ dengan berbagai cara kepada masyarakat yang

sejatinya mempunyai hukumnya sendiri. Kata asing dalam hal ini dapat dimaknai dalam dua

pengertian, di satu sisi ‘asing’ dapat bersumber dari hukum kaum penjajah yang diterapkan di

38A.hamid S. Attamimi,”Kedudukan dan Peranan Presiden dalam Fungsi Legislatif Menurut Sistem PolitikDemokrasi Pancasila”. Dalam Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), Fungsi Legislatif dalam Sistem politikIndonesia.(Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995) hlm.25

39Aden Rosadi, Tentang Legislasi dan Politik Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acaraSeminar Nasional STAIN Jurai Siwo Metro, 31 Mei 2016.

40Ibid.41 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964),

I: 40742A. Qodri Azizy, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, hlm. 5043 Lihat proses legislasi RUU Perkawinan Draft UU Tentang Perkawinan dan kini menjadi UU No. 1 tahun

1974 Tentang Perkawinan.

Page 14: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

13

daerah koloninya, dan di sisi lain hukum yang ‘asing’ itu adalah hukum nasional yang menjadi

produk dari unifikasi dan modernisasi hukum, yang mana dua hal tersebut secara langsung

maupun tidak menyingkirkan keragaman hukum rakyat atau anasir sistem hukum yang ada di

luar sistem hukum negara/nasional.44

Selanjutnya dalam rangka Indonesianisasi hukum Islam menuju positivisasi hukum perlu

diperhatikan adanya kaedah-kaedah penuntun nasional45, yaitu:

Pertama hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenya

tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial, hukum nasional harus

menjaga keutuhan bangsa dan negara baik secara teritori maupun ideologi.

Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah

kebijaksanaan. Pembuatannya harus mencerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan

dengan cara-cara yang secara hukum atau prosedural fair. Dan tidak cukup dengan demokarasi

tetapi harus disesuaikan dengan falsafah yang mendasarinya.

Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain, ditandai

oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak

dibiarkan bersaing secara bebas btapi tidak pernah seimbang dengan sekelompok kecil bagian

masyarakat yang kuat.

Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya

beragam) yang didasarkan ajaran agama tertentu sebab negara hukum Pancasila mengharuskan

tampilnbya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berperadaban. Melaului

kaedah-kaedah di atas lahirlah sistem hukum nasional atau sistem hukum Pancasila yang

bercirikan perpaduan antara dua sistem yang bertentangan tetapi dapat di ambil segi-segi

positifnya.

Selain itu upaya Indinesianisasi hukum Islam menuju pembangunan hukum nasional

yang harmonis antara sistem hukum yang ada di Indonesia menjadi peraturan perundang-

44Mokhammad Najih, Makalah disediakan untuk Conference on “Religion, Law, and Social Stability”Brighman Young University, Provo, Utah US, 1-4 Oktober 2016.

45Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’, 2008), hlm. 72.

Page 15: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

14

undangan yang diberlakukan oleh negara adalah sangat erat dengan tiga komponen hukum46

yaitu: Substansi hukum (substance rule of the law), peraturan perundang-undangan yang berlaku

yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum;

Struktur hukum (structure of the law), aparatur hukum dan sistem penegakan hukum; Budaya

hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaan-

kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam

masyarakat. merupakan jiwa atau ruh yang menggerakan hukum sebagai suatu sistem sosial yang

memiliki karakter dan teknik khusus dalam pengkajiannya.

Atas dasar itu, sebagai upaya mengindonesiakan hukum Islam berdasarkan catatan

sejarah ada tiga model atau pola legislasi, yaitu: pertama unifikasi, artinya satu undang-undang

untuk semua golongan adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum

untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional

di negara tersebut. ; kedua diferensiasi, artinya masing-masing golongan mempunyai undang-

undang sendiri; ketiga diferensiasi dalam unifikasi artinya ada satu undang-undang pokok

selanjutnya masing-masing golongan ada undang-undang atau peraturan organiknya sendiri-

sendiri.

