Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang
description
Transcript of Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEKIP PALEMBANG
BULAN DESEMBER 2012
Tugas AkhirSebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Oleh:Yurika Erliani, S.Ked
04114705090
Pembimbing 1:dr. Hendarmin Aulia, SU
Pembimbing 2:Bahrun Indawan Kasim, SKM, Msi
Prof. Dr. dr. RM. Suryadi Tjekyan, DTM & H, MPH
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang
salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura.1 Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang
kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat
terjadi kesukaran bernapas dan tidak dapat minum. Usia Balita adalah kelompok yang
paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara
berkembang.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas
40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.
Menurut WHO, 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian
besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, di mana pneumonia
merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita
setiap tahun.2
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA
juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh
kematian balita.3
Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009 menyebutkan angka
kejadian ISPA tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008 sebanyak
282.661 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus. Sedangkan menurut data
yang ada di Puskesmas Sekip Palembang, penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas
Sekip Palembang tahun 2007 sebanyak 11.959 kasus, tahun 2008 sebanyak 16.690
kasus, tahun 2009 sebanyak 17.201 kasus.4
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita antara lain:
status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan pemberian vitamin A,
BBLR, imunisasi tidak lengkap, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, tingkat sosial
ekonomi dan pendidikan. Sebuah penelitian di wilayah kerja Puskesmas DTP Jamanis
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010 yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita menyebutkan adanya hubungan status gizi dengan
kejadian ISPA (p value = 0,001).5 Data yang diperoleh dari rekam medik URJ anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya pada periode Februari 2008 dari kunjungan sebanyak
1020 balita yang terkena ISPA sebanyak 484 (47,45%) dan dari pembahasan terdapat
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan taraf
siknifikannya sedang dan mempunyai arah positif, artinya semakin baik status gizi
balita semakin besar peluang tidak menderita ISPA.6 Penelitian lain yang dilakukan di
Puskesmas Sosial Palembang menyatakan adanya hubungan bermakan antara status
gizi dengan kejadian ISPA pada balita (OR: 29,91).7
Telah lama diketahui adanya sinergitas antara malnutrisi dan infeksi.
malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti hubungan
status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sekip
Palembang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran status gizi balita di Puskesmas Sekip
Palembang bulan Desember 2012.
2. Untuk mengetahui distribusi status gizi balita berdasarkan jenis kelamin.
3. Untuk mengetahui angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip
Palembang bulan Desember 2012.
4. Untuk mengetahui distribusi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin.
5. Untuk mengetahui proporsi kejadian ISPA pada balita berdasarkan status
gizi.
6. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Puskesmas Sekip Palembang
mengenai hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
yang merupakan penyakit tersering diderita oleh balita yang berobat ke
pelayanan kesehatan anak Puskesmas Skip Palembang tahun 2012.
2. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya dan bahan referensi
bagi perpustakaan FK UNSRI Palembang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan tentang
pentingnya mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam upaya promotif dan preventif di bidang kesehatan
khususnya dalam menurunkan angka kejadian ISPA pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut
dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses
ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi
akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak
seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho
pneumonia.8
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat
diketahui menurut:
2.1.1 Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu: ISPA
atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold),
Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain
yang relatif tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia
yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.9
2.1.2 Klasifikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: pneumonia berat dan bukan
pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast
breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih,
atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe
chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan
dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.10
2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas: pnemonia
berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas
sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu
anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali
permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding
dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.10
2.1.3 Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria
untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan
adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi
napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit
dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan
sampai kurang dari 5 tahun.11
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai
dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali
permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah
ke dalam (severe chest indrawing).11
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai
tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita
dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan
frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.11
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang
dikelompokkan sebagai tanda bahaya:
1. Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi
napas), demam.
2. Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
2.1.4 Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri,
virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh
Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan
mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya
mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah
dalam penanganannya.10
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.10
2.1.5 Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik untuk meningkatkan
insiden (Morbiditas) maupun kematian (Mortalitas) akibat pneumonia.12
Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia
adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat
badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan
kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan
aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.12
2.1.6 Penatalaksanaan Penderita ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada
balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata
laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada
pada penderita.
