Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

13
S. Brodjo Soedjono. Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis S. Brodjo Soedjono Abstract Tentang 'negara hukum", 'supremasi hukum", dan equality before the law, tersurat jelas dalam Konstitusi, UU, dan doktrin hukum. Bahkan aparat penegak hukum tak henti-henti "mendeklarasi" setiap kali. Namun jika Anda bertanya, mengapa ketlga "hakikat asasi" hukum itu tidak menemukan rujukan empiriknya dalam dunia hukum Indonesia? Jawabannya, karena dominasi kekuasaan atas hukum. Ituiah hukum represif. Pengantar Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi mengatur begitu tegasnya. Supremasi hukum, terelaborasi begitu jelas dalam dogma, doktrin, dan UU. Soal ke- harusan penegakkan hukum tanpa pandang bulu (equality before the law), pemerintah dan aparat penegak hukum selalu didengungkan nyaring. Namun ketiganya yang terabalkan. Ituiah yang riil terjadi. Kekuasaan lebih utama dari hukum. Penegak hukum seolah lebih "terpesona" pada "bulu" yang dlhadapi- nya ketimbang kepastlan dan keadllan. Produk leglslasi lebih mencerminkan kemauan penguasa daripada kehendak rakyat. Kekuasaan dan hukum, praktis menjadi dua entitas yang menjalin diri dengan sangat menyatu —dl mana hukum dibuat dan disahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagai anak sulung— yang senantiasa berusaha menerobos ke celah-celah yang mudah direkayasa sehingga hukum lebih dirasakan sebagai alat penguasa, ketimbang sebagai kontrolkekuasaan.^ Pembatasan kebebasan menyampaikan pendapat lewat UU No. 9/1998, pemaksaan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, dan ^Fenomena umum dalam hukum modem menyangkut "persaingan" antara hukum dan kekuasaan, ditandai oleh dua kecenderungan. Yang satu, ketertutupan sistem hukum terhadap kekuasaan. Sedangkan yang lain, serba dominasi kekuasaan atas hukum. Masil akhir dari dua kondisi tersebut, berujung pada ketakmampuan hukum sebagai sarana mengarahkan perubahan dan penoapaian perubahan (Lihat Philippe Nonet &Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. London: Harper and Row Publisher, him. 4. 157

Transcript of Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

Page 1: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis

Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukumyang Tidak Demokratis

S. Brodjo Soedjono

Abstract

Tentang 'negara hukum", 'supremasi hukum", dan equality before the law, tersurat jelasdalam Konstitusi, UU, dan doktrin hukum. Bahkan aparatpenegak hukum tak henti-henti"mendeklarasi" setiap kali. Namun jika Anda bertanya, mengapa ketlga "hakikat asasi"hukum itu tidak menemukan rujukan empiriknya dalam dunia hukum Indonesia?Jawabannya, karena dominasi kekuasaan atas hukum. Ituiah hukum represif.

Pengantar

Indonesia adalah negara hukum.Konstitusi mengatur begitu tegasnya.Supremasi hukum, terelaborasi begitu jelasdalam dogma, doktrin, dan UU. Soal ke-harusan penegakkan hukum tanpa pandangbulu (equality before thelaw), pemerintah danaparat penegak hukum selalu didengungkannyaring. Namun ketiganya yang terabalkan.

Ituiah yang riil terjadi. Kekuasaan lebihutama dari hukum. Penegak hukum seolahlebih "terpesona" pada "bulu" yang dlhadapi-nyaketimbang kepastlan dan keadllan. Produkleglslasi lebih mencerminkan kemauan

penguasa daripada kehendak rakyat.Kekuasaan dan hukum, praktis menjadi duaentitas yang menjalin diri dengan sangatmenyatu —dl mana hukum dibuat dandisahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagaianak sulung— yang senantiasa berusahamenerobos ke celah-celah yang mudahdirekayasa sehingga hukum lebih dirasakansebagai alat penguasa, ketimbang sebagaikontrolkekuasaan.^

Pembatasan kebebasan menyampaikanpendapat lewat UU No. 9/1998, pemaksaanUU Penanggulangan Keadaan Bahaya, dan

^Fenomena umum dalam hukum modem menyangkut "persaingan" antara hukum dankekuasaan, ditandaioleh dua kecenderungan. Yang satu,ketertutupan sistem hukum terhadap kekuasaan. Sedangkan yang lain,serbadominasi kekuasaan atas hukum. Masil akhir dari duakondisi tersebut, berujung padaketakmampuanhukum sebagaisarana mengarahkan perubahan dan penoapaian perubahan (Lihat Philippe Nonet &PhilipSelznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. London: Harper and RowPublisher, him. 4.

157

Page 2: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

ketiadaan aturan peralihan dalam UU No. 31/1999, merupakan sekelumit contoh betapakuatnya cengkeraman kekuasaan dalamproduksi hukum. Kemacetan proses hukumKKN Soeharto dan kroni-nya, penculikanAktivis Demokrasi, dugaan suap AM Ghalib,sangkaan korupsi Beddu Amang, sertaskandai Bank Bali dan Texmaco, adalahcontoh lain dalam penegakan hukum yangmenunjukan betapa "hukum kekuasaan", dan'bukan "kekuasaan hukum" masih ada di alam

reformasi.

Fenomena Instrumentasl hukum bag!kepentingan kekuasaan^ sepertidalam contohdi atas. disebut Nonet dan Selznick sebagalhukum represif.^ Tipe hukum represif inisecara kategorial oleh Nonet dan Selznickdibedakan dengan dua tipe yang lain, yaituhukum otonom* dan hukum responsif.®Tulisan ini membatasi diri pada persoalanproduksi hukum yang tidak demokratissebagai sebab lahimya hukum represif. Olehkarena itu, selain bagian pengantar di atas,makalah ini jugaterdiri dari empatbagian lain.Yaitu: (1) Hukum represif; (2) Anatomi produksi

hukum yang tidak demokratis, (3). Akibathukum represif, (4). Jalan keiuarsebagai penutup.

