Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf ·...

38
Hukum, Moral, dan Politik Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal 23 Agustus 2008 Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral, dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif. Dasar etik dan moralitas hukum Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum. Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan kekuatan penegak hukum. Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata. Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan. Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial corruption.

Transcript of Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf ·...

Page 1: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Hukum, Moral, dan Politik

Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor

Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal

23 Agustus 2008

Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral,

dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan

penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya

moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif.

Dasar etik dan moralitas hukum

Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan

etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi

dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum.

Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum

bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi

dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian

mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan

kekuatan penegak hukum.

Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma

hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum

kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata.

Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap

seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya

belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan.

Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga

menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial

corruption.

Page 2: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Akibatnya, hukum kemudian menjadi alat permainan untuk mencari

kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk

menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam masyarakat.

Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam permainan norma-

norma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subyek yang harus dilayani

dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika dan moral.

Di sinilah letak perlunya upaya mendiagnosis letak etika dan moral dalam

perkembangan hukum kita pada saat ini.

Hukum dan politik

Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi adalah hubungan antara hukum

dan politik sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal penting

tertentu hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan

melemahnya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak

diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya

teknis, tidak subtansial, dan bersifat jangka pendek.

Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat

dibedakan atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai das Sollen, hukum

determinan atas politik karena setiap agenda politik harus tinduk pada aturan-

aturan hukum. Kedua, sebagai das Sein, politik determinan atas hukum karena

dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum apa pun yang

ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik

yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara

interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa

pengawalan politik akan lumpuh.

Pembahasan kita dalam studium generale ini akan menyorot teori atau

berangkat dari asumsi bahwa sebagai kenyataan “politik determinan atas

hukum.” Pilihan kita pada fokus ini sejalan dengan masalah terlepasnya keadilan

sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral.

Page 3: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Dengan demikian di dalam studium generale ini kita akan membedah

hubungan sebab akibat dan kait kelindan antara hukum, moral, dan politik.

Perubahan politik dan perubahan hukum1

Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum sudah

berjalan lebih dari sepuluh tahun (sejak Mei tahun 1998) namun sekarang ini

masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tak tegak-tegak.2 Mestinya

dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik, tetapi

nyatanya tidak juga. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih merajalela,

mafia peradilan, tepatnya judicial corruption, ditengarai semakin menggila.

Melihat situasi yang buruk itu seorang peserta program doktor di Undip

Semarang pernah bertanya kepada penulis: mengapa hukum tetap buruk meski

sudah ada reformasi? Bukankah kita melakukan reformasi karena ingin

membangun demokrasi agar hukum bisa berjalan baik dan dapat ditegakkan?

Apakah tesis Bapak bahwa hukum berubah jika politik berubah tidak berlaku

untuk kasus Indonesia?3

Penulis menjawab bahwa hal itu terjadi karena perubahan politik kita di

era reformasi ini bukan berubah dari otoriter ke demokratis melainkan dari

otoriter ke oligarkis, meskipun pada awalnya agak demokratis juga. Hukum

adalah produk politik sehingga jika politiknya tidak baik, maka hukumnya pun

1 Bagian ini dan butir-butir berikutnya disunting dan ditulis kembali dari beberapa makalah saya, antara lain, Sepuluh Tahun Penegakan Hukum dalam Pemerintahan RI Pasca Reformasi,yang dipresentasikan pada Seminar Nasional tentang Sepuluh Tahun Pembangunan Hukum, Ekonomi, dan Kiprah Otonomi Daerah Bagi Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan dalam rangka Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) Propinsi Jambi tanggal 5 Juni 2008 di Jambi. 2 Pada bulan Mei tahun 2007 saya meluncurkan buku Hukum Tak Kunjung Tegak (PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi kumpulan artikel tentang betapa mandulnya hukum kita jika berhadapan dengan politik. 3 Pada tahun 1993 saya menulis disertasi doktor di UGM yang salah satu temuan tesisnya menyebutkan bahwa karena hukum adalah produk politik maka jika politik berubah hukum pun akan berubah; politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.

Page 4: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

tidak akan baik. Demikianlah penulis menjawab kepada mahasiswa program

doktor yang tampak sangat kecewa dengan perjalanan reformasi kita itu.

Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik4 maka tampaklah

fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Perubahan

itu akan sejalan dengan perubahan sistem politiknya. Kita menyaksikan sendiri

betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk

politik Orde Baru diganti. Begitu juga di masa yang lebih lampau kita

menyaksikan penggantian hukum-hukum yang dibuat oleh Orde Lama begitu

Orde Baru menggantikan rezim yang diperintah oleh Presiden Soekarno itu.

Bahkan tampak jelas juga bahwa hukum-hukum lama segera harus diganti begitu

politik kolonial (penjajahan) diganti dengan politik nasional (kemerdekaan,

kebangsaan) pada tahun 1945.

Pada era reformasi penggantian hukum (terutama dalam arti peraturan

perundang-undangan) itu mula-mula menyentuh level UU yang secara lebih

khusus berbagai UU dalam bidang politik, sehingga kita melihat terjadinya

penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU

Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi,

Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2008 ini rezim

reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di

antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.

Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih

tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR

dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang dianggap lebih

demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang

dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian

dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita. Tentang ini pada

tahun 2003 MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 yang oleh masyarakat

dikenal sebagai Tap Sapu Jagat yang berisi pemosisian kembali secara hukum

4 Secara ilmiah ada dua asumsi lain mengenai hubungan antara politik dan hukum yaitu asumsi bahwa hukum determinan atas politik dan asumsi bahwa politik dan hukum berhubungan secara interdependen atau interdeterminan.

Page 5: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

semua Tap MPR/S yang pernah ada sebagai peraturan perundang-undangan

level kedua (di bawah UUD, di atas UU). Di dalam Tap Sapu Jagat ini ada Tap

MPR yang dinyatakan masih berlaku, ada yang dinyatakan dicabut, ada yang

dinyatakan berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu tahun 2004,

ada yang dinyatakan masih berlaku sampai dibentuknya UU yang

menggantikannya, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai selesai isi

perintahnya (seperti Tap tentang Timtim) dan ada yang dinyatakan tidak berlaku

dengan sendirinya karena sifatnya yang einmalig (sekali berlaku dan selesai).

Menurut penulis, perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah satu

kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena sebenarnya selama

empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja

pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan

perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun

berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas

perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa

MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat

kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD

karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen

terhadap hasil amandemen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada

kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999.

Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka

pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada

bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap

tahun.5 Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan

sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen

itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak

5 Dalam makalah yang saya presentasikan 21 Nopember 2007 di kampus UI, Depok Jakarta, saya membuat perbandingan tentang waktu yang diperlukan serta keseriusan pembahasan antara UUD 1945 asli oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan UUD 1945 hasil amandemen oleh MPR yang ternyata UUD hasil amandemen jauh lebih lama dibahas dan didiskusikan dengan serius jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli yang menurut Bung Karno sendiri merupakan UUD kilat sebagai produk situasi darurat agar segera merdeka. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945,” makalah untuk Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007.

