hypertropi adenoid

46
BAB I PENDAHULUAN Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem daya pertahanan tubuh manusia. Semua orang sejak dari kecil sampai dewasa mempunyai tonsil dan adenoid. Hanya dalam kondisi tertentu bisa ditemukan tonsil dan adenoid dalam keadaan patologis, seperti adenotonsilitis kronis yang merupakan peradangan dari tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid) yang kronis dan dapat menimbulkan gangguan sumbatan jalan pernapasan 1 . Adenotonsilitis kronis yang disertai obstruksi pada malam hari disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Proses peradangan oleh infeksi dapat menimbulkan pembesaran tonsil, sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang terjadi waktu tidur dapat menyebabkan hipoksia. Kondisi hipoksia tersebut dapat menurunkan ketahanan imunologis, sehingga rentan terkena penyakit infeksi. Peningkatan frekuensi sakit pada penderita dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan terutama pada masa anak 1 . Faktor predisposisi tonsillitis kronis adalah rangsangan kronis (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, dan higiene mulut yang buruk. Sedangkan faktor predisposisi untuk adenoiditis kronik adalah sering terjadinya infeksi saluran

description

adenotonsilitis

Transcript of hypertropi adenoid

Page 1: hypertropi adenoid

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem daya pertahanan tubuh

manusia. Semua orang sejak dari kecil sampai dewasa mempunyai tonsil dan adenoid.

Hanya dalam kondisi tertentu bisa ditemukan tonsil dan adenoid dalam keadaan

patologis, seperti adenotonsilitis kronis yang merupakan peradangan dari tonsil palatina

dan tonsil faringeal (adenoid) yang kronis dan dapat menimbulkan gangguan sumbatan

jalan pernapasan1.

Adenotonsilitis kronis yang disertai obstruksi pada malam hari disebut

sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Proses peradangan oleh infeksi

dapat menimbulkan pembesaran tonsil, sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid dapat

mengakibatkan obstruksi jalan napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang terjadi

waktu tidur dapat menyebabkan hipoksia. Kondisi hipoksia tersebut dapat menurunkan

ketahanan imunologis, sehingga rentan terkena penyakit infeksi. Peningkatan frekuensi

sakit pada penderita dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan terutama pada

masa anak1.

Faktor predisposisi tonsillitis kronis adalah rangsangan kronis (rokok,

makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, dan higiene

mulut yang buruk. Sedangkan faktor predisposisi untuk adenoiditis kronik adalah sering

terjadinya infeksi saluran nafas bagian atas, yang dapat menimbulkan sumbatan koana

dan sumbatan tuba eustachius2,3.

Salah satu cara mengatasi adenoid dan tonsil yang membesar yang dapat

menyebabkan obstruksi dan secara fisiologis dapat menggangu fungsi pernapasan dan

proses menelan akibat adenotonsilitis kronis yaitu dengan adenotonsilektomi (ATE).

Data selama tahun 2002 di RSUD dr. Moewardi Surakarta telah dilakukan tindakan

ATE dan Tonsilektomi (TE) sebanyak 220 di antara 501 tindakan atau operasi THT

yang lain. Lebih dari 65% penderita yang dilakukan tindakan ATE atau TE berumur

antara 2 sampai 15 tahun (RSUD dr. Moewardi, 2002). Berdasarkan data yang

didapatkan dari 9 Rumah Sakit di Jakarta pada tahun 1998 diperkirakan dari 1200 anak-

anak di bawah usia 15 tahun, 1.020 anak (85%) diantaranya menjalani

Adenotonsilektomi dan 180 lainnya (15%) menjalani Tonsilektomi saja1,3.

Page 2: hypertropi adenoid

Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi

secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun psikis.

Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh penelitian

Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang bermakna antara

prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang tidak. Dampak lainnya

adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang mencakup gangguan emosional,

gangguan perilaku, dan neurokognitif1,4.

Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat

mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai

adenotonsilitis kronis diperlukan untuk penegakan diagnosa dan terapi yang tepat serta

rasional sehingga penulis tertarik untuk menulis laporan kasus mengenai adenotonsilitis

kronis.