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, demam atau
dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun
adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi
buruk.10
3. Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa
pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi
antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun
yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah,
pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih
cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada.10
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan
sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :
a. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya
setelah sembuh.
b. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan
pemberian ASI.
c. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana.10
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa
pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana rujukan, diberi antibiotik 1 dosis
serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada.10
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan
dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat
diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau
penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus
segera dikirim ke sarana rujukan.10
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet
kotrimoksasol 480 mg, tablet kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg
dan tablet parasetamol 100 mg.10
2.2 Tinjauan Umum Tentang Balita
Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka
kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan
dengan faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan
kesehatan.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses
tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan
dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan
penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Faktor Resiko ISPA
2.3.1 Asap Dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain
disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara
yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur. Pencemaran udara
dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya antara lain: pengguna
bahan bakar biomassa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap
rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan
bangunan sintesis seperti cat dan asbes.13
Bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar
biomassa yang menimbulkan asap (asap dapur) yang berbahaya bagi
kesehatan adalah:14
1. Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung
unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As),
cadmium (Cd). Partikel yang terhisap dapat menempel pada saluran pernapasan
bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan
kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan menimbulkan
edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb dan
Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu
lama akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat
pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu
terjadinya iritasi pada saluran napas sampai dengan timbulnya kanker paru.
2. Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena
diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene.
3. Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung
dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika
bahan pencemaran bercampur dengan air mata atau lendir dalam saluran
pernapasan.
4. Carbonmonoksida (CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen
dalam tubuh, yang disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan
molekul hemoglobin membentuk CO-Hb.
5. Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak
mempengaruhi kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung
lama dapat menambah kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh
bakteri (pneumonia) atau virus (influenza).
6. Sulfurdioksida (SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air
membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan
mangganggu fungsi paru.
Anak-anak/balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan
ibunya ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga
sehingga kontak dengan polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang
berlangsung secara terus menerus menyebabkan iritasi pada mukosa saluran
pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
2.3.2 Kebiasaan Merokok Dalam Rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya
jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat
merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah
perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang mengalami risiko
lebih besar daripada perokok sesungguhnya.15
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan
asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang
diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi
dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang
menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa.16
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko
anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk
asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko
untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya
perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma
pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap
rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak
dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-
paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara.15
2.3.3 Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta
mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang dibuat
manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi.17
Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa
tambahan makanan atau minuman apapun termasuk air (obat-obatan dan vitamin
yang tidak dilarutkan dalam air mungkin dapat diberikan kalau dibutuhkan secara
medis). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI Ekslusif
menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini, isapan anak
menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia
untuk dapat menghisap sepuasnya (BKKBN, 2001). Sedangkan menurut Rusli (2004)
ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa
memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif lebih tahan
terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu ibu terdapat zat
anti terhadap kuman penyebab ISPA.12
2.3.4 Status Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata
imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan
memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk
terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya.18
Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu
kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit
yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.
Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk
mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan
bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang
dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri,
tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, TBC, dan lain sebagainya.
Infeksi SPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah
difteri, batuk rejan dan campak.
2.3.5 Status Gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untuk terjadinya ISPA. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan status gizi dengan kejadian ISPA, sehingga balita yang mengalami
gizi buruk rentan mengalami infeksi saluran nafas.
Balita dengan gizi buruk akan lebih mudah terserang ISPA dibanding
balita dengan gizi baik karena faktor daya tahan tubuh yang kuat. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh memiliki cukup kekuatan dalam
mempertahankan tubuh dari infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk, reaksi
kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan
diri dari infeksi akan menurun juga.
2.3.6 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka
kematian neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar
89.000 bayi usia 1 bulan meninggal, artinya setiap 5 menit ada 1 neonatus
meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah bayi berat lahir rendah
(BBLR) (29 %) yang kedua adalah asfiksia (27 %).
Berat Badal Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat lahir <
2500 gram. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan.
BBLR kurang bulan/prematur khususnya yang masa kehamilannya < 35 minggu,
biasanya mengalami penyulit seperti gangguan napas, ikterus, infeksi dan lain-lain.