Hukum Represif

Sebelum membahas persoalan produksihukum yang tidak demokratis sebagai sebablahimya hukum represif, dipandang periu untuksekilas menelusuri "anatomi" hukum represifitu sendiri. Sebab, hanya apabila apa yangdimaksudkan itu telah jelas, maka kita dapatmengusulkan langkah-Iangkah untukmengakhirinya. Nonet dan Selznick member!perhatian khusus pada variabel-variabel yangberkaitan dengan hukum (represif), yaitu:peran paksaan dalam hukum, hubunganantarahukum dan politik, negara, moral, sertatempat diskresi dan tujuan dalam keputusan-keputusan hukum.®

Secara ringkas, "anatomi" hukum represifterurai dalam paling sedikit sepuiuh ciriutama.' (1). ketertiban menjadi tujuan utamahukum; (2). iegilimasi atau dasar kekuatanmengikatnya adalah kekuasaan negara; (3).peraturan-peraturannya yang terumus secara

2/b/d. him. 29.'hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif. Tipe hukum ini bertujuan mempertahankari

statusquo penguasa yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamln ketertiban. Dengan demikian, hukum inidirumuskan secara rind untuk mengikatsetiaporang, kecuaii penguasa/pembuat hukum (/bid, him. 29-52).

'hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang setia menjaga kemandlrian hukum itu sendiri.Karena sifatnya yang mandiri, maka yang dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara kekuasaandengan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan prcsedural hukum yang bebas dari pengaruhpoiitik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan (Ibid, him. 53-72).

®hukum responsif, yakni hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasipublik, Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka lipe tiukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerimaperubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik (Ibid, him. 73-113).

®Lewat pemaparan sekalian variabel tersebut. Nonet dan Selznick mengajukan tlga teori tersebut untukmenjeiaskan hubungan-hubungan sistemik dalam hukum dan konfigurasi khusus di mana hubungan-hubungantersebut terjadi.

'/b/d.hlm.9.

158 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL 7. APRIL 2000:157 -169

Page 3: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Vdak Dempkratis

rinci bersifat keras (represif) mengikat rakyat,tapi lunak terhadap penguasa; (4). alasanpembuatannya bersifat ad-hoc sesuaikeinginan arbitrer penguasa; (5). kesempatanbertindak bersifat serba meresap sesuaikesempatan: (6). pemaksaan serba mencakupitanpa batas yang jeias; (7). moralitas yangdituntut dari masyarakat adalah pengendaliandiri; (8). kekuasaan menempati posisi di atashukum; (9). kepatuhan masyarakat harus tanpasyarat, dan ketidakpatuhan dihukum sebagaikejahatan; (10). partisipasi masyarakatdiijinkan lewat penundukkan diri, sedangkankritik dipahami sebagai pembangkangan.

Dari konstelasi hubungan antarvariabei itu,jelaslah bahwa hukum represif merupakansistem hukum kekuasaan represif yangbertujuan mempertahankan kepentinganpenguasa —yang kerapkail diterapkan dengandaiih menjamin ketertiban. Karena hukummerupakan alat penguasa, maka daiamgeraknya aturan-aturan hukum tidak mengikatpenguasa sebagai pembuatnya. Sebaiiknya,ia berfungsi mengendalikan seiuruh aspekkehidupan rakyat yang dirancang secarasentrai —untuk menciptakan, meiaksanakan,serta memperkuat kontrol terhadap segenapkegiatan masyarakat.®

Konfigurasi sistem hukum yang demikian,tak pelak iagi memunculkan wajah hukumyang memihak pada penguasa. Persis di titikini, hukum represif bersimetris dengan apayang oieh Podgorecki® disebut hukum

otoriterian. Yakni suatu sistem hukum denganciri: Pertama, substansi hukumnya berisiperaturan yang mengikat sepihak dan materinyaberubah-ubah sesuai keinginan yang bersifatarbitrer sang penguasa.

Kedua, aturan hukum dipakai sebagaikedok dengan cara yang "iihai" untuk menutupiintervensi kekuasaan yang beriebihan. Ketiga,"penerimaan" masyarakat terhadap hukumberjalan daiam kesadaran paisu. Keempat,sanksi-sanksi hukum, potensiii menimbulkankeberantakan soslai {social disintegration),dan nihiiisme sosiai menyebar tak terkendali.Kelima, tujuan akhir hukum adalah legitimasiInstitusionai yang iepas dari persoalan diterimatidaknya oieh masyarakat

Pembusukan hukum dan lestarinya KKNpada masa Orla dan Orba —yang sampaiderajat tertentu masih kokoh hingga sekarang,justru karena penggunaan kekuasaan yangtidak terbatas oieh penguasa daiammenentukan materi, bentuk produk hukum,dan penggunaannya—untuk diabdikan bagikepentingan penguasa dan para kroni-nya.Dengan didukung oieh perencanaan yangsistematis iewat peraturan-peraturan yangdiusulkan dan dibuatnya (UU, PP, Kepres,inpres, Kepmen dan Iain-lain), pemerintahmeiakukan intervensi secara "syah" dan leluasadaiam tiap relung kehidupan rakyat. Tak peiakIagi, sistem hukum iebih mewajah selerapenguasa ketimbang kepentingan rakyat.'®

^Ibid. him. 52.®Uraian menyeluruh tentang hukum totalitarian, dapat dibaca daiamAdam Podgorecki. 1996." Totalitarian

Law; Basic Consepts and issues', daiam Totalitarian andPost-Totalitarian Law. Pogorecki &OllgiatI (eds.).'®Dalam skema teori klasik Dahrendorf, penguasaan penguasa atas rakyat dapat dilihat sebagai akibat

semata dari hubungan yang tak seimbang antara pemegang otoritas dengan rakyat yang diperintah (RalfDahrendorf. 1954. Class and Class Conflict in Industrial Society Stanford. University Press, him. 176.

