Hukum Pembuktian

61
TUGAS MAKALAH SISTEM DAN BEBAN PEMBUKTIAN Disusun oleh : Cendy Adam (1006687253) Aulia Ali Reza (1006769940) Ade Rizky Fachreza (1006769890) Michael A.P Pangaribuan (1006687865) Nindya Chaerunisa (1006688016) Yeremia Shedeas (1006688464)

description

tentang hukum pembuktian

Transcript of Hukum Pembuktian

Page 1: Hukum Pembuktian

TUGAS MAKALAHSISTEM DAN BEBAN PEMBUKTIAN

Disusun oleh :Cendy Adam (1006687253)Aulia Ali Reza (1006769940)

Ade Rizky Fachreza (1006769890)Michael A.P Pangaribuan (1006687865)

Nindya Chaerunisa (1006688016)Yeremia Shedeas (1006688464)

Page 2: Hukum Pembuktian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang

memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pada pembuktian di tentukan

bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan

tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan

dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi maka tersangka

dapat dinyatakan bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses

yang penting agar jangan sampai orang yang bersalah dibebaskan karena bukti

yang tidak cukup. Atau bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan

bersalah.

Sistem pembuktian dari satu negara ke negara lainnya tentunya berbeda.

Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan budaya atau paham yang dianut

negara tersebut. Pada umumnya sistem pembuktian di suatu negara dibedakan

berdasarkan negara yang menganut paham civil law dan negara yang menganut

common law. Selain itu juga didasarkan pada beberapa teori sistem pembuktian.

Dalam teorinya, sistem pembuktian dapat dibagi menjadi empat teori yaitu

sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan

keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan

yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. .1 Untuk melihat sistem

pembuktian di negara lain maka akan dilihat perbandingan dengan beberapa

negara lain yaitu negara Belanda yang menganut civil law, Australia yang

menganut common law, dan sistem pembuktian dalam hukum islam yang

berbeda dengan empat teori sistem pembuktian menurut Prof.Dr. Andi Hamzah

SH.

1 Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.

Page 3: Hukum Pembuktian

Tidak hanya sistem pembuktian saja yang berbeda, beban pembuktian

pun berbeda-beda yang bergantung kepada sistem pembuktian tersebut. Selain

berdasarkan sistem pembuktian, beban pembuktian yang digunakan juga dapat

ditentukan dari jenis tindak pidana seperti tindak pidana korupsi di Indonesia.

Beban pembuktian dalam perspektif hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu beban pembuktian umum/konvensional, beban pembuktian terbalik dan

beban pembuktian berimbang.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah teori sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku

pada umumnya?

Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian yang digunakan di

Indonesia, Australia, dan Belanda?

Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian menurut hukum

pidana Islam?

1.3 Tujuan Makalah

Untuk mengetahui sistem dan beban pembuktian pada umumnya

Menjelaskan sistem dan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia,

Australia, dan Belanda

Mengetahui sistem dan beban pembuktian apa yang diterapkan dalam

hukum pidana Islam.

1.4 Metode Penulisan

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pembuatan makalah

ini adalah metode data sekunder. Metode data sekunder adalah data yang

diperoleh secara tidak langsung dari lapangan dan suatu organisasi/perorangan

dari pihak lain. Data ini diperoleh dari media cetak maupun media

elektronik,seperti buku, catatan perkuliahan, makalah, skripsi, dan internet

Page 4: Hukum Pembuktian

1.5 Sistematika Penulisan

Bab I tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode

penulisan,dan sistematika penulisan.

Bab II tentang hasil dan pembahasan yang mencakup tentang penjelasan

rumusan masalah.

Bab III tentang kesimpulan.

Daftar pustaka.

BAB II

Page 5: Hukum Pembuktian

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan

“pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata

asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti

“suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian

kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat

komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.2

Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa

sarjana hukum mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah

mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-

keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu

keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat

mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.3 Lain lagi dengan M.

Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan

pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam

usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.4

Penulis menyimpulkan arti sistem pembuktian dalam konteks hukum

acara pidana adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpada antara bagian-

bagian kelengkapannya untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana

yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri

terdakwa. Maksud kebenaran dalam hukum pidana berbeda dengan kebenaran

dalam konteks hukum perdata. Jika pada hukum perdata pembuktian

dimaksudkan untuk mencari kebenaran formiil maka pada hukum pidana 2 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html3 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 22.

Page 6: Hukum Pembuktian

kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Hukum pidana yang berpotensi

untuk “merampas” hak asasi seseorang mengharuskan ditemukannya kebenaran

tersebut.

Untuk mengetahui bagian-bagian yang menyusun sistem pembuktian

maka haruslah menganalisis hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana

terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran

terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Sebagai contoh kita

lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-elemen

yang menjadi bagian dalam usaha pencarian kebenaran materiil, yaitu :

1. Penyidik

2. Penuntut Umum

3. Penasihat Hukum

4. Majelis Hakim

5. Terdakwa

6. Alat Bukti.

Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem

pembuktian. Artinya elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan

yang tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan

pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada

diri terdakwa.

Sistem Pembuktian Pada Umumnya

a. Conviction-in Time

Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya

seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”

hakim. Dalam sistem pembuktian ini hakim memiliki andil yang sangat besar,

jika hakim telah merasa yakin bahwa terdakwa benar melakukan apa yang

Page 7: Hukum Pembuktian

didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana terhadapnya,

dan sebaliknya. Persoalan darimana hakim mendapatkan keyakinan tidak

menjadi permasalahan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa

didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.5

Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu jika alat-alat

bukti yang diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan

terhadap terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja

terdakwa bisa bebas. Dan sebaliknya, jika alat-alat bukti yang dihadirkan di

persidangan tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap

terdakwa namun hakim meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa

yang didakwakan oleh Penuntut Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh

Hakim.

b. Conviction-Raisonee

Dalam sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang

peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,

dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”.6 Memang

pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang

didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim tapi dalam

memberikan putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan

apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan reasoning

itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima.7 Arti

diterima disini hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan yang logis

dan masuk akal.

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

5 Sri Ingeten Br Perangin-Angin, Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara: Medan, 2008, hal 28.6 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 2567 Ibid, hal 256

Page 8: Hukum Pembuktian

Maksud dari pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah

untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah harus tunduk

terhadap undang-undang. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem

pembuktian conviction-in time dan conviction-raisonee. Dalam sistem ini

tidak ada tempat bagi “keyakinan hakim”. Seseorang dinyatakan bersalah

jika proses pembuktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan

telah menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat

bukti yang diajukan diatur secara tegas dalam undang-undang.

d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Berbeda dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif,

dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

disayaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa

bersalah ataukah tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti diatur

secara tegas oleh undang-undang, demikian juga dengan mekanisme

pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung

benarnya dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa maka haruslah timbul

keyakinan pada diri hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika

alat-alat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah

namun belum timbul keyakinan pada diri hakim maka pidana tidak dapat

dijatuhkan.

2.2 Teori Beban Pembuktian

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)

teori tentang beban pembuktian, yaitu:

a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan

undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak

Page 9: Hukum Pembuktian

memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam

requisitornya.

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum

harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika

tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.

Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi

asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri

sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal

66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat

dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa

Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai

pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan

yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat

membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada

asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) ini

dinamakan teori ”Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast

atau Reversal Burden of Proof/ Onus of Proof”).

Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden

of Proof berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai “Pergeseran

Beban Pembuktian”8 maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai

“Pembalikan Beban Pembuktian”. Perbedaan dari kedua pengertian tersebut,

jika pada shifting burden of proof pada umumnya diterapkan sebagai pembalikan

beban pembuktian yang terbatas atau tidak murni, sedangkan pada reversal

burden of proof menggunakan pembalikan beban pembuktian yang murni atau

8Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,2006, hal.103

Page 10: Hukum Pembuktian

mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji “Pembalikan Beban Pembuktian

yang Total atau Absolut”.9

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini

dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat

murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya,

pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum

pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak

pidana korupsi.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau

Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya

Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya

terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas

pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Dalam Negara Indonesia, beban pembuktian yang digunakan yaitu beban

pembuktian umum atau konvensional dimana beban untuk membuktikan

terdapat pada Penuntut Umum. Hal tersebut dapat kita lihat pada Pasal 66

KUHAP yang isinya “ Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”. Namun dalam tindak pidana tertentu (seperti korupsi)

menggunakan beban pembuktian terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam

Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 yang isinya “Terdakwa mempunyai hak

untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Maksud

terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan pengadilan,

namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa mengajukan dakwaan

tersebut ke pengadilan.

9 Ibid., hal.138

Page 11: Hukum Pembuktian

Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999

diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat

dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang

terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil

korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap

mempergunakan teori pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan

Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara

lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.

Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan perbuatan

korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan

penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau

memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419,

dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP).

Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata

kurang efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya

peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk

bertindak terhadap pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian

merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis

pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana

(Formal), baik sistem Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal

pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut

Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan

penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban

Page 12: Hukum Pembuktian

Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van

Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas

yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan

dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.

Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan

pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni :

“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap

orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaannya”. Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37

dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa

“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa

terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap

berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun

sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan

perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak

seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.

Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output

tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar

dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana

korupsi yang didakwakan.

Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata

pembuktian di tangan terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi

menganut pembalikan beban pembuktian terbatas, sehingga kewajiban

pembuktian tetap ada pada tangan penuntut umum meskipun terdakwa

memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah. Sidang dengan sistem

Page 13: Hukum Pembuktian

in absencia itu berlaku untuk agenda siding yang memang tidak diperlukan

terdakwa. Hal tersebut diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999.

Martiman Prodjohamidjojo )1 menjelaskan, dalam pembuktian tindak

pidana korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni :

1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa

Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta

berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun

1999, sebagai berikut:

a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya.

c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang

atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan.

d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang

tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan

kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi.

e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)

dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaaannya.

Page 14: Hukum Pembuktian

2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.

Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal

183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian

terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan

proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang

pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau

khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik

terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut

belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang

diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan

gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya. 10

2.3 Sistem Pembuktian di Indonesia

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het

Herzeine Indonesisch Reglement (HIR) dahulu yang saat ini disebut dengan

KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara terbatas

(negtief wettelijk bewisjstheorie).

Perbedaan antara dua kitab ini dalam hal pembuktian terletak pada

ditentukannya minimal jumlah alat bukti. Pasal 294 ayat 1 HIR merumuskan:

10 Martiman Prodjohamidjojo  Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.108

Page 15: Hukum Pembuktian

“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat

keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang

boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang

perbuatan itu.”

Pasal ini kemudian disempurnakan menjadi Pasal 183 KUHAP yang

berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yng sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Rumusan pasal 183 KUHAP dinilai lebih sempurna karena menentukan

dengan jelas berapa jumlah alat bukti yang harus digunakan hakim untuk

memperoleh keyakinan dan menjatuhkan pidana. System pembuktian negative

dalam KUHAP dinilai lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.

Dalam sistem pembuktian negatif yang dianut oleh Indonesia – sebagai

intinya, yang dirumuskan dalam pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan pokok-

pokoknya adalah:

a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika

memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.

b. Syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Sebenarnya, pembuktian dilakukan untuk memutus perkara in casu

perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan perkara pidana. Sebab,

untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan

terdakwa melakukan tindakan pidana.11

Pada dasarnya kegatan pembuktian dilakukan dalam usaha mencapai

derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan

11 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2005, halaman 31.

Page 16: Hukum Pembuktian

hakim. Pembuktian dilakukan untuk memutus perkara terbukti atau tidak sesuai

dengan apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ada dua syarat

untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana. Kedua

syarat ini saling berhubungan dan tidak terpisahkan.

Pertama, hakim harus menggunakan minimal dua alat bukti yang sah.

Dua alat bukti ini tidak harus berbeda jenisnya. Jadi bisa saja terdiri dari dua alat

bukti yang sama, misalnya keterangan dua orang saksi.

Kedua ialah hakim memperoleh keyakinan. Keyakinan hakim ini harus

dibentuk atas fakta-fakta yang didapat dari alat-alat bukti yang disebutkan pada

syarat pertama, yang telah ditentukan oleh KUHAP. Keyakinan hakim masuk ke

dalam ruang lingkup kegiatan pembuktian apabila kegiatan pembuktian tidak

dipandang hanya untuk membuktikan saja tetapi untuk mencapai tujuan akhir

penyelesaian perkara pidana yaitu menarik amar putusan oleh hakim.

Adami Chazawi dalam bukunya menjelaskan ada tiga keyakinan hakim

yang sifatnya mutlak, bertingkat dan tidak dapat dipisahkan:

1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sesuai dengan dakwaan

Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam praktiknya di pengadilan,

disebutkan bahwa tindak pidana yang didakwakan oleh JPU terbukti

secara sah dan meyakinkan. Yang dimaksud dengan sah adalah

memenuhi syarat menggunakan dua alat bukti atau lebih. Namun

keyakinan mengenai terbuktinya tindak pidana belum cukup untuk

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

2. Keyakinan bahwa benar terdakwa yang melakukan tindak pidana.

Hakim harus memperoleh keyakinan bahwa benar terdakwalah yang

melakukan tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum

kepadanya. Keyakinan ini pun belum cukup untuk menjatuhkan

pidana pada terdakwa.

3. Keyakinan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa

memang dapat dipersalahkan kepadanya. Ada dua hal yang dapat

Page 17: Hukum Pembuktian

membuat seorang terdakwa tidak dipidana yaitu ada alasan

pembenar dan pemaaf pada dirinya. Jika tidak ditemukan dua alasan

ini pada diri terdakwa, hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa

terdakwa dapat dipersalahkan atas tindakan yang dilakukannya dan

dapat dijatuhkan pidana. Apabila hakim tidak meperoleh keyakinan

pada tingkat ini, berarti hakim tidak yakin terdakwa dapat

dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Maka pidana

tidak akan dijatuhkan melainkan menjatuhkan pelepasan dari segala

tuntutan hukum.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian negatif

sebaiknya dipertahankan karena dua alasan yaitu yang pertama, memang sudah

selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat

menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang

sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah

jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada

patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan

peradilan.12

Dalam hukum acara perdata, sistem pembuktian yang dianut adalah

positif, artinya pembuktian hanya melihat pada alat bukti saja, yakni yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Surat gugatan dapat dikabulkan apabila

didasarkan pada alat bukti yang sah. Jadi dalam sistem pembuktian ini, keyakinan

hakim sama sekali diabaikan. Apabila suatu gugatan sudah memenuhi syarat alat

bukti yang sah sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka gugatan harus

dikabulkan. Jadi, dalam sistem pembuktian hukum acara perdata yang dicari

adalah kebenaran formil, tidak seperti hukum acara pindana yang mencari

kebenaran materil.13

12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia (Jakarta: Sumur Bandung, 1967) hlm 77.13 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 200) hlm. 25-26.

Page 18: Hukum Pembuktian

2.4 Sistem Pembuktian di Australia

Di Australia terdapat dua macam pengadilan yaitu untuk pelanggaran

yang ringan dan kejahatan yang lebih serius. Hal ini dibedakan berdasarkan sifat

pembuktiannya, untuk kejahatan yang lebih serius biasanya pembuktiannya lebih

sulit dan memakan proses yang panjang dibandingkan pada pelanggaran ringan.