Sementara BBLR yang cukup / lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur
sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya. Mereka hanya
membutuhkan kehangatan, pemberian nutrisi dan mencegah infeksi.19
BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir
hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan
napas yakni bayi baru lahir yang bernafas cepat > 60 kali/menit, lambat < 30
kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi
dinding dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian BBLR sangat beresiko
untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR.19
2.4 Kerangka Konsep
ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun virus, lebih
sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita
ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian. ISPA di pengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain adalah:
1. Asap dapur sebagai sisa hasil pembakaran rumah tangga, bila terhirup secara terus
menerus dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah terutama kelompok balita,
sehingga dapat berisiko terjadinya sakit.
2. Asi banyak mengandung protein, kalori dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
membentuk sistem kekebalan tubuh sehingga terhindar dari penyakit dan infeksi.
Pemberian makanan pendamping menyebabkan bayi kenyang sehingga tidak mau
menetek.
3. Pemberian imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh anak berkurang.
Dengan pemberian imunisasi campak dan DPT diharapkan anak balita akan terhindar dari penyakit
difteri, pertusis dan campak yang menyebabkan komplikasi pneumonia.
4. Status gizi yang buruk menjadi faktor imunitas tubuh balita karena pada gizi buruk,
kemampuan reaksi imun dalam menghadapi agen penyebab infeksi juga akan menurun.
5. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat mencemari ruangan sehingga asap rokok
dapat terisap oleh anak balita.
6. Bayi dengan BBLR mudah menderita penyakit infeksi terutama pneumonia dan saluran
pernafasan lainnya karena perkembangan zat kekebalan tubuh kurang sempurna.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel yang
diteliti sebagai berikut:
Gambar 1.1: Kerangka Konsep
2.5 Hipotesis Penelitian.
1. H0: Tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang.
2. H1 : Terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang.
Faktor Individu Balita:
Status giziStatus imunisasiBBLR
Faktor Lingkungan:
Pencemaran udara dalam rumah (asap dapur dan asap rokok)Ventilasi rumahKepadatan hunian rumah
Faktor Perilaku:
Pemberian ASIPendidikan orang tuaStatus social ekonomiPenggunaan fasilitas kesehatan
Kejadian ISPA pada balita
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian
potong lintang (cross sectional).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 di Puskesmas Sekip Palembang.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Semua balita yang berobat ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas
Sekip Palembang selama bulan Desember 2012.
3.3.2 Sampel
Semua balita yang berobat ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas
Sekip Palembang selama bulan Desember 2012 yang memenuhi kriteria
inklusi. Sampel diambil dengan metode total sampling.
1. Kriteria Inklusi
Semua balita yang berusia 12 bulan – 60 bulan (5 tahun) yang berobat ke
Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember
2012 dengan pertimbangan anak balita usia 12 bulan telah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap.
2. Kriteria Eksklusi
Balita yang berusia kurang dari 12 bulan yang berobat ke Balai
Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas (Independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu status gizi balita dan
pengukurannya dengan menggunakan hasil penimbangan berat badan dan
umur dibandingkan dengan standar baku WHO-NCHS (National Center for
Health Statistics).
3.4.2 Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian ISPA dan
pengukuran dengan data catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita
Sakit) di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang.
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Balita
Anak laki-laki dan perempuan yang berusia ≥12 bulan – 60 bulan (5
tahun) yang berobat ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang pada
bulan Desember 2012.
3.5.2 Status Gizi Balita
Status gizi balita yang berusia ≥12 bulan – 60 bulan (5 tahun) yang
ditentukan berdasarkan data antropometri berupa berat badan menurut umur
dengan berpedoman pada standar WHO-NCHS yang disajikan dalam versi
skor simpang baku (standar deviation score = Z). Pengukuran Skor Simpang
Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Individu Subjek
(NIS) dengan nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang
bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR).
