Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

37
Tugas Makalah Hukum Perikatan Loan and guarantee aggrement Disusun Oleh FIRMAN Sultan T STB: MKH 45 13 012 PROGRAM STUDI ILMU-ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45 MAKASSAR

description

SLAMAT BELAJAR

Transcript of Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Page 1: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Tugas Makalah Hukum Perikatan

Loan and guarantee aggrement

Disusun Oleh

FIRMAN Sultan T

STB: MKH 45 13 012

PROGRAM STUDI ILMU-ILMU HUKUM

UNIVERSITAS 45 MAKASSAR

2014

Page 2: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan

masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui

bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang

sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak

pemberi pnjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang

kepada yang memerlukan. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau

tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat

dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman

untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau

untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.

Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat

dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan

jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang

dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau

berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan.

Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.

Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan

dengan peminjaman dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat

dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini.[1]

Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya

sesuai dengan yang diperjanjikan, krena kredit yang diberikan oleh bank

mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan

asas perkreditan yang sehat.[2]

Page 3: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Sehubungan dengan jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan

sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang

berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan

jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai

pihak pemberi kredit. Peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan

hukum jaminan yang dikodifikasi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang),

sedangkan yang berupa undang-undang, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan

dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).[3]

Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya

sesuai dengan yang diperjanjikan, karena kredit yang diberikan oleh bank

mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan

asas-asas perkreditan yang sehat.

Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya

merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus

melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal dan

agunan serta prospek usaha debitur, yang dalam usaha Perbankan dikenal dengan

sebutan 5 c.

Jelaslah, bahwa agunan mewrupakan salah satu syarat pemberian kredit, jadi,

apabila asas 5 c terpenuhi, maka diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur, dan

kepada debitur yang bersangkutan dapat diberikan kredit.[4]

B.     Tujuan Penulisan

Dari penjelasan di atas penulis bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah

Semester pada mata kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis.

Page 4: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

C.    Manfaat Penulisan

Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas

tentang Hukum Jaminan dan Pemberian Kredit di Perbankan.

BAB II

PERMASALAHAN

Dalam kegiatan pinjam-meminjam uang sering dipersyaratkan adanya

penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman.

Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan

kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan

jaminan perorangan. Jadi sehubungan dengan jaminan utang, maka kita harus tahu

tentang apa itu hukum jaminan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat

mengamankan kepentingannya.

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang

dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun

mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari

dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan

undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.

UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada

prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam

memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga

menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa

regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai Pelaksanaan

Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian

Kredit, Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan

Bank, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit.

Page 5: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, dalam makalah ini penulis

akan memaparkan pembahasan tentang Hukum Jaminan dan Pemberian Kredit

Perbankan seperti permasalahan-permasalahan di bawah ini.

1. Apa saja ruang lingkup Hukum Jaminan yang mencakup berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan ?

2. Bagaimana ketentuan UU Perbankan dalam pemberian kredit ?

3. Bagaimana pemberian kredit dalam hukum islam ?

BAB III

PEMBAHASAN

A.    Ruang Lingkup Hukum Jaminan

Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan

perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan

utang yang terdapat dalam hukum positif di indonesia.

Dalam hukum positif di indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang

sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang.

Materi (isi) peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-

ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan

penjaminan utang. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH

Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping

itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No.

42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan

dalam rangka penjaminan utang. Sehubungan dengan berbagai peratutran

perundang-unangan tersebut diatas lebih lanjut dapat di kemukakan beberapa

ketentuan hukum jaminan sebagai berikut.[5]

Page 6: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Jaminan adalah sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk

membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman

bahwa sang tersangka akan kembali kepersidangan atau membiarkan jaminannya

hangus (sekaligus menjadikan sang tersangka bersalah atas kejahatan kegagalan

kehadiran).[6]

1.      Ketentuan Hukum Jaminan dalam KUH Perdata

Dalam KUH perdata tercantum beberapa ketentuan yang dapat digolongkan sebagai

hukum jaminan.

a.       Prinsip-prinsip Hukum Jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-

ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut.