Maka untuk mengimplementasikannya yang terpenting bahwa hukum Islam mampu

bersaing dengan sistem hukum yang lain agar menjiwai dan melandasi bagi bangunan hukum

nasional. Menurut Padmo Wahjono sebagaimana dikutip oleh Alamsjah Ratu Prawiranegara,

untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat. Pertama

keberanian. Tanpa keberanian, semua gagasan tidak akan jalan. Kedua, semua gagasan harus

masuk dalam bingkai Pancasila. Melalui Pancasila itulah, tanpa perlu terlalu banyak menyebut

Islam, hukum mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan. Sebab jelas sekali, sila

pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak lain adalah tauhid, Jadi yang diperlukan

adalah orang yang pintar agama sekaligus pintar politik. Dan tema kita harus selalu dalam rangka

memperkuat Negara yang berdasarkan Pancasila.47

46Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, (New York: Russel SageFoundation, 1975), hlm. 12 – 16.

47 Alamsjah Ratu Prawiranegara “Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum” dalam AmrullahAhmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H.,hlm. 244.

Page 16: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

15

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat bahwa untuk melakukan reaktualisasi

hukum Islam diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi:

1. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.

2. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak

konvensional dari pasangan-pasangan pilihan (antara wahyu dan akal; antara kesatuan

dan keragaman; antara idealisme dan rasionalisme; antara stabilitas dan perubahan).

3. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu

produk pemikran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk

pemikiran hukum. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan

unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan

sendirinya harus diubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam terus dapat dijaga dan

dikembangkan.48Sebagaimana diterangkan oeh An-Naim yang menjelaskan bahwa tidak

etis jika sabda Tuhan (agama) dijadikan konstitusi negara karena agama merupakan hak

individu yang memiliki kebebasan yang sama dalam soal ini. Jika dipaksakan menjadi

konstitusi negara tanpa mengakomodir pihak-pihak lain pasti akan terjadi konflik .49

Bebarapa hukum Islam yang masuk dalam pola hubungan antara hukum Islam dengan

hukum nasional50 artinya “hukum Islam” yang diformalisasikan menjadi hukum positif yaitu:

a. Hukum Islam hanya untuk umat Islam:

1) Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 dan

UU No.50 Tahun 2009 tersebut mengandung Asas Personalitas Keislaman;

2) Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dalam UU No. 17 Tahun 1999 jo UU No. 13

tahun 2008;

3) Pengelolaan Zakat diatur dalam U No. 38 tahun 1999 jo No. 23 Tahun 2011 UU No.

38 tahun 1999 ;

4) Wakaf diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004;

48 H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: TitianIlahi Press, 1998) hlm. 97-102.

49 Abdullah Ahmad An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Mengasikan Masa Depan Syari`ah, hlm. 27.50 Ichtjanto S.A, ’Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara dalam Sisitem Politik Hukum di

Indonesia’, dalam Amrullah Ahmad Dkk (Pe1nyusun), Dimensi Hukum Islamdalam Sistem Hukum Nasional:Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm. 183. DanIchtjanto S.A,, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama danDiklat Keagamaan Departenen Agama RI, 2003), hlm. 37.

Page 17: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

16

5) Perbankan Syariah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008;

6) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 jo

Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991, adalah sebuah cara untuk

melakukan penataan di bidang perkawinan dan bidang kewarisan bagi umat Islam.

b. Hukum Islam masuk dalam hukum nasional secara umumn yang memerlukan pelaksanaan

khusus.

1) Perkawinan diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang, beserta peraturan

pelaksana, yaitu PP. No. 9 Tahun 1975. Kemudian PP No. 45 Tahun 1990 Tentang

Tatacara Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;

2) Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam UU. No. 11 Tahun 2012;

3) Kejahatan Dalam Rumah tangga (KDRT), UU No.32 Tahun 2004, secara substansial

menghendaki adanya perlindungan pihak yang berada dalam lingkup keluarga

mendapat perlindungan baik dari aspek pribadi, maupun dari aspek publik;

4) Pemerintahan Aceh diatur UU No. 11 Tahun 2006, lembaga peradilan secara khusus

di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem peradilan

nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.

c. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku

untuk setiap warganegara Republik Indonesia, contoh UU No. 23 Tahun 1990 Tentang

Kesehatan.

V. Catatan Akhir

Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah Negara Islam, dan bukan pula Negara

sekuler. Kenyataan politik menunjukkan bahwa secara konstitusional Indonesia merupakan

negara Pancasila. Oleh karenanya, tidaklah mungkin secara formal kelembagaan umat Islam

mewujudkan seutuhnya prinsip Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi.

Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang bhinneka (Pluralitas), maka

hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang hidup. Hal yang sama juga berlaku

bagi pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri. Negara dapat pula

mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang-bidang tertentu dan menjadikannya

sebagai bagian dari hukum nasional. Untuk itu,semua harus mengikuti prosedur konstitusional

dan sejalan norma hukum serta cita-cita hukum Nasional.

