Hukum dan politik agraria kolonial
-
Upload
indra-wijaya -
Category
Education
-
view
9.313 -
download
11
description
Transcript of Hukum dan politik agraria kolonial
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
A. Hukum Agraria Kolonial
Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya
hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, di samping peraturan-peraturan dari
dan berdasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme itu meliputi bidang,yaitu1:
1. Hukum
Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria yaitu Hukum Agraria
Barat, Hukum Agraria adat, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria adminitratif,
Hukum Agraria Antar Golongan.
2. Hak Atas Tanah
Pada saat yang sama berlaku bermacam-macam hak atas tanah yang berbeda
hukumnya, yaitu:
a. Hak atas tanah yang tunduk kepada hukum agraria barat yang di atur dalam KUH
Perdata.
b. Hak atas tanah yang di tunduk pada hukum Agraria adat daerah masing-masing.
c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja.
d. Hahak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda.
3. Hak jaminan Atas tanah
4. Pendaftaran Tanah
Dari segi masa berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia di bagi menjadi 2, yaitu :
1. Hukum Agraria Kolonial
Hukum Agraria ini berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum di
undangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 september 1960.
2. Hukum Agraria Nasional
Hukum Agraria ini berlaku setelah di undangkannya UUPA.
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam Konsideran UUPA di
bawah perkataan “menimbang” hufur b,c, dan d serta dimuat dalam Penjelasan Umum Angka 1
UUPA, yaitu :
1 Urip santoso, hukum agraria dan hak-hak atas tanah,kencana,jakarta,2009,h.24
a. Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan
dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian di pengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi
nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
b. Hokum Agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hokum adat, di
samping Hukum Agraria yang didasarkan atas hukum barat.
c. Bagi rakyat asli Hukum agrarian penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijakan agrarian yang
berlaku sebelum Indonesia merdaka di susun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
Pemerintahan Hindia Belanda, dpat dijelaskan sebagai berikut2 :
1. Pada Masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
VOC (1602-1799) didirikan sebagai badan perdagangan dengan maksud untuk
menghindari persaingan di antara para pedagang belanda, mendapatkan monopoli di asia
selatan.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh oleh VOC, antaralain :
a. Contingenten
Pajak atas hasil tanah pertanian harus di serahkan kepada penguasa colonial(kompeni).
Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa di
bayar sepersen pun.
b. Verplichte leveranten
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang
kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga
sudah ditetapkan secara sepihak.
c. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia
yang tidak mempunyai tanah pertanian.
2. Pada masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Deandles(1800-1811)
2 Urip santoso, ibid h.16
Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalah menjual
tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda
sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah partikelir. Tanah
partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang
membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya
yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak
Pertuanan misalnya:
Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-
kepala kampung/desa;
Hak untuk menuntut keraj paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
Hak untukmemungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya3.
3. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau
pajak tanah.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan
jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah
oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah.
Dapat dikurangi jumlahnya atau dicabut penguasaannya jika petani yang bersangkutan 3 Soedikno Mertokusumo,Hukum dan Politik agraria,Universitas Terbuka,karunika,Jakarta,1988,h.1.2
tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang
bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat
sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang
menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak
tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang
menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang4.
4. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch
Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan
yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam
paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara
langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu.
Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun. Sedangkan rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan
tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk satu
tahunnya.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah
membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para
penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luasa dengan jaminan yang kuat
guna dapat mengusahakan dan mengolah tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha
yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara.
Tanah-tanah yang bisa disewa adalah tanah-tanah negara yang masih kosong.
5. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif)
dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di
bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha
dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.
Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan
oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55,
4 Budi Harsono(II)Undang-Undang Pokok Agraria sejarah Penyusan,isi dan pelaksanaannya,djambatan,jakarta2008,h.44-45
sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No.