1)      Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu

bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan)

atas utangnya.

Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik

yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang

pihak peminjam.

Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam

hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang

(pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH

Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak

peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan

dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk

menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di

kemudian hari.

2)      Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman

Kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap pihak pemberi pinjaman dapat

diperhatikan dari ketentuan pasal 1132 KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa

kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1)

Page 7: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan

(2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain

berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik perbankan pihak pemberi pinjaman disebut kreditor dan pihak

peminjam disebut nasabah debitur atau debitur.

3)      Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi

pinjaman

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang

bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh

Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUH Perdata tentang Hipotek.

Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lain, yaitu pada pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan, Pasal

33 UU No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.

b.      Gadai

Gadai diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160

KUH Perdata. Pengertian gadai dalam Pasal 1150 KUH perdata adalah sebagai

berikut.

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang

bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas

namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk

mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-

orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang

tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang

itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan”.[7]

Lembaga jamianan gadai dalam praktek perbankan hanya dipakai sebagai

jaminan tambahan, meskipun sebenarnya kreditur dalam hal debiturnya ingkar janji,

berhak untuk menjual objek gadai melalui pelelangan yang dilaksanakan atas

permohonan dari kreditur oleh Kantor Lelang Negara. Dalam hal objek gadai adalah

saham atau surat-surat berharga lainnya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut,

asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang dalam perdagangan barang-

barang itu.[8]

Page 8: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

c.       Hipotek

Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan KUH Perdata, pasal 1162 sampai

dengan Pasal 1232 adalah Hipotek. Akan tetapi, dengan berlakunya UU No. Tahun

1996, objek jaminan utang berupa tanah sudah tidak dapat diikat dengan hipotek.

Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikta objek jaminan utang yang

ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lain.[9]

d.      Penanggungan Utang

Dalam bahasa Belanda disebut Borgtocht, dalam bahasa Inggris disebut

Guarantee, yang diatur dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata,

tidak banyak dipakai dalam bisnis perbankan, dan andainya pun dipakai, hanya

sekedar sebagai jaminan tambahan. Hal itu disebabkan, oleh karena baik dalam

personal, maupun Corporate Guarantee, penanggung, Borg atau Guarant, tetap

menguasai harta yang dijaminkan, seperti telah tidak terjadi apa-apa, dan ia tetap

dapat secara leluasa menjual, mengoperkan dan membebankan hartanya itu

dengan lembaga jaminan yang lain, dengan perkataan lain, justru oleh karena

penanggung diperkenankan secara bebas melakukan hal-hal itu, maka kreditur tidak

terjamin secara sempurna.[10]

Adapun pengertian dari penanggungan utang dalam pasal 1820 KUH Perdata

adalah sebagai berikut.

“penanggungan utang adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang sangat terkait

kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang mengikat dirinya sebagai

jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak yang mengikat dirinya disebut

penaggung atau penjamin.”

2.      UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan

UU No. 4 Tahun 1996 mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak

Tanggungan. Lembaga jaminan hak tanggungan digunakan untuk mengikat objek

jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah

yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1996, maka hipotek yang

diatur oleh KUH Perdata dan credit verband yang sebelumnya digunakan untuk

Page 9: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat

digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang.

Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 pada tanggal 9 April 1996, pengikatan

objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan

hak tanggungan.

Adapun pengertian hak tanggungan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996

adalah:

“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-

kreditor lain.”[11]

Ciri-ciri Hak Tanggungan

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa U No. 4 Tahun 1996 mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut.

1)      Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya.

2)      Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut

berada.

3)      Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

4)      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

3.      UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

a.       Pengertian fidusia dan jaminan fidusia

1)      Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya dialihkan tersebut tetap

dalam penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka 1).