159

Page 4: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

Tentu saja produk hukum yang demikian,pada dirinya bertentangan dengan Asaslegalitas sebagai asas hukum yang palingdasar dan semesta yang dianut negara-.negara demokrasi.' Dari sejarahnya, asas in!lahir sebagai reaksi terhadap keialimanpenguasaAnc/en Reg/me di Eropa BaratAbadke-17 dan 18. Pada masa itu, penguasabersama Gereja yang tergabung dalamStandestaat, menjalankan kekuasaan yangtotaliteristik —sehingga hak-hak asas! rakyatdiabaikan bahkan dilnjak-injak.

Berkat ketajaman pena para cendikiaseperti, Mentesquieu, Voltaire, Beccaria, danDe Sarvan, telah mengilhami kaum borjuisdengan energi kapltalnya, untuk berjuangmenjatuhkan keangkuhan Standestaatdengan feodalismenya, sehingga demokrasibeserta Rule of Law dinobatkan menjaditatanan baru kehldupan yang demokratis."Ituiah sebabnya, sebagai"asas pembebasan",asas legalitas bersama asas-asas lain seperti,asas kesamaan, publisltas, proporsionaiitas,dan subsidiaritas, berfungsi sebagai asaskritis-normatif terhadap kekuasaan. Sekallanasas itu, seiain dijadikan ukuran untuk meniiaikewajaran penggunaan kekuasaan penguasaterhadap rakyat. juga sekailgus berfungsimengatur "gaiis demarkasi" kehldupan rakyatyang boieh atau tidak boleh dimasuki olehkekuasaan penguasa.

Dua fungsi itu secaraimplisit tersirat dalampasai 1ayat (1) Kitab Undang Undang HukumPidana yang berbunyi: "Tiada suatu perbuatan

dapat dipidana kecuaii atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yangtelah . ada, sebelum perbuatan dilakukan."Ketentuan pasal 1; 1 KUHP yang juga sangatdikenal dengan sebutan asas legalitas.

Menurut Nice Keijzer,'̂ asas legalitasmempunyai dua fungsi dasar, yaitu: Fungsipedindungan, artinya undang-undang pidanaberfungsi untuk melindungi rakyat terhadappelaksanaan kekuasaan tanpa batas olehpemerintah. Di samping fungsi melindungi,undang-undang pidana juga mempunyaifungsi instrumental, artinya di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undangpelaksanaan kekuasaan oleh pemerintahuntuk menuntutsetiap orang yang melanggar,tegas-tegas dlperbolehkan.

Pasal 1:1 KUHP berkaitan pula dengankeharusan untuk adanya jaminan proseduryang memadal dan kepastian hukum dalamhukum pidana. Oleh karena itu, dimensi lainyang tercakup dalam asas legalitas adalahdimensi politik hukum yang berarti periakuanyang sama di depan hukum bagi semua orangtanpa kecuaii. Asas periakuan yang samainilah menjadi landasan pedindungan hak asasimanusia dalam hukum pidana.

Anatomi Produksi Hukum yang TidakDemokratis

Tentang sebab terjadinya produksi hukumyang tidak demokratis, diduga seiain macetnyakontrol publik (ekstemal) balk pers maupun

"LIh. Gianfranco Poggi. 1978. The Development ofthe Modern State. ASociological Introduction.London: Hurchinson &Co. Ltd.

"Nico Keijzer. 1989. 'Legaliteitsbeginsel'. Makalah pada Penataran Naslonal Hukum PidanaAngkatan IIIKerjasama Indonesia-BelandadiKupang.SOJulisampaidengan 19Agustus. him.3-4.

160 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL 7. APRIL 2000: 157• 169

Page 5: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis

lembaga-lembaga kontrol lainnya, terdapatsejumlah faktor penentu dalam sistem produksihukum yang memang tidak demokratis.

Pertama, proses legislasi yang terpusatpada eksekutif. Seiama pemerintahah Orba,hampir semua RUU berasal dari lingkunganeksekutif, termasuk RUU mengenai tata tertibDPR sendiri berasal dari eksekutif. Bahkandalam geraknya, menteri-menteri sebagaipembantu presiden mempunyai "wewenang"yang jauh lebih kuat daripada anggota DPRdalam menentukan bobot dan kelayakanmateri RUU menjadi UU. Hal yang sama terjadidi tingkat provinsi dan kabupaten. Gubemurdan Bupati lebih "berkuasa" daripada DPRD.

Kedua, formasi keanggotaan DPR/DPRDyang dikehendaki pasal 19UUD'45 sedemikianrupa didesain menjadi dua kelompok; "wakilpilihan rakyat" dan "wakil promosi" ,darikalangan militer dan polisi. Komposisi yangdemikian, menimbulkan distorsi kedaulatanrakyat—apalagi di masa Orba "wakil pramosl"itu menjadi kawan seiring dengan Golkar yangbertindak sebagai partai penguasa.

Ketiga, sebagai akibatnya, RUU bawaanpemerintah yang memang jarang ditolak DPR(kecuali terjadi reaksi keras publik), adalahpesanan hasil tawar-menawareksekutifdenganpihak luar, sehingga tidak jarang materinyaberupa duplikasi dan atau terjemahan dari"dokumen" tertentu.

Keempat, pembahasan RUU di DPR punlebih sering berkutat pada persoalan

redakslonal dengan kurang menggugatsubstansi apalagi semangat di balik paket RUUitu.

Kelima, penyusunan rancangan suatuRUU seringkali hanya menjadi persoalan ahlihukum. Padahal sebagai sebuah institusisoslal, hukum menjangkau lebih dari sekedarurusan teknis hukum. la juga berurusan denganpersoalan manajemen sdsial yang tidak bisatidak, harus melibatkan ahli-ahli lain sepertisosiologlwan dan antropologiwan untukmenyebut beberapa saja.

Keenam, proses penyusunan RUU daripemerintah pun temyata merupakan urusansegelintir staf ahli dalam lingkungan birokrasiyang begltu elilis.. Ada pun drafakademik yangmelibatkan pihak universitas, acapkali terbenturpada pertelingkahan ilmiah objektif dan politikpragmatis.