Page 18: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

17

Hukum adalah produk politik. Karena itu politik hukum cenderung mendiskripsikan

pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.

Politik Hukum Islam adalah upaya kebijakan pemberlakuan hukum Islam sebagai salah satu

hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan segi kebhinnekaan (Pluralitas).

Dan dalam proses pemberlakuan menuju positivisasi hukum perlu diperhatikan adanya kaedah-

kaedah penuntun nasional yaitu:

Pertama hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan tidak

boleh bersifat diskriminatif berdasarkan ikatan primordial.Hukum nasional harus menjaga

keutuhan bangsa dan negara baik secara ideologi maupun teritori.

Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah

kebijaksanaan. Pembuatannya harus mencerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan

dengan cara-cara fair, baik secara hukum maupun prosedural. Dan tidak cukup dengan

demokrasi tetapi harus sesuai dengan falsafah yang mendasarinya.

Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain, ditandai

oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak

dibiarkan bersaing secara bebas dengan sekelompok masyarakat yang kuat.

Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya

beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu. Sebab negara hukum Pancasila

mengharuskan tampilnya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berperadaban.

Melaului kaedah-kaedah di atas lahirlah sistem hukum nasional atau sistem hukum Pancasila

yang bercirikan perpaduan antara sistem yang bertentangan tetapi dapat diambil segi-segi

positifnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah proses legislasi. Proses legislasi merupakan

perpaduan antara politik hukum nasional dengan kultur hukum (kesadaran hukum masyarakat).

Kedua unsur ini berkait berkelindan satu sama lain. Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya

merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah legislasi untuk mencapai substansi hukum

yang aspiratif sesuai keinginan dan karakter masyarakat, tradisi dan suasana kehidupan

keagamaan yang ada di masyarakat. Karena itu proses legislasi harus memperhatikan prinsip

kemanusiaan (humanity), prinsip hak asasi manusia(human rights), dan prinsip persamaan di

depan hukum (equality before the law).

Selain itu prinsip-prinsip di atas perlu persyaratan tertentu, antara lain:

Page 19: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

18

1. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.

2. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak

konvensional dari pasangan-pasangan pilihan seperti: antara wahyu dan akal; antara

kesatuan dan keragaman; antara idealisme dan rasionalisme; antara stabilitas dan

perubahan.

3. Memahami faktor-faktor politik dan sosio-kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu

produk pemikran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularitas dari produk

pemikiran hukum. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan

unsur-unsur partikularitas yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan

sendirinya harus diubah.

Dengan prinsip dan persyaratan tersebut, kita dapat menempatkan negara dan masyarakat

dalam dinamika politik yang tidak saling berbenturan, kompromistik, dan dapat berbagi peran

dalam proses pembentukan hukum (Legisprudencecritick). Dengan demikian positivisasi hukum

Islam merupakan bagian Indonesianisasi hukum Islam, yaitu legislasi melalui instrumen hukum

dalam tata hukum Indonesia sehingga hubungan antar hukum tidak lagi bersifat diadik, yaitu

antara fikih dan adat (Indonesia) saja, tetapi juga harus bersifat triadik dengan menghadirkan

“dunia ketiga“, yaitu hukum positif Indonesia yang dapat melahirkan inklusivitas dan toleransi

yang dibarengi pluralis dengan diferensiasi dalam univikasi.

Demikanlah mudah-mudahan uraian ini ada manfaatnya, meskipun sudah pasti banyak

retaknya, Wallahu a`lam bisawab.

Wabillahi taufiq wal hidayah

Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yogyakarta, 07 Februari 2020.

Page 20: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

19

BIBLIOGRAFI

Abd. Rohim Ghazali&Saleh Partaonan Daulay (ed.), Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif:70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, Jakarta: Maarif Institute, 2005.

Abdullah, Abdul Ghani, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan StudiHukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, Nomor. 1 tahun V , Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994.

Abdullah An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia danHubungan Internasional dalam Islam, Yogyakaerta: LKiS, 1994.

--------------------------, Islam dan Negara Sekuler: Mengasikan Masa Depan Syari`ah, Bandung:Mizan, 2007.

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islamdalam PolitikHukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Jakarta: Badan Litbang dan DiklatDepartemen Agama RI, 2008.

Aden Rosadi, Tentang Legislasi dan Politik Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan dalamacara Seminar Nasional STAIN Jurai Siwo Metro, 31 Mei 2016.