2)      Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada

dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu,

Page 10: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

yang memberika kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor

lainnya (Pasal 1 angka 2).

b.      Ciri-ciri jaminan fidusia diantaranya adalah :

1.      memberikan hak kebendaan

2.      memberikan hak didahulukan kepada kreditor

3.      memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek

jaminan utang

4.      memberikan kepastian hukum

5.      mudah dieksekusi

c.       Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

1)      Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk

membebani benda dengan jaminan fidusia (Pasal 2).

2)      Undang-undang ini tidak berlaku terhadap hak-hak berikut:

a)      Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang

peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-

benda tersebut wajib didaftar (Pasal 3 huruf a)

Penjelasan Pasal 3 huruf a menjelaskan: berdasarkan ketentuan ini, bangunan

diatas tanah milik orang lain yan tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat

dijadikan objek jaminan fidusia.

b)      Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran dua puluh M3atau

lebih (pasal 3 huruf b).

c)      Hipotek atas pesawat terbang (Pasal 3 huruf c)

d)     Gadai (Pasal 3 huruf d)

3.      Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Penajminan Utang

Ketentuan hukum jaminan terdapat pula pada berbagai peraturan perundang-

undangan lain sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang mengatur

peminjaman utang. Beberapa di antara peraturan pelaksanaan tersebut berupa

Peratura Pemerintah (PP) misalnya PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, PP No.

27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan atau peraturan dari departemen

atau instansi yang terkait, misalnya peraturan perundang-undangan yang

dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mengatur antara alin

tentang penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan . ketentuan dari peraturan

Page 11: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

pelaksanaan kedua undang-undang tentang lembaga jaminan tersebut merupakan

pula bagian dari hukum jaminan dalam rangka pengaturan objek jaminan utang dan

pengikatannya.

B.     Peraturan Perundang-undangan Lain yang Berkaitan dengan Penjaminan

Utang

Selain peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya atau khusus mengatur

tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, terdapat pula peraturan

perundang-undangan lain yang dalam salah satu ketentuannya mengatur tentang

penjaminan utang, ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam berbagai

peraturan perundang-undangan lain tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari

hukum jaminan yang berlaku.

Beberapa di antara ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan lain misalnya yang berupa undang-undang adalah sebagai

berikut:

1. Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, yang menetapkan tentang lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas

tanah dan disebut Hak Tanggungan.

2. Pasal 12 A UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang mengatur mengenai pembelian objek

jaminan kredit oleh bank pemberi kredit dalam rangka penyelesaian kredit macet

debitur.

3. Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yang menetapkan

mengenai pembebanan hipotek atas pesawat udara dan helicopter.

4. Pasal 49 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menetapkan

mengenai pembebanan hipotek atas kapal.

5. Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, yang menetapkan tentang

agunan untuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh

Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek

Di samping ketentuan yang hanya menunju kepada pasal-pasal tertentu dalam

undang-undangnya beserta penjelasannya, perlu pula diperhatikan dan dipatuhi

Page 12: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

ketentuan yang ada dalam peraturan pelaksanaannya (misalnya yang berupa

peraturan pemerintah dan atau peraturan dari instansi terkait) sepanjang memuat

ketentuan yang mengatur penjaminan utang.

BAB IV

Pemberian Kredit di Perbankan dan Hukum Islam

A.    Kredit Perbankan di Indonesia

Dalam memberikan kredit, bank selalu memakai prinsip 5 C, yaitu The Five

Principles of Credit Analysis, yang menghendaki penelitian yang seksama mengenai

watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di milikinya,

jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara pada

umumnya yang sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk mengurangi

resiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan analisa yang akurat

berdasarkan asas 5 C tersebut di atas, bank juga akan melakukan monitoring usaha

debitur secara berkesinambungan.[12]

Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan perbankan di Indonesia pada saat

ini adalah UU perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut mengatur

tentang kelembagaan dan operasional bank komersial di Indonesia, yaitu bank yang

berfungsi melayani kebutuhan jasa perbankan masyarakat.

