Hukum Ekonomi Digital

392

Transcript of Hukum Ekonomi Digital

Page 1: Hukum Ekonomi Digital
Page 2: Hukum Ekonomi Digital

i

Hukum Ekonomi Digital

di Indonesia

Page 3: Hukum Ekonomi Digital

ii

Page 4: Hukum Ekonomi Digital

iii

Page 5: Hukum Ekonomi Digital

iv

HUKUM EKONOMI DIGITALDI INDONESIA

Dr. Danrivanto Budhijanto,SH., LL.M in IT Law, FCBArb.

Copyright ©2019

All right reserved

Cetakan Pertama,

Juli 2019

Diterbitkan oleh

LOGOZ PUBLISHING

Soreang Indah V-20

Bandung 40911

Telp/Fax 022-85874472 -

081322702828

[email protected]

Anggota IKAPI

Penyunting

Aep Gunarsa

Desain Sampul

Hendra Kurniawan

Katalog Dalam Terbitan

HUKUM EKONOMI DIGITALDI INDONESIA

Dr. Danrivanto Budhijanto,SH., LL.M in IT Law, FCBArb.

–Ed.1. –Cet. 1.– Bandung: Logoz Publishing, 20191 jil., xxiv + 366 hlm.; ilus.; 15 x 21 cm

ISBN 978-623-7416-01-2

© 2019.Isi buku sepenuhnyatanggung jawab penulis.Hak Cipta dilindungi olehundang-undang.

Hak Cipta dimiliki oleh penulis.

Dilarang memperbanyaksebagian atau seluruh isi bukuini dalam bentuk apa pun tanpaizin penulis dan penerbit.

Page 6: Hukum Ekonomi Digital

v

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita sekalian,

Senyampang masih relatif berusia muda, ranah digital kita

membutuhkan rambu-rambu. Mumpung belum keburu

karut-marut, ekonomi digital kita membutuhkan hanya

koridor yang baru.

Memang justru akibat kemudaan usianya, ranah digi-

tal ibaratnya masih seperti rimba belantara yang

cenderung gelap dan tak bertuan. Kita harus babat alas

untuk membuat akses jalan, atau melindungi diri dari

binatang buas yang mengancam keselamatan jiwa.

Namun bukan berarti tak ada cahaya sama sekali di

tepi belantara. Bukan berarti ada kekosongan hukum yang

memagari prakti-praktik ekonomi digital. Bukan berarti

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKAREPUBLIK INDONESIA

Page 7: Hukum Ekonomi Digital

vi

lantas yang berlaku adalah hukum rimba sepenuhnya.

Buku Hukum Ekonomi Digital di Indonesia karya Pak

Danrivanto Budhijanto ini adalah salah satu bukti bahwa

perkembangan ekonomi digital tetap dapat terwadahi

dasar-dasar hukum positif di Indonesia, terutama jika

hukum ekonomi yang mewadahinya dipahami secara

lebih progresif.

Apalagi pada dasarnya hukum dasar negara kita

adalah konstitusi dengan landasan filosofis Pancasila. Dari

Pancasila kita mendapatkan pegangan untuk segala jenis

praktik hidup bernegara kita. Bung Karno pernah menyata-

kan bahwa jika lima sila dari Pancasila itu diperas, maka

inti di dalamnya adalah semangat gotong royong. Sema-

ngat ini sangat relevan dengan ekonomi digital, baik dalam

tataran filosofis maupun praktis. Para unicorn kita

menunjukkan bahwa kolaborasi dan gotong royong

ternyata dapat juga dipraktikkan dalam ekonomi yang

serbadigital ini.

Selain berefleksi atas tatanan hukum ekonomi baku,

buku ini juga menyumbang secara lebih jauh dengan

memunculkan wacana baru tentang hukum ekonomi digi-

tal yang nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bekal

memahami berbagai permasalahan hukum yang mungkin

tanpa preseden sebelumnya. Dinamika perubahan digi-

tal akan membawa kepada dialektika hukum yang

mungkin akan selalu membutuhkan perubahan dalam

perjalanannya, terus menerus tanpa henti. Dalam konteks

itulah pentingnya kehadiran buku ini, yaitu dalam

Page 8: Hukum Ekonomi Digital

vii

menyumbang wacana dan mengisi celah akademis yang

diperlukan untuk saat ini.

Saya mengapresiasi jerih payah Pak Danrivanto untuk

menghadirkan karya yang tepat waktu ini, akan sangat

bermanfaat bagi perkembangan ekonomi digital di Tanah

Air.

Selamat membaca.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 14 Agustus 2019

Menteri Komunikasi dan Informatika

Republik Indonesia

Page 9: Hukum Ekonomi Digital

viii

Page 10: Hukum Ekonomi Digital

ix

“Bertambah pentingnya peranan teknologidi zaman modern ini bagi kehidupan manusiadan pengaruhnya terhadap kehidupan manusiadan lingkungan hidupnya menyebabkanbahwa faktor-faktor ini puntidak dapat diabaikan.”Mochtar Kusumaatmadja, 1976

Pengantar Penulis

Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revo-

lution (Revolusi Industri 4.0) telah membawa tantangan

baru terutama dalam ekonomi digital. G-2O pada Desem-

ber 2018 di Argentina telah memastikan kesepakatan

bersama dalam pemberdayaan ekonomi digital. 20 Lead-

ers’ Declaration Building Consensus For Fair And Sustain-

able Development dalam butir ke-9 dinyatakan bahwa:

“To maximize the benefits of digitalization and emerg-

ing technologies for innovative growth and produc-

tivity, we will promote measures to boost micro, small

and medium enterprises and entrepreneurs, bridge

the digital gender divide and further digital inclusion,

support consumer protection, and improve digital gov-

ernment, digital infrastructure and measurement of

the digital economy. We reaffirm the importance of

addressing issues of security in the use of ICTs. We

support the free flow of information, ideas and knowl-

Page 11: Hukum Ekonomi Digital

x

edge, while respecting applicable legal frameworks,

and working to build consumer trust, privacy, data

protection and intellectual property rights protec-

tion. We welcome the G20 Repository of Digital Poli-

cies to share and promote the adoption of innovative

digital economy business models. We recognize the

importance of the interface between trade and the

digital economy. We will continue our work on arti-

ficial intelligence, emerging technologies and new

business platforms.”

Wilayah Asia khususnya Negara-negara ASEAN

memiliki peran utama dalam peradaban ekonomi digital

sebagaimana terlihat dari data International Monetary

Fund (IMF) pada halaman berikutnya.

Ekonomi digital memiliki karakter yang masif dan

eskalatif karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi

informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh

maka dapat disebarkan data secara meluas dan berubah

dalam berbagai format dalam waktu yang singkat. Utilisasi

informasi dari ekonomi digital termasuk kegiatan

pengumpulan data (data collecting); penelisikan/pengaisan

data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data

(data behavior analyzing). Data dimaksud harus mampu

dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial

sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model

bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis aplikasi tidak

hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik

(e-commerce) maupun teknologi finansial (FinTech).

Page 12: Hukum Ekonomi Digital

xi

Page 13: Hukum Ekonomi Digital

xii

Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai

dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada

data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja

yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan. Hasil

dari Survei Global McKinsey 2017 menunjukkan bahwa

peningkatan pangsa korporasi yang menggunakan data dan

analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertum-

buhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan

yang berbasis model bisnis data memerlukan kombinasi

strategi, budaya, dan organisasi yang tepat. Perusahaan

melakukan monetisasi data (data monetizing, data capi-

talization) sebagai alat pertumbuhan finansial. Walaupun

masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan

dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah

berada di depan perusahaan-perusahaan yang lainnya.

Ekonomi digital memiliki potensi peningkatan eko-

nomi kerakyatan di Indonesia dengan 3 pilar “berbagi”

yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai

kepercayaan (trust sharing), dan berbagi pengetahuan (in-

tellectual sharing). Ekononomi kerakyatan adalah konsep

dalam upaya mengimplementasikan kedaulatan negara

(rakyat) di bidang ekonomi. Mubyarto merumuskan sistem

ekonomi yang berkeadilan sosial yaitu sistem ekonomi

nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

atas asas kekeluargaan, mengandung prinsip-prinsip

pemanfaatan hak milik yang merupakan anjuran atau

norma-norma perilaku manusia sebagai berikut:1

1 Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, (Jakarta:

LP3ES, 1987), hlm. 215-216.

Page 14: Hukum Ekonomi Digital

xiii

1. Memperhatikan dan mengutamakan kepentingan

negara dan kepentingan masyarakat;

2. Menempatkan kepentingan bersama di atas kepen-

tingan pribadi dan golongan;

3. Adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara

hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang

lain; dan

4. Tidak menggunakan hak milik pribadi untuk usaha-

usaha yang bersifat memeras orang lain, untuk hal-

hal yang bersifat pemborosan dan untuk kehidupan

yang bersifat mewah, atau perbuatan-perbuatan lain

yang bertentangan dengan dan merugikan kepen-

tingan umum.

Mubyarto merumuskan pula 5 (lima) agenda pokok

ekonomi kerakyatan sebagai berikut:2

1. Desentralisasi hak atas pengelolaan sumber-sumber

penerimaan negara kepada daerah;

2. Pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan

lahan pertanian kepada para petani penggarap

(landreform);

3. Reformasi koperasi dan pendirian koperasi-koperasi

sejati;

4. Pengembangan mekanisme persaingan yang

menjamin berlangsungnya persaingan usaha secara

sehat; dan

2 Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial,

(Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika, 2002), hlm. 3.

Page 15: Hukum Ekonomi Digital

xiv

5. Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progresif

sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi

penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di

tengah-tengah masyarakat, selain itu penerapan pajak

penghasilan dan kekayaan progresif itu juga diper-

lukan sebagai upaya untuk terus menerus membentuk

dana jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang

rentan.

Keadilan sosial tidak berdiri sendiri, namun mem-

punyai kaitan erat dengan keadilan hukum, politik, sosial,

dan ekonomi.3 Peran yang terus tumbuh dari platform

transportasi on-line, perdagangan on-line, pendidikan on-

line menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari

pentingnya peradaban digital ekonomi dalam mencapai

tujuan kesejahteraan umum. Pemerintah bersama eko-

sistem industri terus berupaya memperluas dan memper-

kuat sektor infrastruktur digital dan sumber daya talenta

digital. Pemerintah dengan “tol langit” memastikan sektor

infrastruktur digital sebagaimana dimuat dalam halaman

berikut.

Paradoks Teori Hukum tidak diketahui kapan dimulai-

nya namun yang pasti belum akan berakhir sampai

dengan hari ini yang telah memasuki Revolusi Industri

4.0 (Abad Digital Informasi). Terminologi Pa-ra-doks (n)

adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan

(berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran,

3 Mubyarto, op.cit., 1987, hlm. 206-207.

Page 16: Hukum Ekonomi Digital

xv

Page 17: Hukum Ekonomi Digital

xvi

tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.4 Trio teore-

tikus sepanjang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato

akan terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika

mereka masih bisa menjadi saksi hidup dari Revolusi

Industri 4.0. Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak

hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis,

sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah

mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat

mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat

pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan

teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel memberikan

ketegasan hal dimaksud sebelum membahas uraian

pemikirannya dalam History Lessons for a General Theory

of Law and Technology yaitu:5

“The marvels of technological advance are not al-

ways risk- free. Such risks and perceived risks often

create new issues and disputes to which the legal sys-

tem must respond.” (Dicetak tebal oleh Penulis)

C.F.G Sunaryati Hartono sebagai Ibu Hukum Eko-

nomi di Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa

dalam Teori Hukum dimuat istilah “Hukum Ekonomi”

merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda)

4 Pa-ra-doks (n) adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (ber-

lawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya

mengandung kebenaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI Dalam

Jaringan).

5 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law and

Technology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology, Vol.

8: 2, 2007, hlm. 551.

Page 18: Hukum Ekonomi Digital

xvii

atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian menu-

rut Sunaryati, pengertian atau konotasi Economisch Recht

di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law

di Amerika Serikat.6 Sunaryati Hartono memberikan suatu

pemahaman bahwa Hukum Ekonomi Pembangunan

adalah bagaimana peranan Pemerintah sebagai unsur

pembaharu dan pemberi arah kepada pembangunan

ekonomi itu lebih menonjol.7 Sunaryati menjelaskan pula

Hukum Ekonomi Sosial tekanannya adalah pada pem-

bagian pendapatan nasional secara adil dan merata,

memelihara, dan meningkatkan martabat kemanusiaan

manusia Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi

dimaksud.8 Perkembangan teknologi informasi yang

berbasis infrastruktur digital di Indonesia menjadikan

pemahaman teoritikal dan praktikal Sunaryati tentang

Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Eko-

nomi Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah kese-

luruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang

secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi

digital di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital.

Hukum Ekonomi Digital didekati dan dibahas melalui

pendekatan teori hukum, legislasi, dan regulasi sehingga

dapat dicapainya tujuan masyarakat informasi di Indone-

sia yang bersumber kepada Pancasila dan berdasar

6 C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,

Binacipta-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman,

Bandung, 1988, hlm. 45-46.

7 Id.

8 Id.

Page 19: Hukum Ekonomi Digital

xviii

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hukum Ekonomi

Digital adalah platform untuk mengantisipasi percepatan

pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pemanfaatan

infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan

inovasi teknologi informasi yang masif. Buku ini diawali

dengan pemahaman Teoretikal Hukum Ekonomi Digital

yaitu teori hukum ekonomi digital; hukum, legislasi dan

regulasi; asas-asas hukum ekonomi digital; kaidah dan

norma hukum ekonomi digital; dan institusionalisasi

hukum ekonomi digital. Pembahasan berikutnya adalah

Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0

(konsepsi keadilan, konsepsi kepastian hukum, konsepsi

ketertiban, konsepsi kemanfaatan); kemudian Fungsi

Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 (per-

sonal, sosial,transaksional, nasional dan global); dan Peran

Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 serta

ditutup dengan pembahasan tentang Legislasi dan

Regulasi Ekonomi Digital Indonesia yaitu revolusi finansial

digital dan Big Data; transaksi finansial dalam yurisdiksi

virtual; dan regulasi teknologi finansial (fintech) di Indo-

nesia.

Buku ini merupakan bentuk syukur dan penghargaan

untuk seluruh ilmu pengetahuan dari para mahaguru

Penulis, terutamanya dalam memahami cyberlaw dan tek-

nologi informasi serta hukum ekonomi di Indonesia yaitu

Prof. Dr. Mieke Komar Kantaatmadja, Prof. Dr. E. Saefullah

Wiradipradja, Prof. Dr. C.F.G Sunaryati Hartono, Prof.

Dr. Ahmad Ramli, Dr. Budi Rahardjo, dan Dr. Dimitri

Mahayana.

Page 20: Hukum Ekonomi Digital

xix

Materi-materi yang disusun dan dimuat dalam Buku

ini didasarkan kepada rujukan dari tulisan-tulisan ilmiah

berbentuk buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian, kamus

dan karya tulis lain termasuk naskah akademik, baik dalam

format cetak maupun virtual dimana seluruh Hak Cipta

yang melekat sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang

bagi para penulisnya.

Buku ini tentu tidak akan pernah dapat terwujud

dengan tanpa izin dan ridha Allah SWT karenanya dihatur-

kan terima kasih dan penghargaan bagi seluruh pihak yang

dengan telah ikhlas membantu dengan tulus. Namun

izinkan Penulis secara khusus menghaturkan terima kasih

atas kebaikan dan bantuan yang luar biasa kepada Aep

Gunarsa sebagai Editor dan Hendra Kurniawan sebagai

Desainer Sampul. Penulis haturkan pula terima kasih

kepada Penerbit LoGoz.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Buku ini

hanyalah sebagian kecil dari keinginan untuk memahami

samudera ilmu-Nya Yang Maha Luas oleh karenanya

kekurangan adalah suatu kenyataan. Besar harapan dari

Penulis bahwa saran dan masukan dapatlah diberikan

sebagai upaya untuk lebih meningkatkan pemahaman atas

kebesaran dan keimanan kepada Allah SWT.

Bandung, Juni 2019

Danrivanto Budhijanto

Page 21: Hukum Ekonomi Digital

xx

Page 22: Hukum Ekonomi Digital

xxi

KATA PENGANTAR MENTERI KOMUNIKASI

DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

RUDIANTARA ........................................................ v

PENGANTAR PENULIS ......................................... vii

BAB I

TEORETIKAL HUKUM EKONOMI

DIGITAL DI INDONESIA ......................................... 1

A. Teori Hukum Ekonomi Digital ......................... 17

B. Hukum, Legislasi dan Regulasi ........................ 26

C. Asas-Asas Hukum Ekonomi Digital .................. 31

D. Kaidah dan Norma Hukum Ekonomi Digital .... 36

E. Institusionalisasi Hukum Ekonomi Digital ......... 44

BAB II

HUKUM EKONOMI DIGITAL

DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0 ........................ 55

Senarai Isi

Page 23: Hukum Ekonomi Digital

xxii

A. Hukum Ekonomi Digital

dalam Revolusi Industri 4.0 ............................. 60

1. Konsepsi Keadilan .................................... 79

2. Konsepsi Kepastian Hukum ...................... 89

3. Konsepsi Ketertiban.................................. 92

4. Konsepsi Kemanfaatan ............................. 94

B. Fungsi Hukum Ekonomi Digital

dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 104

1. Fungsi Personal ...................................... 108

2. Fungsi Sosial .......................................... 113

3. Fungsi Transaksional .............................. 123

4. Fungsi Nasional dan Global.................... 125

C. Peran Hukum Ekonomi Digital

dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 128

BAB III

LEGISLASI DAN REGULASI

EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA ................... 145

A. Revolusi Finansial Digital dan Big Data .......... 146

B. Regulasi Teknologi Finansial (FinTech)

di Indonesia ................................................. 158

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor

19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan

Teknologi Finansial ................................ 162

2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur

Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang

Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox)

Teknologi Finansial ................................ 166

Page 24: Hukum Ekonomi Digital

xxiii

3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur

Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata

Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi,

dan Pemantauan Penyelenggara

Teknologi Finansial ................................ 170

4. Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018

tentang Inovasi Keuangan Digital

di Sektor Jasa Keuangan.......................... 172

SENARAI PUSTAKA ............................................ 177

GLOSARIUM ...................................................... 191

INDEKS .............................................................. 197

LAMPIRAN

I. UU No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan TransaksiElektronik ...... 209

II. UU No. 19 Tahun 2016 tentangPerubahan

AtasUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ..... 249

III. Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017

tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial .. 271

IV. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor

19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba

Terbatas (Regulatory Sandbox)

Teknologi Finansial ....................................... 297

Page 25: Hukum Ekonomi Digital

xxiv

V. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor

19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara

Pendaftaran, Penyampaian Informasi,

dan Pemantauan Penyelenggara

Teknologi Finansial ....................................... 317

VI. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan

Digital di Sektor Jasa Keuangan ..................... 333

Page 26: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

1

BAB 1

TEORETIKAL HUKUM EKONOMI

DIGITAL DI INDONESIA

“Tampaklah bahwa tidak hanya bidang Ekonomi harus

ditangani secara konseptual, sistemik dan profesional, tetapi

bidang Hukum Ekonomi pun mau tidak mau juga harus dipelajari,

ditekuni, dibahas dan dikembangkan secara konseptual, sistemik

dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan

kebijaksanaan dan pengambilan keputusan

di bidang ekonomi.”

C.F.G Sunaryati Hartono, 2003

Page 27: Hukum Ekonomi Digital

2

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pemikiran berkaitan Hukum dan Ekonomi (Law and Eco-

nomics) mulai muncul secara global sebagai pandangan

para ahli pada awal 1970-an, ketika sejumlah para ahli

hukum dan ekonomi mengembangkan suatu metodologi

‘baru’ dan teori Yurisprudensial dengan mempergunakan

analisis ekonomi terhadap hukum. Pemahaman ‘baru’

tentang Hukum dan Ekonomi pada awal 1970-an dimak-

sudkan sebagai kerangka teoretis baru untuk secara sis-

tematis menggambarkan dan memformulasikan putusan

hakim dan pengambilan keputusan di tatanan hukum.

Pendirian utama yang baru dalam Hukum dan Ekonomi1

adalah terhadap suatu putusan hakim secara umumnya

dapat dilakukan penelitian dan jika perlu diperbaiki sesuai

dengan penerapan konsep ekonomi yang fundamental.2

Pertentangan dan perbedaan terjadi pula antara para

pemikir aliran Hukum dan Ekonomi yaitu antara penganut

1 Pemahaman awal berkenaan dengan topik Hukum dan Ekonomi dimulaidari pemahaman the ‘old’ law and economics dan the ‘new’ law andeconomics. Pemahaman “the old law and economics” berkaitan dengananalisis ekonomi terhadap hukum persaingan usaha, hukum perpajakandan hukum korporasi, yang memiliki permasalahan-permasalahan men-dasar dengan bagaimana indikator-indikator ekonomi memberikanpengaruh terhadap pengaturan atau regulasi dan penerapannya dalampasar. Lihat Posner, The Economic Analysis of Law (3d ed. 1986). Pada‘the new lawand economics’ lebih menerapkan kepada analisis ekonomiterhadap pengaturan ‘common law’ seperti hukum kontrak, hukum kepe-milikan dan tort, dimana relevansi ekonomi lebih kecil keterkaitannya.Lihat Posner, “The Economic Approach to Law”, 53 TEX. L. REV. 757(1975). Perbedaan antara “new and old versions of law and economics”muncul pada saat praktisi-praktisi hukum akan menerapkan dalamkegiatan mereka. Lihat P. Areeda and D. Turner, Antitrust Law: An Analysisof Antitrust Principles and Their Application (Vols. 1-8) (1986).

2 Karya tulisan yang paling maju dan berpengaruh terhadap diperkenal-kannya analisis ekonomi untuk diterapkan dalam hukum adalah dariPosner yaitu bukunya The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed.1986.

Page 28: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

3

ortodoks dan penganut pembaharuan. Posisi pemikiran

penganut ortodoks Hukum dan Ekonomi dikembangkan

melalui satu metodologi dasar berdasarkan pada perspektif

ekonomi dari Chicago School.3 Chicago School adalah

‘hardliners’ yang merupakan para pelopor (the founding

fathers) pada 1970-an dan awal 1980-an yang mendorong

dengan kuat suatu hipotesis tentang law-and-efficiency.

Hipotesis dimaksud secara normal dihubungkan dengan

pandangan dari Judge Richard A. Posner yang menyatakan

bahwa common law merupakan suatu wahana utama untuk

menciptakan dan mendorong efisiensi, hal mana oleh

Posner diberikan ungkapan ‘wealth maximization’.4 Pende-

katan dimaksud mendasarkan kepada premis argumentasi

bahwa struktur dari common law pada hakikatnya dimak-

sudkan untuk memaksimalkan nilai hukum/keputusan

hakim agar dapat diperhitungkan dengan mata uang (dollar).5

Pada pertengahan tahun 1980-an, pengaruh dari

Chicago School mencapai puncaknya.6 Generasi baru dari

3 Lihat Minda, “The Lawyer-Economist at Chicago: Richard A. Posner“The Economic Analysis of Law”, 39 OHIO ST. L.J. 439, 462 (1978); R.Posner, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed. 1986; R. Posner,The Economics of Justice, Harvard, 1981. Lihat pula Minda, “The Lawand Economics and Critical Legal Studies Movements in American Law”,sebagaimana dimuat dalam Law and Economics 87 (N. Mercuro ed.1989).

4 Posner, “Utilitarianism, Economics, and Legal Theory”, 8 J. LEGAL STUD.103 (1979)

5 Lihat R. Posner, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed. 1986,hlm. 20-22.

6 Lihat Richard Posner, “Wealth Maximization and Judicial Decision mak-ing”, 4 INT’L. REV. L. & ECON. 131 (1984); Posner, “The Ethics of WealthMaximization: Reply To Malloy”, 36 KANSAS L. REV. 261, 263 (1988).Lihat pula Greenwalt, “Discretion and Judicial Decision: The ElusiveQuest for the Fetters That Bind Judges”, 75 COLUM. L. REV. 359 (1975).

Page 29: Hukum Ekonomi Digital

4

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Hukum dan Ekonomi telah muncul, mereka memiliki ‘jarak’

pemikiran dengan penganut ortodoks dari Chicago School

dan mulai mengembangkan metodologi alternatif untuk

mendekati analisis ekonomi terhadap hukum (economic

analysis of law).7 Para pemikir Hukum dan Ekonomi

bersepakat bahwa analisis efisiensi dari ekonomi adalah

‘suatu jalan keberhasilan’ untuk memahami perilaku

hukum, namun banyak praktisi saat ini menolak pema-

haman dimaksud karena ‘efisiensi’ tidaklah harus dianggap

sebagai satu-satunya norma hukum yang terkait dengan

keputusan hakim pada common law.8

Perkembangan terakhir, bahkan telah muncul lagi

generasi baru kedua dari para pemikir Hukum dan Ekonomi

yang lebih baru pemikirannya dan dikenal dengan ‘genu-

inely reformist law and economics’. Mereka berpendapat

bahwa tidak seharusnya aturan-aturan hukum hanya men-

dasarkan kepada efisiensi semata baik yang menerimanya

ataupun yang menolaknya, namun perlu juga diarahkan

kepada eksaminasi terhadap hukum publik dan justifikasi

normatifnya.9 Para pemikir dari generasi baru kedua Hukum

dan Ekonomi telah membantu untuk pada akhirnya

7 Leff, “Economic Analysis of Law: Some Realism About Nominalism”, 60VA. L. REV. 451 (1974) dan Ulen, “Law and Economics: Settled IssuesAnd Open Questions”, Law and Economics210 (N. Mercuro ed. 1989).

8 Lihat Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”,Law and Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 210 dan R. Cooter& T. Ulen, Economics of Law (1988).

9 Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”, Lawand Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 253.

Page 30: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

5

menetapkan suatu gerakan “liberal school of law and eco-

nomics” yang New Haven atau Reformist School.10

Generasi terkini dari mazhab Hukum dan Ekonomi lebih

cenderung untuk menahan diri terhadap fungsionalisasi dari

peran ekonomi terhadap hukum dan lebih sedikit menerima

orientasi konservatif dari para pelopor Chicago School.11

Beberapa hal berkenaan dengan metodologi telah dicapai

kesepakatan, seperti antar lain bahwa klaim dimana teori

ekonomi mikro adalah satu basis untuk menganalisis

hukum; analisis manfaat-biaya (cost-benefif) dan definisi

ekonomi untuk biaya (opportunity cost) adalah penting

untuk dipahami bagi para pembuat keputusan yang bijak.

Para pemikir dari generasi kedua Hukum dan Ekonomi telah

beralih dari pemikiran ortodoks terhadap ‘efisien’ bahwa

hal dimaksud bertanggungjawab kepada hampir setiap

permasalahan hukum, dan sebagai gantinya mereka mene-

gaskan bahwa ‘permasalahan-permasalahan hukum dan

ekonomi’ tetap masih terbuka untuk selalu ada hingga jangka

waktu panjang.12

Generasi Kedua para pemikir Hukum dan Ekonomi juga

lebih berwawasan luas secara teoretis serta jauh lebih

canggih dibandingkan para pelopor (founding fathers)

Hukum dan Ekonomi.13 Generasi baru Hukum dan Eko-

nomi telah mengembangkan teori ekonomi mikro yang

10 Fiss, “The Death of the Law?”, 72 CORNELL L. REV. 1 (1986); Kornhauser,“The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349 (1984).

11 Rose-Ackerman, “Inalienability and The Theory of Property”, 85 COLUM.L. REV. 931 (1985) .

12 Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”, Lawand Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 224-225.

13 Ibid.

Page 31: Hukum Ekonomi Digital

6

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menjanjikan sesuatu yang lebih realistis, namun demikian

tetap diperlukan pemahaman yang jelas atas hal-hal terkait

dengan birokrasi, institusional dan konteks keterhubungan

transaksi modern, hubungan hukum, dan putusan hakim.

Teori Baru berkenaan keterhubungan perjanjian dan peri-

laku strategis diusulkan untuk dimodifikasi atau menggan-

tikan model yang statis serta asumsi teori ekonomi mikro

neoklasikal yang digunakan oleh para praktisi Chicago

School.14

Sebuah kelompok baru dari para pemikir Public Choice

pada gilirannya menawarkan pula suatu teori untuk pema-

haman ekonomi atas hukum menurut undang-undang serta

perilaku dari pembuat undang-undang.15 Pemikir Hukum

dan Ekonomi dari New Haven School,16 menyatakan

bahwa visi penganut pembaharuan pemikiran berkenaan

digunakannya analisis ekonomi untuk mempertahankan

berbagai konsepsi liberal terhadap hukum dan putusan

hakim.17 Pada kenyataannya, mazhab Hukum dan

Ekonomi telah tumbuh untuk meliputi sejumlah besar

14 Lihat Goetz & Scott, “Principles of Relational Contracts”, 67 VA. L. REV.1089 (1981); MacNeil, “Contracts: Adjustments of Long-Term EconomicRelations Under Classical, Neoclassical, and Relational Contract Law”,72 NW. U.L. REV. 854 (1978); dan O. Williamson, The Economics ofDiscretionary Behaviour: Managerial Objectives in a Theory of the Firm(1964).

15 M. Olsen, The Logic of Collective Action (1965) sebagaimana pula dimuatdalam “Symposium on the Theory of Public Choice”, 74 VA. L. REV. 167(1988); Easterbrook, “Statutes Domain”, 50 U. CHI. L. REV. 533 (1983);Posner, “Economics, Politics and the Reading of Statutes and the Consti-tution”, 49 U. CHI. L. REV. 262 (1982).

16 Fiss, “The Death of the Law?” 72 CORNELL L. REV. 1 (1986); Kornhauser,“The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349 (1984).

17 Roberto Unger, The Critical Legal. Studies Movement12 (1983).

Page 32: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

7

perspektif teoretis yang divergen terhadap konsepsi normatif

tentang hukum dan putusan hakim.

Walaupun mazhab Hukum dan Ekonomi telah menga-

lami dinamika pemahaman yang berbeda secara teori dan

perspektif, namun ada beberapa pemahaman yang sama

dan sejalan dari para pemikir Hukum dan Ekonomi. Lewis

Kornhauser, seorang pemikir dari generasi kedua Hukum

dan Ekonomi, telah mengidentifikasikan empat persamaan

pernyataaan pemikiran dari ‘corpus’ mazhab Hukum dan

Ekonomi yaitu:

(1) suatu ‘pernyataan tingkah laku’ (behavioral claim) yang

menyatakan bahwa teori ekonomi dapat menyediakan

suatu teori yang bagus untuk menggambarkan/

memprediksikan bagaimana orang akan bertindak

berdasarkan suatu aturan hukum;18

(2) suatu ‘pernyataan normatif’ (normative claim) yang

menyatakan bahwa ‘hukum haruslah mampu untuk

efisien;19

(3) suatu ‘pernyataan fakta atau positif’ (positive claim) yang

menyatakan bahwa dalam common law terdapat

hukum yang sesungguhnya sudah efisien;20 dan

18 Lihat Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349(1984); Minow, “Law Turning Outward”, 73 TELOS 79 (1986); Posner,“The Decline of Law as an Autonomous Discipline: 1962-1987”, 100HARV. L. REV. 761 (1987); Sunstein, “Feminism and Legal Theory”, 101HARV. L. REV. 826 (1988); West, “Jurisprudence and Gender”, 55 U.CHI. L. REV. 1 (1988); White, “Economics and Law: Two Cultures inTension”, 54 TENN. L. REV. 161 (1986).

19 Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349(1984) hlm. 354.

20 Ibid.

Page 33: Hukum Ekonomi Digital

8

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(4) suatu ‘pernyataan genetik’ (genetic claim) yang menya-

takan bahwa common law cenderung untuk memilih

aturan yang efisien, walaupun tidak setiap aturan akan

efisien di setiap waktu.21

Berdasarkan pendapat dari Kornhauser bahwa setiap

bagian dari hukum dan ekonomi adalah melekat baik secara

tegas maupun implisit, terhadap satu atau lebih dari per-

nyataan yang secara logika berbeda.22 Kornhauser mengi-

dentifikasikan bahwa hanya para pelopor dari Chicago

School yang mengadopsi hipotesis ‘law-and-efficiency’ dan

menganut keempat pernyataan Hukum dan Ekonomi

dimaksud di atas. Para pemikir mazhab Hukum dan

Ekonomi menerima ‘pernyataan tingkah laku’ dimana

individu memberikan reaksi secara rasional terhadap insentif

dan aturan hukum yang mempengaruhi perilaku. Karena

para pemikir dimaksud telah menguji bahwa ‘pernyataan

normatif’ mengidentifikasikan adanya keterkaitan antara

perilaku yang efisien dengan dipilihnya aturan-aturan yang

diterapkan’,23 mereka menggunakan ‘pernyataan tingkah

laku’ untuk mengidentifikasikan hukum yang mempe-

ngaruhi perilaku efisien. Bagi mereka, proses peradilan oleh

hakim merupakan ‘latihan’ terkait antar lain dengan analisis

manfaat (cost and benefit analysis), transaksi biaya pengu-

rangan (transaction cost reduction), pengkajian risiko (risk

assessment), dan maksimalisasi kekayaan (wealth maxi-

21 Id, hlm. 355.22 Id, hlm. 353.23 Id, hlm. 354.

Page 34: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

9

malization). Seperti dalam perspektif ekonomi bahwa

ditempatkannya para juri dalam peran ‘social engineer’

(pengubah masyarakat) dengan tujuan berbeda terhadap

pembentukan hak dan kewajiban dengan memperhatikan

alokasi sumber daya yang efisien.24

Pernyataan Positif dan Pernyataan Genetik Hukum dan

Ekonomi yang diidentifikasikan oleh Kornhauser meng-

gambarkan posisi dari penganut Chicago School, yang

memandang ‘common law’ sebagai sebuah sistem dari

aturan yang berdasar kepada fakta atau secara alamiah

(genetika) memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi

perilaku efisien berdasarkan hukum.25 Perspektif hukum

dasar mereka adalah suatu produk pandangan dunia yang

mengejar kebenaran tentang hukum di dalam satu para-

digma yang mengevaluasi hukum berdasarkan ukuran

standar yang universal, seperti ‘wealth maximalization’.

Untuk penganut pemahaman dimaksud maka hipotesis ‘law-

and-efficiency’ adalah suatu prinsip organisasional yang

menyeluruh untuk pemahaman terhadap sifat alami

hubungan hukum.26

Para pemikir dari generasi kedua mazhab Hukum dan

Ekonomi, bagaimanapun juga tetap menolak efisiensi

berdasarkan ‘pernyataan normatif’ dan ‘pernyataan genetik’

yang diidentifikasikan oleh Kornhauser atau walau

pernyataan-pernyataan dimaksud merupakan hal yang

24 Berbeda dengan konsepsi Roscoe Pound tentang social engineering,sebagaimana dimuat dalam “A Survey of Social Interest”, 57 HARV. L.REV. 1 (1943).

25 Kornhauser, Loc.Cit.26 White, Op Cit, hlm.168.

Page 35: Hukum Ekonomi Digital

10

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

persuasif.27 Sementara generasi terbaru dari mazhab Hukum

dan Ekonomi mengadopsi ‘pernyataan positif’ tentang

analisis ekonomi terhadap hukum, dengan cara yang

berbeda sebagaimana yang sebelumnya diidentifikasikan

oleh Kornhauser. Mereka hanya mengakui bahwa suatu

aturan hukum hanya dapat diuji dengan menggunakan teori

ekonomi mikro,28 dan istrumen-instrumen (tools) dari teori

ekonomi mikro akan menyediakan penjelasan atas hukum

dan perkiraan konsekuensi dari penerapan hukum itu

sendiri.29 Pernyataan Positif yang dianut oleh para pemikir

generasi terbaru Hukum dan Ekonomi nampak bersahaja,

karena mereka hanya berasumsi bahwa hukum dapat dipa-

hami sebagai sebuah sistem yang rasional dari perilaku

berbasis pada kepentingan ekonomi. Sebagai ganti daripada

mengadopsi hipotesis law-and-efficiency, para pemikir ini

menganut hipotesis bahwa ‘hukum adalah rasional’ (law is

rational).30

Karena hal tersebut maka satu-satunya pernyataan yang

diidentifikasikan oleh Kornhauser sebagai karakter meto-

dologi dominan pada pergerakan Hukum dan Ekonomi hari

ini adalah ‘pernyataan tingkah laku’ (bevavioral claim).31

Pernyataan dimaksud disetujui oleh seluruh generasi

mazhab Hukum dan Ekonomi untuk kunci dalam mema-

hami pandangan rasional sebagai instrumen kalkulasi yang

27 Rose-Ackerman, Op Cit, hlm. 237 dan Ulen, Op Cit, hlm. 210.28 Ulen, Loc Cit.29 R. Cooter & T. Ulen, Op Cit, hlm. 11.30 ‘The fundamental hypothesis of the economic analysis is that law is

rational.’31 Kornhauser, Op Cit, hlm. 29.

Page 36: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

11

lebih tajam antara kemanfaatan dan biaya perseorangan (in-

dividual cost and benefit) serta mengevaluasi hubungan

hukum dalam berbagai sistem aturan. Pernyataan tingkah

laku terhadap ekonomi menetapkan konsensus pandangan

bahwa ‘hukum adalah rasional dan karenanya dapat

dianalisis oleh konsepsi ekonomi’.32 Semua penganut dari

mazhab Hukum dan Ekonomi mempercayai bahwa aturan

hukum memiliki kemiripan dengan ‘harga’ dan para subjek

hukum adalah individu yang rasional sempurna untuk

memperhitungkannya.33

Jika ada perbedaan pemikiran secara ideologis terhadap

mazhab Hukum dan Ekonomi maka hal dimaksud bukan-

lah perspektif konservatif dari Chicago School atau hipotesis

‘law-and-efficiency’. Pemahaman atau ideologi dari per-

gerakan Hukum dan Ekonomi dapat dengan baik diterang-

kan hari ini sebagai kaitan dengan suatu pandangan dunia

tertentu yang berasumsi bahwa rasionalitas dan kepentingan

ekonomi membentuk satu prinsip universal yaitu untuk

32 R. Cotter & T. Ulen, Op Cit, hlm. 12.33 Kornhauser, Op Cit, hlm 353, dimuat “Thus, a liability rule, which im-

poses costs on individuals for various actions, may be seen as setting theprice for engaging in those activities”. Lihat pula R. Cooter & T. Ulen, OpCit, hlm. 11; dimuat “the rule that gift promises are generally unenforce-able raises the implicit price to those who truly wish to make such apromise and also raises the price of taking action in reliance on such apromise’s being fulfilled; the rule that grants an exclusive property right,good against the world, to the person who authors an original novellowers the costs to the author of defending her work against expropria-tion and thereby induces her to expend additional resources in writing;the rule that imposes liability on some who fail to take a reasonableamount of precaution raises the price of being careless and therebyincreases the amount of precuation consumed.”

Page 37: Hukum Ekonomi Digital

12

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

memahami hukum dan putusan hakim.34 Pernyataan

Tingkah Laku dan Pernyataan Positif dari generasi kedua

Hukum dan Ekonomi mengamati pandangan dimaksud

bahwa hukum dan dunia sosial yang lebih besar mungkin

dapat dipahami sebagai sebuah sistem perilaku rasional,

yang kadang dipengaruhi oleh impuls ke arah efisiensi dan

kadang juga tidak pada lain waktu, namun selalu berda-

sarkan kepada suatu hasil yang memiliki tujuan. Berdasarkan

cara dimaksud, ajaran ‘hukum adalah rasional’ mengkarak-

terisasi suatu pandangan dunia tertentu dengan berbasis

pada kepercayaan yang universal, pengetahuan yang

objektif tentang sesuatu yang membentuk motivasi indi-

vidual.35

Dalam ruh dari paham positivisme logis (logical posi-

tivism), para ahli hukum tetap memelihara suatu perspektif

tentang dunia yang mengasumsikan kebutuhan atas sesuatu

yang abstrak, universal, dan rasional.36 Terminologi yang

34 Kelman, “Misunderstanding Social Life: A Critique of the Core Premisesof ‘Law and Economics’”, 33 J. LEGAL EDUC. 274 (1983); Peller, “Themetaphysics of American Law”, 73 CALIF. L. REV. 1151, 1268 (1985).

35 Roberto Unger, “The Critical Legal Studies Movement”, Harvard LawReview, January 1983 menyatakan ‘the belief that the authoritative legalideas-embody and sustain a defensible scheme of human association.’dan ‘laws are not merely the outcome of contingent power struggles or ofpractical pressures lacking in rightful authority.’

36 R. Posner, The Economic Analysis of Law dinyatakan bahwa ‘But it is truethat the assumptions of economic theory are one-dimensional and pal-lid when viewed as descriptions of human behavior .... However, ab-straction-reductionism if you like-is of the essence of scientific inquiry.’Lihat pula Sen, “Rational Foolds: A Critique of Behavioral Foundations ofEconomic Theory”, 6 PHIL. & PUB. AFF. 317; Fletcher, “Fairness andUtility and Tort Theory”, 85 HARV. L. REV. 537 (1972); Tribe, “PolicyScience: Analysis or Ideology?”, 2 PHIL. & PUB. AFF. 66 (1972); Tribe,“Technology Assessments and the Fourth Discontinuity: The Limits ofInstrumental Rationality”, 46 S. CAL. L. REV. 617 (1973).

Page 38: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

13

dipergunakan oleh gerakan Hukum dan Ekonomi melan-

jutkan pemahaman itu bahwa untuk mengasumsikan agar

analisis hukum dapat terus berproses maka diperlukan

penelitian ilmiah atas fenomena yang kompleks dan abstrak

untuk disederhanakan sebagai hukum yang universal.

Perspektif dimaksud dapat dipahami sebagai suatu standar

yang bisa diterima untuk menganalisis suatu argumentasi

hukum.37 Diasumsikan bahwa seorang pengacara mampu

menemukan suatu basis yang secara relatif stabil untuk

memberikan justifikasi terhadap akibat hukum dengan

proposisi universal tentang hukum, terlepas dari spekulasi

tentang motivasi ekonomi dari individu-individu yang

homogen. Hipotesis ‘hukum adalah rasional’ menjadi dapat

diterima sebagai jalan keluar permasalahan untuk men-

standarkan analisis terhadap suatu argumentasi hukum.38

Tidak seperti para ahli hukum tradisional yang mem-

fokuskan penelitian mereka lebih kepada hukum yang

tertulis (legal texts), para ahli hukum dari mazhab Hukum

dan Ekonomi melihat dari luar hukum yang tertulis dalam

mengembangkan perkiraan ekonomi yang berbasis rasio-

nalitas terhadap kepentingan murni dari subjek hukum pada

saat dihadapkan oleh kekuatan memaksa dari hukum yang

37 Berdasarkan Hukum dan Ekonomi maka argumentasi hukum harusdinilai sebagai putusan yang didasarkan kepada logika yang dapatdiperkirakan dan dinyatakan pendekatan konseptual dalam Hukum danEkonomi.

38 Frug, Argument, Op Cit, hlm. 872, dinyatakan bahwa ‘Argument as Char-acter ... involves examining the elements of [legal argument] such asfacts, precedents and principles, not in terms of how they support theargumet’s conclusion but in terms of how they form attitudes or induceactions in others.’

Page 39: Hukum Ekonomi Digital

14

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

mengatur atau memerintah.39 Hampir keseluruhan dari

penganut mazhab Hukum dan Ekonomi, selalu menyer-

takan variabel “kenaifan” ke dalam penelitian mereka seba-

gai bentuk pemahaman dari Pernyataan Tingkah Laku yang

berasumsi bahwa kekuatan memaksa dari hukum yang

mengatur atau memerintah tidak mempunyai efek terhadap

struktur pilihan dasar dari para subjek hukum.40 Dalam

menitikberatkan konsekuensi dari perilaku yang berda-

sarkan hukum, maka mazhab Hukum dan Ekonomi menem-

patkan lebih sedikit perhatian terhadap konsep hukum atas

hak (rights) sebagai suatu kerangka normatif untuk mene-

tapkan kewajiban-kewajiban korelatif (correlative duties) dan

sebagai gantinya menitikberatkan pada konsekuensi tingkah

laku dari berbagai kumpulan aturan hukum. Sebagai akibat-

nya, ‘hak dan kewajiban-kewajiban korelatif’ dimaksud tidak

lagi dapat menjadi pemegang utama dalam analisis ekonomi

terhadap hukum.41

Kekuatan ekonomi baru telah menjadikan para ahli

hukum untuk membuat satu pergeseran dalam perspektif ana-

lisis mereka ke arah perspektif normatif dari rasionalitas baru,

dimana terjadi re-karakteristik fakta yang menurut hukum

relevan sebagai permasalahan normatif terhadap kerangka

biaya dan manfaat dalam konteks sempit dari teori ekonomi

mikro.42 Pergeseran dalam perspektif analisis telah memung-

kinkan ahli teori hukum untuk melakukan restrukturisasi

39 Kornhauser, Op Cit, hlm. 34 dan Ulen, Op Cit, hlm. 211.40 Lihat Kornhauser, Op Cit, hlm. 43-44.41 Id, hlm. 31.42 Gjerdingen, “The Coase Theorem and the Psychology of Common Law

Thought”, 56 S. CAL. L. REV. 711 (1983).

Page 40: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

15

kategori hukum dalam cara yang fundamental. Para ahli

hukum memanfaatkan pemahaman yang mendalam dari ahli

hukum-ekonomi yang berpendapat bahwa subjek yang

nampaknya tidak bertalian, seperti dalam kontrak, hukum

benda, keperdataan, dan hukum pidana dapat diteliti dari

suatu perspektif yang lebih universal. Para ahli hukum dapat

mengakui bahwa perkara penipuan surat-surat berharga

tidaklah kemudian menjadi sama tingkatannya dengan

perkara gangguan yang disebabkan oleh polusi udara.43

Mazhab Hukum dan Ekonomi juga menawarkan suatu

pendekatan baru kepada para ahli hukum. Para penganut

mazhab Hukum dan Ekonomi berpendapat dimana

perlunya para ahli hukum harus berkonsentrasi pada

perumusan dan kemudian menguji ‘falsifiable’, terkait

dengan penyelundupan hukum terkait kehidupan sosial.44

Pendekatan yang mendasar digunakan untuk menjadikan

hukum sebagai sesuatu yang mungkin dapat dipelajari dan

dipahami sebagai suatu ‘ilmu pengetahuan’ (science).

Sementara itu para pemikir hukum dan ekonomi memahami

bahwa para pemikir hukum tradisional telah rancu dalam

melakukan pendekatan dan metodologinya, mereka ber-

pendapat bahwa justifikasi berkenaan dengan doktrin

hukum saat ini dimungkinkan karena adanya analisis

ekonomi. Sementara itu hanya para pelopor Chicago School

43 Ackerman, Op Cit, hlm. 59 dinyatakan bahwa ‘While a layman mightthink that there is almost nothing in common between, say, the problemsraised by securities fraud and those raised by air pollution, a commonexternality analysis makes it possible for lawyers in one field to learn fromthe regulatory experience in the other.’

44 Lihat Tushnet, “Legal Scholarship: Its Causes and Cure”, 90 YALE L.J.1205, 1211 (1981).

Page 41: Hukum Ekonomi Digital

16

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

berpendapat bahwa prinsip maksimalisasi kekayaan (wealth

maximization) dapat mengandaskan analisis hukum, semua

penganut mazhab Hukum dan Ekonomi percaya bahwa

hakim mampu memahami perilaku rasional sebagai sebuah

standar universal untuk mengkaji hukum ‘secara objektif.’

Hakikat mazhab Hukum dan Ekonomi adalah untuk

menyediakan suatu metode universal dalam mencapai

suatu pemahaman menyeluruh dari permasalahan-perma-

salahan hukum.45

Jika analisis ekonomi memungkinkan terjadinya pene-

rapan pemberlakuan untuk semua subjek hukum,46 maka

kemudian para ahli hukum mempunyai suatu instrumen

atau perangkat (tool) yang kuat untuk memahami dan mem-

bangun hukum serta peraturan perundang-undangan.

Perangkat (tool) baru ini, bagaimanapun mencoba mema-

hami hukum sebagai gagasan dimana suatu permasalahan

dapat dipelajari secara ‘autonomously’ melalui metode

tradisional berbentuk analisis hukum. Analisis ekonomi

terhadap hukum ‘baru’ meminta para ahli hukum mencari

di luar hukum (beyond the law) untuk menemukan suatu

medium baru dalam pemecahan permasalahan secara

kebijakan. Pada akhirnya akan berujung kepada perlunya

pemahaman baru atas legitimasi hukum.47

45 Pemahaman bahwa hukum adalah suatu badan universal bukanlahprinsip yang sama sekali baru, sebagaimana diungkapkan sebelumnyaoleh Langdell, Preface to Selection on Cases on The Law of Contracts(1879) dan Ackerman, Introduction: On the Role of Economic Analysisin Property Law, in Economic Foundations of Property Law (B. Ackermaned. 1975).

46 Lihat Posner, Op Cit, hlm.18.47 Lihat pula Minow, Op Cit, hlm. 89, dinyatakan bahwa “narguing that

Page 42: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

17

A. TEORI HUKUM EKONOMI DIGITAL

C.F.G Sunaryati Hartono sebagai Ibu Hukum Ekonomi di

Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa dalam teori

hukum dimuat istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terje-

mahan dari Economisch Recht (Belanda) atau Economic

Law (Amerika). Sekalipun demikian menurut Sunaryati,

pengertian atau konotasi Economisch Recht di Belanda

ternyata berbeda dengan arti Economic Law di Amerika

Serikat.48 Sebab pengertian Economisch Recht (Belanda)

sebenarnya berasal dari istilah Droit E’conomique (Perancis)

yang sebelumnya dipakai oleh GerardFarjat dan yang

setelah Perang Dunia Kedua berkembang menjadi Droit de

l’economie.49 Droit E’conomique adalah kaidah-kaidah

Hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari

kekuasaan eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930-an

diadakan untuk membatasi kebebasan pasar di Perancis,

demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya

mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebu-

tuhannya akanpangan, tetapi agar rakyat petani dan buruh

juga tidak akan mati kelaparan.50

Krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan nama “mal-

aise” di tahun 1930-an itulah yang mengakibatkan adanya

koreksi terhadap faham “pasar bebas”, karena ternyata Peme-

behind each of the new trends in law, including law and economics, is ‘abrooking doubt about whether law deserves a privileged place in resolv-ing conflict and ordering society”.

48 C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,Binacipta-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman,Bandung, 1988, hlm. 45-46.

49 Id., hlm. 42-4350 Idem

Page 43: Hukum Ekonomi Digital

18

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

rintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan

Hukum Administrasi Negara yang menentukan harga mak-

simum dan harga minimum bagi bahan-bahan pokok mau-

pun menentukan izin-izin Pemerintah yang diperlukan untuk

berbagai usaha di bidang ekonomi, seperti misalnya untuk

membuka perusahaan, untuk menentukan banyaknya pena-

naman modal; dan dalam usaha apa modal ditanamkan;

untuk mengimpor atau mengekspor barang, kemana,

seberapa dan sebagainya. Peraturan-peraturan Hukum

Administrasi Negara seperti itu dicakup dengan nama Droit

E’conomique atau Hukum Ekonomi dalam arti sempit.

Kemudian, setelah Perang Dunia Kedua, yaitu sekitar

tahun 1945-an, negara-negara Eropa yang harus memba-

ngun kembali negaranya dengan bantuan International

Bank for Reconstruction, PBB diwajibkan menyusun Ren-

cana Pembangunan Lima Tahun yang mendasari kepu-

tusan IBRD untuk memberi bantuan kepada negara-negara

yang bersangkutan. Persetujuan internasional antara IBRD

dan negara penerima bantuan dituangkan dalam kebijak-

sanaan dan peraturan hukum negara penerima bantuan

untuk dilaksanakan, seperti misalnya sampai kini juga terjadi

di Indonesia sejak Orde Baru. Keseluruhan kebijaksanaan

dan peraturan hukum yang tidak hanya terbatas pada

Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur hal-

hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum

Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata Internasional,

bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana, dicakup

dengan nama Droit de l’Economique atau Hukum Ekonomi

dalam arti luas.

Page 44: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

19

Tekno-Legislasi (tecno-legislation) atau Legislasi

Teknologi menjadi suatu paradigma dan kerangka baru

dalam pembentukan hukum dan norma. Tekno-Legislasi

dalam pemahaman Dogmatika Hukum menjadi paralel

dengan munculnya paradoks Teori Hukum yang telah

memasuki Abad Digital Informasi.51 Trio teoretikus sepan-

jang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato akan

terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika mereka

masih bisa menjadi saksi hidup Abad Digital Informasi.

Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak hanya memiliki

karakter filosofis, historis, humanis, sosiologis, psikologis,

bahkan ekonomis namun sudah mengarah kepada tekno-

logis. Ternyata yang dapat mengantisipasi permasalahan

yang muncul akibat pemanfaatan teknologi adalah sistem

hukum, bukan teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel

memberikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas

uraian pemikirannya dalam History Lessons for a General

Theory of Law and Technology yaitu:52

“The marvels of technological advance are not always

risk- free. Such risks and perceived risks often create new

issues and disputes to which the legal system must

respond.” (Dicetak tebal oleh Penulis)

51 Pa-ra-doks (n) adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berla-wanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannyamengandung kebenaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI DalamJaringan)

52 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law andTechnology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology, Vol.8:2, 2007, hlm. 551.