Page 3: hypertropi adenoid

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Selfy Ilafia

Umur : 10 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Pagar Arum

Agama : Islam

BB : 28 kg

II. ANAMNESIS

(Alloanamnesis, Tgl : 19 November 2013)

Keluhan Utama

Demam hilang timbul sejak ± 2 bulan yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit

Os datang ke Poli THT RSUD Raden Mattaher dengan keluhan demam

hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu, demam yang dirasakan hilang timbul

dan kadang – kadang mengeluhkan pilek saat demam tersebut. Pasien juga

sering mengeluhkan sariawan. Pasien juga kadang – kadang mengeluh sulit

untuk bernafas dari hidung kerena keluhannya tadi pasien kadang –

kandang bernafas lewat mulut, menurut pengakuan orang tua nya kadang –

kadang pasien sering terbangun pada malam hari saat tertidur dan saat

tertidur pasien juga kadang mengorok. Pasien juga sering minum – minum

es sehingga merasa sakit pada tenggorokan nya. Pasien juga merasakan

sakit saat menelan. Pasien juga merasa ada yang mengganjal di

tenggorokan dan merasa seperti kering di tenggorokan,pasien tidak merasa

nafas nya bau.

Pasien dulu nya juga sering mengalamin demam dan pilek saat masih SD,

demam dan pilek pasien kadang dalam 1 bulan bisa 2x sakit. Kemudian

Page 4: hypertropi adenoid

pasien berobat ke dokter spesialis THT dan dianjurkan untuk melakukan

operasi, kemudian pasien belum siap untuk dilakukan tindakan operasi.

Riwayat pengobatan

Sudah pernah berobat ke dokter spesialis THT

Riwayat penyakit dahulu

Pernah mengalamin keluhan yang sama sejak SD. Riwayat alergi obat-

obatan (-), alergi makanan (-), Riwayat asma (-), Riwayat sering demam,

pilek, dan batuk (+).

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluhan yang sama dalam keluarga. DM (-), Asma (-),

Hipertensi (-)

III. STATUS PRESEN

Sensorium : compos mentis

Pernapasan : 20 i/x

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Suhu : 36,5 °C

Nadi : 98 i/x

IV. HAL-HAL PENTING

TELINGA

Kanan Kiri

Gatal - -

Korek - -

Nyeri - -

Bengkak - -

Otore - -

Tuli - -

Tinitus - -

Vertigo - -

Page 5: hypertropi adenoid

Mual - -

Muntah - -

HIDUNG

Kanan Kiri

Rinore - -

Buntu - -

Bersin

(dingin/deburumah,

lembab)

- -

Berbau - -

Mimisan - -

Nyeri hidung - -

Sura sengau - -

KERONGKONGAN

Hasil

Sakit menelan -

Sukar menelan +

Rasa mengganjal +

Trismus -

Ptyalismus -

Rasa berlendir -

Rasa kering -

LARING

Hasil

Suara parau -

Sesak napas -

Afonia -

Rasa sakit -

Page 6: hypertropi adenoid

Rasa ganjal -

V. PEMERIKSAAN FISIK

a) Kepala dan Leher

Kanan Kiri

Regio Frontalis Dbn Dbn

Regio Maksilaris Dbn Dbn

Regio Mandibularis Dbn Dbn

Regio Parotis Dbn Dbn

Regio Servikalis Dbn Dbn

b) Telinga

No. Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra

1 Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2 Daun telinga : aurikula,

preaurikuer, retroaurikuler.

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma

(-), massa (-), fistula (-),

nyeri tarik aurikula (-).

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma

(-), massa (-), fistula (-),

nyeri tarik aurikula (-).

3 Liang telinga (MAE) Serumen (-), hiperemis (-),

edema (-), furunkel (-),

otorhea (-).

Serumen (-), hiperemis (-),

edema (-), furunkel (-),

otorhea (-).

4 Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(+).