Page 6: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare

konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai

dengan situasi poleksosbud pada waktu dibuat. Sebagai kesepakatan politik amat

sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil

perubahan yang ada sekarang itu secara struktur dan sistematika terlihat kurang

baik, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat

dan kemudian tak dapat dihindari.

Hukum belum efektif

Jika kita amati dan rasakan, ternyata sampai saat ini hukum belum efektif

memberantas korupsi, terlihat dari berita tentang korupsi sehari-hari di media

massa kita dan dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang

setiap menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks persepsi korupsinya

selalu rendah, dalam arti selalu menjadi salah satu negara dari lima negara yang

paling korup di dunia.

Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah

sepuluh tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan

menjadi wabah menular termasuk kepada mereka yang dulu dikenal sebagai

pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang

melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru

besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi.6 Kita tersentak ketika

Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena

terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut

Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga

melibatkan istri, anak, saudara, dan menantunya. Kita bergidik dan geram ketika

ternyata ada jaksa dan beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK karena nekat

melakukan korupsi pada saat kita (dan mereka) sedang berteriak keras untuk

memberantas korupsi.

6 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Sudah Habis Teori di Gudang,” dalam harian KOMPAS, 11 Oktober 2005.

Page 7: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Yang paling spektakuler adalah kasus penyuapan Artalyta Suryani (Ayin)

terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang megguncang dunia hukum pada tahun

2008. Jaksa Urip Tri Gunawan digelandang ke pengadilan Tipikor karena

tertangkap basah menerima suap lebih dari Rp 6.000.000.000,- (enam miliar)

dari Artalyta Suryani yang didakwa mengurus perkara BLBI yang melibatkan

Sjamsul Nursalim. Spektakulernya, karena ternyata selain uang yang diurus

berjumlah triliunan rupiah, semula keduanya menyangkal uang yang disita

karena tertangkap tangan itu sebagai suap. Tetapi rekaman-rekaman penyadapan

telepon yang kemudian tidak dapat disangkal oleh keduanya telah meyakinkan

majelis hakim Tipikor bahwa tindak pidana penyuapan itu adalah benar atau

terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga Ayin dijatuhi hukuman pidana

penjara maksimal sebagai penyuap yakni lima tahun penjara.

Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang menyebar di

semua lini kehidupan masyarakat serta melibatkan banyak yang tadinya tidak

kita sangka akan terlibat.

Dalam satu tulisan penulis pernah mengemukakan, akibat ranjau korupsi

yang menggila dan melibatkan banyak tokoh seperti itu maka banyak politisi dan

aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik

sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus

dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-

suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau

berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat

korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk

memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori:

korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan lain-lain.

Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya dapat

diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan

hukum.

Page 8: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Penulis mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan

keadaan ironis terus berlanngsung. 7

1. Reformasi hanya memotong puncak

Ketika melakukan reformasi pada 1998 kita hanya memberhentikan

presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal

birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan

birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan

tahun.

Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang

masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di

antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-

sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum

terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa

dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya catatan tidak

bersih.

Orang-orang baru yang ’reformis’ bisa dikepung oleh kawanan birokrat

lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa

takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah

yang dapat terlempar jika mau nekat membersihkan birokrasi.8 Dalam situasi

seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan

masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus

itu jawabannya adalah ’tak cukup bukti.’ Padahal yang terjadi di sini adalah saling

7 Ketika menjadi Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa dirinya bisa saja memegang leher para menteri untuk memberantas korupsi tetapi karena birokrasinya korup maka para menteri itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Kata Megawati dirinya mewarisi birokrasi “tong sampah.” Itu adalah pernyataan yang benar dan sangat mudah dibuktikan. 8 Di awal reformasi ada seorang pejabat baru yang menemukan pengeluaran uang negara oleh sebuah kementerian sampai bermiliar-miliar rupiah di luar ketentuan yang harus dibayarkan oleh negara kepada pihak ketiga. Ternyata kelebihan uang itu dijadikan bancakan oleh kroni dan anak pejabat di kementerian itu. Ketika dilapori Presiden setuju untuk diusut dan dilaporkan ke kajaksaan agung. Ketika pelaporan itu sudah berproses sang pejabat baru yang menemukan kasus itu tiba-tiba dipindah untuk menduduki jabatan lain (disingkirkan secara halus) dan kasus itu jadi lenyap dari peta korupsi.

Page 9: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup

bukti awal untuk terus diproses secara hukum.9

2. Masih dominannya pemain-pemain lama

Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya

pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup

untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan

perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di

panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh

lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari

wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang

lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang

ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam

kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang

yang baik secara bercampur-baur dengan kecenderungan institusional yang

korup. Oleh sebab itu cap ”reformis” atau ”antireformasi” tak dapat dilekatkan

pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan

parpol yang dapat berada di parpol mana saja.10

3. Politisi baru yang tanpa visi

Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol

tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung

9 Sebagai contoh kasus pembongkaran ijazah yang diperoleh secara tidak wajar seperti membeli tanpa belajar atau mendapat ijazah kehormatan tanpa kriteria yang jelas, seperti yang pernah ditulis sebagai Doktor Kucing oleh mantan Rektor Undip Eko Budihardjo. Semula diumumkan oleh Polri adanya puluhan ribu kasus seperti itu namun ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Katanya sulit mencari ketentuan itu di dalam hukum pidana; padahal kalau mau bersungguh-sungguh hal itu bisa dijerat dengan ketentuan pidana yang ada di dalam UU Sisdiknas maupun KUHP seperti berdasar hasil kajian beberapa perguruan tinggi. Sebenarnya masalahnya bukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengancam itu melainkan karena banyak perwira tinggi Polri, perwira TNI, dan mantan pejabat tinggi yang disebut-sebut juga memiliki ijazah secara tidak wajar seperti yang nama-namanya pernah dimuat di berbagai media massa.. 10 Ketika oleh beberapa Penggugat saya diminta menjadi saksi untuk pembubaran Golkar di Mahkamah Agung pada tahun 2001 saya menolak karena, dengan bercampurbaurnya tokoh-tokoh parpol seperti sekarang, tak mungkin kita menyalahkan satu parpol untuk dibubarkan sambil mengatakan bahwa parpol lain bersih. Bagi saya yang penting untuk diburu dan diadili bukanlah partai politiknya melainkan oknum-oknum koruptornya yang itu bisa ada di partai mana pun, termasuk di dalam partai yang meneriakkan adanya korupsi di partai lain.

Page 10: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi

tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika

dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang

bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke

panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut

menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.

Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang

cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai

akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik.

4. Rekrutmen politik yang tertutup

Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik

untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang

memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-

pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif presiden,

dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara presiden dan

elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik

sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik

untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak

dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya, pembentukan

zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan

dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon

pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan

utama, lebih-lebih pada saat reshuffle.

Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama

melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil

rakyat yakni sistem proporsional, dimana penentuan anggota lembaga

perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai,

rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh

pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun berdasar posisi,

transaksi, atau kedekatan politik.

Page 11: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem

politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah

dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak

responsif dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan

peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak

demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.

Peradilan yang korup

Selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial

corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang

diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam

UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim

untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga

oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi

peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada

kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum, dan ada kasus penyuapan

jaksa Tri Urip Gunawan dan Artalyta Suryani yang kini penyuapnya sudah

divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang menyuap.

Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam

pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan terperosok ke

dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga

peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka

lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan

pengacara juga menjadi semakin korup.11

Kreativitas korupsi

11 Dua tahun lalu ini ada dua jaksa yang dipecat karena meminta uang suap dalam satu kasus, sekarang banyak polisi (sampai tingkat perwira) yang diadili karena korupsi. Kita tentu belum lupa ketika seorang pengacara kondang dilaporkan telah merekayasa saksi untuk memberi keterangan palsu dengan imbalan tertentu, tapi kasus ini sekarang menguap mungkin karena kolusi juga.

Page 12: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya

Indonesia. Karena merupakan warisan budaya maka kita sangat banyak akal

untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar

menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak

efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi.12 Seperti

akan dikemukakan kemudian penulis sendiri tidak terlalu percaya bahwa

keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya

korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh

betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi.

1. Penyatuatapan pembinaan hakim

Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap

Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau

intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat

memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan

stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti

dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab ”mafia

peradilan” dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak.

Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim

digunakan bukan sekedar untuk membebaskan diri dari intervensi pemerintah

melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk

melakukan korupsi.

2. Penghapusan recall anggota DPR/DPRD

Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di

tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan

diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar

para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

12 Perlu ditekankan bahwa istilah korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur komulatif, yaitu: 1)melawan hukum, 2)memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, 3)merugikan keuangan negara. Secara umum korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional.

Page 13: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang

berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian,

perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot

mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada

putusan pengadilan, padahal selain lama, proses peradilan itu masih bisa

dikolusikan.

3. Otonomi luas bagi Daerah

Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas

otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga

Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang

terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum

anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan

memeras kepala daerah dengan ancaman ’halus’ LPJ-nya akan ditolak dan/atau

akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan

kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak

oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu.

Yang kemudian muncul sebagai pemenang adalah kepala daerah yang mampu

membeli suara terhadap lebih dari separoh dari seluruh anggota DPRD, bukan

kepala daerah yang berkualitas dan amanah.

4. Penghidupan recall dan Pilkada langsung

Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No.

22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 UU tentang Parpol dan UU tentang

Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali

lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan kepala

daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung

sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala

daerah.

Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu

anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall,

Page 14: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah

terbukti ada yang) merecall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial.

Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih

langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka

giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang

yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekomendasi pencalonan. Kasus

pilkada DKI dulu diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung

karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol.13 Sungguh, orang

kita ini sangat kreatif untuk korupsi.

Apakah karena budaya?

Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan

untuk membetrantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diakali untuk

dikorupsi. Itulah yang kemudian dijadikan salah satu argumen untuk

mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita

mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul

kreativitas untuk mengakalinya lagi.

Benarkah begitu? Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian

Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan ”nonsens” jika

dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya

dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah

peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan

mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai

melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan

13 Saat ini sudah ada UU No. 10 Tahun 2008 yang membuka pintu bagi calon perseorangan (sering disebut sebagai calon i ndependen) di dalam Pilkada. UU merupakan follow up atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon perseorangan harus diberi peluang mengikuti pilkada sebab banyak calon yang potensial tetapi tidak mendapat parpol pendukung sebagai kendaraan untuk berkompetisi di dalam pilkada.

Page 15: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

kehakiman. 14Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian

amplop atau upeti) di kalangan hakim.15

Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis

lakukan menujukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya

pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui

pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode itu kita

mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun,

termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga

pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum

pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.

Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak

dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan

fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula

bahwa apa pun yang akan kita lakukan akan cenderung gagal sebab budaya itu

sangat sulit untuk diubah.

Etika dan Moral Tak Landasi Penegakan Hukum16

Selanjutnya marilah kita lihat hubungan antara hukum, khususnya

penegakan hukum, dengan etika dan moral. Seperti dikemukakan di atas, banyak

sekali pelanggar hukum (termasuk penegak hukum yang sengaja melanggar

hukum melalui judicial corruption) yang mempermainkan formalitas hukum

untuk melemahkan hukum itu sendiri. Atas nama kepastian hukum banyak

pelanggar hukum yang bersikap dan berlagak tidak salah hanya karena belum

dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Padahal secara etik dan moral mereka

14 Pada era Orde Lama di bawah Bung Karno pengadilan juga dikooptasi oleh eksekutif sehingga tak berdaya, tetapi ketika itu ketidakberdayaan lembaga peradilan lebih merupakan ketidakberdayaan politik yang kemudian dituangkan secara resmi di dalam UU bahwa Presiden dapat mengintervensi Pengadilan. Buruknya dunia peradilan sekarang bukan pada soal politik tetapi disinyalir lebih dipengaruhi oleh jual beli perkara. 15 Lihat dalam majalah mingguan GATRA No. 21 Tahun XII, tanggal 8 April 2006. 16 Bagian ini dan beutir-butir berikutnya disunting dan ditulis ulang dari makalah penulis yang disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Islam Kadiri (UNISKA) tanggal 15 Desember 2007 yang kemudian ditulis ulang dan dipresentasikan dengan judul “Kepemimpinan Nasional yang Berbasis Konstitusi” pada Seminar Nasional tentang Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni UII Wilayah Sulawesi Selatan dan CDLS Yogyakarta di Palembang tanggal 5 Mei 2008.

Page 16: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

ini nyata-nyata bersalah atau sekurang-kurangnya ada common sense

(pandangan umum yang wajar) bahwa mereka bersalah. Mereka bebas

berkeliaran kemana-mana sambil berorasi tentang pembangunan dan penegakan

hukum. Mereka tidak mau mundur dari jabatannya dengan alasan belum

dibuktikan oleh pengadilan dirinya bersalah, padahal pengadilan selain

memakan waktu lama juga mengalami krisis kepercayaan. Akibatnya, ada

guyonan agak sinis bahwa negara kita ini dipimpin oleh para pelaku kriminal,

utamanya para koruptor, yang berlindung di bawah formalitas-formalitas

hukum.

Hal ini ada kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kita yang lebih

banyak berorientasi pada keahlian teknis bahkan lebih buruk dari itu

berorientasi pada pengeluaran ijasah untuk dijadikan tiket meraih kedudukan

tertentu di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat.