Page 45: Hukum Ekonomi Digital

20

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, sebagai-

mana yang dipahami dari Sudikno Mertokusumo bahwa

teori hukum berhubungan dengan hukum pada umumnya

dan dikenal sebagai meta teori Ilmu Hukum.53 Teori Hukum

digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum

tertentu yang mendasar, yang berkaitan dengan masalah-

masalah hukum positif (legal problems, legislations issues,

regulations disputes) tetapi jawabannya tidak dapat dicari

atau diketemukan dalam hukum positif (peraturan

perundang-undangan).54 Sudikno dengan tegas meng-

kualifikasikan bahwa Teori Hukum adalah teorinya Ilmu

Hukum, dan Ilmu Hukum adalah teorinya peraturan

perundang-undangan dan praktik hukum.

Arief Sidharta menyatakan pula bahwa Teori Hukum

adalah seperangkat pernyataan (klaim), pandangan dan

pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan

dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem

tersebut, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berda-

sarkannya dimungkinkan untuk merancang hipotesis

tentang isi aturan hukum (yakni produk interpretasi aturan

hukum) dan konsep yuridik yang terbuka untuk pengujian,

dan berfungsi untuk mensistematisasi kaidah-kaidah hukum

dengan cara tertentu.55 Bagi Arief, Teori Hukum berfungsi

untuk menjelaskan, menilai dan memprediksi dengan

53 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit Cahaya AtmaPustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.

54 Idem, hlm. 4.55 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan

Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat,Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

Page 46: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

21

metode interpertasi suatu peraturan perundang-undangan,

yang digunakan dalam praktik hukum dan secara rasional

dikaji konsistensinya dalam kerangka sistem hukum yang

berlaku.56

Alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari daratan

Eropa dan Amerika Serikat ke Indonesia tidak lepas dari

peran para tokoh pemikir hukum (prominent legal scholar)

yang berkesempatan langsung mempelajari teori-teori

hukum di Belanda dan Amerika Serikat. Terutamanya pemi-

kiran dari Amerika Serikat menjadi landasan dasar (platform)

pemahaman Teori Hukum di dunia. Calabresi secara meya-

kinkan menyampaikan sebagai berikut:57

“In the early days of this century, this approach focused

on sociology. Later, in a sort of renaissance during the

New Deal, it relied on rudimentary economics as well

as on sociology, and somewhat later yet, on psychol-

ogy and psychoanalysis. In its amazingly successful

1960s ‘rediscovery’, which for a while threatened, fool-

ishly, to dominate all of U.S. law, it concentrated on quite

sophisticated economic insights. Today, while the New

(1960s) Economic Analysis of Law (if somewhat less

vainglorious than at earlier times) remains alive and well,

so do Law and Philosophy, Law and Psychoanalysis,

Law and History, Law and Literature, and any number

of other permutations and combinations of the ‘Law and

... theme’.”

56 Id.57 Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four Approaches

to Law and to the Allocation of Body Parts”, (2003), Stanford Law Review,Vol. 55, hlm. 2112-2113.

Page 47: Hukum Ekonomi Digital

22

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bahkan beberapa tokoh pemikir hukum Indonesia

dimaksud bertemu dan menjadi mahasiswa dari tokoh-tokoh

teori hukum dimaksud. Salah satu tokoh pemikir hukum

Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja yang berke-

sempatan memperoleh alih pengetahuan dari Harvard Law

School dan Yale Law School Amerika Serikat. Teori Hukum

Pembangunan yang dikenal sebagai respon antisipatif

terhadap variabel pembangunan di tahun 1970-an merupa-

kan karya paripurna (masterpiece of mind) dari Mochtar

Kusumaatmadja.

Lili Rasjidi telah membuka tabir Teori Hukum Pemba-

ngunan, bahwa sepanjang yang Beliau ikuti dari Mochtar

Kusumaatmadja maka pemikiran dimaksud dapat dibeda-

kan dalam dua fase perkembangan.58 Fase Pertama, terjadi

antara kurun waktu 1970-an sampai dengan sekitar tahun

1990-an, pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dapat

ditelusuri dari buku-buku kecil yang berasal dari berbagai

kertas kerja yang dicetak Lembaga Penelitian Hukum dan

Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran serta

disebarluaskan oleh Penerbit Binacipta Bandung dan kemu-

dian dikompilasi menjadi buku dengan judul Konsep-

konsep Hukum dalam Pembangunan oleh Editor HR Otje

Salman dan Eddy Damian, diterbitkan pertama kali oleh

Alumni pada tahun 2002.59

58 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori HukumPembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema Insti-tute, Jakarta, 2012, hlm. 122.

59 Id.

Page 48: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

23

Fase Kedua, diawali ketika Mochtar Kusumaatmadja

mulai tertarik mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila

ke dalam pandangan-pandangan teoretisnya di bidang

hukum dan mulai mendasarkan pemikirannya pada

khazanah budaya lokal.60 Lili Rasjidi memahami bahwa

Mochtar Kusumaatmadja sudah beranjak dari posisinya

sebagai ilmuwan hukum dan mencoba memasuki wilayah

kajian filsafat hukum.61

Penyatuan keterhubungan (interplay) antara pemikiran

Fase Kesatu dan Fase Kedua dari Mochtar Kusumaatmadja

adalah kemampuan pikir unggul Beliau untuk merepre-

sentasikan teori-teori hukum global dengan kondisi faktual

bangsa Indonesia, dengan nilai dan konseptualiasi pemi-

kiran Pancasila. Pemikiran Fase Kesatu merupakan hasil

konvergensi pemikiran-pemikiran besar yang sudah teruji

di daratan Eropa dan Amerika Serikat. Hukum adalah yang

meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta

proses-proses yang mewujudkan hukum ke dalam kenya-

taan kehidupan masyarakat.62

60 Id.61 Ibid, hlm. 123.62 Lihat Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori

Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 dan HR Otje Salman S danAnton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Mem-buka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, bahwa:1. Konsep “asas” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam

dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan HugoGrotius bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi yang direflek-sikan dengan asas dan prinsip.

2. Konsep “kaidah” bersumberkan pemikiran dari Mazhab PositivismeHukum dan Legisme dengan tokoh-tokohnya yaitu Jellinek, HansKelsen, dan John Austin bahwa hukum adalah perintah (command),kewajiban, sanksi sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-undangan oleh yang memiliki kekuasaan (negara).

Page 49: Hukum Ekonomi Digital

24

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa Mochtar

Kusumaatmada telah berhasil bukan hanya membuat defi-

nisi tentang hukum melainkan berhasil menemukan apa

yang dimaksud dengan konsep hukum dalam pengertian

yang dinamis (dynamic system of norms) yang meliputi

keempat unsur-unsur di atas sebagai suatu rangkaian yang

berhubungan satu sama lain dan selalu dalam keadaan

dinamis (bergerak).63 Romli melalui Teori Hukum Integratif

berupaya memberikan pencerahan mengenai relevansi dan

arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia

dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang

mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari

kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis

lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.64 Teori

Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang

3. Konsep “lembaga” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sejarahdengan tokoh-tokohnya yaitu Carl von Savigny dan Puchta bahwahukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda-beda menurutwaktu dan tempatnya, serta bersumber pada pergaulan hidup manu-sia dari masa ke masa (sejarah) tercermin melalui perilaku semuaindividu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimanakesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan olehpara ahli hukumnya (doktrin).

4. Konsep “proses” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sociologi-cal Jurisprudence dengan tokoh-tokohnya yaitu Roscoe Pound, EugenEhrlich, Benjamin Cardozo bahwa hukum yang baik adalah hukumyang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Selainjuga bersumberkan pemikiran dari Mazhab Pragmatic Legal Realismdengan tokoh-tokohnya Oliver Wendell Homes, Karl Llewellyn danjuga Roscoe Pound, bahwa hukum itu merupakan “a tool of socialenginnering” dan memahami pentingnya rasio atau akal sebagaisumber hukum.

63 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap TeoriHukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,Yogyakarta, 2012, hlm. 47.

64 Idem, hlm. 97-98

Page 50: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

25

dinamis, tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan

hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara

aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat

nasional dan internasional dari waktu ke waktu.65

Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman

konseptual dan teoretikal Penulis dari penyatuan (conver-

gence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum

terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad

Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional

maupun tataran internasional. Paradigma dari konvergensi

tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih

mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi kon-

vergensi dan konsepsi non-konvergensi hukum.66 Pende-

katan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau

perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan

sistem hukum yang berbeda diharapkan dapat menjelaskan

pentingnya Teori Konvergensi Hukum.

Para ahli hukum berpendapat bahwa suatu sistem

hukum dibentuk mendasarkan kepada format yang berbeda

namun tetap memiliki kesatuan inti pemahaman.67 Basil

Markesinis sesuai dengan pendekatan hukum perban-

dingan, berpendapat bahwa suatu sistem hukum mene-

mukan cara yang berbeda untuk mendekati suatu perma-

65 Idem, hlm. 9866 Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional Methodolgy

of Comparative Legal Studies and An Example from Private InternationalLaw”, Cardozo Journal of International and Comparative Law, Fall 2005.

67 James Gordley, “Is Comparative Law a Distinct Discipline?”, 46 Am. J.Comp. L. 607 (1998).

Page 51: Hukum Ekonomi Digital

26

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

salahan serupa,68 dan dalam pelaksanaannya sering men-

capai hasil yang secara fungsional serupa. Markesinis

berpendapat perlunya difokuskan pada persamaan dari

sistem hukum yang berbeda karena dunia memiliki

perbedaan.69

B. HUKUM, LEGISLASI DAN REGULASI

Bertambah pentingnya peranan teknologi di zaman modern

ini bagi kehidupan manusia dan pengaruhnya terhadap

kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya menye-

babkan bahwa faktor-faktor ini pun tidak dapat diabaikan.

Kesemuanya ini berarti bahwa proses pembentukan

undang-undang harus dapat menampung semua hal yang

erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah

yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila

perundang-undangan itu hendak merupakan suatu penga-

turan hukum yang efektif. Efektifnya produk perundang-

undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian

akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan

dalam pelaksanaannya. Karenanya pengertian hukum yang

memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai

suatau perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehi-

68 Basil S. Markesinis & Hannes Unberath, The German Law of Torts: AComparative Treatise (2002); Basil S. Markesinis, Foreign Law & Com-parative Methodology: A Subject & a Thesis (1997); Basil S. Markesinis,Always on the Same Path: Essays on Foreign Law & Comparative Meth-odology (2001).

69 Basil S. Markesinis, Foreign Law & Comparative Methodology: A Sub-ject & a Thesis, 6 (1997).

Page 52: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

27

dupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula menca-

kup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang

diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam

kenyataan.70

Suatu Teori Hukum tidak terlepas dari lingkungan

zaman dimana teori tersebut lahir karena dia harus menja-

wab permasalahan hukum yang dihadapi atau mem-

permasalahkan suatu pendapat/pikiran tentang hukum yang

dominan pada saat itu. Hukum terikat pada waktu, tempat,

dan jika ingin memenuhi fungsinya.71 Hukum merupakan

70 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja-sama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 30.

71 Lihat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is rechtstheorie?, 1982(Apakah Teori Hukum itu?), diterjemahkan oleh Arief Sidharta,Laboratorium Hukum-Fakultas Hukum Universitas Katolik ParahyanganBandung, 2000 yang mengkualifikasikan dan menjelaskan bahwa:1. Filsafat Hukum

Filsafat Hukum adalah Filsafat yang diterapkan pada hukum ataugejala-gejala hukum. Filsafat Hukum berada pada tataran yang “lebihtinggi” dibandingkan Teori Hukum dan Filsafat Hukum memilikicakrawala yang “lebih luas” karenanya Filsafat Hukum harus mampumemberikan jawaban-jawaban yang memuaskan dan tuntas untuksebuah tata hukum (rechtsbestel) atau tatanan hukum (rechtsorde).Filsafat Hukum harus mampu memberikan dan menyediakanpengertian-pengertian fundamental yang akan digunakan pada karyailmiah emprikal dalam Teori Hukum dan Dogmatika Hukum.

2. Teori HukumKetika ilmu ditujukan untuk menemukan kebenaran, DogmatikaHukum hanya dapat mencapai kebenaran sebagian saja kebenaransesungguhnya tentang hukum. Teori Hukum harus berupayamencapai ke belakang kebenaran yang lebih dalam dari hukumdengan suatu penelitian tentang latar belakangnya dalam konteksyang lebih luas dari keseluruhan masyarakat. Teori Hukum berupayauntuk menjelaskan hukum secara mendasar dan memberikanjawaban atas pertanyaan ilmiah “mengapa hukum itu adalahsebagaimana ia adanya”. Teori Hukum adalah sebuah upaya untukpada kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum kedalam konteks total dari kenyataan-kenyataan faktual dan keyakinaanidiil yang hidup dan terkait padanya serta mengintegrasikannya ke

Page 53: Hukum Ekonomi Digital

28

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

ungkapan dari suatu pola kultur tertentu, gambaran manusia

dan masyarakat tertentu.72

William Twining dalam Globalisation and Legal Theory

mengemukakan bahwa perlu dilakukan kategorisasi teori-

teori hukum sesuai dengan zamannya sehingga sulit untuk

menyatakan bahwa suatu teori yang bersifat universal.73

Teori-teori yang lahir pada abad ke-19 atau abad ke-20

karena latar belakangnya berbeda memiliki pendekatan

yang berbeda pula. Teori-teori yang lahir pada abad ke-21

akan dipengaruhi oleh tantangan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta globalisasi di berbagai

bidang akan sangat mewarnai teori-teori hukumnya. Faktor

yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam

pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu

menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”.74

dalam pergaulan hidup masyarakat. Teori Hukum memiliki metodeinterdisipliner, dengan fungsi menggabungkan (overkoepelen) danmensintesa dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum sehingga dikenaldengan metode interdisipliner sintetikal.

3. Dogmatika HukumDogmatika Hukum dapat didefinisikan sebagai cabang dari IlmuHukum yang berkenaan dengan objek-objek (pokok pengaturan)dari hukum, berkenaan dengan tata hukum (rechtsbestel) dalamkeseluruhannya, menghimpun bahan-bahan yang relevan danmengolahnya ke dalam suatu perkaitan yang koheren, dengan tujuanuntuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasantunggal tentang pokok telaah yang diteliti dan semata-mata berda-sarkan kepada sumber-sumber pengetahuan yang tersaji dalamhukum. Kegunaan dari Dogmatika Hukum adalah upaya menemu-kan dan menghimpun bahan empirikal sampai ke sudut-sudut terjauhdari hukum. Tugas utama dari Dogmatika Hukum adalah penataandan pengolahan sistematikal terhadap bahan-bahan dimaksud.

72 Ibid73 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-

don, 2000, hlm. 52-53.74 Leonard J. Theberge. “Law and Economic Development”, Journal of

lnternational Law and Politic vol. 9 (1989). H. 232

Page 54: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

29

Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi

apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas

(stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan meng-

akomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.

Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predict-

ability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil

khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya

untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi

melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek

keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar

pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga

mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.

Hukum Ekonomi Indonesia dapat dikategorikan menjadi

sebagai berikut:75

a. Hukum Ekonomi Pembangunan adalah yang

menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum menge-

nai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehi-

dupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi)

secara nasional dan berencana;

b. Hukum Ekonomi Sosial adalah yang menyangkut

pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara

pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional itu

secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kema-

nusiaan (hak-hak asasi manusia) manusia Indonesia

(distribusi yang adil dan merata); dan

75 Hukum Ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi Hukum EkonomiPembangunan dan Hukum Ekonomi Nasional merupakan hasilpemikiran C.F.G Sunaryati Hartono sebagaimana dimuat dalam bukuHukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta-Badan PembinaanHukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bandung, 1988, hlm. 41.

Page 55: Hukum Ekonomi Digital

30

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

c. Hukum Ekonomi Digital adalah yang menyangkut

pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara

meregulasi (regulator), memfasilitasi (fasilitator), dan

mengakselerasi (akselerator) pembangunan ekonomi

nasional berbasis teknologi digital dan demokratisasi

ekonomi bersama (sharing economy) dalam yurisdiksi

virtual Indonesia.

Sunaryati Hartono memberikan suatu pemahaman

bahwa Hukum Ekonomi Pembangunan bahwa peranan

Pemerintah sebagai unsur pembaharu dan pemberi arah

kepada pembangunan ekonomi itu lebih menonjol.76

Sunaryati menjelaskan pula Hukum Ekonomi Sosial

tekanannya adalah pada pembagian pendapatan nasional

secara adil dan merata, memelihara, dan meningkatkan

martabat kemanusiaan manusia Indonesia dalam rangka

pembangunan ekonomi dimaksud.77 Hukum Ekonomi

Digital adalah platform untuk mengantisipasi percepatan

pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pemanfaatan

infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan inovasi

teknologi informasi yang masif.

Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut

pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem

ekonomi Indonesia yang terarah, sedangkan Hukum

Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut pemikiran hukum

dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana

meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia

76 Id.77 Id.

Page 56: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

31

sebagai perorangan, dan tetap memelihara harkat dan

martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap

menjunjung tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak

yang lemah dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah

dimaksud. Sunaryati menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah

Hukum mengenai Ekonomi Indonesia memiliki sifat Hukum

Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial

sehingga didefinisikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah

dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur

kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia.78

Perkembangan teknologi informasi yang berbasis infra-

struktur digital di Indonesia menjadikan pemahaman

teoritikal dan pratikal C.F.G Sunaryati Hartono tentang

Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Ekonomi

Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah keseluruhan

kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara

khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi digital

di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital.

C. ASAS-ASAS HUKUM EKONOMI DIGITAL

Pengertian globalisasi dapat dipahami sebagai suatu

kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan dan mengkon-

solidasikan suatu unifikasi dunia ekonomi, satu sistem

ekologi, dan satu jaringan komunikasi yang melingkupi

seluruh dunia. Pengertian dimaksud sebagaimana yang

diungkapkan oleh William Twinning yaitu “... In the present

78 Idem, hlm. 53.

Page 57: Hukum Ekonomi Digital

32

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

context the term ‘globalisation’ refers to those process which

tend to create and consolidate a unified world economy, a

single ecological system, and a complex network of com-

munications that covers the whole globe, ...”.79

Globalisasi sejatinya dari sisi proses bukanlah hal baru

dimana lahirnya negara-negara modern telah dimulai

semenjak abad ke-16. Dimana telah dimulai dilakukannya

internasionalisasi dan mengalirnya arus perpindahan masya-

rakat, agama dan perdagangan sebagai prakondisi dari

perkembangan ekonomi internasional dan budayanya.

Dikaitkan dengan hubungan internasional sebagaimana

yang diungkapkan oleh John Rawls bahwa adanya asumsi

terhadap Teori Hukum hari ini dapat diperlakukan kepada

masyarakat sebagai “hypothetically closed and self-sufficient

unit”.80 Dimana proses dari globalisasi secara fundamental

telah merubah secara signifikan batas-batas negara, bangsa

dan masyarakat.

Globalisasi dan interdependensi telah mengubah

pemahaman teori kotak hitam (black box theory) dimana

cara pandang pada suatu negara atau masyarakat atau sistem

hukum merupakan hal yang tertutup dan lembaga yang

tidak dapat diintervensi serta terisolasi baik secara internal

dan eksternal. Dua hal utama yang akan terjadi, Pertama,

hukum nasional tidak lagi diperlakukan sebagai yang tidak

dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti pada hukum

hak asasi manusia, hukum perdagangan internasional (Gen-

79 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-don, 2000, hlm. 4.

80 Ibid

Page 58: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

33

eral Agreement on Trade and Tariff/GATT). Kedua, doktrin

kedaulatan negara mulai bergeser khususnya dalam bidang

hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi

manusia.

Teori hukum yang berkiblat kepada Anglo-American

menitikberatkan kepada dua jenis tertib hukum yaitu hukum

nasional dan hukum internasional. Pada hari ini, kerangka

hukum di dunia harus berhadapan dengan masalah-masalah

yang lebih rumit seperti penyusunan, kebangkitan kembali,

pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tata tertib

hukum. Dalam skala global telah dibutuhkan adanya

tatanan hukum yang baru, terutamanya dalam bidang ling-

kungan hidup, telekomunikasi dan sumber daya alam.

Diharapkan ius humanititas dapat mengatur sumber daya

alam sebagai “the common heritage of mankind” baik ber-

sandarkan kepada filosofi dan politis. Pengembangan lebih

lanjut peran dari lex mercatoria sebagai upaya untuk mela-

kukan pengaturan perekonomian dunia.

Tantangan terbesar dari globalisasi terhadap Teori

Hukum adalah konstruksi dari kerangka Teori Hukum yang

dapat melebihi budaya hukumnya sendiri. Pada abad ke-

19 titik sentral dari Teori Hukum adalah analitikal dan histo-

rikal juris. Dimana paham dari John Austin yang menitik-

beratkan kepada “principles, notions, and distinctions” yang

dapat ditemui pada sistem hukum yang sudah mapan.

Dampak globalisasi terhadap Teori Hukum dapat

dipahami bahwa Teori Hukum harus mampu menjelaskan

dengan gambaran yang menyeluruh yaitu deskriptif, ekspla-

natori, normatif dan analitikal terhadap fenomena hukum

Page 59: Hukum Ekonomi Digital

34

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

pada dunia modern.81 Teori Hukum dimaksud didasarkan

kepada konstruksi dari berbagai perspektif yaitu tidak hanya

kepada hukum nasional dan hukum internasional akan

tetapi termasuk pula tata aturan global, regional, trans-

nasional dan lokal yang telah dianggap sebagai “aturan”

dimana tujuan dan berkaitan di antara mereka. Hal dimak-

sud akan mengarah kepada pluralisme hukum baik di antara

atau di luar sistem hukum nasional maupun budaya dan

tradisi.82

Teori Hukum sebagai ajaran Ilmu hukum adalah untuk

memahami hukum pada dunia yang modern maka dampak

dari globalisasi dan interpendensi menjadikan perlunya

multi-interpertasi bahwa suatu fenomena setempat perlu

ditinjau dari perspektif yang lebih luas terhadap dan termasuk

kepada dunia dan umat manusia pada umumnya. Teori

Hukum sebagai dampak dari globalisasi harus tetap mampu

mengakomodasi pluralisme budaya yang ada.

Konsep-konsep hukum tentang konvergensi (conver-

gence), harmonisasi (harmonization), dan unifikasi (unifica-

tion) telah menjadi konsep-konsep yang terus berkembang

khususnya dalam studi perbandingan hukum. Konsep-

konsep hukum dimaksud secara umum dapat dipahami

sebagaimana dimuat dalam tabel berikut ini:83

81 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-don, 2000, hlm. 52-53.

82 Ibid83 Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic Interpertation of Legal

Transplants”, Journal of Legal Studies, The University of Chicago, Juni,2006. “Convergence is used to refer to the coming together of legalsystems, concepts, principles, or norms; harmonization is seen as anapproximation of national or state laws by virtue of provisions laid down

Page 60: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

35

D. KAIDAH DAN NORMA

HUKUM EKONOMI DIGITAL

Pemikiran untuk mengantisipasi implikasi konvergensi

teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap kaidah

dan norma tekno-legislasi Hukum Ekonomi Digital dalam

tiga pemikiran utama, yaitu:84

1. Pemikiran pertama, memiliki keterkaitan dengan perma-

salahan bentuk yang memadai dari struktur institusi

regulator untuk mengantisipasi dampak konvergensi TIK

di negara-negara yang mengatur telekomunikasi dan

penyiaran di bawah rezim pengaturan yang terpisah;

Tabel 1. Konsep Hukum Konvergensi, Harmonisasi dan Unifikasi

Konsep Hukum

Konvergensi

Harmonisasi

Unifikasi

Pemahaman Umum

Dipergunakan sebagai upaya untuk penyatuansistem-sistem hukum, konsepsi, prinsip-prinsip,atau norma-norma.

Dipergunakan sebagai upaya untuk menyiapkanhukum nasional atau hukum negara bagian yangmemiliki keterkaitan pengaturan didasarkankepada hukum, regulasi dan tindakan administratif.

Dipergunakan sebagai upaya harmonisasi secaraekstrem baik terhadap perbedaan maupunfleksibilitas dalam pengaturan dan tidakmemberikan ruang terhadap ketentuan lain.

by law, regulation, or administrative action; and unification is an extremeversion of harmonization in which differentiability or flexibility is ruledout and no derogation in the preempted areas is allowed.”

84 Angeline Lee, “Convergence in Telecom, Broadcasting and it: A Compara-tive Analysis of Regulatory Approaches in Malaysia, Hong Kong andSingapore”, Singapore Journal of International and Comparative Law,2001.

Page 61: Hukum Ekonomi Digital

36

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

2. Pemikiran kedua, berhubungan dengan pergeseran

fokus pengaturan atau regulasi yang lebih kepada

pengaturan kompetisi dan pengendalian penguasaan

pasar di dalam industri konvergensi TIK; dan

3. Pemikiran ketiga, berhubungan dengan kebutuhan

akan satu pendekatan menyeluruh (holistic) untuk mem-

bentuk suatu kerangka konvergensi TIK.

Pemikiran pertama dimaksud di atas, telah cenderung

untuk menyederhanakan permasalahan dan menyelesaikan

permasalahan dengan bertumpu kepada satu regulator

supra-nasional untuk melakukan pengaturan sekaligus

untuk telekomunikasi dan penyiaran. Pendekatan ini

nampak tidak memperhatikan perlunya pemahaman

pendekatan lintas-sektor horizontal (cross-sectoral horizontal

approach) sebagaimana direkomendasikan oleh OECD85

dan beberapa negara telah mengadopsi seperti Australia

salah satunya.

Pemikiran kedua dimaksud di atas, merupakan upaya

pergeseran dalam regulasi yang memfokuskan kepada

pengaturan kompetisi dan penguasaan pasar sehingga

terjadi deregulasi dan pasar yang turut terkonvergensi. Pada

pemahaman berikutnya maka diperlukan pengaturan yang

lebih mengarah kepada bentuk formal hukum dan regulasi

kompetisi. Memperhatikan fakta sejarah dalam pengaturan

kewenangan dalam regulasi kompetisi adalah sejauh mana

85 Lihat Report of OECD Roundtable on Regulation and Competition Issuesin Broadcasting in the Light of Convergence DAFFE/CLP(99)1 (1999)hlm. 78-81.

Page 62: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

37

untuk dapat memperkenalkan kerangka aturan kompetisi

yang bersifat khusus (lex specialis) dan berdiri sendiri (sui

generis), dimana pada sisi yang lain pemerintah belum siap

untuk memperkenalkan hukum persaingan usaha yang

bersifat umum.

Pemikiran ketiga dan terakhir dimaksud di atas adalah

untuk menggunakan pendekatan menyeluruh (holistic)

untuk membangun satu kerangka konvergensi, walaupun

tidak menjadi sederhana dikarenakan perlu memperbaiki

peraturan perundang-undangan telekomunikasi yang sudah

tidak sesuai lagi (outdated) bagi era pre-liberalisasi.86 Upaya

dimaksud diperlukan untuk meminimalkan gangguan dan

memastikan stabilitas pasar untuk operator serta penyedia

layanan telekomunikasi. Salah satu jalan keluar adalah

memberikan tugas dan kewenangan bagi suatu regulator

yang menyatu (combined regulator) dengan tanggung

jawabnya kepada industri konvergensi.

Hukum Moore memberikan pemahaman bahwa

penggerak utama dari digital ekonomi adalah peningkatan

eksponensial berkelanjutan dalam kinerja biaya TIK,

terutama mikroelektronika.87 Digitalisasi desain, manufaktur

maju dan robotika, komunikasi, dan jaringan komputer

86 Diperkenalkannya suatu pengaturan baru merupakan refleksi dari tujuanregulasi ke arah suasana liberalisasi dan konvergensi.

87 MOORE’S LAW (Hukum Moore) adalah sebuah pengamatan yangdilakukan oleh pendiri Intel Gordon Moore pada tahun 1965 yangmenyatakan bahwa jumlah transistor yang dapat dipasangkan ke sirkuitterpadu bisa bertambah dua kali lipat dalam setiap 18 bulan. Silahkanmengakses laman https://www.intel.com/content/www/us/en/silicon-in-novations/moores-law-technology.html

Page 63: Hukum Ekonomi Digital

38

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terdistribusi (Internet) telah mengubah proses inovasi dan

kemungkinan relokasi kerja selama beberapa dekade.

Ekonomi Digital atau Digital Economy menjadikan 3

(tiga) kecenderungan yang relatif barupada pemanfaatan

teknologi informasi dan komunikasi yang sangat maju serta

semakin meningkat dimana-mana.88 Pertama, ada sumber

data baru, dari ponsel cerdas hingga sensor pabrik,

menghasilkan akumulasi data dalam jumlah besar di

“cloud,” dan menciptakan kumpulan informasi yang dapat

digunakan untuk membuat wawasan, produk, layanan baru

– juga sebagai risiko bagi masyarakat. Kedua, model bisnis

yang didasarkan pada platform teknologi dan produk –

inovasi platform, kepemilikan platform, dan keterpaduan

platform– adalah, dalam berbagai industri dan area produk,

secara radikal mengubah struktur industri dan ketentuan

persaingan usaha. Ketiga, kemajuan kuantitatif dalam

teknologi semikonduktor yang dijelaskan dalam Hukum

Moore di beberapa bidang, terutama pemrosesan grafis,

maju ke titik di mana perubahan kualitatif mulai terjadi dalam

aplikasi praktis untuk pembelajaran mesin berbasis kecer-

dasan buatan (Artificial Intelegence).

Pendekatan ‘satu untuk semua’ (one stop shopping)

memiliki kemanfaatan bagi industri sehingga dapat memi-

nimalkan biaya administratif untuk pemerintah dan perce-

patan proses waktu untuk pelaku pasar. Tentu saja secara

politis tidak menyenangkan, dimana kewenangan regulasi

88 THE NEW DIGITAL ECONOMY AND DEVELOPMENT, UNCTAD Tech-nical Notes on ICT for Development, TECHNICAL NOTE NO8, TN/UNCTAD/ICT4D/08, October 2017.

Page 64: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

39

informasi publik (content regulation) secara tradisional

memang berada di bawah kendali dari suatu kementrian

pemerintahan yang berorientasi politis, budaya dan kebu-

tuhan sosial dari negara dimaksud.

Pelepasan kendali dari fungsi sebelumnya kepada satu

kementerian baru dengan tanggung jawab untuk men-

dorong dan mengembangkan sektor teknologi informasi dan

komunikasi (TIK-ICT) terkadang tidak harus sejalan dengan

pengaturan, tujuan dan kemampuan dari kementrian baru

yang dibentuk. Contoh di Malaysia, meskipun dengan

penetapan dari suatu regulator yang menyatu di bawah

kewenangan dari satu kementerian baru yaitu Ministry of

Communications and Multimedia namun Ministry of Infor-

mation masih mempertahankan kewenangannya atas Radio

Television Malaysia (RTM) yang merupakan lembaga

penyiaran nasional.89

Pendekatan satu regulator (single operator) perlu mem-

perhatikan pendekatan lintas-sektor horizontal (cross-

sectoral horizontal approach) sebagaimana direkomen-

dasikan oleh OECD dan diadopsi oleh Australia.90 Pende-

89 SM Hussein, “The Malaysian Communications and Multimedia Act 1998- Its Implications on the Information Technology (IT) Industry”, (2000) 9Information and Communications Technology Law 79; ‘Fears of “broad-casting invasion”’, (Singapore) Straits Times, 6 Mar 2000; ‘Control ofcore media stays local, says BG Yeo’, (Singapore) Straits Times, 6 Mar2000; ‘Controls on foreign broadcasters soon’, (Singapore) Straits Times,10 Mar 2001 and ‘BG Yeo explains why changes to SBA Act needed’,(Singapore) Business Times, 12 May 2001.

90 Untuk pemaparan umum tentang rezim pengaturan di Australia dapatdilihat pada Australian Telecommunications Regulation, the Communi-cations Law Centre Guide (Communications Law Centre, 1997); OECDReport; dan J Rodwell, ‘Australia’, Oct 1997, The Asia Law Guide toTelecommunications 51.

Page 65: Hukum Ekonomi Digital

40

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

katan ini mengalokasikan tanggung jawab di antara institusi

regulator yang berbeda dengan dasar fungsional lintas sektor

(contohnya perekonomian, kompetisi dan permasalahan

materi atau isi dialokasikan kepada masing-masing regula-

tor sektoral nasional yang berbeda masing-masing tanggung

jawabnya untuk setiap area regulator). Di Australia, regulasi

untuk layanan telekomunikasi, pengaturan isi (content) dan

kompetisi telah dialokasikan berturut-turut kepada Commu-

nications Australia Authority (ACA), Broadcasting Australia

Authority (ABA) dan Competition Australia and Consumer

Commission (ACCA).

Negara-negara yang cenderung untuk melakukan

pengawasan dan pengendalian regulasi isi (content) untuk

terpisah dari area regulasi lainnya, menggunakan pende-

katan ini untuk dapat mempertahankan kendali atas isi (con-

tent) di bawah suatu kementrian pemerintah terpisah. Seiring

waktu maka setiap institusi regulator akan meningkatkan

keahlian dan kemampuannya sesuai area yang diperun-

tukan bagi masing-masing regulator. Salah satu kelemahan

dari pendekatan ini adalah pembiayaan awal dan opera-

sional dari sejumlah institusi regulator mungkin saja menjadi

lebih tinggi daripada mengoperasikan satu regulator tunggal.

Untuk negara-negara kecil dengan jumlah operator yang

tidak banyak dan penyedia layananan telekomunikasi serta

dimana ukuran pasar yang kecil maka pendekatan dimaksud

menjadi tidak sesuai.

Liberalisasi dan deregulasi telekomunikasi menjadikan

diyakini dan diterimanya peran institusi regulator dengan

paradigma baru dari regulasi yang lebih memfokuskan

Page 66: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

41

kepada regulasi penguasaan pasar di area-area monopoli

alamiah yang semakin menyempit.91 Fokus dari regulasi

penyiaran juga turut berubah dengan adanya konvergensi,

dari yang sebelumnya berbentuk kendali langsung atas isi

(content) dan iklan, kini mengarah kepada kompetisi dan

pengendalian penguasaan pasar.92

Fokus perhatian ini dapat ditangani dengan baik oleh

institusi regulator jika seluruh tenaga regulator ditujukan

kepada suatu kerangka kompetisi yang kuat.93 Praktik dari

negara-negara seperti Malaysia, Hong Kong dan Singapura

yang sebelumnya tidak memiliki sejarah regulasi kompetisi

dan dimana pemerintah belum pula siap untuk memper-

91 Contoh berkenaan dengan penggunan the local loop atau local cable-based networks. Lihat Knieps, “Deregulation in Contestable and Non-Contestable Markets:Interconnection and access” (2000) 23 FordhamInternational Law Journal 90 dan Kearney and Merrill, “TheGreat Trans-formation of Regulated Industries Law” (1998) 98 Columbia Law Review1323.

92 Lihat Report of OECD Roundtable on Regulation and Competition Issuesin Broadcasting in the Light of Convergence DAFFE/CLP(99)1 (1999).

93 Lihat Judge R Posner, “The Effects of Deregulation on Competition: TheExperience of the United States “(2000) 23 Fordham International LawJournal S 7, beliau menyampaikan pendapat: “Because deregulationcontemplates the substitution of competition for regulation as the ‘regu-lator’ of the deregulated markets, deregulation increases the importanceof antitrust law as a means of preventing unregulated firms from eliminat-ing competition amongst themselves by mergers or price-fixing agree-ments .... It is important that ‘competition’ be understood in its correcteconomic sense, lest antitrust become another form of regulation. Com-petition is not a matter of many sellers or low prices or frequent changesin prices or market shares. It is properly regarded as the state in whichresources are deployed with maximum efficiency, and it is not so muchthe existence of actual rivalry, let alone any specific market or structure orbehavior, as the potential for rivalry, that assures competition. The properrole of antitrust law is to protect that potential by limiting mergers, pre-venting the formation and operation of cartels and other horizontal price-fixing or market-dividing agreements or modalities, and, to a limitedextent, preventing abusive tactics by individually powerful firms”.

Page 67: Hukum Ekonomi Digital

42

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kenalkan hukum persaingan usaha secara umum,94 satu

permasalahan yang masih perlu dicarikan jalan keluarnya

oleh regulator adalah sejauh mana untuk dapat diperke-

nalkan suatu kerangka kompetisi efektif yang sudah ada atau

baru sama sekali. Pada saat kondisi telekomunikasi dan

penyiaran tetap dilanjutkan untuk diatur secara terpisah di

bawah rezim yang berbeda, penerapan aplikasi asimetris

dari kompetisi yang mengatur hanya kepada satu sektor,

dan kondisi yang mendorong ke arah inkonsistensi juga perlu

ditangani secara tepat.95

Pada akhirnya, suatu karakteristik umum dari

perundang-undangan komunikasi pre-liberalisasi khususnya

perundang-undangan telekomunikasi dari praktik negara-

negara adalah mereka pada mulanya membuat draft

peraturan perundang-undangan tentang liberalisasi dan

kompetisi. Pengaturan regulasi dari layanan telekomunikasi

pada waktu sebelumnya adalah dilakukan oleh suatu institusi

pemerintahan atau badan kuasi pemerintah dengan hak

monopoli terhadap layanan dimaksud.

Permasalahan apapun yang muncul dari layanan

telekomunikasi dimaksud cukup dicarikan jalan keluarnya

secara internal oleh badan itu sendiri tanpa diperlukan

adanya intervensi legislatif atau regulasi. Perundang-

undangan terkait dengan kegiatan konvergensi teleko-

munikasi dan penyiaran harus dirancang secara lebih

94 Praktik di Hong Kong dapat diketahui pada tulisan R Wu and G Leung,“Media Policy and Regulation in the Age of Convergence - The HongKong Experience”, (2000) 30 Hong Kong Law Journal 454.

95 Ibid.

Page 68: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

43

memadai untuk melingkupi seluruh kegiatan konvergensi

dimaksud. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penga-

turan dimaksud antara lain adalah layanan universal,

perlindungan konsumen, alokasi spektrum, regulasi kom-

petisi, meningkatkan peran perizinan menjadi ‘class licence’

berkait kepada regulasi telekomunikasi.

Pemikiran yang muncul terkait dengan kewenangan

terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya

kegiatan konvergensi, adalah perlu diteliti dan digantinya

regulasi dengan perundang-undangan de novo atau apakah

perlu membuat perundang-undangan baru berdasarkan

kebutuhan dan berbasis incremental. Pembentukan pera-

turan perundang-undangan memerlukan pertimbangan

waktu dan dipikirkan secara hati-hati. Hal dimaksud tidak

memungkinkan atau sulit untuk dapat dipraktikan jika proses

liberalisasi berjalan sangat cepat seperti yang terjadi di

Singapura. Tersamarnya batasan-batasan antara telekomu-

nikasi dan penyiaran sebagai hasil konvergensi maka

pendefinisian ulang dari pasar dan parameter-parameter

dalam suatu industri yang dinamis dan yang cepat berubah

adalah suatu tugas yang tidak sederhana. Regulasi berkaitan

dengan kesempatan untuk masuk ke pasar telekomunikasi

dan penyiaran mendasarkan kepada diterbitkannya dan

klarifikasi atas izin kepada operator serta penyedia layanan

adalah konsekuensi dari perubahan definisi dari legislasi

yang baru. Hal dimaksud dapat secara potensial menye-

babkan permasalahan utama bagi para operator dan

penyedia layanan.

Page 69: Hukum Ekonomi Digital

44

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

E. INSTITUSIONALISASI HUKUM EKONOMI DIGITAL

Globalisasi menyebabkan terjadinya konvergensi dari

tatanan hukum (legal order) atau sistem hukum. Para ahli

hukum dan ekonomi telah memprediksikan bahwa tatanan

hukum akan bergerak ke arah yang lebih memadai. Mereka

berpendapat bahwa implikasi dari globalisasi akan

memaksa tatanan hukum untuk berkonvergensi sehingga

tercapainya efisiensi secara ekonomis. Hal dimaksud

dikarenakan tatanan regulasi terkait dari suatu tatanan

hukum akan membuat satu sistem hukum saja tidak akan

mampu memberikan solusi yang optimal dari permasalahan-

permasalahan yang muncul.96 Banyak para ahli hukum

meramalkan suatu konvergensi yang serupa akan terjadi,

khususnya para ahli hukum yang menganut faham fungsio-

nalis komparatis (functionalist comparatists) menyakini

bahwa konsep unifikasi hukum adalah diinginkan dan tidak

terelakkan dalam suatu tatanan hukum.97 Argumentasi

mereka didasarkan kepada ekivalensi fungsional, dimana

suatu sistem hukum dapat tampak berbeda karena mereka

96 Anthony Ogus, “Competition Between National Legal Systems: A Con-tribution of Economic Analysis to Comparative Law”, 48 Int’l & Comp.L.Q. 405 (1999); Ugo A. Mattei, Luisa Antonioli & Andrea Rossato, “Com-parative Law and Economics”, 1 Encyclopedia of Law and Economics505 (Boudewijn Bouckaert & Gerrit De Geest eds., 2000). Jennifer G.Hill, “The Persistent Debate about Convergence in Comparative Corpo-rate Governance”, 27 Sydney L. Rev. 743 (2005). Ronald J. Gilson, “Glo-balizing Corporate Governance: Convergence of Form or Function”, 49Am. J. Comp. L. 329 (2001)

97 Catherine Valcke, “Comparative Law as Comparative Jurisprudence—The Comparability of Legal Systems”, 52 Am. J. Comp. L. 713 (2004);Gerhard Dannemann, “Comparative Law: Study of Similarities or Differ-ences?”, Oxford Handbook of Comparative Law 383 (Mathias Reimann& Reinhard Zimmermann eds., 2006).

Page 70: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

45

mempunyai doktrin dan institusi berbeda namun perbedaan

dimaksud hanya pada permukaanya saja. Karena pada

dasarnya institusi dimaksud tetap mampu memenuhi fungsi

yang sama dan serupa. Menyadari bahwa tatanan hukum

adalah secara substansial telah serupa maka akan membuat

itu menjadi mudah untuk menyatukan hukum juga secara

formal.98

Pada sisi yang lainnya, terdapat suatu pemahaman

bahwa budaya hukum (legal culture) merupakan suatu

hambatan dari upaya konvergensi tatanan hukum.99 Budaya

hukum dideskripsikan sebagai sebuah penghalang dari

situasi yang lebih efisien, sebagaimana yang didorong untuk

terjadi oleh para ahli ekonomi.100 Hampir mirip pula, para

ahli hukum berargumentasi bahwa perbedaan budaya

menjadi suatu lawanan dari persamaan yang ingin dituju

secara fungsionalis komparatis.101 Pemahaman ini berujung

kepada sulitnya dilakukan konvergensi tatanan hukum jika

budaya lokal dan nilai-nilai menjadi variabel yang penting,

hal dimaksud dicerminkan dalam hukum pidana dan

98 Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan Journal ofInternational Law, Summer 2006. E.g., Konrad Zweigert & Hein Kötz,Introduction to Comparative Law 24 (Tony Weir trans., 3d ed. 1998);Ugo Mattei, “A Transaction Costs Approach to the European Civil Code”,5 Eur. Rev. Priv. L. 537 (1997);

99 Pierre Legrand, “European Legal Systems Are Not Converging”, 45 Int’l& Comp. L.Q. 52, 61-62 (1996).

100 Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan Journal ofInternational Law, Summer 2006.

101 Günter Frankenberg, “Critical Comparisons: Rethinking ComparativeLaw”, 26 Harv. Int’l L.J. 411 (1985); Bernhard Grossfeld, Core Ques-tions of Comparative Law (Vivian Grosswald Curran trans., 2005); PierreLegrand, Le droit comparé (1999); Vivian Grosswald Curran, “Dealingin Difference: Comparative Law’s Potential for Broadening Legal Per-spectives”, 46 Am. J. Comp. L. 657 (1998).

Page 71: Hukum Ekonomi Digital

46

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hukum keluarga. Namun pada bidang hukum ekonomi,

dimana budaya lokal sebagian besar serupa dan hubungan

transnasional mampu “memaksa” sistem hukum nasional

maka pada akhirnya konvergensi dapat diwujudkan. Sekali-

pun budaya lokal tetap memberikan dukungan terhadap

Hukum Ekonomi,102 namun tetaplah tidak mudah untuk

melihat bagaimana tetap kuatnya budaya nasional dan

mengapa globalisasi ekonomi tidak cukup mampu untuk

menciptakan suatu kultur global,103 yang pada gilirannya

dapat mewadahi terjadinya konvergensi hukum dan

unifikasi.

Tranformasi digital dengan seluruh potensinya untuk

percepatan ekonomi menjadi sangat tinggi di Asia. Negara-

negara OECD telah menetapkan tujuan mereka pada Per-

temuan Tingkat Menteri Cancun 2016 dalam Ekonomi Digi-

tal.104 Pertemuan dimaksud untuk memaksimalkan man-

faat transformasi digital untuk inovasi, pertumbuhan dan

kemakmuran sosial. Negara-negara dimaksud memfokus-

kan upaya pada implikasi kebijakan tranformasi digital,

meningkatkan pengukuran, dan mengembangkan kerangka

kerja kebijakan terpadu untuk pendekatan seluruh peme-

rintahan. Kebijakan dan regulasi pemerintah dalam empat

102 Pierre Legrand, Counterpoint: Law Is Also Culture, in The Unificationof International Commercial Law, 245 (Franco Ferrari ed., 1998).

103 Volkmar Gessner, “Global Approaches in the Sociology of Law: Prob-lems and Challenges”, 22 J.L. Soc’y 85, 90 (1995); Charles Koch, “En-visioning a Global Legal Culture”, 25 Mich. J. Int’l L. 1 (2003); RussellMenyhart, “Changing Identities and Changing Law: Possibilities for aGlobal Legal Culture”, 10 Ind. J. Global Legal Stud. 157 (2003).

104 OECD (2017), OECD Digital Economy Outlook 2017, OECD Publish-ing, Paris. hlm 1, 46-47.

Page 72: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

47

bidang utama yaitu akses dan konektivitas, penggunaan dan

keterampilan, inovasi digital, serta risiko dan kepercayaan

digital. Meskipun empat bidang dimaksud mungkin tampak

agak berbeda, namun masalah kebijakan untuk masing-

masing masalah tersebut semakin saling terkait dan perlu

dipertimbangkan dengan perspektif menyeluruh. Perspektif

seperti itu sedang dikembangkan oleh sebagian besar

negara-negara OECD dalam strategi digital nasional mereka.

Perlunya mengambil manfaat dari ekonomi digital

membutuhkan seluruh pemerintah melakukan pendekatan

yang secara proaktif menangani berbagai masalah kebijakan

dan hubungan mereka dengan lintas bidang kebijakan.

Internet of Things (IoT) adalah contoh yang mungkin segera

menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari bahwa

banyak miliaran benda yang saling berhubungan di seluruh

dunia. Perangkat “cerdas” yaitu peralatan, mesin dan

infrastruktur menciptakan peluang untuk otomatisasi dan

interaksi secara “real time”. Aplikasi dan layanan IoT, yang

ditingkatkan oleh analitik data, diharapkan membantu

menghidupkan kembali industri, memenuhi beberapa

kebutuhan populasi yang semakin tua, berfungsi sebagai

elemen inti dari kota cerdas (smart city).

Pemerintah terus menyelaraskan prioritas ekonomi digi-

tal secara langsung dengan sosial ekonomi tujuan tertentu

seperti meningkatkan perawatan untuk orang sakit dan

lanjut usia, membuat lebih banyak karir peluang yang

tersedia untuk anak perempuan dan perempuan, menye-

diakan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak miskin

dan mereka yang tinggal di daerah terpencil, dan mempro-

Page 73: Hukum Ekonomi Digital

48

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

mosikan pertumbuhan dan pekerjaan. Prioritas utama dalam

konteks ini termasuk melanjutkan akses ke jaringan broad-

band berkecepatan tinggi dan perombakan undang-undang

untuk meningkatkan kecepatan dan jangkauan layanan

komunikasi. Banyak negara memilikinya juga fokus pada

penyediaan pelatihan dan memacu inovasi di sektor TIK,

serta pada mendorong penggunaan TIK melalui layanan e-

government, program pelatihan, dan subsidi. Pada saat yang

sama, negara-negara terus mengatasi tantangan dan risiko

yang timbul dari transformasi digital dengan memperkenal-

kan strategi keamanan digital nasional, sementara perlin-

dungan privasi terus menjadi menonjol pada agenda

pemerintah.

Hal dimaksud juga menjadi lebih jelas dari sebelumnya

bahwa transformasi digital dapat mengganggu, dan bahwa

kebijakan yang dipertimbangkan dengan baik diperlukan

tidak hanya untuk memungkinkan terjadinya gangguan,

tetapi juga untuk mendorongnya sehingga manfaatnya

dapat direalisasikan sepenuhnya dan tanpa penundaan

yang tidak perlu. Negara-negara telah meluncurkan inisiatif

yang bertujuan membantu pemula atau muda dan kecil

perusahaan menengah (UKM) melalui akselerator atau

inkubator, dan telah mempromosikan aplikasi dan layanan

digital dengan berbagai langkah kebijakan. Namun,

langkah-langkahnya adalah juga diperlukan untuk mere-

dam pukulan ketika transformasi digital memindahkan

pekerja dan melindungi konsumen dalam pengaturan

komersial baru yang berkembang. Akibatnya, kebijakan

dalam mendukung pelatihan kejuruan dan pendidikan tinggi

Page 74: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

49

dalam TIK adalah umum, mungkin melibatkan kemitraan

dengan sektor swasta, dan terkadang bertujuan untuk

membantu kelompok tertentu, seperti para penganggur.

Lebih jauh lagi, transformasi digital pekerjaan telah memicu

tinjauan hukum tenaga kerja dan peraturan ketenagakerjaan

sektor-sektor khusus. Sementara itu, sebagai pasar e-com-

merce berkembang, demikian juga respons kebijakan untuk

melindungi konsumen dan memastikan kepercayaan.

Sebagai contoh, pembuat kebijakan sudah mulai bergulat

dengan tantangan dalam menerapkan perlindungan

konsumen untuk peer platform dan pasar platform online

lainnya. Mereka juga telah mengambil langkah untuk

mengatasi hambatan terkait perlindungan konsumen

terhadap e-commerce lintas batas.

Singkatnya, selain transformasi digital adalah peluang

untuk disambut tetapi juga membawa tantangan tertentu

yang perlu dikelola. Secara umum, transformasi digital

mengubah dunia lebih cepat daripada banyak regulasi yang

telah berkembang. Pemerintah bisa mendapat manfaat dan

mekanisme untuk secara berkala meninjau kerangka kerja

regulasi dan jika perlu perbarui untuk memastikan bahwa

mereka cocok untuk yang dengan dunia yang semakin

digital.

Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1976 telah

memberikan penekanan terhadap hal-hal dimaksud.105

Mochtar berpendapat bahwa masalah-masalah dalam suatu

105 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum dan Masyarakat dan PembinaanHukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FakultasHukum Universitas Padjadjaran, Bandung-Penerbit Binacipta, 1976,hlm. 14-15.

Page 75: Hukum Ekonomi Digital

50

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur

oleh hukum secara garis besarnya dapat dibagi dalam dua

golongan besar yaitu:

(a) masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan

pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan

kehidupan budaya dan spiritual masyarakat; dan

(b) masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat

dan kemajuan pada umumnya bersifat “netral” dilihat

dari sudut kebudayaan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pembaharuan

hukum dalam bidang demikian lebih mudah dilakukan.

Karena ini bidang-bidang yang “netral” seperti hukum

perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas

(darat air dan udara) lebih mudah dan segera dapat

ditangani. Karena adanya interrelasi yang erat antara hukum

dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat terutama faktor-

faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan seorang ahli hukum

harus pula memperhatikan segi-segi ini kalau ia hendak

berhasil dalam tugasnya. Bertambah pentingnya peranan

teknologi di zaman modern ini bagi kehidupan manusia

dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dan

lingkungan hidupnya menyebabkan bahwa faktor-faktor ini

pun tidak dapat diabaikan. Kesemuanya ini berarti bahwa

proses pembentukan undang-undang harus dapat

menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan)

dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan

undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu

Page 76: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

51

hendak merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.

Efektifnya produk perundang-undangan dalam pene-

rapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan

prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya.

Karenanya pengertian hukum yang memadai harus tidak

hanya memandang hukum itu sebagai suatau perangkat

kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (in-

stitutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk

mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.106

Pembentukan tiga pemikiran utama yang mendasari

konvergensi hukum,107 ternyata tetap memiliki pendekatan

yang tradisional yaitu pemisahan antara hukum interna-

sional publik dan hukum perdata internasional publik.108

Pemikiran Pertama, bahwa telah menjadi pemahaman

umum bahwa kedaulatan para pihak yang terlibat suatu

transaksi komersial khususnya dengan pihak swasta asing,

tetap menjadi pertimbangan yang mengakibatkan para

pihak swasta asing akan tunduk kepada suatu hukum

nasional jika dilakukan pilihan hukum pada peradilan

106 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pemba-ngunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunanbekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 30.

107 Ronald A. Brand, “Semantic Distinction in an Age of Legal Conver-gence”, University of Pennsylvania Journal of International EconomicLaw, Spring, 1996.

