HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

70
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM (Analisis Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S. H) Oleh : SITI RAHMILAH ISNAENI NIM: 1110043100028 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2017 M/1438 H

Transcript of HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

Page 1: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT

KEAGAMAAN NON MUSLIM

(Analisis Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum (S. H)

Oleh :

SITI RAHMILAH ISNAENI

NIM: 1110043100028

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2017 M/1438 H

Page 2: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM
Page 3: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM
Page 4: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM
Page 5: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

iv

ABSTRAK

Siti Rahmilah Isnaeni, NIM: 1110043100028, Hukum Menggunakan Atribut

Keagamaan Non Muslim (Analisis Fatwa MUI No 56 Tahun 2016), program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

1438 H/2017 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai proses istinbat

Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa no 56 tahun 2016 tentang hukum

menggunakan atribut keagamaan non muslim dimana MUI memberikan ketentuan

hukum yaitu haramnya menggunakan atribut keagamaan non muslim, serta haram

pula mengajak dan memerintahkan menggunakan atribut keagamaan non muslim.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data yang berasal dari buku-buku

referensi dan naskah-naskah yang berkaitan dengan aribut keagamaan non muslim.

Yaitu menggunakan kitab-kitab primer yang berhubungan dengan penelitian ini,

seperti kitab fiqh, dan buku-buku skunder lainnya, internet dan media informasi

lainnya..

Hasil penelitian mengenai fatwa tersebut bahwa ditujukan kepada umat Islam

dan menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak manapun untuk

mengajak atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut

keagamaaan non muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan

keyakinannya.

Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

Atep Abdurofiq, M.Si

Daftar Pustaka : Tahun 1992 s.d. Tahun 2016

Page 6: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

vi

لرحيمٱنم لرح ٱللٱمبس

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa Allah

SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah dengan judul HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT

KEAGAMAAN NON MUSLIM (Analisis Fatwa MUI No 56 Tahun 2016). Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Selama penulisan skripsi ini peneliti banyak kesulitan dan hambatan untuk

mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari

berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu peneliti

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab Hukum dan Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA, sebagai Sekretaris Program

Page 7: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

vii

Studi Perbandingan Mazhab Hukum yang telah banyak memberi arahan, saran

serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan bapak Atep Abdurofiq, M.Si

pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah

menjadikan bagian dari Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dalam

masa jabatan sebelum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum periode

baru.

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,

semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik

dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

7. Keluarga tercinta terutama kepada kedua orang tua tercinta ayahanda (Saut

Sofyan), ibunda (Tati Sarwijati), Suami (Rahmatullah) dan anak tercinta (Arkan

Sa’id Khalfani) dan seluruh keluarga besar yang tiada pernah berhenti untuk

selalu berdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi

ini selesai.

8. Teman-teman seperjuangan, Humairoh, Restu, Latifah, Azis, Muhtadin, Fika

Hilman, Ida, Rizky dan seluruh sahabat PMH angkatan 2010 yang selalu

Page 8: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

viii

memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada penulis. Terima

kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka.

Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah terlupakan.

9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa

sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah

diberikan dengan balasan yang berlipat ganda.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya

bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa

meridhai setiap langkah kita. Amin

Jakarta, 07 Juni 2017 M

12 Ramadhan1438 H

Penulis

Page 9: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6

D. Review Study Terdahulu ............................................................. 7

E. Metode Penelitian ........................................................................ 8

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9

BAB II: TASYABBUH

A. Larangan Tasyabbuh Dalam Islam .............................................. 11

B. Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadits ................................................ 15

C. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non Muslim ................................. 18

D. Bentuk-Bentuk Tasyabbuh .......................................................... 20

BAB III : METODE ISTINBAT FATWA MUI NO 56 TAHUN 2016

A. Profil Majelis Ulama Indonesia... ................................................ 26

B. Metode Istinbat MUI Dalam Menetapkan Fatwa ... .................... 34

C. Fatwa MUI No 56 Tahun 2016... ................................................ 37

Page 10: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

x

BAB IV : ANALISIS FATWA MUI MENGENAI HUKUM

MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

Analisis Istinbat Hukum Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 .............. 49

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 56

B. Saran-saran .................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 58

Page 11: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibadah merupakan konsekuensi hidup manusia sebagai makhluk ciptaan

Allah. Manusia ditakdirkan makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kelebihan

akal dari makhluk lainnya. Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal

sehatnya, bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehingga ia sering terjerumus

ke dalam apa yang disebut dehumanisasi, yaitu proses yang menyebabkan

kerusakan, hilang, atau merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah perlunya

agama bagi manusia.1

Kehidupan beragama tidak terlepas dari pemenuhan spiritual yang telah

diajarkan oleh setiap agama. Setiap umat beragama dituntut untuk melaksanakan

ibadah tersebut sebagai nilai keluhuran rohani dan tingkat pengabdiannya kepada

Tuhan. Pengamalan spriritual tersebut meliputi aspek eksoteris dan esoteris.

Dalam aspek eksoteris, setiap agama memiliki cara atau bentuk jasmaniah yang

dapat diamati di dalam praktek upacara ritual yang dilakukan masing-masing

agama. Sedangkan dalam aspek esoteris, setiap agama memiliki substansi yang

sama, yakni hubungan yang bersifat rahasia antara seorang hamba dengan

1Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Grafindo Persada,

2008), h. 5.

Page 12: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

2

Tuhannya. Aspek esoteris dalam setiap agama memiiliki kesamaan rohaniah

mengenai ajaran kecintaan terhadap Tuhan.2

Adanya keberagaman alam dan keberagaman ciptaan-ciptaan Allah yang

cukup banyak, menjadi saksi adanya Sang Pencipta, yaitu Allah Swt, karena tidak

ada dzat yang berani mengaku telah menciptakan dan mengadakan dunia ini selain

Allah Swt. Sebagaimana akal manusia yang memustahilkan adanya sesuatu tanpa

ada yang menciptakannya. Bahkan ia juga memustahilkan adanya sesuatu yang

paling remeh tanpa ada yang mengadakan.3

Para pemimpin Islam sendiri, khususnya para ulama dan mubaligh,

seringkali mengemukakan bahwa Islam agama yang toleran, yang menghargai

agama-agama lain. Banyak dukungan ajaran untuk pandangan serupa itu. Yang

amat diperlukan sekarang ialah sosialisasi pandangan itu sehingga diketahui,

dimengerti dan dihayati serta diamalkan oleh semua lapisan umat Islam. Sekalipun

ajaran lebih berat sebagai keharusan (yang dalam banyak hal pelaksanaannya akan

sangat tergantung kepada kenyataan), namun kesadaran mengenai hal itu tentu

akan menghasilkan tindakan yang berbeda daripada jika orang tidak

menyadarinya.4

2Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin :Tashawwuf dan Taqarrub,

(Jakarta: Atisa, 1992), h.184.

3Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,

Penerjemah: Andi Subarkah, (Solo: Insan Kamil, 2008), h .6.

4M. Quraish Shihab, Kerukunan Beragama Dari Perspektif Negara, HAM, Dan Agama-

agama, (Jakarta:PT.MUI,1996,), h. 47.

Page 13: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

3

Toleransi dalam pergaulan antar umat beragama berpangkal dari penghayatan

ajaran agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama sikap toleransi

harus dikembangkan untuk menghindari konflik. Biasanya konflik antar umat

beragama disebabkan oleh sikap merasa paling benar dengan cara mengeliminasi

kebenaran orang lain. Sikap kaum muslim kepada penganut agama lain jelas,

sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan

tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalankan hubungan

kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.

Islam sama sekali tidak melarang orang Islam memberikan bantuan kepada siapapun

selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-simbol

keagamaan mereka atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum

muslimin diwajibkan oleh Al-Qur’an melindungi rumah ibadah yang telah dibangun

oleh orang-orang non-muslim. Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin

diperintahkan agar bersikap toleran. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya

terbatas pada urusan yang bersifat duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah,

syariah, dan ibadah.

Kerjasama yang baik antara muslim dan non-muslim itu telah dibuktikan dan

ditulis dalam sejarah dengan sangat jelas. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat

melakukan hubungan sosial dengan non-muslim seperti Waroqah bin Naufal yang

beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragama Yahudi, bahkan

Nabi sendiri pernah meminta suaka politik dengan menyuruh sahabat untuk berhijrah

Page 14: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

4

meminta perlindungan kepada Raja Najasyi (Nigos) dari Habsyah yang beragama

Nasrani. Imam Bukhari menceritakan dari Anas: “ketika Nabi wafat, baju beliau

masih digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal beliau

bisa meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukannya untuk

mengajarkan kepada umatnya bahwa kerjasama dengan orang-orang non-muslim

adalah sikap dan pandangan Islam. Yusuf Qaradhawi lebih lanjut menceritakan

bahwa Nabi menerima hadiah-hadiah dari orang-orang non-muslim, meminta

pertolongan dari mereka baik dalam situasi aman maupun perang melawan musuh,

sepanjang hal itu dilakukan dalam kerangka semata-mata membantu dan bukan untuk

tujuan lain yang merugikan dan membahayakan.