Intak, retraksi (-), hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(+).

c) Pemeriksaan Hidung

Page 7: hypertropi adenoid

Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra

Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-),

deformitas (-), massa (-).

Bentuk (N), inflamasi (-),

deformitas (-), massa (-).

Rinoskopi Anterior :

Vestibulum nasi Sekret (-), krustae (-), bisul

(-), raghade (-)

Sekret (-), krustae (-), bisul (-),

raghade (-)

Cavum nasi Bentuk (N), mukosa hiperemi

(-), sekret (-), corpus alineum

(-), massa (-), polip (-)

Bentuk (N), mukosa hiperemi

(-), sekret (-), corpus alineum

(-), massa (-), polip (-)

Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Konka media & inferior Hipertrofi (-), hiperemi (-) Hipertrofi (-), hiperemi (+)

Fenomena palatum mole (-) (-)

Rinoskopi posterior

kavum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai

Koana Sulit dinilai Sulit dinilai

Septum nasi Sulit dinilai Sulit dinilai

Adenoid Sulit dinilai Sulit dinilai

Gambar :

Keterangan : tidak ada kelainan dan fenomena palatum mole negatif.

Page 8: hypertropi adenoid

d) Pemeriksaan Sinus Paranasal

SinusNyeri Tekan Transiluminasi

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Maksilaris (-) (-) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Frontalis (-) (-) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

e) Pemeriksaan Tenggorokan

No. Pemeriksaan Keterangan

1. Mulut Trismus (-), ptialismus (-), parese N VII dan

N. XII (-), palatum durum tidak bengkak.

2. Gigi Tidak ada caries

3. Uvula Bentuk lonjong deviasi ke kiri, hiperemi

(+), edema (+).

4. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), arkus palatum

tampak lebih cekung.

5. Tonsila Palatina Hiperemi (+), ukuran T3-T3, kripte melebar

(+), detritus (-), mobilitas mobile

Gambar :

Kesan : tonsil : T3-T3, hiperemis(+), kripta melebar (+), dan uvula deviasi

(+)

Page 9: hypertropi adenoid

f) Laring

Hasil

Tidak dapat dilakukan

g) Kelenjar Getah Bening Leher

Inspeksi : pembesaran KGB lnn. Submandibularis dekstra dan

sinistra (-)

Palpasi : pembesaran KGB lnn. Submandibularis dekstra dan

sinistra (-), nyeri tekan (-)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos kepala lateral Foto thorax

kesan : hypertropy adenoid kesan : bronkitis

VII. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Tes Pendengaran Kanan Kiri

Tes rinne + +

Tes weber Tidak ada Lateralisasi Tidak ada lateralisasi

Tes schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Kesimpulan :

Page 10: hypertropi adenoid

Tidak ada kelainan (normal)

VIII.DIAGNOSIS KERJA

Adenotonsilitis Kronis

IX. PENATALAKSANAAN

- Persiapan operasi tonsiloadenoidektomi

- Terapi

IVFD RL 20gtt/i

Ketorolac 3x15mg IV

Ceftriaxon 2x1gr IV

Monitoring

Observasi perdarahan, Keadaan umum, dan tanda vital

KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

1. Posisi tidur miring

2. Pasien tidak boleh batuk

3. Minum ice cream 1 cup setelah platus dan sadar penuh

4. Tidak boleh makan dan minum yang hangat, terlalu panas atau terlalu dingin

5. Tidak boleh minum dengan sedotan

6. Makan bila telah platus

7. Makan makanan lunak

I. Rawat Inap

Kamis, 21 November 2013

S : sakit menelan (+), tidur mendengkur (-), terbangun tengah malam saat tidur

(-), bisa makan dan minum.

O : KU baik

Tanda vital : HR = 80 x/i, RR = 18 x/i, T = 36,7°C

Status lokalisata :

Faring Hasil

Uvula Bentuk normal, terletak ditengah

Page 11: hypertropi adenoid

Palatum mole Normal

Palatum durum Normal

Plika anterior hiperemis (+)

Tonsil T0/T0, sisa tonsil -/-,perdarahan-/-

Plika posterior hiperemis (+)

Mukosa orofaring hiperemis (+)

A : Post op tonsilektomi hari ke-1

P : aff infuse , os boleh pulang,

Terapi oral :

Asam mefenamat 3x500mg

Dexyclav 3x500mg

(amoksisilin anhidrat 500mg, asam klavulanat 125mg)

Kontrol ulang ke Poli jika obat sudah habis.