Kelemahan mendasar produk hukumtersebut, justru terletak dl sini: Atas nama"kepentingan nasional", desain produksihukum diorientasikan pada apa yang dikenaiunifikasi primitif." Yaltu, proses penundukansekalian aspirasi rakyat pada sebuah otoritasyang bersifat monolitik: safi/ subjek (bertolakdari penguasa), satu makna (menurut konseppenguasa), safu tindakan (yang diinginipenguasa), dan satu akibat (sesuai targetpenguasa).^*'

Proses legalisasi kekuasaan penguasatersebut menjadi serba meliputi (embracing),ketika mesin administrasi pemerintahan

"Ini merupakan ekses dari etika mikro liberal, yang menurut Santos telah menjadi konsepsi dominan dldalam rasionalitas moral praktis modernisasi. Lihat B. De Sousa Santos. 1995. TowardANew CommonSense: Law, Science and Politics in Paradigmatic Transition. New York: Routledge.

"Bag! Santos, etika liberal beroperasl melalui urut-urutan linier; satu subjek. satu tindakan, dan satu akibat(Ibid., him. 50).

161

Page 6: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

dibiarkan memproduksi serbaneka kebijakanpublik tanpa kontrol yang memadai. Alhasil,bukan saja terjadi inflasi kebijakan publik yangsarat KKN, tetapi juga hakikat pemerintahsebagai pelaksana kehendak rakyat—yangidealnya setiap seat slapmempertanggungjawabkan segalakebijakan—dengan mudah berbalik sebagaipenguasa yang mendikte rakyat.'®

Oleh karena itu, kerap kali apa yangdisebut hukum, bukan berisi tentang apa yangdipandang perlu oleh rakyat untuk diatur,melainkan apa yang menurut pemerintahperlu untuk mengaturbahkan menekan rakyat.Meminjam Foucault, rasionalitas kekuasaanseperti ini tidak kurang naluri will to power.'®Yakni suatu rasionalitas "penyebaran dominasi".''Inilah yang menjadi saiah satu penjelasanmendasar, mengapa segala keberatan rakyatatas ketakberesan penguasa masa lalu, selaludipasung dengan inkonstitusional, melawanhukum, melanggar UU, dan ungkapan-ungkapan lain yang semakna seperti, melawanpemerintah, makar, anarkhi, serta yang palingkejam, separatisme GPK, PKI dan antiPancasila.

Akibatnya, aturan hukum menjadi tumpukanlegislasi yang tidak terpikirkan {unthinking law)oleh rakyat, karena berada di luar kepentingandan tangkapan rasa mereka.'® Fenomena itu,dengan mudah ditemukan dalam tumpukan"Keppres Orba" yang "dievaluasi" "Masyarakat

Transparansi Indonesia" (MTI). Dari 528 buahKeppres yang ditelorkan Soeharto minus 118buah Keppres hasil ratifikasi perjanjianinternasionai selama periode lima tahun(1993-1998), terdapat 79 buah yang oleh MTIdinilai bermasalah.

Seperti perundang-undangan bidangpolitik di masa Orba, puluhan keppres yangbermasalah itu menjadi bukti tentangpenggunaan kekuasaan yang tidak terbatasoleh penguasa dalam menentukan materi danbentuk produk hukum —untuk diabdikan bagikepentingan penguasa dan para kroni-nya.Kenyataan itu juga memperlihatkan sikapkesewenangan penguasa memanipulasihukum untuk menjustifikasi tindakannya yangmerugikan rakyat.

Akibat Hukum Represlf

Mengamati carut-marut proses penegakkanhukum selama ini, paling sedikit ada dua"sindrom" besaryang menyeruak ke permukaan.Yang satu adalah, "sindrom" instrumentalismehukum menurut naluri kepentingan yangbersifat arbitrer. Sedangkan yang Iain, gejala"pencairan" hukum menurut kesempatan yang"ditawarkan".

Sindrom pertama, permainan "Kiri-KananOke". Meski menurut logika Lex Certa,ketentuan-ketentuan hukum yang terumus rincimenjadi jaminan kepastian hukum, namun

^®Bandingkan dengan Franc L. Neumann. 1986. The Rule of Law. Political Theory and Legal SysteminModern Society. New Hampshire: Berg Publisher Ltd.

'®Lih. dalam F.B. Hardiman. 1993. "Mengatasi Paradoks Modemisasi". dalam DIskursus Kemasyarakatandan Kemanuslaan. Jakarta; Gramedia.him. 156.

"/b/d.

^®Bonaventura deSousa Santos. TowardANew Common Sense..., Op. CIt. him. 51.

162 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL. 7. APRIL 2000: 157 - 169

Page 7: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis

kerigidan itu menjadi "bersayap" manakalaberangkuian dengan naluri kepentingan. labisa menjadi keras (represif) mengikat pihaktertentu, tap! juga akan lunak terhadap pihaklain—tergantung siapadulu "ibu" atau "bapak"-nya. "Sindrom" itu dengan mudah klta tangkaplewat hamparan kasus yang tergelar anehselama ini.

Ketentuan ijih untuk demonstrasi ditegakkanmati-matian menghadapi massayang bemnjukrasa, tapi pelaku penembakan Trisakti danSemanggi tak tersentuh pasa! pembunuhan.Pasal makar serta-merta ditimpakan tanpaampun pada'para "eksponen" BarisanNasional, tapi penculikan penuh muslihat{gimmick) terhadap Aktivis Demokrasidibiarkan tertelan waktu.