2.4.1 Pengadilan Untuk Pelanggaran Ringan (Summary Offences)

Merupakan perkara yang paling umum di temui di Australia. Perkara ini di

adili dan diputus pada Magistrates Court14 yang dipimpin satu orang hakim saja.

Seseorang yang dituntut karena pelanggaran ringan disebut dengan terdakwa,

dan penuntutan dalam Magistrates Court dilakukan oleh Jaksa Polisi yang

umumnya dikenal dengan “complainant”. Sesuai dengan adversarial system,

maka pihak-pihak yang berperkara disini adalah Jaksa Polisi dan Terdakwa.

Tuntutan bisa dilakukan atas dasar keyakinan penuntut bahwa

tuntutannya akan menghasilkan putusan di pengadilan. Selain itu masyarakat

juga bisa melakukannya atas dasar masyarakat ingin sebuah perkara diselesaikan

di pengadilan, caranya adalah seseorang hanya perlu menyampaikan adanya

keluhan (complaint) kepada petugas pengadilan di Magistrates Court15. Untuk

jenis pelanggaran ini, batas untuk mengajukan tuntutan adalah dua tahun.

Kepolisian mempunyai keleluasaan untuk memutuskan apakah akan menuntut

berdasarkan complaint tersebut16.

Pada persidangan pertama di pengadilan, tuntutan terhadap terdakwa

dibacakan dengan jelas. Biasanya pada persidangan pertama ini terdakwa tidak

diijinkan untuk mengajukan pembelaan tanpa didampingi penasihat hukum. Jadi

kemungkinan yang bisa diambil oleh terdakwa adalah;

14 Sebuah pengadilan terendah dari sistem pengadilan di Australia yang memiliki yurisdiksi pidana dan perdata yang terbatas, namun dapat memiliki yurisdiksi khusus saat bertindak sebagai Pengadilan Anak.

15 Australia, Summary Procedure Act 1921, s 4916 Ibid., s 52

Page 19: Hukum Pembuktian

Meminta agar kasus tersebut ditangguhkan pada waktu yang ditentukan

sampai terdakwa bisa mendapatkan penasihat hukum

Mengaku bersalah, kemudian Hakim akan mencoba menyelesaikan perkara

dan memberi putusan hari itu juga

Memberitahukan Hakim untuk mengajukan pembelaan. Biasanya perkara

ditangguhkan ke pemeriksaan persidangan pada hari lain, jika pengadilan

tidak mempunyai waktu untuk memeriksa kasus secara lanjut atau penuntut

tidak siap mengajukan saksinya.

Dalam persidangan di Magistrates Court selanjutnya, penuntut dan

terdakwa harus berunding secara khusus satu sama lain untuk menentukan

bahwa sebuah kasus dapat diselesaikan tanpa proses Trial atau pemeriksaan

persidangan. Setelah perundingan dengan terdakwa, penuntut boleh tidak

meneruskan penuntutan ataupun merubah tuntutan agar terdakwa menerima

tuntutan dan mengaku bersalah. Jaksa sebaiknya memberitahu terdakwa dengan

jelas apa yang akan saksi katakan, jadi terdakwa dapat membayangkan apakah

dia masih akan melakukan pembelaan. Sementara itu terdakwa tidak harus

menunjukkan kepada Jaksa tentang pembelaannya atau tentang apa saja bukti-

bukti yang akan ia hadirkan di Trial. Jika perundingan ini tidak bisa

menyelesaikan sebuah kasus maka dimulai lah proses Trial.

Pada proses Trial, Jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa melakukan

pelanggaran dan juga terdakawa mengerti apa yang ia lakukan, pembuktian ini

harus dilakukan dengan tanpa ragu (beyond reasonable doubt). Untuk memulai

pemeriksaan, terdakwa ditanyakan bagaimana responnya terhadap tuntutan,

jika masih membela dan menganggap tidak bersalah, Jaksa selanjutnya harus

mengajukan lagi argumennya. Jaksa akan memberikan ringkasan singkat dari

tuntutannya dan memberi tahu berapa banyak saksi yang akan dihadirkan.

Selanjutnya petugas kepolisian dan saksi-saksi dipanggil satu persatu

untuk memberikan keterangan mereka yang terlebih dahulu disumpah. Lalu

Jaksa bertanya seluruh hal yang perlu diketahui di dalam persidangan dan

Page 20: Hukum Pembuktian

setelah selesai terdakwa dapat melakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi.

Untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak, Hakim hanya dapat

mempertimbangkan kembali bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan

termasuk keterangan yang diberikan oleh saksi dibawah sumpah. Jika Jaksa atau

terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang diberikan, Hakim harus

memutuskan apakah informasi tersebut memenuhi Rules of Evidence (suatu

aturan mengenai bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan). Apabila

memenuhi, maka informasi tersebut termasuk ke dalam bukti dan Hakim dapat

mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan. Sebaliknya bila tidak

memenuhi maka informasi tersebut tidak termasuk ke dalam bukti yang sah.

Ketika semua saksi yang dihadirkan Jaksa telah memberikan keterangan

dan argument-argumennya telah ditutup, terdakwa dapat meminta hakim untuk

menolak tuntutan Jaksa dengan alasan Jaksa tidak dapat memberikan bukti yang

kuat. Jika Hakim setuju maka tuntutan digugurkan dan kasus selesai. Sementara

jika tidak setuju, terdakwa harus memberikan argumennya.

Lain halnya dengan Jaksa, terdakwa tidak harus membuktikan bahwa dia

tidak bersalah dan tidak wajib untuk menghadirkan bukti apapun. Terdakwa

dimungkinkan untuk menunjukkan inkonsistensi dan kelemahan tuntutan Jaksa

dan menganggap tuntutan tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia

bersalah. Terdakwa dapat juga bersaksi dibawah sumpah dan memanggil saksi-

saksi lainnya untuk kepentigan pembelaannya. Dalam teorinya, beban

pembuktian pada pengadilan di Australia adalah beban pembuktian biasa,

namun sebenarnya terdakwa pun diberikan hak untuk membuktikan bahwa

dirinya tidak bersalah atas tuduhan. Setelah semua bukti atau keterangan

diperdengarkan, Jaksa dan terdakwa mempunyai hak untuk berbicara kepada

hakim mengenai mengapa terdakwa harus atau tidak harus dinyatakan bersalah

atas tuduhan. Jaksa selalu didahulukan dalam hal ini.

Setelah semuanya selesai, Hakim berkewajiban untuk memutuskan

apakah terdakwa bersalah atau tidak. Tetapi Hakim berhak untuk menundanya

untuk mempertimbangkan kesalahan yang dituduhkan terhadap terdakwa. Jika

Page 21: Hukum Pembuktian

ada keraguan bahwa terdakwa bersalah, maka tuduhan akan dibatalkan. Namun

jika terbukti terdakwa bersalah menurut pengamatan hakim, maka aka nada

hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

2.4.2 Pengadilan Untuk Kejahatan Serius

Ada dua kategori untuk perkara ini yaitu Major Indictable Offences dan

Minor Indictable Offences.

Major Indictable Offences harus disidangkan di District Court atau

Supreme Court. Persidangan ini dilakukan dihadapan Hakim dan Juri, kecuali

terdakwa memilih untuk menjalani sidang hanya dengan Hakim saja. Kasus yang

dapat ditangani dalam pengadilan ini misalnya, pembunuhan, perampokan, dan

pemerkosaan atau yang dendanya melebihi $30000. Sementara itu Minor

Indictable Offences disidangkan di Magistrates Court dimana tidak terdapat juri,

kecuali terdakwa mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi (District

Court atau Supreme Court).