Atau dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
X : Nilai Individu Subjek (NIS)
SD : Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR)
M : Nilai Baku Median Rujukan (NMBR)
Tabel 3.1 Penilaian status gizi berdasarkan Indeks BB/U Standar baku antropometri WHO-NCHSNo. Indeks antropometri Batas pengelompokan Status gizi1. BB/U < -3 SD Gizi Buruk2. -3 SD s/d < -2 SD Gizi Kurang3. -2 SD s/d +2 SD Gizi Baik4. >+2 SD Gizi Lebih
3.5.3 Malnutrisi Dan Gizi Baik.
Malnutrisi adalah status gizi balita di bawah nilai -2 SD. Gizi baik
adalah status gizi balita di atas -2 SD.
3.5.4 Kejadian ISPA
Frekuensi terjadinya penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang
terjadi pada bulan Desember 2012, yang ditandai dengan salah satu atau lebih
gejala batuk, pilek, disertai dengan demam diperoleh dari pemeriksaan petugas
kesehatan.
3.6 Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipakai adalah data sekunder catatan registrasi Puskesmas
Sekip Palembang bulan Desember 2012.
3.7 Analisa Data
Data dikumpulkan dan dianalisis serta disajikan dalam tabel distribusi dan grafik
kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS dan diinterpretasi:
a. Analisis Univariat
Untuk mendeskripsikan kondisi variabel penelitian.
b. Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat, digunakan metode Chi-square.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Puskesmas Sekip Palembang
Puskesmas Sekip Palembang awalnya berdiri pada tahun 1962 yang masih
merupakan KIA, berlokasi di Jalan Madang RT 39, kemudian tahun1964 pindah ke
daerah Sekip Ujunh dan pelayanan bertambah menjadi Balai Pengobatan dan KIA.
Seiring perkembangannya, berubah menjadi Pustu (Puskesmas Pembantu) dengna
menginduk ke Puskesmas Dempo, selanjutnya berubah menginduk ke Puskesmas
Basuki Rahmat. Tahun 1983, berubah menjadi Puskesmas Induk.
4.1.1 Wilayah Kerja
Puskesma Sekip melipputi 3 kelurahan sebagai wilayah kerja, yaitu:
1. Kelurahan Pahlawan
2. Kelurahan Sekip Jaya
3. Kelurahan 20 Ilir DII
4.1.2 Geografi
Puskesmas Sekip Palembang terletak di wilayah kelurahan 20 Ilir DII
Kecamatan kemuning Kota Palembang dengan luas wilayah 674,3 Ha dengan
jumlah penduduk 41.831 jiwa pada tahun 2011. Geografi wilayah kerja
Puskesmas Sekip Palembang sebagian besar terdiri dari daerah daratan dan
sebagian kecil di pinggir sungai dan rawa.
4.1.3 Demografi
Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Sekip Palembang
pada tahun 2011 adalah 41.831 jiwa. Penduduk berusia bayi sebanyak 762
jiwa dan penduduk berusia balita sebanyak 3522 jiwa.
4.1.4 Daftar Penyakit Terbanyak di Balai Pengobatan Anak
Tabel 4.1. 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Sekip dan Pustu tahun 2011.
No. Nama Penyakit Jumlah1. ISPA 21302. Penyakit Lainnya 17233. Diare 3164. Penyakit Kulit Infeksi 252
5. Penyakit Kulit Alergi 1606. Penyakit Mata 707. Penyakit Rongga Mulut 658. Kecelakaan 319. Tonsillitis 2610. Pneumonia 14
4.1.5 Status Gizi Balita berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 di Puskesmas Sekip
Palembang
Tabel 4.2. Status Gizi Balita berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011
No. Status Gizi Laki-laki Perempuan Jumlahn % n % n %
1. Gizi Lebih 27 1,15 16 0,66 43 0,902. Gizi Baik 2.303 98,13 2.374 98,30 4.677 98,223. Gizi Kurang 15 0,64 25 1,04 40 0,844. Gizi Buruk 2 0,09 0 0,00 2 0,02
Total 2.347 49,29 2.415 50,71 4.762 100
4.1.6 Persentase Cakupan Imunisasi
Tabel 4.3. Persentase Cakupan Imunisasi Tahun 2011No. Imunisasi Jumlah1. BCG 97%2. Polio 3 9353. DPT1 + HB1 96%4. DPT3 + HB3 90%5. Campak 90%
4.2 Distribusi Jumlah Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas
Sekip Palembang Bulan Desember 2012
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan,
distribusi jumlah kunjungan balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip
Palembang bulan Desember 2012 dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Jumlah Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember 2012.