Dalam kasuS'KKN mantan'presidenSoeharto, sangkaan suap AM Ghalib, danskandal Bank Bali, terlihat jelas bahwaintervensi dan cengkeraman kekuasaanbegitu kuat dalam law enforcement. Perihalproseshukum mantan presiden Soeharto, baikperintah Tap MPR No. XI/1998 mau punstandar pembuktian KUHAP dan UU No. 3/1971, bukannya menjadi peluang pemeriksaan,tetapi menjadi sumber Involusi"—yangmenggantung di antara kepastian hukum dankelenturan politik. Fakta/bukti yang "disodorkan"berbagai pihak, tidak diperlakukan sebagailaporan adanyatindak pidana'rtienurut logikapasal 7 (1) huruf a KUHAP. Kejaksaan Agungkalaitu, lebih memilih bersikappasifketimbangpro-aktif mengambil' langkah-Iangkahpenyidikan, seperti diperintahkan oleh pasal5,11,12, UU No. 3/1971 danyang dimungkinkanoleh pasal7 (1) huruf d, e, g, h,j KUHAP.

Menyangkut sangkaan suap Jaksa Agungnon-aktif AM Ghalib, transfer dana daripengusaha yang sementara diperiksa

Kejagung ke rekening pribadi sang JaksaAgung, bukannya diperiksa sebagaipenyuapan atau korupsi, tetapi dibelokkan kejalur non-hukum untuk diaudit Menkowasbang—yang tentu di luar kepentingan penyidikan.Sejumlah rekening bermasalah tidak dapatdiusutkarena Puspom TNI enggan "memasukrruang penyidikan. Sikap Puspom yangmengintrodusir "status terlapor" pada AMGhalib. tidak saja membuatyang bersangkutanterhindar dari proses penyidikan. Juga tidakhanya menyebabkan bagianterbesar rekeningbermasalah AM Ghalib aman dalam

"lindungan" kerahasiaan Bank versi UU No.10/1998. la juga, secara mengagumkanmenikmati status "dilepas bersyarat" hinggaada orang yang mampu menyerahkan bukti

.hukum tentang rekenlng-rekening bermasalahitu—tanpa melangkahi prosedur UU No. 10/1998..Sebuah mission imposible, bukan?

SerupadengankasusAM Ghalib, puluhanoknum pejabatdan rekening yang tersangkutdalam distribusl dan pengembalian uangharam milik BB, dijadlkan informasi rahasia.MeskI auditor independen PncewaterhouseCoopers (PwC) dengan susah payahmerekam llka-liku permainan busuk tersebutdalam long form report sebanyak 400halaman, namun BPK berusaha "mengedit"dalam bentuk "abstraksi" 36 halaman yangsangat kabur. -

"Sindrom" kedua, adalah mencairnyahukum di tangan penegaknya.. Jika dilihat kebelakang, setumpuk "kasus besar" terpaksamenjadi sekedar "kisah fantasi hukum" berkatkepandaian aparat menggunakan kesempatan.Batalhya eksekusi putusan Kasasi dalam kasusOheeyang diterpedo "Surat sakti" Ketua MAR!No. KMA/126/1995, kesalahan prosedurdalam kasus Gandhi Memorial School, serta

163

Page 8: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

pembatalan putusan kasasi lewat PK jaksadalam perkara Muchtar Pakpahan—untukmenyebut beberapa saja.

Sebenamyasecara hukum, sekalian kasusitu terbilang biasa. Keputusan yuridisberdasarkan prosedur normal sudah diambil.Tapi mengapa "kepastian" itu masih bisaditerobos secara "yuridis" pula? Jawabannya,karena bentangan kewenangan yang dimilikiaparat sebagai pejabat/pelaksana hukum,memungkinkan terjadinya pen-"cair''-anhukum. Mereka memlliki kuasa untuk

menentukan ruang-iingkup bukti yang perludikumpulkan. Mereka pula yang "memaknai"bukti mana yang tergolong bukti hukum danmana yang tidak. Mereka mempunyaikewenangan untuk menentukan siapa yangpeiiu ditahan dan siapa yang tidak. Bahkanmereka berkuasa menetapkan status hukumseseorang dsb. Sekalian kewenangan itu,niscaya memberi peluang bagi terjadinyatransaksi "saiing tindak" dan "saling ucap"dalam "logika resiprositas" (saling bayarkewajiban).

Menurut Charies Sampford. penegakhukum sebagai "pemikul tugas", tidak hanyamengabdi kepada hukum, tetapi juga terikatpada "logika" kepentlngan lain di iuar hukum.Kalkulasi kepentingan di iuar kenormaianlogika hukum umum seperti Itu, dijeiaskanSampford sebagai fenomena legal me/ee.'®

Kata melee —dipakai Sampford sepadandengan fluid— untuk menunjuk padamencairnya hukum ditangan seorang pejabat/pelaksana hukum {law occupant). Meski

idealnya, bangunan hukum itu harus sistemik—dalam arti ada kejumbuhan antara aturan,pelaksanaan, dan tujuannya, namun sepertidikatakan Sampford, harapan Itu acapkalitidak terwujud— karena masuknyakepentingan "bam" yangbegitu aktif menghiasi"sistem situasi" pelaksananya.

Kepentingan tersebut tidak hams mumibersifat subjektif dan berada jauh di Iuarlembaga hukum. Sebaliknya, kepentingan Itu,justru muncul dalam lingkaran hukum Itusendiri, entah karena aturan hukum itusendirimebuka pelaung, ataupun karena kekuasaandan kewenangan yang dimilikinya sebagaipejabat/pelaksana hukum dalam lingkungan(kerja) masing-masing. Justru karenajabatannya, maka sesungguhnya dalam diriseorang pejabat/pelaksana hukum, niscayaselalu tersimpul dua "motif. Yang satu, adalahmotif pemegang wewenang yang memilikikuasa tertentu untuk menentukan arah

pelaksanaan hukum. Sedangkan yang lain,lalah motif pemakai wewenang yang menjlnjingkepentingan tertentu, dan bila dipandang perludapat diselipkan pada sarana (aturan) yangdipakainya.