Marilah kita fokuskan perhatian kita pada kinerja hukum sebagai akibat

runtuhnya etika keilmuan dan integritas kecendekiawanan dari konsepsi

pendidikan yang juga salah dalam bidang hukum.

Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara

dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena tidak merasa melanggar

hukum formal. Mereka dengan senaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi

karena tidak salah secara hukum formal maka mereka merasa tak melakukan

kesalahan apa pun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung

dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi

dari etika dan moral. Artinya sebenarnya semua hukum formal itu adalah etika

dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih

diutamakan dari sekadar formalitas-formalitas hukum.

Dalam kaitan etika ini penulis pernah menyajikan artikel di Harian Jawa

Pos berjudul “Politik-Hukum Kancil Pilek,”17 Di dalam cerita fiktif ini dikisahkan

bahwa orang bisa menjadi tak jujur dan tidak berani berbicara apa adanya karena

tersandera oleh keadaan, dihegemoni oleh kekuatan di luar dirinya, dan takut

untuk mengatakan sesuatu yang salah karena dirinya sendiri melakukan

17 Moh. Mahfud MD, “Politik-Hukum Kancil Pilek,” dalam harian Jawa Pos, (tanggal, tak terlacak tapi sekitar Mei 2007).

Page 17: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

kesalahan yang sama sehingga dia bersikap seperti kancil pilek dalam cerita di

bawah ini.

Syahdan di sebuah hutan rimba hiduplah harimau si raja rimba yang

memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari

sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa

badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risih

dengan desas desus itu. Si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk

mendapat kepastian.

Mula-mula dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang

besar. “Menurutmu benarkah badan saya ini bau?” tanya harimau sambil

menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. “Ampun tuan raja yang

mulia, memang benar badan tuan bau dan memualkan,” jawab herder tersebut

dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah. “Kurang ajar, berani

benar kamu menghina raja di rimba ini,” kata sang harimau sambil menerkam

dan merobek-robek si herder sampai lumat.

Kemudian dipanggillah pimpinan rakyat kijang. “Apakah menurutmu

badanku ini bau?” tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut

dirobek-robek seperti herder maka, setelah membau badan harimau, pimpinan

kijang itu berkata. “Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia harum

menyegarkan,” katanya. Tapi tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang

sambil mengaum keras. “Kurang ajar, munafik; berani benar kamu membohongi

raja,” teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.

Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang

dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan

harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder bisa dirobek-robek

karena dianggap berani kurang ajar, kalau berbohong agar raja senang bisa

dicabik-cabik seperti kijang.

Ketika membau tubuh harimau si kancil bersin (wahing) karena tubuh

raja rimba itu baunya memang menyengat. “Bagaimana menurutmu, kancil? Apa

badan saya memang bau?,” tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar

kancil itu menjawab. “Maaf raja rimba yang mulia, saya sedang pilek, hidung lagi

mampet; jadi tak tahu apakah badan tuan bau atau tidak,” jawab sang kancil.

Page 18: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

“Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau?” kejar sang harimau. “Ya,

saya bersin justru karena pilek itu,” jawab kancil lebih berani. Sang harimau

akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.

Dari cerita itulah di dalam dunia politik kita sering mendengar istilah

“politik kancil pilek,” yang biasa diartikan sebagai politik diam meski melihat

kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Politik kancil

pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan takut kepada

penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan juga banyak diantaranya yang

menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu

(ikut bau). Oleh sebab itu mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan

menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka sendiri ternyata

juga korupsi.

Jadi mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada penguasa

yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang semula galak

tiba-tiba menjadi pendiam dan menyerukan kearifan untuk tidak

mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya galaknya

setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu berpura-pura

pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi.

Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar

semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal menurut teori dan fakta,

hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kurangnya

kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung

hukum.

Dalam pada itu lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit

kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena takut pada

terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang menjadi harimau jahat sekarang

ini adalah oligarki politik. Contoh paling aktual tentang ini adalah tindak lanjut

hukum atas vonis kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP) yang telah menghukum (dan berhenti pada) mantan menteri DKP

Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sekarang ini sering membuang

badan untuk menangani kelanjutan kasus korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh

politik kuat; padahal kasus itu sekurang-kurangnya dapat dikaitkan dengan

Page 19: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

empat tindak pidana pidana lain oleh para penerimanya seperti penadahan,

(ikut) korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Alasan yang dikemukakan

bermacam-macam, seperti karena belum adanya bukti awal (padahal bukti awal

sudah sangat jelas), karena tidak ada laporan atau pengaduan (padahal kasusnya

bukan delik aduan), karena kasusnya secara administratif menjadi domain

lembaga lain seperti KPU (padahal kasus itu bersifat concursus atau gabungan

tindak pidana yang bisa diurus oleh beberapa lembaga dari aspek hukumnya

masing-masing sehingga kasus pidananya bisa ditangani kepolisian, kejaksaan,

dan KPK).

Page 20: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Persoalan Etika

Hal-hal tersebut pada saat ini menjadi problem besar di negara kita.

Hukum bisa dipermainkan dengan formalitas-formalitas belaka dan dilepaskan

dari ruh etiknya. Para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran melainkan

bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya

maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di

pengadilan pun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum

melainkan diselesaikan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara

penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.

Sekarang ini banyak orang melanggar hak-hak masyarakat, tetapi tetap

bersikukuh tak bersalah hanya karena tidak atau belum dibuktikan secara formal

melalui proses peradilan, padahal proses peradilan pun sudah berjalan dengan

penuh judicial corruption. Orang yang bersalah kemudian melenggang dengan

tenang dan tetap mengelabuhi masyarakat tanpa tahu malu dengan selalu

berlindung di balik asas praduga tak bersalah. Sangat terasa bahwa buruknya

kinerja penegakan hukum belakangan ini karena hukum sudah dilepaskan dari

etika dan moral, orang yang melanggar etika merasa tidak bersalah karena

merasa tak melanggar hukum padahal etika adalah dasar dari adanya hukum;

atau hukum merupakan peningkatan gradual (legalisasi atau formalisasi) dari

etika.

Sebenarnya sudah sejak lama kita mengidentifikasi masalah tersebut

sebagai salah satu penyebab buruknya penegakan hukum di Indonesia. Itulah

sebabnya pada tahun 2001 kita mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2001

tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menekankan pentingnya etika dalam

kehidupan berbangsa agar kita tidak disandera oleh krisis yang berkepanjangan.

Namun sampai sekarang Tap MPR tersebut masih tumpul dan seperti tak

pernah dihiraukan termasuk oleh mereka yang dulu ikut membuatnya. Tidaklah

heran jika kita melihat banyak orang yang terus bermain pelesetan hukum dalam

kenyataan hidup yang sebenarnya sangat serius ini. Kalau pelesetan kata di

dalam ketoprak humor atau di dalam parodi “Republik Mimpi” bisa menggelikan

dan menghibur. Misalnya memlesetkan Yusuf Kalla menjadi Ucup Kelik,

memlesetkan kepanjangan JK menjadi Jarwo Kuwat, memlesetkan pepatah

Page 21: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

“hujan batu” di negeri sendiri menjadi “hujan babu” di negeri sendiri merupakan

contoh pelesetan kata yang lucu dan menggelikan.