Awalnya hakim akan mengadakan pemeriksaan pendahuluan untuk

mengetahui apa tuntutan jaksa. Jika terdakwa langsung mengakui kesalahan

yang dituduhkan maka hakim akan melimpahkan kasus tersebut ke Distrcit Court

atau Supreme Court untuk dilakukan penghukuman. Jika atas tuduhan tersebut

terdakwa tidak mengaku bersalah, maka pre-trial conference akan dilakukan.

Dalam kondisi ini terdakwa atau penasihat hukumnya wajib untuk hadir. Hakim

akan mengadakan sidang lagi untuk mempertimbangkan apakah kasus tersebut

dapat diselesaikan tanpa proses Trial. Hasil persidangan tersebut mungkin dapat

berupa;

Director of Public Prosecutions (DPP) setuju untuk menarik beberapa

tuntutan karena terdakwa mungkin akan mengaku bersalah

DPP mungkin akan setuju untuk mengubah tuntutan menjadi lebih sedikit

lebih ringan agar terdakwa mengaku bersalah

Page 22: Hukum Pembuktian

DPP dapat dibujuk untuk mempertimbangkan kembali bukti dan memeriksa

kembali saksi-saksi, dan selanjutnya memutuskan untuk tidak melanjutkan

kembali penuntutannya

Terdakwa dapat mempertahankan pernyataan tidak bersalah atas seluruh

tuntutan.

Proses Pre-trial ini pun dapat diundur jika hakim merasa bahwa negosiasi

dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut atau hakim merasa

bahwa DPP harus melengkapi materi dalam tuntutannya.

Pada proses Trial, penuntut dan terdakwa diharapkan sudah

mempersiapkan dengan matang seluruh bukti yang dimiliki, termasuk saksi yang

akan dihadirkan dalam persidangan.

Jaksa awalnya membuat pernyataan terbuka kepada juri dan kemudian

memanggil para saksi satu persatu. Sebelumnya para saksi harus disumpah agar

mengatakan yang sejujurnya. Kemudian jaksa bertanya kepada saksi yang

mungkin nantinya akan ditanya/diperiksa kembali oleh penasihat hukum

terdakwa. Jika jaksa atau terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang

diberikan kepada juri, hakim harus memutuskan apakah hal tersebut sesuai

dengan aturan. Kalau sesuai maka informasi tersebut termasuk dalam bukti yang

sah dan juri dapat mendengar dan bertindak atas dasar bukti tersebut.

Sebaliknya, jika tidak sesuai maka hal tersebut tidak termasuk dalam bukti yang

sah.

Sama seperti dalam persidangan pelanggaran ringan, no case to answer

dapat terjadi. Yaitu ketika pengajuan oleh salah satu pihak bahwa pihak lain

telah gagal membangun sebuah kasus untuk menuntut (kasus prima facie). Pada

kondisi ini juri dipersilahkan keluar ruang sidang dahulu. Bedanya dalam perkara

ini, terdakwa meminta kepada hakim untuk memberitahu juri bahwa penuntutan

yang dilakukan tidak memiliki bukti-bukti yang kuat. Bila hakim setuju, juri akan

dipanggil kembali ke ruang sidang dan hakim mengharuskan juri untuk

memutuskan terdakwa tidak bersalah. Maka kasus tersebut selesai dengan

putusan bahwa terdakwa tidak bersalah. Sementara itu jika hakim tidak setuju,

Page 23: Hukum Pembuktian

sama seperti pada pelanggaran, terdakwa wajib memberikan argument-

argumennya kepada juri.

Beban pembuktian pada perkara kejahatan ini sama seperti perkara

pelanggaran. Jaksa harus membuktikan tanpa ragu bahwa terdakwa bersalah,

sebaliknya terdakwa tidak harus menghadirkan fakta-fakta. Terdakwa dapat

membantah bahwa bukti-bukti dari jaksa tidak membuktikan bahwa ia bersalah

atau tidak memenuhi beyond reasonable doubt. Terdakwa dapat pula

membantah dengan menerangkan alibinya. Setelah semua fakta telah diberikan,

maka hakim menyimpulkan kasus kepada juri, menjelaskan hukum yang berlaku

terhadap kasus tersebut, dan kemudian juri melakukan perundingan secara

khusus di ruang juri untuk memberikan putusan. Putusan yang diambil adalah

putusan bersama atau minimal sepuluh keputusan yang sama diantara para juri,

dan kemudian keputusan tersebut diterima setelah empat jam, kecuali terdakwa

sedang diadili dalam kasus pembunuhan atau pengkhianatan.17

Juri dalam trial mendengarkan fakta, bukti, dan petunjuk, dan

memutuskan siapa yang harus dipercayai. Mereka adalah satu-satunya pihak

yang dapat menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Setelah juri

mencapai sebuah keputusan, maka sejak saat itu peran juri sudah selesai. Jika

juri menyatakan terdakwa bersalah, maka selanjutnya hakim akan mengambil

alih untuk menghukum terdakwa.

2.5 Sistem Pembuktian di Belanda

Belanda memiliki 2300 hakim, baik di pengadilan tingkat pertama

maupun banding. Untuk penyelenggaraan peradilan terdapat 5000 staf dan yang

mengatur sarana prasarana sekitar 1500 staf. Perkara yang masuk ke pengadilan

sekitar 2 juta meliputi semua jenis perkara(tidak termasuk perkara lalu lintas), 66

% gugatan di kantongerechten, 14% perdata, 10 % di sektor pidana, hukum

17 Australia, Juries Act 1927, s 57

Page 24: Hukum Pembuktian

administrasi 6%. Dibandingkan Negara lain di Eropa, di Belanda rata-rata

masyarakat bisa menerima putusan pengadilan tingkat pertama. Terdapat 19

pengadilan tingkat pertama, 5 pengadilan banding. Di setiap pengadilan banding

terdapat 250-300 karyawan dan 60-70 hakim. Untuk pengadilan administrasi

tingkat banding ada 2 pengadilan, yaitu yang mengurus urusan jaminan sosial,

satu lagi mengurus masalah-masalah komersial. Puncak tertingginya adalah Hoge

Raad. Sedangkan puncak tertinggi pengadilan administrasi adalah Raad van

State.

Pengadilan tingkat pertama membawahi 4 sektor:

1. Sektor gugatan kecil (small claim) yang diperiksa oleh hakim tunggal;

2. Sektor pedata/hukum keluarga yang pada masa lalu semuanya ditangani

3 hakim tapi sekarang ditangani cukup dengan hakim tunggal;

3. Sektor pidana untuk perkara sederhana yang diperiksa oleh hakim

tunggal, yaitu untuk perkara dengan ancaman hukuman di bawah 1

tahun, sedangkan perkara yang lebih kompleks ditangani oleh 3 hakim.

4. Sektor hukum administrasi negara, di tingkat pertama diperiksa oleh

hakim tunggal.

Pada tahun 2002 berdiri sebuah organisasi yaitu RvR. Peran RvR adalah

menjembatani parlemen (politik) dan menjamin kemandirian peradilan. RvR

bertanggung jawab pada masalah personil, keuangan dan organisasi pengadilan

juga mengawasi kualitas putusan yang sebenarnya tetap di bawah tanggung

jawab masinng-masing hakim. RvR juga menjamin fasilitas persidangan misalnya

tempat sidang dan gedung. Dengan demikian Mahkamah Agung (Hoge Raad) di

Negara Belanda hanya berwenang melaksanakan fungsi yuridis sedangkan Raad

vor de Rechtspraak berfungsi melaksanakan tugas-tugas administrasi dan

organisatoris. Angggota Komisi terdiri dari Hakim dan non Hakim. Komisi

Peradilan (Raad voor de rechtspraak) adalah bagian dari sistem peradilan, tetapi

tidak melakukan tugas-tugas peradilan itu sendiri. Komisi ini mengambil alih

tanggung jawab atas sejumlah tugas dari Menteri Kehakiman, yaitu tugas-tugas

Page 25: Hukum Pembuktian

organisatorial dan administrasi pengadilan, termasuk alokasi anggaran,

pengawasan manajemen keuangan, kebijakan personalia, teknologi komunikasi

dan fasilitas perumahan. Komisi ini mendukung pengadilan dalam melaksanakan

tugas mereka di wilayah operasional pengadilan. Selain itu, Komisi bertugas

untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan dan memberikan saran terhadap

suatu undang-undang baru yang memiliki implikasi kepada pelaksanaan fungsi

pengadilan. Komisi juga bertindak sebagai juru bicara pengadilan pada tingkat

nasional dan internasional. Komisi memiliki peran penting dalam hal

mempersiapkan, melaksanakan dan mengelola anggaran pengadilan. Komisi

mengelola anggaran dengan berdasarkan pada sistem pengukuran beban kerja.