Kenekatan Jaksa Penuntut Umum

mengajukan PK dalam perkara MuchtarPakpahan misalnya, merupakan contohpaling teras dari fenomena kepentingan yangdemiklan itu. Ketiadaan mmusan hukumyangeksplisit melarang JPU mengajukan PK, tidaktemtamaditangkap sebagailarangan—sepertilazim logika normal hukum. Dengan"kekuasaan" dan "kewenangan"-nya sebagai

'®Tentang logika Legal Melee. Lihat Sampford. 1989. The Disorder ofLaw: ACritique ofLegalTheory. New York: Basill Blackwell Inc.

164 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL. 7. APRIL 2000: 157 - 169

Page 9: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Wak Demokratis

pejabat yang berhadapan dengan terdakwa,JPU menangkap ketidaktegasan aturan itusebagai kesempatan hipotetis. Jadikemungkinan terjadinya pergantian tujuan{goaf-substitution—goal-displacement) daritujuan "asali" ke tujuan "cadangan" merupakankeniscayaan pula.

Penyelenggaraan hukum yang demikiantelah menelorkan efek ganda yang ujung-.ujungnya membentuk "piramida korbanrakyat". Yang satu, rezim Orbaterseret dalamotoritarianisme. Melalui "Sapujagat" tentanggambaran kelam kiprah penguasa (Orba) yangbersemboyan: "Saya Punya Jangan Diganggu-gugat"—operasi ambil alih mana sukaterhadap "milik" rakyat—telah meneguhkankeyakinan bahwa penguasa dengan power-nya, adalah penentu segala yang "benar","baik", dan "tepat". Sedangkan yang lain,dengan polarisasi asimetris binary opposi-f/on—"penguasa" dan "yang dikuasai",masyarakat teijebak dalam segmentasi lintas"wilayah" sehingga menimbulkan kecurigaan,kegelisahan, dan kecemasan kolektif (collective anxiety) yang berujung pada kekecewaansosial-politik.

Dalam ruang polltik, UU dan peradilanmenjadi instrumen pemaksaan dengankonstruksi sekedar pilihan "InF atau "itu".^"Rakyat—apalagi yang kritis—menjadikelompok sasaran utama untuk "diajar"

menjadi "beradab". Ya, "menyesuaikan diri,atau tamat riwayat". Dalam ruang sosial,kebljakan menyangkut perbedaan pribumi dannonpribumi meneguhkan segmentasi menurutpolarisasi "kami-kamu". Daiam bidangekonomi puluhan Keppres ala Soehartomenghalalkan pembagian rejeki kekayaannegeri menurut status dan kedekatan denganlingkaran konco dan kacung penguasa.

Dari sudut integrasi sosial, "kebijakanhukum" seperti ini tidak kurang dari prosespenggusuran identltas, harga diri, dansemangat kederajatan—yang bermaknahilangnya mediatingstnjcture bag! terbentuknyapenyelarasan orientasi bersama dalam suatubangsa yang pluralis. Mengapa? Oleh karenaorientasi bersama itu, dimungkinkan hanyaapablla semua komponen bangsa, baikindividu maupun kelompok memperlakukanpihak lain sebagai pihak yang tidak bolehdianggap remeh dengan alasan apapun.Orientasi bersama dalam jalinan rasa senasibdan sepenanggungan menjadi krusiai bag!integrasi, justru karenaintegrasi mengasumsikanadanya pluralitas dan heterogenitas. Pluraiitasdan heterogenitas dapat menjadi kekuatanintegratif, dikalayangsatu mengakui yanglainsebagai bagian yang sederajat.

Hukum menggusur semangat integratif,bagaimana mungkin ia dapat berfungsisebagai mekanisme pengintegrasi? Ketika

^Bandingkan dengan "logika" rasionalitas-tujuan dalam teori sistem yang klasik dari Weber, yangmengutamakan pencapaian manfaat yang sebesar-besamya atasdasarpertimbangan ekonomis. Dalam maknayang demikian, suatu tindakan dikatakan rasionai apablla dalam pencapaian tujuannya, dipergunakan cara-carayang dapatmenekan biaya sampal sekecll-keclinya. Itulah sebabnya,daiammenejemen akan leblhdisukal pendekatan atas-bawah karena arus informasi dari satupusatselalu mudah dikendalikan dandikelola,dibandlngkan dengan Informasi dari pelbagai sumber "di bawah", (lihat dalam Ignas Kleden. 1987. Sikap llmiahdanKritikKebudayaan. Cetakan1. Jakarta: LP3ES. Him. 100).'

165

Page 10: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

"permusuhan" diagungkan lewat hukum,maka yang terjadi adalah kecembuman yangberpadu dengan kekecewaan {grievances).Ketika kekecewaan tidak diakomcdasi oleh

penguasa, masyarakat menumpahkannyalewat konflik kekerasan {violence conflicf). Yangdisebut terakhir ini, menjelma dalam sindrom"katastropi" (bencana tiba-tiba dan meluas) dan"kataklisme" {kekerasan massa akibatturtulensi sosial-politik) dalam seri kemsuhanbernuansa SARA yang menghiasi jagadnegeri. Dengan demikian, kaiangan hukumtidak bisa cuci tangan terhadap kemsuhanyang terjadi. Sebab, sampal derajat tertentukekecewaan yang bemjung pada kemsuhantersebut, mempakan cerminan darikegagalankonstmksi hukum "miiik penguasa" yang"tidakdimengerti" rakyat.

Penutup

Dari "ideoiogi" reformasi —yangmenghendaki "putus hubungan" dengankebusukan masa ialu, "peiestarian" hukumrepresif tidak saja distortif dan terbilang ironis.ia juga merupakan penyakit sekaligusancaman utama yang hams segera diakhiri.Mengapa? Karena momen reformasi iniiahyang menentukanberhasii tldaknya bangsa inimerancang-bangun "dunia baru" yangmenjunjung demokrasi, supremasi hukum,dan Hak Asasi Manusia. Itu berarti, momenreformasi tidak hanya dipakai untuk meiihatsecara tajam dan jelas masalah-masaiahyang samasekaii tidak baik dan tidak beresseperti fakta di atas. la juga—berdasarkanpengenalan masaiah yang ada—digunakanuntuk merancang-bangun semacam skenariodemi mengakhiri rambahan "penyakitkekuasaan" tersebut.