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Page 12: hypertropi adenoid

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan

lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan

prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum

mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior

nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak

pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior.

Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu

penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius.2

Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:3

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah

kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan

limfoid yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian

kartilago tuba Eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti

penonjolan ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan

palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat

perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang

dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan

foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah

sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang

meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya

dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.

Page 13: hypertropi adenoid

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Gambar 3.1 Anatomi Nasofaring

Batas-batas nasofaring :

1. Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia.

2. Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke

posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari

palatum durum.

3. Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dextra dan

sinistra oleh os vomer.

4. Posterior : vertebra cervicalis I dan II, fascia space, mukosa

lanjutan dari mukosa bagian atas.

5. Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa di bagian superior dan

posterior, muara tuba Eustachii, fossa Rosenmuller.2

Anatomi Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,

batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke

belakang adalah vertebra servikal.4

Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial, disebut cincin

Waldeyer. Bagian cincin Waldeyer adalah jaringan adenoid, tonsila palatina, tonsila

lingual, dan folikel limfoid pada dinding posterior faring.3

Page 14: hypertropi adenoid

Gambar 3.2 Anatomi Tonsil

1) Tonsilla Palatina

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang

terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris dan dibatasi oleh

pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tiap

tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas

menonjol ke dalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang

berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripte. Tonsil tidak

selalu mengisi seluruh fossa tonsillaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal

sebagai fosa supratonsilar. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan

fibrosa yang disebut “Capsula” tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan

tonsilla lingualis.4

Tonsil dibatasi oleh :

♣ Lateral : muskulus konstriktor faring superior

♣ Medial : ruang orofaring

♣ Anterior : muskulus palatoglosus

♣ Posterior : muskulus palatofaringeus

♣ Superior : palatum mole

♣ Inferior : tonsil lingual

Page 15: hypertropi adenoid

Gambar 3.3 Tonsilla Palatina

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripte tonsila. Epitel yang melapisi permukaan tonsila palatina

mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana

mukosa tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga

memerlukan perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma.

Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang

kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan

limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan

tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.5

Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte

dalam jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa

yang terdapat di sekitar tonsil.5

Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot

palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau

dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan

dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX,

yaitu nervus glosofaringeal5.

Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri yang terutama masuk melalui polus

caudalis, tapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr.

tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus

Page 16: hypertropi adenoid

cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua

cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna.6

Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan

di sekitar kapsula tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai

hubungan dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole

menuju ke bawah lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk mengalirkan darah ke

dalam pleksus pharyngealis.6

Cairan limfe dialirkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan

sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior, terutama pada limfonodi

yang terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting

pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan

belakang angulus mandibulae.6

Tonsil bagian bawah mendapat persarafan dari cabang serabut saraf ke IX

(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.6

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit

B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada

tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B

berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),

komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan

tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area, yaitu

epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid, dan

pusat germinal pada folikel limfoid.5

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama, yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.5

2) Tonsilla Pharingeal (Adenoid)

Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan

limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut

tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau

Page 17: hypertropi adenoid

kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai

kriptus.5

Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan

kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba

Eustachius – telinga tengah – kavum mastoid pada bagain lateral. Jaringan

adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,

walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan orifisium tuba Eustachius.

Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid

akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami

regresi.5

Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal,

beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Innervasi

sensible merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan

makroskopik dari adenoid menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan

tonsila palatina. Adenoid adalah organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam

bentuk lipatan yang dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila

palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak.6

Gambar 3.4 Tonsilla Pharingeal (Adenoid)

Page 18: hypertropi adenoid

Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid merupakan

jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid

memproduksi IgA sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh lini terdepan

dalam memproteksi tubuh dari invasi mikroorganisme dan molekul asing.7

Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus, atau antigen

makanan memasuki nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan

kompartemen adenoid pertama sebagai barrier imunologis. Kemudian terjadi

absorbsi secara selektif oleh makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi adenoid.