108 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PenerbitBinacipta, 1976, hlm. 1, dimana beliau mendefinisikan Hukum Inter-nasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yangmengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Hukum PerdataInternasional adalah keseluruhan kaidah asas hukum yang mengaturhubungan perdata yang melintasi batas negara.

Page 77: Hukum Ekonomi Digital

52

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

nasional. Teori Penerimaan Hukum dimaksud menyim-

pangi imunitas kedaulatan negara asing, terutama dicermin-

kan dengan dipergunakannya forum arbitrase dan forum

penyelesaian sengketa terhadap persengketaan komersial

lintas batas negara.

Pemikiran Kedua, hubungan antara para pihak dan

kedaulatan yang dimilikinya tetap akan tunduk kepada

penerapan hukum internasional publik. Tidak lagi menjadi

perdebatan bahwa orang asing yang berkaitan dengan

kedaulatan suatu negara hanya akan menjadi yurisdiksi

badan peradilan/tribunal internasional. Perjanjian Pem-

bangunan Jangka Panjang (long term economic develop-

ment agreement), Joint Venture Agreement, dan bentuk

perjanjian korporasi lainnya yang bersifat kerjasama publik

atau privat akan berujung kepada transaksi dan sengketa

komersial yang melintasi batas negara.

Pemikiran Ketiga, meningkatnya jumlah pihak-pihak

swasta telah banyak mempengaruhi perkembangan prinsip-

prinsip dalam perjanjian perdagangan bilateral, regional,

dan multilateral, khususnya prinsip berkaitan dengan

pembatasan atas tindakan/perilaku pihak asing terhadap

kedaulatan negara lain. Semakin berkembangnya per-

dagangan internasional menjadikan prinsip dimaksud

mengikat bagi para individu dan badan hukum. Perkem-

bangan prinsip ini memerlukan perhatian yang hati-hati

dalam penerapannya dan kategori para pihaknya. Semen-

tara itu pengaturan dan mekanisme penyelesaian sengketa

yang akan diberlakukan memiliki pembatasan terhadap

Page 78: Hukum Ekonomi Digital

BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

53

kedaulatan. Walaupun para pihak dimaksud dari waktu ke

waktu tetap menginginkan adanya keterlibatan pengaturan

khususnya dalam pembentukan, penafsiran dan penerapan

dari hukum yang akan diberlakukan.

Page 79: Hukum Ekonomi Digital

54

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 80: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

55

BAB 2

HUKUM EKONOMI DIGITAL

DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

“Given the Fourth Industrial Revolution’s

extraordinarily fast technological and social change,

relying only on government legislation and incentives

to ensure the right outcomes is ill-advised. These are likely

to be out-of-date or redundant by the time

they are implemented.”

The World Economic Forum, November 2016

Page 81: Hukum Ekonomi Digital

56

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ekonomi digital memiliki potensi peningkatan ekonomi

kerakyatan di Indonesia dengan tiga pilar “berbagi” yaitu

berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai kepercayaan

(trust sharing), dan berbagi pengetahuan (intellectual shar-

ing). Ekonomi kerakyatan adalah konsep dalam upaya

mengimplementasikan kedaulatan negara (rakyat) di bidang

ekonomi. Mubyarto merumuskan sistem ekonomi yang

berkeadilan sosial yaitu sistem ekonomi nasional yang

disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas keke-

luargaan, mengandung prinsip-prinsip pemanfaatan hak

milik yang merupakan anjuran atau norma-norma perilaku

manusia sebagai berikut:109

1. Memperhatikan dan mengutamakan kepentingan

negara dan kepentingan masyarakat;

2. Menempatkan kepentingan bersama di atas kepen-

tingan pribadi dan golongan;

3. Adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara

hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang

lain; dan

4. Tidak menggunakan hak milik pribadi untuk usaha-

usaha yang bersifat memeras orang lain, untuk hal-hal

yang bersifat pemborosan dan untuk kehidupan yang

bersifat mewah, atau perbuatan-perbuatan lain yang

bertentangan dengan dan merugikan kepentingan

umum.

109 Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, (Jakarta:LP3ES, 1987), hlm. 215-216.

Page 82: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

57

Mubyarto merumuskan pula 5 (lima) agenda pokok

ekonomi kerakyatan sebagai berikut:110

1. Desentralisasi hak atas pengelolaan sumber-sumber

penerimaan negara kepada daerah;

2. Pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan

lahan pertanian kepada para petani penggarap

(landreform);

3. Reformasi koperasi dan pendirian koperasi-koperasi

sejati;

4. Pengembangan mekanisme persaingan yang menjamin

berlangsungnya persaingan usaha secara sehat; dan

5. Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progresif

sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi

penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di

tengah-tengah masyarakat, selain itu penerapan pajak

penghasilan dan kekayaan progresif itu juga diperlukan

sebagai upaya untuk terus menerus membentuk dana

jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang rentan.

Keadilan sosial tidak berdiri sendiri, namun mempunyai

kaitan erat dengan keadilan hukum, politik, sosial, dan

ekonomi.111 Peran yang terus tumbuh dari platform trans-

portasi on-line, perdagangan on-line, pendidikan on-line

menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya

peradaban digital ekonomi dalam mencapai tujuan kesejah-

teraan umum. Pemerintah bersama ekosistem industri terus

110 Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial,(Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika, 2002), hlm. 3

Page 83: Hukum Ekonomi Digital

58

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

berupaya memperluas dan memperkuat sektor infrastruktur

digital dan sumber daya talenta digital.

Pada akhirnya Revolusi Industri 4.0 akan mengubah

tidak hanya apa yang manusia lakukan tetapi juga siapa

“kita” sebagai manusia. Siapa dan apa akan mempengaruhi

identitas serta semua permasalahan kita yang terkait

dengannya yaitu perlindungan privasi, konstruksi hak milik,

pola konsumsi, waktu yang dicurahkan untuk bekerja dan

bersantai, dan bagaimana dirinya mengembangkan karir,

menumbuhkan keterampilan, bertemu orang-orang, dan

memelihara hubungan itu sendiri. Hal-hal dimaksud sudah

mengubah kondisi kesehatan manusia dan mengarah ke

diri yang “dikuantifikasi”, dan lebih cepat dari yang kita kira

sehingga dapat menyebabkan augmentasi manusia.

Dalam memahami skala dan kompleksitas ekonomi

global serta pengetahuan kita tentang sifat manusia, maka

akan sangat naif untuk hanya mengandalkan spontanitas

dan kesukarelaan dari perilaku etis individu serta korporasi

untuk memastikan keadilan atau meningkatkan martabat

manusia juga masyarakat.112 Pemberlakuan legislasi dan

regulasi yang dikombinasikan dengan penegakan hukum

yang serius, tetap diperlukan untuk memandu perilaku

masyarakat dan memastikan supremasi hukum. Namun

pendekatan ini sering menghasilkan permainan kucing-dan-

tikus antara regulator dan pelaku ekonomi. Individu dan

111 Mubyarto, Op. Cit., 1987, hlm. 206-207112 Daniel Malan, “The Law Can’t Keep Up With New Tech. Here’s How

To Close The Gap”, dapat diakses pada laman https://www.weforum.org/agenda/2018/06/law-too-slow-for-new-tech-how-keep-up/

Page 84: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

59

korporasi yang taat hukum menghabiskan banyak waktu

serta finansial untuk mencari celah hukum sekedar men-

capai kepatuhan teknis saja, sementara yang lain melakukan

”akrobatik” hukum sehingga ketidakpatuhan mereka tetap

tidak dapat terdeteksi.

Cyberlaw terus berupaya mengantisipasi dampak dari

revolusi dan konvergensi dari Teknologi Informasi pada

abad Data Digital dengan melakukan pendekatan legislasi,

regulasi, dan swa-regulasi. Pendekatan Legislasi (legislative

approach) adalah upaya untuk membentuk peraturan

perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi

dan sekaligus sebagai antisipasi terhadap fenomena kon-

vergensi dari Teknologi Informasi. Solusi legislatif dalam

mendefinisikan rezim hukum baru, atau membentuk

kerangka pengaturan, atau regulasi yang baru adalah upaya

antisipatif terhadap implikasi konvergensi dan arah

kebijakan masa depan dari peradaban manusia. Sebagai-

mana yang dinyatakan secara tegas oleh Menteri Komuni-

kasi dan Informatika Republik Indonesia Rudiantara

bahwa:113

“Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang

merupakan UU pertama di bidang Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang

menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan

perlindungan dalam bidang pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik.”(Dicetak tebal oleh

Penulis)

113 https://kumparan.com/rudiantara/timing-untuk-revisi-uu-ite

Page 85: Hukum Ekonomi Digital

60

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

A. HUKUM EKONOMI DIGITAL

DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Menurut Cambridge Dictionary edisi 2017, istilah revolusi

industri pada awalnya didefinisikan sebagai: “[…] periode

waktu di mana pekerjaan mulai dilakukan lebih banyak oleh

mesin di pabrik daripada dengan tangan di rumah”. Kema-

juan dalam sains dan teknologi terus mendukung perkem-

bangan industrialisasi di seluruh dunia dan telah membantu

membawa makna yang lebih spesifik dan eksplisit untuk

terminologi “revolusi industri” ini selama bertahun-tahun

(Belvedere et al., 2013). Meskipun masih belum ada kese-

pakatan universal tentang apa yang merupakan revolusi

industri (Maynard, 2015), empat fase umum telah diiden-

tifikasi dari perspektif evolusi teknologi (National Academy

of Science and Engineering, 2013). Revolusi Industri 1.0

dianggap sebagai salah satu kemajuan penting dalam

kemanusiaan, yang dimulai dengan menggunakan fasilitas

manufaktur mekanis air dan fasilitas tenaga uap sejak akhir

abad ke-18. Revolusi Industri 2.0 terjadi pada awal abad

ke-20 dengan ditandai penerapan teknologi produksi massal

bertenaga listrik dan melalui pembagian kerja. Revolusi

Industri 3.0 dimulai pada sekitar pertengahan 1970-an

melalui otomatisasi manufaktur dengan mempopulerkan

teknologi elektronik dan teknologi informasi di pabrik-

pabrik. Ketiga revolusi industri dimaksud totalnya mem-

butuhkan waktu sekitar 200 tahun atau dua abad untuk ber-

kembang. Namun dalam beberapa tahun terakhir, seiring

dengan meningkatnya perhatian penelitian pada Internet

of Things (IoT) (Atzori et al., 2010) dan Cyber-Physical Sys-

Page 86: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

61

tems (CPS) (Khaitan dan McCalley, 2015) maka industri,

pemerintah dan masyarakat di umum telah memperhatikan

kecenderungan ke arah “Revolusi Industri 4.0” dan ber-

tindak untuk mengambil manfaat dari apa yang dapat

diberikannya (Siemieniuch et al., 2015). Selain itu, menurut

karya sebelumnya (Liao et al., 2017), jumlah konferensi dan

makalah akademis yang terkait dengan “Industri 4.0” (satu

upaya penelitian signifikan dalam era Revolusi Industri

Keempat) telah meningkat secara bertahap, dari 2013 hingga

2015, sebanyak 12,6 kali dan 24,2 kali berturut-turut.114

Daftar fenomena permasalahan dimaksud tidak ada

habisnya karena kita hanya terbatasi oleh imajinasi sebagai

manusia. Integrasi dan dominasi teknologi digital yang tak

tertandingi dalam kehidupan dapat mengurangi sebagian

dari kapasitas kemanusiawian kita yang murni, seperti welas

asih dan kerja sama. Hubungan manusia dengan dawai

pintar (smartphone) adalah contoh yang paling kasat mata

dan kasat rasa, bahwa hubungan yang konstan dapat men-

cabut manusia dari salah satu aset terpenting dalam kehi-

dupan yaitu waktu untuk berhenti, berefleksi, dan terlibat

dalam perbincangan yang bermakna sebagai seorang

manusia.

Baik teknologi maupun disrupsi adalah kekuatan ekso-

gen dimana manusia tidak memiliki kendali terhadapnya.

Manusia secara keseluruhan bertanggung jawab untuk

membimbing evolusinya, dalam keputusan yang dibuat

114 Laman diakses pada 17 Agustus 2018 yaitu http://www.scielo.br/s c i e l o . p h p ? s c r i p t = s c i _ a r t t e x t & p i d = S 0 1 0 3 -65132018000100401#B029.

Page 87: Hukum Ekonomi Digital

62

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

setiap harinya sebagai warga negara, konsumen, dan in-

vestor. Sehingga masyarakat harus memahami peluang dan

kekuatan yang dimiliki untuk membentuk Revolusi Industri

4.0 dan mengarahkannya menuju masa depan yang men-

cerminkan tujuan dan nilai bersamanya sebagai manusia.

Namun untuk melakukan hal dimaksud perlu dikembang-

kan pandangan bersama yang komprehensif dan global

tentang bagaimana teknologi memengaruhi kehidupandan

membentuk kembali lingkungan ekonomi, sosial, budaya,

dan manusia. Para pengambil keputusan hari ini terlalu

sering terjebak dalam pemikiran tradisional, linear, atau

terlalu terserap oleh berbagai krisis yang menuntut perhatian

mereka, sehingga terhalang untuk berpikir secara strategis

tentang kekuatan dan inovasi yang membentuk masa depan

umat manusia.

Tantangan terbesar dari seorang manusia yang ditim-

bulkan oleh teknologi informasi terkini adalah aspek privasi

(privacy). Manusia secara naluriah memahami mengapa

aspek privasi (privacy) menjadi sangat penting, namun pada

kenyataan hari ini penelusuran, pengumpulan, penelisikan,

dan analisis perilaku dari berbagi informasi tentang manusia

adalah bagian terpenting dari konektivitas baru peradaban

Big Data. Perdebatan tentang permasalahan-permasalahan

mendasar seperti dampak pada kehidupan batin manusia

dari hilangnya kendali atas data pribadi terus akan mening-

kat di tahun-tahun mendatang. Belum lagi revolusi yang

terjadi dalam bioteknologi (bio-tech) dan kecerdasan artifisial

(Artificial Intelligent) dimana perlu mendefinisikan kembali

Page 88: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

63

apa artinya menjadi manusia dengan mendorong kembali

ambang batas hidup, kesehatan, kognisi, dan kemampuan

ragawi serta indrawi saat ini, sehingga akan memaksa

manusia untuk mendefinisikan kembali batas moral dan

etika.

Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial

Revolution (Revolusi Industri 4.0) telah membawa tantangan

baru. Revolusi Industri 4.0 yang luar biasa cepat telah

berdampak pada perubahan teknologi dan sosial maka

adalah hal yang keliru untuk memastikan hasil yang tepat

jika hanya mengandalkan legislasi dan insentif dari peme-

rintah/regulator. Pada saat diterapkannya suatu legislasi dan

insentif dari pemerintah/regulator bisa jadi sudah keting-

galan zaman atau berlebihan. Hal dimaksud diartikulasikan

dalam buku White Paper yang diterbitkan oleh World Eco-

nomic Forum pada November 2016 bahwa, “Given the

Fourth Industrial Revolution’s extraordinarily fast technologi-

cal and social change, relying only on government legisla-

tion and incentives to ensure the right outcomes is ill-ad-

vised. These are likely to be out-of-date or redundant by the

time they are implemented”.

White Paper dimaksud berpendapat bahwa cara terbaik

untuk memastikan hasil positif dalam ekosistem yang begitu

rumit adalah beroperasi dengan dasar nilai yang jelas, misal-

nya dengan berfokus pada prinsip-prinsip dasar seperti

martabat manusia dan kebaikan bersama. Pendekatan ini

tampaknya lebih efektif daripada terus mengejar keterting-

galan regulasi sepanjang waktu. Regulasi dan kepatuhan

Page 89: Hukum Ekonomi Digital

64

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terhadap norma etika tidak harus terjebak dalam situasi

“serba salah”. Prinsip “comply or explain” (patuhi atau

jelaskan) memungkinkan sejumlah jalan keluar dengan

memberikan opsi kepada perusahaan untuk menghindari

kepatuhan yang tidak substansial dengan menjelaskan

kapan prinsip tertentu tidak berlaku bagi mereka.115 Tanpa

dipungkiri bahwa ekosistem global yang kompleks akan

membutuhkan kekhususan teknologi informasi di sebagian

besar wilayah dunia, namun tantangan berikutnya adalah

untuk menunjukkan landasan etika tidak boleh diremeh-

kan. Perlu ada tanggung jawab hukum bagi Facebook untuk

menunjukkan bagaimana martabat penggunanya dilin-

dungi daripada sekadar menghadirkan algoritma yang dapat

diaudit.

115 Pemahaman Prinsip Comply or Explain adalah sebagaimana berikut:The UK Corporate Governance Code (formerly the Combined Code) isprimarily a best practice standard of governance for the quality of acompany’s board leadership, effectiveness, accountability, remunera-tion process and investor relations. Apart from references to relevantstatutory regulations, the code itself has no legal force but it does re-quire a company to comply with the provisions of the code or explainwhy it has not done so.The “comply or explain” approach recognises that good governancecannot be constrained by ever-increasing statutory regulations whichtend towards a “one size fits all” solution. Sometimes, an alternative tofollowing a provision of the code may be justified in particular circum-stances. A condition of doing so is that the reasons for it should beexplained to shareholders who may wish to discuss the position withthe company and whose voting intentions may be influenced as aresultThe code requires that a company’s explanation in its annual report“should aim to illustrate how its actual practices are both consistentwith the principle to which the particular provision relates and contrib-ute to good governance.” The principle of “comply or explain” meansthat companies are accountable to shareholders who can exercisesanctions rather than being accountable to a regulator such as theSecurities and Exchange Commission (SEC) in the US.

Page 90: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

65

Regulator harus menerima fakta-fakta sosial dan industri

serta teknologi daripada berjuang melawan ketidakpastian

yang disebabkan oleh Revolusi Industri 4.0. Legislasi dan

regulasi hukum untuk menunjukkan bagaimana prinsip-

prinsip etika telah diterapkan bukanlah mantra ajaib, tetapi

merupakan perubahan penting untuk mencapai ketertiban

dan kemanfaatan untuk pencapaian tujuan masyarakat.

Moral dan etika secara historikal adalah juga bagian

utama dari pembahasan Teori Hukum. Teori Hukum

memandang hukum yang ada dari sudut situasi yuris, yakni

orang-orang yang berurusan dengan undang-undang,

traktat-traktat, kontrak-kontrak, kebiasaan-kebiasaan,

praktek-praktek yuridikal, perikatan-perikatan dari semua

jenis dan peradilan.116 Titik berdiri dari mana Teori Hukum

meneliti hukum adalah titik berdiri orang dalam (insider),

bukan dari orang luar yang mempunyai kepentingan,

sehingga dengan itu ia membedakan diri dari disiplin-disiplin

lain yang juga memilih hukum sebagai objek studinya seperti

antara lain Filsafat, Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Psikologi.

Teori Hukum mempelajari hukum dengan tujuan suatu

pemahaman yang lebih baik dan terutama lebih mendasar

tentang hukum, demi hukum, bukan demi suatu pema-

haman dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan atau

dalam kaidah-kaidah etikal yang dianut dalam masyarakat

atau dalam reaksi-reaksi psikologikal dari suatu penduduk.

Pemahaman ini tidak berarti bahwa Teori Hukum langsung

116 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya PengembanganIlmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

Page 91: Hukum Ekonomi Digital

66

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkret

dengan memformulasikan kaidah-kaidah “de lege ferenda”

(hukum yang akan datang, ius constituendum) namun ia

adalah bukan pembentuk undang-undang. Memang benar

bahwa mereka beranjak dari hal bahwa suatu pengetahuan

yang lebih mendalam tentang latar belakang dari hukum

dapat memberikan kontribusi pada suatu pengaturan yuri-

dikal yang lebih baik terhadap masalah-masalah kema-

syarakatan. Seorang teoretisi hukum tidak akan pernah

menjelaskan bahwa karyanya tidak relevan bagi tatanan

hukumnya dan masalah-masalah yang diajukan di dalam-

nya. Pada akhirnya bahwa pokok-telaah (onderwerp),

tujuan dan peneliti sendiri, sama seperti di dalam praktik

hukum, disituasikan dalam suasana hukum (rechtssfeer).

Teori Hukum adalah sebuah cabang dari Ilmu Hukum dan

bukan ilmu bantu dari Ilmu Hukum.

Evolusi Teori Hukum di Indonesia memiliki pula alur

periodesasi sebagaimana yang dimunculkan oleh revolusi

industri. Alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari

daratan Eropa dan Amerika Serikat ke Indonesia tidak lepas

dari peran para tokoh pemikir hukum (prominent legal

scholar) yang berkesempatan langsung mempelajari teori-

teori hukum di Belanda dan Amerika Serikat. Terutamanya

pemikiran dari Amerika Serikat menjadi landasan dasar (plat-

form) pemahaman Teori Hukum di dunia. Calabresi secara

menyakinkan menyampaikan sebagai berikut:117

117 Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four Approachesto Law and to the Allocation of Body Parts”, (2003), Stanford LawReview, Vol. 55, hlm. 2112-2113.

Page 92: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

67

“In the early days of this century, this approach focused

on sociology. Later, in a sort of renaissance during the

New Deal, it relied on rudimentary economics as well

as on sociology, and somewhat later yet, on psychol-

ogy and psychoanalysis. In its amazingly successful

1960s ‘rediscovery’, which for a while threatened, fool-

ishly, to dominate all of U.S. law, it concentrated on quite

sophisticated economic insights. Today, while the New

(1960s) Economic Analysis of Law (if somewhat less

vainglorious than at earlier times) remains alive and well,

so do Law and Philosophy, Law and Psychoanalysis,

Law and History, Law and Literature, and any number

of other permutations and combinations of the ‘Law and

... theme’.”

Bahkan beberapa tokoh pemikir hukum Indonesia

dimaksud bertemu dan menjadi mahasiswa dari tokoh-tokoh

teori hukum dimaksud. Salah satu tokoh pemikir hukum

Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja yang ber-

kesempatan memperoleh alih pengetahuan dari Harvard

Law School dan Yale Law School Amerika Serikat. Teori

Hukum Pembangunan yang dikenal sebagai respon

antisipatif terhadap variabel pembangunan di tahun 1970-

an merupakan karya paripurna (masterpiece of mind) dari

Mochtar Kusumaatmadja.

Lili Rasjidi telah membuka tabir Teori Hukum Pem-

bangunan, bahwa sepanjang yang Beliau ikuti dari Mochtar

Kusumaatmadja maka pemikiran dimaksud dapat dibeda-

Page 93: Hukum Ekonomi Digital

68

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kan dalam dua fase perkembangan.118 Fase Pertama, terjadi

antara kurun waktu 1970-an sampai dengan sekitar tahun

1990-an, pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dapat

ditelusuri dari buku-buku kecil yang berasal dari berbagai

kertas kerja yang dicetak Lembaga Penelitian Hukum dan

Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran serta

disebarluaskan oleh Penerbit Binacipta Bandung dan kemu-

dian dikompilasi menjadi buku dengan judul Konsep-

konsep Hukum dalam Pembangunan oleh Editor H.R. Otje

Salman dan Eddy Damian, diterbitkan pertama kali oleh

Alumni pada tahun 2002.119

Fase Kedua, diawali ketika Mochtar Kusumaatmadja

mulai tertarik mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila

ke dalam pandangan-pandangan teoretisnya di bidang

hukum dan mulai mendasarkan pemikirannya pada

khazanah budaya lokal.120 Lili Rasjidi memahami bahwa

Mochtar Kusumaatmadja sudah beranjak dari posisinya

sebagai ilmuwan hukum dan mencoba memasuki wilayah

kajian filsafat hukum.121

Penyatuan keterhubungan (interplay) antara pemikiran

Fase Kesatu dan Fase Kedua dari Mochtar Kusumaatmadja

adalah kemampuan pikir unggul Beliau untuk merepre-

sentasikan teori-teori hukum global dengan kondisi faktual

118 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori HukumPembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, EpistemaInstitute, Jakarta, 2012, hlm. 122.

119 Id.120 Id.121 Ibid, hlm. 123.

Page 94: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

69

bangsa Indonesia, dengan nilai dan konseptualiasi pemi-

kiran Pancasila. Pemikiran Fase Kesatu merupakan hasil

konvergensi pemikiran-pemikiran besar yang sudah teruji

di daratan Eropa dan Amerika Serikat. Hukum adalah yang

meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta

proses-proses yang mewujudkan hukum ke dalam kenya-

taan kehidupan masyarakat.122

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa Mochtar

Kusumaatmadja telah berhasil bukan hanya membuat

definisi tentang hukum melainkan berhasil menemukan apa

122 Lihat Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan TeoriHukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 dan HR Otje Salman S danAnton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Mem-buka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, bahwa:1. Konsep “asas” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam

dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan HugoGrotius bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi yang direflek-sikan dengan asas dan prinsip.

2. Konsep “kaidah” bersumberkan pemikiran dari Mazhab PositivismeHukum dan Legisme dengan tokoh-tokohnya yaitu Jellinek, HansKelsen, dan John Austin bahwa hukum adalah perintah (command),kewajiban, sanksi sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-undangan oleh yang memiliki kekuasaan (negara).

3. Konsep “lembaga” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sejarahdengan tokoh-tokohnya yaitu Carl von Savigny dan Puchta bahwahukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda-beda menurutwaktu dan tempatnya, serta bersumber pada pergaulan hidup manu-sia dari masa ke masa (sejarah) tercermin melalui perilaku semuaindividu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimanakesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan olehpara ahli hukumnya (doktrin).

4. Konsep “proses” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sociologi-cal Jurisprudence dengan tokoh-tokohnya yaitu Roscoe Pound,Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo bahwa hukum yang baik adalahhukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.Selain juga bersumberkan pemikiran dari Mazhab Pragmatic LegalRealism dengan tokoh-tokohnya Oliver Wendell Homes, KarlLlewellyn dan juga Roscoe Pound, bahwa hukum itu merupakan“a tool of social enginnering” dan memahami pentingnya rasioatau akal sebagai sumber hukum.

Page 95: Hukum Ekonomi Digital

70

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

yang dimaksud dengan konsep hukum dalam pengertian

yang dinamis (dynamic system of norms) yang meliputi

keempat unsur-unsur di atas sebagai suatu rangkaian yang

berhubungan satu sama lain dan selalu dalam keadaan

dinamis (bergerak). 123 Romli melalui Teori Hukum Integratif

berupaya memberikan pencerahan mengenai relevansi dan

arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia

dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang

mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari

kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis

lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.124 Teori

Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang

dinamis, tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan

hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara

aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat

nasional dan internasional dari waktu ke waktu.125

Perdebatan panjang tanpa jawaban adalah apakah

yang menjadi manfaat mempelajari Teori Hukum. Tidak

perlu dikotomi mutlak antar teori hukum dan praktik hukum,

karenanya keduanya memiliki asal-usul yang identik dan

luaran yang yang tidak berbeda. Sebagaimana yang dikutip

oleh Sudikno Mertokusumo, pemahaman secara tegas

namun bijak diungkap oleh Ian McLeod bahwa penge-

tahuan teori hukum melengkapi para praktisi hukum untuk

123 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap TeoriHukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,Yogyakarta, 2012, hlm. 47.

124 Idem, hlm. 97-98.125 Idem, hlm. 98.

Page 96: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

71

lebih berhasil dalam karir profesinya. Pernyataan Ian McLeod

secara lengkapnya sebagai berikut:126

“... the value of a knowledge of legal theory lies in the

fact that it provides a principled overview of law as a

whole, which enables practitioners to relate a large num-

ber of individualized statements of legal doctrine to, and

evaluate them in the light of each other. Practitioners

with a knowledge of legal theory will be able to con-

struct arguments, and counter opposing arguments, with

more confidence, and with a greater likelihood of suc-

cess, than would otherwise be the case.” (Dicetak tebal

oleh Penulis)

Perlu dipahami bahwa Revolusi Industri 4.0 semuanya

bermuara pada orang-orang dan nilai-nilainya. Umat manu-

sia perlu membentuk masa depan yang berhasil bagi kita

semua dengan menyiapkan orang-orang terbaik dan mem-

berdayakan mereka. Dalam bentuknya yang paling pesi-

mistis dan tidak manusiawi, Revolusi Industri 4.0 mungkin

memang memiliki potensi untuk “me-robotisasi” kemanu-

siaan dan dengan demikian mencabut kita dari hati dan

jiwa kita. Namun “hanya” sebagai pelengkap bagian-bagian

terbaik dari sifat manusia –kreativitas, empati, penatagunaan

– itu juga dapat mengangkat manusia menjadi kesadaran

kolektif dan moral baru yang didasarkan pada rasa takdir

bersama.

126 Thomas Ian McLoud, Legal Theory, Macmillan, 1999, hlm. 9 seba-gaimana dimuat oleh Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi,Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 10.

Page 97: Hukum Ekonomi Digital

72

HU

KU

M E

KO

NO

MI D

IGITA

L DI IN

DO

NE

SIA

Gambar Revolusi Industri 4.0 dalam Aspek-Aspek Peradaban ManusiaSumber: Worl Economic Forum

Page 98: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

73

Memaknai minat yang tumbuh dalam Revolusi Industri

4.0 di seluruh dunia maka muncul pertanyaan apakah

dampak yang dibawa dari Revolusi Industri 4.0 ke berbagai

negara dan wilayah terutamanya dalam konstruksi evolusi

Teori Hukum. Teori Hukum harus berupaya untuk memu-

lihkan kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan kema-

syarakatan, sekali lagi mempersatukan keberbagaian yang

ditata oleh ilmu-ilmu dan keharusan-keharusan akademik

ke dalam suatu gambaran menyeluruh yang setia pada

kebenaran. Teori Hukum dalam mencapai tujuan dimaksud

harus mengandalkan (memanfaatkan, merujuk pada) ilmu-

ilmu lainnya. Faktor-faktor pembentukan hukum yang

berdasarkan Teori Hukum harus menjelaskan hukum itu

sendiri dengan pokok-pokok telaah (objek-objek) dari ilmu-

ilmu sebagai berikut:127

1. Filsafat. Ilmu Filsafat adalah yang menentukan bagi

keseluruhan tata-hukum adalah pandangan-pan-

dangan fundamental tentang peranan dan tugas dari

sebuah masyarakat yang terorganisasi dan tempat

manusia di dalamnya, khususnya filsafat-filsafat negara

(anarkhisme, liberalisme, cita-negara hukum, sosialisme,

totaliterisme), pandangan-pandangan tentang bentuk-

bentuk kekuasaan (demokrasi, otokrasi, pemisahan

kekuasaan, asas legalitas), pandangan-pandangan

tentang bentuk negara (unitarisme, federalisme,

konfederalisme), dan dalam kerangka itu filsafat-filsafat

127 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya PengembanganIlmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

Page 99: Hukum Ekonomi Digital

74

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hukum spesifik tentang peranan, landasan, sumber

legitimitas dari hukum. Pandangan-pandangan negara

dan pandangan-pandangan hukum ini sendiri berkiprah

dalam filsafat-filsafat, gambaran-gambaran dunia dan

manusia yang lebih luas atau lebih umum yang dalam

suatu lingkungan kultur menentukan semangat zaman.

2. Ilmu Etika. Ilmu Etika adalah bagaimana pandangan-

pandangan moral yang diterima dalam suatu masya-

rakat tertentu tentang baik dan buruk, tentang apa yang

seharusnya dan yang tidak seharusnya, dan apa dari

yang baik itu yang seyogianya harus dilindungi dan

dimajukan oleh hukum, apa yang sebagai hal yang

buruk yang seyogianya harus dikendalikan dan dipe-

rangi oleh hukum dalam mewujudkan “nada-nada

bawah yang menyertainya” (landasan moral, onder-

toon) dari hukum yang karenanya bahkan disebut juga

“hukum pra-yuridikal”.

3. Ilmu Sejarah. Tidak ada Teori Hukum yang dapat

mengabaikan untuk mempelajari dalam situasi kema-

syarakatan apa (politikal, kemiliteran, ekonomikal,

kultural dan keagamaan) lembaga-lembaga dan aturan-

aturan hukum telah terbentuk. Dalam suatu filsafat

hukum yang memandang hukum sebagai produk

(resultante) dari perancangan yang disituasikan secara

historikal ditemui bahwa Sejarah menempati posisi

sangat penting yang sangat menonjol, bahkan menye-

babkan penggabungan atau pencakupan semuanya

baik fakta-fakta maupun gagasan-gagasan.

Page 100: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

75

4. Sosiologi. Bahan-bahan terberi demografikal, akibat-

akibat dari keterberian-keterberian tersebut, diferensiasi

dalam pelapisan sosial, pembentukan kelompok, sebab-

sebab dan motif-motif perilaku sosial, interaksi di antara

individu-individu dan kelompok-kelompok dan antara

lain perimbangan kekuasaan adalah objek-objek telaah

dari Sosiologi, yaitu untuk memahami dan menjelaskan

hukum sebagai gejala sosial adalah sangat penting.

5. Politik. Ilmu Politik menggabungkan diri padanya

dengan studi-studi tentang semua hal yang berkaitan

dengan perebutan (verovering), penggunaan dan

dampak-dampak kekuasaan memutuskan kebijakan

(beleidsmacht, policy power) dalam suatu masyarakat

yang terorganisasi. Politik yang secara langsung terarah

pada penataan ulang yuridikal (juridische hervorming)

bagi Teori Hukum mempunyai arti penting secara

langsung.

6. Psikologi Sosial. Ilmu Psikologi Sosial dengan pene-

litiannya atas perilaku manusia dalam konteks kemasya-

rakatan, baik antar-manusia maupun berkenaan

dengan lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok

dan bentuk-bentuk pengungkapannya (penampilan-

nya) di dalam masyarakat.

7. Ekonomi. Ilmu Ekonomi sangat menentukan sebagai

faktor-faktor pembentukan hukum secara hakikat terkait

hal memperoleh dan pembagian barang-barang dalam

suatu masyarakat yang memandang kepentingan

material sebagai tema utama dari kegiatan politikalnya

Page 101: Hukum Ekonomi Digital

76

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(juga dalam apa yang dinamakan sektor sosial). Hukum

tidak dapat dijelaskan tanpa masukan (kontribusi) dari

Ilmu Ekonomi.

8. Antropologi Budaya. Ilmu Antropologi Budaya yang

mempelajari kultur-kultur dalam semua aspek mereka,

struktur sosial, perkerabatan, organisasi-organisasi

politik, teknik, ekonomi, religi, dan lain-lain, bagi teoretisi

hukum adalah sangat penting. Antropologi Budaya

mensituasikan hukum sebagai suatu aspek dari kultur

dalam perkaitan yang umum. Dalam arti aslinya dari

Etnologi, ia memberikan informasi tentang peradaban

dari bangsa-bangsa non-barat yang dengan mereka

harus diciptakan komunikasi yuridikal yang erat, seperti

pembentukan hukum nasional Indonesia akan ikut

ditentukan oleh hal itu.

9. Teknologi. Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak

hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis,

sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah

mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat

mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat

pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan

teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel mem-

berikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas

uraian pemikirannya dalam History Lessons for a Gen-

eral Theory of Law and Technology bahwa “The mar-

vels of technological advance are not always risk- free.

Page 102: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

77

Such risks and perceived risks often create new issues

and disputes to which the legal system must respond.”128

Tujuan hukum di Indonesia yang berdasarkan Cita-

hukum Pancasila adalah mewujudkan pengayoman bagi

manusia yaitu melindungi manusia secara pasif dengan

mencegah tindakan sewenang-wenang, dan melindungi

secara aktif dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan

yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasya-

rakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap

manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara

utuh.129 Termasuk dalam rumusan dimaksud adalah tujuan

untuk memelihara dan mengembangkan “budi pekerti

kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dimana pelak-

sanaan pencapaian tujuan hukum itu dilaksanakan dengan

upaya mewujudkan ketertiban dan keteraturan yang

memunculkan prediktabilitas; kedamaian yang berketen-

teraman; keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, pro-

tektif); kesejahteraan dan keadilan sosial; dan pembinaan

akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mazhab, aliran dan teori hukum beserta tokohnya dari

tahun 1960-an sampai dengan tahun 2000-an (post mod-

128 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law andTechnology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology,Vol. 8:2, 2007, hlm. 551.

129 Teori Hukum Pembangunan dikembangkan di Universitas Padjadjaran;Studi Hukum Kritis oleh ESLAM dengan tokohnya SoetandyoWignjosubroto dan Ifdal Kasim; dan Cita Hukum Pancasila atau FilsafatHukum Pancasila di Universitas Parahyangan Bandung.

Page 103: Hukum Ekonomi Digital

78

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

ern) atau milenial dapat diilustrasikan dengan periodisasi

Revolusi Industri adalah sebagaimana tabel berikut ini:130

Tabel 2. Mazhab, Aliran dan Teori Hukum beserta Tokohnyadalam Periodisasi Revolusi Industri dari tahun1960-an sampai

dengan tahun 2000-an (post modern-milineal)

Tahun

RevolusiIndustri

Wilayah

Tokoh

1960-1970

III1969-2010

Inggris danAmerika Serikat

HartFullerKelsen

1970-1990

III1969-2010

posnerUngerHartMochtarKusumaatmadjaFinnisDworkinRawls

1990-2010

III dan IV1969-2010

2010>

IV2010-2018

PosnerUngerHartMochtar KusumaatmadjaFinnisNeo-Modern

Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Australia

TeoriHukum

HART:Neo-Positivis(revived/new-positivism)

FULLER:Teori HukumAlam Baru(New NaturalLaw)

KELSEN:Teori HukumMurni (newconceptualism)

POSNER:The EconomicAnalysis of Law

UNGER:TheCriticalLegal Studies

HART:Neo-Positivis(revived/new-positivism)

MochtarKUSUMA-ATMADJA:Teori HukumPembangunan

FINNIS:Neo-NaturalLaw

POSNER:The Economic Analysisof Law

UNGER:The Critical Legal Studies

HART: Neo-Positivis(revived/neo-positivism)

MochtarKUSUMAATMADJA:Teori Hukum Pembangunan

Satjipto RAHARDJO:Teori Hukum Progresif

Romli ATMASASMITA:Teori Hukum Integratif

Danrivanto BUDHIJANTO:Teori Hukum Konvergensi

Page 104: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

79

1. Konsepsi Keadilan

Di samping analisis atas pengertian-pengertian teknikal

yuridik (konsep yuridik), juga analisis atas pengertian-

pengertian dan konsep-konsep dalam Teori Hukum dan

Filsafat Hukum dapat sangat produktif dan menjernihkan.

Di sini suatu konfrontasi dengan teknik hukum adalah

dengan Dogmatika Hukum yaitu antara hukum positif dan

dengan praktik hukum, terutama akan merupakan metode

yang paling disarankan bagi teoretisi hukum untuk menam-

pilkan pengertian-pengertian secara lebih tajam dan menguji

kegunaan mereka.

Beberapa pengertian, seperti “keadilan” (rechtvaardig-

heid atau gerechtigheid) telah menjadi sebab yang meng-

hadirkan suatu kepustakaan yang melimpah. Analisis-

analisis atas pengertian persamaan (gelijkheidsbegrip) juga

di sini terkait erat padanya, seperti “kebebasan”, “kepastian

hukum”, “kelayakan” (billijkheid), “negara hukum” (rule of

law). Kepustakaan yang dicurahkan pada pengertian-

pengertian ini tidak cukup diberikan perhatian pada suatu

analisis yang cermat dan uraian pengertian (begripsom-

schrijving) atas pengertian-pengertian yang dipersoalkan. Di

130 Sumber: Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Principle,Lawbook Co, New South Wales, 2004, hlm. 15, Lihat MochtarKusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PusatStudi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasamadengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006 yang memuat pemikiran-pemikirannya yaitu Fungsi dan Perkembangan Hukum dalamPembangunan Nasional; dan Hukum, Masyarakat, dan PembinaanHukum Nasional: Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola danMekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia. Lihat pula Gary Minda,“The Jurisprudential Movements of the 1980’s”, Ohio State Journal, 1989.

Page 105: Hukum Ekonomi Digital

80

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sini juga terdapat lagi suatu ruang yang terbuka untuk

penelitian bidang Teori Hukum.

Hal dimaksud lebih berlaku lagi untuk analisis atas

pengertian-pengertian seperti “hakikat dari urusan atau

ihwalnya” (de aard van de zaak), “itikad baik”, “penyalah-

gunaan hak”, “rechtsverwerking” (pelepasan hak), “kesa-

daran hukum”, “perasaan hukum”, “kemauan negara”

(staatswil).

Plato berusaha untuk memulihkan kembali, sejauh

mungkin, analogi tradisional antara keadilan dan kosmos

yang tertib. Keadilan (justice), atau tindakan yang benar,

tidak dapat diidentikkan dengan hanya kepatuhan pada

aturan-aturan hukum, juga suatu kehidupan moral yang

sejati tidak dapat direduksikan menjadi sekedar konformitas

pada suatu katalog kewajiban-kewajiban konvensional.

Kewajiban melibatkan (berkaitan dengan) suatu penge-

tahuan tentang apa yang baik bagi manusia, dan hal ini

bertalian erat dengan sifat manusia. Pertanyaan “Apa

keadilan itu?” mendominasi karya Plato yang berjudul “Re-

public”. Plato memahami keadilan sebagai suatu ciri dari

sifat (watak) manusia yang mengkoordinasi dan membatasi

berbagai elemen dari psike manusia pada lingkungannya

yang tepat (proper spheres), agar memungkinkan manusia

dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.

Untuk dapat memahami bekerjanya keadilan di dalam

jiwa manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam konteks

yang luas, dalam kerangka negara kota (polis). Negara akan

berfungsi baik jika diperintah oleh orang yang memahami

seni pemerintahan (art of government), dan penerapan seni

Page 106: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

81

ini memerlukan pemahaman yang mendalam (insight)

secara positif tentang Yang Baik (the Good). Di dalam suatu

masyarakat yang adil, setiap warga menjalankan peran yang

ia paling mampu melaksanakannya demi kebaikan dari

keseluruhan. Demikian juga halnya, di dalam moral eko-

nomi dari kehidupan pribadi, keadilan menang (menge-

muka) jika akal menang dan selera serta nafsu rendah

diletakkan pada tempatnya yang sesuai. Suatu tertib sosial

yang adil tercapai sejauh akal dan asas-asas rasional

mengatur kehidupan para anggotanya.

Tekanan Plato pada akal mempengaruhi definisinya

tentang hukum. Hukum adalah pikiran yang masuk akal

atau pikiran hasil penalaran (reasoned thought, logismos,

pikiran terargumentasi) yang dirumuskan dalam keputusan

negara (Laws, 644d). Plato menolak pandangan bahwa

otoritas dari hukum bertumpu semata-mata hanya pada

kemauan dari kekuasaan yang memerintah (governing

power). Buku yang berjudul Laws berisi suatu uraian yang

terinci tentang berbagai cabang dari hukum dan merupakan

suatu percobaan untuk merumuskan suatu sistem aturan-

aturan untuk memerintah keseluruhan kehidupan sosial.

Berbeda secara kontras dengan konsep polis yang ideal

seperti yang dipaparkan dalam karya berjudul Republic.

yang di dalamnya tidak diperlukan adanya perundang-

undangan yang terinci, di dalam Laws, Plato menerima

“aturan hukum dan ketertiban, yang merupakan yang

terbaik kedua” (Laws 875d).

Manusia sepanjang peradabannya telah mengenal

hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat

Page 107: Hukum Ekonomi Digital

82

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

maksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan

peraturan-peraturan yang bersifat memaksa. Peraturan-

peraturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan-kepen-

tingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan

sesamanya dalam pergaulan hidup. Selain hukum sebagai

suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita

mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemi-

kian kuat dan mendalam sehingga dalam perasaan dan

percakapan sehari-hari telah berubah menjadi suatu tuntut-

an hukum yang diakui dan dipertahankan.131

Anjuran bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan

kepentingan-kepentingan mereka atau kelompoknya dalam

bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat dikeluarkan

berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu

anjuran moral atau rasa susila yang seyogianya senantiasa

ada pada batin mereka. Kaidah moral atau kesusilaan hanya

menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada hak kepada

orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang

menjadi peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika

penguasa tersebut akan memandang moral atau rasa susila

tersebut sebagai hak orang lain (dalam hal ini rakyat dan

masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya

penyelundupan hukum-demi kepentingan mereka yang

berkedok hukum formal-dan membuat peraturan-peraturan

yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak.

Hukum menetapkan kode moral (moral code) yang

lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan

131 Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1990.

Page 108: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

83

fungsi sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang

spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat

moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan

yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum,

termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa

yang memiliki wewenang untuk itu.

Akhirnya, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat

sebagai penggabungan moralitas/keadilan sosial, terhadap

mana individu-individu, kelompok-kelompok atau organi-

sasi pemerintah harus senantiasa mengorientasikan tingkah

lakunya. Memahami bahwa tuntutan masyarakat dapat

sangat berbeda dengan pembuat hukum, maka konsepsi-

konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan

khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam

hukum harus merupakan perwujudan moralitas sosial.

Selanjutnya, berdasarkan keyakinan bahwa hukum

merupakan penggabungan moralitas sosial maka perlu

pengujian sederhana mengenai efektivitas pemberlakuan

produk perundang-undangan dalam masyarakat dengan

menggunakan 3 (tiga) alat uji yaitu: substansi hukum (legal

substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya

hukum (legal culture). Asumsi yang mendasari tema ini ialah

bahwa hukum bisa, atau, seringkali bertentangan dengan

moralitas atau keadilan sosial. Hal ini menimbulkan perta-

nyaan: bagaimana serta dalam kondisi mana hukum-sebagai

perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk

menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan

kebijakan-dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

Page 109: Hukum Ekonomi Digital

84

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Karl Marx dalam pendekatan analisisnya terhadap

pembuatan undang-undang didapatkan ciri-ciri kekuasaan

hukum dalam masyarakat kapitalis, yaitu wataknya yang

palsu, dimana keinginan atau kenyataan yang ada dalam

masyarakat dirumuskan berdasarkan keinginan-keinginan

pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas

hukum formal dan dengan cara seperti itu kekuasaan

hukum dinyatakan berlaku. Tetapi apabila kepentingan-

kepentingan kelas terbentur asas-asas hukum yang telah

ditegakkan, maka dibuatlah pengecualian-pengecualian

dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum tersebut

yang dibuat dalam bentuk yang (seolah-olah) formal juga,

yang menurut Marx disebut sebagai ketidakjujuran kelas

yang berkuasa terhadap hukum.132

Gambaran Marx seperti itu ternyata terjadi pula di

Indonesia terutama di masa Orde Baru, hukum yang diwu-

judkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan

dengan sangat mudah diputarbalikkan oleh penguasa

(pemerintah) demi mengamankan kepentingan-kepen-

tingan mereka. Mereka yang membuat peraturan, mereka

pula yang paling pertama melakukan pelanggaran atau

membuat pengecualian-pengecualian. Secara teknis legal

formal, pengaturan-pengaturan yang dibuat oleh penguasa

kadang-kadang terlihat sangat valid dalam materinya,

namun acapkali substansi materi peraturan tersebut ternyata

hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan

penguasa atau pihak yang berada di belakangnya.

132 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan PerkembanganSosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Page 110: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

85

Terjadi penyelelundupan-penyelundupan kepentingan

yang terjadi pada penerapan hukum, sehingga yang muncul

pada materi perundang-undangan tampak dari luar sah dan

valid namun dilihat dari segi substansinya terlihat sangat

immoral, artinya seringkali merupakan perwujud penipuan-

penipuan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.

Sistem atau struktur hukum Indonesia yang merupakan

warisan sistem hukum Belanda, berangkat dari pemikiran-

pemikiran Eropa Kontinental dimana Positivisme mengalir

sangat kuat, hukum diwujudkan lebih kepada perangkat

aturan-aturan tertulis dan acapkali mengabaikan sumber-

sumber hukum lain seperti adat-istiadat, kebiasaan dan yuris-

prudensi yang lebih banyak merupakan perwujudan rasa

keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Bernard Arief Sidharta berpendapat bahwa sistem

hukum Eropa Kontinental hanya dapat berlaku efektif dan

efisien pada masyarakat-masyarakat yang telah memiliki

kesadaran atau mental hukum (legal culture) yang sangat

tinggi seperti pada negara-negara yang telah maju, sementara

di Indonesia dimana pemerintah dan masyarakatnya belum

sepenuhnya sadar akan supremasi hukum tampaknya akan

lebih cocok apabila diberlakukan sistem hukum yang

dianut seperti pada negara-negara Anglo Saxon, dimana

hukum tercipta melalui kesadaran yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat itu sendiri, yang tidak

melulu terpatok dalam buku-buku perundang-undangan

yang kaku.133

133 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya PengembanganIlmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

Page 111: Hukum Ekonomi Digital

86

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Kelemahan lain yang digambarkan oleh Bernard Arief

Sidharta bahwa asas tata urutan perundang-undangan (Tap

MPRS No. XX Tahun 1966) yang mengacu kepada teori

stufenbau des recht seringkali ternyata dalam pelaksana-

annya di Indonesia diputarbalikkan, seperti misalnya

Keputusan-keputusan Presiden yang seharusnya melak-

sanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

ternyata acapkali menyimpang atau bahkan bertentangan

dengan undang-undang yang seharusnya dipedomani.134

Seringkali kita jumpai pula bentuk-bentuk peraturan yang

secara limitatif telah diatur, ternyata dalam kenyataannya

muncul bentuk-bentuk lain seperti Keputusan Bersama

Menteri. Berdasarkan shal-hal dimaksud, menurut Arief

Sidharta bahwa sudah saatnya Indonesia memikirkan

perubahan-perubahan secara mendasar pada sistem

hukumnya, sehingga dapat secara fleksibel mengakomo-

dasi perubahan-perubahan materi perundang-undangan

seperti yang telah digambarkan di atas, sehingga tidak akan

ada lagi hujatan yang dialamatkan kepada pemerintah

bahwa selama ini ternyata tidak konsisten melaksanakan

asas-asas yang berlaku umum dalam dunia ilmu hukum.

Hukum harus senantiasa berada dimuka, guna

mengantisipasi perubahan-perubahan mendasar yang

sangat cepat terjadi pada masyarakat sehingga

permasalahan-permasalahan yang berkembang di

masyarakat akan segera mendapatkan jawaban dan

pemecahannya sedini dan sesegera mungkin, dan jika kita

134 Id.

Page 112: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

87

merujuk kepada pendapat seorang penganut pragmatisme

hukum dari Amerika Serikat yaitu Roscoe Pound dikatakan

bahwa hukum harus dijadikan sebagai alat pembaruan

sosial (law as a tool of social engineering).

Moralitas dalam hukum diinterpretasikan dalam ber-

bagai cara.135 Pertama, sebagai larangan atas perbuatan

immoral yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang menga-

kibatkan kerugian pada orang-orang atau pada masyarakat,

misalnya pencurian atau pembakaran dan kegiatan yang

tidak menimbulkan kerugian seperti itu misalnya dalam hal

pelarangan pelacuran dan pelanggaran-pelanggaran lain-

nya dalam bidang moralitas seksual dan kesusilaan umum.

Kedua, hukum menetapkan kode moral yang lazim

dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial.

Misalnya hukum kontrak, mengharuskan cara-cara tertentu

bagi pihak-pihak yang terikat dalam hubungan-hubungan

kontrak. Hukum perburuhan berisi berbagai peraturan moral

bagi interaksi antara majikan dan buruh. Terdapat juga

peraturan-peraturan yang bersifat indisipliner bagi berbagai

profesi penting, seperti misalnya profesi-profesi dokter, ahli

hukum dan wartawan.

Ketiga, terdapat suatu moralitas hukum yang spesifik,

yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral

yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang

dikembangkan dalam praktik di bidang hukum dan yang

135 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 1988.

Page 113: Hukum Ekonomi Digital

88

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terikat dalam lembaga-lembaga dan ajaran-ajaran hukum.

Moralitas hukum ini merupakan bidang khusus para ahli

hukum dan para sarjana hukum. Seringkali moralitas ini

harus dilindungi terhadap pendapat mayoritas dan terhadap

kepentingan-kepentingan politik dan sosial yang penting,

misalnya, asas proses hukum yang wajar dalam pengadilan-

pengadilan terhadap teroris politik. Di sini kita menjumpai

peraturan-peraturan dan asas-asas hukum yang spesifik bagi

pemakaian dan pelaksanaan peraturan-peraturan lainnya,

seperti asas bahwa tidak seorangpun boleh dihukum kecuali

jika ia terbukti bersalah karena melanggar peraturan hukum

yang diumumkan dan diketahui sebelumnya, dan kecuali

jika ia telah diberi kesempatan untuk didengar dan untuk

membela dirinya.

Negara hukum formal adalah hasil perwujudan masya-

rakat dalam praktik, yang cenderung menjauhkan hukum

dari keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang

mengalami krisis moral yang sangat mendasar seperti di

Indonesia, maka sebagaimana yang dikemukakan oleh

Friedmann bahwa semua nilai-nilai dan asas-asas hukum

yang sangat fundamental untuk mewujudkan keadilan justru

dapat menjauhkan “hukum” dari keadilan atau kebutuhan

hukum riil masyarakat yang sesungguhnya.136

136 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 1988.