Dengan pertimbangan sistem produksihukum sekarang yang tertutup dan "sfafe ori-ente(r, maka keseimbangan baru yang hamsdirancang-bangun adaiah, tatanan sistemproduksi hukum (bam) yang memberi mangbagi rakyat untuk semaksimal mungkin"teriibat" daiam proses iegislasi. Denganbegitu, iegalitas bsnar-benar dapat berfungsisebagai alat kontroi kritis-normatif hukum—untuk mencegah "pembiaran" dominasikekuasaan yang berwatak serba meiiputi {embracing} itu. Oleh karena itu menumt hematpenuiis, sudah saatnya dipikirkan sejaksekarang agar di satu pihak, menghapuskansekaiian tatanan distortif yang masihdilestarikan, sambii di sisi lain menciptakantatanan yangkokoh bagi terbangunnya 'prosesIegislasi yang bersifat publilC.

Pada aras supra struktur, khususnyaUUD'45 periu diiakukan amandemen.Sebagai negarayang memiliki institusi-institusimodern, managemen penyeienggaraannegara harus ditopang oieh mekanismekontroi institusiona! yang jeias dan mandiri.Oielr karena itu, periu segera diiakukanpenataan kembali hubungan supra stmkturpoiitik, legisiat'f, eksekutif, dan yudikatif melaluipembahan-pembahan sebagai benkut:

Pertama, segera merubah "kerangkakeyakinan" daiam penyeienggaraan negarayang digantungkan pada kehendak balkpenyeienggaranya untuk menghindarivoluntarisms subyektif dan penyaiahgunaankekuasaan. Seperti diketahui, "kerangkakeyakinan" managemen negara versi UUD'45dikonstruksi dalam sebuah pengandaian"utopis" tentang pimpinan yang baik, tuius, dantidak memiliki kepentingan sendiri. Sebuahpengandaian yang secara kontemporer tidakiagi menemukan pembenaran emplrik—

166 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL. 7. APRIL 2000: 157 - 169

Page 11: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis

seperti dibuktikan oleh abuse of power danpraktik KKN sejak pemerintahan Soekarno,Soeharto, hingga pemerintahan Habibie.

Kemunculan mereka sebagai pimpinanbangsa tidak bisa dipungkiri dilandasisemangat yang iuhur. Namun dalamkendaraan UUD'45, ketiganyajatuh ke lufaangyangsama, yaitu naluri preservasi kekuasaanyang mengamini "postulat"-nya Lord Acton:-"power tends to corrupt, and absolute powercorrups absolutelf. Sebagai negara yangmemiliki institusi-institusi modem, managemenpenyeienggaraan negara harus ditopang olehmekanisme kontrol institusionai yang jelasdanketat

Kedua, mengganti asas pembagiankekuasaan oleh prinsip pemisahan kekuasaan >untuk menjamin berjalannya mekanismecheck andbalance antar supra-struktur politik. •Oleh karena itu,. perlu segera diiakukanpenataan kembali hubungan supra strukturpolitik antara legislatif, eksekutif, dan yudikatifmenurut prinsip Trias Politika.

Pengalaman Orba telah membuktikan,bahwa prinsip pembagian kekuasaanmembungkus paling sedikit dua penyakitendemik—yang ujung-ujungnya membukapeluang pada dominasi eksekutif. Yang satu,adalah kekaburan batas wewenang,kepentingan, dan tugas antara legislatif,eksekutif, dan yudikatif. Kekaburan itumenghasilkan kewenangan eksekutif yangserba meiiputi. balk di wilayah legislasi maupun yudikasi.

Sedangkan yang lain,'ialah munculnyakohsepsi "kemitraan" antara legislatif daneksekutif —ketika "menerjemahkan" statutapasal5 (1) UUD'45— presiden "bersama" DPRmembuat UU. Dengan konsepsi yangdemikian, bukan saja kian mengaburkan

pembagian wewenang, kepentingan, dantugasantarakeduanya. lajuga, dan inilah yangterutama, adalah keduanya sama-samamenjalankan kekuasaan, dan keduanya"bergotong-royong" mengawasi penggunaankekuasaan. Dengan memakai istilah popularkontemporer reformasi, meminjam istilahIgnas Kleden, antara keduanya teijadi semacamkolusl.

Ketlga, mencegah "negararisasi" hukum.melalui pembatasan kewenangan membuatUU organik, khususnya menyangkut hak-hakdasar masyarakat dan kewajiban-kewajibanutama negara. UUD'45 terlalu banyakmendelegasikan kewenangan kepada negarauntuk menjabarkan prinsip-prinsip dasamya.lewat UU organik.

Kewenangan tersebut diatur dalam tidakkurang 11 pasal yang meiiputi berbagaibidang-yang sangat vital. Semisal keanggotaan MPR(ps. 2), syarat-syarat pemberlakuan keadaandarurat (ps. 12), otonomi dan hak asal-usulmasyarakat lokal (ps. 18), susunan dankomposisi DPR (ps. 19), keanggotaan-dankewenangan BPK (ps. 23), keanggotaan dan"kekuasaan MA dan kehaklman (ps. 24-25) danhal-hal lain menyangkut hak warga negara.

Kiprah rezim Orba "menerjemahkan"prinsip-prinsip dasar tersebut, tidak sajamemupuk manipulasi konstitusi, tetapl jugamengaklbatkan penguasaan negara terhadapmasyarakat. Dengan bersembunyi padaketakberdayaan DPR—yang by c/es/gn dibuatkalah saing dengan eksekutif, substansi UUorganik ditentukan menunjt selera penguasa.Contoh mengenai halini amat banyak. Semisal.konservasi kekuasaan lewat penentuankeanggotaan DPR dan MPR melaluipengangkatan. Dengan kewenangan yangdiijinkan pasal 2 dan 19 UUD'45, tidak saja

167

Page 12: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

menyuburkan diskriminasi politik, tetapi jugamenjadi pengaman konservasi kekuasaan status quo.