Kemudian berkelanjutan pada masa sesudah Nabi Muhammad selama

berabad-abad lamanya, tanpa ada perasaan risih dan beban psikologis sedikitpun, dan

menemui masa suram setelah terjadinya Perang Salib sampai dewasa ini dengan

terjadinya konflik antar agama yang seharusnya tidak terjadi. Seperti kita ketahui

bahwa fenomena keberagamaan masyarakat muslim akhir-akhir ini memperlihatkan

citra anti keragaman dan anti kebebasan. Mereka menyudutkan dan menuduh

sekelompok masyarakat muslim lain yang tengah memperjuangkan kebebasan dan

toleransi sebagaimana yang diajarkan Islam. Mereka menganggapnya sebagai kaum

sekularis dan agen Barat yang kafir. Meskipun Islam adalah agama misi, namun tetap

menekankan sikap toleran dan persebaran Islam. Islam melarang sikap permusuhan

Page 15: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

5

dan menebar kebencian di antara manusia. Cara-cara kekerasan dan kebatilan dalam

berdakwah justru akan merendahkan citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. 5

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum

menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Fatwa bernomor 56 Tahun 2016 yang

dikeluarkan Rabu, 14 Desember 2016 ini ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa

MUI Prof Dr Hasanuddin AF, MA dan Sekretaris Dr Asrorun Ni'am Sholeh,

MA. Ada dua ketentuan hukum yang menjadi kesimpulan dalam fatwa MUI ini.

Pertama, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Kedua,

mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim

adalah haram. Disebutkan, latar belakang keluarnya fatwa ini adalah adanya

fenomena di masyarakat di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam,

sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut

dan/atau simbol keagamaan non muslim yang berdampak pada siar keagamaan

mereka.6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada penelitian ini penulis akan membatasi pembahasan hanya beberapa pendapat

ulama Mazhab (diantara banyak mazhab yang ada) tentang Tasyabbuh yang terdapat

5 Abdul Azis, Kerukunan Beragama Sebagai Jalan Hidup Modern Tinjauan Sosiologis,

(Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h.183.

6 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses

pada 14 April 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-

muslim.html.

Page 16: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

6

kontradiktif didalamnya. Untuk mempermudah pembahasan masalah di atas, penulis

kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut :

Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa

no 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan

fatwa no 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.

Dari uraian penelitian diatas diharapkan memberi manfaat sebagaimana berikut:

a. Manfaat teoritis

1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang

hukum Islam.

2. Penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pemahaman terhadap

masalah yang diteliti.

b. Manfaat praktis

1. Untuk memberikan kebijakan dan keputusan mengenai atribut keagamaan

non muslim.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan sebagai bahan

kajian dan perbandingan bagi para mahasiswa syari’ah khususnya yang

tertarik mengkaji tentang tinjauan hukum menggunakan atribut keagamaan

non muslim..

Page 17: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

7

D. Review Studi Terdahulu

Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan

bahasan hukum menggunakan atribut non muslim. Untuk menentukan arah

pembahasan dalam skripsi ini penulis menelaah yang pernah membahas tentang judul

yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi.

1. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Toleransi Antar Umat Beragama

(Telaah terhadap Fatwa MUI dalam Perayaan Natal Bersama) ” oleh Nur

Hafidhotun Ni’mah, 131410000111 Tahun 2015. Dalam skripsi ini

membahas mengenai analisis fatwa MUI dalam perayaan natal besama.

Sedangkan penulis membahas analisis fatwa MUI mengenai hukum

menggunakan atribut keagamaan non muslim.

2. “Hukum Merayakan Ibadah Non Muslim” oleh Muhammad Irsyad Noor,

111004310003 Tahun 2015. Dalam skripsi ini membahas mengenai hukum

dari merayakan ibadah non muslim. Sedangkan penulis membahas

mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim

berdasarkan fatwa MUI.

3. “Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang

Aborsi Akibat Pemerkosaan” oleh Andi Mutia Pilka, 10721000095 Tahun

2012. Dalam skripsi ini membahas mengenai analisis fatwa MUI mengenai

hukum aborsi akibat perkosaan. Sedangkan penulis membahas analisis

fatwa MUI mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.

Page 18: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

8

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis teliti adalah penelitian deskripsi dari obyek-

obyek yang diamati dengan situasi yang telah diteliti. Penulisan skripsi ini

berdasarkan peta suatu penelitian melalui studi kepustakaan (Library Research)

yang relevan dengan pokok-pokok permasalahan dan diupayakan jalan

pemecahannya. Agar skripsi ini memenuhi kriteria karya tulis ilmiah yang

bermutu dan mengarah pada obyek kajian yang sesuai dengan metode

pendekatan, maka dalam melakukan penelitian penulis menggunakan metode

pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut:7

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Dalam penelitian ini yang menjadi data primernya adalah fatwa MUI

nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non

muslim

b. Sumber data sekunder

Sedangkan data sekundernya adalah diperoleh dari buku-buku yang

relevan dengan kajian ini seperti dalam buku fiqih, artikel dan sebagainya.

7 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2008), h. 5

Page 19: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

9

3. Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini bersifat kepustakaan maka metode pokok yang

penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode dokumentasi, yaitu

mengumpulkan dan menelusuri buku-buku dan tulisan yang relevan dengan tema

kajian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dalam skripsi ini penulis menggunakan analisis kualitatif

dengan metode deskriptif analisis.8 Setelah data terkumpul dan penulis kaji

kemudian penulis menganalisisnya dengan pendekatan normatif yakni al-Qur’an

dan al-Hadits serta pendapat para fuqoha.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta terbitan tahun 2015

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas serta mempermudah

pembahasan,secara global dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi lima bab,

untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.

8 Suharsimi Arikunto, Suatu Pendekatan Praktek Penelitian, (Yogyakarta: Cipta, tth,) h. 206.

Page 20: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

10

Bab I Pendahuluan, dalam bab pendahuluan ini penulis menerangkan latar

belakang masalah pokok permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan skripsi,

metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.

Bab dua berisi tinjauan umum tentang tasyabbuh, dasar-dasar tasyabbuh

kemudian hukum tasyabbuh dan bentuk-bentuk tasyabbuh.

Bab tiga berisi tentang, profil MUI dan metode istinbat hukum MUI dalam

menetapkan nomor fatwa 56 tahun 2016

Bab empat berisi analisis metode istinbat hukum fatwa mengenai hukum

menggunakan atribut keagamaan non muslim.

Pada bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-

saran.

Page 21: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

11

BAB II

TASYABBUH

A. Larangan Tasyabbuh dalam Islam

At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti

meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih

berarti peniruan dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa)1. Dikatakan artinya

serupa dengannya, meniru, dan mengikutinya.

Bagi al-Munawi, tasyabbuh bermaksud berhias seperti mana mereka berhias,

berusaha mengenali sesuai dengan perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak

mereka, berjalan seperti mereka berjalan, menyerupai mereka dalam berpakaian dan

sebahagian perbuatan mereka. Adapun tasyabuh yang sebenarnya adalah bertepatan

dari segi aspek zahir dan batin.2

Berkaitan dengan larangan tasyabbuh ini, Allah SWT berfirman:

1Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2002), h. 89

2 Muhammad „Abd Ra‟uf al-Munawi, Faid al-Qadir Syarh Jami‟ al-Saghir (Beirut Dar al-

Ma‟rifah, 1408 H), h. 6.

Page 22: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

12

Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga

kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah

petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka

setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan

penolong bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah :120).