No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase1. Laki-laki 131 50,8%2. Perempuan 127 49,2%
Total 258 100%
Gambar 4.1: Grafik Distribusi Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 berdasarkan Jenis Kelamin.
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa terdapat 258 kunjungan balita (12
bulan – 60 bulan) ke Balai Pengobatan Anak ke Puskesmas Sekip Palembang selama
bulan Desember 2012, jumlah balita laki-laki lebih banyak yaitu 131 orang (50,8%)
dan balita perempuan sebanyak 127 orang (49,2%).
4.3 Gambaran Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember
2012
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan,
gambaran status gizi balita yang berkunjung ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas
Sekip Palembang selama bulan Desember 2012 dapat dilihat pada tabel dan grafik
berikut:
Tabel 4.5. Gambaran Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember 2012
No. Status Gizi Frekuensi Persentase1. Gizi Buruk 12 4,7%2. Gizi Kurang 52 20,2%3. Gizi Baik 188 72,9%4. Gizi Lebih 6 2,3%
Total 258 100%
Gambar 4.2. Grafik Distribusi Status Gizi Balita yang Berobat ke Balai Pengobatan Anak di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012.
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 anak yang berobat ke balai
pengobatan Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 sebanyak 72,9%
balita memiliki status gizi baik.
4.3.1 Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data status gizi yang didapat, berikut adalah distribusi
status gizi balita berdasrkan jenis kelamin:
Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Jenis KelaminNo. Status Gizi Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuann % n % n %
1. Gizi Buruk 4 33,3 8 66,7 12 1002. Gizi Kurang 30 57,7 22 42,3 52 1003. Gizi Baik 94 50 94 50 188 1004. Gizi Lebih 3 50 3 50 6 100
Total 131 50,8 127 49,2 258 100
Gambar 4.3. Grafik Distribusi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 72,9% balita yang memiliki
status gizi baik, jumlah balita laki-laki dan perempuan memiliki distribusi
yang sama.
4.4 Angka Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan
Desember 2012
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, angka kejadian ISPA pada
balita berusia 12 bulan – 60 bulan di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip
Palembang pada bulan Desember 2012 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7. Angka Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012
No. Diagnosis Frekuensi Persentase1. ISPA 157 60,9%2. Non-ISPA 101 39,1%
Total 258 100%
Gambar 4.4. Grafik Angka Kejadian ISPA pada Balita di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 kunjungan balita usia 12 bulan –
60 bulan ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember
2012, 157 balita (60,9%) didiagnosis menderita ISPA dan 101 (39,1%) balita
didiagnosis Non-ISPA.
4.4.1 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data kejadian ISPA pada tabel 4.7, berikut adalah
distribusi kejadian ISPA dan Non-ISPA berdasarkan jenis kelamin:
Tabel 4.8. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis KelaminNo. Diagnosis Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuann % n % n %
1. ISPA 81 51,6 76 48,4 157 1002. Non-ISPA 50 49,5 51 50,5 101 100
Total 131 50,8 127 49,2 258 100
Gambar 4.5 Grafik Distribusi ISPA dan Non-ISPA pada Balita Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 kunjungan balita usia 12
bulan – 60 bulan ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang selama
bulan Desember 2012 didapatkan 51,6% balita laki dan 48,4% balita
perempuan mengalami ISPA, sisanya sebanyak 49,5% balita laki-laki dan
50,5% balita perempuan mengalami penyakit lainnya.
4.4.2 Distribusi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, berikut distribusi
kejadian ISPA dan Non-ISPA berdasarkan status gizi:
Tabel 4.9. Proporsi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status GiziNo. Status Gizi Diagnosis Jumlah
ISPA Non-ISPAn % n % n %
1. Gizi Buruk 4 33,3 8 66,7 12 1002. Gizi Kurang 32 61,5 20 38,5 52 1003. Gizi Baik 116 61,7 72 38,3 188 1004. Gizi Lebih 5 83,3 1 16,7 6 100
Total 157 60,9 101 39,1 258 100
Gambar 4.6. Distribusi ISPA dan Non-ISPA Berdasarkan Status Gizi
Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 72,9% balita yang berobat ke
Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember
2012 yang memiliki status gizi baik, didapatkan 61,7% balita dengan gizi baik
mengalami ISPA dan 38,3% menderita penyakit lainnya.