Ruang lingkup tugas Komisi secara khusus meliputi kebijakan personal, fasilitas

perumahan, teknologi informasi dan urusan eksternal pengadilan. Budget

pengadilan menjadi bagian dari budget Menteri Kehakiman tetapi menjadi

lampiran tersendiri. Budget ditentukan berdasarkan perhitungan biaya per

perkara yang telah ditangani (performance based). Berbeda dengan MA yang

menyusun anggaran berdasarkan biaya perkara yang akan ditangani. Kemudian

ditentukan berapa yang kira-kira akan dapat diselesaikan oleh semua pengadilan.

Kemudian RvR mengatur pendistribusian budget ke seluruh pengadilan. Khusus

untuk anggaran Hooge Raad dan Raad van State tidak diajukan oleh RvR

melainkan langsung diajukan sendiri oleh MA dan RvS ke Menkeh.

Komisi memiliki beragam kewenangan yang diatur oleh peraturan

perundangan. Sebagai contoh, Komisi diberdayakan untuk mengeluarkan

instruksi yang mengikat pengadilan tentang kebijakan di bidang adminsitrasi dan

organisatoris pengadilan. Meski demikian Komisi berupaya untuk tidak terlalu

sering melakukan kewenangan di bidang ini. Komisi juga bertugas untuk

mendukung kegiatan seleksi, rekrutmen dan pelatihan aparat peradilan. Hal ini

tentu dilakukan agar adanya pihak yang netral agar kualitas peradilan serta

aparaturnya terjaga. Ini menyebabkan Komisi perlu berkonsultasi erat dengan

pimpinan pengadilan, selain itu, Komisi memiliki peran yang signifikan dalam

pengambilan keputusan untuk pemilihan pimpinan pengadilan. Tugas Komisi

Page 26: Hukum Pembuktian

karena berkaitan dengan mendorong peningkatan kualitas dari sistem peradilan

juga termasuk di dalamnya adalah untuk mendorong penerapan kesatuan

hukum dan meningkatkan kualitas peradilan. Namun demikian, mengingat

kewenangan ini tumpang tindih dengan substansi/isi putusan pengadilan, maka

Komisi tidak memiliki kekuatan memaksa di wilayah kewenangan ini. Komisi juga

memiliki tugas memberikan pertimbangan. Dalam tugas ini Komisi dapat

memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah tentang undang-

undang baru yang memiliki implikasi untuk sistem peradilan. Proses ini

berlangsung melalui konsultasi yang intensif dan berkelanjutan dengan para

pimpinan pengadilan. Komisi juga bertindak sebagai juru bicara untuk organisasi

Peradilan baik di tingkat nasional dan internasional dan memenuhi tugas-tugas di

bidang kerjasama internasional. Komisi Kehakiman terdiri dari empat anggota,

dua di antaranya berasal dari peradilan dan dua di antaranya yang sebelumnya

memegang posisi senior di sebuah lembaga pemerintahan. Komisi memiliki Biro

untuk membantu dalam kegiatan dan untuk melaksanakan berbagai tugas yang

mungkin diperlukan.

Untuk menjadi anggota RvR maka proses yang dilalui adalah sebagai

berikut:

RvR mengajukan nominasi dengan tim Seleksi berasal dari peradilan

ke Menkeh

Menkeh menyampaikan nominasi tersebut kepada Ratu

Anggota RvR diangkat oleh Ratu

Anggota Komisi diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang

didasarkan pada rekomendasi nominasi dari Menteri Kehakiman.

Daftar nominasi ini dibuat oleh Menteri Kehakiman dengan

berkonsultasi lebih dahulu dengan dengan Komisi dan pimpinan

peradilan. Anggota Komisi bertugas selama enam tahun dan dapat

diperpanjang selama tiga tahun. Bagi anggota yang berasal dari

Page 27: Hukum Pembuktian

pengadilan akan kembali ke pengadilan. Komisioner RvR bekerja

secara full time dan didukung oleh hampir 150 staf.

Prosedur pembuktian pada Hukum Acara Belanda berlangsung dari

prinsip bahwa ‘siapa pun menegaskan fakta harus membuktikan itu’. Dengan

kata lain, setiap pihak yang bersengketa akan diminta untuk memberikan bukti

fakta untuk menegaskan fakta yang diungkapkannya. Tapi pada beberapa

kesempatan beban pembuktian mungkin terletak berbeda di bawah aturan

hukum tertentu yang berlaku atau berdasarkan prinsip kewajaran dan keadilan.

Fakta yang dituduhkan oleh salah satu pihak dan tidak dibantah oleh pihak lawan

dianggap oleh pengadilan sebagai terbukti. Tapi ada pengecualian, yaitu situasi di

mana menerima ini akan memerlukan konsekuensi hukum yang tidak bebas

tersedia untuk para pihak. Dalam hal bahwa pengadilan dapat menuntut bukti.

Bukti tidak diperlukan untuk fakta atau keadaan yang dianggap universal

dikenal atau aturan pengetahuan umum.'Fakta atau keadaan yang dianggap

universal dikenal' berarti fakta atau keadaan yang orang pada umumnya sudah

tahu atau bisa tahu. 'Aturan pengalaman umum' berarti hubungan kausal bahwa

semua orang mengetahui hal tersebut. Dan tidak perlu pula membuktikan fakta-

fakta yang didapat pengadilan selama proses persidangan. Pengadilan dapat

dengan bebas memeriksa bukti-bukti yang diajukan, namun harus tetap

berpegang pada undang-undang yang berlaku.

Belanda menganut system pembuktian Negatif Wettelijk. Pada system

tersebut hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila terdapat paling tidak dua

alat bukti yang telah tercantum dalam undang-undang ditambah keyakinan

hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti tersebut18. Belanda juga

menganut Non-adversarial system. Pada system ini, hakim bersifat aktif dalam

mencari kebenaran. Hakim dapat mengajukan pertanyaan kepada terdakwa

ataupun saksi, dan keyakinan hakim dianggap sebagai alat bukti sah, namun

18 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002) hlm.7.

Page 28: Hukum Pembuktian

tetap dibatasi oleh undang-undang yang berlaku. Pada system Belanda, Jaksa

Penuntut Umum berada langsung dibawah pengawasan Menteri Kehakiman.

Sedangkan Kepolisian berada langsung dibawah pengawasan Jaksa Penuntut

Umum.

2.6 Sistem Pembuktian Dalam Hukum Islam

Hukum Islam merupakan salah satu bentuk sistem hukum yang mulai

berkembang sejak kelahiran agama islam pada abad ke 6 Masehi. Hukum islam

merupakan bagian dari ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan agama islam

dalam ajarannya melingkupi pengaturan mengenai hubungan antara manusia

dengan tuhannya dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk tuhan.