Pada ayat di atas, Allah SWT memberi khabar pada kata “millatahum”

maksudnya adalah agama mereka.3, tetapi ketika melarang, Allah SWT

mengungkapkannya dengan kata “ahwa‟ahum” karena kaum Nasrani dan yahudi

tidak akan senang kepada kamu kecuali mengikuti agama mereka secara mutlak.4

Termasuk dalam mengikuti adalah dengan menyerupai mereka karena menyerupai

mereka berarti mengikuti keinginan mereka. Maka, orang-orang kafir senang jika jika

orang-orang Islam menyerupai sebahagian daripada urusan mereka. Ini disebabkan

dengan menyerupai satu urusan, boleh menjadi pendorong untuk menyerupai dalam

hal-hal lain.5

Berkaitan dengan sikap orang-orang muslim terhadap non-muslim, suatu

ketika sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah SAW mereka berkata,

“As-Saamu „laikum.” (semoga kematian menimpamu menjawab). Maka Aisyah

berkata, “aku memahami kalimatnya.” (semoga kematian dan laknat menimpa

kalian). Maka Rasulullah SAW berkata, “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya

3 Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin As- Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain berikut

asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, vol. 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996),

h.63. 4 Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr

Beirut-Libanon, 2003), h. 19.

5 Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 19.

Page 23: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

13

Allah mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” Aisyah berkata, “wahai

Rasulullah, apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah

SAW menjawab, “Aku telah berkata „wa‟alaikum‟ (dan bagimu juga).6

Berkaitan dengan dengan sikap terhadap non muslim, Allah SWT berfirman:

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir

kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

(Q.S. Al-Mumtahanah : 8)

Ketika berbicara tentang sikap adil, ayat yang sama juga mengantarkan pada

hal yang menyinggung sikap adil ini dan berbuat baik kepada orang sepanjang dia

tidak memerangi atau mengusir kaum muslimin.7 Seorang Filosofis Mr. N.E. Algra

mengatakan bahwa keadilan itu adalah persoalan kita semua dalam suatu masyarakat

setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban itu. Orang tidak boleh

netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.8

6 Sa‟id bin ShabirAbduh, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid‟ahkan,

Penerjemah Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 324.

7 Jamȃl al-Dȋn „Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah

Shofiyullah (Bandung: Penerbit Marja, 2006), h.193.

8 Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya (Bandung :

Remadja Karya Offset, 1989), h. 25.

Page 24: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

14

Dengan demikian, jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah jalan Allah dan

syari‟at-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya

agar manusia berlaku adil. Dengan keadilan, bumi dan langit akan menjadi makmur.

Apabila tampak tanda-tanda keadilan dan tampak keadilan itu dengan cara apapun,

maka itulah syari‟at Allah dan rasul-Nya.9

Sunnah Allah juga memutuskan bahwa segala perkara manusia dalam dunia

yang dilaksanakan dengan sikap adil sekalipun perkara dosa lebih sering sukses

dibandingkan perkara yang dilaksanakan dengan sikap zalim sekalipun tidak dalam

perkara dosa. Oleh karena itu, ada yang berkata: “sesungguhnya Allah akan

menegakkan negara yang adil sekalipun negara kafir, dan Dia tidak akan menegakkan

negara yang zalim sekalipun negara itu negara muslim.” Ada juga yang berkata:

“dunia akan abadi dengan keadilan walalupun bersama kekafiran, dan tidak akan

abadi dengan kezaliman walaupun bersama keislaman. Sebab, keadilan adalah sistem

segala sesuatu. Maka apabila perkara dunia dilaksanakan dengan adil, pasti akan

sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak tidak mendapatkan bagian apa- apa, dan

apabila tidak dilaksanakan dengan adil, pasti tidak akan sukses sekalipun pelakunya

di akhirat kelak mendapatkan balasan atas keimanannya.10

9 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid, (Jakarta:

Amzah, 2005), h. 204.

10

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h, 207.

Page 25: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

15

B. Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Allah SWT berfirman

Artinya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk

hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada

mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah

diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas

mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah

orang-orang yang fasik”.(Q.S. Al-Hadid: 16)

Ketika masa telah berlalu lama, maka diubahlah Kitab Allah dengan tangan-

tangan mereka sendiri dan mereka menukarnya dengan harga yang teramat sedikit

dan melemparkannya dibelakang punggung mereka, dan mulailah menghadapkan diri

terhadap pendapat-pendapat yang bersimpang siur. Mereka bertaklid kepada beberapa

orang laki-laki mengenai urusan agama merekadan menjadikan pendeta-pendeta dan

uskup-uskup mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Karena itulah hati mereka

menjadi keras, mereka tidak lagi mau menerima nasihat. Hati mereka tidak menjadi

lunak ketika mendengar berita baik atau kabar ancaman. “Dan kebanyakan diantara

mereka adalah orang-orang yang fasik.” Yaitu, fasik di dalam amal-amal mereka.

Hati-hati mereka rusak dan amal-amal mereka semuanya batil. Hal ini sebagaimana

Page 26: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

16

Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang beriman bersikap sama

dengan mereka dalam perkara apa pun, baik masalah pokok ataupun masalah furu‟.11

Nabi Muhammad SAW bersabda:

ث نا عبد الرحمن بن ث نا أبو النضر حد ث نا عثمان بن أبي شيبة حد حدان بن ع ث نا حس طية عن أبي منيب الجرشي عن ابن عمر قال ثابت حد

هم )رواه قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم من تشبو بقوم ف هو من 12ابوداود(

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah

menceritakan kepada kami Abu AnNadhr berkata, telah menceritakan kepada kami

'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin

Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah

shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Barang siapa bertasyabuh (menyerupai)

dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka".(H.R Abu Daud).

Imam at-Tirmidzi berkata : ه أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال ليس عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جد

شارة هوا بالي هود ول بالنصارى فإن تسليم الي هود ال بالصابع منا من تشبو بغيرنا ل تشب شارة 13)رواه الترمذى( بالكف وتسليم النصارى ال

Artinya : “bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai dengan selain

kami. Janganlah menyerupai orang yahudi dan orang Nasrani. Maka apabila

11

Muhammad Nasib al-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, vol. 4

(Jakarta: Gema Insani Press), h. 599.

12

Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1992), h. 315.

13

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Wa Dhoif Sunan At-Tirmidzi, (Tt.,Tp., T.th.),

Juz 6, h. 195.

Page 27: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

17

berdamai dengan yahudi isyaratnya dengan jari-jari dan apabila berdamai dengan

Nasrani isyaratnya dengan telapak tangan.” (H.R Tirmidzi)

Hadits-hadits lain berkenaan dengan Tasyabbuh :

1. Syariat makan sahur untuk membedakan dengan ahli kitab.

و بن العاص عن عمرو بن العاص قال رسول الله صلى الله عليو و عمر عنحرفصل ما ب ين صيامنا وصيام أىل الكتاب أكلة سلم 14)رواه ابوداود( الس

Artinya : Dari „Amru bin „Ashr.a., Rasulullah SAW bersabda: “pebedaan puasa kita

dengan puasa ahli kitab, ialah makan sahur”.

2. Disyariatkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk membedakan dengan

kaum musyrikin.

د بن زيد عن نافع ث نا عمر بن محم ث نا يزيد بن زريع حد هال حد د بن من ث نا محم عن حدرواخالفوا ال قال صلى الله عليو وسلم ابن عمر عن النب اللحى ، مشركين ، وف

وارب 15 (رواه بخارى) وأحفوا الش

Artinya : “meriwayatkan kepada kami Sahal Ibn Utsman, meriwayatkan Yazid Ibn

Zura‟ dari Umar Ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami Nafi dari Ibn Umar

berkata: Rasulullah SAW bersabda berbedalah kalian dengan orang- orang musyrik

cukurlah kumis dan panjangkan jenggot”. (H.R Bukhari)

3. Larangan membangun masjid di kuburan karena menyerupai Ahli al-Kitab.

Rasulullah SAW bersabda:

14

Sulaiman bin Al-Asy‟ats As-Sijistani, Sunan Abu Daud (T.tp : Daar Fikr, T.t,) Juz 1, h.

716

15

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Qohiroh

: Daarul Hadits, T.t), Juz 19 h. 428.

Page 28: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

18

لكم كانوا ي تخذون ق ب ور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألآ .وإن من كان ق ب 16()رواه مسلم إني أن هاكم عن ذلك ,القب ور مساجد ألآ فلا ت تخذوا

Artinya : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan

kubur-kubur para nabi dan orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah,

janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya

saya melarang kalian dari hal tersebut”. (HR. Muslim).

4. Larangan berpakaian seperti pendeta

ي ، عن علي بن أبي طالب : أن رسول الله صلى اللو عليو وسلم ن هى عن لبس القسىب ، وعن قراءة القرآن في الركوع 17)رواه احمد( والمعصفر ، وعن تختم الذ

Artinya : “Dari „Ali bin Abi Thalib r.a., katanya Rasulullah Saw telah melarang

berpakaian seperti pendeta dan memakai pakaian tercelup dengan warna kuning,

memakai cincin emas dan membaca Qur‟an dalam ruku‟.”(H.R. Ahmad)

C. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non Muslim

Ibn Taimiyyah menjelaskan dua penyerupaan yang bukan termasuk syariat

Islam :

a. Perbuatan tasyabbuh yang menggunakan ilmu pengetahuan dan itu merupakan

perbuatan yang menjadi ciri khas bagi agama lain. Perbuatan ini dilakukan

bertujuan agar mengikuti agama tersebut. Perbuatan tersebut adalah haram karena

merupakan dosa besar dan mendekatkan kepada kekufuran.