4.5 Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, berikut adalah analisis bivariat
antara kategori status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip
Palembang pada bulan Desember 2012:
Tabel 4.10. Hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012
No. Kategori Status gizi
ISPA Non-ISPA Jumlah p-valuen % n % n %
1. Malnutrisi 36 56,3 28 43,8 64 100 0,4702. Gizi Baik 121 62,4 73 37,6 194 100
Total 157 60,9 101 39,1 258 100
Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa di antara 194 balita yang status
gizinya baik, 62,4% mengalami ISPA. Sedangkan pada 64 balita dengan status gizi
malnutrisi, 56,3% yang mengalami ISPA. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value
sebesar 0,470. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5%, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012.
4.6 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara status
gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan
Desember 2012. Hasil ini berbeda dengan teori imunitas tubuh balita menjadi
menurun pada status gizi yang kurang. Banyak faktor lain yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita yaitu factor individu balita seperti status gizi, status
imunisasi, berat lahir. Faktor perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua,
status social dan ekonomi, dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor
lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur
maupun asap rokok, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.
Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun
2006 mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Pati I menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,01), ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00), ada hubungan antara
ventilasi ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,03), ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadiap ISPA pada balita
(p value = 0,00), ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00). Sedangkan status gizi, status
imunisasi, lantai ruang tidur, kepemilikan lubang asap dapur, dan penggunaan jenis
bahan bakar tidak memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita.20
Pada penelitian Nuryanto yang meneliti factor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang pada bulan
Januari sampai April 2009 menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status
gizi (p value = 0,004), status imunisasi (p value = 0,005), kepadatan rumah (p value =
0,011), keadaan ventilasi rumah (0,007), status merokok orang tua (p value = 0,005),
pendidikan ibu (p value = 0,001), dan status ekonomi keluarga (p value = 0,005)
dengan kejadian ISPA pada balita.21
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sukmawati dan Sri Dara Ayu di
wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan Bantoa Kabupaten Maros,
Makassar, menunjukkan hasil ada hbungan antara status gizi (p value = 0,031) dengan
kejadian ISPA pada balita, tidak ada hubungan bermakna antara berat badan lahir
dengan jedaian ISPA (p value = 0,636), dan ada hubungan bermakna antara status gizi
dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,026).22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember 2012.
2. Jumlah kunjungan balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang
pada bulan Desember 2012 sebanyak 258 balita, proporsi laki-laki lebih banyak
yaitu 131 balita laki-laki (50,8%) dan 127 balita perempuan (49,2%).
3. Status gizi terbanyak yang dimiliki responden yaitu status gizi baik dengan jumlah
188 balita (72,9%) dan terendah yaitu status gizi lebi dengan jumlah 6 balita
(2,3%).
4. Proporsi balita laki-laki sama dengan proporsi balita perempuan pada status gizi
baik yaitu masing-masing sebesar 50% (94 balita).
5. Angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember
2012 sebesar 157 kasus (60,9%) dari total kunjungan 258 kunjungan.
6. Proporsi balita laki-laki yang mengalami ISPA lebih banyak yaitu sebesar 51,6%
(81 balita) dan proporsi balita perempuan sebesar 48,4% (76 balita).
7. Kejadian ISPA pada balita dengan status gizi baik sebanyak 116 kasus (61,7%),
sedangkan pada gizi kurang sebesar 32 kasus, gizi buruk 4 kasus, dan gizi lebih 5
kasus.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel penelitian yang lebih
banyak sesuai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu
faktor individu balita seperti status gizi, status imunisasi, berat lahir. Faktor
perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua, status social dan ekonomi,
dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor lingkungan yaitu
pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur maupun asap rokok,
ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.
2. Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan dalam periode yang lebih lama.
3. Penelitian lanjutan sebaiknya juga meneliti hubungan usia dan kejadian ISPA
pada balita.