Page 114: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

89

2. Konsepsi Kepastian Hukum

Joseph W. Bingham adalah salah seorang realist yang

pertama sebagaimana dimuat dalam karyanya “What is the

Law?” (Michigan Law Review, Vol.11, 1912, 1 25 and 109

121). Bingham mengemukakan bahwa aturan hukum,

seperti kaidah-kaidah ilmiah, tidak mempunyai eksistensi

independen, karena hanya merupakan konstruksi-konstruksi

mental yang dengan mudah meringkaskan fakta-fakta

partikular. Kaidah-kaidah hukum sungguh-sungguh adalah

keputusan-keputusan yudisial, dan apa yang disebut aturan-

aturan atau asas-asas termasuk dalam faktor-faktor kausatif

(secara mental) yang ada di belakang keputusan itu. Nomi-

nalisme dan Behaviorisme ini, yang menjadi ciri khas penulis

penulis realist awal, dikritik oleh Morris R. Cohen (1880–

1947), hingga akhir akhir ini seorang dari sedikit filsuf

akademis di Amerika Serikat yang mempunyai perhatian

pada filsafat hukum. “Analisis perilaku” dipertahankan oleh

Karl N. Llewllyn, yang memperluas penerapan analisis itu

melampaui perilaku yudisial pada perilaku “pejabat” (Juris-

prudence, Chicago, 1962; collected papers).

Apa yang disebut mitos kepastian hukum diserang oleh

Jerome Frank (1889-1957) dalam karyanya Law and the

Modern Mind (New York, 1930), yang menjelaskan sumber

mitos itu dalam peristilahan Freudian. Dalam edisi keenam

(New York, 1949), Frank bersikap lebih ramah terhadap

pemikiran hukum alam, yang menandai perubahan sikap-

nya dari sikap “skeptisisme aturan” pada awalnya menuju

ke “skeptisisme fakta” (Courts on Trial, Princeton, N.J. 1949).

Realist penting lainnya meliputi Thurman Arnold, Leon

Page 115: Hukum Ekonomi Digital

90

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Green, Felix Cohen, Walter Nelles, Herman Oliphant, dan

Fred Rodell. Baik positivisme maupun realisme, dua-duanya

diserang oleh Lon L. Fuller (Law in Quest of Itself, Chicago,

1940), seorang eksponen pemikiran hukum alam non

Thomistik dari Amerika yang berpengaruh (The Morality of

Law, New Haven, 1964). Hidup kembalinya (revival) doktrin-

doktrin hukum alam adalah salah satu aspek yang sangat

menarik dalam perkembangan pemikiran hukum pada

masa kini. Kontribusi-kontribusi dan kritik-kritik mutakhir

dapat ditemukan di dalam majalah The Natural Law Fo-

rum.

William Twining dalam Globalisation and Legal Theory

mengemukakan bahwa perlu dilakukan kategorisasi teori-

teori hukum sesuai dengan zamannya sehingga sulit untuk

menyatakan bahwa suatu teori yang bersifat universal.137

Teori-teori yang lahir pada abad ke-19 atau abad ke-20

karena latar belakangnya berbeda memiliki pendekatan

yang berbeda pula. Teori-teori yang lahir pada abad ke-21

akan dipengaruhi oleh tantangan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta globalisasi di berbagai

bidang akan sangat mewarnai teori-teori hukumnya.

Studi literatur menunjukkan bahwa Aliran Positivisme

Hukum atau Aliran Hukum Positif begitu kental mewarnai

pemikiran-pemikiran hukum pada abad ke-19 bahkan

hingga abad ke-20. Aliran Hukum Positif dipengaruhi oleh

pemahaman sebelumnya (Legisme) bahwa hukum identik

dengan undang-undang dan satu-satunya sumber hukum

137 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-don, 2000, hlm. 52-53.

Page 116: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

91

adalah undang-undang.138 Hukum adalah perintah

penguasa sebagaimana yang dikatakan John Austin memi-

liki dimensi pemahaman bahwa penguasa adalah mereka

yang memegang kekuasaan tertinggi/kedaulatan sehingga

hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi

kewajiban dan kedaulatan (law is a command of lawgiver).139

Konsekuensi yang muncul adalah hukum harus berisikan

aturan/ketentuan dalam berbentuk tertulis sebagai peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa berda-

sarkan kewenangan yang dimilikinya melalui konstitusi

(legislasi).

Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen bahkan menya-

takan bahwa hukum perlu dibersihkan dari anasir-anasir

(unsur) non-yuridis seperti etis, sosiologis, politis termasuk

kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat

(living law).140 Sehingga semakin menguatkan pemahaman

bahwa hukum adalah peraturan perundang-undangan dan

bukan termasuk hukum yang tidak tertulis. Namun pada

sisi yang lain dengan hukum harus dalam bentuk tertulis

maka dapat diwujudkan adanya kepastian hukum (legal

certainty) sehingga pada akhirnya dapat terhindarkan

adanya kesewenang-wenangan dari penguasa.

138 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 56.

139 John Austin menggangap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas tidakdapat dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilaiyang baik atau buruk.

140 Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law & State, Transaction Pub-lishers, New Jersey, 2006.

Page 117: Hukum Ekonomi Digital

92

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

3. Konsepsi Ketertiban

Aristoteles yang membahas hukum dalam berbagai konteks,

tidak pernah memberikan suatu definisi formal tentang

hukum. Ia menulis dengan cara yang berbeda-beda bahwa

hukum adalah “suatu jenis ketertiban, dan hukum yang

baik adalah ketertiban yang baik” (Politics 1326a), “akal

yang tidak dipengaruhi oleh nafsu” (ibid. 1287a), dan “jalan

tengah” (ibid. 1287b). Namun, semuanya itu tidak dapat

dianggap sebagai suatu definisi, melainkan sebagai ciri-ciri

(karakterisasi) hukum yang dimotivasi oleh sesuatu yang

mau dikemukakan oleh Aristoteles dalam konteks tertentu.

Mengikuti pendapat Plato, Aristoteles menolak pan-

dangan kaum Sofis yang berpendapat bahwa hukum itu

adalah hanya konvensi saja. Di dalam suatu komunitas yang

sejati –sebagaimana yang dibedakan dari suatu aliansi, yang

di dalamnya hukum hanya sekadar suatu “covenant”–

hukum berkaitan dengan kebajikan moral (moral virtue,

keutamaan moral) dari para warga masyarakat. Aristoteles

secara tajam membedakan antara konstitusi (politeia) dan

aturan-aturan hukum (nomoi); konstitusi berkaitan dengan

organisasi jabatan-jabatan di dalam negara, sedangkan

aturan aturan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang

berdasarkannya para pejabat harus menjalankan penge-

lolaan negara, dan mengambil tindakan terhadap para

pelanggarnya (ibid. 1289a). Konstitusi suatu negara dapat

saja mengarah pada demokrasi, walaupun kaidah-kaidah

hukumnya diterapkan dalam semangat oligarki dan sebalik-

nya (ibid. 1292b). Perundang-undangan seyogianya diarah-

Page 118: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

93

kan untuk mewujudkan kepentingan bersama (umum) dari

para warganegara, dan keadilan –yang pada dasarnya

sama– seyogianya ditetapkan berdasarkan standar kepen-

tingan bersama (ibid. 1283a).

Namun Aristoteles mengakui bahwa hukum seringkali

merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelas khusus

(sekelompok orang, a particular class), dan ia menekankan

peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu faktor

stabilisasi. Tampaknya Aristoteles mempunyai dua pertim-

bangan dalam pikirannya. Pertama, pengambilan kepu-

tusan yudisial itu bersifat praktis –hal itu melibatkan

pertimbangan– dan sebagai demikian tidak dapat sepenuh-

nya ditentukan terlebih dahulu. Kedua, penyelesaian isu-

isu tentang fakta yang dipersoalkan dalam suatu kasus

tertentu, yang berdasarkannya keputusan itu tergantung,

tidak dapat diputuskan terlebih dahulu oleh perundang-

undangan. Penekanan pada ketidakcukupan dari aturan-

aturan umum ini berkaitan dengan pembahasan Aristoteles

yang berpengaruh tentang ekuitas (equity, epieikeia). Ekuitas

adalah adil (just), “tetapi bukan adil secara legal melainkan

suatu koreksi terhadap keadilan yang legal (legal justice)”

(Nicomachean Ethics 1137b10).

Kadang kadang Aristoteles tampak seperti mau

mengemukakan bahwa ekuitas berperan bila terdapat

kekosongan di dalam hukum, sehingga ia (ekuitas itu)

berwujud dalam bentuk tindakan hakim sebagaimana yang

akan dilakukan oleh pembentuk hukum (lawgiver) jika ia

dihadapkan pada persoalan yang bersangkutan. Namun ia

Page 119: Hukum Ekonomi Digital

94

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

juga tampak seperti mau mengemukakan bahwa ekuitas

mengkoreksi kekerasan (kekakuan, harshness) dari hukum

bila keputusan sesuai dengan aturan tertulis akan meng-

hasilkan suatu ketidakadilan. Dengan demikian, asas-asas

ekuitas berkaitan erat dengan kaidah-kaidah hukum

universal yang tidak tertulis “berdasarkan pada alam”, suatu

“keadilan alamiah” (natural justice) yang mengikat semua

orang, bahkan juga mereka yang tidak mempunyai asosiasi

atau persetujuan antara satu dengan lainnya. Namun, apa

yang adil secara alamiah itu dapat berbeda-beda dari

masyarakat ke masyarakat.

4. Konsepsi Kemanfaatan

Penetapan sebuah undang-undang, penutupan sebuah

kontrak, dan penyerahan (pengalihan, transfer) pemilikan

atau hak-hak lain dengan penggunaan perkataan-

perkataan, tertulis atau lisan, adalah contoh-contoh dari

transaksi hukum (legal transaction) yang telah dimungkinkan

oleh adanya tipe-tipe aturan hukum tertentu dan dapat

didefinisikan dalam kerangka aturan-aturan demikian. Bagi

beberapa pemikir, transaksi-transaksi (tindakan dalam

hukum [act in the law] atau perbuatan hukum [juristic act])

yang demikian tampak misterius –beberapa orang bahkan

telah menyebut mereka “magical”– karena mereka menga-

kibatkan perubahan kedudukan hukum para individu atau

terciptanya atau hapusnya undang-undang.

Karena, dalam hampir semua sistem hukum modern,

perubahan perubahan demikian biasanya ditimbulkan

Page 120: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

95

dengan penggunaan perkataan perkataan, tertulis atau lisan,

tampaknya seperti terdapat sejenis “legal alchemy” (kimia

hukum, abrakadabra hukum). Tidaklah jelas bagaimana

hanya sekedar penggunaan ekspresi ekspresi seperti

“dengan ini ditetapkan .....”, “Saya dengan ini mewariskan

....”, atau “para pihak dengan ini menyepakati ....” dapat

menghasilkan perubahan perubahan. Dalam kenyataan,

bentuk umum dari gejala ini bukanlah secara eksklusif

bidang hukum (not exclusively legal), namun secara

komparatif hanya baru akhir-akhir ini secara jelas diisolasi

dan dianalisis. Perkataan-perkataan dari suatu perjanjian

biasa (promise) atau yang digunakan dalam suatu upacara

pembabtisan untuk memberi nama seorang anak jelas dapat

dianalogikan dengan tindakan-tindakan dalam bidang

hukum. Para ahli hukum kadang-kadang membedakan

fungsi bahasa yang khas ini sebagai penggunaan “perkataan-

perkataan yang operatif” (operative words), dan di bawah

kategori ini telah membedakan, misalnya, perkataan-

perkataan yang digunakan dalam sebuah perjanjian sewa-

menyewa (lease) untuk menciptakan hubungan sewa-

menyewa (tenancy) dari semata mata bahasa deskriptif dari

penyebutan fakta-fakta mengenai para pihak dan kese-

pakatan mereka.

Perkataan-perkataan (atau dalam hal-hal tertentu

gerakan tangan, seperti pemungutan suara atau bentuk-

bentuk perilaku lain) ditujukan untuk mempunyai efek

operatif sehingga harus ada aturan-aturan hukum yang

menetapkan bahwa jika perkataan-perkataan (atau gerakan

Page 121: Hukum Ekonomi Digital

96

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

gerakan) itu digunakan dalam situasi yang tepat (sesuai,

appropriate) oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi yang

diperlukan untuk itu, maka aturan hukum tertentu atau

kedudukan para individu harus dianggap telah berubah.

Aturan-aturan yang demikian dapat dipandang dari satu

sudut pandang tertentu sebagai memberikan pada bahasa

yang digunakan sejenis kekuatan atau efek tertentu yang

dalam suatu pengertian yang luas merupakan arti dari

mereka (bahasa itu); dari sudut pandang yang lain mereka

dapat dipandang (dipersepsi) sebagai memberikan kepada

para individu kekuasaan hukum (legal power) untuk men-

ciptakan (mengadakan) perubahan-perubahan hukum yang

demikian.

Dalam Ilmu Hukum Kontinental diberikan pemahaman

bahwa aturan-aturan yang demikian biasanya disebut

sebagai “kaidah-kaidah kompetensi” (kaidah-kaidah

kewenangan) untuk membedakannya dari aturan-aturan

hukum yang lebih sederhana yang hanya menetapkan

kewajiban-kewajiban dengan atau tanpa hak-hak yang

berkaitan dengannya. Sebagaimana yang sudah diimpli-

kasikan dalam ungkapan-ungkapan “acts in the law”

(tindakan dalam kerangka hukum, perbuatan hukum) dan

“operative words” (kata-kata operatif), terdapat kesamaan

yang penting antara eksekusi (pelaksanaan) transaksi-

transaksi hukum dan kasus-kasus tindakan manusia yang

lebih jelas. Butir-butir kesamaan ini adalah sangat penting

dalam pemahaman tentang apa yang sering tampaknya

problematikal –relevansi keadaan mental atau psikologik

Page 122: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

97

para pihak yang bersangkutan dengan pembentukan atau

keabsahan transaksi-transaksi yang demikian.

Dalam banyak hal aturan-aturan yang relevan mene-

tapkan bahwa sebuah transaksi adalah tidak sah atau

sekurang-kurangnya terbuka kemungkinan untuk dike-

sampingkan berdasarkan keadaan pihak pihak jika pihak

yang mengadakannya gila, keliru mengenai hal tertentu, di

bawah paksaan atau pengaruh di luar batas (undue influ-

ent). Di sini terdapat suatu analogi yang penting dengan cara-

cara yang berdasarkan fakta-fakta psikologi yang sama (mens

rea) dapat, sesuai dengan asas-asas hukum pidana, mem-

bebaskan seseorang dari pertanggungjawaban pidana untuk

tindakan-tindakannya. Dalam kedua lingkungan itu terdapat

eksepsi-eksepsi (pengecualian): dalam hukum pidana

terdapat beberapa kasus pertanggung-jawaban “strict” (strict

liability) di mana unsur pengetahuan atau intensi (niat) tidak

perlu dibuktikan; dan dalam beberapa tipe transaksi, bukti

bahwa seseorang mengaitkan arti khusus pada perkataan-

perkataan yang ia gunakan atau keliru dalam beberapa hal

dalam penggunaan mereka tidak akan membatalkan (in-

validate) transaksi tersebut, sekurang-kurangnya terhadap

pihak yang dengan itikad baik telah mendasarkan diri pada

transaksi itu.

Perhatian terhadap analogi-analogi antara transaksi

hukum yang sah dan tindakan yang bertanggungjawab dan

kondisi kondisi mental bahwa dalam hal yang satu (dapat)

membatalkan dan dalam hal lain dapat membebaskan dari

pertanggungjawaban ini dapat menjelaskan banyak per-

Page 123: Hukum Ekonomi Digital

98

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

tentangan teoretikal yang kabur tentang sifat (hakikat)

transaksi hukum seperti kontrak. Demikianlah, menurut salah

satu teori utama (teori “kehendak”, “will” theory) sebuah

kontrak menurut esensinya adalah suatu fakta psikologikal

yang kompleks –sesuatu yang muncul bila terjadi suatu

pertemuan pikiran (meeting of minds, consensus ad idem)

yang bersama sama “menghendaki” atau “menginginkan”

timbulnya (adanya) sejumlah hak dan kewajiban secara

bertimbal balik. Perkataan-perkataan yang digunakan,

menurut teori ini, adalah hanya bukti saja dari konsensus

ini.

Teori rivalnya (teori “objektif”) berpendapat bahwa apa

yang menciptakan kontrak bukanlah suatu gejala psikolo-

gikal, melainkan penggunaan secara aktual dari perkataan-

perkataan penawaran dan penerimaan, dan bahwa kecuali

dalam hal-hal khusus hukum semata-mata hanya mem-

berikan akibat pada arti yang biasa dari bahasa yang

digunakan para pihak dan tidak memperdulikan keadaan

alam pikiran aktual mereka. Jelasnya, tiap pihak pada per-

tentangan pendapat ini berpegangan erat pada sesuatu yang

penting tetapi terlalu melebih-lebihkannya. Memang benar,

seperti pada janji biasa, sebuah kontrak hukum tidak dibuat

oleh fakta-fakta psikologikal. Sebuah kontrak, seperti sebuah

janji biasa, “dibuat” (diciptakan) tidak oleh adanya keadaan

mental tetapi oleh perkataan-perkataan (atau dalam bebe-

rapa hal oleh perbuatan-perbuatan). Jika ia diciptakan secara

verbal, maka ia diciptakan dengan penggunaan operatif dari

bahasa, dan terdapat banyak aturan hukum yang tidak

Page 124: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

99

konsisten dengan gagasan bahwa suatu consensus ad idem

disyaratkan. Di lain pihak, hanya karena penggunaan

operatif dari bahasa adalah suatu jenis tindakan, hukum

dapat –dan dalam hampir semua sistem hukum yang

beradab berlaku– memperluas padanya suatu doktrin

tentang pertanggungjawaban atau validitas (keabsahan)

yang membuat unsur-unsur mental tertentu menjadi relevan.

Demikianlah sebuah kontrak, walaupun dibuat dengan

perkataan-perkataan, dapat batal atau dibatalkan jika salah

satu pihak gila, keliru dalam beberapa hal, atau ada di bawah

tekanan jiwa (under duress). Karena itu, kebenaran yang

ada secara laten di antara kesalahan-kesalahan teori

“kemauan” dan teori “objektif” dapat dipertemukan dalam

suatu analisis yang mengungkapkan secara eksplisit analogi

antara transaksi-transaksi yang diciptakan dengan peng-

gunaan bahasa secara operatif dan tindakan-tindakan yang

bertanggungjawab.

Sementara Kant dan para pengikutnya dapat dikatakan

telah mempertahankan suatu jenis pemikiran tentang

hukum alam (masih menganut suatu konsep hukum alam,

walaupun berbeda dari tipe pandangan Stoa dan Thomistik),

Jeremy Bentham (1748–1832) dan pengikut pengikutnya

(terutama John Stuart Mill) mengklaim menolak pemikiran

yang demikian secara menyeluruh. Pertama, David Hume

(1711–1776) mengemukakan bahwa distingsi (penilaian)

moral tidak diderivasi dari akal (reason); nafsu (passion), atau

sentimen, adalah landasan paling akhir dari penilaian moral

(moral judgment). Keadilan berakar dalam utilitas/

Page 125: Hukum Ekonomi Digital

100

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kemanfaatan. Kedua, kriminolog dari Italia bernama Cesare

Beccaria (1738-1794), dalam karyanya “Of Crimes and

Punishments” (1764), melancarkan kritik yang sangat tajam

tanpa tedeng aling-aling terhadap institusi-institusi hukum

pidana dan metode-metode penghukuman yang ada pada

waktu itu. Standar penilaiannya adalah apakah “kebaha-

giaan terbesar bagi jumlah terbanyak” telah diwujudkan

secara maksimal. Bentham mengakui jasa Beccaria bagi

perkembangan pemikirannya, dan “asas utilitas” (asas

manfaat) ini menjadi dasar dari berjilid-jilid “codes” yang

direncanakan Bentham. Namun, ia tidak merumuskan sifat

(hakikat) dari hukum dengan referensi pada utilitas atau

manfaat. Di dalam karyanya The Limits of Jurisprudence

Defined (diterbitkan tahun 1945) Bentham merumuskan

undang-undang sebagai ekspresi dari “kemauan dari

seorang penguasa dalam suatu negara”.

Pandangan Bentham dimaksud yang cocok sekali

untuk menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh

Revolusi Industri di Inggris, adalah sangat penting dalam

menghasilkan pembaharuan hukum (legal reform). Pada

tahun 1832, tahun dari kematiannya, Reform Act telah

diundangkan, terutama merupakan hasil karya dari para

pengikutnya. Karya Mill berjudul On Liberty (1859) adalah

suatu percobaan untuk membahas pembatasan paksaan

hukum (legal coercion) oleh negara dalam kerangka (ber-

dasarkan) pandangan utilitarian yang dimodifikasi.

Bentham dalam pemahaman filsafat hukum telah mem-

pengaruhi dunia berbahasa Inggris terutama melalui pikiran

Page 126: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

101

John Austin (1790–1859), tokoh penyebar benih (seminal

figure) dalam Legal Positivism dan Analitic Jurisprudence

Inggris dan Amerika. Austin mencoba menemukan suatu

demarkasi yang jelas batas-batas dari hukum positif, yang

dapat menjadi anteseden bagi suatu “ilmu hukum umum”

(general jurisprudence) yang meliputi analisis dari “asas-asas,

gagasan-gagasan, dan distingsi-distingsi” seperti kewajiban,

hak, dan hukuman, yang terdapat dalam setiap sistem

hukum; analisis-analisis ini pada gilirannya akan digunakan

dalam “ilmu hukum khusus” (particular jurisprudence),

eksposisi (pemaparan) secara sistematis dari suatu tata hukum

tertentu.

Austin mulai dengan membedakan “law properly so

called” dan “law improperly so called”. Austin berpendapat

bahwa “law properly so called”adalah selalu “a species of

command”, suatu ekspresi dari suatu keinginan (wish) atau

hasrat, secara analitik dikaitkan dengan gagasan tentang

kewajiban, pertanggungjawaban untuk menerima hukuman

(atau sanksi), dan superioritas. Austin terhadap “law improp-

erly so called” sampai pada analisisnya tentang “kedaulatan”

yang terkenal dan berpengaruh; “laws strictly so called”

(kaidah-kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari

mereka yang secara politik berkedudukan lebih tinggi (po-

litical superiors) kepada mereka yang secara politik berke-

dudukan lebih rendah (political inferiors). Berdasarkan ini

disimpulkan bahwa Hukum Internasional adalah hanya

“moralitas internasional positif” ketimbang hukum dalam

arti yang sesungguhnya (law in a strict sense). (Beberapa

Page 127: Hukum Ekonomi Digital

102

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

penulis, memandang hal ini sebagai suatu konsekuensi yang

tidak menguntungkan dan mungkin berbahaya, terdorong

melakukan beberapa revisi terhadap Austinianisme)

“Separasi” (pemisahan) hukum dan moralitas dari Austin

seringkali dianggap sebagai tonggak yang menandai

positivisme hukum (legal positivism) yaitu dengan pen-

dapatnya yang terkenal bahwa ”Adanya hukum adalah

suatu hal; faedah atau kekurangannya adalah soal lain”,

tulisnya dalam The Province of Jurisprudence Determined

(V, note).

Namun Austin adalah seorang utilitarian; dalam mem-

bedakan antara hukum yang ada dan hukum yang

seharusnya ada, ia tidak memaksudkan bahwa hukum

adalah bukan sasaran bagi kritik moral secara rasional ber-

dasarkan utilitas atau kemanfaatan, yang bagi Austin adalah

petunjuk pada hukum dari Tuhan. Pada titik ini Austin

dipengaruhi oleh theological utilitarians seperti William

Paley. Pandangan-pandangan Austin telah menjadi objek

diskusi yang serius, baik di luar maupun di dalam tradisi

tradisi positivisme dan analitical jurisprudence. Dan mana-

kala disiplin-disiplin sejarah, antropologi, dan etnologi

memperoleh kedudukan semakin penting pada abad

sembilanbelas, berkembanglah pendekatan-pendekatan

yang bersaing tentang pemahaman hukum. Sir Henry Maine

(1822-1888) yang merumuskan hukum sejarah (historical

law) bahwa perkembangan hukum adalah suatu gerakan

(pergeseran) dari status ke kontrak, mengemukakan di dalam

karyanya Early History of Institutions (London, 1875) bahwa

Page 128: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

103

teori hukum perintah kedaulatan (the command sovereignty

theory of law) tidak berlaku dalam suatu masyarakat primitif,

di mana hukum sebagian besar berupa kebiasaan dan

“penguasa” politik, yang memiliki kekuasaan atas hidup dan

matinya dari para warga masyarakatnya, tidak pernah

membuat kaidah hukum.

Pandangan Austinian hanya dapat diselamatkan

dengan mempertahankan fiksi bahwa apa yang diizinkan

oleh “penguasa” adalah apa yang diperintahkannya.

Walaupun demikian, Austin mempunyai banyak pengikut

pada peralihan ke abad duapuluh, seperti misalnya T.E.

Holland (1835-1926) dan J.W. Salmond (1862-1924), yang

mencoba mempertahankan aspek imperatif dan koersi

(paksaan) pada waktu berusaha merevisi teori Austin.

Peran pengadilan-pengadilan semakin mendapat

tekanan (semakin ditonjolkan). Di Amerika Serikat, John

Chipman Gray (1839-1915) menulis The Nature and

Sources of the Law (New York, 1909; 2d ed., New York,

1921), salah satu kontribusi Amerika yang paling penting

pada persoalan ini. Dengan mengakui jasa Austin, Gray

mendefinisikan hukum sebagai “aturan-aturan yang ditetap-

kan oleh pengadilan-pengadilan (dari negara bagian) untuk

menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum”

(the rules which the courts [of the State] lay down for the

determination of legal rights and duties). Definisi dari Gray

ini menyebabkan ia harus mengkonstruksi undang-undang,

preseden yudisial, kebiasaan, pendapat ahli (doktrin), dan

moralitas sebagai sumber-sumber hukum ketimbang

Page 129: Hukum Ekonomi Digital

104

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sebagai hukum. Semua hukum adalah buatan hakim (judge

made law). Peralatan negara (machinery of the state) berdiri

di latar belakang dan menyediakan unsur koersifnya, yang

tidak masuk ke dalam definisi dari “hukum”. Pengaruh Gray

dapat ditelusuri dalam “the realist movement” di Amerika

Serikat.

B. FUNGSI HUKUM EKONOMI DIGITAL

DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa tujuan

pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal

saja, adalah ketertiban (order), ketertiban adalah tujuan

pokok dan pertama dari segala hukum dan kebutuhan

terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamen-

tal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.141

Di samping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah

tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,

menurut masyarakat dan zamannya.

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini,

diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar-

manusia dalam masyarakat. Pemahaman yang penting sekali

bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi

merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang

melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat

141 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori HukumPembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema In-stitute, Jakarta, 2012, hlm. 122.

Page 130: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

105

lembaga-lembaga hukum seperti misalnya dalam lembaga

(1) perkawinan, yang memungkinkan kehidupan yang tak

dikacaukan oleh hubungan laki-laki dan perempuan;

lembaga (2) hak milik; dan lembaga (3) kontrak yang harus

ditepati oleh pihak-pihak yang menyepakatinya. Tanpa

kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijel-

makan olehnya maka manusia tak mungkin mengem-

bangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan

Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat

tempat hidup. Sjachran Basah secara lebih konstruktif

menjelaskan 5 (lima) fungsi hukum yang dikenal pula dengan

“Panca Fungsi Hukum”dalam kaitannya dengan kehidupan

masyarakat sebagai berikut:142

1. Direktif bahwa hukum berfungsi sebagai pengarah

dalam membangun untukmembentuk masyarakat yang

hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan

bernegara;

2. Integratif bahwa hukum berfungsi sebagai pembina

kesatuan bangsa;

3. Stabilitatif bahwa hukum berfungsi sebagai pemelihara

(termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan

penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan

dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

4. Perfektif bahwa hukum berfungsi sebagai penyem-

purna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara,

maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan

bernegara dan bermasyarakat; dan

142 Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, Penerbit Armico, Bandung,1986.

Page 131: Hukum Ekonomi Digital

106

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

5. Korektif bahwa hukum berfungsi baik terhadap warga

negara maupun administrasi negara dalam mendapat-

kan keadilan.

Sjachran terlebih khusus memberikan pemahaman

dalam korelasi dan interaksi administrasi/tata kelola/gover-

nance dari pemerintah dan/atau regulator dengan warga

negara dan para pemangku kepentingan lainnya. Prinsip-

prinsip Hukum Administrasi Negara yang melampaui

zamannya telah diperkenalkan Sjachran Basah, sehingga

relevansi fungsi Direktif, Integratif, Stabilitatif, Perfektif, dan

Korektif menjadi platform Hukum Ekonomi Digital untuk

pengaturan Revolusi Industri 4.0 dalam penegakan yurisdiksi

virtual. Pemahaman Mochtar dan Sjachran sebelumnya

menjadi lebih lengkap dengan Teori Hukum Progresif dari

Satjipto Rahardjo. Sunarjati Hartono mengungkapkan

bahwa sebenarnya hukum progresif adalah sebuah studi

hukum yang inter, multi, dan transdisipliner, sebagai pemi-

kiran hukum yang cocok untuk mengatur masyarakat di

abad ke-21 dan masa depan.143

Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0 mem-

bebaskan manusia dari kekuatan hewan, memungkinkan

produksi massal dan membawa kemampuan digital ke

miliaran orang. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya sangat

berbeda dengan ditandai dengan berbagai teknologi baru

yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis, mem-

143 Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi Intelektual &Pertarungan Tafsir terhadap Filsafat Hukum Progresif, Penerbit ThafaMedia dan Satjipto Rahardjo Institute, Yogyakarta, 2013, hlm. 398.

Page 132: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

107

pengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi dan industri, dan

bahkan ide-ide yang menantang tentang “apa” artinya

menjadi manusia. Pergeseran dan gangguan yang terjadi

menjadikan manusia hidup di masa yang penuh dengan

janji dan bahaya besar. Dunia memiliki potensi untuk

menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke jaringan

digital, secara dramatis meningkatkan efisiensi organisasi dan

bahkan mengelola aset dengan cara yang dapat membantu

meregenerasi lingkungan alam serta berpotensi disrupsi

terhadap revolusi-revolusi industri sebelumnya.

Schwab memiliki keprihatinan besar bahwa organisasi

mungkin tidak dapat beradaptasi; pemerintah dapat gagal

menggunakan dan mengatur teknologi baru untuk menang-

kap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan

masalah keamanan yang baru dan penting; ketidaksetaraan

bisa tumbuh; dan fragmentasi masyarakat.144 Schwab

menempatkan pula perubahan terbaru ke dalam konteks

historikal; menguraikan teknologi utama (main stream) yang

mendorong Revolusi Industri 4.0; membahas dampak

utama pada pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan

individu; dan menyarankan cara untuk menanggapi hal-

hal dimaksud. Perlu keyakinan bahwa Revolusi Industri 4.0

berada dalam kendali selama kita mampu berkolaborasi

lintas geografis, sektoral, dan disiplin untuk memahami

peluang yang dihadirkannya dalam peradaban manusia.

144 Schwab, Klaus. “The Fourth Industrial Revolution.” Foreign Affairs. Aksespada tanggal 9 Agustus 2018 melalui https://www.foreignaffairs.com/articles/2015-12-12/fourth-industrial-revolution.

Page 133: Hukum Ekonomi Digital

108

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Schwabsecara khusus menyatakan seruan bagi para

pemimpin dan warga negara untuk “bersama membentuk

masa depan yang bekerja untuk semua dengan menem-

patkan orang-orang terbaiknya, memberdayakan mereka

dan terus-menerus mengingatkan diri kita bahwa semua

teknologi baru ini adalah alat pertama dan utama yang dibuat

oleh orang-orang untuk manusia”.

Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi atau dampat

terhadap bagaimana fungsi hukum di dalam masyarakat.

Sehingga perlu didekati dari pemahaman Teori Hukum.

Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam

suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis

berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara

tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam

konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran

praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman

yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih

atas bahan-bahan yuridikal.

1. Fungsi Personal

Manusia hari ini berdiri di tepi revolusi teknologi yang pada

dasarnya akan mengubah cara hidup, bekerja, dan berhu-

bungan satu sama lain. Dalam skala, ruang lingkup, dan

kerumitannya, transformasi tidak akan seperti yang pernah

dialami manusia sebelumnya. Perlu dipahami bahwa

respons terhadapnya harus terintegrasi dan komprehensif,

melibatkan semua pemangku kepentingan dari peme-

rintahan secara global, dari sektor publik dan swasta hingga

Page 134: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

109

akademisi dan masyarakat sipil. Revolusi Industri 1.0

menggunakan air dan tenaga uap untuk mekanisasi pro-

duksi, kemudian Revolusi Industri 2.0 menggunakan tenaga

listrik untuk menciptakan produksi massal. Revolusi Industri

3.0 menggunakan instrumen elektronik dan sistem tekno-

logi informasi untuk melakukan otomatisasi produksi, maka

sekarang Revolusi Industri 4.0 sedang membangun revolusi

digital yang telah terjadi sejak pertengahan abad lalu yang

ditandai dengan perpaduan teknologi yang mengaburkan

garis antara bidang fisik, digital, dan biologis.145

Transformasi revolusi industri saat ini tidak hanya

melambangkan perpanjangan dari Revolusi Industri 3.0,

tetapi lebih pada penyiapan kedatangan Revolusi Industri

4.0 dan karakter yang berbeda secara kecepatan, ruang

lingkup, dan dampak sistemnya. Kecepatan terobosan saat

ini tidak memiliki preseden historikal, jika dibandingkan

dengan revolusi-revolusi industri sebelumnya. Revolusi

Industri 4.0 melakukan kecepatan eksponensial dan bukan

linier. Selain itu, hal dimaksud menjadi disrupsi hampir setiap

industri di berbagai negara. Belum lagi masif dan kedalaman

perubahan ini menandai transformasi seluruh sistem pro-

duksi, manajemen, dan pemerintahan.

Posibilitas miliaran orang yang terkoneksi oleh perang-

kat seluler dengan kekuatan pemrosesan yang belum pernah

terjadi sebelumnya, kapasitas penyimpanan, dan akses ke

pengetahuan yang tidak terbatas. Posibilitas dimaksud kan

145 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://www.weforum. org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond

Page 135: Hukum Ekonomi Digital

110

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

digandakan dengan terobosan teknologi yang muncul di

bidang-bidang seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelli-

gent-AI), robotika, Internet of Things (IoT), kendaraan

otonom, pencetakan 3-D, nanoteknologi, bioteknologi, ilmu

material, penyimpanan energi, dan komputasi kuantum.

Artificial Intelligent ada di sekitar kita, mulai dari mobil yang

mengemudi sendiri dan drone hingga asisten virtual dan

perangkat lunak yang menerjemahkan atau berinvestasi.

Kemajuan yang mengesankan telah dibuat dalam Artificial

Intelligent dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh

peningkatan eksponensial dalam daya komputasi dan oleh

ketersediaan data dalam jumlah besar, dari perangkat lunak

yang digunakan untuk menemukan obat baru untuk algo-

ritma yang digunakan untuk memprediksi kepentingan

budaya kita. Teknologi fabrikasi digital berinteraksi dengan

dunia biologis setiap harinya. Profesi insinyur, perancang,

dan arsitek menggabungkan desain komputasi, manufaktur

aditif, teknik material, dan biologi sintetis untuk merintis

simbiosis antara mikroorganisme, tubuh kita, produk yang

kita konsumsi, dan bahkan bangunan yang kita huni saat

ini.

Revolusi-revolusi industri sebelumnya memiliki iden-

tifikasi yang mirip dengan Revolusi Industri 4.0 yaitu memiliki

potensi untuk meningkatkan tingkat pendapatan global dan

meningkatkan kualitas hidup penduduk di seluruh dunia.

Sampai saat ini, mereka yang telah memperoleh sebagian

besar dari potensi itu adalah konsumen yang mampu mem-

bayar dan mengakses dunia digital; teknologi telah memung-

Page 136: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

111

kinkan produk dan layanan baru yang meningkatkan

efisiensi dan kesenangan kehidupan pribadi sosok manusia.

Sekarang ini proses atau layanan untuk memesan taksi,

memesan penerbangan, membeli produk, melakukan pem-

bayaran, mendengarkan musik, menonton film, atau bahkan

bermain game digital telah dapat dilakukan dari jarak jauh.Di

masa depan inovasi teknologi juga akan mengarah pada

keajaiban sisi penawaran, dengan keuntungan jangka

panjang dalam efisiensi dan produktivitas. Biaya transportasi

dan komunikasi akan menurun, logistik dan rantai pasokan

global akan menjadi lebih efektif, dan biaya perdagangan

akan berkurang yang semuanya akan membuka pasar baru

dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee

menyampaikan pemahaman bahwa revolusi dapat meng-

hasilkan ketimpangan yang lebih besar, terutama dalam

potensinya untuk mengganggu pasar tenaga kerja.146

Revolusi Industri 4.0 mengarah kepada skenario terjadinya

pengganti otomasi tenaga kerja di seluruh ekonomi, per-

pindahan pekerja oleh mesin mungkin memperburuk

kesenjangan antara kembali ke modal dan kembali ke

tenaga kerja. Namun pada sisi lain juga mungkin bahwa

perpindahan pekerja oleh teknologi akan secara agregat

menghasilkan peningkatan bersih dalam pekerjaan yang

aman dan bermanfaat.

146 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond

Page 137: Hukum Ekonomi Digital

112

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Prediksi yang paling moderat tidak dapat meramalkan

skenario mana yang mungkin muncul dan sejarah menun-

jukkan bahwa hasilnya mungkin merupakan kombinasi dari

keduanya. Namun di masa depan selain variabel modal,

maka variabel bakat yang juga akan mempengaruhi faktor

kritis produksi. Hal ini akan memunculkan pasar kerja yang

semakin dipisah menjadi segmen “rendah keterampilan/

upah rendah” dan “tinggi keterampilan/upah tinggi”,

sehingga pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan

ketegangan sosial.

Selain tantangan ekonomi yang menjadi perhatian

utama maka tantangan ketidaksetaraan mewakili perhatian

masyarakat terbesar yang terkait dengan Revolusi Industri

4.0, dimana penerima manfaat terbesar dari inovasi cen-

derung menjadi penyedia modal intelektual dan fisik yaitu

para inovator, pemegang saham, dan investor. Hal dimaksud

menjelaskan meningkatnya kesenjangan kekayaan antara

mereka yang bergantung pada modal dan yang bergantung

kepada tenaga kerja. Teknologi karenanya adalah salah satu

alasan utama mengapa pendapatan telah dalam posisi

stagnan, atau bahkan menurun. Bahkan untuk mayoritas

penduduk di negara-negara berpenghasilan tinggi terjadi

permintaan untuk pekerja berketerampilan tinggi telah

meningkat sementara permintaan untuk pekerja dengan

pendidikan yang lebih rendah dan keterampilan yang lebih

rendah telah menurun. Hasilnya adalah pasar kerja dengan

permintaan yang kuat pada ujung tinggi dan rendah, tetapi

lekukan keluar dari tengah.

Page 138: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

113

Hal dimaksud di atas menjelaskan mengapa begitu

banyak pekerja yang kecewa dan takut bahwa pendapatan

dan anak-anak mereka akan terus stagnan, sehingga men-

jelaskan pula mengapa kelas menengah di seluruh dunia

semakin mengalami rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan

yang meresap. Ekonomi pemenang (the winner takes all,

mengambil-semua) yang hanya menawarkan akses terbatas

ke kelas menengah adalah rumus tepat untuk terjadinya

malaise dan kelalaian demokratis. Ketidakpuasan juga bisa

dipicu oleh meluasnya teknologi digital dan dinamika pem-

bagian informasi yang viral secara masif oleh media sosial.

Lebih dari 30% populasi global sekarang menggunakan

platform media sosial untuk terhubung, belajar, dan berbagi

informasi. Dalam dunia yang ideal maka interaksi ini akan

memberikan kesempatan bagi pemahaman dan kohesi

lintas budaya, namun mereka juga dapat menciptakan dan

menyebarluaskan harapan yang tidak realistis mengenai apa

yang membentuk kesuksesan bagi individu atau kelompok.

Hal dimaksud juga menawarkan peluang bagi paham dan

ideologi ekstrem atau radikal untuk menyebar secara lebih

masif lagi dibandingkan 30 tahun lalu.

2. Fungsi Sosial

Revolusi Industri 4.0 telah mengubah cara kita hidup,

bekerja, dan berkomunikasi yang mengkonstruksi ulang

peran pemerintah, pendidikan, perawatan kesehatan, dan

perdagangan pada hampir setiap aspek kehidupan. Manusia

di masa depan mengubah hal-hal yang dihargai dan cara

Page 139: Hukum Ekonomi Digital

114

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menghargai mereka, sehingga dapat mengubah hubungan

kita, peluang kita, dan identitas kita karena hal itu mengubah

dunia fisik dan dunia virtual.147 Perubahan itu termasuk

dalam beberapa kasus adalah tubuh kita sendiri.

Pendidikan dan akses ke informasi dapat meningkatkan

tingkat kehidupan miliaran orang. Hal dimaksud dapat

melalui perangkat dan jaringan komputasi yang semakin

kuat, layanan digital, dan perangkat seluler yang sudah

menjadi kenyataan bagi orang-orang di seluruh dunia,

termasuk juga yang berada di negara-negara terbelakang.

Revolusi media sosial yang diwujudkan oleh Facebook,

Twitter, dan Tencent telah memberikan suara kepada semua

orang dan cara berkomunikasi secara langsung di seluruh

planet ini. Saat ini, lebih dari 30% orang di dunia mengguna-

kan layanan media sosial untuk berkomunikasi dan tetap

berada di puncak peristiwa dunia.

Inovasi ini dapat menciptakan desa global sejati,

membawa miliaran lebih banyak orang ke dalam ekonomi

global. Mereka dapat membawa akses ke produk dan

layanan ke pasar yang sama sekali baru. Mereka dapat mem-

beri orang kesempatan untuk belajar dan menghasilkan

dengan cara baru, dan mereka dapat memberikan identitas

baru kepada orang-orang karena mereka melihat potensi

untuk diri mereka sendiri yang sebelumnya tidak tersedia.

Klaus Schwab menyatakan dalam bukunya The Fourth In-

dustrial Revolution bahwa:

147 Liao, Y., Loures, E. R., Deschamps, F., Brezinski, G., & Venâncio, A.(2017). The impact of the fourth industrial revolution: a cross-country/region comparison. Production, 28, e20180061. DOI: 10.1590/0103-6513.20180061

Page 140: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

115

“The Fourth Industrial Revolution, finally, will change

not only what we do but also who we are. It will affect

our identity and all the issues associated with it: our sense

of privacy, our notions of ownership, our consumption

patterns, the time we devote to work and leisure, and

how we develop our careers, cultivate our skills, meet

people, and nurture relationships.”

Layanan belanja dan pengiriman online –termasuk oleh

drone – sudah mendefinisikan kembali kenyamanan dan

pengalaman ritel. Kemudahan pengiriman dapat mengubah

komunitas, bahkan di tempat-tempat terpencil, dan memulai

ekonomi daerah kecil atau pedesaan.Dalam dunia fisik,

kemajuan dalam ilmu biomedis dapat menyebabkan kehi-

dupan yang lebih sehat dan rentang hidup yang lebih lama.

Mereka dapat mengarah pada inovasi dalam ilmu syaraf,

seperti menghubungkan otak manusia ke komputer untuk

meningkatkan kecerdasan atau pengalaman dunia simulasi.

Bayangkan semua kekuatan robot itu dengan keterampilan

pemecahan masalah manusia.

Kemajuan dalam keamanan otomotif melalui teknologi

Revolusi Industri 4.0 dapat mengurangi korban jiwa dan

biaya asuransi, serta emisi karbon. Kendaraan otonom dapat

membentuk kembali ruang hidup kota, arsitektur, dan jalan

sendiri, dan membebaskan ruang untuk ruang yang lebih

sosial dan berpusat pada manusia. Teknologi digital dapat

membebaskan pekerja dari tugas-tugas yang dapat dioto-

matisasi, membebaskan mereka untuk berkonsentrasi dalam

menangani masalah bisnis yang lebih kompleks dan mem-

Page 141: Hukum Ekonomi Digital

116

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

beri mereka lebih banyak otonomi/mandiri. Hal ini juga

dapat memberikan pekerja dengan alat dan wawasan baru

yang radikal untuk merancang solusi yang lebih kreatif untuk

masalah yang sebelumnya tidak dapat diatasi.

Namun, sementara Revolusi Industri 4.0 memiliki

kekuatan untuk mengubah dunia secara positif, kita harus

menyadari bahwa teknologi dapat memiliki hasil negatif jika

kita tidak berpikir tentang bagaimana mereka dapat

mengubah kita. Kami membangun apa yang kami hargai.

Ini berarti kita perlu mengingat nilai-nilai kita saat mem-

bangun dengan teknologi baru ini. Sebagai contoh, jika kita

menghargai uang daripada waktu keluarga, kita dapat

membangun teknologi yang membantu kita menghasilkan

uang dengan mengorbankan waktu keluarga. Pada giliran-

nya, teknologi ini dapat menciptakan insentif yang membuat

lebih sulit untuk mengubah nilai yang mendasarinya.

Orang memiliki hubungan yang mendalam dengan

teknologi. Mereka adalah bagaimana kita menciptakan

dunia kita, dan kita harus mengembangkannya dengan hati-

hati. Lebih dari sebelumnya, penting bagi kita untuk memulai

dengan benar. Kita harus memenangkan perlombaan ini

antara kekuatan teknologi yang semakin besar, dan kebijak-

sanaan yang berkembang yang dengannya kita menga-

turnya. Max Tegmark menegaskan dalam “Life 3.0” bahwa

“We have to win this race between the growing power of

the technology, and the growing wisdom with which we

manage it. We don’t want to learn from mistakes.”148

148 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://trailhead.salesforce.com/en/modules/impacts-of-the-fourth-industrial-revolution/

Page 142: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

117

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada biotek-

nologi yang dapat menyebabkan kemajuan kontroversial

seperti bayi perancang, drive gen (mengubah sifat warisan

dari seluruh spesies), atau implan yang diperlukan untuk

menjadi kandidat yang kompetitif untuk sekolah atau peker-

jaan. Inovasi dalam robot dan otomasi dapat mengarah pada

kehilangan pekerjaan, atau setidaknya pekerjaan yang

sangat berbeda dan menghargai keterampilan yang ber-

beda. Kecerdasan buatan, robotik, bioteknologi, alat

pemrograman, dan teknologi lainnya dapat digunakan

untuk membuat dan menyebarkan senjata.

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada media

sosial yang ternyata dapat menghapus batas dan

menyatukan orang, tetapi juga dapat mengintensifkan

kesenjangan sosial. Sehingga dapat mengamplifikasi cyber-

bullying, ujaran kebencian, dan menyebarkan cerita palsu/

hoax. Kita harus memutuskan aturan media sosial seperti

apa yang ingin kita buat, tetapi kita juga harus menerima

bahwa media sosial membentuk kembali apa yang kita

hargai dan bagaimana kita membuat dan menyebarkan

aturan-aturan itu. Selain itu, selalu terhubung dapat berubah

menjadi kewajiban, tanpa jeda dari kelebihan data dan

koneksi yang terus menerus.

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada peru-

bahan ketenagakerjaan, dimana kecerdasan buatan mele-

paskan tingkat produktivitas yang baru dan menambah

units/understand-the-impact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-society-and-individuals#

Page 143: Hukum Ekonomi Digital

118

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hidup kita dalam banyak cara. Seperti dalam revolusi industri

masa lalu, itu juga dapat menjadi kekuatan yang meng-

ganggu, membuat orang terpelintir dari pekerjaan dan

mengajukan pertanyaan tentang hubungan antara manusia

dan mesin. Tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan akan

terpengaruh karena kecerdasan buatan mengotomatiskan

berbagai tugas. Namun, seperti yang dilakukan teknologi

internet pada 20 tahun lalu, revolusi kecerdasan buatan akan

mengubah banyak pekerjaan –dan menelurkan jenis peker-

jaan baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Pekerja

dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk tugas-tugas

pemecahan masalah yang kreatif, kolaboratif, dan rumit

yang tidak dapat ditangani oleh otomatisasi mesin.

Namun, pekerja dengan pendidikan yang lebih sedikit

dan keterampilan yang lebih sedikit berada dalam posisi

yang kurang menguntungkan ketika Revolusi Industri 4.0

berlangsung. Bisnis dan pemerintah perlu beradaptasi

dengan sifat pekerjaan yang berubah dengan berfokus pada

pelatihan orang untuk pekerjaan masa depan. Pengem-

bangan bakat, pembelajaran seumur hidup, dan karir akan

menjadi penting untuk tenaga kerja masa depan.

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep

perubahan kesetaraan, dimana orang-orang bertanya

apakah Revolusi Industri 4.0 adalah jalan menuju masa

depan yang lebih baik untuk semua. Kekuatan teknologi

meningkat dengan cepat dan memfasilitasi tingkat inovasi

yang luar biasa. Lebih banyak orang dan hal-hal di dunia

menjadi terhubung, tetapi itu tidak selalu membuka jalan

Page 144: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

119

bagi masyarakat global yang lebih terbuka, beragam, dan

inklusif. Pelajaran dari revolusi industri sebelumnya termasuk

kesadaran bahwa teknologi dan generasi kekayaannya

dapat melayani kepentingan kelompok kecil yang kuat di

atas yang lain. Teknologi baru yang kuat yang dibangun di

jaringan digital global dapat digunakan untuk menjaga

masyarakat di bawah pengawasan yang tidak semestinya

sementara membuat kita rentan terhadap serangan fisik dan

virtual. Hal dimaksud adalah tantangan yang dapat kita

hadapi untuk memastikan kombinasi teknologi dan politik

bersama-sama tidak menciptakan kesenjangan yang

menghambat orang.

Menurut Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia

2017, “Revolusi Industri Keempat memiliki potensi untuk

meningkatkan tingkat pendapatan dan meningkatkan

kualitas hidup bagi semua orang. Tapi hari ini, manfaat eko-

nomi Revolusi Industri 4.0 menjadi lebih terkonsentrasi di

antara kelompok kecil. Ketimpangan yang semakin mening-

kat ini dapat menyebabkan polarisasi politik, fragmentasi

sosial, dan kurangnya kepercayaan pada institusi. Untuk

mengatasi tantangan ini, para pemimpin di sektor publik

dan swasta perlu memiliki komitmen yang lebih dalam untuk

pembangunan yang lebih inklusif dan pertumbuhan yang

adil yang mengangkat semua orang.”

Banyak orang di seluruh dunia belum mendapat man-

faat dari revolusi industri sebelumnya, sebagaimana yang

ditulis oleh penulis Shaping the Fourth Industrial Revolu-

tion, setidaknya 600 juta orang hidup di pertanian petani

Page 145: Hukum Ekonomi Digital

120

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kecil tanpa akses ke mekanisasi apa pun, kehidupan yang

masih hidup tidak tersentuh oleh Revolusi Industri 1.0.

Sekitar sepertiga penduduk dunia (2,4 miliar) kekurangan

air minum bersih dan sanitasi yang aman, sekitar seperenam

(1,2 miliar) tidak memiliki listrik –kedua sistem berkembang

dalam Revolusi Industri 2.0. Revolusi digital berarti men-

jadikan lebih dari 3 miliar orang sekarang memiliki akses ke

Internet, yang masih menyisakan lebih dari 4 miliar orang

dari Revolusi Industri 3.0. Sarana bahwa ketika kita meng-

hargai dan terlibat dengan teknologi menarik dari Revolusi

Industri 4.0, kita harus bekerja untuk memastikan bahwa

peluang yang mereka bawa tersebar dengan baik di seluruh

dunia dan di seluruh komunitas kita. Secara khusus, kita

harus membantu mereka yang kehilangan peningkatan

besar dalam kualitas hidup yang diberikan Revolusi Industri

1.0, 2.0 dan 3.0, sebagaimana yang ditegaskan oleh Klaus

Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution bahwa “Let

us together shape a future that works for all by putting people

first, empowering them and constantly reminding ourselves

that all of these new technologies are first and foremost tools

made by people for people.”

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep

perubahan konstruksi privasi, dimana manusia menghargai

kemampuan untuk mengendalikan apa yang diketahui

tentang dirinya, namun manusia ternyata hidup di dunia di

mana pelacakan informasi pribadi setiap individu adalah

kunci untuk memberikan layanan yang lebih cerdas dan

dipersonalisasi. Facebook melacak apa yang anda lakukan

Page 146: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

121

sehingga ia tahu konten dan iklan mana yang paling relevan

bagi anda. Ponsel cerdas (smartphone) melacak lokasi anda,

dan anda dapat membagikan informasi itu dengan aplikasi

yang merekomendasikan tempat untuk makan atau ber-

belanja. Pengecer menganalisis riwayat pembelian anda

untuk merekomendasikan produk dan menawarkan kupon

untuk mendorong lebih banyak penjualan.

Di masa depan, anda akan masuk ke toko dan penjual

akan segera memiliki nama anda, peringkat kredit, status

perkawinan, dan pembelian sebelumnya yang melintas ke

layar virtual augmented-reality mereka.Teknologi Revolusi

Industri 4.0 sendiri netral dan bebas nilai, tetapi apakah

mereka diterapkan dengan cara yang membangun keper-

cayaan? Apakah konsumen akan percaya bahwa kecer-

dasan buatan dan sistem robot yang baru dapat membuat

hidup mereka lebih baik, atau apakah mereka akan takut

dengan mesin dan mereka yang mengendalikan mereka?