Antigen selanjutnya diangkut dan dipresentasikan ke sel T pada area ekstra-

folikuler dan ke sel B pada sentrum germinativum oleh follicular dendritic cells –

FDC.7

Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC

bersama dengan IL-1 akan mengakibatkan aktivasi sel T yang ditandai oleh

pelepasan IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2. Antigen bersama-sama dengan sel Th

dan IL-2, IL-4, IL-6 sebagai aktivator dan promotor bagi sel B untuk berkembang

menjadi sel plasma. Sel plasma akan didistribusikan pada zona ekstrafolikuler

yang menghasilkan immunoglobulin (IgG 65%, IgA 20%, sisanya IgM, IgD, IgE)

untuk memelihara flora normal dalam kripte individu yang sehat.7

Secara histologis, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada permukaannya,

yaitu epitel kolumnar bertingkat dengan silia, epitel berlapis skuamous dan epitel

transisional. Infeksi kronik atau pembesaran adenoid cenderung akibat

peningkatan proporsi epitel berlapis skuamous (aktif untuk proses antigen) dan

berkurangnya epitel respirasi (aktif untuk klirens mukosilier).7

3) Tonsilla Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat

foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara

klinis merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid)

atau kista duktus tiroglosus.4

Page 19: hypertropi adenoid

II. Hipertropi Adenoid

Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding

posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin

Waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami

hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil

dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi pada

saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan

mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba Eustachius.4

Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi

(1) fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen),

arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang

bodoh; (2) faringitis dan bronkitis; serta (3) gangguan ventilasi dan drainase sinus

paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu

pernapasan hidung dan menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara. Akibat

sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang dan akhirnya

dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga dapat

menimbulkan retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, gangguan tidur dan

tidur ngorok. Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan

dalam struktur gigi dan maloklusi.3,4

III. Etiologi

Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16

kehamilan. Normalnya, pada saat lahir pada nasofaring dan adenoid banyak di

temukan organisme dan terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai

aktif sesaat setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus,

streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai

berkembang. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain alfa-hemolytic

streptococcus, euterococcus, corynebacterium, staphylococcus, neissria,

micrococcus dan stomatococcus .Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas

menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid

akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya

Page 20: hypertropi adenoid

asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi

adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren

pada saluran pernapasan atas atau ISPA. 1,3,8

IV. Patogenesis

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer sangat kecil. Pada anak

berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid

(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit

kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting

sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada

bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu,

hipertrofi dari jaringan merupakan respon terhadap kolonisasi dari flora normal itu

sendiri dan mikroorganisme patogen.9

Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan

tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang

keras untuk bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka.

Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga

mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba

Eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga

tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.9

Penyebab utama hipertrofi jaringan adenoid adalah infeksi saluran napas atas yang

berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi beta-lactamase, seperti

Streptoccocus Beta Hemolytic Group A (SBHGA), Staphylococcus aureus, Moraxella

catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae, apabila mengenai

jaringan adenoid akan menyebabkan inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang

seharusnya mengecil secara fisiologis sejalan dengan pertambahan usia, menjadi

membesar dan pada akhirnya menutupi saluran pernapasan atas. Hambatan pada saluran

pernapasan atas akan mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan

sindrom wajah adenoid.7,10

Sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas atas kronis

oleh karena hipertrofi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas atas kronis

menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian

Page 21: hypertropi adenoid

fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui mulut

menyebabkan perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi,

yaitu posisi rahang bawah yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun

sehingga lidah akan cenderung ke bawah dan ke depan, serta meningginya dimensi

vertical.7,10

Faktor etiologi lainnya dari sindroma wajah adenoid adalah inflamasi mukosa

hidung, deviasi septum nasalis, anomali kogenital dan penyempitan lengkung maksila.