16

Abi Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi, Al Mushannaf Fi Al Ahadits

Wa Al Atsar, (Riyadh: Daar Al-Salafiyyah, 1409 H), Juz 2, h. 269.

17

Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut:

A‟lama Al Kitab, 1998), Juz 30, h. 434.

Page 29: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

19

b. Orang yang mengerjakan tidak mengetahui hakikat dari apa yang ia kerjakan, yaitu

terbagi dua:

1. Perbuatan yang pada dasarnya diambil daripada agama lain. Yang dikerjakan

dalam keadaan yang sama ataupun dengan beberapa perubahan dari segi

waktu, tempat, perbuatannya dan lain-lain. Inilah tasyabbuh yang melibatkan

masyarakat umum seperti „khamis raya‟ atau perayaan krismas orang-orang

Nasrani. Maka sesungguhnya mereka yang terlibat dalam perbuatan tasyabbuh

ini biasanya anak-anak dari orangtuanya dan kebanyakan dari mereka tidak

mengetahui asal-usul dari perbuatan tersebut.

2. Perbuatan yang tidak diambil dari orang kafir, tetapi melakukan perbuatan

tersebut dengan pola yamg sama, maka perbuatan tersebut tidak dikategorikan

sebagai perbuatan tasyabuh, tetapi ia tidak membedakan diri dengan orang

kafir. Status makruhnya atau haramnya perbuatan ini tergantung atas dalil-dalil

syara‟ meskipun ia merupakan bentuk dari perbuatan tasyabbuh. Ini karena

penyerupaan kita (orang Islam) tidak lebih utama daripada penyerupaan

mereka terhadap kita. Maka disunnahkan bagi umat Islam untuk meninggalkan

tasyabbuh untuk kemaslahatan perbedaan. Seperti memanjangkan janggut,

memakai alas ketika salat dan sujud. Perbuatan ini dapat menjadi makruh

seperti mengakhirkan berbuka puasa.18

18

Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm: Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr

Beirut- Libanon, 2003), h.203.

Page 30: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

20

D. Bentuk-Bentuk Tasyabbuh

Dalil-dalil menunjukan terhadap penyerupaaan dengan non-muslim dalam

semua yang dilarang darinya, dan perbedaan di dalam hal yang disyariatkan ada

dalam hal yang wajib dan adapula dalam hal yang sunah dalam beberapa tempat. dan

telah diterangkan perintah-perintah apa saja yang telah Allah dan Rasul-nya bedakan

dalam syariat, begitu juga dalam pekerjaan yang dengan niat menyerupai dengan

mereka (non muslim) atau tidak dengan niat.

Bentuk-bentuk yang dapat menyerupai mereka ada 3 bagian. Pertama, bagian

yang disyariatkan dalam agama kita dan juga disyariatkan bagi mereka non-muslim

atau kita tidak tahu bahwa hal tesebut disyariatkan pula bagi mereka dan tetapi sama-

sama kita kerjakan. Bagian yang tadinya disyariatkan kemudian dinasakh dalam Al-

Qur‟an. Bagian yang tidak ada dalam syariat sama sekali dan itu adalah hal yang

baru. Dan inilah 3 bagian tersebut:

a. Pertama, sesuatu yang disyariatkan baik bagi muslim maupun non muslim atau

disyariatkan kepada kita dan mereka mengerjakannya. Seperti puasa „asyuro atau

sholat dan puasa. Maka di sini terdapat perbedaan dalam hal mengamalkannya,

seperti diperintahkan bagi kita untuk berbuka dengan yang manis-manis dan pada

saat magrib, berbeda dengan Ahli kitab. Diperintahkan bagi kita untuk

mengakhirkan sahur, berbeda dengan Ahli kitab. Seperti diperintahkan bagi kita

Page 31: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

21

untuk shalat diatas alas, berbeda dengan shalatnya orang Yahudi. Dan masih

banyak lagi dalam ibadah dan kebiasaan.19

Rasulullah SAW bersabda :

رناعن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليو وسلم اللحد لنا والشق لغي20)رواه ابوداود(

Artinya : “Dari Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW bersabda: liang Lahat

bagi kita, dan diluar liang Lahat untuk selain kita.”(H.R Abu Daud)

b. Kedua, sesuatu yang disyariatkan kemudian dihapus. Seperti hari Sabtu,

menjawab shalat atau puasa hari Sabtu. Janganlah melaksanakan hal ini karena

ini adalah ibadah wajib bagi mereka (yahudi), atau segala sesuatu yang

diharamkan bagi mereka.

Hal-hal besar yang disyariatkan dalam ibadah, seperti shalat atau dzikir,

atau sedekah/zakat, atau ibadah haji dan juga adat istiadat. Dan jangan mengikuti

pekerjaan yang membuat kita meninggalkan amal ibadah wajib.

Rasulullah SAW bersabda:

)رواه عيدنا قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم يا أبا بكر إن لكل ق وم عيدا وىذا21بخارى(

19

Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.166.

20

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Wa Dhoif Sunan Abu Daud, (T,tp., T,p., T,th),

Juz 7, h. 208.

21

Matan Sahih al-Bukhori. Kitab Jum‟ah, (Jedah: Al-Haramain, T.th), h.170.

Page 32: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

22

Artinya : “Rasulullah SAW bersada : wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi

setiap kaum terdapat hari raya, dan inilah hari raya kita (Idul Fitri dan Idul

Adha).” (H.R Bukhari).

c. Ketiga, sesuatu yang baru dari ibadah atau adat kebiasaan atau dari keduanya.

Yaitu lebih buruk dari yang paling buruk. Maka apabila ada orang muslim

membuat sesuatu yang baru adalah sangat buruk. Maka, bagaimana mungkin

menjalankan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Nabi SAW ? sesuatu yang baru

itu bagi orang-orang kafir. Maka menyetujuinya adalah buruk.22

Tidak

mengucapkan salam kepada Ahlu Dzimmah.

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:

لام ، وإذا لقيتم أحدىم في طريق فاضطروه إلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بالس23)رواه مسلم(أضيقو

Artinya : “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : janganlah kalian mulai

mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, dan jika kalian

bertemu dengan salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah

jalannya itu ke arah yang lebih sempit.”

Dari Annas r.a. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

قال قال النبى صلى الله عليو وسلم إذا سلم عليكم أىل الكتاب ف قولوا وعليكم24()رواه بخارى

22

Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.169. 23 Shahih Muslim, Kitab as-Salâm jil. 4, hadis no. 2167 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, T.th. ),

h.1707.

Page 33: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

23

Artinya : “diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW

bersabda: Jika ahlu kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah „Wa

„Alaikum‟. (H.R Bukhari).

Selain dari pada itu terdapat beberapa kaidah umum yang telah

digariskan oleh para ulama yang dapat menjadi kriteria utama bagi

mengklasifikasikan sebuah amalan sebagai tasyabbuh dan dalam menetapkan

sikap yang perlu diambil dalam berhadapan dengan isu ini. Antara kriteria

tersebut adalah:

1. Setiap amalan tergantung kepada niatnya. Maksud terpenting dari

disyari‟atkannya niat adalah untuk membedakan ibadah dari adat, dan

membedakan ibadah dari ibadah lainnya. Contoh, menahan diri dari

perbuatan yang membatalkan puasa, adakalnya hal itu dilakukan karena

memang pantangan terhadap makanan, karena membahayakan, karena

proses pengobatan, karena memang tidak butuh terhadapa makanan

tersebut, atau karena diet. Duduk di Masjid adakalanya untuk istirahat,

tujuan untuk iktikaf, melihat-lihat, dan lain-lain.25

2. Diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka, ada berupa kekufuran,

ada yang sekedar haram, namun ada juga yang mubah, yakni bila terlepas

dari kerusakan yang ditimbulkan dari penyerupaan diri tersebut. Perbedaan

24

Muhammad bin Futuh Al-Humaidi, Al-Jami‟ Baina As-Shahihain Al-Bukhari wa Muslim,

(Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002). Juz 2, h. 379.

25

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), h. 20.