Tetapi kalau pelesetan hukum bukanlah permainan kata melainkan

pembelokan kasus hukum. Ada kasus yang berindikasi kuat sebagai kasus pidana

tetapi prosesnya menjadi mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi Dana

Abadi Umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama

dan seorang dirjennya sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke berbagai

pejabat. Ada juga orang yang ingin kembali ke jabatannya setelah dihukum

karena kasus korupsi dengan alasan belum pernah menerima surat

pemberhentian. Di sini ada dua pelesetan, yang pertama pelesetan orang yang

tak tahu diri karena sudah merusak negara dengan korupsi tetapi masih mau

menjabat, yang kedua pelesetan karena kelalaian pemerintah yang ternyata tidak

segera mengeluarkan SK pemberhentian begitu yang bersangkutan dinyatakan

bersalah dan vonis pengadilan tentang itu telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap. Agak sejalan dengan ini, ada juga yang ingin atau mau didudukkan di

dalam jabatan publik padahal yang bersangkutan sedang menjadi tersangka

dalam kasus korupsi. Ini lebih banyak menyangkut etika dan moral.

Ada contoh lain lagi dalam kasus ini, yakni, adanya pejabat yang

menyalahgunakan wewenang dan terindikasi kuat melanggar hukum tetapi

mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan alasan, tak

ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal kita tahu untuk pejabat

tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga

selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh oleh hukum.

Harus diingat, menurut Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika

Kehidupan Berbangsa seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika

membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau

sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa itu

pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu terbukti bersalah

secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang menimbulkan

sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tegasnya, menurut Lampiran Tap MPR

No. VI/MPR/2001 (Bab II butir 2) setiap pejabat harus jujur…, dan “siap

mundur” dari jabatannya apabila… “secara moral” kebijakannya bertentangan

Page 22: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat; yang harus diwujudkan dalam

bentuk … tidak melakukan “kebohongan publik.” Ingat, di sini ada soal moral,

rasa keadilan, dan kebohongan publik. Selain itu pada tahun yang sama MPR

mengeluarkan Tap No. VIII/MPR/2001 tentang Arah Kebijakan dan

Rekomendasi Pembarantasan KKN yang juga berisi ketentuan bahwa pejabat

publik dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus hukum tanpa

harus menunggu vonis pengadilan lebih dulu. Oleh sebab itu agak kurang tepat

ketika Presiden menyatakan bahwa para menterinya sudah menandatangani

surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila terbukti melakukan

pelanggaran hukum. Kurang tepat, karena kalau sudah terbukti melakukan

pelanggaran hukum mestinya tak perlu bersedia mengundurkan diri melainkan

harus langsung diberhentikan meskipun tak bersedia mengundurkan diri.

Tuntutan untuk bersedia mengundurkan diri itu bukannya setelah terbukti

bersalah secara hukum atas putusan poengadilan, melainkan cukup membuat

kebijakan atau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang mendapat sorotan

negatif dari publik karena sangat tidak wajar tanpa harus dibuktikan lebih dulu

melalui putusan pengadilan. Ini adalah soal etika yang dihukumkan melalui Tap

MPR No. VI/MPR/2001.

Perlu ditegaskan bahwa Tap MPR No. VI/MPR/2001 dan Tap No.

VIII/MPR/2008 itu menurut Tap MPR No. I/MPR/200318 masih berlaku sampai

ada UU yang menggantikannya.19

Paradigma UUD 1945

Dari sudut konstitusi penekanan pada pentingnya pemenuhan rasa

keadilan di negara hukum Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi landasan

resmi politik hukum kita. Adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan kaidah

18 Sebenarnhya sejak amadnemen UUD 1945 tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi ada satu Tap terakhir yakni Tap No. I/MPR/2003 yang memosisikan kembali untuk terakhir kali semua Tap MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada sehingga ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan tertentu, ada yang dinyatakan berlaku sampai ada UU yang menggantikannya, dan ada yang dinyatakan tidak memerlukan tindakan hukum karena sudah selesai dengan sendirinya. 19 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Paradoks Pelesetan Hukum,” dalam Harian KOMPAS tanggal 28 Agustus 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, “Surat Terbuka Kepada Presiden SBY, Masyarakat Risau Soal Syamsul Bahri,” dalam Harian Jawa Pos tanggal 15 Oktober 2007.

Page 23: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

penuntun toleransi beragama yang berkeadaban dan berkeadilan sebenarnya

harus dipahami sebagai landasan etika dan moral dalam pembangunan hukum

kita. Pilihan landasan ini kemudian diperkuat ketika kita melakukan amandemen

atas UUD 1945 (1999-2002) yang memindah ketentuan tentang negara hukum

ke dalam pasal 1 ayat (3) dengan meniadakan istilah rechtsstaat. Melalui

amandemen tersebut istilah rechtsstaat yang semula dimuat di dalam Penjelasan

Umum UUD 1945 dihapuskan sehingga istilah negara hukum tidak lagi

disambung dengan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung. Melalui

amandemen tahap ke tiga (tahun 2001) istilah negara hukum itu dipindahkan20

ke dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara

hukum.” Tampak jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata rechtsstaat tidak

lagi dipergunakan karena sebenarnya negara kita tidak hanya menganut

rechtsstaat tetapi juga menganut the Rule of Law dan sistem hukum lainnya

dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai

paradigma negara hukum Pancasila. Paradigma yang penulis sebut sebagai

prismatik (mengambil dari Fred W. Riggs) ini merajut nilai-nilai baik semua

sistem hukum secara eklektis sehingga menjadi hukum nasional Indonesia.

Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa penghilangan istilah

rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik semata melainkan

juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Sebab, seperti

diketahui, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan the Rule of Law

(RoL). Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam

satu istilah yang sama, yaitu, negara hukum padahal kedua istilah (rechtsstaat

dan RoL) meempunyai konsepsi dan pelembagaan secara berbeda.

Istilah rechtsstaat adalah istilah untuk negara hukum yang dipakai

negara-negara kawasan Eropa Kontinental yang lebih menekankan pada

pentingnya “hukum tertulis (civil law)” dan kepastian hukum. Kebenaran dan

keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran

formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum

20 Pemindahan isi ini dilakukan juga sebagai konsekuensi dari salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yakni meniadakan Penjelasan dan memindahkan isinya yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal UUD.