Gambaran skematis mengenai etiologi sindrom wajah adenoid akan diuraikan pada

bagan berikut ini.7

V. Gejala Klinis

1) Obstruksi Nasi

Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung

sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus

bernapas melalui mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistik antara

pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.

Gambar 3.5 Tonsilitis Kronis

Gambar 3.6 Hipertrofi adenoid

Page 22: hypertropi adenoid

2) Sleep Apnea

Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan

hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan

bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau

campuran.

Gambar 3.7 Gejala Obstruksi Saluran Napas Atas

Gambar 3.8 Sleep apneu

3) Facies Adenoid

Page 23: hypertropi adenoid

Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid

mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi :

Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek.

Namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap

dari botol dalam jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak

berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih sempit, dan arkus palatum lebih

tinggi.

Gambar 3.9 Face adenoid

4) Efek Pembesaran Adenoid Pada Telinga

Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media

efusi telah dibuktikan baik secara radiologis maupun berdasarkan penelitian

tentang tekanan oleh Bluestone. Otitis media efusi merupakan keadaan dimana

terdapat efusi cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-

tanda radang. Hal ini dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada tuba Eustachius.

Keadaan alergik juga sering berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya

efusi cairan di telinga tengah.7,9,10

VI. Penengakan Diagnosis

1) Tanda dan gejala klinik

Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu

pandangan kosong dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit cekung dan

Page 24: hypertropi adenoid

tinggi. Karena pernapasan melalui hidung terganggu akibat sumbatan adenoid

pada koana, terjadi gangguan pendengaran dan penderita sering beringus.

2) Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum

palatum mole pada  waktu fonasi. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid yang

hipertrofi terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan konka

mengerut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan bawah,

adenoid yang membesar dapat diraba.

3) Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).

4) Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara

langsung.

5) Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar dapat

melihat pembesaran adenoid. Prosedur pemeriksaan radiologi :

♣ Posisi pasien : Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan posisi berdiri tegak

pada film sejauh 180 cm.

♣ Pengukuran adenoid (A) : A’ adalah titik konveks maksimal sepanjang tepi

inferior bayangan adenoid. Garis B adalah garis yang ditarik lurus dari tepi

anterior basis oksiput. Jarak A diukur dari titik A’ ke perpotongannya pada

garis B.

♣ Pengukuran ruang nasofaring : Ruang nasofaring diukur sebagai jarak antara

titik C’, sudut posterior-superior dari palatum durum dan D’ (sudut anterior-

inferior sincondrosis sfenobasioksipital.

♣ Jika sinkondrosis tidak jelas, maka titik D’ ditentukan sebagai titik yang

melewati tepi posterior-inferior pterigoidea lateralis dan lantai tulang

nasofaring.

♣ Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan membagi ukuran adenoid dengan

ukuran ruang nasofaring, yaitu Rasio AN = A/N.

♣ Dengan kriteria sebagai berikut :

- Rasio adenoid – nasofaring 0 – 0,52 : tidak ada pembesaran

- Rasio adenoid – nasofaring 0,52 – 0,72 : pembesaran sedang – non

obstruksi

Page 25: hypertropi adenoid

- Rasio adenoid – nasofaring  > 0,72 : pembesaran dengan obstruksi

Gambar 3.10 Gambaran Hipertrofi Adenoid Pada Rontgen Lateral

Kepala

6) CT scan merupakan modalitas yang lebih sensitif daripada foto polos untuk

identifikasi patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya karena biaya yang

mahal.11,12

7) Endoskopi

Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid

hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga

dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.

Page 26: hypertropi adenoid

Gambar 3.11 gambaran endoskopi adenoid.

VII. Tatalaksana

Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan

obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain.

Operasi dilakukan dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah

palatum atau insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia

aperta. Kontraindikasi relatif berupa gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut yang

berat, dan adanya penyakit berat lain yang mendasari.3,10

Indikasi adenoidektomi :

1) Sumbatan : sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep

apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan

gigi (adenoid face).

2) Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik, otitis

media akut berulang.

3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :

1. Eksisi melalui mulut

Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui

mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit

mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid terletak pada

rongga hidung bagian belakang melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat

dimasukkan. 8

Cold Surgical Techniques

- Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang

sukses dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok.

Untuk mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam setelah terlebih

dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat dikontrol dengan

elektrocauter.

- Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu

instrumen bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid

kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.

Page 27: hypertropi adenoid

- Magill Forceps : Adalah suatu instnunen yang berbentuk bengkok yang

digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.

- Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan

elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut

jaringan adenoid. 8

Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode

microdebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti

terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan dengan

menggunakan tradisional currete. Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid

yang sulit di jangkau oleh teknik lain. 8

2. Eksisi melalui Hidung 

Satu-satunyateknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melaui rongga

hidung dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi

perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction. 8

Terapi Tonsilitis kronik

Terapi yang dapat diberikan pada tonsillitis kronis berupa terapi local pada

hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap dan dapat disertai dengan terapi

simptomatis. Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan

mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim

tonsil ataupun ketidaktepatan pemilihan antibiotic. Penatalaksanaan yang tepat yaitu dengan

pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita

tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah Metronidazole, klindamisin (terutama jika

disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan

disebabkan mononucleosis). Pada beberapa keadaan dimana terdapat indikasi

pembedahan maka tindakan pembedahan menjadi pilihan terapi definitive6,7.

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology

Head and Neck and Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 yaitu2 :

1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan orofasial.

Page 28: hypertropi adenoid

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan

napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.

4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan.

5. Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus ß

hemoliticus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusa/otitis media supuratif.

VIII. Prognosis

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan

individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna,

kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan juga terjadi perubahan terhadap

keluhan-keluhan berikut ini: 8

- Otitis media persisten kronik

Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi

penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.

- Sinusitis kronik

Studi dari Lee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan bahwa

sinusitis kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan pengangkatan

adenoid. Namun penelitian yang lain tetap menunjukkan adanya resolusi

gejala sinusitis setelah pengangkatan adenoid.

- Obstruksi jalan napas

Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala

obstruksi nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan

sendirinya.8

IX. Komplikasi

Komplikasi adenoiditis kronik dapat berupa faringitis, bronkitis, sinusitis kronik,

otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan akhirnya terjadi otitis media

supuratif kronik2,6. Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila

pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi

Page 29: hypertropi adenoid

kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius

akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.8

Sedangkan komplikasi Tonilitis kronik dapat berupa Rinitis kronis, sinusitis, otitis

media secara perkotinuitatum, dan komplikasi secara hematogen atau limfogen

(endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, furunkulosis)2,9.

Komplikasi lain dari tonsilitis kronis yang dapat terjadi secara perkontinuitatum

ke daerah sekitar adalah sebagai berikut :

a. Peritonsilitis, Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya

trismus dan abses;

b. Abses Peritonsilar (Quinsy), kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang

peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami

supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal, infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran

getah beningatau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring,

sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring, merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.

Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring

masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil, sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh

jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil

berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil), terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium

karbonat dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras seperti kapur.

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan

iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya

14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien

pascatonsilektomi. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika

pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral

yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi6.

Page 30: hypertropi adenoid

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada An. S 10 tahun dengan keluhan

utama demam hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu, dapat difikirkan beberapa

kemungkinan penyakit. Secara teori, keluhan demam bisa berasal dari infeksi saluran

nafas bagian atas, Pasien juga merasa sulit untuk menelan disebut juga odinofagia

merupakan rasa nyeri di tenggorokan sewaktu gerakan menelan. Gejala ini sering

dikeluhkan akibat kelainan atau peradangan di daerah faring, adapun penyakit-penyakit

yang berhubungan dengan nyeri menelan dan sakit tenggorokan adalah :

Tabel : Infeksi Tenggorokan pada Nasofaring dan Orofaring

Penyakit Frekuensi

Faringitis akut Tonsillitis akutTonsillitis lingualisAbses peritonsilarAngina VincentDifteri