Apakah warga negara akan mempercayai lembaga dan

penyedia layanan yang mengumpulkan dan mengelola data

mereka?

Untuk Revolusi Industri 4.0 sanggup menghasilkan

kepercayaan, setiap orang yang berkontribusi padanya (ter-

masuk Anda) harus berkolaborasi dan merasakan hubungan

dengan tujuan bersama. Lebih banyak transparansi tentang

bagaimana kita mengatur dan mengelola teknologi ini

adalah kunci, seperti juga model keamanan yang mening-

katkan kepercayaan diri kita bahwa sistem ini tidak akan

diretas, dikenali, atau menjadi alat penindasan oleh mereka

yang mengendalikannya.

Page 147: Hukum Ekonomi Digital

122

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep

membawa semuanya bersama, bahwa inovasi dalam kecer-

dasan buatan, bioteknologi, robotika, dan teknologi baru

lainnya akan mendefinisikan kembali apa artinya menjadi

manusia dan bagaimana kita berinteraksi satu sama lain dan

planet ini. Kemampuan kami, identitas kami, dan potensi

kami semua akan berevolusi seiring dengan teknologi yang

kami buat. Dalam beberapa dekade mendatang, kita harus

membangun pagar pembatas yang menjaga kemajuan

Revolusi Industri 4.0 di jalur untuk memberi manfaat bagi

seluruh umat manusia. Kita harus mengenali dan mengelola

potensi dampak negatif yang dapat mereka miliki, terutama

di bidang kesetaraan, pekerjaan, privasi, dan kepercayaan.

Kita harus secara sadar membangun nilai positif ke dalam

teknologi yang kita buat, berpikir tentang bagaimana mereka

akan digunakan, dan merancangnya dengan penerapan

etika dalam pikiran dan mendukung cara kolaboratif untuk

melestarikan apa yang penting bagi kita.

Upaya ini menuntut semua pemangku kepentingan –

pemerintah, pembuat kebijakan, organisasi internasional,

pembuat peraturan, organisasi bisnis, akademisi, dan

masyarakat sipil– untuk bekerja sama mengendalikan

teknologi yang kuat dengan cara yang membatasi risiko dan

menciptakan dunia yang sejalan dengan tujuan bersama

untuk masa depan. Anda, sebagai pribadi, warga negara,

karyawan, investor, dan pemberi pengaruh sosial, adalah

pemangku kepentingan yang sangat penting dalam Revolusi

Industri 4.0. Membagi pemikiran Anda tentang teknologi

Page 148: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

123

dan apa yang Anda hargai saat revolusi ini terungkap sangat

penting. Dunia yang kita ciptakan melalui teknologi dapat

membentuk kehidupan kita dan merupakan yang kita

teruskan ke generasi berikutnya, sebagaimana ditegaskan

oleh Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution

bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise

humanity’s traditional sources of meaning –work, commu-

nity, family, and identity– or it can lift humanity into a new

collective and moral consciousness based on a sense of

shared destiny. The choice is ours.”

3. Fungsi Transaksional

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada transaksi bisnis

bahwa percepatan inovasi dan kecepatan disrupsi yang sulit

untuk dipahami atau diantisipasi dan kendali ini merupakan

sumber kejutan konstan, bahkan untuk yang paling ter-

hubung dan paling terinformasi dengan baik. Hampir di

semua industri ditemui ada bukti yang jelas bahwa teknologi

yang mendukung Revolusi Industri 4.0 memiliki dampak

besar pada bisnis. Di sisi penawaran, banyak industri melihat

pengenalan teknologi baru yang menciptakan cara-cara

baru sepenuhnya untuk melayani kebutuhan yang ada dan

secara signifikan menjadi disrupsi rantai nilai industri yang

ada. Kemudian disrupsi juga mengalir dari pesaing inovatif

yang gesit, yang berkat akses ke platform digital global untuk

penelitian, pengembangan, pemasaran, penjualan, dan

distribusi, dapat mendorong petahana mapan lebih cepat

dari sebelumnya dengan meningkatkan kualitas, kecepatan,

atau harga.

Page 149: Hukum Ekonomi Digital

124

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pergeseran di sisi permintaan juga terjadi, seiring mening-

katnya transparansi, keterlibatan konsumen, dan pola peri-

laku konsumen yang baru (semakin dibangun di atas akses

ke jaringan dan data seluler) memaksa perusahaan untuk

menyesuaikan cara mereka merancang, memasarkan, dan

menghasilkan produk dan layanan. Tren utamanya adalah

pengembangan platform yang didukung teknologi yang

menggabungkan permintaan dan pasokan untuk menjadi

disrupsi struktur industri yang ada, seperti yang kita lihat

dalam ekonomi “berbagi” (sharing economy) atau “sesuai

permintaan” (demand economy). Platform teknologi ini,

yang mudah digunakan oleh ponsel pintar, mengumpulkan

orang, aset, dan data –sehingga menciptakan cara-cara baru

untuk mengkonsumsi barang dan jasa dalam prosesnya.

Selain itu, mereka menurunkan hambatan bagi bisnis dan

individu untuk menciptakan kekayaan, mengubah ling-

kungan pribadi dan profesional pekerja. Bisnis platform baru

ini dengan cepat melipatgandakan menjadi banyak layanan

baru, mulai dari laundry hingga belanja, dari pekerjaan ke

tempat parkir, dari pijat hingga perjalanan.

Secara keseluruhan, ada empat efek utama yang dimiliki

oleh Revolusi Industri 4.0 yaitu pada harapan pelanggan,

pada peningkatan produk, pada inovasi kolaboratif, dan

pada bentuk organisasi.149 Baik konsumen atau bisnis,

pelanggan semakin menjadi pusat ekonomi, yang semuanya

tentang bagaimana cara pelanggan dilayani. Produk dan

149 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/

Page 150: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

125

layanan fisik, apalagi, sekarang dapat ditingkatkan dengan

kemampuan digital yang meningkatkan nilainya. Teknologi

baru membuat aset lebih tahan lama dan tangguh, semen-

tara data dan analisis mengubah cara pemeliharaannya.

Dunia pengalaman pelanggan, layanan berbasis data,

dan kinerja aset melalui analitik, sementara itu, membu-

tuhkan bentuk kolaborasi baru, terutama mengingat kece-

patan di mana inovasi dan gangguan terjadi. Dan munculnya

platform global dan model bisnis baru lainnya, akhirnya,

berarti bahwa bakat, budaya, dan bentuk organisasi harus

dipikirkan kembali. Secara keseluruhan, pergeseran tak

terelakkan dari digitalisasi sederhana (Revolusi Industri 3.0)

menjadi inovasi berdasarkan kombinasi teknologi (Revolusi

Industri 4.0) memaksa perusahaan untuk menguji kembali

cara mereka berbisnis. Intinya bagaimanapun adalah hal

yang sama yaitu pemimpin bisnis dan eksekutif senior perlu

memahami lingkungan mereka yang berubah, menantang

asumsi dari tim operasi mereka, dan tanpa henti serta terus

berinovasi.

4. Fungsi Nasional dan Global

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada pemerintah

bahwa ketika dunia fisik, digital, dan biologis terus menyatu,

teknologi dan platform baru akan semakin memungkinkan

warga untuk terlibat dengan pemerintah, menyuarakan

pendapat mereka, mengoordinasikan upaya mereka, dan

bahkan menghindari pengawasan otoritas publik. Bersa-

maan dengan itu, pemerintah akan mendapatkan kekuatan

Page 151: Hukum Ekonomi Digital

126

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

teknologi baru untuk meningkatkan kontrol mereka atas

populasi, berdasarkan pada sistem pengawasan yang

menyebar dan kemampuan untuk mengendalikan infra-

struktur digital. Secara keseluruhan, bagaimanapun, peme-

rintah akan semakin menghadapi tekanan untuk mengubah

pendekatan mereka saat ini untuk keterlibatan publik dan

pembuatan kebijakan, karena peran utama mereka dalam

melakukan kebijakan berkurang karena sumber-sumber

baru persaingan dan redistribusi dan desentralisasi kekua-

saan yang dimungkinkan oleh teknologi baru.

Pada akhirnya, kemampuan sistem pemerintah dan

otoritas publik untuk beradaptasi akan menentukan kelang-

sungan hidup mereka. Jika mereka terbukti mampu me-

rangkul dunia perubahan yang mengganggu, menundukkan

struktur mereka ke tingkat transparansi dan efisiensi yang

akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan daya

saing mereka, mereka akan bertahan. Jika mereka tidak dapat

berevolusi, mereka akan menghadapi masalah yang

meningkat.

Bidang regulasi yang terutama perlu antisipasi yaitu

sistem kebijakan publik dan pengambilan keputusan saat

ini berevolusi bersamaan dengan Revolusi Industri 2.0, ketika

para pembuat keputusan memiliki waktu untuk mempelajari

masalah tertentu dan mengembangkan tanggapan yang

diperlukan atau kerangka kerja peraturan yang tepat. Seluruh

proses dirancang untuk menjadi linier dan mekanistik,

mengikuti pendekatan “top down” yang ketat. Tetapi

pendekatan semacam itu tidak lagi layak. Mengingat laju

Page 152: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

127

perubahan dan dampak luas Revolusi Industri 4.0, para

legislator dan regulator ditantang ke tingkat yang belum

pernah terjadi sebelumnya dan sebagian besar terbukti tidak

mampu mengatasinya.

Kemudian bagaimana mereka dapat mempertahankan

kepentingan konsumen dan masyarakat luas sambil terus

mendukung inovasi dan pengembangan teknologi? Dengan

merangkul tata kelola yang “gesit” (agile), seperti halnya

sektor swasta semakin mengadopsi respon tangkas terha-

dap pengembangan perangkat lunak dan operasi bisnis

secara lebih umum. Ini berarti regulator harus terus bera-

daptasi dengan lingkungan baru yang cepat berubah,

menciptakan kembali diri mereka sendiri sehingga mereka

dapat benar-benar memahami apa yang mereka atur. Untuk

melakukannya, pemerintah dan badan regulator perlu

bekerja sama erat dengan bisnis dan masyarakat sipil.

Revolusi Industri 4.0 juga akan sangat mempengaruhi

sifat keamanan nasional dan internasional, yang mem-

pengaruhi baik probabilitas maupun sifat konflik. Sejarah

peperangan dan keamanan internasional adalah sejarah

inovasi teknologi, dan hari ini tidak terkecuali. Konflik

modern yang melibatkan negara semakin “hibrida” di alam,

menggabungkan teknik medan perang tradisional dengan

unsur-unsur yang sebelumnya terkait dengan aktor non-

negara. Perbedaan antara perang dan perdamaian,

kombatan dan nonkombatan, dan bahkan kekerasan dan

non-kekerasan (berpikir cyberwarfare) menjadi tidak nyaman

dan kabur.

Page 153: Hukum Ekonomi Digital

128

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ketika proses ini terjadi dan teknologi baru seperti sen-

jata otonom atau biologis menjadi lebih mudah digunakan,

individu dan kelompok kecil akan semakin bergabung

dengan negara-negara yang mampu menyebabkan keru-

sakan massal. Kerentanan baru ini akan menimbulkan keta-

kutan baru. Tetapi pada saat yang sama, kemajuan teknologi

akan menciptakan potensi untuk mengurangi skala atau

dampak kekerasan, melalui pengembangan mode perlin-

dungan baru, misalnya, atau ketepatan yang lebih tinggi

dalam penargetan.

C. PERAN HUKUM EKONOMI DIGITAL

DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Hukum Ekonomi Digital memiliki peran yang tidak bisa

digantikan dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 sebagai

upaya pencapaian tujuan masyarakat. Mochtar Kusuma-

atmadja menegaskan bawa peran hukum dalam pemba-

ngunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu

terjadi dengan cara yang teratur yang didasarkan oleh

perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau

kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur

melalui prosedur hukum, baik berwujud perundang-

undangan atau keputusan badan-badan peradilan.

Perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) meru-

pakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang

membangun maka Hukum Ekonomi Digital menjadi suatu

alat yang tidak dapat diabaikan dalam Revolusi Industri 4.0.

Page 154: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

129

Peran Hukum Ekonomi Digital sebagaimana dimaksud

adalah suatu alat pembaharuan masyarakat, sehingga

mengharuskan masyarakat memiliki pengetahuan lebih

banyak dan luas dari Hukum Ekonomi Digital. Seorang ahli

hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun

dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 harus mengetahui

interaksi antara hukum dengan faktor-faktor lain dalam

perkembangan masyarakat, terutama variabel-variabel tek-

nologi, ekonomi, dan sosial. Hukum Ekonomi Digital

mengharuskan dilakukannya analisis fungsionil dari sistem

hukum sebagai keseluruhan dan kaidah-kaidah serta

lembaga-lembaga sosial tertentu. Sistem Hukum seba-

gaimana dimaksud dapat dijelaskan melalui pendekatan

Teori Hukum dan Ilmu Hukum. Teori Hukum adalah teori-

nya Ilmu Hukum, sebagaimana yang dipahami dari Sudikno

Mertokusumo bahwa teori hukum berhubungan dengan

hukum pada umumnya dan dikenal sebagai metateori Ilmu

Hukum.150 Teori Hukum digunakan untuk menyelesaikan

masalah-masalah hukum tertentu yang mendasar, yang

berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif (legal

problems, legislations issues, regulations disputes) tetapi

jawabannya tidak dapat dicari atau diketemukan dalam

hukum positif (peraturan perundang-undangan).151 Sudikno

dengan tegas mengkualifikasikan bahwa Teori Hukum

adalah teorinya Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum adalah

150 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit CahayaAtma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.

151 Idem, hlm. 4.

Page 155: Hukum Ekonomi Digital

130

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

teorinya peraturan perundang-undangan (legislasi dan

regulasi) dan praktik hukum (law in actions).

Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada

kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum

ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian faktual

dan keyakinan-keyakinan ideal yang hidup yang terkait

padanya, sehingga mampu mengintegrasikannya ke dalam

masyarakat (pergaulan hidup). Tiap ilmu atau tiap cabang

ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh

pokok-telaahnya (objeknya) tetapi oleh metodenya, yakni

cara khas yang dengannya orang bekerja untuk memperoleh

pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum tidak dapat

lain kecuali interdisipliner sintetikal. Teori Hukum dengan

metode interdispliner melaksanakan suatu fungsi konver-

gensi atau menggabungkan (overkoepelen) dan, lebih lagi,

mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum.

Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan

secara layak densitas dari kenyataan ini sebagaimana dalam

keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang berurusan

dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan

hukum. Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebe-

naran yang tidak dapat dipecah (ondeelbaar) serta tidak ada

realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal, namun

yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan

kemasyarakatan, yang di dalamnya hukum mensituasikan

diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek hukum secara

terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada

kebenaran.

Page 156: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

131

Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni meng-

ungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan

keadilan. Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi

instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan meme-

lihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk

melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan,

sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat, sarana

mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,

dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong,

mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakat).

Dalam masyarakat paska-kolonial yang sedang

menjalani perubahan sosial yang fundamental dan

mencakup seluruh bidang kehidupan secara simultan, maka

perundang-undangan memegang peranan dominan dalam

pembangunan tata-hukum nasional serta menjalankan

fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan perubahan

masyarakat. Yurisprudensi berperan untuk mendukung

dengan menjabarkan ketentuan perundang-undangan

dakam putusan konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu

Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai sarana

intelektual untuk membantu proses pembentukan hukum

melalui perundang-undangan dan yurisprudensi, serta

membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi

hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan

masyarakat.

Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman

konseptual dan teoretikal Penulis dari penyatuan (conver-

gence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum

Page 157: Hukum Ekonomi Digital

132

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terhadap hubungan manusia dan masyarakat dalam

Revolusi Industri 4.0, baik dalam tataran nasional, regional

maupun tataran internasional. Paradigma dari konvergensi

tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih

mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi kon-

vergensi dan konsepsi non-konvergensi hukum.152 Pende-

katan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau

perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan

sistem hukum yang berbeda diharapkan dapat menjelaskan

pentingnya konsepsi konvergensi hukum.

Klaus Schwab, sang pendiri World Economic Forum,

mempercayai bahwa fase Revolusi Industri 4.0 akan

dibangun di sekitar “cyber-physical systems” (sistem cyber-

fisik) dengan mengaburkan fisik, digital dan biologis.153

Ketika manusia merangkul usia mesin ini, maka kita perlu

dihadapkan dengan tantangan etika baru dan menyerukan

undang-undang baru. Dalam beberapa kasus, seluruh kode

moral mungkin perlu di-boot ulang. Begitulah sifat terobosan

teknologi.

Etika yang berasal dari filsafat atau agama tidak mudah

masuk ke dunia teknologi. Segala sesuatu dari Aristoteles

hingga Sepuluh Perintah Tuhan memberikan manusia

navigasi moral, tetapi seperangkat aturan yang ditetapkan

152 Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional Methodolgyof Comparative Legal Studies and An Example from Private Interna-tional Law”, Cardozo Journal of International and Comparative Law,Fall 2005.

153 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://www.weforum.org/agenda/2017/02/ethics-2-0-how-the-brave-new-world-needs-a-moral-compass

Page 158: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

133

cenderung mengalami dilema. Dunia sains juga memiliki

bagian upaya, dari tiga Hukum Asimov untuk Robot hingga

karya Nick Bostrom tentang etika. Namun, manusia merasa

cukup sulit untuk mengembangkan kebajikan untuk

perilaku mereka sendiri, apalagi membangun kebajikan

yang relevan ke dalam teknologi baru. Implikasi etis berkisar

dari yang langsung seperti “bagaimana algoritma di

belakang Facebook dan Google memengaruhi segala

sesuatu dari emosi kita hingga pemilihan kita?”. Ke masa

depan seperti “apa yang akan terjadi jika kendaraan yang

mengemudi sendiri berarti tidak ada lagi pekerjaan untuk

pengemudi truk?”, di bawah ini beberapa rekonstruksi ulang

etika terhadap Revolusi Industri 4.0 yaitu:

Ilmu Kehidupan yang memunculkan pertanyaan

apakah pengeditan gen harus legal secara yuridis untuk

memanipulasi ras manusia dan menciptakan “bayi

desainer”? Peneliti kanker Siddhartha Mukherjee, dalam

bukunya yang diakui secara kritis, The Gene, menyoroti

pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam bahwa

kemajuan dalam ilmu genom akan muncul. Daftar

pertanyaan etis panjang: bagaimana jika tes pra-kelahiran

memprediksi anak Anda akan memiliki IQ 80 poin, jauh di

bawah rata-rata, kecuali Anda melakukan sedikit penge-

ditan? Bagaimana jika teknologi ini hanya terbatas pada

orang-orang kaya?

Artificial Intellegent atau kecerdasan artifisial melalui

pembelajaran mesin (machine learning) dan Big Data. Seiring

waktu, kecerdasan artifisial akan membantu manusia

Page 159: Hukum Ekonomi Digital

134

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

membuat segala macam keputusan. Tetapi bagaimana

manusia sanggup memastikan algoritma ini dirancang

dengan baik? Bagaimana manusia menghaluskan bias dari

sistem seperti itu, yang pada akhirnya akan digunakan untuk

menentukan promosi pekerjaan, penerimaan perguruan

tinggi dan bahkan pilihan jodoh dalam hidup kita? Haruskah

polisi setempat menggunakan perangkat lunak aplikasi

pengenal wajah? Haruskah penegakan hukum/presekusi

berdasarkan algoritma menjadi legal? Apa dampaknya

terhadap privasi kita? Akankah teknologi mutakhir ada di

tangan penegak hukum setempat di era negara penga-

wasan?

Media sosial dan dawai (gadget) yang memunculkan

pertanyaan bagaimana jika Kindles (aplikasi buku elektronik)

tertanam dengan perangkat lunak aplikasi pengenalan wajah

dan sensor bio-metrik, sehingga perangkat dapat menge-

tahui bagaimana setiap kalimat memengaruhi detak jantung

dan tekanan darah kita?

Robot dan Mesin yang memunculkan pertanyaan

bagaimana kita memastikan mobil tanpa pengemudi apa

yang bisa menentukan sendiri secara independen?

Bagaimana kita memutuskan apa yang dapat diputuskan

oleh Robot? Akankah ada kebutuhan untuk robot yang

setara dengan hak asasi manusia seperti yang dimuat dalam

konstitusi? Bagaimana dengan hak manusia untuk menikahi

robot dan robot untuk memiliki properti? Haruskah Cyborg

yang sangat maju diizinkan untuk mencalonkan diri untuk

jabatan politik?

Page 160: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

135

Biasanya di masa lalu, pasar bebas telah memutuskan

nasib inovasi baru dan dengan waktu, pemerintah lokal

datang dan campur tangan (Uber dilarang di Jepang tetapi

beroperasi di India). Namun, dalam hal ini pendekatan

semacam itu bisa menjadi bencana.

Ini bukan Revolusi Industri 1.0 dimana kekhawatirannya

bukan hal baru. Mereka telah ada selama lebih dari 200

tahun sejak Revolusi Industri. Tapi seperti yang dikatakan

oleh sejarawan dan filsuf Yuval Harari, masalah anak itu

(yang menangis serigala) pada akhirnya benar. Kemajuan

teknologi secara tradisional melampaui proses politik,

manusia telah melewatkan menyusun piagam moral untuk

internet, dan terus bermain mengejar sampai hari ini. Manusia

tidak bisa menjadi buta-sisi oleh batas berikutnya, baik dalam

bioteknologi atau kecerdasan buatan. Masa depan manusia

semakin banyak ditulis oleh para insinyur dan pengusaha,

yang tidak perlu dimintai pertanggungjawaban.

Masyarakat pandai beradaptasi terhadap perubahan –

dari mesin uap ke iPhone hingga peningkatan masa hidup

yang nyata. Seperti yang dikatakan Bill Gates, “teknologi

itu amoral”, terserah pada manusia itu sendiri untuk memu-

tuskan bagaimana menggunakannya dan di mana untuk

menarik garis.154 Miliaran orang dan banyak mesin saling

terhubung satu sama lain. Melalui teknologi inovatif,

kekuatan dan kecepatan pemrosesan yang belum pernah

terjadi sebelumnya, dan kapasitas penyimpanan yang sangat

154 Laman diakses pada tanggal 17 Agutus 2018 yaitu https://www.weforum.org/agenda/2017/06/the-fourth-industrial-revolution-is-about-people-not-just-machines

Page 161: Hukum Ekonomi Digital

136

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

besar, data dikumpulkan dan dimanfaatkan tidak seperti

sebelumnya.

Otomatisasi, pembelajaran mesin, komputasi mobile

dan kecerdasan buatan –ini bukan lagi konsep futuristik–,

mereka adalah realitas kita yang bagi banyak orang,

perubahan ini menakutkan. Revolusi industri sebelumnya

telah menunjukkan jika perusahaan dan industri tidak

beradaptasi dengan teknologi baru, mereka berjuang. Lebih

buruk lagi, mereka gagal. Inovasi ini akan membuat industri

–dan dunia– lebih kuat dan lebih baik. Perubahan yang

dibawa oleh Revolusi Industri 4.0 tidak dapat dihindari,

tidak opsional. Kemungkinan imbalannya mengejutkan

yaitu standar hidup yang tinggi; peningkatan keselamatan

dan keamanan; dan sangat meningkatkan kapasitas

manusia.

Bagi orang-orang, harus ada pergeseran dalam pola pikir

dan meskipun sulit, masa depan pekerjaan terlihat sangat

berbeda dari masa lalu. Orang-orang dengan semangat,

kreativitas, dan semangat kewirausahaan akan merangkul

masa depan ini, daripada bergantung pada status quo.

Orang dapat menjadi lebih baik dalam pekerjaan mereka

dengan teknologi saat ini –dan teknologi yang akan datang

– daripada takut bahwa keterampilan manusia mereka akan

direndahkan.

Kita semua pernah mendengar cerita tentang komputer

yang mengalahkan bahkan para grandmaster terhebat.

Namun ceritanya lebih bernuansa; manusia dan komputer

bermain berbeda dan masing-masing memiliki kekuatan

Page 162: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

137

dan kelemahan. Komputer lebih memilih untuk mundur,

tetapi mereka dapat menyimpan sejumlah besar data dan

tidak bias dalam pengambilan keputusan mereka. Manusia

bisa lebih keras kepala, tetapi juga bisa membaca kelemahan

lawan mereka, mengevaluasi pola kompleks, dan membuat

keputusan kreatif dan strategis untuk menang. Bahkan para

pembuat mesin catur buatan mengakui bahwa pemain catur

terbaik sebenarnya adalah tim manusia dan mesin.

Dunia akan selalu membutuhkan kecemerlangan

manusia, kecerdikan manusia dan keterampilan manusia.

Perangkat lunak dan teknologi memiliki potensi untuk mem-

berdayakan orang ke tingkat yang jauh lebih besar daripada

di masa lalu –membuka kreativitas, persepsi, dan imajinasi

laten manusia di setiap tingkat setiap organisasi. Pergeseran

ini akan memungkinkan pekerja di garis depan, di jalan dan

di lapangan untuk membuat keputusan yang lebih cerdas,

memecahkan masalah yang lebih berat dan melakukan

pekerjaan mereka dengan lebih baik.

Melalui cara yang sama bahwa master catur dan kom-

puter bekerja paling baik bersama, mekanik menggunakan

keterampilan manusia yang tidak dapat direplikasi oleh

sebuah mesin: kecerdikan, kreativitas, dan pengalaman.

Teknologi mendeteksi masalah yang tidak diketahui dan

tidak terlihat oleh mata manusia, sehingga ketika mekanik

dan teknologi bekerja sama, pekerjaan diselesaikan lebih

cepat, dengan lebih sedikit kesalahan dan hasil yang lebih

baik. Sebagaimana yang kini terjadi di semua industri seperti

penerbangan, energi, transportasi, kota cerdas, manufaktur,

sumber daya alam, dan konstruksi.

Page 163: Hukum Ekonomi Digital

138

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Produktivitas yang dapat mengingatkan pada apa yang

dilihat dunia saat munculnya Revolusi Industri 1.0. Tetapi

dampak Revolusi Industri 4.0 akan berjalan jauh lebih luas,

dan lebih dalam, daripada yang pertama. Manusia hari ini

akan memiliki pengetahuan, bakat, dan alat untuk menye-

lesaikan beberapa masalah terbesar dunia: kelaparan,

perubahan iklim, penyakit. Mesin akan memberi wawasan

dan perspektif yang manusia butuhkan untuk mencapai

solusi tersebut. Tetapi mereka tidak akan memberikan

penilaian atau kecerdikan.

“Modernitas adalah kesepakatan”, tulis Harari dalam

bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, bahwa

“seluruh kontrak dapat dirangkum dalam satu frase bahwa

manusia setuju untuk menyerah makna dalam pertukaran

untuk kekuasaan.” Kekuatan dari Revolusi Industri 4.0

dalam waktu dekat memberi kita atribut seperti dewa yaitu

kemampuan untuk memperpanjang rentang hidup dan

bahkan menipu kematian, agensi untuk menciptakan bentuk

kehidupan baru, untuk menjadi perancang cerdas

Galapagos, sarana untuk mengakhiri perang dan kelaparan

dan wabah. Namun akan ada harga yang harus dibayar

untuk kekuatan ini.

Sebagai permulaan, Harari menyarankan, itu ditakdir-

kan, jika tren saat ini berlanjut, untuk didistribusikan dengan

sangat tidak merata.155 Umur panjang dan kualitas super-

manusia yang baru cenderung menjadi pelestarian techno

155 Yuval Noah Harari,Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, HarvillSecker, London, 2017.

Page 164: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

139

super-kaya, penguasa alam semesta data. Sementara itu,

redundansi tenaga kerja, digantikan oleh mesin-mesin yang

efisien, akan menciptakan “kelas tidak berguna” yang sangat

besar, tanpa tujuan ekonomi atau militer. Sehingga dengan

tidak adanya agama, fiksi yang menyeluruh akan diperlukan

untuk memahami dunia. Sekali lagi, jika tidak ada perubahan

dalam pendekatan manusia, Harari membayangkan bahwa

“Dataisme”, keyakinan universal pada kekuatan algoritma,

akan menjadi sakral.156 Bagi para utopian, ini akan sangat

mirip dengan “singularitas”: sistem pemrosesan data yang

serba tahu dan ada di mana-mana, yang benar-benar tidak

dapat dibedakan dari gagasan-gagasan Tuhan, yang

dengannya manusia akan selalu terhubung.

Harari dalam bukunya optimis tentang prospek ini,

bahwa dia memiliki rasa keadilan yang kuat dari para ahli

etika: apa yang Homo Sapiens (dalam kebijaksanaannya)

telah kunjungi di dunia alami melalui produksi pangan

industri mungkin suatu hari akan dikunjungi oleh Homo

Sapiens. Individu akan menjadi hanya kumpulan “subsistem

biokimia” yang dipantau oleh jaringan global, yang akan

memberi tahu kita detik demi detik bagaimana perasaan

kita. Dari tempat kami berdiri, katanya, di masa kini yang

dipercepat, tidak ada masa depan jangka panjang yang bisa

dibayangkan, masih kurang dapat diprediksi –dan ada

banyak waktu untuk pertanyaan. Pertanyaan Harari yang

kadang-kadang sesak nafas dan selalu kompulsif membuat

kita seperti ini: “Apa yang lebih berharga, kecerdasan atau

156 Id.

Page 165: Hukum Ekonomi Digital

140

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kesadaran?” Google tidak akan membantu dalam mem-

berikan jawabannya.157

Pembentukan aturan perundang-undangan, yang

dirumuskan dengan bersaranakan bahasa, dimaksudkan

untuk mengatur perilaku warga masyarakat dan untuk

digunakan menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi

di kemudian hari. Maksudnya, aturan-aturan itu dimak-

sudkan untuk peristiwa-peristiwa di masa depan setelah

terbentuknya aturan-aturan itu, dan tidak dimaksudkan

untuk mengatur peristiwa yang sudah terjadi sebelum

terbentuknya (non-retroaktif). Namun, pembentuk undang-

undang tidak mampu untuk mengantisipasi semua kejadian

konkret individual. Karena itu, untuk dapat mencakup

kejadian-kejadian konkret yang tidak dapat dibayangkan

kemungkinan terjadinya terlebih dahulu, maka pembentuk

undang-undang menggunakan kata-kata atau istilah-istilah

umum yang cakupan penerapannya luas dan abstrak dalam

perumusannya. Artinya, yang dirumuskan dalam aturan

perundang-undangan adalah model-model perilaku yang

abstrak, sehingga dapat berlaku secara umum. Dengan

demikian untuk dapat diterapkan dan digunakan menye-

lesaikan masalah (sengketa) konkret, maka aturan tersebut

harus dipahami sehingga dapat diketahui apa yang mau

diharuskan atau dilarang dengan aturan itu.

Untuk dapat memahaminya, aturan tersebut harus

diinterpretasi sedemikian sehingga kaidah hukum yang

tercantum (tersembunyi) di dalam aturan perundang-

157 Id.

Page 166: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

141

undangan dapat ditampilkan ke permukaan. Jadi, ketika

aturan perundang-undangan akan diterapkan atau diguna-

kan, maka aturan abstrak yang berlaku secara umum itu

harus dikonkretisasikan, artinya diindividualisasi pada situasi

konkret yang tengah dihadapi. Dengan cara itu akan

menjadi jelas, dalam situasi konkret tertentu, siapa berhak

(berkewajiban) atas apa terhadap siapa berkenaan dengan

apa dan atas dasar apa; artinya untuk menentukan apa

kaidah hukumnya bagi situasi konkret tertentu. Karena

menurut hakikat, tujuan dan fungsinya, aturan perundang-

undangan itu selalu berlaku umum dan absrak, maka untuk

dapat diterapkan dengan baik, maka aturan tersebut selalu

memerlukan interpretasi, artinya kaidah hukum yang ter-

cantum di dalamnya harus ditemukan terlebih dahulu

melalui intepretasi dan atau konstruksi. Bahkan pernyataan

“In claris non est interpretatio” (jika sudah jelas maka tidak

diperlukan interpretasi) sesungguhnya adalah sebuah hasil

interpretasi.

Upaya untuk menemukan kaidah hukum yang ter-

cantum dalam aturan perundangan mendorong studi dan

munculnya metode interpretasi. Sejak terbentuk kodifikasi

hukum di Perancis, aliran legisme mendominasi praktek

hukum dan pemikiran tentang hukum. Di bawah dominasi

legisme, maka metode interpretasi yang dominan dalam 5

sampai 7 dekade sejak terbentuknya kodifikasi hukum di

Perancis adalah metode gramatikal, historis, dan sistematis.

Gerakan kodifikasi hukum dan berpengaruhnya Aliran

Legisme adalah reaksi terhadap absolutisme yang

Page 167: Hukum Ekonomi Digital

142

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sewenang-wenang. Karena itu, tidak mengherankan jika

nilai-nilai kepastian hukum dan prediktabilitas mendominasi

pemikiran tentang hukum dan penyelenggaraan hukum

dalam kenyataan sejak gerakan itu memberikan hasil yang

nyata.

Setelah Ajaran Legisme dengan metode interpretasi

gramatikal, historikal, dan sistematis sudah tidak memenuhi

lagi tuntutan keadilan dalam masyarakat, maka pada abad

ke-19, studi tentang metode-metode penemuan hukum

mengalami kemajuan pesat. Studi ini memunculkan dan

mengembangkan metode-metode interpretasi secara

gramatikal, historikal, sistematis, teleologis dan sosiologis.

Di samping itu juga mengembangkan metode-metode

konstruksi hukum yang mencakup yaitu argumentum per

analogiam (analogi), argumentum a contrario, argumentum

a fortiori, dan penghalusan hukum nilai kepastian hukum

dan prediktabilitas mendominasi pemikiran tentang hukum.

Pada abad ke-20 yang menonjol adalah studi tentang

penalaran hukum (legal reasoning) atau teori argumentasi

yuridik.

Untuk mewujudkan tujuan hukum yang sesungguhnya,

artinya untuk membuat hukum menjadi hukum yang

progresif, yakni hukum yang mengabdi manusia, untuk

mewujudkan kedilan di dalam masyarakat, maka secara

hermeneutis semua metode interpretasi perlu dikerahkan.

Jadi, menetapkan apa makna hukum yang tercantum dalam

suatu aturan perundang-undangan dilakukan berdasarkan

aturan hukum positif yang dipahami (diinterpretasi) ber-

Page 168: Hukum Ekonomi Digital

BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

143

dasarkan makna kata dan struktur kalimatnya (gramatikal)

dalam konteks latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan

dengan tujuannya (teleologikal) yang menentukan isi aturan

hukum positif tersebut serta dalam konteks hubungan aturan-

aturan positif yang lainnya (sistematikal), dan secara kon-

tekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasya-

rakatan dan ekonomika (sosiologikal) dengan mengacu

nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental

(filosofikal) dalam proyeksi ke masa depan (futurologikal).

Page 169: Hukum Ekonomi Digital

144

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 170: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

145

BAB 3

LEGISLASI DAN REGULASI

EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

“Laws, norms, markets,

and codes regulates behavior in cyberspace.”

Lawrence Lessig, The Laws of Cyberspace-1998

“Technological innovations will be the heart and blood

of the banking industry for many years to come and if big banks

do not make the most of it, the new players from FinTech and

large technology companies surely will.”

David M. Brear, Partner Think Differently Group

Page 171: Hukum Ekonomi Digital

146

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pada bulan November 2016, European Comission atau

Komisi Eropa membentuk satuan tugas internal (task force)

pada financial technology atau teknologi keuangan dengan

tiga tujuan yang utama.158 Pertama, untuk memastikan

bahwa semua kebijakan di seluruh dewan diinformasikan

oleh dan memperhitungkan inovasi teknologi. Kedua, untuk

menilai apakah regulasi dan kebijakan yang ada sesuai

untuk tujuan di era digital; dan Ketiga, untuk mengiden-

tifikasi tindakan dan proposal yang dapat memanfaatkan

peluang potensial yang ditawarkan teknologi finansial

(fintech), sementara juga mengatasi risiko yang mungkin

timbul. Komisi Eropa menunjukkan bahwa satuan tugas

telah melihat kerangka kerja yang ada di dalam negara-

negara anggota Uni Eropa telah berbicara dengan para

pemangku kepentingan yang relevan dan mempertim-

bangkan kasus untuk tanggapan Eropa yang terkoordinasi.

A. REVOLUSI FINANSIAL DIGITAL DAN BIG DATA

Peningkatan yang ekskalatif dari aktivitas sosial dan

konstelasi ekonomi masyarakat dunia telah memasuki suatu

masyarakat yang berorientasi kepada informasi atau data.

Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan dibanyak

sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic

commerce atau e-commerce), pendidikan (electronic edu-

cation), kesehatan (tele-medicine), telekarya, transportasi,

158 https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-and-virtual-currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15

Page 172: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

147

industri, pariwisata, lingkungan sampai ke sektor hiburan.159

Teknologi informasi melingkupi sistem yang mengumpul-

kan (collect), menyimpan (store), memproses, memproduksi

dan mengirimkan informasi dari dan ke industri ataupun

masyarakat secara efektif dan cepat.160

Penggunaan teknologi internet di dunia merupakan

fenomena global yang luar biasa. Riset dari Internet World

Stats (IWS) sampai dengan bulan Maret pada tahun 2017

ditemui fakta dan data bahwa pengguna internet di dunia

adalah 3.739.698.500 dari keseluruhan populasi penduduk

sejumlah 7.519.028.970 jiwa.161 Pengguna internet ter-

banyak adalah di kawasan Asia yang mencapai lebih dari

1 miliar pengguna dengan 50,1% dari keseluruhan peng-

guna internet di dunia yaitu 1.874.136.654, dimana pada

tahun 2006 “baru” sejumlah 364.270.713 pengguna

(pertumbuhan 1.539,6 % semenjak 2000-2017).

Pengguna internet terbesar kedua adalah Eropa yaitu

636.971.824 yang pada tahun 2006 adalah sejumlah

290.121.957 pengguna, kemudian diikuti oleh Amerika

Latin/Kepulauan Karibia yaitu sejumlah 385.919.382

159 Suhono Harso Supangkat, Teknologi Informasi dan Ekonomi Digital:Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurusan Teknik Elektro, InstitutTeknologi Bandung, 2000.

160 Istilah Teknologi Informasi merupakan terjemahan dari InformationTechnology (IT) yang memiliki pengertian proses data (data process-ing) dengan pendekatan yang semula management information sys-tem (MIS) menjadi teknologi informasi. Istilah Teknologi Informasidikenal pertama kali pada tahun 1989 saat dilakukannya merger Si-emens dan Nixdorf. Lihat Harry Newton, Newton’s Telecom Dictio-nary, 18th Edition, CMP Books, New York, 2002, hlm. 402-403.

161 Keseluruhan fakta dan data dapat diakses melalui laman http://www.internetworldstats.com/stats.htm.

Page 173: Hukum Ekonomi Digital

148

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

padahal pada tahun 2006 masih 79.033.597 pengguna,

Afrika dengan pengguna sejumlah 353.121,578 yang

melonjak luar biasa dari tahun 2006 yang hanya

22.737.500, dan berikutnya adalah kawasan Amerika Utara

yaitu sejumlah 320.068.243 dimana pada tahun 2006

sempat di posisi ketiga dengan 225.801.428 pengguna

(dengan pertumbuhan hanya 8,6 % semenjak 2000-2017);

Timur Tengah dengan 141.931.765 pengguna dimana

pada tahun 2006 sejumlah 18.203.500 pengguna; dan yang

terakhir adalah kawasan Oceania/Australia sebanyak

27.549.054 pengguna dengan dibandingkan dengan tahun

2006 sejumlah 17.690.762 pengguna.

Keseluruhan pengguna internet dunia kini mencapai

pertumbuhan hampir 936% semenjak tahun 2000-2017.

Fakta dan data dari IWS memberikan pemahaman bahwa

penggunaan internet menjadi ultra-masif sehingga perlunya

identifikasi dan konstruksi objektif dari karakter pemanfaatan

teknologi informasi melalui internet.

Pertama, internet memiliki karakter global dan tidak

mengenal batas negara. Kedua, setiap pengguna internet

dapat melakukan komunikasi secara interaktif end-to-end

bahkan dapat melakukan kegiatan penyiaran (video real

time) dengan biaya yang relatif rendah serta sanggup secara

mandiri terkodekan (encryption) seperti WhatsApp dan Tele-

gram. Ketiga, tidak ada satupun yang dapat mengklaim

dirinya “pemilik” internet yang merupakan gabungan

beratus-ratus ribu jaringan dan platform. Keempat, pertum-

buhan yang luar biasa dari pengguna internet dan perkem-

Page 174: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

149

bangan yang cepat pada teknologi internet itu sendiri.

Kelima, internet tidak berada dalam lingkup pengaturan

suatu pemerintahan negara atau organisasi tertentu sehingga

dibutuhkan kerjasama internasional dalam upaya mengatasi

permasalahan-permasalahan hukum yang muncul. Hal-hal

dimaksud menjadikan teknologi internet sebagai sesuatu

yang unik, sehingga perlu dicarikan pengaturan atau hukum

yang dapat diterapkan secara optimal dalam kegiatan

teknologi informasi di yurisdiksi virtual.

Big Data memiliki karakter yang masif dan eskalatif

karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi informasi

atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka dapat

disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai

format dalam waktu yang singkat. Utilisasi informasi dari Big

Data termasuk kegiatan pengumpulan data (data collect-

ing); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku

interaksi data (data behavior analyzing). Data dimaksud

harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator

finansial sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai

model bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis aplikasi

tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan

elektronik (e-commerce) maupun teknologi finansial

(FinTech).

Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai

dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada

data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja

yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan. Hasil

dari Survei Global McKinsey menunjukkan bahwa pening-

Page 175: Hukum Ekonomi Digital

150

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

katan pangsa korporasi yang menggunakan data dan

analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertum-

buhan finansial.162 (lihat Lampiran) Pertumbuhan finansial

dari perusahaan yang berbasis model bisnis data memer-

lukan kombinasi strategi, budaya, dan organisasi yang tepat.

Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing,

data capitalization) sebagai alat pertumbuhan finansial.

Walaupun masih dalam evolusi awal nampak beberapa

perusahaan dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi)

sudah berada di depan perusahaan-perusahaan yang

lainnya.

Responden di perusahaan-perusahaan ini mengatakan

bahwa mereka berpikir lebih kritis daripada yang lain tentang

memonetisasi data yang mereka kuasai, dan juga meng-

gunakan data dengan sejumlah cara untuk menciptakan

nilai bagi pelanggan dan transaksi bisnis. Mereka menam-

bahkan layanan baru terhadap penawaran yang sudah eksis,

mengembangkan model bisnis baru, dan bahkan langsung

menjual produk berbasis data atau utilisasinya. Selain itu,

Survei dimaksud menunjukkan juga respons dari institusi

yang melihat dampak paling besar dari program analisis dan

data mereka menawarkan edukasi kepada orang lain yang

berusaha memanfaatkan data mereka sebaik mungkin.

Perusahaan-perusahaan tersebut, menurut responden,

membuat dasar analisis yang kuat yaitu strategi analisis data

dan analisis yang terukur jelas, desain organisasi dan praktik

162 https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712, diakses pada tanggal 27 Desember 2017.

Page 176: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

151

pengelolaan talenta yang lebih baik, dan penekanan yang

lebih besar untuk mengubah wawasan terkait data baru.

Secara keseluruhan, responden mengatakan bahwa

penggunaan data dan analisis telah membawa perubahan

penting pada fungsi bisnis inti (core business) perusahaan

mereka. Sebagai contoh, hampir separuh dari semua

responden mengatakan bahwa data dan analisis secara

signifikan atau secara mendasar mengubah praktik bisnis

dalam fungsi penjualan dan pemasaran mereka, dan lebih

dari sepertiga mengatakan hal yang sama tentang penelitian

dan pengembangan (Research and Development). Seluruh

responden dari sektor industri teknologi paripurna (high-

tech) dan industri energi serta material dasar melaporkan

bahwa jumlah fungsi terbesar ditransformasikan oleh model

bisnis analisis data.

Di seluruh sektor industri, sebagian besar responden

setuju bahwa tujuan utama aktivitas data dan analisisnya

adalah menghasilkan pendapatan baru bagi korporasi.

Instrumen monetisasi data sebagai model bisnis untuk

menghasilkan pendapatan sebagai upaya yang cukup baru

dimulai dalam dua tahun terakhir, hal dimaksud diketahui

dari sejumlah 41% responden yang perusahaannya telah

memonetisasi data. Monetasi data sebagai model bisnis yang

baru lahir, pada industri tertentu sudah dilakukan sebagai-

mana nampak lebih dari setengah responden industri energi

dan material dasar, jasa keuangan, dan teknologi paripurna

(high-tech) mengatakan bahwa perusahaan mereka telah

mulai memonetisasi data. Terlebih lagi, upaya ini juga terbukti

menjadi sumber diferensiasi.

Page 177: Hukum Ekonomi Digital

152

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Monetisasi data nampaknya berkorelasi dengan kinerja

terdepan di industri. Responden pada perusahaan berkinerja

tinggi dalam survei Global McKinsey, menyatakan bahwa

mereka telah menghasilkan analisis data dan melakukannya

dengan lebih banyak cara, termasuk menambahkan layan-

an baru ke penawaran yang ada, mengembangkan model

bisnis yang sama sekali baru, dan kemitraan dengan peru-

sahaan lain di industri terkait untuk membuat kolaborasi data

bersama. Mungkin tidak mengejutkan, responden pada

korporasi yang berkinerja tinggi (high-performers) juga

melihat keuntungan lini teratas (a top-line benefit) yaitu model

bisnis monetisasi data mereka berkontribusi lebih dari 20

persen terhadap pendapatan perusahaan.

Mendapatkan hak untuk monetisasi data memerlukan

usaha yang signifikan dan menjadi penting untuk tetap

berada di depan para pesaing tradisional dan distrupsi baru

(new distruption). Berdasarkan hasil survei, berikut beberapa

langkah yang bisa dilakukan eksekutif korporasi untuk

memulai upaya memonetisasi data yang tepat sehingga

menjadi nilai tambah kompetitif pada platform pasar industri.

Fokus terlebih dahulu di internal korporasi. Hampir

tidak mungkin sebuah perusahaan berhasil menciptakan

bisnis berbasis data yang berfokus pada eksternal sementara

masih berjuang untuk mendapatkan data yang jernih dan

konsisten yang dibagi secara internal di seluruh organisasi.

Sebelum perusahaan memulai model bisnis monetisasi data

maka mereka harus menopang platform data strategi, desain,

dan arsitektur yang akan membantu mereka membangun

Page 178: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

153

konstruksi bisnisnya dan platform teknis yang mereka

butuhkan untuk memonetisasi data secara efektif. Menem-

patkan data mereka untuk bekerja untuk penggunaan in-

ternal, seperti memperbaiki pengambilan keputusan atau

mengoptimalkan operasi, juga dapat berfungsi sebagai dasar

pengujian untuk platform data mereka dan juga untuk model

monetisasi data dari bisnis berbasis data.

Cari tahu inovasi yang ada di luar korporasi. Setelah

platform fundamental dari data dan monetisasinya terbentuk

di perusahaan maka mereka masih perlu menemukan

bahwa solusi paling inovatif dapat diperoleh secara terbaik

dari luar korporasi. Model bisnis di ekosistem data lebih

optimal dengan bermitra (partnering). Mitra semacam itu

mencakup perusahaan analisis yang dapat melengkapi

kemampuan organisasi yang ada, penyedia platform yang

menjadi instrumen atau solusi (host tools or solution), dan

penyedia data yang dapat membantu organisasi menda-

patkan akses ke rangkaian data yang unik. Perusahaan

bahkan dapat bermitra dengan pemasok, pelanggan, atau

rekan industri mereka untuk menambah dan memperkaya

data yang ada; mereka kemudian dapat menawarkan data

tersebut sebagai add-on unik untuk produk atau layanan

yang ada, atau menjual data sebagai bagian dari bisnis yang

sama sekali baru.

Berkomitmen pada transformasi end-to-end dan

dapatkan bisnis yang terlibat. Bahkan saat data monetisasi

sudah meningkat, banyak perusahaan masih berjuang untuk

mendorong dampak bisnis utamanya. Hal dimaksud terjadi

Page 179: Hukum Ekonomi Digital

154

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

karena dua alasan yaitu kegagalan melakukan perubahan

masif yang diperlukan untuk memasuki pasar baru (new

market), dan kurangnya kemitraan antara bisnis dan tek-

nologi informasi. Untuk transformasi, perubahan semacam

itu bisa melibatkan rekonfigurasi model operasi dan fungsi

bisnis utama (dari pengembangan produk hingga pema-

saran), program penyiapan tenaga kerja, dan program

manajemen perubahan yang bertujuan untuk mengubah

budaya organisasi, pola pikir, dan perilaku. Upaya sub-

stansial semacam ini memerlukan komitmen penuh dari

petinggi korporasi, siapa yang harus berkomunikasi dengan

manajer senior –baik di unit bisnis maupun pusat teknologi–

prioritas dari inisiatif atau program yang diberikan dan

kebutuhan untuk mendedikasikan waktu, modal sumber

daya manusia (human capital), dan keuangan yang mema-

dai. Banyak perusahaan yang berjuang untuk berhasil

dalam monetisasi data, khususnya mereka menemukan

strategi yang tepat ketika mereka mendelegasikan semua

upaya analisis dan data dengan utilisasi teknologi informasi.

Pada kenyataannya, upaya memonetisasi data lebih efektif

saat bisnis dipimpin dan difokuskan pada utilisasi yang

paling berharga untuk meningkatkan nilai kompetitif

korporasi.

Indonesia memiliki banyak faktor yang layak diperhi-

tungkan untuk investasi oleh pelaku industri. Salah satunya

terkait keseriusan pemerintah mereformasi kebijakan bidang

teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal itu disam-

paikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika,

Page 180: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

155

Rudiantara, dalam Diskusi Panel Korean Indonesian Busi-

ness Dialogue 2017 “The 4th Industrial Wave Preparation

& Expectation” di The Westin Jakarta, Selasa (12 Desember

2017) bahwa:163

“Pemerintah fokus pada reformasi kebijakan di sektor

TIK, terutama di DNA (device, network, dan applica-

tion). Jika butuh sertifikasi perangkat, kita permudah

prosesnya. Dalam hal jaringan, pemerintah punya ber-

bagai affirmative policy termasuk untuk menyediakan

internet dengan kecepatan tinggi.”

Pemerintah Republik Indonesia dalam kebijakan untuk

aplikasi adalah menyiapkan marketplace untuk menjem-

batani antara start-up dan pemodal. Upaya mengejar keter-

tinggalan broadband yang dilakukan Indonesia dengan

banyak berkaca dari keberhasilan ekosistem DNA Korea

yang sudah bermula sejak 30 tahun lalu. Faktor lain yang

patut diperhitungkan adalah keadaan ekonomi Indonesia

yang stabil, bonus demografi yang sebentar lagi akan

dihadapi Indonesia, serta tingginya tingkat kepercayaan in-

vestor kepada Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang

stabil dan diproyeksikan pada tahun 2030 GDP Indonesia

akan menjadi nomor lima di dunia, setara dengan ekonomi

kolektif negara-negara ASEAN. Indonesia akan berada di

puncak demografi di mana angka usia produktif dua kali

lipat dibanding usia non-produktif. Indonesia juga berada

163 https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-dna-tiga-fokus-reformasi-kebijakan-tik,diakses pada tanggal 12 Desember 2017.

Page 181: Hukum Ekonomi Digital

156

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

di posisi ketiga dalam hal kepercayaan investor, setelah

China dan India.

Menteri Rudiantara dalam Acara Kerjasama Gerakan

Nasional 1000 Startup Digital dan Bank Bukopin di

Kementerian Kominfo, Jakarta, Kamis (2/3/2017) menyam-

paikan bahwa Dunia perbankan di Indonesia kini perlu

merumuskan model bisnis baru berbasis teknologi.

“Perbankan Indonesia, hanya masalah waktu saja harus

memikirkan bisnis model yang baru terutama untuk con-

sumer banking. Manajemen perbankan harus memikirkan

untuk menginteraksikan diri terhadap gelombang teknologi

perbankan baru, yakni financial technology (FinTech ),” jelas

Menteri Rudiantara.164

Penerapan teknologi dalam aspek perbankan sangat

beragam. Oleh karena itu, Menteri Kominfo mengharapkan

dunia perbankan harus memahami karakteristik konsumen.

“Fintech itu bermacam-macam, akan tetapi yang banyak

berkembanag adalah virtual landing yang berkaitan dengan

consumer banking. Kenapa, orang lebih senang meng-

gunakan FinTech untuk meminjam uang daripada pergi ke

bank? Alasannya adalah dari sisi waktu, karena prosesnya

cepat,” papar Rudiantara.

Menteri Rudiantara menyebutkan saat ini kurang lebih

ada 140 fasilitas layanan FinTech yang sudah terdaftar,

bahwa “Memang cost atau bunganya lebih tinggi dari cost

traditional banking. Akan tetapi jauh lebih baik dari rentenir.

164 https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-indonesia/0/berita_satker,diakses pada tanggal 12 Desember 2017.