Page 24: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

tertulis. Titik berat penegakan hukum di dalam rechtsstaat adalah kepastian

hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang dalam membuat putusan

dapat menemukan hukum-hukum tertulis yang pasti. Di dalam rechtsstaat

hakim merupakan corong UU. Sedangkan the Rule of Law (RoL) adalah istilah

untuk negara hukum di negara-negara kawasan Anglo Saxon yang lebih

menekankan pada pentingnya “hukum tak tertulis” (common law) demi

tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam RoL

lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada kebenaran

formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum tentu tercermin

di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di dalam sanubari dan

hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat

disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena titik berat RoL

adalah keadilan maka dalam membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada

bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan

menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.

Sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945 konstitusi kita sudah

mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut

secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan The Rule of Law

sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan

substansial. Bahkan kalau kita telah lebih jauh UUD 1945 hasil amandemen

bukan hanya menekankan pentingnya asas kepastian hukum dan keadilan tetapi

juga menekankan pada pentingnya asas manfaat yakni asas yang menghendaki

agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan

kerusakan atau mudharat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.21

Penganutan lebih dari satu asas yang berasal dari konsepsi, tradisi, dan

kawasan yang berbeda ini secara literatur penulis sebut sebagai konsepsi

21 Baik asas keadilan maupun asas manfaat seringkali diperdebatkan karena bisa selalu menjadi kontroversi karena ukurannya tidak pasti, tetapi jika putusan itu jelas dasar argumen keadilan dan kemanfaataannya yang didukung oleh suasana kebatinan yang berkembang di dalam masyarakat maka hal itu dapat dilakukan atau diformulasikan oleh para hakim; buktinya di negara-negara Anglo Saxon hampir tak ada putusan hakim yang tidak dianggap sebagai hukum yang final karena argumen untuk memunculkan keadilan itu di sana dapat diurai dengan baik oleh para hakim.

Page 25: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

prismatik. Istilah ini diambil dari Fred W. Riggs22 di dalam bukunya,

Administration in Developing Countries, yang menunjukkan adanya pemaduan

antara konsep-konsep yang sebenarnya tidak sama. Di dalam prismatika sistem

hukum Pancasila saya melihat bahwa negara hukum kita memadukan secara

harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan the Rule of

Law (keadilan substansial). Di dalam konsepsi ini prinsip rechtsstaat dan the

Rule of Law tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau

kompilatif yang dalam penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak,

melainkan sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling

menguatkan. Menurut penulis, pengambilan konsepsi prismatika ini tepat karena

sesuai dengan nilai-nilai hukum yang memang akan kita tegakkan. Tidaklah

mungkin kita hanya mengambil salah satunya secara mutlak-kategoris, seperti

halnya tidak mungkinnya kita mengambil salah satu antara “individualisme” dan

“komunalisme” atau antara “negara agama” dan “negara sekuler.” Konsepsi

prismatik memungkinkan kita mengambil unsur-unsur yang baik dari konsep-

konsep yang berbeda itu sebab sistem kemasyarakatan kita pun, sejak dulu,

sebenarnya bersifat prismatik.

Penegasan konstitusi kita tentang pentingnya pengambilan asas kepastian

hukum, keadilan, dan manfaat dalam penegakan hukum kita ini bukan hanya

dapat dinukil dari ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetralkan negara

hukum kita dari istilah rechtsstaat atau istilah asing lainnya melainkan juga

tertuang, sekurang-kurangnya, di dalam pasal 24 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan

pasal 28H ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

“keadilan.”

Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum.

22 Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries, the Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.

Page 26: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Pasal 28 H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan “manfaat” yang sama

guna persamaan dan “keadilan.”23

Dari uraian itu penulis berpendapat bahwa kepastian hukum haruslah

dibangun untuk memastikan bahwa keadilan itu dapat tegak sesuai dengan

penegasan pasal 28D ayat (1) yang menegaskan perlunya “kepastian hukum yang

adil” dan bukan kepastian sekedar kepastian. Oleh karena keadilan itu selalu

dapat tercermin dan dipenuhi oleh hukum-hukum tertulis, maka di sinilah letak

pentingnya “etika” sebagai sumber isi dan dasar penegakan hukum di dalam

negara hukum Pancasila yang bersifat prismatik ini.

Sudah jelas bahwa salah satu persoalan pokok yang kita hadapi dalam

penegakan hukum adalah tidak sinkronnya pelaksanaan etika dan norma dengan

implementasi hukum di lapangan. Sekarang ini banyak sekali “terduga, terdakwa,

dan tertuduh” pelanggar hukum tampil dan berargumen ke depan publik bahwa

dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang mengadili atau

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau melanggar etika

dan moral mereka merasa tidak bersalah karena “demi kepastian hukum”

pengadilan belum pernah memutus bahwa mereka bersalah; padahal pengadilan

pun sangat kolutif dan dililit oleh judicial corruption. Kalau diadili mereka dan

para pengacaranya berkelit-kelit di seputar pasal-pasal formal tanpa peduli pada

rasa keadilan yang diteriakkan oleh nurani yang sehat. Kelitan ini ditengarai

dapat pula dimainmatakan dengan hakim maupun jaksa sesuai dengan transaksi

yang dapat dilakukan di dalam proses judicial corruption itu.

Dengan demikian salah satu agenda penting dalam pembangunan hukum

kita adalah, bagaimana meletakkan etika dan moral sebagai sumber norma

23 Tanda petik dalam pasal-pasal yang dikutip berasal dari saya (pengutip) untuk menunjukkan letak asas hukum kita.

Page 27: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

hukum serta dasar implementasi atau penegakan hukum itu. Dalam situasi

seperti ini diperlukan munculnya hakim, jaksa, dan pengacara yang tidak

terbelenggu oleh hukum yang formal prosedural serta dapat bersikap progresif

untuk menegakkan keadilan dan menjadikan etika dan moral sebagai fondasi

penegakan hukum.

Etika dalam pendidikan hukum

Untuk jangka panjang, pendidikan hukum di negara kita haruslah ditata

sedemikian rupa agar hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang

kaku dan harus dilaksanakan melainkan harus dikuatkan juga dengan

pendidikan atau nilai-nilai moral dan etika sebagai sumber kristalisasi dan

legalisasi hukum. Masalah ini tak dapat dilepaskan juga dari orientasi pendidikan

hukum yang kita selenggarakan.

Terkait dengan ini perlu diingat bahwa salah satu landasan filosofi dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang kita anut adalah

filosofi bahwa Iptek itu dalam pengembangannya tidak boleh dinetralkan. Iptek

hanya dapat dikembangkan jika tidak merusak dan membahayakan masyarakat.

Berdasarkan itu ada dua batas pengembangan Iptek; Pertama, Iptek

dikembangkan dengan wawasan rasional tetapi tidak berdasar rasionalisme,

sebab bagi bangsa yang bertuhan (menganut agama) sumber kebenaran bukan

hanya yang rasional atau bisa diuji secara ilmiah dengan berbagai metode dan

eksperimen melainkan juga mencakup hal-hal yang secara ilmiah dan

rasionalitas manusia tidak dapat dijangkau (ghaib). Kedua, Iptek hanya boleh

dikembangkan sejauh tidak membahayakan umat manusia dan alam sehingga

Iptek, meski dasar teorinya dapat netral, tetapi penerapan dan

pengembangannya tetaplah harus memihak bagi kemaslahatan ummat. Itulah

dasar etik dan moral yang harus dikuatkan dalam proses pendidikan dan

penguatan profesi hukum kita.