Page 34: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

24

antara satu dengan yang lain pada umumnya mudah dibaca. Namun

seringkali tidak nampak jelas bagi orang-orang awam.26

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan hikmah dalam sikap

membedakan dengan orang kafir yang dapat menyokong kaidah ini dalam

karya beliau Ahkam Ahl al-Dzimmah, yaitu :

Demi mencapai perbedaan yang menyeluruh (dengan orang bukan

Islam), dan tidak menyerupai mereka dalam penampilan luaran, dan

melaluinya dapat mengelakkan daripada penyerupaan dari aspek batin. Ini

karena penyerupaan dalam salah satu dari aspek berkenaan akan

mengundang kepada penyerupaan kepada aspek yang lainnya. Ini

merupakan hal diketahui secara pemerhatian. Tidaklah dimaksudkan

dengan perubahan dan perbedaan dalam aspek pakaian dan selainnya hanya

untuk membedakan orang kafir dan Muslim semata, bahkan ia dibina atas

beberapa objektif lain. Antara objektif yang utama ialah bagi meninggalkan

segala faktor yang dapat mengakibatkan penyetujuan dan penyerupaan

dengan mereka secara batin. Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya

untuk meninggalkan penyerupaan dengan orang bukan Islam.27

26

Kaidah ini boleh didapati dalam Ibn Taimiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqim, h. 201.

27

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu al-Zimmah, (Dar al-Hadis, 2005), h. 515.

Page 35: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

25

3. Segala bentuk hari raya dan hari besar secara umum berpengaruh besar

pada agama dan dunia seseorang. Sebagaimana pengaruh zakat, shaum dan

haji. Oleh sebab itu seluruh syariat telah mengajarkannya :

Firman Allah SWT :

Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kamui tetapkan syari‟at tertentu yang

mereka lakukan,”(Q.S. Al-Hajj : 67)

Seorang hamba yang yang membiasakan diri melakukan amal

perbuatan yang tidak disyariatkan sebagai bagian dari kebutuhannya,

hasratnya untuk mengamalkan dan mengambil manfaat dari amal perbuatan

yang disyariatkan otomatis akan berkurang, selaras dengan banyak

sedikitnya amal pengganti yang ia biasakan.28

28

Ibnu Taimiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqim, h. 198.

Page 36: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

26

BAB III

METODE ISTINBATH MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM

MENETAPKAN FATWA NOMOR 56 TAHUN 2016

A. Profil Majelis Ulama Indonesia

1. Sekilas Tentang Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah

bertepatan dengan tanggal 26 Juli tahun 1975 Miladiyah adalah rahmat Allah Swt,

Majelis Ulama Indonesia hadir ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah

pada fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan,

energi bangsa terserap dalam perjuangan politik baik dalam negeri maupun dalam

forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun

bangsa yang maju, dan berakhlak mulia.

Ulama Indonesia menyadari dirinya sebagai pewaris tugas-tugas para nabi

(warasatul anbiya) pembawa risalah Illahiyah dan pelanjut misi yang diemban

Rasulullah Muhammad Saw. Mereka terpanggil bersama-sama Pemimpin dan

Cendekiawan Muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan pada

perjuangan kemerdekaan yang telah mereka berikan pada masa penjajah, serta

berperan aktif dalam membangun masyarakat dan menyukseskan pembangunan

melalui berbagai potensi yang mereka miliki dalam wadah Majelis Ulama Indonesia.

Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia senantiasa ditujukan

bagi kemajuan agama, bangsa dan negara baik pada masa lalu, kini, maupun

Page 37: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

27

sekarang. para ulama, pemimpin dan cendekiawan, Muslim menyadari bahwa

terdapat hubungan timbal balik saling memerlukan antara Islam dan negara. Islam

memerlukan negara sebagai wahana mewujudkan nila-nilai universal Islam seperti

keadilan, kemanusiaan perdamaian, sedangkan negara Indonesia memerlukan Islam

sebagai landasan bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh

karena itu, keberadaan organisasi para ulama, pemimpin dan cendekiawan muslim

suatu konsekuensi logis dan prasyarat berkembangnya hubungan yang harmonis

antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.Karena umat

Islam bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki

peran dan tanggung jawab terbesar pula bagi kemajuan dan kejayaan Indonesia di

masa depan. Namun, suatu hal yang tidak boleh dinafikan bahwa umat Islam

menghadapi masalah internal dalam berbagai aspek, baik sosial, pendidikan,

kesehatan, kedudukan, ekonomi, maupun politik. 1

Di sisi lain, umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat

berat. Antara lain dominasi barat dan ideologi liberalisme kapitalisme yang

berpangkal pada sekulerisme dengan sistem politik dan sistem ekonomi yang sering

dipaksakan berlaku di negeri-negeri lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang dapat menggoyahkan etika dan moral, serta budaya global yang didominasi

Barat yang bercirikan pendewaan diri, kebendaan, dan nafsu yang berpotensi

1 Din Syamsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majlis Ulama Indonesia, (Jakarta:

2001), h. 4.

Page 38: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

28

melunturkan aspek religiusitas masyarakat, serta meremehkan peran agama dalam

kehidupan umat manusia.

Lebih dari pada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran

keagamaan. Organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain

dapat merupakan kekuatan, juga sering menjelma menjadi kelemahan dan sumber

pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Sebagai akibatnya, umat Islam terjebak

ke dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan dan kehilangan

peluang untuk mengembangkan diri menjadi kelompok yang tidak hanya besar

dalam jumlah tetapi juga unggul dalam kualitas. Sejalan dengan perkembangan

dalam kehidupan kebangsaan dalam era reformasi dewasa ini, yang ditandai dengan

adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru yang

adil, sejahtera, demokratis dan beradab, maka adalah suatu keharusan bagi Majelis

Ulama Indonesia untuk, meneguhkan jati diri dan itikad dengan suatu wawasan untuk

menghela proses perwujudan masyarakat Indonesia baru, yang tidak lain adalah

masyarakat madani (khair al-ummah) yang menekankan nilai-nilai persamaan

manusia (al-musawah), keadilan (al-adalah), dan demokrasi (syuro).2

2. Visi dan Misi

a. Visi

Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan kebangsaan dan

kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalang potensi dan partisipasi umat

2 Din Syamsudin, h. 6.

Page 39: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

29

Islam melalui aktualisasi potensi ulama, pemimpin, aghniya dan cendekiawan

muslim untuk kemajuan dan kejayaan Islam dan umat Islam (izzul-Islam wa

al-Muslimin) guna perwujudannya. Dengan demikian maka posisi Majelis

Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai pertimbangan Dewan Syari‟at

Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat lil-alamin)

ditengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.

b. Misi

Menggerakkan kepimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif,

sehingga mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan

memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syari‟ah Islamiyah, dan

menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah

agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah. 3

3. Orientasi dan Peran

Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi perkhidmatan,

yaitu:

a. Diniyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari

semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam

adalah agama yang berdasar pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang

meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

3 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Buku Panduan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Se-

Indonesia ke-5 Tahun 2015, (Jakarta : Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, 2015), cet.1, h.20.

Page 40: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

30

b. Irsyadiyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan dakwah wal

irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta

melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam arti yang seluas-luasnya.

Setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan

dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.

c. Ijabiyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan ijabiyah yang

senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat melalui kebajikan (fastabiq al-khairat).

d. Ta‟awuniyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari

diri pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam

membela kaum dhu‟afa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat

kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan

dikalangan seluruh lapisan golongan umat Islam. Ukhuwah Islamiyah ini

merupakan landasan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mengembangkan

persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) sebagai bagian integral

bangsa Indonesia dan memperkokoh persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah

basyariyah) sebagai anggota masyarakat dunia.

Page 41: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

31

e. Syuriyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menekankan

prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui pengembangan

sikap demokratis, akomodatif, dan aspiratif terhadap berbagai aspirasi yang

tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

f. Tasamuh

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang

mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan

kegiatannya dan senantiasa menciptakan keseimbangan diantara berbagai arus

pemikiran dikalangan masyarakat sesuai dengan syariat Islam.

g. Hurriyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan independen

yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh

pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran,

pandangan dan pendapat.

h. Qudwah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang

mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan

yang bersifat perintisan untuk kebutuhan kemaslahatan umat. MUI dapat

berkegiatan secara operasional sepanjang tidak terjadi tumpang tindih dengan

kegiatan ormas lain.

Page 42: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

32

i. Addualiyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menyadari

dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan

perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai dengan

hal itu, Majelis Ulama Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan

lembaga atau organisasi Islam internasional di berbagai negara. 4

Majelis Ulama Indonesia mempunyai lima peran utama, yaitu:

a. Sebagai pewaris tugas para nabi (warasath al anbiya‟).