Page 182: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

157

Ini menunjukkan bahwa UKM yang meminjam bisa meng-

hitung, walaupun mendapatkan bunga yang lebih besar

akan tetapi ada kepastian bisa mendapatkan pinjaman

secara lebih cepat untuk mengembangkan bisnis”.

Menteri Rudiantara menyatakan pula bahwa ke depan

fintech akan digunakan sebaga financial inclusion, hal itu

dikaitkan dengan adanya penggunaan teknologi seluler di

kalangan masyarakat Indonesia dimana di Indonesia ada

170 juta orang yang minimal memiliki ponsel dan 130 juta

orang yang akses ke internet dan ada 100 juta orang akses

internet lewat ponsel. Namun jumlah penduduk Indonesia

yang punya rekening bank, kalau dilihat ukuran financial

inclusion rate dari Bank Indonesia, hanya sebanyak 90 juta

sehingga artinya ada 80 juta orang punya ponsel tetapi tidak

diberi akses aplikasi yang berkaitan dengan keuangan dan

perbankan.

Rudiantara memamparkan pula pada IMF-WBG

Annual Meetings 2018 di Bali, bahwa:165

“To maximize the benefits of digitalization and emerg-

ing technologies for innovative growth and productiv-

ity, we will promote measures to boost micro, small and

medium enterprises and entrepreneurs, bridge the digi-

tal gender divide and further digital inclusion, support

consumer protection, and improve digital government,

digital infrastructure and measurement of the digital

165 Rudiantara, E-commerce In Emerging Markets: Growth, Challenges,and Opportunities, disampaikan dalam Indonesia Eximbank Panel Dis-cussion, the 2018 IMF-WBG Annual Meetings, Sofitel Hotel, NusaDua, Bali, 2018.

Page 183: Hukum Ekonomi Digital

158

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

economy. We reaffirm the importance of addressing is-

sues of security in the use of ICTs. We support the free

flow of information, ideas and knowledge, while respect-

ing applicable legal frameworks, and working to build

consumer trust, privacy, data protection and intellec-

tual property rights protection. We welcome the G20

Repository of Digital Policies to share and promote the

adoption of innovative digital economy business mod-

els. We recognize the importance of the interface be-

tween trade and the digital economy. We will continue

our work on artificial intelligence, emerging technolo-

gies and new business platforms.”

B. REGULASI TEKNOLOGI FINANSIAL (FINTECH)

DI INDONESIA

Konsepsi regulasi eksisting untuk Teknologi Finansial terlihat

jelas berorientasi pada transaksi. Regulasi dimaksud meng-

anggap transaksi sebagai unit yang relevan untuk tujuan

regulasi dan menyusun regulasi pada komunikasi elektronik

sebagai terminologi minimum dari pelaksanaan kontrak

elektronik. Permasalahan, regulasi, dan solusi semacam itu

mewakili generasi pertama dari perdagangan elektronik (e-

commerce). Pemahaman hukum yang dimunculkan oleh

platform elektronik mengantar ke generasi kedua perda-

gangan elektronik.

Regulasi yang ada pada dasarnya berorientasi pada

transaksi, pada sisi yang lain platform ekonomi mengklaim

Page 184: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

159

pendekatan hukum yang berorientasi organisasi. Platform

elektronik digital menimbulkan pertanyaan hukum, pada

dua sudut yang menarik yaitu bagaimana platform bekerja

dan platform peran mana, atau lebih tepatnya platform

operator, lakukan atau harus lakukan dalam ekonomi digital.

Pergeseran dari pendekatan berorientasi transaksi ke pen-

dekatan berorientasi organisasi ini bukan sekadar perubahan

skala atau fokus.

Munculnya platform dalam ekonomi digital memun-

culkan sejumlah masalah menarik yang baru dan berbeda

dan melampaui efek menggunakan komunikasi elektronik

dalam pembentukan dan kinerja kontrak. Pertama, kategori

masalah hukum yang terkait dengan fakta bahwa platform

menjadi lingkungan yang diatur sendiri berdasarkan kontrak,

sejauh mana otonomi pengaturan dan implikasinya. Kedua,

kategori masalah hukum lain yang muncul dari kapasitas

platform yang menghasilkan kepercayaan (menyediakan

mekanisme untuk mengontrol akses, sistem pengawasan

untuk memantau kepatuhan, kebijakan pelanggaran dan

hukuman, umpan balik sistem reputasi, teknik penilaian,

model penyelesaian sengketa). Ketiga, kategori masalah

hukum yang relevan mengenai peran operator platform

sebagai regulator, pengawas, penegak regulasi ‘lini pertama’,

dan penyedia layanan, yang mengarah pada perdebatan

apakah operator platform bertindak sebagai perantara asli

dan sejauh mana aturan tanggung jawab perantara adalah

yang kemudian berlaku.

Page 185: Hukum Ekonomi Digital

160

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Platform elektronik sama sekali tidak menerima

perhatian yang mencakup semua dari sudut pandang

legislasi. Oleh karenanya kerangka hukum untuk platform

elektronik belum dikembangkan lebih lanjut. Sebaliknya,

perhatian terhadap platform elektronik telah, dan masih,

terfragmentasi, parsial dan tangensial. Di satu sisi, beberapa

yurisdiksi telah membahas paparan pertanggungjawaban

perantara elektronik dan menyusun rezim tanggung jawab

hukum tertentu.Tetapi dipertanyakan apakah operator plat-

form adalah perantara asli untuk tujuan rezim tanggung

jawab tertentu. Oleh karena itu regulasi perantara tidak

sepenuhnya mencakup semua sudut hukum platform. Di

sisi lain, beberapa regulasi khusus telah diadopsi terkait

dengan platform sektoral seperti regulasi tentang platform

pengumpulan dana dari masyarakat (crowdfunding).

Ketika ekonomi digital global tumbuh berdasarkan

model berbasis platform, perbedaan dalam pendekatan,

atau dalam regulasi menimbulkan hambatan bagi perda-

gangan internasional, membangkitkan ketidakpastian,

meningkatkan risiko dalam transaksi perdagangan elektronik

yang dilakukan, tentu saja melalui platform elektronik, dan

menafikan berkembangnya model bisnis yang inovatif dan

mengganggu. Ketiadaan kerangka kerja yang harmonis

untuk platform elektronik, hukum dan regulasi di tingkat

nasional/regional berbeda menjadikan tidak hanya aktivitas

lintas batas dan transaksi elektronik tidak dianjurkan, tetapi

di atas segalanya bahwa efisiensi yang berasal dari dan

peluang yang terkait dengan platform elektronik dilewatkan

Page 186: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

161

dan potensi pengembangan platform elektronik yang

dipercaya oleh kepercayaan dirusak secara serius.

Platform elektronik, dalam semua variannya (pasar

elektronik, platform berbasis berbagi, komunitas bisnis,

jejaring sosial, platform crowdfunding) adalah dan beroperasi

sebagai lingkungan elektronik tertutup. Penutupan suatu

lingkungan tidak tergantung pada teknologi tertentu, peng-

gunaan teknik komunikasi tertentu atau tingkat keamanan

yang mungkin memang tinggi juga di lingkungan terbuka.

Perbedaan antara lingkungan terbuka dan lingkungan

tertutup pada dasarnya didasarkan pada faktor hukum.

Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di bawah ini, penutupan

suatu lingkungan dicapai dengan menggunakan infrastruktur

kontrak yang menciptakan konteks yang dapat dipercaya

berdasarkan kontrak untuk pengguna, mandiri, dan, sampai

batas maksimum yang mungkin, independen dari yurisdiksi

di dalam negeri.

Platform elektronik sebagai lingkungan tertutup telah

dibangun oleh serangkaian perjanjian antara operator dan

komunitas pengguna. Ketiadaan regulasi hukum tertentu,

kewajiban dan hak operator platform ditetapkan oleh

ketentuan kontrak antara operator dan setiap pengguna,

dan, akibatnya peran yang akan dilakukan oleh operator

sebenarnya dirancang oleh serangkaian kontrak yang

mendukung platform.

Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan di Indone-

sia telah merespon inovasi teknologi dalam industri keuang-

an dengan pendekatan regulatif. Bank Indonesia (BI)

Page 187: Hukum Ekonomi Digital

162

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menyebutkan cepatnya perkembangan ini dikhawatirkan

bisa menimbulkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan

di Indonesia. Regulasi yang tertuang dalam Peraturan BI

(PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan

teknologi finansial.

Deputi Gubernur BI, Sugeng menjelaskan BI meman-

dang pertumbuhan fintech di Indonesia sangat baik dan juga

bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan eko-

nomi Indonesia, yakni dengan inovasi yang dimiliki FinTech

maka kegiatan ekonomi bisa lebih baik.166 “Tapi saking

cepatnya perkembangan bisa menimbulkan risiko. Karena

itu BI mengeluarkan peraturan dan kebijakan untuk menye-

imbangkan ini. Mereka tetap berkembang tapi tidak men-

ciptakan ketidakstabilan sistem keuangan di Indonesia,” ujar

Sugeng dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis

(7/12/2017).

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan TeknologiFinansial

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang

Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI Tekfin) ditetapkan

dengan pertimbangan bahwa perkembangan teknologi dan

sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi yang

berkaitan dengan teknologi finansial; perkembangan

teknologi finansial di satu sisi membawa manfaat, namun di

sisi lain memiliki potensi risiko; dan ekosistem teknologi

166 https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-aturan-soal-fintechs, diakses pada tanggal 7 Desember 2017.

Page 188: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

163

finansial perlu terus dimonitor dan dikembangkan untuk

mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem

keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar,

aman, dan andal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi

nasional yang berkelanjutan dan inklusif; penyelenggaraan

teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan

konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian; dan

respons kebijakan Bank Indonesia terhadap perkembangan

teknologi finansial harus tetap sinkron, harmonis, dan terin-

tegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh

Bank Indonesia

Ketentuan dalam PBI Tekfin ini berlaku bagi Penye-

lenggara Teknologi Finansial yang menyelenggarakan

Teknologi Finansial di bidang sistem pembayaran. Ruang

lingkup pengaturan dalam PBI Tekfin mencakup tujuan dan

ruang lingkup; pendaftaran; Regulatory Sandbox; perizinan

dan persetujuan; pemantauan dan pengawasan; kerja sama

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Penye-

lenggara Teknologi Finansial; koordinasi dan kerja sama;

dan sanksi. Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikate-

gorikan ke dalams istem pembayaran; pendukung pasar;

manajemen investasi dan manajemen risiko; pinjaman;

pembiayaan dan penyediaan modal; dan jasa finansial

lainnya.

Kriteria Teknologi Finansial adalah bersifat inovatif; dapat

berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis finansial yang telah eksis; dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat; dapat digunakan secara luas; dan

Page 189: Hukum Ekonomi Digital

164

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penye-

lenggara Teknologi Finansial yang memenuhi kriteria seba-

gaimana dimaksud wajib melakukan pendaftaran pada

Bank Indonesia. Pendaftaran dikecualikan bagi Penyeleng-

gara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin

dari Bank Indonesia dan/atau Penyelenggara Teknologi

Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain.

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah

memperoleh izin dari Bank Indonesia dan memenuhi kriteria

Teknologi Finansial tetap harus menyampaikan informasi

mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model

bisnisnya kepada Bank Indonesia. Kewajiban Penyeleng-

gara Teknologi Finansial yang telah terdaftar menerapkan

prinsip perlindungan konsumen; menjaga kerahasiaan data

dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau infor-

masi transaksi; menerapkan prinsip manajemen risiko dan

kehati-hatian; menggunakan rupiah dalam setiap transaksi

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai mata uang; menerap-

kan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan penda-

naan terorisme; dan memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan

kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual

currency.

Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Tekno-

logi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia pada

Page 190: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

165

laman resmi Bank Indonesia secara berkala. Bank Indonesia

menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah

terdaftar beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model

bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox. Bank

Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara

Teknologi Finansial berupa kategori:

a. Berhasil;

b. Tidak berhasil; atau

c. Status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di

Bank Indonesia dan Penyelenggara Teknologi Finansial

wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang diminta

oleh Bank Indonesia. Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran dengan Penyelenggara Teknologi Finansial

yang terdaftar harus terlebih dahulu memperoleh perse-

tujuan Bank Indonesia. Penyelenggara Jasa Sistem Pemba-

yaran dilarang bekerja sama dengan Penyelenggara Tekno-

logi Finansial yang tidak melakukan pendaftaran dan/atau

perizinan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen-

daftaran, prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian,

pengumuman Penyelenggara Teknologi Finansial yang

telah terdaftar, Regulatory Sandbox dan tata cara penyam-

paian data dan/atau informasi diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Page 191: Hukum Ekonomi Digital

166

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji CobaTerbatas (Regulatory Sandbox) TeknologiFinansial

Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/

2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sand-

box) Teknologi Finansial (PADG Regulatory Sandbox)

diterbitkan sehubungan dengan telah diundangkannya

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang

Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada tanggal 29 No-

vember 2017 (PBI Tekfin). PADG Regulatory Sandbox ini

berisi pengaturan teknis atas materi ketentuan yang diatur

dalam PBI Tekfin dalam rangka memperjelas dan mem-

berikan pedoman dalam penyelenggaraan ruang uji coba

terbatas (Regulatory Sandbox).

Pokok-pokok pengaturan PADG Regulatory Sandbox

meliputi ruang lingkup penyelenggaraan Teknologi

Finansial; tata cara penetapan uji coba dalam Regulatory

Sandbox; proses uji coba dalam Regulatory Sandbox; hasil

uji coba dalam Regulatory Sandbox;kewajiban izin sebagai

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.

Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi

Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnisnyauntuk diuji coba dalam Regulatory Sand-

box. Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang

lebih lengkap dalam pemberian penetapan, Penyelenggara

Teknologi Finansial harus melakukan presentasi kepada

Bank Indonesia paling sedikit mengenai model bisnis dan

Page 192: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

167

manajemen risiko dan menyampaikan dokumen secara

lengkap kepada Bank Indonesia.

Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan

merupakan proses perizinan yang dilakukan oleh Bank In-

donesia. Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah

memperoleh penetapan harus menyampaikan usulan

skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu

paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penetapan.

Usulan skenario paling sedikit memuat:

a. Produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang

akan diuji coba;

b. Jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji

coba;

c. Target yang akan dicapai; dan

d. Batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan

batasan lainnya; dan

e. Mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam

Regulatory Sandbox.

f. Bank Indonesia melakukan review usulan skenario

yang disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial.

Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario,

Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyatakan

kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang telah

disetujui dengan menandatangani surat pernyataan. Bank

Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan

Page 193: Hukum Ekonomi Digital

168

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kepada Penyelenggara Teknologi Finasial setelah Penye-

lenggara Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan

menjalankan skenario uji coba. Jangka waktu uji coba dalam

Regulatory Sandbox ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan

sejak tanggal penetapan Bank Indonesia atas skenario uji

coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dan

dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu

paling lama 6 (enam) bulan. Selama pelaksanaan uji coba

dalam Regulatory Sandbox, Penyelenggara Teknologi

Finansial memiliki kewajiban untuk memastikan diterap-

kannya prinsip perlindungan konsumen serta manajemen

risiko dan kehati-hatian yang memadai; menyampaikan

laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun

insidentil sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; dan

tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review

selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox

sebagai dasar untuk menetapkan status hasil uji coba

Penyelenggara Teknologi Finansial. Bank Indonesia

menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penyelenggara

Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam Regu-

latory Sandbox. Setelah jangka waktu berakhir, Bank Indo-

nesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara

Teknologi Finansial berupa berhasil; tidak berhasil; atau

status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil dan produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk

Page 194: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

169

Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka

Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang

diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan

permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-

lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Dalam hal

uji coba dinyatakan tidak berhasil dan produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi

Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara

Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau

layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis

yang diujicobakan.

Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk

kategori sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

harus memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-

lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Dalam hal

Penyelenggara Teknologi Finansial merupakan Penye-

lenggara Jasa Sistem Pembayaran Lainnya, Penyelenggara

Teknologi Finansial tersebut harus berbentuk perseroan

terbatas dan memenuhi aspek kelayakan. Tata cara mem-

peroleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

Lainnya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi

pembayaran.

Page 195: Hukum Ekonomi Digital

170

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran,Penyampaian Informasi, dan PemantauanPenyelenggara Teknologi Finansial      

Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/

2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Infor-

masi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial

(PADG Tekfin) diterbitkan sehubungan dengan telah diun-

dangkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/

2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada

tanggal 29 November 2017 (PBI Tekfin). PADG Tekfin

memuat pengaturan teknis atas materi ketentuan yang diatur

dalam PBI Tekfin dalam rangka memperjelas dan mem-

berikan pedoman pendaftaran bagi Penyelenggara

Teknologi Finansial. Pokok-pokok pengaturan PADG Tekfin

meliputi:

a. Pendaftaran; antara lain mencakup tata cara, pemro-

sesan, publikasi pendaftaran, dan penghapusan pen-

daftaran.

b. Prinsip Manajemen Risiko dan Kehati-hatian.

c. Pemantauan; antara lain mengatur pemantauan oleh

BI terhadap tekfin terdaftar, serta tata cara penyampaian

informasi.

d. Ketentuan lain-lain; mengatur terkait dengan kores-

pondensi dengan Bank Indonesia.

Penyelenggara tekfin yang memenuhi kriteria sesuai PBI

tekfin wajib melakukan pendaftaran, kecuali bagi Penye-

lenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah

Page 196: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

171

kewenangan otoritas lain dan Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran yang telah memperoleh izin dari BI. Namun

demikian, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dimaksud

harus tetap menyampaikan infromasi kepada Bank Indo-

nesia mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model

bisnis baru yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial.

Penyelenggara Teknologi Finansial harus merupakan badan

usaha, khusus bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

harus berbentuk badan hukum sesuai ketentuan yang

mengaturnya.

Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan

permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia secara

tertulis disertai dengan dokumen pendaftaran secara daring

(online). Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah

terdaftar akan dipublikasikan pada laman resmi Bank Indo-

nesia dan dapat dihapus apabila:

a. Produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis

sudah tidak digunakan oleh Penyelenggara Teknologi

Finansial;

b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh

izin dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;

c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi

oleh Bank Indonesia dan/atau otoritas yang berwenang;

d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan

tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

e. Terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari

otoritas berwenang;

Page 197: Hukum Ekonomi Digital

172

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

f. Permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi

Finansial; dan/atau

g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data

dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisi

sebenarnya.

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar

harus menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-

hatian. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah tercantum

dalam Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial. Penye-

lenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan data dan/

atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia berupa:

a. Transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial,

yang disampaikan secara berkala;

b. Produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis;

c. Kondisi keuangan;

d. Kepengurusan dan kepemilikan; dan

e. Data dan/atau informasi lain.

4. Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentangInovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas yang memiliki

tugas pengawasan sektor jasa keuangan telah pula menge-

luarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang

Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai

ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan

industri teknologi finansial (fintech). Ketua Dewan Komi-

Page 198: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

173

sioner OJK, Wimboh Santoso, menjelaskaan bahwa

“Peraturan ini dikeluarkan OJK mengingat cepatnya kema-

juan teknologi di industri keuangan digital yang tidak dapat

diabaikan dan perlu dikelola agar dapat memberikan man-

faat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.”167

Inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar meng-

hasilkan inovasi keuangan digital yang bertanggung jawab,

aman, mengedepankan perlindungan konsumen dan

memiliki risiko yang terkelola dengan baik. Peraturan ini juga

dikeluarkan sebagai upaya mendukung pelayanan jasa

keuangan yang inovatif, cepat, murah, mudah, dan luas serta

untuk meningkatkan inklusi keuangan, investasi, pembia-

yaan serta layanan jasa keuangan lainnya.

Pokok-pokok pengaturan Inovasi Keuangan Digital

(IKD) antara lain mekanisme pencatatan dan pendaftaran

fintech. Setiap penyelenggara IKD baik perusahaan startup

maupun Lembaga Jasa Keuangan (LJK) akan melalui tiga

tahap proses sebelum mengajukan permohonan perizinan

sebagai berikut:

a. Pencatatan kepada OJK untuk perusahaan Startup/non-

LJK. Permohonan pencatatan secara otomatis termasuk

permohonan pengujian Regulatory Sandbox. Sedang-

kan untuk LJK, permohonan Sandbox diajukan kepada

pengawas masing-masing bidang (Perbankan, Pasar

Modal, IKNB).

b. Proses Regulatory Sandbox berjangka waktu paling

167 https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-aturan-baru-soal-fintech-ini-isinya

Page 199: Hukum Ekonomi Digital

174

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

lama satu tahun dan dapat diperpanjang selama 6 bulan

bila diperlukan.

c. Pendaftaran/perizinan kepada OJK.

Selanjutnya, mengenai mekanisme pemantauan dan

pengawasan I dalam hal ini OJK akan menetapkan penye-

lenggara IKD yang wajib mengikuti proses Regulatory Sand-

box. Hasil uji coba Regulatory Sandbox ditetapkan dengan

status direkomendasikan, perbaikan, dan tidak direkomen-

dasikan. Penyelenggara IKD yang sudah menjalani Regu-

latory Sandbox dan berstatus direkomendasikan dapat

mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. Untuk

pelaksanaan pemantauan dan pengawasan, penyelenggara

IKD diwajibkan untuk melakukan pengawasan secara

mandiri dengan menyusun laporan self assessment yang

sedikitnya memuat aspek tata kelola dan mitigasi risiko.

Penyelenggara IKD dilarang mencantumkan nama dan/atau

logo OJK namun dapat mencantumkan nomor tanda ter-

catat/terdaftar. Dalam jangka menengah, OJK dapat

menunjuk pihak lain (Asosiasi Penyelenggara IKD yang

diakui oleh OJK) yang bertugas dalam pengawasan IKD.

Pokok-pokok pengaturan OJK dimaksud adalah

sebagai berikut:

a. Pembentukan Ekosistem Fintech. Untuk memelihara

ekosistem keuangan, Lembaga Jasa Keuangan yang

telah memperoleh izin atau terdaftar di OJK dilarang

bekerja sama dengan Penyelenggara IKD yang belum

tercatat di OJK atau terdaftar di otoritas lain yang

berwenang guna memelihara ekosistem keuangan.

Page 200: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

175

b. Membangun Budaya Inovasi. OJK menginisiasi pem-

bentukan Pusat Inovasi Keuangan Digital (Fintech Cen-

ter) dan ekosistem IKD yang bertujuan sebagai sarana

komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antara otoritas

terkait dan pelaku IKD serta wadah Inovasi dan

Pengembangan IKD.

c. Inklusi dan Literasi. Penyelenggara IKD wajib melak-

sanakan kegiatan untuk meningkatkan literasi dan

inklusi keuangan kepada masyarakat.

d. Bisnis dan Perlindungan Data. Penyelenggara IKD wajib

menyediakan pusat pelayanan konsumen berbasis tek-

nologi sebagai bentuk penerapan edukasi dan per-

lindungan konsumen beserta usahanya.

e. Manajemen Risiko yang Efektif. Penyelenggara IKD

wajib menerapkan prinsip pemantauan secara mandiri,

menginventarisasi risiko utama, menyusun laporan risk

self assessment secara bulanan, dan memiliki perangkat

yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan atas

proses pemantauan yang dilakukan oleh OJK.

f. Kolaborasi. Dengan dibentuknya Fintech Center maka

dapat membantu berjalannya proses Regulatory Sand-

box sebagai langkah inkubasi model bisnis yang inklusif

dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta meningkatkan

sinergi antar industri, pemerintah, akademisi dan inno-

vation hub lain.

g. Perlindungan Konsumen. Penyelenggara wajib mene-

rapkan prinsip dasar perlindungan konsumen yaitu (a)

transparansi, (b) perlakuan yang adil, (c) keandalan, (d)

kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen,

Page 201: Hukum Ekonomi Digital

176

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian

sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya

terjangkau.

h. Transparansi. Penyelenggara IKD wajib menerapkan

prinsip pengawasan berbasis disiplin pasar, risiko dan

teknologi terhadap inovasinya antara lain harus mem-

perhatikan transparansi produk dan layanan, pasar yang

kompetitif dan inklusif, kesesuaian dengan kebutuhan

konsumen, penanganan mekanisme keluhan yang

segera, dan aspek keamanan dan kerahasiaan data

konsumen dan transaksi.

i. Anti-Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.

Penyelenggara IKD juga wajib menerapkan program

anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan

terorisme di sektor jasa keuangan terhadap konsumen

sesuai ketentuan Peraturan OJK di bidang AML-CFT

(Anti Money Laundering and Counter-Financing of

Terrorism).

Sebelumnya OJK telah mengeluarkan peraturan menge-

nai fintech peer to peer lending melalui POJK 77/POJK.01/

2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi.

Page 202: Hukum Ekonomi Digital

BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

177

SENARAI PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan

Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1988.

A.L.M. van Mierlo, C.J.J.C. van Nispen, M.V. Polak,

Burgerlijke Rechtsvordering – Teks en Commentaar,

Tweede Druk, Kluwer, Deventer, 2005

Ackerman, Introduction: On the Role of Economic Analy-

sis in Property Law, in Economic Foundations of Prop-

erty Law (B. Ackerman ed. 1975).

Adrian Keane, The Modern Law of Evidence, Fifth Edition,

Butterworths, London, Edinburgh, Dublin, 2000.

Algra dkk, Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983.

Angeline Lee, “Convergence in Telecom, Broadcasting and

it: A Comparative Analysis of Regulatory Approaches

in Malaysia, Hong Kong and Singapore”, Singapore

Journal of International and Comparative Law, 2001.

Anthony Ogus, “Competition Between National Legal Sys-

tems: A Contribution of Economic Analysis to Com-

parative Law”, 48 Int’l & Comp. L.Q. 405 (1999).

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Noordhoof-

Kolff N.V., Jakarta, 1954.

Page 203: Hukum Ekonomi Digital

178

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi

Intelektual & Pertarungan Tafsir terhadap Filsafat

Hukum Progresif, Penerbit Thafa Media dan Satjipto

Rahardjo Institute, Yogyakarta, 2013.

Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bakti, 1996.

Basil S. Markesinis, Foreign Law & Comparative Methodol-

ogy: A Subject & a Thesis (1997).

––––––––––, Foreign Law & Comparative Methodology: A

Subject & a Thesis, 6 (1997).

––––––––––, Always on the Same Path: Essays on Foreign

Law & Comparative Methodology (2001).

Basil S. Markesinis & Hannes Unberath, The German Law

of Torts: A Comparative Treatise (2002).

Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya

Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang

Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2013.

Bernhard Grossfeld, Core Questions of Comparative Law

(Vivian Grosswald Curran trans., 2005).

Bruggink, Rechtsreflecties, alih bahasa oleh Arief Sidharta,

PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 1999.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan

Indonesia, Binacipta-Badan Pembinaan Hukum

Nasional, Departemen Kehakiman, Bandung, 1988.

Page 204: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

179

Catherine Valcke, “Comparative Law as Comparative Juris-

prudence—The Comparability of Legal Systems”, 52

Am. J. Comp. L. 713 (2004).

Charles Koch, “Envisioning a Global Legal Culture”, 25

Mich. J. Int’l L. 1 (2003).

Daniel Malan, “The Law Can’t Keep Up With New Tech.

Here’s How To Close The Gap”, https://www.

weforum.org/agenda/2018/06/law-too-slow-for-new-

tech-how-keep-up/

Daniel Seng and Sriram Chakravarthi, Computer Output as

Evidence: Consultation Paper, Singapore Academy

of Law, 2003.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat

Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Easterbrook, “Statutes Domain”, 50 U. CHI. L. REV. 533

(1983).

Edward Wilding, Computer Evidence: A Forensic Investi-

gation Handbook, Sweet & Maxwell, London, 1997.

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem

Pembuktian Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2009.

Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional

Methodolgy of Comparative Legal Studies and An

Example from Private International Law”, Cardozo

Journal of International and Comparative Law, Fall

2005.

Fiss, “The Death of the Law?”, 72 CORNELL L. REV. 1 (1986);

Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36

STAN. L. REV. 349 (1984).

Page 205: Hukum Ekonomi Digital

180

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Fletcher, “Fairness and Utility and Tort Theory”, 85 HARV.

L. REV. 537 (1972).

Gary Minda, “The Jurisprudential Movements of the 1980’s”,

Ohio State Journal, 1989.

Gerhard Dannemann, “Comparative Law: Study of Simi-

larities or Differences?”, Oxford Handbook of Com-

parative Law 383 (Mathias Reimann & Reinhard

Zimmermann eds., 2006).

Gjerdingen, “The Coase Theorem and the Psychology of

Common Law Thought”, 56 S. CAL. L. REV. 711

(1983).

Goetz & Scott, “Principles of Relational Contracts”, 67 VA.

L. REV. 1089 (1981).

Greenwalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive

Quest for the Fetters That Bind Judges”, 75 COLUM.

L. REV. 359 (1975).

Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four

Approaches to Law and to the Allocation of Body

Parts”, (2003), Stanford Law Review, Vol. 55.

––––––––––, History Lessons for a General Theory of Law

and Technology, Minnesota Journal of Law in Sci-

ence and Technology, Vol. 8:2, 2007.

Günter Frankenberg, “Critical Comparisons: Rethinking

Comparative Law”, 26 Harv. Int’l L.J. 411 (1985);

Hans Kelsen, General Theory of Law & State, Transaction

Publishers, New Jersey, 2006.

Harry Newton, Newton’s Telecom Dictionary, 18th Edition,

CMP Books, New York, 2002.

Page 206: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

181

H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, Teori Hukum:

Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,

Refika Aditama, Bandung, 2004.

Ida Iswoyokusumo, “Peraturan Baru Hukum Pembuktian

dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland”,

BIna Yustisia, MA, 1994.

James Gordley, “Is Comparative Law a Distinct Discipline?”,

46 Am. J. Comp. L. 607 (1998).

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is rechtstheorie?,

1982 (Apakah Teori Hukum itu?), diterjemahkan oleh

Arief Sidharta, Laboratorium Hukum-Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2000

Jennifer G. Hill, “The Persistent Debate about Convergence

in Comparative Corporate Governance”, 27 Sydney

L. Rev. 743 (2005).

Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Mor-

als and Legislation, Oxford at Clarendo Press, 1823.

Judge R. Posner, “The Effects of Deregulation on Competi-

tion: The Experience of the United States “(2000) 23

Fordham International Law Journal S 7.

Kearney and Merrill, “TheGreat Transformation of Regulated

Industries Law” (1998) 98 Columbia Law Review

1323.

Kelman, “Misunderstanding Social Life: A Critique of the

Core Premises of ‘Law and Economics’”, 33 J. LEGAL

EDUC. 274 (1983)

Knieps, “Deregulation in Contestable and Non-Contestable

Markets:Interconnection and access”, (2000) 23

Fordham International Law Journal 90

Page 207: Hukum Ekonomi Digital

182

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Konrad Zweigert & Hein Kötz, Introduction to Comparative

Law 24 (Tony Weir trans., 3d ed. 1998).

Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L.

REV. 349 (1984).

Langdell, Preface to Selection on Cases on The Law of Con-

tracts (1879).

Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science

Prespective, Russel Sage Foundation, New York,

1975.

Leff, “Economic Analysis of Law: Some Realism About

Nominalism”, 60 VA. L. REV. 451 (1974).

Leonard J. Theberge. “Law and Economic Development”,

Journal of lnternational Law and Politic vol. 9 (1989).

Liao, Y., Loures, E. R., Deschamps, F., Brezinski, G., &

Venâncio, A. (2017). The impact of the fourth indus-

trial revolution: a cross-country/region comparison.

Production, 28, e20180061. DOI: 10.1590/0103-

6513.20180061

Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu

Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan

Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Lili Rasjidi, “Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pemba-

ngunan”, dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori

Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Edi-

tor Shidarta, Epistema Institute, Jakarta, 2012.

Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan,

sebagaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-

Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi

Page 208: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

183

dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema Institute,

Jakarta, 2012.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika,

Jakarta, 2008.

MacNeil, “Contracts: Adjustments of Long-Term Economic

Relations Under Classical, Neoclassical, and Rela-

tional Contract Law”, 72 NW. U.L. REV. 854 (1978).

Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Prin-

ciple, Lawbook Co, New South Wales, 2004.

Margaret Leiboff, Legal Theories in Principle, Thomson,

Sydney, 2004.

Mieke Komar Kantaatmadja, et.al, Cyberlaw Suatu

Pengantar, ELIPS, 2001.

Minda, “The Lawyer-Economist at Chicago: Richard A.

Posner “The Economic Analysis of Law”, 39 OHIO

ST. L.J. 439, 462 (1978);

Minda, “The Law and Economics and Critical Legal Studies

Movements in American Law”, Law and Economics

87 (N. Mercuro ed. 1989).

Minow, “Law Turning Outward”, 73 TELOS 79 (1986).

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum dan Masyarakat dan

Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian

Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universi-

tas Padjadjaran, Bandung-Penerbit Binacipta, 1976.

–––––––––––, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit

Binacipta, 1976.

–––––––––––, Konsep-Konsep Hukum dalam Pemba-

ngunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum

Page 209: Hukum Ekonomi Digital

184

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit PT.

Alumni, Bandung, 2006.

Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,

(Jakarta: LP3ES, 1987).

Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-

ilmu Sosial, (Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika,

2002).

Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic

Interpertation of Legal Transplants”, Journal of Legal

Studies, The University of Chicago, Juni, 2006.

O. Williamson, The Economics of Discretionary Behaviour:

Managerial Objectives in a Theory of the Firm (1964).

OECD (2017), OECD Digital Economy Outlook 2017,

OECD Publishing, Paris.

P. Areeda and D. Turner, Antitrust Law: An Analysis of

Antitrust Principles and Their Application (Vols. 1-8)

(1986).

Peller, “The metaphysics of American Law”, 73 CALIF. L.

REV. 1151, 1268 (1985).

Phil Huxley and Michael O’Connell, Blackstone Statutes

on Evidence, Fifth Edition, Blackstone Press Limited,

2000.

Pierre Legrand, “European Legal Systems Are Not Converg-

ing”, 45 Int’l & Comp. L.Q. 52, 61-62 (1996).

Pierre Legrand, Counterpoint: Law Is Also Culture, in The

Unification of International Commercial Law, 245

(Franco Ferrari ed., 1998).

Pierre Legrand, Le droit comparé (1999).

Page 210: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

185

Pitlo, Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijke

Wetboek, Zesde Druk, Gouda Quint, Arnhem, 1981,

No. 43.

Posner, “The Economic Approach to Law”, 53 TEX. L. REV.

757 (1975).

R. Wu and G. Leung, “Media Policy and Regulation in the

Age of Convergence - The Hong Kong Experience”,

(2000) 30 Hong Kong Law Journal 454.

Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan

Journal of International Law, Summer 2006.

Report of OECD Roundtable on Regulation and Competi-

tion Issues in Broadcasting in the Light of Convergence

DAFFE/CLP(99)1 (1999).

Richard Posner, “Utilitarianism, Economics, and Legal

Theory”, 8 J. LEGAL STUD. 103 (1979).

–––––––, The Economics of Justice, Harvard, 1981.

–––––––, “Economics, Politics and the Reading of Statutes

and the Constitution”, 49 U. CHI. L. REV. 262 (1982).

–––––––, “Wealth Maximization and Judicial Decision mak-

ing”, 4 INT’L. REV. L. & ECON. 131 (1984);

–––––––, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed.

1986.

–––––––, “The Decline of Law as an Autonomous Disci-

pline: 1962-1987”, 100 HARV. L. REV. 761 (1987).

–––––––, “The Ethics of Wealth Maximization: Reply To

Malloy”, 36 KANSAS L. REV. 261, 263 (1988).

Roberto Unger, “The Critical Legal Studies Movement”,

Harvard Law Review, January 1983.

Page 211: Hukum Ekonomi Digital

186

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi

terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori

Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta,

2012.

––––––––, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap

Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum

Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012.

Ronald A. Brand, “Semantic Distinction in an Age of Legal

Convergence”, University of Pennsylvania Journal of

International Economic Law, Spring, 1996.

Ronald J. Gilson, “Globalizing Corporate Governance: Con-

vergence of Form or Function”, 49 Am. J. Comp. L.

329 (2001).

Roscoe Pound, An Introduction of the Philosophy of Law,

Yale University Press, London, 1930.

Rose-Ackerman, “Inalienability and The Theory of Prop-

erty”, 85 COLUM. L. REV. 931 (1985).

Russell Menyhart, “Changing Identities and Changing Law:

Possibilities for a Global Legal Culture”, 10 Ind. J. Glo-

bal Legal Stud. 157 (2003).

Sen, “Rational Foolds: A Critique of Behavioral Foundations

of Economic Theory”, 6 PHIL. & PUB. AFF. 317.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan

Administrasi di Indonesia, Alumni, 1985.

–––––––––, Tiga Tulisan tentang Hukum, Penerbit Armico,

Bandung, 1986.

–––––––––, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan

Peradilan Administrasi, Rajawali Pers, 1987.

Page 212: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

187

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum

dalam Masyarakat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta,

1980.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali,

Jakarta, 1993.

Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat,

Alumni, Bandung 1986.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, 2002

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012.

Suhono Harso Supangkat, Teknologi Informasi dan Ekonomi

Digital: Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurusan

Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, 2000.

Sunstein, “Feminism and Legal Theory”, 101 HARV. L. REV.

826 (1988).

Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1977.

Tribe, “Policy Science: Analysis or Ideology?”, 2 PHIL. &

PUB. AFF. 66 (1972).

–––––, “Technology Assessments and the Fourth Disconti-

nuity: The Limits of Instrumental Rationality”, 46 S.

CAL. L. REV. 617 (1973).

Tushnet, “Legal Scholarship: Its Causes and Cure”, 90 YALE

L.J. 1205, 1211 (1981).

Ugo A. Mattei, “A Transaction Costs Approach to the Euro-

pean Civil Code”, 5 Eur. Rev. Priv. L. 537 (1997);

––––––, Luisa Antonioli & Andrea Rossato, “Comparative

Law and Economics”, 1 Encyclopedia of Law and

Page 213: Hukum Ekonomi Digital

188

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Economics 505 (Boudewijn Bouckaert & Gerrit De

Geest eds., 2000).

Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Ques-

tions”, Law and Economics210 (N. Mercuro ed.

1989).

Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990.

Vivian Grosswald Curran, “Dealing in Difference: Compara-

tive Law’s Potential for Broadening Legal Perspec-

tives”, 46 Am. J. Comp. L. 657 (1998).

Volkmar Gessner, “Global Approaches in the Sociology of

Law: Problems and Challenges”, 22 J.L. Soc’y 85, 90

(1995).

West, “Jurisprudence and Gender”, 55 U. CHI. L. REV. 1

(1988); White, “Economics and Law: Two Cultures

in Tension”, 54 TENN. L. REV. 161 (1986).

William Twining, Globalisation and Legal Theory,

Butterworths, London, 2000.

Yuval Noah Harari,Homo Deus: A Brief History of Tomor-

row, Harvill Secker, London, 2017.

Sumber Lain

http://www.internetworldstats.com/stats.htm.

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=

S0103-65132018000100401#B029.

https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-

aturan-soal-fintechs

https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-

aturan-baru-soal-fintech-ini-isinya

Page 214: Hukum Ekonomi Digital

SENARAI PUSTAKA

189

https://www.foreignaffairs.com/articles/2015-12-12/fourth-

industrial-revolution.

http://www.legalitas.org/artikel/alat/bukti/elektronik/

dokumen/elektronik/kedudukan/nilai/derajat/

kekuatan/pembuktiannya/hukum

https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-

dna-tiga-fokus-reformasi-kebijakan-tik

https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-

fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-

indonesia/0/berita_satker

https://trailhead. salesforce.com/en/modules/impacts-of-the-

fourth-industrial-revolution/units/understand-the-im-

pact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-society-

and-individuals#

https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-

and-virtual-currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15

https://www.intel.com/content/www/us/en/silicon-innova-

tions/moores-law-technology.html

https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-

analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-

monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712

https://www.weforum. org/agenda/2016/01/the-fourth-in-

dustrial-revolution-what-it-means-and-how-to-re-

spond

https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-

trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond

https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-

trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/

Page 215: Hukum Ekonomi Digital

190

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

https://www.weforum.org/agenda/2017/02/ethics-2-0-how-

the-brave-new-world-needs-a-moral-compass

https://www.weforum.org/agenda/2017/06/the-fourth-indus-

trial-revolution-is-about-people-not-just-machines

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang R.I. No 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik

The Singapore Evidence Act 2006.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucuian Uang

Dutch Electronic Signature Act 2001

Nieuwe Regeling van Het Bewijsrecht in Burgelijke Zaken,

1988

Dutch Civil Code

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHPerdata

HIR / RBg

Page 216: Hukum Ekonomi Digital

GLOSARIUM

191

Algoritma : Dalam matematika dan ilmu komputer,

algoritma adalah prosedur langkah-demi-

langkah untuk penghitungan. Algoritma

digunakan untuk penghitungan, pemro-

sesan data, dan penalaran otomatis.

Behaviorisme : Filosofi dalam psikologi yang berdasar

pada proposisi bahwa semua yang

dilakukan organisme –termasuk tindakan,

pikiran, atau perasaan– dapat dan harus

dianggap sebagai perilaku.

Big Data : Istilah umum untuk segala himpunan data

(data set) dalam jumlah yang sangat besar,

rumit dan tak terstruktur sehingga menjadi-

kannya sukar ditangani apabila hanya

menggunakan perkakas manajemen basis

data biasa atau aplikasi pemroses data

tradisional belaka.

GlosariumGlosariumGlosariumGlosariumGlosarium

Page 217: Hukum Ekonomi Digital

192

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Broadband : Atau Pita Lebar; merupakan sebuah istilah

dalam internet yang merupakan koneksi

internet transmisi data kecepatan tinggi.

Ada dua jenis pitalebar yang umum, yaitu

DSL dan kabel modem, yang mampu

mentransfer 512 kbps atau lebih, kira-kira

9 kali lebih cepat dari modem yang

menggunakan kabel telepon standar.

Copyright : Atau Hak Cipta; lambang © adalah Hak

eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta untuk mengatur penggunaan hasil

penuangan gagasan atau informasi

tertentu. Pada dasarnya, hak cipta meru-

pakan “hak untuk menyalin suatu cipta-

an”. Hak cipta dapat juga memungkinkan

pemegang hak tersebut untuk membatasi

penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.

Pada umumnya pula, hak cipta memiliki

masa berlaku tertentu yang terbatas.

Data : Keterangan yang benar dan nyata;

pengumpulan; keterangan atau bahan

nyata yang dapat dijadikan dasar kajian

(analisis atau kesimpulan); kumpulan

informasi dalam bentuk yang dapat

diproses oleh komputer, seperti repre-

sentasi digital dari teks, angka, gambar

grafis, atau suara.

Dekadensi : “Penurunan” atau “kemerosotan”; dalam

penggunaannya, kata dekadensi lebih

Page 218: Hukum Ekonomi Digital

GLOSARIUM

193

sering merujuk pada segi-segi sosial seperti

moral, ras, bangsa, agama, sikap dan seni.

Domain : Nama domain (domain name) adalah

nama unik yang diberikan untuk meng-

identifikasi nama server komputer seperti

web server atau email server di jaringan

komputer ataupun internet. Nama domain

berfungsi untuk mempermudah

pengguna di internet pada saat melakukan

akses ke server, selain juga dipakai untuk

mengingat nama server yang dikunjungi

tanpa harus mengenal deretan angka yang

rumit yang dikenal sebagai alamat IP.

Nama domain ini juga dikenal sebagai

sebuah kesatuan dari sebuah situs web

seperti contohnya “wikipedia.org”. Nama

domain kadang-kadang disebut pula

dengan istilah URL, atau alamat website.

Hoax : Atau hoaks mengandung makna berita

bohong, berita tidak bersumber. Hoaks

merupakan sebagai rangkaian informasi

yang memang sengaja disesatkan, tetapi

“dijual” sebagai kebenaran. Rujukan

referensi lain sama dengan Fake news

sebagai berita palsu yang mengandung

informasi yang sengaja menyesatkan

orang dan memiliki agenda politik tertentu.

Hoaks bukan sekadar misleading alias

Page 219: Hukum Ekonomi Digital

194

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menyesatkan, informasi dalam fake news

juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi

disajikan seolah-olah sebagai serangkaian

fakta.

Inovasi : Merupakan setiap ide atau pun gagasan

baru yang belum pernah ada atau pun

diterbitkan sebelumnya. Sebuah inovasi

biasanya berisi terobosan-terobosan baru

mengenai sebuah hal yang diteliti oleh

sang inovator.

Konservatif : Kolot; bersikap mempertahankan

keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang

berlaku.

Konvergensi : Keadaan menuju satu titik pertemuan;

memusat.

Korporasi : Badan usaha yang sah; badan hukum;

perusahaan atau badan usaha yang

sangat besar atau beberapa perusahaan

yang dikelola dan dijalankan sebagai satu

perusahaan besar.

Korporasi : Badan usaha yang sah; badan hukum;

perusahaan atau badan usaha yang

sangat besar atau beberapa perusahaan

yang dikelola dan dijalankan sebagai satu

perusahaan besar.

Kuasi : Hampir seperti; seolah-olah.

Legislasi : Pembuatan undang-undang.

Legitimasi : Keterangan yang mengesahkan atau

membenarkan bahwa pemegang kete-

Page 220: Hukum Ekonomi Digital

GLOSARIUM

195

rangan adalah betul-betul orang yang

dimaksud; kesahan

Monetisasi : Berasal dari bahasa EngIonesia (English

dan Indonesia) yang artinya merubah atau

mengelola suatu sarana (contohnya blog)

yang semula hanya sebagai ajang menulis

dan berekspresi menjadi media untuk

mencari uang.

Nominalisme : Salah satu aliran ilmu filsafat dan teologi

yang menganggap bahwa gagasan atau

konsep umum yang ada tidak menunjuk

pada kenyataan apapun, maka gagasan

hanya kata-kata saja (dalam bahasa Latin

nomina) yang disusun akal budi sebagai

tanda belaka untuk mengatur keanekaan

individual.

Paradoks : Pernyataan yang seolah-olah bertentang-

an (berlawanan) dengan pendapat umum

atau kebenaran, tetapi kenyataannya

mengandung kebenaran.

Platform : Unsur yang penting dalam pengembang-

an perangkat lunak. Platform mungkin

dapat didefinisikan secara sederhana

sebagai tempat untuk menjalankan

perangkat lunak.

Regulatory Sandbox : Suatu ruang uji coba terbatas yang

aman untuk menguji Penyelenggara

Teknologi Finansial beserta produk,

layanan, teknologi, dan/atau model

Page 221: Hukum Ekonomi Digital

196

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bisnisnya.

Start-up : Serapan dari bahasa Inggris yang

menun­jukkan sebuah bisnis yang baru

dirintis atau perusahaan rintisan, yang

merujuk pada semua perusahaan yang

belum lama beroperasi.

Teknologi Finansial (FinTech) : Penggunaan teknologi dalam

sistem keuangan yang menghasilkan

produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis baru serta dapat berdampak

pada stabilitas moneter, stabilitas sistem

keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran,

keamanan, dan keandalan sistem

pembayaran.

Page 222: Hukum Ekonomi Digital

INDEKS

197

AAAAA

abstrak 12, 13, 140, 141agama 32, 132, 139agenda 48agreement 33, 52algoritma 64 , 110, 133, 134, 139analisis 8, 14, 16, 62, 79, 80, 84,

89, 124, 125, 149, 150, 151,152

analogi 80, 97, 142Anglo Saxon 85arbitrase 52argumentasi 13, 45, 142Arief Sidharta 20, 85, 86Aristoteles 19, 92, 93, 132artificial 38, 62. 110, 133asas 23, 26, 31, 51, 56, 68, 73, 81,

84, 88, 89, 94, 97, 101asing 51, 52Atzori 60augmentasi 58

BBBBB

Basil Markesinis 25, 26behaviorisme 89Belvedere 60biaya 8, 37, 111, 148, 176

Big Data 62, 132, 146, 149bilateral 52Bill Gates 135Black Box Theory 32broadband 48budaya 32, 34, 45, 46, 50, 62,

76, 110, 113, 125, 131, 150,154

CCCCC

Calabresi 21, 66Cesare Beccaria 100Chicago School 3, 4, 5, 6, 8, 9,

11, 15claim 7, 8, 10Common Law 4, 8content 40cyber-bullying 117cyberlaw 59cyber-Physical 60cyborg 134

DDDDD

data 47, 62, 117, 121, 124, 125,139, 146, 149, 150, 151, 152,153, 154, 165, 172, 175, 176

David Hume 99

IndeksIndeksIndeksIndeksIndeks

Page 223: Hukum Ekonomi Digital

198

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

David M. Brear 145demokrasi 57, 73, 92desentralisasi 57, 126digital 19, 25, 30, 31, 35, 38, 46,

47, 48, 49, 56, 57, 58, 59, 61,106, 110, 111, 113, 114, 115,119, 123, 124, 125, 126, 128,129, 146, 156, 159, 160, 173,175

doktrin 15, 33, 45, 99, 103draft 42

EEEEE

e-commerce 49, 158Eddy Damian 22, 68efficiency 3efisiensi 12, 111, 160e-government 48ekosistem 57, 64, 153, 154, 162,

174engineering 60etika 64, 65, 74, 132evolusi 19, 60, 61, 66, 73, 76

FFFFF

Facebook 64, 144, 120, 133fairness 28, 29Felix Cohen 90filsafat 23, 65, 68, 73, 74, 89, 100,

132fintech 146, 149, 156, 157, 158,

162, 174, 175Fred Rodell 90Friedmann 88

GGGGG

globalisasi 44, 46, 90Google 133, 140Gray 103, 104Gregory N. Mandel 19, 76

HHHHH

hakim 2, 4, 6, 8, 12, 93, 104Hans Kelsen 91Herman Oliphant 90hipotesis 3, 10, 11, 13, 20hoax 117homogen 13

IIIII

Ian McLeod 70, 71ideologi 11, 113iklan 41implikasi 44, 59imunitas 52incremental 43infrastruktur 58inovasi 38, 47, 48, 62, 111, 112,

118, 123, 124, 125, 127, 135,136, 146, 161, 162, 172, 173,175, 176

integratif 24, 70intervensi 42

JJJJJ

J.W. Salmond 103Jeremy Bentham 99, 100Jerome Frank 89John Austin 33, 101, 102, 103John Rawls 32John Stuart Mill 99, 100joint venture 52Joseph W. Bingham 89

KKKKK

kaidah 17, 20, 23, 26, 30, 31, 65,68, 69, 81, 82, 89, 92, 94, 96,101, 103, 129, 141

Kant 99karir 47, 58, 118Karl Marx 84

Page 224: Hukum Ekonomi Digital

INDEKS

199

kebiasaan 65Khaitan 61Klaus Schwab 107, 108, 114, 120,

123, 132komersial 51, 52kompetisi 36, 37, 40, 41, 42, 43konservatif 11konstitusi 134konsumen 43, 48, 49, 62, 110, 124,

127, 156, 164, 167, 175, 175,176

kontrak 15, 50, 65, 98, 99, 102,105, 158, 159, 161

konvergensi 25, 34, 35, 36, 41, 42,43, 44, 45, 46, 51, 59, 68, 131,132

koperasi 57korporasi 58, 59, 149, 150, 151,

152, 153, 154krisis 17, 62kuasi 42

LLLLL

landreform 57Lawrence Lessig 145Laws 81legal alchemy 95legal culture 83, 85legal justice 93legal reform 100legal structure 83legal substance 83legal system 19, 77legal transaction 94legislasi 19, 35, 43, 58, 59, 63, 130,

160legitimasi 16, 74lembaga 23, 51, 69, 74, 105, 121,

129Leon Green 90Lewis Kornhauser 7, 8, 9, 10lex mercatoria 33Liao 61Lili Rasjidi 22, 23, 67, 68logical positivism 12

MMMMM

martabat 29, 31, 58, 64Max Tegmark 116Maynard 60mazhab 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15,

16, 77McCalley 61metodologi 2, 3, 4, 5, 10, 15miskin 17, 47Mochtar Kusumaatmadja 22, 23,

24, 49, 67, 68, 69, 104, 128monetisasi 149, 151, 152, 153, 154monopoli 41, 42moral 63, 65, 71, 74, 77, 80, 82,

87, 88, 92, 99, 102, 132, 135Morris R. Cohen 89Mubyarto 56, 57multilateral 52

NNNNN

Nick Bostrom 133nominalisme 89norma 4, 56, 64

OOOOO

onderwerp 66order 104ortodoks 3, 4Otje Salman 22, 68otomatisasi 47

PPPPP

pajak 57Pancasila 23, 68, 69, 77paradoks 19pelopor 3, 5, 8perempuan 47perseroan 50perspektif 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15,

34, 47, 60

Page 225: Hukum Ekonomi Digital

200

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

petani 57, 119platform 30, 38, 49, 57, 106, 113,

123, 124, 125, 148, 152, 153,158, 159, 160, 161

Plato 19, 80, 81, 92politeia 92populasi 113, 147positivisme 85, 90, 102potensi 56, 161, 162pragmatisme 87predictability 28, 29privasi 48, 58, 62, 120, 122progresif 57, 106proses 23, 51, 69, 77, 88, 129,

135, 173publik 4, 6, 39, 51, 52, 108, 119,

125, 126

RRRRR

recht 17rechtssfeer 66reformasi 57regulasi 36, 40, 41, 42, 43, 44,

46, 58, 59, 63, 130, 146, 158,159, 161, 162

Regulatory Sandbox 163, 166,167, 168, 173, 174 , 175

Republic 81revolusi 19, 31, 58, 59, 60, 61,

62, 63, 65, 71, 73, 76, 78,100, 106, 107, 108, 109, 113,114, 116, 117, 118, 119, 120,121, 122, 123, 124, 125, 126,127, 128, 129, 132, 133, 135,136, 138

Richard A. Posner 3risiko 8, 48, 162, 163, 164, 165,

167, 173, 174ritel 115robot 115, 117, 121, 134Romli Atmasasmita 23, 69, 70Roscoe Pound 87Rudiantara 59, 155, 156, 157

SSSSS

sains 60Satjipto Rahardjo 106sejarah 74, 102, 112, 143sengketa 52Siddhartha Mukherjee 133Siemieniuch 60Sir Henry Maine 102Sjachran Basah 105, 106smartphone 61, 121Socrates 19Sofis 92spiritual 50stability 28, 29start-up 155, 156strategi 48, 150subjek 14, 15, 16subsidi 48Sudikno Mertokusumo 20, 70 , 129Sunaryati Hartono 1, 17, 31, 106supremasi 58

TTTTT

T.E. Holland 103teori 6, 10, 14, 19, 20, 22, 32, 33,

34, 65, 66, 67, 68, 70, 73, 74,75, 76, 77, 80, 86, 90, 91, 98,99, 103, 106, 108, 129, 130,131, 142

terpencil 47texts 13Thurman Arnold 89tool 16tradisional 13, 15, 16, 51, 62, 80,

127, 152traktat 65Twitter 114

Page 226: Hukum Ekonomi Digital

INDEKS

201

UUUUU

Uber 135universal 11, 12, 13, 15, 16, 28,

43, 90utilitas 100, 102utopian 139

VVVVV

viral 113virtual 106, 114, 119, 121, 149,

156, 164

WWWWW

Walter Nelles 90WhatsApp 148White Paper 63William Paley 102William Twining 28, 31, 90Wimboh Santoso 173

YYYYY

yudisial 93, 103yuridis 91yurisdiksi 52, 106, 149, 160yurisprudensi 131, 161Yuval Harari 135, 138

Page 227: Hukum Ekonomi Digital

202

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 228: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

203

Lampiran

Page 229: Hukum Ekonomi Digital

204

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 230: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

205

Page 231: Hukum Ekonomi Digital

20

6

HU

KU

M E

KO

NO

MI D

IGIT

AL D

I IND

ON

ES

IA

Sumber:https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712

Page 232: Hukum Ekonomi Digital

LA

MP

IRA

N

20

7

Sumber:https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712

Page 233: Hukum Ekonomi Digital

20

8

HU

KU

M E

KO

NO

MI D

IGIT

AL D

I IND

ON

ES

IA

Sumber:https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-indonesia/0/berita_satker

Page 234: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

209

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu

proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa

tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi

di masyarakat;

b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat infor-

masi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya

pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan

Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga

pembangunan Teknologi Informasi dapat dilaku-

kan secara optimal, merata, dan menyebar ke

seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan

kehidupan bangsa;

c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi

Informasi yang demikian pesat telah menyebab-

kan perubahan kegiatan kehidupan manusia

dalam berbagai bidang yang secara langsung

telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk per-

buatan hukum baru;

d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi

Informasi harus terus dikembangkan untuk men-

jaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan

dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan demi kepentingan nasional;

Page 235: Hukum Ekonomi Digital

210

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan

penting dalam perdagangan dan pertumbuhan

perekonomian nasional untuk mewujudkan kese-

jahteraan masyarakat;

f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengem-

bangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur

hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan

Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk

mencegah penyalahgunaannya dengan memper-

hatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya

masyarakat Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf

d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data

elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange

(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,

telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,

simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Page 236: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

211

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan

dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau

media elektronik lainnya.