Ketentuan yang demikian kemudian menuntut munculnya integritas

kecendekiawanan sehingga tugas universitas bukan hanya mencetak ijasah

melainkan mendidik dan memanusiakan sivitas akademikanya agar berakhlak

atau beretika di dalam kehidupannya. Sikap kecendekiawanan adalah sikap

Page 28: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

penuh tanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu sarjana

dan cendekiawan itu berbeda, sebab sarjana lebih menekankan pada kecerdasan

otak, sedangkan cendekiawan menekankan pada keseimbangan antara

kecerdasan otak dan keluhuran watak.

Masalahnya sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang tidak

lagi mengindahkan filosofi yang harus menjadi landasan etik dan moral. Banyak

lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai peruruan tinggi, yang hanya

mengeluarkan ijazah untuk keperluan formalitas orang mencari kerja dan

mengejar jabatan. Kedalaman ilmu dan landasan etik dan moral tidak terlalu

diperhatikan sehingga banyak lulusan universitas yang bukan saja tidak mampu

memajukan masyarakat tetapi sebaliknya merusak sendi-sendi kehidupan

masyarakat.

Kita dapat mencatat adanya kesalahan pendidikan kita karena dalam

praktiknya menekankan pada ijazah formal, bukan pada substansinya untuk

memanusiakan manusia. Dengan praktik pendidikan yang menekankan pada

“ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, maka jabatan seseorang di

tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya,

bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah

formal yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi kedudukannya di dalam

masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi

di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan

ukuran ijazah tertentu. Betapa pun seseorang bodoh, jika memiliki ijazah sekolah

formal maka ia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya betapa pun

pandainya seseorang, biasanya sulit untuk menduduki jabatan pemerintahan

kalau tak punya ijazah formal sekolah. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti

itu di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal hanya karena ingin

gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah bukan

untuk mencari ilmu tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk

mendapat kedudukan. Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak

terlalu penting.

Janganlah heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita

memburu ijazsah dengan cara haram. Pada penghujung tahun 2005 kita

Page 29: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, pegawai negeri yang

ternyata menggunakan ijazah aspal. Bahkan ada orang yang tiba-tiba menjadi

profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya bisa diraih jika

seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan kompetensi

tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal tertentu pula

yakni angka kredit 850 untuk profesor madya dan 1000 kredit untuk profesor.24

Bahaya praktik pendidikan yang seperti itu pernah juga dikemukakan oleh

Ivan Illich melalui bukunya Deschooling Society yang mengusulkan

pembentukan “masyarakat bebas sekolah.” Kata Illich, yang diperlukan adalah

pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sekolah yang hanya

mengeluarkan ijazah. Sistem pendidikan formal dengan berbagai jenis dan

jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang kemudian

menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan di dalam masyarakat karena dengan

ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak

orang yang hanya ingin mendapat ijazah tetapi tidak ingin mendapat, apalagi

mengembangkan, ilmunya. Dan untuk ini ijazah bisa dicari dengan berbagai cara

termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukannya yang kemudian

dijadikan syarat untuk menduduki jabatan penting. Tentu kita tidak harus

mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah. Sekolah

dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah

tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja lembaga pendidikan

harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu

sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak

sekedar menjadi tempat jual beli ijazah.

Ivan Illich benar sebab kesalahan praktik atau implementasi pendidikan

yang seperti itu kemudian telah merusak etika dan menyuburkan ketidakjujuran

ilmiah. Sekarang ini banyak bermunculan karya tulis ilmiah yang tidak ilmiah

karena hanya dibuat secara formalitas untuk mendapat ijazah atau untuk naik

pangkat. Yang lebih parah dari itu banyak karya ilmiah yang merupakan hasil

24 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Pendidikan yang Tak Membebaskan,” dalam Harian Seputar Indonesia, tanggal 20 September 2007

Page 30: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

jiplakan dari karya orang yang kemudian diklaim sebagai hasil karya sendiri.

Ada yang asal tulis tapi bisa terbit karena mampu membayar penerbit instant

yang mau menerbitkannya asal penulisnya mau membayar mahal.

Banyak juga politisi yang menulis buku atau artikel di media massa, tetapi

dituliskan oleh orang lain alias “ghost writer”. Ada juga politisi yang suka

mengomentari sesuatu di koran kemudian komentar-komentar itu

disuruhtuliskan kepada seorang wartawan agar diberi landasan teori dan

analisis, padahal wartawan itu tak kompeten di bidang itu.

Seorang dirjen di satu departemen pernah dengan bangga menyerahkan

buku kepada saya yang berisi masalah-masalah hukum. Ternyata buku itu

merupakan himpunan pidatonya yang semula dituliskan oleh stafnya untuk

kemudian disuruh menulis kepada seorang wartawan menjadi buku. Karena

wartawan itu hanya bagus dalam menulis berita atau artikel pop tapi jarang

menulis ilmiah, maka buku itu menjadi aneh dan sama sekali tidak ilmiah.

Jangankan membuat sitasi rujukan, menulis daftar pustaka saja tidak benar.

Tradisi keilmuan kita menjadi lebih buruk karena banyaknya tulisan

sekarang ini jiplakan bukan hanya menjadi trend politisi atau pejabat birokrasi

yang ingin gengsinya naik, tetapi juga banyak melanda kalangan akademisi,

mahasiswa pascasarjana, bahkan dosen yang ingin menaikkan jabatan

akademiknya. Mereka ini kerapkali menggunakan penulis hantu (ghost writer),

misalnya wartawan pop atau mahasiswa, untuk menulis karya atas namanya

guna dipublikasikan ke tengah-tengah masyarakat dalam bentuk buku maupun

dalam bentruk artikel untuk dimuat di media massa. Si ghost writer mendapat

uang, sedangkan si dosen atau figur publik yang sejatinya agak bodoh mendapat

nama sebagai penulis.

Orang seperti ini sama sekali tidak punya integritas keilmuan (kejujuran

ilmiah) dan tak mungkin dapat memberi sumbangan apa pun bagi kemajuan

pendidikan. Malah dosen yang seperti ini membuat mutu perguruan tinggi kita

jadi berantakan. Orientasinya hanya ingin naik jabatan akademik tetapi tak mau

berpikir dan bekerja secara ilmiah sehingga dia suka menyewa ghost writer atau

menjiplak.

Page 31: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Penulis pernah diminta menjadi penelaah sebuah disertasi yang isinya

bagus, tetapi setelah diuji ternyata yang bersangkutan sama sekali tak menguasai

isinya. Ternyata sebagian besar isinya menjiplak karya orang lain. Penulis

memrotes keras dan menyatakan bahwa demi integritas ilmiah dan

menyelamatkan dunia akademik yang bersangkutan harus di-drop out atau

harus memulai dari awal lagi.