Demikian pula represi dan pengebirianhak-hak masyarakat dan rakyat berjalanleluasa: mulai dari hak politik {ps..28), sosial(ps. 31), otonomi (ps. 18), dan pertahanankeamanan (ps.30). Secara demikian, hak dankedaulatan rakyat ditelan habis oleh negaradan penguasa, sehingga harus dibayarmahaldengan hancumya cM!society6anterabaikannyakepentingan-kepentingan non-negara, semisalhak-hak indivldu, HAM, dan otonomi masyarakatlokal.

Keempat, mengatur dan membatasikekuasaan presiden untuk mencegahpenumpukan kekuasaan yang tidakproporsional. Di tangan presiden versi UUD'45,terhimpun bermacam-macam kekuasaan,entah sebagai kepala negara —yang memilikikewenangan yudikatif, kepala pemerintahan—yang memiliki wewenang legislatif, panglimatertinggi ABRl, danIain-lain. Dengan demikian,di tangan presiden terakumulasi tumpukanhak prerogatif yang justru tidak bisa tersentuhlembaga kontrol di luamya.

Keadaan itu kian diperparah oleh tiadanyaprinsip /ex certa (perumusan yang jeias danketat) mengenai masa jabatan presiden. Pasal7 hanya mengandung rumusan karet yangserba embracing. Oleh karena itu, siapa punrezim yang berkuasa niscaya mendapatkeuntungan yang besar dari kelonggaraninterpretasi yang disediakan oleh UUD'45.

Ini sudah terbukti ketika presidenpertamadan kedua mempertahankan kekuasaansecara habis-habisan tanpa merasainkonstitusional—karena memang rumusannya

memberi peluang yang besar bag! rezim untukmenjaga posisi yang ada. Kombinasi antara

kepentingan subyektif untuk mempertahankankekuasaan dan kelonggaran rumusan pasal-pasal konstitusi, membuat rezim yang sedangberkuasa tetap memiliki akses tak terbatasmenghimpun kekuasaan untukmempertahankan sfafus quo.

Kelima, memumikan lembaga DPR/MPRsebagai lembaga rakyat dengan menghapusutusan golongan dan utusan daerah, sertawakll dari kalangan millter/polisi. Sebab,pembiaran "keanggotaan promosi" yangdemikian, selain menimbulkan distorsiaspirasi rakyat, juga membuka peluangmasuknya naluri represif kekuasaan.

Keenam, perlu diatur mekanisme yangmemungkinkan rakyat terlibat langsung dalammenentukan tiap kebijakan balk yang beradadalam wilayah legislatif maupun eksekutlf. Inipanting, bukan saja karena 500orang anggotalegislatif tidak mungkin mewakili aspirasi 210juta rakyat Indonesia, tetapi juga agar rakyatsebagai pemilik kedaulatan dapat mengontrolwakil-wakilnya, sekallgus menyampaikanlangsung aspirasinya. Tentu saja, tennasuk disini adalah pemilihan presiden secaralangsung.

Ketujuh, membangun mekanisme yangmemaksa legislatif untuk mengaktifkan fungsikontrolnya. Tumpukan krisis dan praktik kotorKKN yang diturun-alihkan rezim Soeharto ketangan pemerintahan Habibie, sedikit banyakberbiak dari keengganan "wakil rakyat"menggunakan hak-hak kontrolnya.

Kedelapan, menjadikan proses legislasisebagai "ruang publik". Ini penting, bukan sajakarena pengalaman masa lalu di mana DPRselalu kalah saing oleh eksekutlf. lajuga, daninilah yang sangat penting, yakni agarprodukhukum lebih bermuatan aspirasi rakyatketimbang konsesi kepentingan pemerintahdan DPR. Sedangkan yang terakhir,

168 JURNAL HUKUM. NO. 13 VOL 7. APRIL 2000: 157 -169

Page 13: Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum

S. Brodjo Soedjono. Hukum Represifdan Sistem Produksi Hukum yang Jldak Demokratis

kesembilan, periu regulasi yang rincimengenai HAM dengan mengadopsiinstmmen-instrumen intemasional yang ada.

Inilah sejumlah agenda mendasar reformasikelembagaan, menuju terbangunnya "model"—yang baru— yang berfungsi sebagai "thecentral cognitive resource" penyeienggaraanhukum ke depan. •

Daftar Pustaka

Nonet, Philippe &Philip Selznick. 1978. Lawand Society in Transition: TowardResponsive Law, London: Harper andRow Publisher.

Dahrendorf, Ralf. 1954. Ciass and ClassConflict in industrial SocietyStanford: University Press.

Poggi, Gianfranco. 1978. The Developmentof the Modern State, A SociologicalIntroduction. London: Hurchinson &

. -'.Co.Ltd. -

Keljzer, Nice. 1989. "Legaliteitsbeglnsei."Makalah pada Penataran NaslonalHukum Pidana Angkatah ill

Kerjasama indonesia-Beianda diKupang, 30 Juli sampai dengan 19Agustus, hal.3-4.

Santos, B. De Sousa. 1995. Toward A NewCommon Sense: Law, Science andPolitics In Paradigmatic Transition.New York: Routledge.

Neumann, Franc L. 1986. TheRule of Law,Political Theory and Legal Systemin Modern Society. New Hampshire:Berg Publisher Ltd.

Hardiman, F.B. 1993. "Mengalasi .ParadoksModernisasi", dalam DiskursusKemasyarakatan dan Kemanusiaan.

- Jakarta: Gramedla.

;Sarnpford. 1989. The Disorder ofLaw:A CritiqueofLegalTheory. New York: BasillBlackwell Inc.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap iimiah dan KritikKebudayaan. Cetakan 1. Jakarta:

, LP3ES, Him. 100).

169