3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,

menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menga-

nalisis, dan/atau menyebarkan informasi.

4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang

dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam

bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenis-

nya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui

Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas

pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenis-

nya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi

yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya.

5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,

mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengu-

mumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi

Elektronik.

6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem

Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,

dan/atau masyarakat.

7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elek-

tronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.

8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik

yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu

Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diseleng-

garakan oleh Orang.

9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik

yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang

menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi

Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi

Elektronik.

10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang

berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberi-

kan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.

Page 237: Hukum Ekonomi Digital

212

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen

yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan

diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan

mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.

12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas

Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait

dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai

alat verifikasi dan autentikasi.

13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau

terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.

14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,

magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,

aritmatika, dan penyimpanan.

15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem

Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau

kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.

17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat

melalui Sistem Elektronik.

18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elek-

tronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.

20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara,

Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat diguna-

kan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode

atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan

lokasi tertentu dalam internet.

21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indone-

sia, warga negara asing, maupun badan hukum.

22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan

persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak

berbadan hukum.

23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk

oleh Presiden.

Page 238: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

213

Pasal 2

Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan

perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,

baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah

hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum

Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan

kepentingan Indonesia.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-

hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral

teknologi.

Pasal 4

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksana-

kan dengan tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masya-

rakat informasi dunia;

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang

untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang peng-

gunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal

mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi

pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

BAB III

INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau

hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau

hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

Page 239: Hukum Ekonomi Digital

214

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara

yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan

sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang

harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat

oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam

Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus

berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di

dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan

dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Pasal 7

Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang

telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Infor-

masi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan

bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada

padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat

berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim

dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem

Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah

memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali

Pengirim.

Page 240: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

215

(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki

Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.

(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik

tertentu untuk menerima Informasi Elektronik, penerimaan

terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik memasuki Sistem Elektronik yang ditunjuk.

(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang

digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:

a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/

atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi

pertama yang berada di luar kendali Pengirim;

b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/

atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi tera-

khir yang berada di bawah kendali Penerima.

Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elek-

tronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar ber-

kaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Pasal 10

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elek-

tronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Kean-

dalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat

hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya

kepada Penanda Tangan;

b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses

penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa

Penanda Tangan;

Page 241: Hukum Ekonomi Digital

216

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang

terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait

dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui;

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi

siapa Penandatangannya; dan

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda

Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi

Elektronik yang terkait.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 12

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik

berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan

Elektronik yang digunakannya.

(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;

b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati- hatian

untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap

data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;

c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, meng-

gunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda

Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatut-

nya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang

oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan

Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda

Tangan Elektronik jika:

1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan

Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau

2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat

menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat

bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan

Page 242: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

217

d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung

Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memas-

tikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait

dengan Sertifikat Elektronik tersebut.

(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagai-

mana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala

kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

BAB IV

PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK

DAN SISTEM ELEKTRONIK

Bagian Kesatu

Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Pasal 13

(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Serti-

fikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik.

(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keter-

kaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.

(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:

a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan

b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.

(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum

Indonesia dan berdomisili di Indonesia.

(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di

Indonesia harus terdaftar di Indonesia.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus menyediakan

informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa,

yang meliputi:

a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda

Tangan;

Page 243: Hukum Ekonomi Digital

218

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat

Tanda Tangan Elektronik; dan

c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan

dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.

Bagian KeduaPenyelenggaraan Sistem Elektronik

Pasal 15

(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyeleng-

garakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertang-

gung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik

sebagaimana mestinya.

(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap

Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku

dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesa-

lahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.

Pasal 16(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri,

setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan

Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum seba-

gai berikut:

a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi

yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,

kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam

Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan

dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami

oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan

Sistem Elektronik tersebut; dan

e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga

kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur

atau petunjuk.

Page 244: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

219

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elek-

tronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

BAB V

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam

lingkup publik ataupun privat.

(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan

interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elek-

tronik mengikat para pihak.

(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang

berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi

Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada

asas Hukum Perdata Internasional.

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum

pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa

alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang

mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang

dibuatnya.

(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,

arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya

yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari

transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Inter-

nasional.

Page 245: Hukum Ekonomi Digital

220

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 19

Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus meng-

gunakan Sistem Elektronik yang disepakati.

Pasal 20(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik

terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim

telah diterima dan disetujui Penerima.

(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan

penerimaan secara elektronik.

Pasal 21

(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik

sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui

Agen Elektronik.

(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur sebagai berikut:

a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelak-

sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para

pihak yang bertransaksi;

b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat

hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi

tanggung jawab pemberi kuasa; atau

c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum

dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung

jawab penyelenggara Agen Elektronik.

(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal berope-

rasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara

langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum

menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.

(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal ber-

operasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna

jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab

pengguna jasa layanan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku

dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,

Page 246: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

221

kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem

Elektronik.

Pasal 22(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur

pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memung-

kinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih

dalam proses transaksi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

BAB VINAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN

PERLINDUNGAN HAK PRIBADI

Pasal 23(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau

masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip

pendaftar pertama.

(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak

melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak

melanggar hak Orang lain.

(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masya-

rakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara

tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pemba-

talan Nama Domain dimaksud.

Pasal 24(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masya-

rakat.

(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh

masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih sementara

pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.

(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indone-

sia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui kebera-

daannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan.

Page 247: Hukum Ekonomi Digital

222

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun

menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang

ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual ber-

dasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang- undangan,

penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang

menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas per-

setujuan Orang yang bersangkutan.

(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang

ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB VII

PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-

liki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-

liki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-liki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-

liki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Page 248: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

223

Pasal 28(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian

konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian

atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat

tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan

(SARA).

Pasal 29Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi an-

caman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik

Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengancara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan

cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau

menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer

dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari,

ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik

tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan peru-

Page 249: Hukum Ekonomi Digital

224

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,

penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/

atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan

hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi

penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-

undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi seba-

gaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 32(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengu-

rangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memin-

dahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada

Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meng-

akibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan

keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya

Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi

tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 34(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan,

mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang diran-

cang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi

Page 250: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

225

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai

dengan Pasal 33;b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis

dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadidapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal33.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindakpidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian,

pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elek-

tronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

Pasal 35Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilang-

an, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronikdengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Or-

ang lain.

Pasal 37Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal

36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada

di wilayah yurisdiksi Indonesia.

BAB VIIIPENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 38(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan

Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terha-

dap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau

menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan

Page 251: Hukum Ekonomi Digital

226

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 39(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui

arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

BAB IXPERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 40(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis

gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik

dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki

data elektronik strategis yang wajib dilindungi.

(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus

membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya

serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepen-

tingan pengamanan data.

(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat

Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai

dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 41(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Tekno-

logi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan SistemElektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuanUndang-Undang ini.

Page 252: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

227

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdiselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masya-

rakat.

(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki

fungsi konsultasi dan mediasi.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 42

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam

Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Peja-

bat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus seba-

gai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan

tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik.

(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elek-

tronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan,

kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik

yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas

izin ketua pengadilan negeri setempat.

(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagai-

mana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeli-

haranya kepentingan pelayanan umum.

(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang

ini;

Page 253: Hukum Ekonomi Digital

228

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar

dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan

dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait

dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau kete-

rangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan keten-

tuan Undang-Undang ini;

d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan

Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasar-

kan Undang-Undang ini;

e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang

berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga

digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan

Undang-Undang ini;

f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang

diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak

pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan

atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digu-

nakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan

Perundang-undangan;

h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan

terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;

dan/atau

i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berda-

sarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum

acara pidana yang berlaku.

(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik

melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua penga-

dilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat

jam.

(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan

menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.

(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik

dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan

penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.

Page 254: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

229

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai

berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-

undangan; dan

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan

angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

BAB XIKETENTUAN PIDANA

Pasal 45(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidanapenjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 46(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyakRp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Page 255: Hukum Ekonomi Digital

230

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 47Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara pal-

ing lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 48(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 50Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 51(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama

Page 256: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

231

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual ter-

hadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau

Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk

layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah

sepertiga.

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau

Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk

dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral,

perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas pener-

bangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana

pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana

dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan

Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan

pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan

Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2

(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

Page 257: Hukum Ekonomi Digital

232

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2008 NOMOR 58

Page 258: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

233

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. UMUM

Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah

mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia

secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas

(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan

budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi

Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain

memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan,

dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan

melawan hukum.

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan

hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law,

secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait

dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian

pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konver-

gensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.

Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi

(law of information technology), hukum dunia maya (virtual world

law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat

kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem

komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan

memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang

merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Perma-

salahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan

penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elek-

tronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan

perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer

dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan

perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan teleko-

munikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak

Page 259: Hukum Ekonomi Digital

234

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

atau program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan

dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang

apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan

komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan

fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk

persiapan dalam merancang instruksi tersebut.

Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan kebera-

daan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi

yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang

berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan

mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem

informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwu-

judan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk

organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan

pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya.

Pada sisi yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional

adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup

komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya

manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya men-

cakup fungsi input, process, output, storage, dan communication.

Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak

lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi

persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus

pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan

kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi

dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun

dan dari mana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi

maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi,

misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di

Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat

penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terako-

modasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif,

melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsu-

kan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan

detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa

demikian kompleks dan rumit.

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan

karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui

Page 260: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

235

sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari

perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan

bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan infor-

matika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring

dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi infor-

masi, media, dan komunikasi.

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang

siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan

sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis

kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan

kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditem-

puh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan

hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang

berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula

sebagai Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen

elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang

dibuat di atas kertas.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan

kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media,

dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena

itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space,

yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial,

budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam

penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat

mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan

teknologi informasi menjadi tidak optimal.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-

mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/

atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku

Page 261: Hukum Ekonomi Digital

236

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum

(yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun

warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan

hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, meng-

ingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elek-

tronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial

atau universal.

Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia”

adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepen-

tingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat

dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedau-

latan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.

Pasal 3

“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi peman-

faatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala

sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat-

kan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung

proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersang-

kutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi

mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak

lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik.

“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak

dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk

secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengaki-

batkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak

lain tersebut.

“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti

asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga

dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.

Pasal 4

Cukup jelas.

Page 262: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

237

Pasal 5

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Huruf a

Surat yang menurut undang-undang harus dibuat

tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat

berharga, surat yang berharga, dan surat yang

digunakan dalam proses penegakan hukum acara

perdata, pidana, dan administrasi negara.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 6

Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau

dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada

hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke

dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam ling-

kup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya

tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik

pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang

mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi

dari salinannya.

Pasal 7

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan

timbulnya suatu hak.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar”

meliputi:

Page 263: Hukum Ekonomi Digital

238

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum

dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok,

penyelenggara maupun perantara;

b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi

syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau

jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi

barang/jasa.

Pasal 10

Ayat (1)

Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa

pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elek-

tronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit

dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi

Keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi

berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha

tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas

bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda

Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan

tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuat-

an hukum dan akibat hukum.

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupa-

kan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap

Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesem-

patan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengem-

bangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda

Tangan Elektronik.

Ayat (2)

Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur

tentang teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda

Tangan Elektronik.

Page 264: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

239

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah infor-

masi yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara

Tanda Tangan Elektronik.

Pasal 15

Ayat (1)

“Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan

yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.

“Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik

dan nonfisik.

“Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik

memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya.

Ayat (2)

“Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang

bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan

Sistem Elektronik tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap peman-

faatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara,

Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.

Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara

baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar

dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masya-

rakat.

Page 265: Hukum Ekonomi Digital

240

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kon-

trak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik

dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai

hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.

Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapatdilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan

penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata

internasional (HPI).

Ayat (3)

Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang

berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata inter-

nasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku

pada kontrak tersebut.

Ayat (4)

Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak inter-

nasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalahforum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat

berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian

sengketa alternatif lainnya.

Ayat (5)

Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewe-

nangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum

perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas

tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efek-

tivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat

berada (principle of effectiveness).

Pasal 19

Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga

mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem

Elektronik yang bersangkutan.

Page 266: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

241

Pasal 20

Ayat (1)

Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara

para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data,

identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification

number/PIN) atau sandi lewat (password).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini

sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang membe-

rikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk

melakukan perubahan atas informasi yang disampaikannya,

misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi

ulang.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara

negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang

perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama

(first come first serve).

Page 267: Hukum Ekonomi Digital

242

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam

Nama Domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual

karena tidak diperlukan pemeriksaan substantif, seperti

pemeriksaan dalam pendaftaran merek dan paten.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “melanggar hak Orang lain”, misal-

nya melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar,

nama Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada

intinya merugikan Orang lain.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “penggunaan Nama Domain secara

tanpa hak” adalah pendaftaran dan penggunaan Nama

Domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi

atau menghambat Orang lain untuk menggunakan nama

yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama

produknya, atau untuk mendompleng reputasi Orang yang

sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan

konsumen.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun

dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten,

merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib

dilindungi oleh Undang-Undang ini dengan memperhatikan

ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

Pasal 26

Ayat (1)

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data

pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (pri-

vacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai

berikut:

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan

pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat

berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan

Page 268: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

243

memata-matai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses

informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimak-

sud pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain dengan:

a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan

atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut

kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya;

atau

b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak

dapat atau gagal diterima oleh yang berwenang mene-

rimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah

daerah.

Ayat (3)

Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses

Komputer atau melarang akses ke dalam Komputer dengan

berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta

tingkatan kewenangan yang ditentukan.

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah

Page 269: Hukum Ekonomi Digital

244

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Infor-

masi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi

maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis

atau radio frekuensi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah pene-

litian yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang

memiliki izin.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Page 270: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

245

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “lembaga yang dibentuk oleh

masyarakat” merupakan lembaga yang bergerak di bidang

teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Page 271: Hukum Ekonomi Digital

246

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang

memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi

yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Page 272: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

247

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap per-

buatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang

dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh

pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk:

a. mewakili korporasi;

b. mengambil keputusan dalam korporasi;

c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam

korporasi;

d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4843

Page 273: Hukum Ekonomi Digital

248

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 274: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

249

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghor-

matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan per-

timbangan keamanan dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat yang demokratis perlu dilakukan

perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik agar terwujud keadilan, ketertiban

umum, dan kepastian hukum;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28D

ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),

Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2),

dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,

Page 275: Hukum Ekonomi Digital

250

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4843).

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI

ELEKTRONIK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:

1. Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka,

yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data

elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data in-

terchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), tele-

gram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang

memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilaku-

kan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,

dan/atau media elektronik lainnya.

3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengum-

pulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengu-

mumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.

Page 276: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

251

4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik

yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disim-

pan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,

atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau

didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, terma-

suk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,

rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode

Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau

arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu mema-

haminya.

5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan pro-

sedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengum-

pulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampil-

kan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebar-

kan Informasi Elektronik.

6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan

Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang,

Badan Usaha, dan/atau masyarakat.

6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang,

penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang

menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan

Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk

keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem

Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.

8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem

Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan

terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis

yang diselenggarakan oleh Orang.

9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elek-

tronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas

yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam

Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara

Sertifikasi Elektronik.

10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum

yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang

memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.

Page 277: Hukum Ekonomi Digital

252

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen

yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan

diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit

dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi

Elektronik.

12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri

atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau

terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan

sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan

atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.

14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,

magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi

logika, aritmatika, dan penyimpanan.

15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem

Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya

atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk

dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

lainnya.

17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat

melalui Sistem Elektronik.

18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.

20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara

negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang

dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,

yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik

untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.

21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara In-

donesia, warga negara asing, maupun badan hukum.

22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau

perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum.

23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang

ditunjuk oleh Presiden.”

Page 278: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

253

2. Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1)

dan ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana

ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang

ini.

3. Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat

(4), dan ayat (5) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 26

(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,

penggunaan setiap informasi melalui media elektronik

yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan

atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian

yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan

Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan

pengadilan.

(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan

mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan

pemerintah.”

4. Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat

(1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi

sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal

Undang-Undang ini.

5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31 diubah sehingga Pasal

31 berbunyi sebagai berikut:

Page 279: Hukum Ekonomi Digital

254

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

“Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam

suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik

Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan

hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elek-

tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat

publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau

Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak

menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebab-

kan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau peng-

hentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang sedang ditransmisikan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang

dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan

kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewe-

nangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-

undang.”

6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat,

yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah;

serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40

berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis

gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elek-

tronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban

umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Page 280: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

255

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan

dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemu-

tusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara

Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses

terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memi-

liki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.

(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang

elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data

tertentu untuk kepentingan pengamanan data.

(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) mem-

buat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya

sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimili-

kinya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagai-

mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat

(2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.”

7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan

ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43

disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat

(1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Peme-

rintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewe-

nang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk

melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik.

Page 281: Hukum Ekonomi Digital

256

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,

kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau

keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elek-

tronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan

sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib

menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik;

b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk

didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di

bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau

Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak

pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik;

e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana

yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi

yang diduga digunakan untuk melakukan tindak

pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik;

f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu

yang diduga digunakan sebagai tempat untuk

melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik;

Page 282: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

257

g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat

dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang

diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan

peraturan perundang-undangan;

h. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang

terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;

i. meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem

Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem

Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik

yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik;

j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyi-

dikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau

k. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana

di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

(6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana

di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

(7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya

memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut

Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia.

(7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat

Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut

Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia.

(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi

Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja

sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi

dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Page 283: Hukum Ekonomi Digital

258

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

8. Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara Pasal 45 dan Pasal 46

disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga

berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 45

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-

tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat

diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-

tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat

dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-

tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat

dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/

atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan

delik aduan.

Page 284: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

259

Pasal 45A

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menye-

barkan berita bohong dan menyesatkan yang mengaki-

batkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/

atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak

menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan

rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelom-

pok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,

ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 45B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi

ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan

secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh

juta rupiah).”

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-

dangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Page 285: Hukum Ekonomi Digital

260

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Disahkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 25 November 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 25 November 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2016 NOMOR 251

Page 286: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

261

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. UMUM

Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan

berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan

dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk

memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan

bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum

bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi

Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan

yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan keter-

tiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di

bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk

legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang

meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya,

perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.

Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa

kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor

5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/

2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan

pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan

Page 287: Hukum Ekonomi Digital

262

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum,

melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan

dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa

keadilan masyarakat.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/

2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan

kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena

di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi

lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan

(regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan

diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah

berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas

hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi

hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya

dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan

pemerintah.

Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk

mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat

(1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap

intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka

penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar

putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak

terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna

atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU

ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elek-

tronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu

dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.

Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penang-

kapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan

permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku

dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti

kejahatan.

Page 288: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

263

Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan

konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang

memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan

atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman,

penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan

kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan

menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama,

ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-

nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan,

ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari

mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan

umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan

Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan

peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal

dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang

melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia

serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi

yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepen-

tingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik.

Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau

Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus

dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu,

dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan

mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk

menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan

Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan

kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan

kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan

Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara

intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah

Page 289: Hukum Ekonomi Digital

264

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan

mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di

bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal

43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat

(4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang

diatur di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 5

Ayat (1)

Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Doku-

men Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti

yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap

Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi

Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang

berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan

melalui Sistem Elektronik.

Ayat (2)

Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau

perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan

harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas

permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi

lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan

undang-undang.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 290: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

265

Ayat (4)

Huruf a

Surat yang menurut undang-undang harus dibuat

tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat

berharga, surat yang berharga, dan surat yang

digunakan dalam proses penegakan hukum acara

perdata, pidana, dan administrasi negara.

Huruf b

Cukup jelas.

Angka 3

Pasal 26

Ayat (1)

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan

data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi

(privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian

sebagai berikut:

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati

kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam

gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat

berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan

memata-matai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses

informasi tentang kehidupan pribadi dan data

seseorang.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Page 291: Hukum Ekonomi Digital

266

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Angka 4

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah

mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau

berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.

Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah

mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui

Sistem Elektronik.

Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah

semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan men-

transmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebab-

kan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dapat diketahui pihak lain atau publik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pence-

maran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ayat (4)

Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan peme-

rasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Angka 5

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan”

adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, mem-

belokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat

transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elek-

tronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan

jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,

seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Page 292: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

267

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 40

Ayat (1)

Fasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi, termasuk tata

kelola Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang

aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif.

Ketentuan ini termasuk memfasilitasi masyarakat luas,

instansi pemerintah, dan pelaku usaha dalam

mengembangkan produk dan jasa Teknologi Informasi

dan komunikasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (2a)

Cukup jelas.

Ayat (2b)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Angka 7

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu” adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil kemen-

terian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

Page 293: Hukum Ekonomi Digital

268

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bidang komunikasi dan informatika yang telah memenuhi

persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang

memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi

Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara

akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya

tersebut.

Huruf k

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Page 294: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

269

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (7a)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 45A

Cukup jelas.

Pasal 45B

Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perun-

dungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung

unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengaki-

batkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5952

Page 295: Hukum Ekonomi Digital

270

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 296: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

271

PERATURAN BANK INDONESIA

NOMOR 19/12/PBI/2017

TENTANG

PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem infor-

masi terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya

yang berkaitan dengan teknologi finansial untuk

memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat ter-

masuk akses terhadap layanan finansial dan pemro-

sesan transaksi;

b. bahwa perkembangan teknologi finansial di satu

sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen,

pelaku usaha maupun perekonomian nasional,

namun di sisi lain memiliki potensi risiko yang

apabila tidak dimitigasi secara baik dapat meng-

ganggu sistem keuangan;

c. bahwa ekosistem teknologi finansial perlu terus

dimonitor dan dikembangkan untuk mendukung

terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem

keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien,

lancar, aman, dan andal untuk mendukung pertum-

buhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan

inklusif;

d. bahwa penyelenggaraan teknologi finansial harus

menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta

manajemen risiko dan kehati-hatian dengan tetap

memperhatikan perluasan akses, kepentingan

Page 297: Hukum Ekonomi Digital

272

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

nasional, serta standar dan praktik internasional

yang berlaku;

e. bahwa respons kebijakan Bank Indonesia terhadap

perkembangan teknologi finansial harus tetap sin-

kron, harmonis, dan terintegrasi dengan kebijakan

Bank Indonesia lainnya seperti penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran dan gerbang

pembayaran nasional (national payment gateway)

serta perlu dikoordinasikan dengan otoritas terkait;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e,

perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia ten-

tang Penyelenggaraan Teknologi Finansial;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indo-

nesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3843) seba-

gaimana telah beberapa kali diubah, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In-

donesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4962);

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016

Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5952);

Page 298: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

273

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang

Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indo-

nesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5204);

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang

Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indone-

sia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5223);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG

PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:

1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem

keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas

moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-

caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.

2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang

menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.

3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara

jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-

tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.

4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang

aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.

BAB II

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial

untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan

prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-

Page 299: Hukum Ekonomi Digital

274

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem

keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan

andal.

Pasal 3

(1) Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:

a. sistem pembayaran;

b. pendukung pasar;

c. manajemen investasi dan manajemen risiko;

d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan

e. jasa finansial lainnya.

(2) Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memiliki kriteria:

a. bersifat inovatif;

b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis finansial yang telah eksis;

c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;

d. dapat digunakan secara luas; dan

e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 4

Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Teknologi Finansial

mencakup:

a. pendaftaran;

b. Regulatory Sandbox;

c. perizinan dan persetujuan; dan

d. pemantauan dan pengawasan.

BAB III

PENDAFTARAN

Bagian Kesatu

Kewajiban Melakukan Pendaftaran

Pasal 5

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang akan atau telah melaku-

kan kegiatan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (2) wajib melakukan pendaftaran pada Bank

Indonesia.

Page 300: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

275

(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikecualikan bagi:

a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mem-

peroleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau

b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah

kewenangan otoritas lain.

(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a tetap harus menyampaikan informasi

kepada Bank Indonesia mengenai produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnis baru yang memenuhi kriteria Teknologi

Finansial.

(4) Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah

kewenangan otoritas lain sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf b yang menyelenggarakan Teknologi Finansial di bidang

sistem pembayaran wajib melakukan pendaftaran kepada Bank

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 6

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1) harus merupakan badan usaha.

(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga

selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial

tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum

Indonesia.

Bagian Kedua

Tata Cara Pendaftaran

Pasal 7

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)

dilakukan dengan menyampaikan permohonan tertulis kepada

Bank Indonesia oleh pihak yang berwenang mewakili Penye-

lenggara Teknologi Finansial.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai

dokumen berupa:

a. salinan akta pendirian badan hukum atau badan usaha;

b. data kepemilikan pada badan hukum atau badan usaha;

c. daftar susunan pengurus;

Page 301: Hukum Ekonomi Digital

276

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

d. gambaran umum perusahaan;

e. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk, layanan,

teknologi yang disediakan, dan/atau model bisnis yang telah

berjalan dan/atau akan dikembangkan yang memenuhi

kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (2); dan

f. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan

Teknologi Finansial.

(3) Bank Indonesia melaksanakan pendaftaran Penyelenggara

Teknologi Finansial dengan mempertimbangkan kelengkapan

dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) serta dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran diatur

dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 8

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank

Indonesia wajib:

a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai dengan

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang

dijalankan;

b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen

termasuk data dan/atau informasi transaksi;

c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehatihatian;

d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan

di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai mata uang;

e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan

pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai anti

pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan

f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-

lenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan

sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.

Page 302: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

277

(3) Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan surat

pernyataan kepatuhan atas kewajiban sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu pal-

ing lama 3 (tiga) bulan sejak Penyelenggara Teknologi Finansial

terdaftar di Bank Indonesia.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip manajemen risiko dan

kehati-hatian diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 9(1) Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi

Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) pada laman resmi Bank Indo-

nesia secara berkala.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman Penyelenggara

Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia diatur

dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 10

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan

pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak

menghilangkan kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial dan

tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial.

BAB IV

REGULATORY SANDBOX

Pasal 11

(1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi Finansial

untuk memastikan lebih lanjut bahwa produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnisnya telah memenuhi kriteria

Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat

(2), Bank Indonesia menyelenggarakan Regulatory Sandbox.

(2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial

beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya

untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.

(3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat ditetapkan

masuk dalam Regulatory Sandbox harus merupakan Penyeleng-

gara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indone-

Page 303: Hukum Ekonomi Digital

278

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau telah

menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

Pasal 12

(1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penye-

lenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam

Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba

Penyelenggara Teknologi Finansial berupa:

a. berhasil;

b. tidak berhasil; atau

c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

(3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem

pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang

memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis

yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan

permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.

(4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori

sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial

dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta meng-

gunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan.

(5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis-

nya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pemba-

yaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji

coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) kepada otoritas yang berwenang.

Pasal 13

(1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank Indo-

nesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi Penyelenggara

Teknologi Finansial.

Page 304: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

279

(2) Penetapan kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur

dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

BAB V

PERIZINAN DAN PERSETUJUAN

Pasal 15

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori Penye-

lenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh izin dari

Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi

pembayaran.

(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran, harus memenuhi aspek

kelayakan.

(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang menghasilkan

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang

merupakan:

a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau

b. pengembangan produk dan/atau aktivitas jasa sistem pem-

bayaran, namun tidak memenuhi kriteria Teknologi Finansial

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), sebelum

melanjutkan pemasaran produk dan/atau layanan serta meng-

gunakan teknologi dan/atau model bisnisnya, harus terlebih

dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sesuai

dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai

penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

Page 305: Hukum Ekonomi Digital

280

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB VI

PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN

Pasal 16

(1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penye-

lenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indo-

nesia.

(2) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang

diminta oleh Bank Indonesia.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan tata cara

penyampaian data dan/atau informasi diatur dalam Peraturan

Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 17

(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyeleng-

gara Teknologi Finansial berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pem-

bayaran yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan dari

Bank Indonesia.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur menge-

nai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

BAB VII

KERJA SAMA PENYELENGGARA JASA SISTEM

PEMBAYARAN DENGAN PENYELENGGARA

TEKNOLOGI FINANSIAL

Pasal 18

(1) Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan

Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus terlebih dahulu mem-

peroleh persetujuan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.

(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja sama

dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak melaku-

kan pendaftaran dan/atau perizinan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2).

Page 306: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

281

BAB VIII

KOORDINASI DAN KERJA SAMA

Pasal 19

(1) Untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indo-

nesia berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan:

a. otoritas lain di dalam negeri; dan/atau

b. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau

lembaga internasional.

(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a. pertukaran data dan informasi terkait kelembagaan,

transaksi, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;

b. pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang terkait

dengan Teknologi Finansial; dan/atau

c. hal lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia dan

otoritas lain.

BAB IX

SANKSI

Pasal 20

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal

5 ayat (4) dikenakan sanksi berupa:

a. teguran tertulis;

b. penghentian kegiatan usaha;

c. tindakan tertentu terkait penyelenggaraan kegiatan sistem

pembayaran; dan/atau

d. rekomendasi kepada otoritas yang berwenang untuk men-

cabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwe-

nang dimaksud.

(2) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat

(2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), dan/

atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis; dan/atau

b. penghapusan dari daftar Penyelenggara Teknologi Finansial

di Bank Indonesia.

(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-

tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26

Page 307: Hukum Ekonomi Digital

282

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dikenakan sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis;

b. denda;

c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa

sistem pembayaran; dan/atau

d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran.

Pasal 21Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) merupakan

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, selain dikenakan sanksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20

ayat (2) juga dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank

Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan

transaksi pembayaran.

Pasal 22Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-

tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26, selain

dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20 ayat (3) juga dapat dikenakan sanksi berupa perintah untuk

menghentikan kerja samanya.

BAB XKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 23Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau reko-

mendasi kepada otoritas yang berwenang dalam hal Penyelenggara

Teknologi Finansial melanggar Peraturan Bank Indonesia ini atau

ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 24(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan untuk penye-

lenggaraan Teknologi Finansial.

(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada pertimbangan:

a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-

lenggaraan Teknologi Finansial; dan/atau

Page 308: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

283

b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk

mendukung perekonomian nasional.

Pasal 25

Pelaksanaan tugas di Bank Indonesia terkait penyelenggaraan

Teknologi Finansial dilakukan oleh unit kerja yang melaksanakan

fungsi pengelolaan Teknologi Finansial.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:

a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan

identifikasi adanya kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi

Finansial; dan

b. dalam hal terdapat kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi

Finansial yang belum terdaftar, Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran wajib memastikan kerja sama tersebut memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lama

6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini

berlaku.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) bulan terhitung

sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.

Pasal 28

Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-

dangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 309: Hukum Ekonomi Digital

284

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 29 November 2017

GUBERNUR BANK INDONESIA,

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2017

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI ANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017

NOMOR 245

Page 310: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

285

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN BANK INDONESIA

NOMOR 19/ 12 /PBI/2017

TENTANG

PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL

I. UMUM

Inovasi teknologi dan penetrasinya dengan fitur finansial terus

berlangsung dan menandai munculnya momentum transformasi di

dunia finansial. Era digitalisasi ekonomi memicu penggunaan tekno-

logi internet, telepon pintar, dan big data hingga ke level konsumen

akhir secara lebih efisien, baik dari segi waktu, akses, maupun biaya.

Dalam konteks tersebut, arus digitalisasi ekonomi termasuk di dalam-

nya Teknologi Finansial memiliki potensi yang besar untuk mendorong

alokasi sumber daya ekonomi secara lebih efisien dan pada gilirannya

mendorong peningkatan produktivitas serta memberikan manfaat

yang lebih besar bagi masyarakat.

Di sisi lain, peleburan inovasi teknologi dengan fitur finansial

juga membawa risiko tersendiri. Fungsi konvensional cenderung

tereduksi perannya bahkan seringkali tergusur oleh fungsi baru yang

diperkenalkan oleh inovasi teknologi yang cenderung bersifat

mengganggu (disruptive).

Pemain baru bermunculan karena berkurangnya halangan untuk

masuk (barriers to entry) di industri keuangan. Pemain baru ini umum-

nya menjangkau segmen masyarakat dan/atau dunia usaha yang

rata-rata tidak atau belum tersentuh oleh sektor keuangan formal,

baik yang disebabkan oleh keterbatasan kapasitas jangkauan sektor

keuangan formal maupun belum atau tidak memenuhi kriteria mana-

jemen risiko yang dipersyaratkan secara baku oleh sektor keuangan

formal.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna pelaksanaan tugas

menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter,

menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem

keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan melak-

sanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia

perlu menetapkan pengaturan, pengawasan, dan pemantauan terha-

dap penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pengaturan, pengawasan,

Page 311: Hukum Ekonomi Digital

286

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan pemantauan ini penting agar penyelenggaraan Teknologi

Finansial dimonitor dan diarahkan dengan baik sehingga manfaat

dari Teknologi Finansial dapat lebih dinikmati oleh masyarakat dan

berbagai risiko termasuk potensi muncul dan berkembangnya

transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow economy) dapat

termitigasi dengan baik. Selain itu, pengaturan dan pengawasan ini

penting untuk terus mendorong pengembangan ekosistem Teknologi

Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Seiring dengan semakin diadopsinya Teknologi Finansial oleh

masyarakat, menjadi krusial bagi Bank Indonesia untuk mewajibkan

Penyelenggara Teknologi Finansial tetap menerapkan prinsip perlin-

dungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penye-

lesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh

penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori

sistem pembayaran antara lain penggunaan teknologi

blockchain atau distributed ledger untuk penyeleng-

garaan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik,

dan mobile payments.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah

Teknologi Finansial yang menggunakan teknologi

informasi dan/atau teknologi elektronik untuk mem-

fasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan lebih

murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa

keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan

Page 312: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

287

Teknologi Finansial pada kategori pendukung pasar (mar-

ket support) antara lain penyediaan data perbandingan

informasi produk atau layanan jasa keuangan.

Huruf c

Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada

kategori manajemen investasi dan manajemen risiko

antara lain penyediaan produk investasi online dan

asuransi online.

Huruf d

Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada

kategori pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau

funding), dan penyediaan modal (capital raising) antara

lain layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi (peer-to-peer lending) serta pembiayaan atau

penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-

funding).

Huruf e

Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah

Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran,

pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen

risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan

modal.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Dalam melakukan pendaftaran, Bank Indonesia memper-

hatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan kegiatan usaha Penyelenggara Teknologi Finansial.

Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait

antara lain ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam

uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending).

Pendaftaran dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan

Teknologi Finansial dapat dipantau oleh Bank Indonesia

Page 313: Hukum Ekonomi Digital

288

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

untuk pelaksanaan tugas di bidang moneter, stabilitas sistem

keuangan, dan sistem pembayaran.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Contoh Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada

di bawah kewenangan otoritas lain yaitu penyelenggara

layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi (peer-topeer lending).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi

Finansial antara lain:

a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum

perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai perseroan terbatas; dan

b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum

koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai perkoperasian.

Ayat (2)

Huruf a

Termasuk salinan akta pendirian badan hukum yaitu

anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang

berwenang dan perubahannya apabila ada.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Page 314: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

289

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Contoh data dan informasi lainnya antara lain fotokopi

bukti pendaftaran dan/atau perizinan dari otoritas

pengawas, sebaran wilayah terkait transaksi dan

pengguna, potensi bisnis, volume dan nilai transaksi,

peluang pasar, serta target pasar.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip perlin-

dungan konsumen” adalah Penyelenggara Teknologi

Finansial menerapkan prinsip sebagaimana diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai perlindungan konsumen.

Huruf b

Menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen

termasuk data dan/atau informasi transaksi antara lain

dilakukan dengan mengelola dan menatausahakan doku-

men transaksi dan/atau konsumen secara baik dan tertib

serta tidak memberikan data dan/atau informasi transaksi

dan/atau konsumen kepada pihak lain kecuali atas

persetujuan tertulis dari konsumen atau diwajibkan oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip manajemen

risiko” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial telah

melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan

pengendalian atas risiko yang mungkin timbul dalam

kegiatan usahanya.

Page 315: Hukum Ekonomi Digital

290

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan

pendanaan terorisme dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur menge-

nai prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pen-

danaan terorisme termasuk peraturan yang dikeluarkan

oleh lembaga pengawas dan pengatur yang terkait

dengan kegiatan usaha dan/atau keberadaan dari

Penyelenggara Teknologi Finansial yang bersangkutan.

Huruf f

Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

antara lain peraturan mengenai pendirian badan hukum

serta penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digi-

tal yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang

diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer

pemberian (reward).

Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan

menggunakan virtual currency karena virtual currency

bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain

kewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran,

perizinan, atau persetujuan kepada otoritas terkait.

Tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain

tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial

termasuk kewajiban menerapkan prinsip perlindungan kon-

Page 316: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

291

sumen, manajemen risiko, kehati-hatian, dan hubungan hukum

antara Penyelenggara Teknologi Finansial dengan pengguna

jasa dan/atau pihak lainnya.

Pasal 11

Ayat (1)

Implementasi Regulatory Sandbox merupakan salah satu

upaya Bank Indonesia untuk terus mendorong inovasi

Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlin-

dungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Contoh status lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara

lain apabila pada saat dan/atau setelah diujicobakan,

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis bukan

termasuk kategori sistem pembayaran.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Penyampaian kepada otoritas yang berwenang dimaksudkan

agar ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang termasuk

Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran.

Page 317: Hukum Ekonomi Digital

292

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 13

Ayat (1)

Kebijakan tertentu antara lain pembatasan tertentu seperti

batasan wilayah, jumlah pengguna dan/atau jangka waktu

tertentu, dan/atau kemudahan untuk menyelenggarakan

kegiatan Teknologi Finansial selama proses uji coba melalui

Regulatory Sandbox.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cakupan aspek kelayakan meliputi:

a. legalitas dan profil perusahaan;

b. hukum;

c. kesiapan operasional;

d. keamanan dan keandalan sistem;

e. kelayakan bisnis;

f. kecukupan manajemen risiko; dan

g. perlindungan konsumen.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Pemantauan dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya

potensi dampak negatif dari perkembangan Teknologi

Finansial yang terlalu ekspansif terhadap pelaksanaan kebi-

jakan moneter, kebijakan stabilitas sistem keuangan ter-

masuk makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran

untuk tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem

keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar,

aman, dan andal.

Page 318: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

293

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Guna memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan

informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial kepada

Bank Indonesia

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Koordinasi dan/atau kerja sama dengan otoritas di negara

lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga

internasional dilakukan dengan memperhatikan prinsip

seperti kepentingan nasional, resiprokalitas, serta keraha-

siaan data dan/atau informasi.

Ayat (2)

Huruf a

Data dan informasi termasuk data dan informasi

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar

dan/atau diberikan izin oleh otoritas lain di dalam negeri.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Page 319: Hukum Ekonomi Digital

294

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha

dilakukan oleh Bank Indonesia atau bekerja sama dengan

otoritas/pihak yang berwenang.

Huruf c

Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain

larangan untuk mengajukan permohonan izin sebagai

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Kebijakan penyelenggaraan Teknologi Finansial ditujukan

bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di

bawah kewenangan Bank Indonesia dengan ruang lingkup

antara lain aspek kelembagaan dan kepemilikan Penye-

lenggara Teknologi Finansial serta penggunaan inovasi

teknologi tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Page 320: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

295

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 61

Page 321: Hukum Ekonomi Digital

296

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Page 322: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

297

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR

NOMOR 19/14/PADG/2017

TENTANG

RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)

TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan inovasi

pada kegiatan yang menggunakan teknologi finan-

sial perlu diberikan ruang uji coba terbatas bagi

penyelenggara teknologi finansial beserta produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya;

b. bahwa ruang uji coba terbatas sebagaimana

dimaksud dalam huruf a harus tetap menerapkan

prinsip perlindungan konsumen serta manajemen

risiko dan kehati-hatian;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-

tapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur

tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory

Sandbox) Teknologi Finansial;

Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016

tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi

Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indone-

sia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5945);

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017

tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

Page 323: Hukum Ekonomi Digital

298

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6142);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR

TENTANG RUANG

UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI

FINANSIAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud

dengan:

1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem

keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas

moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-

caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.

2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang

menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.

3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara

jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-

tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.

4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang

aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.

5. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan

ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-

struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.

BAB II

RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN

TEKNOLOGI FINANSIAL

Pasal 2

Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:

a. sistem pembayaran;

Page 324: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

299

b. pendukung pasar;

c. manajemen investasi dan manajemen risiko;

d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan

e. jasa finansial lainnya.

BAB III

TATA CARA PENETAPAN

UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX

Pasal 3

(1) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial

beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya

untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan pertimbangan:

a. Penyelenggara Teknologi Finansial telah terdaftar di Bank

Indonesia;

b. Teknologi Finansial yang diselenggarakan mengandung

unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pemba-

yaran;

c. Teknologi Finansial mengandung unsur Inovasi;

d. Teknologi Finansial bermanfaat atau dapat memberi man-

faat bagi konsumen dan/atau perekonomian;

e. Teknologi Finansial bersifat noneksklusif;

f. Teknologi Finansial dapat digunakan secara massal;

g. Teknologi Finansial telah dilengkapi dengan identifikasi

dan mitigasi risiko; dan

h. hal lain yang dianggap penting oleh Bank Indonesia.

Pasal 4

(1) Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih leng-

kap dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus:

a. melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling sedikit

mengenai model bisnis dan manajemen risiko; dan

b. menyampaikan dokumen secara lengkap kepada Bank

Indonesia.

(2) Bank Indonesia menginformasikan mengenai pelaksanaan

presentasi melalui surat elektronik dan penyampaian dokumen

melalui surat kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.

Page 325: Hukum Ekonomi Digital

300

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disam-

paikan secara daring (online) melalui laman Bank Indonesia.

(4) Dalam hal sarana daring (online) sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) belum dapat digunakan, penyampaian kelengkapan

dokumen dilakukan melalui surat kepada Bank Indonesia.

Pasal 5

(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf

b paling sedikit mengenai:

a. data dan informasi tentang profil Penyelenggara Teknologi

Finansial dengan format sebagaimana tercantum dalam

Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini;

b. data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit memuat:

1. unsur Inovasi dalam produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis yang akan diuji coba;

2. manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;

3. kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan

perlindungan konsumen;

4. penjelasan bahwa kegiatan usaha bersifat noneksklusif;

5. hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi risiko

yang telah atau akan dilakukan;

6. hal spesifik yang dimintakan uji coba (jika ada); dan

7. rencana yang akan dilakukan setelah uji coba dalam

Regulatory Sandbox; dan

c. informasi pihak yang ditunjuk untuk mewakili Penyeleng-

gara Teknologi Finansial beserta alamat surat elektronik

yang akan digunakan untuk berkorespondensi dengan Bank

Indonesia.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a dan huruf b dibuktikan dengan dokumen sesuai dengan jenis

dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota

Dewan Gubenur ini.

(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Penye-

lenggara Teknologi Finansial untuk menyampaikan dokumen tam-

bahan selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Page 326: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

301

Pasal 6

(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kese-

suaian, dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1).

(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdapat dokumen yang tidak lengkap,

tidak sesuai, dan/atau tidak benar, Bank Indonesia meminta

Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melengkapi dan/atau

memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 5

(lima) hari kerja sejak tanggal permintaan dari Bank Indonesia.

(3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilakukan melalui surat elektronik.

Pasal 7

(1) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial telah melakukan

presentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf

a dan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1) dinyatakan lengkap, sesuai, dan benar, Bank

Indonesia memberi penetapan Penyelenggara Teknologi

Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model

bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.

(2) Penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui surat.

BAB IV

PROSES UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX

Pasal 8

(1) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox menerapkan prinsip:

a. criteria-based process;

b. transparansi;

c. proporsionalitas;

d. keadilan (fairness);

e. kesetaraan (equal treatment); dan

f. forward looking.

(2) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan

proses perizinan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Page 327: Hukum Ekonomi Digital

302

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 9

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh

penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus

menyampaikan usulan skenario uji coba produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank Indonesia dalam

jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal

penetapan.

(2) Usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

sedikit memuat:

a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan

diuji coba;

b. jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji coba;

c. target yang akan dicapai;

d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan batasan

lainnya; dan

e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam Regu-

latory Sandbox, yang memuat paling sedikit laporan

sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota

Dewan Gubernur ini.

(3) Penyelenggara Teknologi Finansial harus tetap memperhatikan

ketentuan peraturan perundangundangan dalam menyusun

usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10

(1) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang

disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

(2) Dalam hal Bank Indonesia menilai usulan skenario yang disam-

paikan masih memerlukan perbaikan, Penyelenggara Teknologi

Finansial harus menyampaikan usulan skenario yang telah

diperbaiki dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja

sejak tanggal permintaan perbaikan dari Bank Indonesia.

(3) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang

telah diperbaiki dan disampaikan Penyelenggara Teknologi

Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Apabila Penyelenggara Teknologi Finansial tidak menyampai-

kan perbaikan usulan skenario sampai dengan jangka waktu

Page 328: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

303

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Penyelenggara

Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diujicobakan dalam

Regulatory Sandbox.

(5) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario yang diaju-

kan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimak-

sud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus

menyatakan kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang

telah disetujui dengan menandatangani surat pernyataan seba-

gaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.

(6) Bank Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan kepada

Penyelenggara Teknologi Finasial melalui surat setelah Penye-

lenggara Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan menjalan-

kan skenario uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 11

(1) Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox ditetapkan

paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Bank

Indonesia atas skenario uji coba produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

ayat (6).

(2) Dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu pal-

ing lama 6 (enam) bulan.

(3) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Teknologi

Finansial kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan

sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan uji coba

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), Penyelenggara Teknologi Finansial menginformasikan alasan

dan jangka waktu perpanjangan yang dibutuhkan.

(5) Bank Indonesia menyampaikan jawaban kepada Penyelenggara

Teknologi Finansial atas pengajuan perpanjangan yang disam-

paikan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Page 329: Hukum Ekonomi Digital

304

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 12

Penyelenggara Teknologi Finansial hanya dapat menyeleng-

garakan uji coba dalam Regulatory Sandbox sesuai skenario seba-

gaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6).

Pasal 13

Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox, Penye-

lenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai berikut:

a. memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen serta

manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai;

b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara

reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank

Indonesia; dan

c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Penyelenggara Teknologi Finansial bertanggung jawab atas hal

sebagai berikut:

a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang

disampaikan kepada Bank Indonesia untuk uji coba dalam Regu-

latory Sandbox;

b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menja-

lankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang

diuji coba dalam Regulatory Sandbox;

c. perlindungan data dan informasi serta dana konsumen dalam

penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan

d. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penyelenggara Tekno-

logi Finansial kepada konsumen dan/atau pihak lain yang

terkait, baik selama maupun setelah proses uji coba dalam Regu-

latory Sandbox.

Pasal 15

Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama

pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar untuk

menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial.

Page 330: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

305

BAB V

HASIL UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX

Pasal 16

(1) Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regu-

latory Sandbox berdasarkan hasil penilaian atas seluruh

rangkaian kegiatan selama pelaksanaan uji coba.

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan mempertimbangkan:

a. kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara Tekno-

logi Finansial;

b. penerapan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen

risiko dan kehati-hatian; dan

c. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam

Regulatory Sandbox yaitu:

a. berhasil;

b. tidak berhasil; atau

c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Pasal 17

(1) Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan status hasil uji

coba dalam Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara

Teknologi Finansial.

(2) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dan produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori

sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial

dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu menga-

jukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-

lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan sta-

tus hasil uji coba berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 dan ketentuan mengenai penyampaian surat

penetapan status hasil uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Penyelenggara Teknologi Finansial dapat menyampaikan

Page 331: Hukum Ekonomi Digital

306

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai ketentuan Bank

Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan

transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia sebelum Bank In-

donesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sand-

box sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).

(4) Dalam hal permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) telah diterima oleh Bank Indonesia,

Penyelenggara Teknologi Finansial dapat memasarkan produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya sesuai dengan

skenario uji coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,

sampai dengan Bank Indonesia memberikan keputusan atas

permohonan izin dan/atau persetujuan yang telah disampaikan.

(5) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dan produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi

Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara

Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau

layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis

yang diujicobakan.

(6) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis-

nya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pemba-

yaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji

coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (3) kepada otoritas yang berwenang.

BAB VI

KEWAJIBAN IZIN SEBAGAI

PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN

Pasal 18

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori seba-

gai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh

izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indo-

nesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan

transaksi pembayaran.

(2) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran lainnya, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut

harus:

Page 332: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

307

a. berbentuk perseroan terbatas; dan

b. memenuhi aspek kelayakan sebagaimana tercantum dalam

Lampiran V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.

(3) Tata cara memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur

mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

BAB VII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19

(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu untuk

penetapan:

a. Penyelenggara Teknologi Finansial;

b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; dan/

atau

c. skenario uji coba, yang akan diujicobakan dalam Regula-

tory Sandbox.

(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada pertimbangan:

a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-

lenggaraan Teknologi Finansial; dan

b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk men-

dukung perekonomian nasional.

Pasal 20

(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait

pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini

disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran

c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat

di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai

4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.

(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan

komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indo-

nesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media

lainnya.