1.      Pemberian Kredit menurut Ketentuan UU Perbankan Indonesia 1992/1998

Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum

dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan badan usaha

penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit di samping

lembaga keuangan lainnya. Dalam UU Perbankan Indonesia 1992/1998 terdapat

beberapa hal yang berkaitan dengan pemberian kredit, di antaranya adalah sebagai

berikut.

a.       Kredit Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan pengertian

bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

Page 13: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat banyak.”

b.      Pengertian Kredit

Kredit adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak lain yang akan dikembalikan

lagi pada suatu masa tertentu disertai dengan kontra prestasi berupa bunga dengan

kata lain, uang atau yang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang

akan datang sedangkan dalam arti ekonomi, Kredit adalah penandaan.[13]

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam

ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang

tersebut menetapkan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna

tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit

perbankan sepanjang memenuhi unsure-unsur sabagai berikut.

1)      Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang

2)      Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan

pihak lain

3)      Adanya kewajiban melunasi utang

4)      Adanya jangka waktu tertentu

5)      Adanya pemberian bunga kredit

Kelima unsur yang terdapat bdalam pengertian kredit sebagaimana yang

disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut

sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan

untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit

dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh

ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998.

Page 14: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

c.       Pemberian Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank

Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU Perbankan Indonesia 1992/1998

masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha bagi Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit sebagai usaha bank

dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian pinjaman uang ke

masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hokum yang kuat. Bank

dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau lintah darat yang

sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit adalah usaha yang sah bagi

bank sebagai badan usahadan sesuai dengan salah satu fungsi utamanya sebagai

penyalur dana masyarakat.

d.      Pelaksanaan Pemberian Kredit

Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, dalam melaksanakan

kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:

1)      Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan

yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));

2)      Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));

Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang

pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas

permohonan kredit yang diajkan oleh calon debitur, dan memiliki serta menerapkan

pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya.

a)      Analisis kredit

Mengenai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan

kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan

ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat

(1).

Berdasarkan analisis kredit yang dilakukannya, bank akan memberikan

keputusan menolak atau menyutujui permohonan calon debitur. Oleh karena itu,

setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga

Page 15: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan intern dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

b)      Pedoman perkreditan

Kewajiban memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang

ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2) lenih lanjut diatur dengan SK Direksi BI

No. 27/162/KE/DIR.

SK Direksi BI tersebut menetapkan kewajiban semua Bank Umum untuk memiliki

dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KBP) dalam pelaksanaan

kegiatan perkreditannya dan juga melampirkan Pedoman Penyusunan

Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).

KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk Palaksanaan Kredit (PPK)

merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang harus dipatuhi dalam

pelaksanaan pemberian kreditnya.

e.       Batas Maksimum Pemberian Kredit

Pasal 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan ketentuan Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian

kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang

terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau sekelompok

peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal bank

yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan bagi pihak

yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut

mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya

dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang B<PK tersebut

dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.

1)      Pemberian kredit mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam

pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang

dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang

disimpan di bank.

Page 16: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

2)      Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya,

bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penaluran kredit sedemikian

rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu.

Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank Indonesia

sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan

perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

f.       Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank

Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan bahwa dalam

pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan

kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank

Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal

sebagai berkut.

1)      Bank wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern dalam rangka

menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank

yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

2)      Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang dismpan

pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus menjaga dan

memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU

Perbankan Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit

harus mendapat pengawasan berdasarkan system pengawasan intern yang berlaku

pada masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara

kepercayaan masyarakat kepadanya.

Demikian beberapa hal yang diatur oleh ketentuan UU perbankan Indonesia

1992/1998 yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal lain mengenai pengaturan

pemberian kredit adalah yang berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana dan

administratif yang tercantum dalam undang-undang tersebut[14]

g.      Unsur-unsur kredit, terdiri dari:

·         Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan

Page 17: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

·         Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya

·         Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko

·         Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga

Walaupun pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, tetapi penilaian atas

kepercayaan tadi harus memenuhi kriteria Five

C’s (Character, Capacity, Capital,Condition dan Collateral), serta didokumentasikan,

sehingga siapapun yang membaca dasar penilaian pemberian kredit mempunyai

persepsi yang sama.

h.      Tujuan Pemberian Kredit

·         Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan yang diperoleh secara wajar

b)Safety, artinya harus aman dengan risiko yang telah dimitigasi sebelumnya.