Ahmad Faissal, Rekonstruksi Syariat Islam (Kajian Tentang Pandangan Ulama TerhadapGagasan Penegakkan Syuar`at Islam Oleh KPPSI di Sulawesi Selatan, Yogyakarta:Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kaliaga, 2004.

Akh Minhaji, “Modern Trends in Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson’s Life and Thought”,al-Jami`ah, Vol. 39 No.1. January-Juni 2001.

Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung: Al-Ma’arif. 1976.

Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar NasionalRevitalisasi Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, Kerjasama Program PascasarjanaUIN Sunan Kaliaga Dengan Pemerintah Propinsi Gorontalo, Yogyakarta: UIN SunanKaliaga Yogyakarta, 2008.

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th.Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Page 21: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

20

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentangCendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Arskal Salim and Azyumardi Azra (ed.), Shari`a and Politics in Modern Indonesia, Singapore:Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Attamimi, A. Hamid S., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalamPenyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden yangBerfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi Doktor Universitasdonesia Jakarta: UI, 1990.

Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional,Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukumumum, Yogyakarta: Gama Media , 2002.

Batubara, M.A., Disertatiom Review, Joko Mirwan Muslim,”‘Islamic Law and Sosial ChangeSosial Change: A Comparative Study of The Institutionalization and Codification ofIslamic Family Law in the Nation State Egypt and Indonesia 1990-1995”

Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa PedudukanJepang, alih bahasa: Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

Diliar Noer, Gearakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.

Firdaus, “Politik Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum)”, dalamJurrnal Hukum Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005.

Friedman, Lawrence M., The Legal System; A Social Scince Prespective, New York: RusselSage Foundation, 1975

Gibb, H.A.R, The Modern Trends in Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1950.

Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariah Islam, Jakarta: HTI, 2002.

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan LitbangAgama dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI, 2003.

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Kamsi, Pemikiran Hukum Islamdan Peradilan Agma di Indonesia,Yogyakarta: CakrawalaMedia, 2007.

Khamami Zada-Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia,Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Sunan Kalijaga bersama PustakaPelajar, 1999.

Kusuma MR. AB., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia, 2004.

Page 22: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

21

Maarfif, A. Syafii, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

MD, Moh. Mahfud,.“Politik: Hukum Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat Dan HukumIslam” dalam Jurnal Al-Jami`ah, IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999,hlm.35.

-------------------------., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, 1999.

--------------------------, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam SyamsulAnwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia antara Idealitas dan Realitas,Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Mahendra, Yusril Ihza , ‘Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia”,dalam Seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara oleh Fakultas Syari’ah UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah, pada tanggal 5 Desember 2005.

Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), Fungsi Legislatif dalam Sistem politikIndonesia.Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995.

Mokhammad Najih, Makalah disediakan untuk Conference on “Religion, Law, and SocialStability” Brighman Young University, Provo, Utah US, 1-4 Oktober 2016.

Mudzhar, H.M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1998.

Mukti Ali, “Sambutan“, dalam Nourouzzaman Shiddieqy, Fikih Indonesia: Penggagas danGagasannya, Biografi, Perjuangan dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.

Rais, M.Amin, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987.

Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN SunanKalijaga, 2008

-----------------, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2008.

Rifyal Ka`bah, HukumIslam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Rosyadi, A. Rahamat dan Ahmad, H.M. Rais, Formalisasi Syari`at Islam Dalam Perspektif TataHukum Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia,2004.

Page 23: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

22

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1964.

Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, Bandung: PT RemajaRosdakarya, 1991.

Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika,Yogyakarta: Nawesea Press, 2011.

----------------------- ,“Reorientation of Indonesian Fiqh“,dalam Yudian W.Asmin(ed.), KeArah Fikih Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Yogyakarta:Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994.

Undang-Undang Nomor 1 Ttahun 1974 tentang Perkawinan.

UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dirubahdengan UU No.50 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 TentangPeradilan Agama; UU No. 6 Tahun 2006 Tentang Perrubahan , UU No. 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji,

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentangSistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syariah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Kejahatan Dalam Rumah tangga (KDRT),

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka PanjangNasional Tahun 2005-2025.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

PP Nomor 28 Ttahun 1977 tentang Perwakafan.

Inpres Nomor 1 Ttahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Page 24: I. Pengantarmpi.ums.ac.id/wp-content/uploads/sites/25/2020/02/Materi-Kuliah-U… · Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13 Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan

23