Aturan tersebut yang nantinya akan menjadi hukum dalam islam yang memiliki

sumber utama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Hukum islam itu sendiri dapat

dikategorisasikan kedalam beberapa cabang hukum seperti hukum tata negara,

hukum perdata, hukum internasional, dan hukum pidana, yang nantinya akan

dibahas lebih lanjut terkait sistem pembuktian dalam hukum pidana islam.

Sebelum membahas tentang sistem pembuktian dalam hukum islam,

maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai bentuk-bentuk tindak pidana

dalam hukum islam karena hal tersebut berkaitan dengan sistem pembuktian

dalam hukum islam. Didalam hukum islam tindak pidana atau dikenal dengan

istilah jarimah dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:

a) Jarimah Hudud

b) Jarimah Qisas Diyat

c) Jarimah Ta’zir

Pembagian Jarimah diatas didasarkan dari segi hukumannya yang diterima.

a) Jarimah Hudud

Merupakan jarimah yang hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT terkait

bentuk dan banyaknya dan merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman

Page 29: Hukum Pembuktian

tersebut tidak dapat dihapus oleh siapapun.19 Menurut Abdul Qader Oudah

hukuman hudud ini dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari keluarga atau

kelompok korban dan berdasarkan kepribadian pelaku. Selain itu hakim juga

tidak berhak memaafkan atau mengurangi hukuman hudud ini. Bentuk jarimah

yang masuk kedalam jarimah hudud ini antara lain berzina, menuduh berzina,

mencuri, merampok, memberontak, murtad, minum minuman keras / khamr,

melakukan kerusakan di muka bumi. Alasan mengapa hukuman jarimah

merupakan hukuman yang harus dilaksanakan karena hal-hal yang dikategorikan

kedalam jarimah hudud merupakan hal-hal yang mengganggu lima tujuan dari

agama islam (al-maqasid al-khamsah). Isi dari al-maqasid al-khamsah ini antara

lain agama, keturunan, akal, jiwa, dan harta.20

b) Jarimah Qisas Diyat

Merupakan jarimah yang pelakunya karena perbuatannya diancam hukuman

qisas atau diyat yang mana telah ditentukan batasnya.21 Diyat biasanya berupa

denda atau sejumlah barang atau uang yang harus dibayarkan oleh pelaku

kepada keluarga korban atas apa yang sudah dilakukannya. Yang termasuk

jarimah qisas diyat antara lain adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan

menyerupai sengaja, pembunuhan karena sengaja, penganiayaan sengaja, dan

penganiayaan tidak sengaja.22

c) Jarimah Ta’zir

Jarimah ta'zir merupakan bentuk hukuman dalam islam yang berasal dari

pemikiran akal yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur

secara langsung atau belum diatur oleh kedua sumber tersebut. Karenanya Ta'zir

merupakan bentuk hukuman islam yang dapat dikembangkan disesuaikan

19 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 320 Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H, Hukum Islam, Cet.6(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006). Hal. 61.21 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 322Ibid. Hal. 153

Page 30: Hukum Pembuktian

dengan kondisi dan keadaan. Menurut Al-Mawardi definisi dari ta’zir adalah

hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang ditentukan hukumannya

oleh syara’”.23 Sebagaimana artinya yaitu memberi pengajaran, maka prinsip

dasar dari jarimah ta'zir adalah restoratif dan pembinaan, rehabilitasi.24

Hukuman ta’zir ini ditentukan oleh penguasa setempat yang berwenang dan

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan syariah.

Dalam Hukum Pidana Islam sistem pembuktian yang digunakan tidak

menganut mutlak empat teori sistem pembuktian pada umunya yaitu sistem

teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan

keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan

yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif.25 Hal ini disebabkan untuk

tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk tindak

pidananya. Contohnya adalah dalam pembuktian kasus zina yang pembuktiannya

dapat menggunakan persaksian, pengakuan, dan qarinah. Sedangkan untuk

kasus pembunuhan selain ketiga alat bukti dapat pula digunakan sumpah

(qasamah). Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa terdapat

perbedaan cara pembuktian. Pada umumnya pada kasus-kasus tindak pidana

atau jarimah hudud digunakan alat bukti pengakuan, persaksian, dan qarinah

(alat bukti). Karenanya dalam pembuktian hukum pidana islam lebih ditekankan

pada alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana tersebut.

Berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad beberapa ulama dan fuqaha maka

terdapat beberapa jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian

hukum islam antara lain adalah pengakuan, persaksian, sumpah (al-qasamah),

dan petunjuk (qarinah).26 Terkait alat bukti ini juga terdapat perbedaan pendapat

terkait jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan untuk tindak pidana atas jiwa

(pembunuhan), bukan jiwa (pelukaan), dan atas janin atau yang termasuk

23 Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah, Cet.3 (Beirut: Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun). Hal.23624 Ibid. Hal. 425 Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.26 Abd Al-Qadir Audah, at-tasyri al-jinaiy al-islamiy, juz II, (Dar al-kitab al-a’rabi, beirut, tanpa tahun).Hal. 303

Page 31: Hukum Pembuktian

kedalam jarimah qisas diyat. Pandangan pertama, menurut para jumhur ulama,

untuk pembuktian qisas dan diyat dapat digunakan 3 cara alat pembuktian yaitu

pengakuan, persaksian, dan al-qasamah. Sedangkan pendapat kedua, menurut

sebagian fuqaha seperti ibnu al-qayyim dari mahzab hanbali, untuk pembuktian

jarimah qisas dan diyat digunakan empat alat pembuktian yaitu pengakuan,

persaksian, al-qasamah (sumpah), dan qarinah (petunjuk).27

Berikut adalah pembahasan terkait jenis-jenis alat bukti yang biasa

digunakan dalam hukum pidana islam:

1) Pengakuan (Iqrar):

Definisi dari pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan.

Sedangkan berdasarkan definisi dari syara’ “pengakuan atau iqrar adalah suatu

pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui

kebenaran tersebut”.28 Dasar hukum dari pengakuan ini disebutkan dalam

beberapa ayat Al-Quran dan Hadist. Ayat Al-Quran yang menyebutkan hal

tersebut antara lain:

Q.S. An-Nissa ayat 153

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT biarpun terhadap dirimu

sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…"

Q.S. Ali-Imran ayat 81

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh,

apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah,…”. Allah

berfirman: “apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianKu terhadap yang

demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau

begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”

Sedangkan hadist yang menjadi dasarnya adalah:

27 Ibid.28 Ibid.

Page 32: Hukum Pembuktian

Hadist Al-Asif

“…Dan pergilah kamu hai Unais untuk memeriksa istrinya laki-laki ini, apabila ia

mengaku (berzina) maka rajamlah dia.” (Muttafaq alaih)

HR. Ahmad dan Abu Dawud

“Dari Sahl ibn Sa’ad bahwa seseorang laki-laki telah datang kepada Nabi SAW,

kemudian ia mengatakan bahwa ia telah berzina dengan seseorang perempuan

yang ia sebutkan namanya. Nabi SAW kemudian mengutus seorang sahabat

untuk mengambil perempuan tersebut, Nabi kemudian bertanya kepada

perempuan tersebut mengenai apa yang dikatakan oleh laki-laki tadi, tetapi

perempuan tersebut mengingkarinya. Akhirnya, nabi menghukum laki-laki

tersebut dan membebaskan perempuan yang tidak mengaku.” (HR Ahmad dan

Abu Dawud).

Hadist mengenai Ma’iz (Hadist Riwayat Bukhari)

“Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau

memandangnya? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)

Alat bukti pengakuan dalam hal pembuktian hanya berlaku bagi orang yang

menyatakan pengakuan itu. Apabila dalam pengakuannya disebutkan nama

orang lain yang juga melakukan tindak pidana maka hal tersebut tidak termasuk

kedalam pengakuan, melainkan persaksian.29 Walaupun demikian, pengakuan

sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama dan fuqaha, merupakan alat

bukti yang memiliki kekuatan yang paling kuat dibandingkan alat bukti yang

lainnya. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar bahwa manusia tidak akan

melakukan kebohongan yang akan merugikan dirinya terkait pengakuan ini.