·         Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat luas, dan

meningkatkan produktivitas usaha.

·         Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, dan

meningkatkan kesempatan kerja.

i.        Prosedur Kredit

·         Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai perencanaan, pasar

mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan fokus pada sektor

ritel/

·         Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya memasarkan kredit

apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi, misalkan dengan:

menetapkanlimit exposure, jenis usaha (dibuat ratingnya, dan rating apa saja yang

layak dibiayai), lokasi dsb nya.

·         Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar pada kriteria

nasabah yang jelas.

j.        Putusan Kredit

Setiap pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur baku,

antara lain:

·         Ada permohonan kredit secara tertulis

·         Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan

·         Disertai dengan proposal kredit

Page 18: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

·         Dibuat rekomendasi dan putusan kredit

·         Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis

·         Melakukan perjanjian kredit secara hukum

·         Proses pencairan kredit

·         Melakukan pengawasan dan evaluasi

Pada dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan

usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan

pada akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat disekitarnya.

[15]

B.     Pemberian Kredit dalam Hukum Islam

1.      Kredit dalam Hukum Islam

Pengertian kredit dalam hukum islam seperti di kemukakan dalam system

perbankan dengan prinsip syariah istilah kredit menjadi berubah menjadi istilah

pembiayaan, hal ini dapat dijelaskan dalam pasal 1 angka 12 UU no. 10 tahun 1998

yang menyebutkan :

“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan

yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di

biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu

tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.[16]

Dalam wacana hukum islam, pembiayaan merupakan bagian dari pinjam

meminjam. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa pinjam meminjam merupakan

perjanjian yang bertimbal balik (dua pihak) diman pihak yang satu memberikan suatu

barang yang tidak habis karena pemakaian, dengan ketentuan bahwa pihak yang

menerima akan mengembalikan barang tersebut sebagaimana yang diterimanya.

[17]

2. Islam dan Kredit

Menurut Anwar Iqbal Qureshi, fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa islam

melarang setiap pembungaan uang. Hal ini tidak berarti bahwa islam melarang

perkreditan sebab menurut Qureshi system perekonomian modern tidak akan lancar

tanpa adanya kredit dan pinjaman.[18]

Page 19: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Pinjaman atau uang dapat dibagi ke dalam dua jenis :

a. Pinjaman yang tidak dapat menghasilkan, yaitu pinjaman yang dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (konsumtif)

b. Pinjaman yang membawa hasil, yaitu pinjaman yang dibutuhkan seseorang

untuk menjalankan suatu usaha (produktif)

Bentuk utang yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau

keperluan-keperluan hidup lainnya. Islam menyadari pentingnya pinjaman ini, tetapi

pinjaman ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bagi mereka yang tidak mampu membayar utangnya secara berangsur-angsur atau

kontan (tunai) dianjurkan oleh agama islam agar utang orang etrsebut benar-benar

dalam keadaan terdesak. Dalam islam dianjurkan apabila peminjam yang jatuh

miskin (bangkrut) karena pinjaman itu, utangnya wajib ditunda pembayarannya.

Langkah-langkah penyelesaian seseorang yang berutang dan tidak mampu

membayarnya, pertama diberi penundaan waktu pembayaran (perpanjangan waktu

peminjaman). Apabila dalam perpanjangan waktu itu tidak bias melunasi,

maafkanlah dia dan anggap saja utang itu sebagai shodaqoh. Hal ini akan lebih baik

bagi yang meminjamkan.[19]

            Hukum kredit berdasarkan beberapa dalil-dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah:

282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-

piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan

keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari

seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai

beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Page 20: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan

dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan

perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli

dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli

dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

Rasulullah shallallahu“     أ ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan

suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi

memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan

pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin

Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembeli

setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba

saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan

dihasankan oleh Al Albani.