Page 333: Hukum Ekonomi Digital

308

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada

tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya

dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2017

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,

Ttd

SUGENG

Page 334: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

309

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR

NOMOR 19/14/PADG/2017

TENTANG

RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)

TEKNOLOGI FINANSIAL

I. UMUM

Bahwa perkembangan dan inovasi pada industri teknologi

keuangan perlu dimitigasi secara tepat dan memadai agar membe-

rikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian. Sehubungan

dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menciptakan rezim penga-

turan yang tepat agar mampu mendorong laju inovasi yang dilakukan

oleh Penyelenggara Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan

prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-

hatian.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu

dengan menerbitkan ketentuan mengenai ruang uji coba terbatas

(regulatory sandbox) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial beserta

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya dalam suatu

Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyele-

saian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh penye-

lenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem pemba-

yaran antara lain penggunaan QR code, teknologi block-

chain, atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer

dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile pay-

ments.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah Teknologi

Page 335: Hukum Ekonomi Digital

310

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau

teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian infor-

masi yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk

dan/atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat.

Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori

pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan

data perbandingan informasi produk atau layanan jasa

keuangan.

Huruf c

Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori

manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain

penyediaan produk investasi online dan asuransi online.

Huruf d

Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori

pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding),

dan penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-

to-peer lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana

berbasis teknologi informasi (crowd-funding).

Huruf e

Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah

Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran,

pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen

risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen

antara lain lebih murah, lebih mudah, dan/atau lebih

Page 336: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

311

cepat, sedangkan bermanfaat atau dapat memberi

manfaat bagi perekonomian misalnya membuka

lapangan kerja baru, memperlancar transaksi ekonomi,

dan/atau membawa efisiensi dalam transaksi ekonomi.

Huruf e

Bersifat noneksklusif dimaksudkan agar Penyelenggara

Teknologi Finansial terbuka terhadap kebijakan Bank In-

donesia terkait interkoneksi dan interoperabilitas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Hal lain yang dianggap penting antara lain rekam jejak

Penyelenggara Teknologi Finansial dalam proses uji coba

Regulatory Sandbox yang pernah diikuti, kepentingan

nasional, standar dan praktik internasional, kondisi ekosis-

tem teknologi finansial, dan optimalisasi interoperabilitas.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Page 337: Hukum Ekonomi Digital

312

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (3)

Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Techno-

logy Office yaitu [email protected].

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8Ayat (1)

Huruf aYang dimaksud dengan “criteria-based process” adalah

prinsip yang diterapkan dalam proses uji coba denganmemperhatikan pemenuhan kriteria yang ditetapkan Bank

Indonesia.Huruf b

Prinsip transparansi antara lain dilakukan melalui publi-kasi hasil Regulatory Sandbox secara berkala.

Huruf cYang dimaksud dengan “proporsionalitas” adalah Regu-latory Sandbox dilakukan dengan mempertimbangkanjenis, skala, dan risiko dari produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnis yang diuji coba.Huruf d

Cukup jelas.Huruf e

Cukup jelas.Huruf f

Yang dimaksud dengan “forward looking” adalah Regu-latory Sandbox selalu mempertimbangkan potensi

pengembangan ke depan agar lebih memberikan manfaatkepada masyarakat dan perekonomian.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Page 338: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

313

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Target yang akan dicapai mencakup target akhir dan

atau target antara selama jangka waktu uji coba.

Huruf d

Contoh batasan lainnya yaitu batasan penggunaan fitur

tertentu pada produk atau layanan selama dalam proses

uji coba.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai perseroan terbatas, perlindungan konsumen, dan

kewajiban penggunaan rupiah.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Permintaan perbaikan dapat disampaikan melalui surat

elektronik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Page 339: Hukum Ekonomi Digital

314

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 13

Huruf a

Penerapan prinsip perlindungan konsumen dituangkan antara

lain dalam perjanjian antara Penyelenggara Teknologi Finan-

sial dengan konsumen.

Huruf b

Informasi pelaksanaan uji coba antara lain berupa perkem-

bangan dan rencana tindak lanjut uji coba.

Huruf c

Khusus untuk ketentuan peraturan perundang-undangan

Bank Indonesia, kewajiban untuk menaatinya dapat disesuai-

kan dengan kebijakan Bank Indonesia.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Yang dimaksud dengan “pendampingan dan review” adalah

Bank Indonesia melakukan interaksi yang bersifat asistensi dan

advisory serta monitoring secara intensif dan reguler dengan

Penyelenggara Teknologi Finansial terkait produk, layanan,

teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan agar sejalan

dengan skenario uji coba yang disepakati serta sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bank Indonesia juga melakukan review atas kesiapan dan

keandalan sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial, pene-

rapan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan

kehati-hatian, dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam pelaksanaan pendampingan dan review, Bank Indone-

sia melakukan monitoring dan assessment terhadap laporan

pelaksanaan uji coba yang disampaikan Penyelenggara Tekno-

logi Finansial.

Pasal 16

Cukup jelas.

Page 340: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

315

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Keputusan Bank Indonesia terhadap permohonan izin dan/

atau persetujuan dapat berupa persetujuan atau penolakan

atas permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana

diatur antara lain dalam ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi

pembayaran.

Kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnis di luar skenario uji coba baru dapat dilakukan

oleh Penyelenggara Teknologi Finansial setelah Bank Indo-

nesia memberikan keputusan berupa persetujuan atas permo-

honan izin dan/atau persetujuan yang diajukan. Apabila

Bank Indonesia memberikan keputusan berupa penolakan

maka Penyelenggara Teknologi Finansial menghentikan

kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau

model bisnisnya.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “mengacu pada ketentuan Bank In-

donesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran” adalah penerapan tata

cara untuk memperoleh izin dilakukan dengan memper-

Page 341: Hukum Ekonomi Digital

316

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hatikan tingkat kesesuaian produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis Penyelenggara Teknologi Finansial dengan

jenis dan karakteristik jasa sistem pembayaran.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Page 342: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

317

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR

NOMOR 19/15/PADG/2017

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN

INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA

TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan

kebijakan mengenai penyelenggaraan teknologi

finansial untuk mendukung pelaksanaan tugas

Bank Indonesia di bidang moneter, stabilitas sistem

keuangan, dan sistem pembayaran sebagaimana

diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai

penyelenggaraan teknologi finansial;

b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah

dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia

mengenai penyelenggaraan teknologi finansial

dapat dilaksanakan dengan baik untuk mencapai

tujuan yang diharapkan maka diperlukan keten-

tuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi para

pihak yang menjadi penyelenggara teknologi

finansial;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-

tapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur

tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian

Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara

Teknologi Finansial.

Page 343: Hukum Ekonomi Digital

318

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016

tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi

Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indone-

sia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5945);

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017

tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6142);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR

TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN,

PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMAN-

TAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI

FINANSIAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud

dengan:

1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem

keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/

atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas

moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-

caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.

2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang

menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.

3. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan

ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-

struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.

4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara

jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-

tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.

Page 344: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

319

5. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang

aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta

produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.

6. Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial di Bank Indonesia

yang selanjutnya disebut Daftar Penyelenggara Teknologi

Finansial adalah daftar Penyelenggara Teknologi Finansial yang

dinyatakan telah terdaftar di Bank Indonesia.

BAB II

PENDAFTARAN

Bagian Kesatu

Pendaftaran dan Penyampaian Informasi

Pasal 2

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang:

a. akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi

kriteria Teknologi Finansial berupa:

1) bersifat inovatif;

2) dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi,

dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis;

3) dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;

4) dapat digunakan secara luas; dan

5) kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau

b. berada di bawah kewenangan otoritas lain yang menye-

lenggarakan Teknologi Finansial di bidang sistem pemba-

yaran, wajib mendaftar pada Bank Indonesia.

(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a dikecualikan bagi:

a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mem-

peroleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau

b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah

kewenangan otoritas lain.

Pasal 3

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang akan atau telah melakukan

kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus menyampaikan

Page 345: Hukum Ekonomi Digital

320

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis

baru kepada Bank Indonesia.

Bagian Kedua

Kelembagaan Penyelenggara Teknologi Finansial

Pasal 4

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 harus merupakan badan usaha.

(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga

selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial

tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum

Indonesia.

Bagian Ketiga

Tata Cara Pendaftaran

bagi Penyelenggara Teknologi Finansial

Pasal 5

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) menyampaikan permohonan pendaftaran

kepada Bank Indonesia.

(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditanda-

tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara

Teknologi Finansial.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga disertai

dengan pengisian dan pengiriman formulir pendaftaran.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-

ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.

(5) Format permohonan dan formulir pendaftaran sebagaimana

tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.

(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) seba-

gaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara

Teknologi Finansial mengajukan permohonan pendaftaran

melalui surat.

Page 346: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

321

Bagian Keempat

Dokumen Pendaftaran

Pasal 6

(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial

disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota

Dewan Gubernur ini.

(2) Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan kebenaran

atas seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai cukup

sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan

Gubernur ini.

(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanda-

tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara

Teknologi Finansial.

Bagian Kelima

Pemrosesan Pendaftaran

Pasal 7

(1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas

kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), serta memperhatikan

ketentuan peraturan perundangundangan.

(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa doku-

men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-

tahukan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial untuk

melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.

(3) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja

sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari Bank

Indonesia.

(4) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial tidak melengkapi

kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimak-

Page 347: Hukum Ekonomi Digital

322

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sud pada ayat (3) maka Penyelenggara Teknologi Finansial

dinyatakan membatalkan permohonan pendaftaran.

(5) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Tekno-

logi Finansial telah lengkap maka Bank Indonesia melakukan

penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen.

(6) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dokumen yang disampai-

kan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial tidak benar dan/

atau tidak sesuai termasuk jika permohonan yang diajukan tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Bank

Indonesia menolak permohonan pendaftaran.

(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dokumen telah dinyatakan

benar dan sesuai, Bank Indonesia mencantumkan Penyeleng-

gara Teknologi Finansial dalam Daftar Penyelenggara Teknologi

Finansial.

(8) Bank Indonesia menyampaikan hasil penelitian kebenaran dan

kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7)

kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.

Bagian Keenam

Publikasi dan Penghapusan

Penyelenggara Teknologi Finansial Terdaftar

Pasal 8

(1) Bank Indonesia memublikasikan Daftar Penyelenggara Tekno-

logi Finansial pada laman resmi Bank Indonesia.

(2) Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap Daftar

Penyelenggara Teknologi Finansial dalam laman resmi Bank

Indonesia.

Pasal 9

(1) Bank Indonesia dapat menghapus Penyelenggara Teknologi

Finansial dari Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial.

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dalam hal:

a. berdasarkan hasil pemantauan Bank Indonesia, produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sudah tidak

digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial;

Page 348: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

323

b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh izin

dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;

c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi oleh

Bank Indonesia dan/atau otoritas yang berwenang;

d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan

tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

e. terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari

otoritas berwenang;

f. permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi Finansial;

dan/atau

g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data

dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisi

sebenarnya.

Bagian Ketujuh

Tata Cara Penyampaian Informasi bagi Penyelenggara Teknologi

Finansial Berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

Pasal 10

(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 menyampaikan informasi mengenai produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru kepada Bank

Indonesia.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh

pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran.

(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

juga disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir penyam-

paian informasi.

(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-

ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.

(5) Format penyampaian informasi dan formulir penyampaian

informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota

Dewan Gubernur ini.

Page 349: Hukum Ekonomi Digital

324

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) seba-

gaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan informasi melalui surat.

Pasal 11

(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)

disampaikan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran V

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan

Anggota Dewan Gubernur ini.

(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan,

kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), serta memperhatikan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan bahwa doku-

men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-

tahukan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk

melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.

(4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari

kerja sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari

Bank Indonesia.

(5) Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak

melengkapi kekurangan dokumen sesuai pemberitahuan Bank

Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) maka Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat dikena-

kan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-

garaan pemrosesan transaksi pembayaran.

(6) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Jasa

Sistem Pembayaran telah lengkap maka Bank Indonesia mela-

kukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen.

(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen telah dinyatakan

benar dan sesuai, Bank Indonesia mencatat produk, layanan

teknologi, dan/atau model bisnis baru tersebut.

Page 350: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

325

BAB III

PRINSIP MANAJEMEN RISIKO DAN KEHATI-HATIAN

Pasal 12

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank

Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen risiko dan

kehati-hatian dalam menyelenggarakan Teknologi Finansial.

(2) Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berupa identifikasi, pengukuran, peman-

tauan, dan pengendalian yang paling sedikit dilakukan terhadap

kepengurusan, kebijakan dan prosedur, serta pengendalian

intern.

(3) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang

mencakup risiko keamanan informasi, risiko operasional, risiko

kepatuhan, dan risiko lainnya yang terkait dengan penyeleng-

garaan Teknologi Finansial.

(4) Penerapan manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kompleksitas produk,

layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari Penyelenggara

Teknologi Finansial.

BAB IV

PEMANTAUAN

Pasal 13

Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara

Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar Penyelenggara

Teknologi Finansial.

Pasal 14

(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 wajib menyampaikan data dan/atau informasi

yang diminta oleh Bank Indonesia.

(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa data dan/atau informasi:

a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang

disampaikan secara berkala;

b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;

c. kondisi keuangan;

d. kepengurusan dan kepemilikan; dan

e. data dan/atau informasi lain.

Page 351: Hukum Ekonomi Digital

326

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(3) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf a disampaikan secara bulanan yaitu pada minggu pertama

bulan berikutnya.

(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan secara tahunan yaitu

pada bulan pertama tahun berikutnya.

(5) Dalam hal terjadi perubahan data dan/atau informasi sebagai-

mana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d,

Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyampaikan

informasi perubahan data dan/atau informasi paling lama 10

(sepuluh) hari kerja sejak tanggal perubahan.

(6) Penyampaian data dan/atau informasi dilakukan secara daring

(online) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam

Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.

(7) Dalam hal sarana penyampaian data dan/atau informasi secara

daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum

tersedia, Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data

dan/atau informasi melalui surat atau surat elektronik.

BAB V

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 15

(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait

pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disam-

paikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q.

Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat di

Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai

4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.

(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komu-

nikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia

akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada

tanggal ditetapkan.

Page 352: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

327

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan

Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya

dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2017

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,

Ttd

SUGENG

Page 353: Hukum Ekonomi Digital

328

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

PENJELASANATAS

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNURNOMOR 19/15/PADG/2017

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI,DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI

FINANSIAL

I. UMUMKebijakan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-

garaan Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung pelaksanaantugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijak-an di bidang moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan dibidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, sertamenetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang sistem pem-bayaran.

Kebijakan yang terdiri dari pengaturan dan pemantauan terhadappenyelenggaraan Teknologi Finansial ini penting agar Bank Indone-sia dapat melakukan monitoring dan mitigasi risiko dari potensiberkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadoweconomy) serta untuk terus mendorong pengembangan ekosistemTeknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya olehmasyarakat dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen,manajemen risiko, dan kehati-hatian.

Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjutmengenai tata cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan peman-tauan Penyelenggara Teknologi Finansial agar terdapat pedomanyang jelas dalam rangka pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia

terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial tersebut.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Page 354: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

329

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Pihak yang berwenang mewakili penyelenggara TeknologiFinansial antara lain:

a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukumperseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yangmengatur mengenai perseroan terbatas; dan

b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukumkoperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturmengenai perkoperasian.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Surat tertulis diajukan kepada Departemen Kebijakan Sistem

Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology

Office.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Bagi permohonan yang dinyatakan batal, maka seluruh

Page 355: Hukum Ekonomi Digital

330

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dokumen milik Penyelenggara Teknologi Finansial yang

telah disampaikan tidak dikembalikan kepada Penye-

lenggara Teknologi Finansial.

Ayat (5)

Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian

dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian

atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/

atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara

Teknologi Finansial.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Termasuk dalam putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap antara lain putusan untuk menghentikan

kegiatan usaha.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Page 356: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

331

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian

dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian

atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/

atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Risiko lainnya termasuk namun tidak terbatas pada:

a. risiko keuangan;

b. risiko likuiditas;

c. risiko hukum;

d. risiko reputasi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 13

Dalam pelaksanaan pemantauan, Bank Indonesia dapat mela-

Page 357: Hukum Ekonomi Digital

332

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kukan kegiatan seperti peninjauan lapangan, diskusi, dan/atau

klarifikasi.

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Transaksi mencakup nilai, volume, dan/atau pengguna.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Termasuk kondisi keuangan adalah mengenai permodalan.

Huruf d

Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data

dan/atau informasi mengenai rencana perubahan modal

dan/atau kepemilikan serta realisasi perubahan modal

dan/atau kepemilikan dimaksud.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technol-

ogy Office yaitu [email protected].

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Page 358: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

333

OTORITAS JASA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 13 /POJK.02/2018

TENTANG

INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR JASA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa seiring kemajuan teknologi, inovasi

keuangan digital tidak dapat diabaikan dan perlu

dikelola agar dapat memberikan manfaat sebesar-

besarnya untuk kepentingan masyarakat;

b. bahwa inovasi keuangan digital perlu diarahkan

agar menghasilkan inovasi keuangan digital yang

bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlin-

dungan konsumen dan memiliki risiko yang

terkelola dengan baik;

c. bahwa berdasarkan pertimbangansebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-

tapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang

Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan;

Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

Page 359: Hukum Ekonomi Digital

334

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

TENTANG INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI

SEKTOR JASA KEUANGAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1. Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah

aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen

keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa

keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

2. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan

kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana

Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan

Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

3. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan

IKD.

4. Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan

proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola

Penyelenggara.

5. Ekosistem IKD adalah komunitas yang terdiri dari otoritas, Penye-

lenggara, konsumen, dan/atau pihak lain yang memanfaatkan

platform digital secara bersama untuk mendorong IKD yang

bermanfaat bagi masyarakat.

BAB II

TUJUAN, RUANG LINGKUP DAN KRITERIA IKD

Bagian Kesatu

Tujuan IKD

Pasal 2

(1) IKD dilaksanakan oleh Penyelenggara secara bertanggung

jawab.

(2) Pengaturan IKD dilakukan dengan tujuan untuk:

a. mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab;

b. mendukung pemantauan IKD yang efektif; dan

Page 360: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

335

c. mendorong sinergi di dalam ekosistem digital jasa

keuangan.

Bagian Kedua

Ruang Lingkupdan Kriteria IKD

Pasal 3

Ruang lingkup IKD meliputi:

a. penyelesaian transaksi;

b. penghimpunan modal;

c. pengelolaan investasi;

d. penghimpunan dan penyaluran dana;

e. perasuransian;

f. pendukung pasar;

g. pendukung keuangan digital lainnya; dan/atau

h. aktivitas jasa keuangan lainnya.

Pasal 4

Kriteria IKD meliputi:

a. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan;

b. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai

sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor

jasa keuangan;

c. mendukung inklusi dan literasi keuangan;

d. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas;

e. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada;

f. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan

g. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan

data.

BAB III

PENCATATAN

Bagian Kesatu

Bentuk Badan Hukum Penyelenggara

Pasal 5

(1) Penyelenggara terdiri dari:

a. Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau

b. pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Page 361: Hukum Ekonomi Digital

336

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(2) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.

(3) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

tidak diperkenankan mengelola portofolio atau exposure.

Bagian Kedua

Permohonan Pencatatan

Pasal 6

(1) Penyelenggara yang akan atau telah melakukan kegiatan dalam

ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan meme-

nuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menga-

jukan permohonan pencatatan kepada Otoritas Jasa Keuangan

dengan menggunakan formulir tercantum dalam Lampiran yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan ini.

(2) Kewajiban pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikecualikan bagi Penyelenggara yang telah terdaftar dan/atau

telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencatatan atas permohonan

pencatatan yang diajukan oleh Penyelenggara dengan memper-

timbangkan kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh

Penyelenggara meliputi:

a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta

identitas kelengkapan data pengurus;

b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;

c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan

IKD; dan

d. rencana bisnis.

(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem

pencatatan secara elektronik untuk pencatatan IKD maka

permohonan pencatatan disampaikan kepada Otoritas Jasa

Keuangan secara elektronik melalui sistem pencatatan Otoritas

Jasa Keuangan.

Page 362: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

337

BAB IV

REGULATORY SANDBOX

Bagian Kesatu

Prinsip Dasar Regulatory Sandbox

Pasal 7

(1) Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan Regulatory Sand-

box untuk memastikan IKD memenuhi kriteria sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4.

(2) Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox

dapat memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk

dikecualikan sementara dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

tertentu.

(3) Pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dilakukan sepanjang memenuhi hal sebagai berikut:

a. selama Penyelenggara berada di dalam Regulatory Sand-

box;

b. mendapat persetujuan satuan kerja pengawas terkait di

Otoritas Jasa Keuangan; dan

c. pengecualian sementara hanya berlaku terhadap Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan yang bersifat non prudensial.

Bagian Kedua

Persyaratan Penyelenggara

sebagai Peserta Regulatory Sandbox

Pasal 8

(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Penyelenggara untuk diuji

coba dalam Regulatory Sandbox.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

terhadap Penyelenggara yang memenuhi persyaratan paling

sedikit:

a. tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berda-

sarkan surat permohonan yang diajukan satuan kerja penga-

was terkait di Otoritas Jasa Keuangan;

b. merupakan bisnis model yang baru;

c. memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas;

d. terdaftar di asosiasi Penyelenggara; dan

e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Page 363: Hukum Ekonomi Digital

338

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bagian Ketiga

Penyelenggaraan Regulatory Sandbox

Pasal 9

Regulatory Sandbox dilaksanakan dalam jangka waktu paling

lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan

apabila diperlukan.

Pasal 10

Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara wajib

memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki;

b. berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan

dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox;

c. mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk

pengembangan bisnis sektor jasa keuangan;

d. mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan

otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan

e. berkolaborasi dengan Lembaga Jasa Keuangan atau pihak yang

melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Pasal 11

(1) Hasil Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara dinyatakan

dengan status:

a. direkomendasikan;

b. perbaikan; atau

c. tidak direkomendasikan.

(2) Dalam hal Penyelenggara berstatus direkomendasikan sebagai-

mana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan

akan memberikan rekomendasi pendaftaran sesuai dengan

aktivitas usaha dari Penyelenggara.

(3) Dalam hal hasil uji coba berstatus perbaikan, Otoritas Jasa

Keuangan dapat memberikan perpanjangan waktu dengan

jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pene-

tapan status.

(4) Dalam hal hasil uji coba berstatus tidak direkomendasikan,

Penyelenggara tidak dapat mengajukan kembali IKD yang sama.

(5) Penyelenggara yang berstatus tidak direkomendasikan sebagai-

mana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan dari pencatatan

sebagai Penyelenggara.

Page 364: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

339

Pasal 12

(1) Dalam hal hasil uji coba menunjukkan keterkaitan dengan

kewenangan otoritas lain, Otoritas Jasa Keuangan akan

berkoordinasi dengan otoritas tersebut.

(2) Dalam pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara dapat

berkoordinasi dengan Lembaga Jasa Keuangan dan pihak terkait

lainnya dengan tetap berada di bawah koordinasi Otoritas Jasa

Keuangan.

(3) Peraturan pelaksanaan terkait tata cara pelaksanaan Regula-

tory Sandbox diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan.

Bagian Keempat

Keterbukaan Informasi

Pasal 13

(1) Penyelenggara wajib mengungkapkan informasi penting dan

relevan selama pelaksanaan uji coba di Regulatory Sandbox

serta menyampaikannya kepada satuan kerja yang membidangi

penelitian dan pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi tambahan

kepada Penyelenggara selama pelaksanaan Regulatory Sand-

box.

BAB V

PENDAFTARAN

Pasal 14

(1) Penyelenggara yang berstatus direkomendasikan berhak menga-

jukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan

Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki

hak yang sama untuk mengajukan permohonan pendaftaran

kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Penyelenggara harus mengajukan permohonan pendaftaran

kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan

sejak penetapan status direkomendasikan.

(4) Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan

pendaftaran hingga melewati batas waktu pendaftaran yang

diberikan maka status rekomendasi pendaftaran dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

Page 365: Hukum Ekonomi Digital

340

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat tanda bukti terdaftar

bagi Penyelenggara yang telah menyelesaikan proses pendaf-

taran.

(6) Penyelenggara yang bukan merupakan Lembaga Jasa Keuangan

dan sudah memiliki status terdaftar dapat mencantumkan nomor

tanda bukti terdaftar dalam setiap penawaran atau promosi

produk atau layanannya.

(7) Penyelenggara dengan status direkomendasikan yang telah

mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan namun

tidak dapat memenuhi ketentuan pendaftaran hingga akhir

jangka waktu yang diberikan, status direkomendasikan dan pen-

catatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15

(1) Penyelenggara mengajukan permohonan pendaftaran dengan

disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(3) sepanjang terdapat perubahan atas dokumen dimaksud.

(2) Persetujuan atas permohonan pendaftaran dilakukan dalam

jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen

permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterima secara lengkap.

Pasal 16

Dalam hal Penyelenggara yang menerima status perbaikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b namun tidak

melakukan perbaikan yang memadai hingga perpanjangan waktu

berakhir maka status hasil uji coba Regulatory Sandbox akan diubah

menjadi berstatus tidak direkomendasikan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c.

BAB VI

PEMANTAUAN

Pasal 17

(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemantauan

terhadap Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di

Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Untuk melengkapi mekanisme pemantauan oleh Otoritas Jasa

Keuangan, Penyelenggara diwajibkan untuk menerapkan prinsip

pemantauan secara mandiri.

Page 366: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

341

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

pemantauan atas laporan self assessment, pemantauan on-site,

dan/atau metode pemantauan lainnya.

(4) Peraturan pelaksanaan terkait pedoman pemantauan Otoritas

Jasa Keuangan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan.

Bagian Kesatu

Prinsip Pemantauan Secara Mandiri

Pasal 18

(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pemantauan secara

mandiri paling sedikit meliputi:

a. prinsip tata kelola teknologi informasi dan komunikasi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan ini;

c. edukasi dan sosialisasi kepada konsumen;

d. kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk

data dan/atau informasi transaksi;

e. prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian;

f. prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan

terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan

g. inklusif dan prinsip keterbukaan informasi.

(2) Untuk melaksanakan pemantauan, Penyelenggara wajib

menginventarisasi risiko utama yang paling sedikit mencakup:

a. risiko strategis;

b. risiko operasional sistemik;

c. risiko operasional individual;

d. risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme;

e. risiko perlindungan data konsumen;

f. risiko penggunaan jasa pihak ketiga;

g. risiko siber; dan

h. risiko likuiditas.

Pasal 19

Penyelenggara wajib memiliki perangkat yang dapat mening-

katkan efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang akan

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Page 367: Hukum Ekonomi Digital

342

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bagian KeduaPemantauan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pihak Lain

Pasal 20Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemantauan terhadap Penye-

lenggara.

Pasal 21(1) Penyelenggara membentuk asosiasi Penyelenggara.

(2) Penyelenggara yang tercatat atau terdaftar untuk menjalani uji

coba di Regulatory Sandbox menjadi anggota asosiasi yang

ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menetapkanstandar dengan mempergunakan pendekatan disiplin pasar yang

berlaku bagi anggotanya yang paling sedikit meliputi:a. merumuskan aturan operasi, standar industri dan kode etik,

sesuai dengan jenis bisnis yang berbeda;b. menerima dan meneruskan laporan serta menerima

keluhan;c. menyusun statistik keuangan dan memantau risiko serta

penelitian tentangisumakrodanmikrokeuangan;d. menjadi penghubung antara Otoritas Jasa Keuangan dan

Penyelenggara untuk meningkatkan dukungan pengaturandan pertukaran informasi;

e. menetapkan mekanisme pengaturan diri dan sanksi ataspelanggaran anggota terhadap aturan dan kode etik; dan

f. melaksanakan pendidikan, pelatihan, dan perlindungankonsumen serta kerjasama domestik dan internasional.

(4) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu padastandar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(5) Peraturan pelaksanaan terkait penunjukan AsosiasiPenyelenggara diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan.

Pasal 22(1) Pengawasan IKD mencakup prinsip:

a. pengawasan berbasis risiko dan teknologi; dan

b. pengawasan berbasis disiplin pasar.

(2) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pengawasan berbasis

risiko dan teknologi terhadap IKD.

Page 368: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

343

(3) Prinsip pengawasan berbasis risiko dan teknologi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a. pendekatan yang berimbang antara aspek prudensial

dengan dukungan terhadap inovasi;

b. kolaboratif dengan otoritas dan lembaga lain dalam mela-

kukan pengawasan, pengaturan, serta penentuan standar

pada layanan keuangan digital;

c. menekankan pada aspek tata kelola dan manajemen risiko

yang handal dalam memanfaatkan teknologi dan mengen-

dalikan ekosistem digitalnya; dan

d. meneliti penerapan proses yang baik terkait pengenalan

konsumen, manajemen risiko, dan pengawasan operasional

yang dilaksanakan oleh pihak ketiga.

(4) Pengawasan berbasis disiplin pasar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b harus memperhatikan:

a. standar profesi dan etika pasar;

b. transparansi produk dan layanan;

c. pasar yang kompetitif dan inklusif;

d. kesesuaian dengan kebutuhan konsumen;

e. penanganan mekanisme keluhan yang segera;

f. aspek keamanan dan kerahasiaan data konsumen dan

transaksi;

g. aspek kepatuhan terhadap peraturan;

h. aspek standar dan keamanan platform;

i. aspek tata kelola teknologi informasi;

j. risiko pasar;

k. risiko counter-party dan clearing agency;

l. aspek edukasi online; dan

m. aspek sertifikat elektronik.

BAB VIIPELAPORAN

Pasal 23Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox

wajib menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan

kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Page 369: Hukum Ekonomi Digital

344

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 24Penyelenggara yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan

wajib menyusun laporan risk self assessment secara bulanan serta

menyampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 25

Selain memberikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24, Penyelenggara wajib melakukan pelaporan kepada konsumen

terkait hal yang berhubungan dengan kinerja investasi, nilai investasi,

dan/atau portofolio yang dimiliki para konsumen.

Pasal 26

Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal

25 wajib memberikan hak akses kepada Otoritas Jasa Keuangan

atas pelaporan.

Pasal 27

Untuk mengolah laporan risk self assessment, Otoritas Jasa

Keuangan berwenang memanggil atau meminta keterangan tambahan

dari Penyelenggara.

BAB VIII

TATA KELOLA

Pasal 28

(1) Penyelenggara wajib memiliki rencana strategis sistem elek-

tronik yang mendukung rencana bisnis Penyelenggara.

(2) Penyelenggara wajib menyusun kebijakan, prosedur, dan standar

yang paling sedikit meliputi aspek:

a. strategi bisnis;

b. perlindungan konsumen;

c. risiko, dan permodalan;

d. pengembangan sumber daya manusia;

e. pengembangan dan perencanaan produk dan layanan;

f. operasional teknologi informasi;

g. jaringan komunikasi;

h. pengamanan informasi;

i. rencana pemulihan bencana;

j. layanan pengguna; dan

k. penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi.

Page 370: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

345

(3) Penyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia yang memi-

liki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi infor-

masi dan keuangan.

(4) Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di Otoritas Jasa

Keuangan wajib mengajukan permohonan pencatatan kepada

Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat perubahan terkait model

bisnis, proses bisnis, kelembagaan, dan operasional IKD yang

dimiliki.

BAB IX

PUSAT DATA

Pasal 29

Penyelenggara wajib menempatkan pusat data dan pusat

pemulihan bencana di wilayah Indonesia.

BAB X

PERLINDUNGAN DAN KERAHASIAAN DATAPasal 30

(1) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan keter-

sediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang

dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimus-

nahkan.

(2) Ketentuan pemanfaatan data dan informasi pengguna yang

diperoleh Penyelenggara harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. memperoleh persetujuan dari pengguna;

b. menyampaikan batasan pemanfaatan data dan informasi

kepada pengguna;c. menyampaikan setiap perubahan tujuan pemanfaatan data

dan informasi kepada pengguna dalam hal terdapat peru-

bahan tujuan pemanfaatan data dan informasi; dan

d. media dan metode yang dipergunakan dalam memperoleh

data dan informasi terjamin kerahasiaan, keamanan, serta

keutuhannya.

BAB XI

EDUKASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 31

(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan

konsumen yaitu:

Page 371: Hukum Ekonomi Digital

346

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil;

c. keandalan;

d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen; dan

e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsu-

men secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

(2) Penyelenggara wajib menyediakan pusat pelayanan konsumen

berbasis teknologi.

(3) Pusat pelayanan konsumen berbasis teknologi paling sedikit

terdiri atas penyediaan pusat layanan konsumen yang dapat

dilaksanaan sendiri atau melalui pihak lain.

Pasal 32

(1) Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan

informasi terkini kepada Otoritas Jasa Keuangan dan konsumen

mengenai aktivitas layanan keuangan digital.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai

alat bukti.

Pasal 33

(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada kon-

sumen tentang penerimaan, penundaan, atau penolakan permo-

honan layanan keuangan digital.

(2) Dalam hal Penyelenggara menyampaikan informasi penundaan

atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-

lenggara wajib menyampaikan alasan penundaan atau

penolakan.

Pasal 34

Penyelenggara wajib melaksanakan kegiatan untuk mening-

katkan literasi dan inklusi keuangan.

BAB XII

ASPEK KEPATUHAN LAINNYA

Pasal 35

Penyelenggara yang terdaftar wajib menerapkan program anti

pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa

Page 372: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

347

keuangan terhadap konsumen sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan

pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan.

BAB XIII

KOORDINASI DAN KERJA SAMA

Bagian Kesatu

Pusat IKD

Pasal 36

Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dan/atau

kerja sama untuk menciptakan pusat IKD dengan:

a. otoritas lain di dalam negeri;

b. pemerintah pusat dan daerah;

c. asosiasi financial technology dan pusat inovasi di luar Otoritas

Jasa Keuangan;

d. pakar dan akademisi; dan/atau

e. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau lem-

baga internasional.

Bagian Kedua

Ekosistem IKD

Pasal 37

(1) Penyelenggara yang telah tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas

Jasa Keuangan dapat bekerja sama dengan Lembaga Jasa

Keuangan untuk menciptakan sinergi ekosistem IKD.

(2) Penyelenggara harus berperan dalam menciptakan ekosistem

digital jasa keuangan dan menyelaraskan layanan digital yang

saling mendukung di Indonesia.

BAB XIV

LARANGAN

Pasal 38

(1) Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi

mengenai konsumen kepada pihak ketiga.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan

dalam hal:

a. konsumen memberikan persetujuan secara elektronik; dan/

atau

Page 373: Hukum Ekonomi Digital

348

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. Penyelenggara diwajibkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan untuk memberikan data dan/atau

informasi mengenai konsumen kepada pihak ketiga.

(3) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas

pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik oleh konsumen

dalam bentuk dokumen elektronik.

BAB XV

KETENTUAN SANKSI

Pasal 39

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di sektor jasa

keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan

sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan

pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,

termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran

tersebut berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang

tertentu;

c. pembatalan persetujuan; dan/atau

d. pembatalan pendaftaran.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b sampai dengan huruf d dapat dikenakan dengan atau tanpa

didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan

tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara

bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagai-

mana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.

Pasal 40

Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal

39, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu

terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Page 374: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

349

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

(1) Perjanjian kerja sama antara Lembaga Jasa Keuangan dengan

Penyelenggara yang belum tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas

Jasa Keuangan tetap dapat dilanjutkan dalam jangka waktu

paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan ini diundangkan.

(2) Dalam hal persyaratan pendaftaran Penyelenggara yang telah

diberikan status direkomendasikan belum diatur, Penyelenggara

tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan pendaftaran

dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:

a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta

identitas kelengkapan data pengurus;

b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;

c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan

IKD; dan

d. rencana bisnis.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Ketentuan mengenai kewajiban pencatatan mulai berlaku 1 (satu)

bulan terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini

diundangkan.

Pasal 43

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-

dangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 375: Hukum Ekonomi Digital

350

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 15 Agustus 2018

KETUA DEWAN KOMISIONER

OTORITAS JASA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIMBOH SANTOSO

Diundangkandi Jakarta

pada tanggal 16 Agustus 2018

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018

NOMOR135

Salinan ini sesuai dengan aslinya

Direktur Hukum 1

Departemen Hukum

ttd

Yuliana

Page 376: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

351

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 13 /POJK.02/2018

TENTANG

INOVASI KEUANGAN DIGITAL

DI SEKTOR JASA KEUANGAN

I. UMUM

IKD berperan penting dalam mendukung pelayanan jasa

keuangan yang lebih cepat, murah, mudah, dan luas sehingga dapat

menjangkau daerah terpencil dalam rangka mempersempit disparitas

ekonomi yang tinggi antar wilayah.

Kehadiran teknologi lainnya juga mendukungterciptanya

layanan jasa keuangan yang lebih efisien dan sesuai dengan kebu-

tuhan masyarakat. Peranan jasa keuangan dengan biaya operasional

murah dan dalam skala kecil sangat tepat untuk melayani segmen

mikro, kecil dan menengah.

Inovasi memiliki dua sisiyaitu sisi yang memberikan manfaat

atausisi yangberpotensi mendisrupsi layanan jasa keuangan tradi-

sional. Efek disrupsi yang akan terjadi dapat menimbulkan ketidak-

stabilan sektor keuangan dan persaingan yang tidak sehat.

Dalam rangka meminimalisasi dampak negatif inovasi maka

inovasi perlu diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-

besarnya bagi masyarakat serta mengedepankan tata kelola yang

baik agar tercipta perlindungan konsumen. Selain itu diperlukan

sinergi antara lembaga jasa keuangan dengan IKD non Lembaga

Jasa Keuangan agar menciptakan sinergi dan meminimalisir

kompetisi.

Inovasi perlu ditumbuhkembangkan melalui pembangunan

ekosistem keuangan digital yang mendukung ekosistem dimaksud

dengan melibatkan banyak unsur yang saling berinteraksi untuk

mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit), termasuk otoritas

terkait. Pelaksanaan koordinasi antar pelaku di dalam ekosistem,

akan difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Pusat

IKD (fintech center).

Page 377: Hukum Ekonomi Digital

352

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Selain itu, untuk usaha penumbuhkembangan IKD perlu dilaku-

kan pula melalui pendekatan pemantauan berdasarkan aktivitas (ac-

tivity-basedsupervision) dan pendekatan berdasarkan kelembagaan

(institution-based supervision).

Pengaturan dan pemantauan IKD menerapkan prinsip berimbang

antara prinsip perlindungan konsumen dan kehati-hatian dengan

inovasi dan kompetisi. Prinsip ini dilaksanakan dalam bentuk penga-

turan dan pemantauan oleh para pelaku pasar sendiri (disiplin pasar).

Otoritas menetapkan pengaturan berbasis prinsip (principle based

regulations) yang mengatur pokokregulasi sebagai acuan bagi industri

untuk merumuskan lebih rinci peraturan pelaksanaan atau standar

operasional untuk bisnisnya. Para pelaku pasar diminta untuk mela-

kukan pendalaman terhadap prinsip pengaturan tersebut melalui

penentuan standar operasional secara rinci disesuaikan dengan

dinamika pasar, teknologi, dan perlindungan konsumen untuk men-

jaga integritas dan efektifitas. Penyelenggara perlu membentuk

lembaga tertentu untuk penetapan standar terkait aspek operasional,

conduct business, dan etika bisnis yang diakui dan dilaksanakan

bersama oleh para anggotanya. Lembaga dimaksud berkoordinasi

secara intensif dengan Otoritas Jasa Keuanganagar pengawasan

terhadap IKD berjalan secara optimal.

Sebagai sarana untuk mempertemukan para pelaku industri

dengan regulator dibentuk Regulatory Sandbox. Melalui forum

tersebut akan dilakukan identifikasi dan observasi oleh otoritas

terhadap dinamika dan risiko layanan jasa keuangan digital pasar.

Denganpemahaman terhadap model bisnis baru, otoritas dapat

menentukan upaya mitigasi demi menjaga stabilitas sistem keuangan.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan hal sebagaimana

disebutkan di atas maka perlu untuk melakukan pembentukan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Inovasi Keuangan Digi-

tal di Sektor Jasa Keuangan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Page 378: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

353

Pasal 2

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “secara bertanggung jawab” adalah

penggunaan baru atau yang lebih baik atas produk, layanan,

dan proses keuangan yang telah ada untuk memenuhi kebu-

tuhan konsumen, dunia usaha, dan masyarakat yang terus

berkembang dengan cara antara lain:

a. menerapkan prinsip tata kelola dan manajemenrisiko yang

baik;

b. selaras dengan strategi bisnis secara keseluruhan;

c. bermanfaat bagi masyarakat luas;

d. mengutamakan perlindungan konsumen dan kerahasiaan

data; dan

e. mendukung inklusi dan literasi keuangan.

Ayat (2)

Inovasi berbeda dengan penyempurnaan proses bisnis karena

inovasi tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penjualan produk dan layanan keuangan namun mencip-

takan nilai tambah baru.

Lingkup pengaturan ini hanya mencakup IKD yang meng-

gunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “mendukung pemantauan IKD

yang efektif” adalah pengembangan IKD oleh Penye-

lenggara harus disertai dengan pemantauan berbasis risiko

yang memperhatikan tata kelola dan manajemen risiko

dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, kewajaran,

persaingan yang sehat, transparansi, dan perlindungan

konsumen.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “mendorong sinergi di dalam

ekosistem digital jasa keuangan” adalah Ekosistem IKD

diharapkan mampu menumbuh-kembangkan inovasi di

bidang jasa keuangan agar lebih efisien dan mening-

katkan kepuasan konsumen. Ekosistem digital jasa

Page 379: Hukum Ekonomi Digital

354

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

keuangan terdiri dari otoritas, lembaga keuangan, akse-

lerator, Penyelenggara, fasilitator, inkubator, pengem-

bang kapasitas, teknologi digital, wirausaha, dan konsu-

men yang berinteraksi untuk mendukung pertumbuhan

ekonomi melalui pemanfaatan bakat, pakar, dan pemer-

hati yang berkecimpung di bidang ekonomi kreatif.

Pasal 3

Huruf a

Dalam praktiknya penyelesaian transaksi biasa disebut juga

dengan settlement. Penyelesaian transaksi antara lain terkait

penyelesaian investasi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “penghimpunan modal”antara

lainequity crowdfunding, virtual exchange and

smartcontract, serta alternative due diligence.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pengelolaan investasi”antara lain

advance algorithm, cloud computing, capabilities sharing,

open source information technology, automated advice and

management, social trading, dan retail algorithmic trading.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “penghimpunan dan penyaluran

dana”antara lainpinjam meminjam berbasis aplikasi

teknologi (P2P lending), alternative adjudication, virtual

technologies, mobile 3.0, dan third-partyapplication pro-

gramming interface.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “perasuransian” antara lain sharing

economy, autonomous vehicle, digital distribution, dan

securitization and hedge fund.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” antara lain artifial

inteligence/machine learning, machine readble news,

socialsentiment, big data, market information platform,

danautomated data collection and analysis.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “pendukung keuangan digital

Page 380: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

355

lainnya” antara lain social/eco crowd funding, Islamic digi-

tal financing, e-waqf, e-zakat, robo advisedan credit scor-

ing.

Huruf h

Yang dimaksuddengan “aktivitas jasa keuangan lainnya”

antara lain invoice trading, voucher, token, dan produk

berbasis aplikasi blockchain.

Pasal 4

Penilaian awal kriteria atas potensi inovasi bagi Lembaga Jasa

Keuangan dilakukan oleh satuan kerja pengawas terkait di

Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan untuk Penyelenggara selain

Lembaga Jasa Keuangan melalui prosedur pencatatan kepada

satuan kerja yang membawahkan penelitian dan

pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “tidak diperkenankan mengelola

portofolio atau exposure” adalah Penyelenggara hanya

menyediakan platform untuk memfasilitasi transaksi dan

layanan jasa keuangan.

Pasal 6

Ayat (1)

Permohonan pencatatan yang dilakukan oleh Penyelenggara

merupakan syarat bagi Penyelenggara untuk dapat

mengikuti proses Regulatory Sandbox.

Permohonan pencatatan oleh Penyelenggara selain Lembaga

Jasa Keuangan disampaikan oleh direksi kepada satuan kerja

yang membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di

Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir

tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Page 381: Hukum Ekonomi Digital

356

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (2)

Permohonan pencatatan bagi Lembaga Jasa Keuangan yang

menyelenggarakan IKD untuk masuk ke dalam pengujian

Regulatory Sandbox disampaikan oleh Lembaga Jasa

Keuangan kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas

Jasa Keuangan dengan tembusan kepada satuan kerja yang

membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di

Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir

sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan ini.

Ayat(3)

Cukup jelas.

Ayat(4)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukupjelas.

Pasal 8

Ayat(1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Penyelenggara berbentuk selain Lembaga Jasa Keuangan

yang telah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan tidak perlu

mengajukan kembali surat permohonan untuk

diikutsertakan dalam Regulatory Sandbox.

Permohonan bagi Penyelenggara berbentuk Lembaga

Jasa Keuangan berbeda dengan permohonan pencatatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Permohonan yang

dimaksud adalah permohonan yang diajukan oleh satuan

kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan kepada

satuan kerja yang membawahkan penelitian dan

pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan agar

inovasi Lembaga Jasa Keuangan dapat masuk ke dalam

pengujian Regulatory Sandbox.

Page 382: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

357

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “otoritas lain” adalah lembaga peme-

rintah, otoritas, ahli, asosiasi, dan organisasi lainnya di sektor

jasa keuangan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk

mendukung pelaksanaan Regulatory Sandbox dan

pengembangan IKD.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Ayat(3)

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “informasi penting dan relevan”

antara lain insiden serangan siber.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Pasal14

Ayat (1)

Permohonan pendaftaran dilakukan oleh Penyelenggara

kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa

Keuangan.

Page 383: Hukum Ekonomi Digital

358

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat(2)

Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan

Penyelenggara yang dimaksud pada ayat (1) meliputi Penye-

lenggara yang telah tercatat maupun belum tercatat di

Otoritas Jasa Keuangan namun memiliki jenis IKD yang sama

dengan Penyelenggara yang telah diberikan status

direkomendasikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Materi sosialisasi yang diberikan kepada konsumen pal-

ing sedikit terkait risiko dari IKD.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Page 384: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

359

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Pasal 19

Perangkat yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan

perlu dilaksanakan dengan membentuk unit khusus (regulatory

technology) yang berada di dalam Penyelenggara IKD. Unit

tersebut dapat bekerja sama dengan pihak lain (termasuk kerja

sama dengan IKDatau asosiasi) dan tetap menjaga kerahasiaan

data dan informasi.

Cakupan dari regulatory technology paling sedikit meliputi

aspek:

a. kepatuhanadalah tindakanuntuk memberikan notifikasi

otomatis terkait perubahan aturan baik di level nasional dan

global;

b. kontrol dan manajemen identitas adalah dalam rangka

pelaksanaan know your customer principledan anti pencu-

cian uang dan pencegahan pendanaan terorisme;

c. manajemen risikoadalah perangkat yang memungkinkan

pelaporan risiko berdasarkan transaksi, risiko konsolidasi, dan

pelaporan internal risiko termasuk pemantauan limit risiko;

d. pelaporanadalah pelaporan secara otomatis yang terintegrasi

yang dilaksanakan secara efisien, sederhana, dan mening-

katkan akurasi pelaporan;

e. pemantauan transaksi adalah perangkat yang memung-

kinkan dilakukannya monitoring dan auditing terhadap

transaksi untuk menghindari fraud dan pelanggaran risiko;

dan

f. sistem otomasi transaksi adalah sistem yang meliputi perhi-

tungan margin, fee, imbal hasil yang sesuai dengan perjan-

jian, serta tidak melanggar business conduct.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Page 385: Hukum Ekonomi Digital

360

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 22

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemantauan berbasis risiko dan

teknologi”adalah pemantauan terhadap Penyelenggara

yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangandengan

mempergunakan teknologi (supervisory technology).

Pemantauan dimaksud ditujukan untuk meningkatkan

efektifitas dan efisiensi pemantauan terhadap Penyeleng-

gara terkait aspek kepatuhan terhadap aturan yang

berlaku.

Ruang lingkup pemantauan antara lain:

a. data-input approachadalahpelaporan elektronik

dengan menggunakan paket data dengan

formatstandar;

b. data-pull approach adalah pelaporan dalam format

data mentah;

c. real-time accessadalah akses yang memungkinkan

dilakukan pemantauan setiap saat;

d. reporting utilities adalah perangkat yang meng-

hasilkan pelaporan secara elektronik;

e. gathering intelligence from unstructured dataadalah

pengumpulan dan analisis data yang tidak terstruktur

misalnya sosial media, materi sosialisasi, perjanjian

dengan konsumen, dan sebagainya; dan

f. regulatory submission and data quality management

adalah perangkat yang memungkinkan melakukan

pengiriman laporan beserta validasi dan pengendalian

kualitas data yang dilaporkan.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pendekatan yang berimbang

antara aspek prudensial dengan dukungan terhadap

inovasi” merupakan kewenangan yang dimiliki Otoritas

Page 386: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

361

Jasa Keuangan untuk melakukan tindakan tertentu

terhadap Penyelenggara dalam kondisi tertentu, dengan

mempertimbangkan antara lain aspek skala usaha dan

dampak sistemik.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 23

Laporan kinerja berkala secara triwulanan disampaikan kepada

satuan kerja yang membidangi penelitian dan pengembangan

IKD di Otoritas Jasa Keuangan.

Penyelenggara berbentuk Lembaga Jasa Keuangan menyam-

paikan inovasi produk atau layanan yang diuji coba melalui

Regulatory Sandbox secara terpisah dan dibedakan dengan

pelaporan aktivitas Lembaga Jasa Keuangan secara keseluruhan

yang dilaporkan ke satuan kerja pengawas terkait di Otoritas

Jasa Keuangan.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 387: Hukum Ekonomi Digital

362

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (4)

Setiapinovasi selalu membawa dampak dan risiko sehingga

jika terdapat perubahan terkait model bisnis, proses bisnis,

dan lain-lain atas IKD yang telah tercatat dan terdaftar di

Otoritas Jasa Keuangan maka Penyelenggara mencatatkan

ulang perubahan IKD dan mengikuti kembali uji coba Regu-

latory Sandbox.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Standar minimum perlindungan konsumen mengacu kepada

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,

namun demikian prinsip perlindungan konsumen tetap

mengacu kepada setiap perubahan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan mengenai perlindungan konsumen.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat(3)

Cakupan dari pusat pelayanankonsumenberbasis teknologi

(customer service tech) antara lainmeliputi:

a. saluran komunikasi multikanal adalah penyampaian

keluhan dengan berbagai media baik media suara,

elektronik, maupun sosial;

b. knowledge management adalah proses identifikasi, pem-

buatan, penelaahan, publikasi, dan penyediaan konten

multimedia yang memungkinkan dilaksanakannya

penjelasan kepada konsumen melalui web self service;

c. aplikasi pencatat keluhan adalah aplikasi dimaksud

selain menghasilkan data keluhan konsumen yang dapat

dianalisis, juga dimungkinkan untuk melakukan komuni-

kasi antar konsumen;

d. customer service analytics adalah pelayanan konsumen

Page 388: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

363

dapat optimal sesuai dengan permasalahan yang

disampaikan; dan

e. data produktivitas agen adalah pencatatan terhadap

aktivitas agen dalam menangani keluhan konsumen dan

kecepatan dalam menangani keluhan sesuai dengan

kebijakan internal Penyelenggara.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Pusat IKD merupakan sarana komunikasi dalam mengiden-

tifikasi, membina, mengawasi seluruh Penyelenggara, dan

menjamin perlindungan konsumen di Indonesia. Dengan adanya

Pusat IKD diharapkan dapat memudahkan koordinasi dan

kolaborasi antara otoritas terkait dan Penyelenggara.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pusat inovasi merupakan wadah inovasi dan pengembangan

IKD yang berperan untuk memberikan rekomendasi dan

masukan terhadap ekosistem digital industri jasa keuangan.

Dalam praktiknya pusat inovasi di luar Otoritas Jasa

Keuangan biasa disebut juga dengan innovation hub.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Page 389: Hukum Ekonomi Digital

364

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal43

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 6238

Page 390: Hukum Ekonomi Digital

LAMPIRAN

365

LAMPIRAN

PERATURANOTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR13 /POJK.02/2018

TENTANG

INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR

JASA KEUANGAN FORMULIR PERMOHONAN

PENCATATAN PENYELENGGARA

Nomor : .......................... ....., ........... 20 ...

Lampiran : ..........................

Perihal : Permohonan Pencatatan

Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital

Kepada

Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

u.p. Deputi Komisioner OJK Institute

Menunjuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.01/

2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan,

bersama ini kami mengajukan permohonan pencatatan

Penyelenggara atas nama .......

Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami

sampaikan dokumen sebagai berikut:

a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut

perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh

instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi

yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan;

b. bukti identitas kelengkapan data pengurus;

c. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;

d. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan IKD;

dan

e. rencana bisnis.

Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu**),

kami mengucapkan terima kasih.

Page 391: Hukum Ekonomi Digital

366

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Hormat Kami,

Direksi ...............

Meterai

Rp.6000,-

..................................

(Nama jelas dan tanda tangan)

**) Coret yang tidak perlu

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 15 Agustus 2018

KETUA DEWAN KOMISIONER

OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

WIMBOH SANTOSO

Salinan ini sesuai dengan aslinya

Direktur Hukum 1

Departemen Hukum

ttd

Yuliana

Page 392: Hukum Ekonomi Digital