Sangat sering pada semua usiaSangat sering pada anak-anakSedang pada dewasaPaling sering pada usia 13-20 tahunBiasa pada dewasa mudaJarang

Berdasarkan teori tersebut disesuaikan dengan usia pada anak-anak

mengarah pada diagnose tonsillitis dan faringitis. Hal ini didukung dengan data pada

pemeriksaan fisik ditemukan kondisi patologis pada tonsil dekstra dan sinistra os berupa

pembesaran tonsil (T3/T3), hiperemis, permukaan tidak rata, kripta melebar, detritus (-),

Mobilitas berkurang, dan mukosa orofaring juga sedikit hiperemis.

Keluhan sakit menelan disertai dengan demam, batuk, pilek dan hidung

tersumbat serta sakit kepala. Pasien juga mengeluh sering terbangun pada tengah malam

karena merasa sesak. Pasien juga tidur mendengkur. Pasien juga mengaku sulit

konsentrasi di sekolah dan sering mengantuk. Berdasarkan teori, Bila sering terjadi

Infeksi saluran pernapasan atas, terjadi invasi kuman maka adenoid semakin lama akan

membesar karena sebagai kompensasi bagian atas maka dapat terjadi hipertrofii

adenoid, akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba

eustachius. Akibat sumbatan koana yang ditemukan pada pasien adalah bronchitis yang

dibuktikan dari hasil pemeriksaan penunjang foto thorax pasien. Sedangkan gejala

sumbatan tuba eustachius tidak ditemukan, telinga pasien masih dalam batas normal.

Page 31: hypertropi adenoid

Gangguan tidur pada os berupa sleep apnea , dan tidur ngorok terjadi akibat hipertrofi

adenoid. adenoid terlalu besar menutup torus tubarius sehingga pada pemeriksaan fisik

fenomena palatum mole negative dan hasil rontgen terdapat hypertropi adenoid.

Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa ngganjal ditenggorokan, rasa kering

ditenggorokan, dan nafas berbau. Berdasarkan teori, gejala lain yang dikeluhkan oleh

pasien dengan tonsillitis kronis adalah rasa ada yang mengganjal ditenggorokan,

dirasakan kering ditenggorokan, dan nafas berbau. Namun tidak ditemukan pada pasien,

hanya rasa kering ditenggorokan yang ditemukan pada pasien.

Berdasarkan analisa kasus diatas dengan membandingkan kesesuaian antara

teori dan kondisi pasien maka dapat ditegakkan diagnosa adenotonsilitis kronis.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien adalah tindakan pembedahan

berupa adenotonsilektomi, berdasarkan teori, beberapa indikasi tonsilektomi yang

terdapat pada os yaitu serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah

mendapatkan terapi yang adekuat; Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil

dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan; dan Rhinitis yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan. Sedangkan indikasi adenoidektomi pada os adalah

indikasi sumbatan yang mengakibatkan pasien mengalami sleep apnea dan gangguan

menelan.

Page 32: hypertropi adenoid

BAB V

KESIMPULAN

1. Telah dilaporkan pasien An. S, 10 tahun dengan diagnose Adenotonsilitis kronis

yang diterapi dengan tindakan adenotonsilektomi.

2. Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari tonsil dan

adenoid.

3. Gejala adenotonsilitis kronis adalah sering sakit menelan, hidung tersumbat sehingga

nafas lewat mulut, tidur sering mendengkur karena nafas lewat mulut sedangkan

otot-otot relaksasi sehingga udara menggetarkan dinding saluran nafas dan uvula,

sleep apnea symptoms, dan maloklusi

4. Penatalaksanaan dapat berupa pemberian terapi local, terapi simptomatis dan terapi

antibiotic, atau pada kondisi tertentu, jika terdapat indikasi, dilakukan tindakan

pembedahan.

5. Terdapat beberapa komplikasi adenotonsilitis kronis baik terhadap organ

disekitarnya maupun organ lain yang jauh.