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-tugas para

Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya

suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan

Islam. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, Majlis Ulama Indonesia

menjalankan fungsi profetik yakni memperjuangkan perubahan kehidupan

agar berjalan sesuai dengan ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi

akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya

bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia.

b. Sebagai pemberi fatwa.

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat

Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa

Majlis Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat

4 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, h. 24-25

Page 43: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

33

Islam Indonesia yang sangat beragam aliran faham dan pemikiran serta

organisasi keagamaannya.

c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri‟ayat Wa khodim al ummah).

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khodim al

ummah), yaitu melayani umat Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi

harapan aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam ke-anggotaan ini MUI

senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat Islam, baik langsung atau

tidak langsung akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, MUI

berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi

umat Islam dan masyarakat luas dalam hubungannya dengan pemerintah.

d. Sebagai gerakan Islah wal-Tajdid.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai pelapor Islah yaitu

pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat di

kalangan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan Tajdid yaitu gerakan

pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat

dikalangan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan Taufiq (kompromi)

dan Tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan

tetap terpeliharanya semangat persaudaraan dikalangan umat Islam Indonesia.

e. Sebagai penegak amar ma‟ruf nahi mungkar

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai wahana tenaga amar

ma‟ruf nahi munkar, yaitu dengan menegakkan kebenaran dan kebatilan

sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan Istiqomah. Dalam menjalankan

Page 44: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

34

fungsi ini MUI tampil di barisan terdepan sebagai kekuatan (moral force)

bersama berbagai potensi bangsa lainnya untuk melakukan rehabilitasi sosial.5

B. Metode Istinbath MUI Dalam Menetapkan Fatwa

MUI dalam memutuskan fatwa mempunyai metode dalam menjawab suatu

persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

a. Setiap Keputusan Fatwa MUI harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah

Rasul yang mu‟tabarah serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.

b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan

pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma‟,

qiyas yang mu‟tabarah, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalah

mursalah dan sadd az-zari‟ah.

c. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat

Imam Mazhab terdahulu baik, yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum

maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang

berbeda pendapat.

d. Pandangan ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya

dipertimbangkan.

e. Setiap masalah yang disampaikan Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari

dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim khusus sekurang-kurangnya

seminggu sebelum disidangkan.

5 Din Syamsudin, h. 10.

Page 45: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

35

f. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat‟iyah) hendaklah Komisi

menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui

ada nash-nya dari Al-Qur‟an dan Sunnah.

g. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan mazhab, maka yang difatwakan

adalah hasil tarjih setelah memperhatikan Fiqh Muqaranah (Perbandingan) dengan

menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaranah yang berhubungan dengan

pen-tarjihan-an. 6

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensip serta

memperhatikan pendapat pandangan yang berkembang dalam sidang, Komisi

menetapkan Keputusan Fatwa. Setelah ditanda tangani oleh Dewan Pimpinan

dalam bentuk surat Keputusan Fatwa (SKF), harus dirumuskan dengan bahasan

yang dapat dipahami dengan mudah dikalangan masyarakat luas. Dalam SKF

harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta

sumber pengambilanya. Setiap SKF disertai dengan rumusan tindak lanjut dan

rekomendasi dan /jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF

tersebut.

Demikianlah cara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melakukan Istinbath

atau menetapkan suatu permasalahan, tidak serta merta langsung menetapkannya

akan tetapi terlebih dahulu meninjau kembali kepada pendapat-pendapat ulama

terdahulu atau para ahli tentang masalah yang akan ditetapkan.

6 Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Mengenal Lebih Jauh Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: 2001, h. 7-10.

Page 46: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

36

Proses Penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Pertama setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat

komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya.

b. Dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang

akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya untuk dipertimbangankan.

c. Setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, fuqoha melakukan

kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fuqoha dengan

memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya

dan kemaslahatannya bagi umat.

d. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang

memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.

Jika fuqoha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat

melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.

e. Jika tadi tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat

melakukan ( الحاق المسائل بنظائرها ) dengan memperhatikan mulahaq bih,

mulahaq ilayh dan wajh al-ilhaq (pasal 5).

f. Apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat

melakukan ijtihad jama‟I dengan menggunakan al qawa‟id al-ushuliyat dan

al-qawa‟id fiqhiyat.

Page 47: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

37

Sedangkan kewenangan fatwa MUI adalah masalah-masalah keagamaan

yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional dan

masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah

lain (pasal 10).

Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi dengan

menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu permasalahan yang

akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada pertanyaan atau ada

permasalahan yang diajukan, baik pertanyaan atau permasalahan itu sendiri berasal

dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan ataupun dari MUI sendiri. 7

C. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Hukum

Memakai Atribut Keagamaan Non Muslim

Pertimbangan MUI dalam menentukan fatwa ini dikarenakan telah terjadi di

masyarakat Fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian

umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau

simbol keagamaan non muslim yang berdampak pada syiar keagamaan mereka.

Untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik

usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya,

bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim

untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim. Terhadap masalah tersebut,

muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.

7 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 170-171.

Page 48: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

38

Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum

menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman. 8

Dalil-dalil yang digunakan dalam penetapan fatwa ;

1. Alquran

Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang

kafir, antara lain:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada

Muhammad): „Raa´ina‟, tetapi katakanlah: „Unzhurna‟, dan „dengarlah‟. Dan

bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al- Baqarah: 104).

Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang

bathil, antara lain:

Artinya : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil

dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS.

Al-Baqarah : 42)

Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar

agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:

8 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses

pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-

muslim.html.

Page 49: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

39

Artinya : "Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah

apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu

tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah

agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)

Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan

syi‟ar selain Islam, antara lain:

Artinya : dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,

maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena

jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu

diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An‟am: 153)

Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik

dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam.

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak

Page 50: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

40

(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berlaku adil”. (QS. Al- Mumtahanah : 8)

Firman Allah SWT yang mengabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling

berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

Artinya: Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah

dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang

Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak

atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al- Mujaadilah: 22)

2. Hadits Rasulullah Saw antara lain ;

روا اللحى عن ابن عمر عن النبي صلى اللو عليو وسلم قال خالفوا المشركين وف وارب وأحفوا الش

Artinya : Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah

kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR.

Al-Bukhari dan Muslim).

تب عن سنن من كان عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى اللو عليو وسلم قال لت را وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموىم ق لنا يا رسول را شب لكم شب ق ب

اللو الي هود والنصارى قال فمن

Page 51: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

41

Artinya : Dari Abi Sa‟id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-

benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi

sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki

lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai

Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.”

(HR. al-Bukhari dan Muslim).

يف حتى ي عبد عن ابن عمر قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم بعثت بالسلة والصغار على من اللو ل شريك لو وجعل رزقي تحت ظل رمحي وج عل الذ

هم خالف أمري ومن تشبو بقوم ف هو من Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan

pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta‟ala semata

dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku

di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa

yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia

termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad).

هم عن ابن عمر قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم من تشبو بقوم ف هو من Artinya; Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang

menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu

Dawud).

ه أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال ليس عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جدشارة هوا بالي هود ول بالنصارى فإن تسليم الي هود ال بالصابع منا من تشبو بغيرنا ل تشب

شارة بالكف وتسليم النصارى ال

Artinya: Dari Amru bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya

Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai

selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena

sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan

kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-

Tirmidzi).

Page 52: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

42

3. Qaidah Sadd al-Dzari‟ah

Qaidah Sadd al-Dzari‟ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang

lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan

mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak

dan bathil.

4. Qaidah Fidhiyyah:

م على جلب المصالح درأ المفاسد مقد “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik

kemaslahatan.”

Dalam menentukan fatwa MUI juga mengacu pada pendapat para ulama-ulama

antara lain; 9

1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam kitab “Mughni al- Muhtaj ila

Ma‟rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:

ومن ، ومن يمسك الحية ويدخل النار ، ويعزر من وافق الكفار في أعيادىم ومن ىنأه بعيده، لذمي يا حاج قال

“Dihukum ta‟zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir

dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan

masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi

„Ya Hajj‟, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di

hari raya (orang kafir)...”.

9 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses

pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-

muslim.html.

Page 53: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

43

2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi dalam Kitab “Haqiqat al- Sunnah wa

al-Bid‟ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al- Ibtida‟, halaman 42:

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادىم ومواسمهم الملعونة كما يفعلو كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم

والتشبو بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد…فيما يفعلونو Termasuk bid‟ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh)

dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan

perayaan- perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana

dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-

orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan.

Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud

menyerupai”.

3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-

Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :

ادىم بالتشبو بأكلهم ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيوالهدية لهم وقبول ىديتهم فيو وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد

قال صلى الله عليو وسلم } من تشبو بقوم فهو منهم { بل قال ابن الحاج ل يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده ل لحما ول أدما ول

معاونة لهم على كفرىم وعلى ولة ثوبا ول يعارون شيئا ولو دابة إذ ىو المر منع المسلمين من ذلك

Di antara bid‟ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin

mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka

dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima

hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi

perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah

bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari

mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang

muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan

hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh

Page 54: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

44

dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan,

karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib

bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.

4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat

menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:

الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قول وفعلا . فقال أن

“Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk menyerupai

orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada

Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.

Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu‟ al- Fatawa” jilid XXII

halaman 95:

أن المشابهة في المور الظاىرة تورث تناسبا وتشابها في الخلاق والعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan

keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang

tasyabbuh dengan orang kafir.”

6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al- Dzimmah,

Jilid 1 hal. 441-442:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة بو فحرام بالتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادىم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا

إن سلم قائلو من الكفر فهو من المحرمات وىو بمنزلة أن يهنئو بسجوده التهنئة بشرب الخمر للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من

وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن ل قدر للدين عنده

Page 55: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

45

يقع في ذلك ول يدري قبح ما فعل فمن ىنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطو

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar- syiar kekufuran yang

khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.

Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti

mengatakan, „Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu‟, atau

dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka

ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini

termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini

pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan

pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan

selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi

ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa,

berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang

kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui

kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa

memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid‟ah atau

kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta‟ala.”

7. Pendapat al-„Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib

Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma‟bud, Juz

XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:

شبو نفسو بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو وقال القارئ: أي من بالفساق أو الفجار أو بأىل التصوف والصلحاء البرار فهو منهم أي

في الثم والخيرAl-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir

seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik,

pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan orang saleh dan baik (maka dia

termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”

8. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.

9. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 56: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

46

10. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE

tentang Seputar Sya‟airillah.

11. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa

MUI pada tanggal 14 Desember 2016.

Ketentuan Umum Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan Atribut

keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri

khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu,

baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama

tertentu.

Dengan demikian berdasarkan dalil-dalil diatas Majelis Ulama Indonesia

membuat ketentuan hukum yaitu;

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-

muslim adalah haram.

MUI juga mengeluarkan rekomendasi diantaranya;

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan

memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah

dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

Page 57: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

47

2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap

agama. Salah satu wujud toleransi adalah Fatwa Tentang Hukum

Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya,

bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak

memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan

non-muslim.

4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan

agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan

tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-

muslim kepada karyawan muslim.

5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai

warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari‟at agamanya

secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.

6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak- pihak yang

membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan

ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim

untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti

Page 58: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

48

aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada

umat Islam.10

Dari paparan fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 bisa dilihat bahwa

fatwa tersebut ditujukan untuk menjaga akidah umat Islam, dilihat dari dalil-

dalil yang menjadi istinbat fatwa MUI meskipun dalam Alqur‟an dibolehkan

bergaul dan berbuat baik kepada non muslim sebagaimana tercantum dalam

surat Al-Mumtahanah ayat 8, tetapi dengan tegas Allah melarang orang Islam

untuk meniru dan mengikuti orang kafir serta tidak mencampurkan antara haq

dan batil sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 42 dan Al-

Baqarah ayat 104.

Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan independen

yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh

pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran,

pandangan dan pendapat. Ini bisa dilihat dari adanya rekomendasi untuk

pemerintah dan pimpinan perusahaan yang wajib memberikan perlindungan

kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan

dan syari‟at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi

beragama.

10

Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim”

diakses pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-

non-muslim.html.

Page 59: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

49

BAB IV

ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA MENGENAI HUKUM

MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

A. Analisis Metode Istinbat Hukum Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016

Adanya laporan dari masyarakat sehubungan dengan atribut non muslim

terhadap muslim , dalam hal ini mengenakan atribut Kristen menjelang perayaan

natal, menjadi salah satu pertimbangan Majelis ulama Indonesia mengeluarkan fatwa

no 56 Tahun 2016.

Atribut keagamaan yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai dan

digunakan sebagai identitas, ciri kas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau

umat beragama tertentu, baik terkait maupun keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi

dari agama tertentu.

Penulis di sini memberi contoh atribut-atribut non muslim yang dilarang oleh

Majelis Ulama indonesia yaitu;

1. Menggunakan pakaian yang sudah menjadi adat bagi pemeluk agama-agama non

Islam, seperti tanda salib bagi kaum Nasrani, topi khas Yahudi, serta atribut-atribut

non muslim lainnya.

2. Menyanyikan lagu-lagu bernada kemusyrikan kepada Allah, semisal lagu-lagu gereja,

atau lagu-lagu khas kaum Hindu, atau kaum Budha, serta lagu-lagu kekafiran lainnya,

Page 60: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

50

adalah termasuk yang dilarang oleh Allah, dan para pelakunya adalah menjadi musuh

Allah.

3. Memasuki pintu-pintu musuh Allah, antara lain dilarang memasuki tempat-tempat

ibadah non muslim yang difungsikan sebagai tempat penyekutuan kepada Allah,

karena di sanalah mereka menyembah dan memuji tuhan-tuhan mereka. Bahkan

sebab inilah yang menjadikan kemurkaan Allah atas penyekutuan yang dilakukan

oleh kalangan non muslim terhadap-NYA.

4. Melakukan upacara tradisional yang berkonotasi menyembah makhluk lelembut,

seperti upacara melarung sesajen untuk para penghuni laut atau sungai tertentu. Hal

ini juga termasuk penyekutuan terhadap Allah.

5. Memainkan kesenian semacam Barongsai, yaitu tarian adat milik kaum Khong hu cu

(China), atau memainkan kuda kepang (lumping) yang dapat menyebabkan

pemainnya kesurupan hingga tidak sadarkan diri karena kerasukan jin.1

Contoh-contoh di atas tentu dapat dikembangkan lebih luas, agar umat Islam

tidak mengambil resiko dimurkai oleh Allah, saat ia telah meninggal dunia dan

dipanggil menghadap kepada Allah serta dimintai pertanggungjawaban atas segala

amal perbuatannya.

Dalam fatwa MUI memberi ketentuan hukum yaitu;

1 Azis Anwar Fachrudin, “Fatwa MUI, Atribut Natal dan Soal Kerukunan” diakses pada 3

Mei 2017 dari http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/9939/fatwa-mui-atribut-natal-dan-soal-kerukunan.html.

Page 61: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

51

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim

adalah haram.2

Istinbat hukum yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkan hukum yang

pengambilan hukumnya bersumber dari Al-Qur'an diantaranya;

- Alquran surat Al Baqarah ayat 104 yang menjelaskan larangan meniru perkataan

orang-orang kafir.

- Al Baqarah ayat 42 menjelaskan mengenai larangan mencampuradukkan yang

haq dengan yang bathil.

- Surat Al Kafirun yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama,

khususnya terkait dengan ibadah.

- Surat Al-An’am ayat 153 yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk,

dan syi’ar selain Islam.

- Surat Al Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tidak melarang orang Islam bergaul

dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam.

- Surat Al-Mujaadilah ayat 22 yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak

bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.

Ada juga dasar pengambilan hukum berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang

melarang muslim menyerupai non muslim;

2 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses

pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-

muslim.html.

Page 62: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

52

روا اللحى عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وف وارب 3وأحفوا الش

Artinya : Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum

musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari

dan Muslim).

يف حتى ي عبد الله عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثت بالسلة والصغار على من خالف أمري ل شريك له وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذ

هم 4ومن تشبه بقوم ف هو من Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang

menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak

mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah

bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi

perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari

mereka” (HR. Ahmad).

Istinbat hukum yang diambil dari kaidah fiqih

Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya

boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang

haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.

3 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Qohiroh :

Daarul Hadits, T.t), Juz 20 h. 428.

4 Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut:

A’lama Al Kitab, 1998), Juz 25, h. 450.

Page 63: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

53

م على جلب المصالح 5 درأ المفاسد مقد “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik

kemaslahatan.”