Penggunaan pengakuan sebagai alat bukti memiliki syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh pengakuan tersebut. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah

berupa pengakuan yang jelas, terperinci, pasti, serta tidak dapat menimbulkan

29 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.229.

Page 33: Hukum Pembuktian

tafsiran lain terkait tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu juga dalam

pengakuan tersebut perlu disebutkan hal-hal yang berkaitan seperti waktu,

tempat, cara melakukannya, dan lain sebagainya sehingga pengakuan tersebut

memiliki suatu kejelasan dan kepastian tanpa adanya dugaan atau tafsiran tindak

pidana di luar yang dilakukan olehnya. Dasar hukum dari syarat tersebut adalah

hadist mengenai kisah Ma’iz yang isinya adalah:

“Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau

memandangnya? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)

Pengakuan juga harus disampaikan tanpa adanya paksaan dan disampaikan oleh

orang yang memiliki akal yang sehat.30

2) Persaksian (syahadat):

Menurut Wahbah Zuhaili definisi dari persaksian adalah:

“persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk

membuktikan suatu kebenaran dengan lafazd syahadat di depan pengadilan”.31

Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pembuktian

hukum pidana islam. Hal ini dikarenakan persaksian dapat menjadikan

pembuktian lebih objektif karena adanya saksi yang menguatkan. Saksi juga

menjadi kunci dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana apabila pelaku tidak

mengaku. Selain itu apabila salah satu saksi memberikan keterangan yang

berbeda dengan keterangan pelaku maka hal tersebut dapat dijadikan bahan

pertimbangan terkait pembuktian kasus tersebut oleh hakim. Tanpa adanya saksi

ini pada umumnya akan sulit dibuktikan bahwa seseorang telah melakukan suatu

jarimah. Contohnya dalam kasus jarimah zina sebagaimana yang telah disepakati

oleh para ulama berdasarkan ayat Quran yang mengharuskan adanya empat

orang saksi yang melihat langsung kejadian untuk membuktikan suatu jarimah

30Ibid. hal. 230.31 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik. 1989). Hal. 388

Page 34: Hukum Pembuktian

zina. Apabila empat orang saksi ini tidak bisa dihadirkan maka gugurlah tuduhan

zina terhadap tersangka.

Yang menjadi dasar hukum alat bukti persaksian ini antara lain:

Q.S. Al-Baqarah ayat 282:

“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di

antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seseorang lelaki dan dua

orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa,

yang seseorang lagi mengingatkannya”.

Q.S. Ath-Thalaaq ayat 2:

“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan

hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah..”.

Hadist Riwayat Nasa’i:

Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya Muhaishah

yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka Rasulullah SAW

bersabda: “ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti

saya akan berikan kepadamu tambang untuk mengqisaskannya..”

Agar persaksian tersebut dapat diterima maka terdapat beberapa syarat-

syarat yang bersifat umum yang harus dipenuhi oleh saksi antara lain adalah

dewasa, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara, dapat melihat, adil, dan

islam. Pembuktian melalui persaksian ini, berdasarkan tindak pidana

pembunuhan dan pelukaan, dapat dibedakan menjadi persaksian untuk tindak

pidana yang hukumannya badaniah dan persaksian untuk tindak pidana yang

hukumannya maliah.32

Jarimah yang hukumannya badaniah:

32 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.232

Page 35: Hukum Pembuktian

Jarimah yang hukumannya badaniah bisa berupa qisas atau ta’zir. Terdapat

beberapa perbedaan pendapat terkait persaksian jarimah yang hukumannya

badaniah. Namun pada umumnya para ulama dan fuqaha sepakat bahwa

pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan

seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang saksi Laki-laki

ditambah sumpahnya korban.33

Jarimah yang hukumannya maliah:

Pada umumnya dalam hal persaksian terhadap jarimah yang hukumannya

maliah, seperti diyat atau denda ganti rugi, para ulama dan fuqaha sepakat

bahwa pembuktian dapat dilakukan oleh dua orang saksi laki-laki, atau satu

orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Pendapat lain menyatakan

bahwa dapat juga pembuktian dilakukan melalui seorang saksi laki-laki dan

sumpah penuntut atau keengganan bersumpahnya terdakwa, atau dua orang

saksi perempuan ditambah sumpah penuntut.

a. Sumpah (Qasamah)

Berdasarkan arti bahasa qasamah adalah sumpah. Sedangkan menurut

Hanafiyah mendefinisikan qasamah “Dalam istilah syara’, qasamah digunakan

untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu,

dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut

cara tertentu”.34 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

qasamah adalah sumpah yang dilakukan berulang-ulang yang dilakukan oleh

keluarga korban untuk membuktikan pembunuhan terhadap keluarganya yang

dilakukan oleh tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan

bahwa ia bukan pelaku pembunuhan.35 Para ulama sepakat bahwa penggunaan

qasamah ini hanya untuk tindak pidana pembunuhan saja. Dasar hukum dari

sumpah ini adalah hadist Nabi Muhammad SAW yaitu:33 Ibid.34 ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar Al-Fikr. 1996). Hal. 422.35 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.235

Page 36: Hukum Pembuktian

Hadist Riwayat Ahmad, Muslim, Nasa’i:

“Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-

laki sahabat Nabi SAW sekelompok kaum Anshar, bahwa sesungguhnya Nabi

SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di

zaman jahiliyah”.

Penggunaan qasamah seperti yang telah disebutkan diatas bahwa para ulama

telah sepakat hanya untuk kasus pembunuhan saja. Namun yang menjadi

perdebatan adalah kapan saat digunakannya qasamah ini. Pendapat pertama

mengatakan bahwa qasamah dilakukan ketika pelaku pembunuhan tidak

diketahui. Sedangkan pendapat kedua adalah ketika pelaku pembunuhan

diketahui karena adanya petunjuk yang mengarah kepadanya.

3) Petunjuk (Qarinah):

Qarinah atau petunjuk menurut definisi dari Wahbah Zuhaili adalah:

“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang

samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”36

Contoh salah satu bentuk dari qarinah adalah hamilnya seorang

perempuan yang belum menikah dalam tindak pidana zina, bau alkohol pada

mulut seseorang dalam jarimah meminum minuman keras. Terwujudnya qarinah

ini harus memenuhi beberapa hal yaitu terdapat suatu keadaan yang jelas dan

diketahui layak untuk dijadikan dasar dan pegangan. Selanjutnya adalah terdapat

hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas dan

yang samar.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuktian dalam

hukum pidana islam tidak sama antara satu tindak pidana dengan tindak pidana

yang lainnya. Hal ini disebabkan untuk tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda

36 Ibid. hal.244

Page 37: Hukum Pembuktian

didasarkan pada bentuk tindak pidananya. Yang menjadi kesamaan antara satu

tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya dalam pembuktian adalah jenis

alat bukti yang digunakannya. Selain itu perbedaan dalam pembuktian pidana

islam juga dibedakan berdasarkan jenis tindak pidananya yaitu jarimah hudud,

jarimah qisas diyat, dan jarimah ta’zir. Khususnya jarimah hudud terdapat

perbedaan dalam syarat dan ketentuan alat bukti yang digunakan seperti

pembuktian jarimah zina. Dalam jarimah zina saksi yang harus dimunculkan

minimal empat orang laki-laki, berbeda dengan syarat minimal saksi pada

jarimah lainnya yang hanya mensyaratkan minimal dua orang laki-laki. Berikut

adalah contoh pembuktian dalam beberapa jenis tindak pidana dalam islam:

A. Tindak pidana pencurian:

Dalam tindak pidana pencurian pembuktiannya dapat dilakukan melalui tiga alat

bukti yaitu persaksian, pengakuan, dan sumpah.