Berdasar hasil perbincangan penulis dengan banyak akademisi, sekarang

ini memang banyak dosen yang menggunakan ghost writer baik untuk menulis

disertasi maupun untuk menulis makalah, bahkan menulis kolom-kolom di

koran. Untuk naik pangkat tak jarang ada dosen yang mencuri karya temannya

bahkan ada yang mencuri data dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya

yang kemudian diklaim sebagai karyanya sendiri.25

Orang yang tak punya integritas keilmuan dengan mengaku-aku dan

mencuri karya orang lain pasti tidak akan jujur kepada masyarakat. Kalau ada

peluang korupsi, orang yang seperti ini akan korupsi juga terhadap hak-hak

masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari dan membuat

peluang untuk korupsi. Menurut penulis, itulah salah satu penjelasan mengapa

bangsa kita sekarang ini terjerembab ke dalam krisis multidimensi, yakni, karena

banyak pengelola lembaga pendidikan dan lulusan perguruan tinggi yang tidak

lagi memiliki integritas kecendekiawanan.

Dalam kaitan ini saya teringat ketika saya akan mengakhiri pendidikan

doktor di UGM pada tahun 1993. Saat itu saya dinasehati oleh Prof. Koesnadi

Hardjasoemantri dan Prof. Sri Soemantri agar saya dan para sarjana hukum

menjaga integritas kecendekiawanan, yakni sikap untuk membangun dan

memihak kepentingan masyarakat seperti meneriakkan dan berusaha agar

politik selalu tunduk pada hukum. Kata kedua profesor itu, ilmu bukanlah untuk

ilmu semata, tetapi untuk kebaikan bagi masyarakat. Ilmu jangan hanya

mengandalkan logika tetapi juga harus berlandaskan moral dan etika untuk

menyelamatkan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Ilmuwan harus

mempunyai integritas kecendekiawanan, yakni cerdas otaknya dan luhur

25 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Ancaman Lunturnya Kejujuran Ilmiah,” dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 Oktober 2007

Page 32: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

wataknya. Meminjam ungkapan Gus Dur, kita tak boleh menjadi ilmuwan tukang

yang dapat membuat pandangan-pandangan yang “seolah-olah ilmiah” berdasar

pesanan atau kepentingan politik.

Pesan ini sangat penting karena sekarang ini hukum banyak

diporakporandakan oleh demagogi politik seperti yang dicemaskan oleh kedua

Soemantri itu. Itu disebabkan oleh lunturnya integritas kecendekiawanan.

Ilmuwan kita banyak yang suka memanipulasi logika di atas etika dan moral

karena kepentingan kue politik. Gubernur Lemhanas Muladi pernah

mengemukakan bahwa sekarang ini banyak ilmuwan hukum yang menjadi saksi

ahli di pengadilan dengan mendapat bayaran tinggi agar bersaksi untuk

menyelamatkan koruptor; misalnya membelokkan kasus pidana menjadi kasus

perdata atau administrasi.

Di kalangan akademisi sekarang ini banyak yang suka melacurkan diri

dengan menjadi ilmuwan tukang yang siap memberi fatwa ilmiah sesuai dengan

keinginan pemesan asal dibayar dengan harga (uang, proyek, atau posisi)

tertentu.26

Itulah salah satu masalah serius yang kita hadapi, yakni, membusuknya

integritas kecendekiawanan dan hilangnya kejujuran secara masif yang kalau

dibiarkan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia.

Ranah pembangunan hukum kita

Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Lawrence M.

Friedman maka kita akan dapat menemukan kerangka penjelasan atas

berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum

menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut

tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak

hukum), dan culture (budaya hukum).

26 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Integritas Kecendekiawanan,” dalam Koran Seputar Indonesia, tanggal 3 Oktober 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Aroma Busuk Dunia Akademik, dalam majalah GATRA, edisi 24 Januari 2007.

Page 33: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar

menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum

baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh

para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak

disentuh dalam proses reformasi.

Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah

semua perundang-undangan yang dianggap tidak kondusif bagi

demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari undang-undang bidang

politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan

sebagainya.

Kita juga sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga

penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk

memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah

disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk

Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi;

bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi,

Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya.

Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam

arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN

mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri.

Pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya

belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di

sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan,

dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi

penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan

karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena

kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama

kita miliki.

Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum

merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita

Page 34: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum.

Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai undang-undang

untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak

pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.

Langkah-langkah

Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal makalah

ini maka selain mencari ”penegak hukum” yang tegas dan berani ada

beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.

Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari

sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini kita selalu

menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi

adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum

juga dilakukan.

Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan

KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang

mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal

(amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni

dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti

dengan tindakan-tindakan tegas.

Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan

terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan

sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol untuk

menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan

sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang

ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga

lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk

lembaga eksekutif sistem pemilihan presiden secara langsung harus disertai

dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong

Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional)

dengan membebaskan presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena

Page 35: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini

presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan

presiden langsung agar presiden lebih kuat. Sekarang ini presiden tampak

tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada

parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian

tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil

kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.27

Tak kalah penting dari semua itu, ada masalah yang lebih mendasar

yang harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh, yakni memosisikan

kembali etika dan moral sebagai sumber materiil hukum yang sekaligus

menjadi dasar tindakan dalam semua proses penegakan hukum dan hukum

sukmanya, yakni keadilan.

27 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Presidensiil Bergaya Parlementer,” dalam majalah GATRA edisi 16 Maret 2007.

Page 36: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Daftar Pustaka

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV

Mandar Maju, Bandung, 1995.

Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and

Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing

Conmpany, 5th edition, 19673.

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1978.

David kairys, The Politics of Law, A Progressive Critique, Pantheon Books, New

York, 1982.

Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart

and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto,

London, 1967.

Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan

Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.

Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Thoery of

Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.

Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press,

Ithaca-London, 1978.

Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook tentang Empat Masalah

Filsafat: Etika, Ideologi Nasional, Marxisme, Eksistensialisme,

Djambatan, Jakarta, 1980.

James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional

Government, The American Experince (1989),

Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and and Social

Change, John Wiley & Sons, Inc. Second Edition 1970.

John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.

Page 37: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression,

London-New York, Toronto, 1975.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan

Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.

Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh

Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi

Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 1993.

Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata

Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,

Jakarta, 2006.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.

Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhkati,

Bandung, 2007.

RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta,

2004.

Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol,

Rajawali, Jakarta, 1985.

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam

Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku

Kompas, Jakarta, 2003.

Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Penjelasan Satu Gagasan, dalam majalah

Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59, Desember

2004.

Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan

dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, 2007.

Page 38: Hukum, Moral, dan Politikcs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/Makalah_2.pdf · Hukum dan politik Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

Thomas Paine, Rights of Man (1792), Constitution Society

http://www.constitution org/tp/rightsma2.htm 9 Maret 2003.