2. semula RR terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat
8) oleh Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian
menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447. isi Pasal 51 IS, adalah
sebagai berikut:
1. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang tidak diperuntukan
bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
3. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-
orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat
pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi, diberikan tanah dengan Hak
Erfpacht selam tidak lebih dari 57 tahun.
5. Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-
hak rakyat pribumi.
6. Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan
hutan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai
tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali
untuk kepentingan umum atas dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-
tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang
bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang
turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya
yang sah dapat diberikan kepadnya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-
pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan
dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang
bersangkutan, demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan
pribumi.
8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi
dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan Ordonansi.
6. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Besluit Stb. No, 118
Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan
dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah apa yang dimuat dalam
Koninklijk Besluit, yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit, Stb. 1870
No. 118. Agrarische Besluit terdiri atas tiga bab, yaitu:
1. Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah
2. Pasal 8 – 8b tentang pelapasan tanah, dan:
3. Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.
Pada Pasal 1 Agrarische Besluit memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein
Verklaring” (pernyataan kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang
pihak lain tidak dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.
Asas Domein (domein beginsel) atau pernyataan domein berdasarkan Pasal 20
Agrarische Besluit hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Dengan Stb. 1875 No. 119a,
pernyataan domein itu diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. [ernyataan
yang dimuat dalam Stb. 1870 No. 118 dan Stb. 1875 No. 119a itu bersifat umum
(Algemene Domein Verklaring). Di samping itu, juga ada pernyataan domein yang
berlaku khusus (Speciale Domein Verklaring), yang berisi: “semua tanah kosong dalam
daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali yang diusahakan oleh para
penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak pembukaan hutan. Mengenai
tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak
lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh
penduduk untuk membukanya”.
Maksud pernyataan domein khusus tersebut adalah untuk menegaskan agar tidak ada
keraguan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenag untuk memberikan tanah-tanah
yang dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah pemerintah. Pernyataan domein khusu
berlaku bagi daerah Sumatra diatur dalam Stb. 1874 No. 94f, Manado dalam Stb. 1877
No. 55, dan untuk Kalimantan Selatan/Timur dalm Stb. 1888 No. 58.
Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindia Belanda (Indonesia)
dibagi menjadi dua jenis,yaitu:
a. Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak
penduduk bumi putera.
b. Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada
hak penduduk maupun desa.
Dalam praktiknya Domein Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-barat seperti yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal,
hak erfpacht.
2. Untuk keperluan pembuktia kepemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib
membuktikan haknya.
Pada masa berlakunya Domein Verklaring terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang tidak termasuk ke dalam KUH Perdata. Hak atas tanah
itu adalah Hak Agrarische Eigendom, yaitu hak yang berasal dari hak milik adat yang
atas permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur tertentu diakui keberadaannya oleh
pengadilan. Hak ini diatur dalam Koninklijk Besluit Stb. 1872 No. 117 dan Stb. 1873 No.
38.
Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat
ketentuansemacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta tahn
1918 No. 16.
B. Politik Agraria Kolonial
Politik agraria yang dimaksud di sini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah
garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara,
mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan
membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 19455.
Dalam politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil
bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga
setinggi-tingginya.
Ada dua tujuan politik agrarian colonial yang di jelmakan dalam Agrarische Wet,yaitu:
1. Tujuan Primer
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta(asing) mendapatkan bidang tanah
yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang
murah.
2. Tujuan sekunder
Melindungi hak penduduk bumi putra atas tanahnya, yaitu:
a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesah hak bumi
putra
b. Pemerintah hanya boleh mengambil tana bumi putra apabila di perlukan
untuk kepentingan umum
c. Bumi putra diberikan kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat yaitu
hak eigendom
d. Deidakan peraturan sewa menyewa antara bumi putre dengan bukan bumi
putra.
Daftar Pustaka
Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta,2009.Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Karunika, Jakarta, 1988.
5 Soedikno Mertokusumo,opcit,h10.6
Budi Harsono(II), Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penyusan, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta2008.