Istinbat hukum yang dilakukan MUI sebagai cara dalam menetapkan hukum,

dengan cara beristinbat maka akan ada satu hukum baru sebagai penjelas dari nas

yang danni, (dalil yang menunjukkan makna, akan tetapi mengandung hal-hal untuk

mentakwilkan dan penyimpangan dari arti sesungguhnya atau dengan arti lain), dan

berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat secara jelas dalam al-Qur’an

maupun sunnah. Namun pada hakikatnya istinbat yang dilakukan MUI bukanlah

penetap dan pembuat hukum karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa

yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT, dan tiada hukum

kecuali dari Allah SWT. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum yang dapat

dicapai oleh MUI melalui istinbatnya itu adalah hukum Allah dalam fatwa MUI.

Istinbat hukum yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkan hukum yang

pengambilan hukumnya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan

metode yang dipakai oleh MUI dalam beristinbat} dengan secara tidak langsung,

maksudnya yaitu berkiblat pada pendapat terdahulu (pendapat para fuqaha) dan

menggunakan qaidah-qaidah fiqhiyah. Yang sesuai dengan metode istinbat} yang ada

dalam hukum Islam (yang terletak dalam ushul fiqih).

5 Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Adhwa’ Al-Bayan, (T,Tp.,T.p., T.th), Juz 4 h. 462.

Page 64: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

54

Dengan beristinbat hukum yang dilakukan MUI akan membawa dan akan

memelihara kemaslahatan umat, karena dengan beristinbat maka akan mendapatkan

satu hukum baru yang dibutuhkan oleh umat yang dalam kebimbangan dan kesulitan

dalam menentukan hukum yang bertentangan dengan satu kondisi ataupun zaman.

Dalam menetapkan suatu hukum istinbat anggota MUI (komisi) yang hadir

jumlahnya sampai dianggap cukup memadai oleh pimpinan rapat, dan dalam hal-hal

tertentu rapat dapat menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah

yang akan dibahas.6

Dari paparan diatas penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan MUI

sebagai penjaga dan pengayom umat Islam sudah tepat yaitu dengan tegas

menyatakan Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Dan

Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim

adalah haram. MUI sudah menjalankan tugas utamanya dalam memelihara dalam

memelihara keyakinan dalam praktik keagamaan umat Islam.

Secara jelas fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam dan menjaga akidah

dan keyakinannya, serta melarang pihak manapun untuk mengajak atau

memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaaan non

muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya. Sehingga tidak

6 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 150

Page 65: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

55

ada alasan non muslim memaksakan kehendak muslim untuk menggunakan atribut

kagamaan non muslim dengan alasan seni, marketing atau alasan apapun.

Menurut penulis banyaknya pihak-pihak yang masih mewajibkan muslim

menggunakan atribut keagamaan non muslim, sehingga berdampak adanya

pengawalan fatwa MUI, hanya saja untuk memberi pemahaman terhadap pihak-pihak

tersebut bukan untuk melakukan eksekusi dan sweeping oleh ormas Islam karena

yang berhak melakukan eksekusi adalah pemerintah. Maka dari itu pemerintah harus

melindungi masyarakat agar mencegah tejadinya pemaksaan kepada masyarakat

muslim untuk menggunakan atribut non muslim.

Fatwa tersebut dibuat dalam kerangka penghormatan kepada prinsip

kebhinekaan dan kerukunan beragama di Indonesia dan kerukunan beragama di

Indonesia. Makna dari kebhinekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk

perbedaaan terhadap dalam keyakinan agamanya sehingga harus saling menghormati

dan tidak memaksakan keyakinan tersebut pada orang lain. Setiap bentuk pemaksaan

keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.

Page 66: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

56

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari analisis penulis tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non

muslim, maka penulis simpulkan sebagai berikut:

Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa no 56 tahun 2016 telah

memberikan ketentuan hukum yaitu menggunakan atribut keagamaan non muslim

haram dan mengajak menggunakan atribut keagamaan non muslim haram. Dasar dan

metode fatwa MUI tentang diharamkannya menggunakan atribut keagamaan non

muslim pertama menggunakan dasar Al-Qur'an, al-Hadits, Ijma, kaidah ushul fikih.

Menggunakan atribut keagamaan non muslim ialah bertentangan dengan hukum dan

prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’, karena

meskipun dalam Alqur’an dibolehkan bergaul dan berbuat baik kepada non muslim

sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, tetapi dengan tegas Allah

melarang orang Islam untuk meniru dan mengikuti orang kafir serta tidak

mencampurkan antara haq dan batil sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah

ayat 42 dan Al-Baqarah ayat 104.

Page 67: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

57

B. Saran-Saran

Setelah penulis menuangkan beberapa pembahasan mengenai Fatwa MUI

dalam menetapkan hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim, maka

penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi orang-orang Islam hendaknya tidak menggunakan atribut keagamaan non

muslim karena dikhawatirkan terjadinya pencampuran akidah.

2. Pimpinan perusahaan diharapkan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan

atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.

3. Pemerintah diharapkan dapat mencegah, mengawasi, dan menindak pihak- pihak

yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan,

pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan

penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Page 68: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

58

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa’id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 2004).

Abduh, Sa‟id bin Shabir, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan,

Penerjemah Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005).

Albani, Al, Muhammad Nashiruddin, Shahih Wa Dhoif Sunan Abu Daud, (T,tp.,

T,p., T,th).

Albani, Al, Muhammad Nashiruddin, Shahih Wa Dhoif Sunan At-Tirmidzi, (Tt.,Tp.,

T.th).

Bukhari, Al, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah, Shahih Bukhari,

Qohiroh : Daarul Hadits, T.th).

Bukhari, Imam, Matan Sahih Al-Bukhori :Kitab Jum’ah, (Jiddah: al-Haramain, T.th).

Hajjaj, Abi Husain Muslim bin, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1992).

Hanbal, Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal,

(Beirut: A‟lama Al Kitab, 1998).

Humaidi, Al, Muhammad bin Futuh, Al-Jami’ Baina As-Shahihain Al-Bukhari wa

Muslim, (Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002).

Jauziyyah, Al, Ibnu Qayyim , Ahkam Ahlu al-Zimmah, (T.Tp : Dar al-Hadis, 2005).

Jaza‟iri, Al Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang

Muslim, Penerjemah: Andi Subarkah (Solo: Insan Kamil, 2008).

Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid,

(Jakarta: Amzah, 2005).

Kufi, Al, Abi Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Al Mushannaf Fi Al

Ahadits Wa Al Atsar, (Riyadh: Daar Al-Salafiyyah, 1409 H).

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002).

Muhaimin, Tadjab, ABD. Mudjib. Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya

Ab ditama, 1994).

Page 69: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

59

Muhammad, Jamȃl al-Dȋn „Athiyyah, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah

Shofiyullah (Bandung: Penerbit Marja, 2006).

Mulia, Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam

Islam. (T.tp: T.p., T.th).

Munawi, Al, Muhammad „Abd Ra‟uf, Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir (Beirut

Dar al- Ma‟rifah, 1408 H).

Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya

(Bandung : Remadja Karya Offset, 1989).

Rifa‟I, Al, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah

Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, T.th).

Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta:PT.Grafindo

Persada, 2008).

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Mengenal Lebih Jauh Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: T.p, 2001).

Shihab, M. Quraish, Kerukunan Beragama Dari Perspektif Negara, HAM, Dan

Agama-agama, (Jakarta: PT.MUI, 1996).

Sijistani, As, Sulaiman bin Al-Asy‟ats, Sunan Abu Daud (T.tp : Daar Fikr, T.th).

Suyuthi, As, Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin, Tafsir al-Jalâlain berikut

asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru

Algesindo, 1996).

Syamsudin, Din, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majlis Ulama Indonesia,

(Jakarta: T.p, 2001).

Sya‟rawi, Asy, M. Mutawalli, Anda bertanya islam menjawab. (Jakarta: Gema Insani

Press,1999).

Syinqithi, Asy, Muhammad Al-Amin, Adhwa’ Al-Bayan, (T,Tp.,T.p., T.th).

Syukur, Amin Pengantar Studi Islam, (Semarang : CV. Bima Sakti, 2003).

Shahih Muslim, Kitab As-Salâm, (Beirut al-Arabi : Daar Ihya, T.th ).

Page 70: HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM

60

Taymiyyah, Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm,

(Beirut: Dar El-Fikr, 2003).

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2002).

Ya‟qub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin :Tashawwuf dan

Taqarrub, (Jakarta: Atisa, 1992).

Fachrudin, Azis Anwar “Fatwa MUI, Atribut Natal dan Soal Kerukunan” diakses

pada 3 Mei 2017 dari http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/9939/fatwa-mui-atribut-

natal-dan-soal-kerukunan.html.

Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim”

diakses pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-

menggunakan-atribut-keagamaan-non-muslim.html.