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat

Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor

onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan

rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan

pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan

harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam,

yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah

kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak mensyaratkan agar harga barang tidak

berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia

memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas

waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Page 21: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah

dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah

halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada

dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka

perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya

dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke

dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain.

Maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim

dan lainnya, bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara

‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang

dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual

membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga

yang lebih murah.[20]

Page 22: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

BAB V

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur

sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula

undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999

yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka

penjaminan utang.

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam,

yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan

(tanggungan) atas utangnya. Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah

satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan

harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan

ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut

pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk

harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman

mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh

oleh pihak peminjam di kemudian hari.

Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak

pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai

kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan (2) yang

mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain

berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang

bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas

namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk

mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-

orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang

tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang

itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan. (Pasal 1150 KUH Perdata)

Page 23: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan KUH Perdata, pasal 1162 sampai

dengan Pasal 1232 adalah Hipotek.

Penanggungan utang adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang pihak

ketiga untuk kepentingan pihak pemberi pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna

memenuhi perikatan pihak peminjam bila pihak peminjam wanprestasi terhadap

pihak pember pinjaman. (Pasal 1820 KUH Perdata)

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-

kreditor lain. (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996)

Ciri-ciri Hak Tanggungan :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya.

2. Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut

berada.

3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka 1).

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada

dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu,

Page 24: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

yang memberika kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor

lainnya (Pasal 1 angka 2).

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam

ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang

tersebut menetapkan: “kreditadalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah:

282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-

piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan

keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari

seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai

beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan

dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan

perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli

dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli

dengan pembayaran dihutang.

fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa islam melarang setiap pembungaan

uang. Hal ini tidak berarti bahwa islam melarang perkreditan sebab menurut Qureshi

system perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit dan pinjaman

B.     SARAN

Page 25: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

Membahas aspek hukum bagi pemohon kredit atau pemilik jaminan bertujuan

agar bank memahami secara pasti apakah pemohon kredit atau pemilik jaminan

termasuk orang atau badan usaha yang berhak untuk melakukan tindakan hukum

atau tidak.

Sedangkan jika dilihat dari aspek legalitas bertujuan agar bank dapat

memastikan apakah usaha yang dikelola pemohon kredit atau pemilik jaminan

merupakan usaha yang legal dan tidak melanggar hukum dan telah memenuhi

segala persyaratan hukum yang ditentukan oleh hukum perundang-undangan yang

berlaku untuk menjalankan usahanya.

Pada prinsipnya yang menjadi subyek hukum dalam perkreditan adalah

perorangan atau manusia pribadi dan badan usaha.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan perorangan atau manusia pribadi adalah

setiap orang yang lahir dan masih hidup dan telah cakap dalam melakukan tindakan

hukum. Cakap dapat diartikan telah dewasa atau sudah menikah dan sedang tidak

berada dibawah pengampuan. Jadi dengan kata lain untuk pengajuan kredit atau

menjadi debitur harus telah berusia 21 tahun atau sudah menikah.

Sedangkan badan usaha dapat diartikan suatu perkumpulan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu berdasarkan hukum perundangan yang berlaku. Badan usaha

tidak hanya dapat diartikan perseroan terbatas tapi juga persekutuan perdata, firma

atau perseroan komanditer yang lebih dikenal masyarakat dengan CV. Syarat-syarat

umum yang harus dipenuhi oleh badan usaha dalam pengajuan kreditpun harus

jelas.

Page 26: Hukum Perikatan Loand and Guarante Aggrement

DAFTAR PUSTAKA

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia

Suharnoko, SH., LL.M., Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus,

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 

Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 

R. Subekti & R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.,Penelitian

Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 

Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit

Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan Dengan Tanah. Penelitian

Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 

http://edratna.wordpress.com/2007/09/04/kebijakan-perkreditan-merupakan-

dasar-pemberian-pinjaman-yang-sehat/

Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

h. 10

Chairuman Pasaribu dan Suharwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,

Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, h. 111

Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, h. 300-301