Dengan Persaksian

Pada umumnya syarat untuk persaksian dalam pembuktian tindak pidana

pencurian tidak jauh berbeda dengan syarat persaksian pada umumnya. Saksi

yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua

orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila syarat

tersebut tidak tidak terpenuhi maka pencuri tidak dapat dikenai hukuman.

Dengan Pengakuan

Pengakuan dalam tindak pidana pencurian cukup dinyatakan satu kali dan tidak

perlu diulang-ulang.

Dengan sumpah

Sumpah dapat dilakukan oleh sang tersangka bahwa ia melakukan pencurian.

Namun apabila sang tersangka enggan bersumpah maka sumpah tersebut

dapat dikembalikan kepada orang yang kehilangan barang (penuntut).

Page 38: Hukum Pembuktian

B. Tindak Pidana Zina

Pembuktian untuk tindak pidana perzinahan dilakukan dengan tiga jenis alat

bukti yaitu pengakuan, persaksian, dan petunjuk.

Dengan Persaksian

Pada prinsipnya alat bukti saksi dalam pembuktian tindak pidana perzinahan

memiliki syarat yang sama dengan alat bukti saksi pada umumnya. Namun ada

beberapa perbedaan seperti jumlah saksi yang harus dihadirkan. Dalam tindak

pidana zina jumlah saksi minimal adalah empat orang. Empat orang saksi ini

harus melihat langsung kejadian. Mereka harus melihat kejadian dengan mata

kepala mereka sendiri. Tidak bisa hanya mendengar kejadian tersebut dari

orang lain, karena nantinya akan menimbulkan keraguan (syubhat) yang dapat

menyebabkan hukuman hudud gugur. Dasar hukum dari syarat saksi ini adalah

surat An-Nisa ayat 15 yang isinya adalah “dan (terhadap) para wanita yang

mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu

(yang menyaksikannya)…”

Dengan pengakuan

Alat bukti memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi , antara lain adalah

pengakuan harus dinyatakan empat kali dan terperinci sehingga menghilangkan

syubhat (keragu-raguan). Namun pada prinsipnya sama dengan alat bukti

pengakuan pada umumnya.

Dengan Qarinah (petunjuk)

Pembuktian menggunakan petunjuk dalam tindak pidana zina dapat berupa

hamilnya seorang wanita yang tidak bersuami.

Demikian pembuktian dalam hukum pidana islam. Dalam hukum pidana islam

sistem pembuktiannya memang berbeda dengan hukum pidana di Indonesia.

Dalam hukum pidana islam setiap tindak pidana bisa jadi memiliki syarat yang

berbeda terkait alat bukti yang digunakan dalam pembuktiannya.

Page 39: Hukum Pembuktian

BAB III

KESIMPULAN

Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dari proses peradilan yang memiliki peran yang paling penting dalam mentukan bersalah tidaknya seseorang. Cara penentuan tersebut ada bermacam-macam. Ada yang didasarkan pada teori sistem pembuktian pada umumnya yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. Di Indonesia sistem pembuktian yang

Page 40: Hukum Pembuktian

digunakan adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian secara negatif berarti dalam proses pembuktian keputusan bersalah atau tidaknya seseorang didasarkan pada keyakinan hakim yang didukung oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP yang isinya adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah yang dengan alat bukti tersebut hakim mendapat keyakinannya akan bersalahnya tersangka.

Beban pembuktian di Indonesia menganut beban pembuktian umum / konvensional. Beban pembuktian umum / konvensional merupakan beban pembuktian yang memberikan kewajiban untuk membuktikan suatu tindak pidana kepada penuntut umum karena didasarkan pada asas presumption of innocence. Hal ini diatur didalam pasal 66 KUHAP. Namun untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi terdapat penyimpangan berupa berlakunya beban pembuktian yang lain yaitu beban pembuktian terbalik terbatas. Hal ini diatur didalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Bentuk sistem pembuktian selain yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dari sistem pembuktian di Negara lain seperti Belanda yang menganut Civil Law dan Australia yang menganut Common Law. Di Australia, untuk perkara ringan dan lebih berat dibedakan sistem pengadilan, namun keduanya tetap diusahakan agar perkara dapat diselesaikan tanpa proses persidangan. Jika pada akhirnya akan diproses melalui sidang, maka kedua belah pihak, penuntut dan terdakwa, hadir dalam persidangan dan saling melemparkan bukti dan argumennya masing-masing. Penuntut memberikan bukti dan argumen dengan tanpa ragu yang menjelaskan bahwa terdakwa bersalah. Sementara terdakwa dapat melakukan pembelaan disertai bukti-bukti dan argumen yang mendukung pula. Dalam perkara berat biasanya juri diperlukan untuk memperoleh suatu putusan pengadilan, dan kemudian hakim yang menyimpulkan putusan dan memberi hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Belanda, sistem pembuktiannya menganut sistem pembuktian negatif ( keyakinan hakim namun dibatasi oleh undang-undang). Sifatnya non-adversarial, berarti hakim bersifat aktif dalam mencari kebenaran selama persidangan. Beban pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan fakta. Di peradilan Belanda, penuntut umum berada di bawah

Page 41: Hukum Pembuktian

pengawasan Menteri Kehakiman, dan Kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.

Selain itu ada juga bentuk sistem pembuktian yang tidak termasuk kedalam empat teori sistem pembuktian yang ada yaitu sistem pembuktian dalam hukum pidana islam. Dalam hukum pidana islam sistem pembuktian antara satu jenis tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya berbeda. Yang menjadi persamaan hanyalah jenis alat bukti yang digunakan yaitu persaksian, pengakuan, petunjuk, dan sumpah. Pada umumnya untuk tindak pidana hudud dapat menggunakan alat bukti petunjuk, persaksian,dan pengakuan. Sedangkan untuk sumpah hanya digunakan untuk tindak pidana tertentu seperti pembunuhan dan pencurian. Contohnya dalam kasus tindak pidana zina dengan tindak pidana pencurian. Dalam tindak pidana zina alat bukti yang dapat digunakan adalah pengakuan, persaksian, dan petunjuk. Sedangkan untuk tindak pidana pencurian alat bukti yang dapat digunakan adalah pengakuan, persaksian,dan sumpah. Beban pembuktian dalam hukum pidana islam merupakan hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yaitu penuntut dan pihak yang dituntut.

Dari pembahasan diatas dapat dilihat perbedaan masing-masing dari Sistem dan beban pembuktian dari beberapa negara dan hukum pidana islam. Perbedaan tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh ajaran, budaya dan kondisi dari masing-masing negara dan tempat yang menganutnya. Namun pada prinsipnya keseluruhan sistem pembuktian tersebut memiliki kesamaan tujuan yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya sehingga keadilan dapat ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984.

Page 42: Hukum Pembuktian

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka

Kartini: Jakarta. 1993.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam,cet.1. Sinar Grafika: Jakarta. 2005

Santoso, Topo, dkk. Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1. Cintya Press: Jakarta. 2005.

Prodjohamidjojo, Martiman. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999). Mandar Maju: Bandung. 2001

Ingeten, Sri. Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara: Medan. 2008.

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktia. Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan: Jakarta. 2006

Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit PT Alumni: Bandung. 2005.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Sumur Bandung:

Jakarta 1967.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Cet.6. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

2006.

Prints, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti:

Jakarta. 2002.

Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Penerbit Mandar

Maju: Bandung. 2000.

‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar

Al-Fikr. 1996

Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah, Cet.3 (Beirut:

Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun).

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik.

1989)

Page 43: Hukum Pembuktian

Undang-undang

Australia, Summary Procedure Act 1921.

Australia, Juries Act 1927.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Website

http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html