4. Penelitian lanjutan sebaiknya menggunakan data primer berupa kuisioner.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.2. Salam, A.,(2006) Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten
Magelang. Tesis , UGM. Yogyakarta3. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.4. http://www.dinkes.palembang.go.id/ 5. Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (Ispa) Pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.2 Tahun 2012.6. Rahmawati D. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di
Urj Anak Rsu Dr. Soetomo Surabaya. 2008. Politeknik Kesehatan Program Studi Kebidanan Sutomo Surabaya.
7. Sulistyoningsih R, Rustandi R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Dtp Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010. 2011. ISBN 978-602-96943-1-4. FKM UNSIL.
8. Justin, 2006. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia, Unhalu, Kendari.
9. Anonim, 1996. Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita Dalam Pelita VI, Jakarta.
10. Anonim, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita, Jakarta.
11. Depkes R.I., (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.
12. Anonim, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.13. Sukar, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang ( Indoor ) Terhadap ISPA
Pnemonia, Buletin Penelitian Kesehatan, Bandung.14. Anwar A, 1992, Pengaruh Pencemran Udara” Indoor” Pembakaran Biomassa
Terhadap Kesehatan : Majalah Kesehatan Masyarakat,Jakarta.15. Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media
Promosi Kesehatan Indonesia No XII , Jakarta.16. Adningsih, 2003. Tidak Merokok Adalah Investasi, Interaksi Media Promosi
Kesehatan Indonesia No XIV, Jakarta.17. Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.18. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.19. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.20. Suhandayani I, 2007. Skripsi: Factor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun 2006. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.
21. Nuryanto. 2010. Beberapa factor yang Berhubungan dengan Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol 4, No 11 tahun 2010.
22. Sukmawati, Ayu SD. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir dan Imunisasi dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamasean Kabupaten Bontoa Kecamatan Maros, Sulawesi Selatan. Media Gizi Pangan, Vol 10, Edisi 2, Juli – Desember 2010.
LAMPIRAN
I. Distribusi berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 131 50.8 50.8 50.8
Perempuan 127 49.2 49.2 100.0
Total 258 100.0 100.0
II. Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012
Status Gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Gizi Buruk 12 4.7 4.7 4.7
Gizi Kurang 52 20.2 20.2 24.8
Gizi Baik 188 72.9 72.9 97.7
Gizi Lebih 6 2.3 2.3 100.0
Total 258 100.0 100.0
III. Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 berdasarkan Jenis Kelamin
IV. Angka Kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang pada Bulan Desember 2012
V. Distribusi Kejadian ISPA pada balita berdasarkan Jenis Kelamin
Diagnosis * Jenis Kelamin CrosstabulationCount
Jenis Kelamin
TotalLaki-laki Perempuan
Diagnosis ISPA 81 76 157
Non-ISPA 50 51 101Total 131 127 258
Count
Jenis Kelamin
TotalLaki-laki Perempuan
Status Gizi Gizi Buruk 4 8 12
Gizi Kurang 30 22 52
Gizi Baik 94 94 188
Gizi Lebih 3 3 6Total 131 127 258
Diagnosis
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid ISPA 157 60.9 60.9 60.9
Non-ISPA 101 39.1 39.1 100.0
Total 258 100.0 100.0
VI. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status Gizi
Status Gizi * Diagnosis Crosstabulation
Diagnosis
TotalISPA Non-ISPA
Status Gizi Gizi Buruk Count 4 8 12
% within Status Gizi 33.3% 66.7% 100.0%
Gizi Kurang Count 32 20 52
% within Status Gizi 61.5% 38.5% 100.0%
Gizi Normal Count 116 72 188
% within Status Gizi 61.7% 38.3% 100.0%
Gizi Lebih Count 5 1 6
% within Status Gizi 83.3% 16.7% 100.0%Total Count 157 101 258
% within Status Gizi 60.9% 39.1% 100.0%
VII. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012
Kategori Status Gizi * Diagnosis Crosstabulation
Diagnosis
TotalISPA Non-ISPA
Kategori Status Gizi
Malnutrisi Count 36 28 64
% within Kategori Status Gizi 56.3% 43.8% 100.0%
% within Diagnosis 22.9% 27.7% 24.8%
% of Total 14.0% 10.9% 24.8%
Gizi Baik Count 121 73 194
% within Kategori Status Gizi 62.4% 37.6% 100.0%
% within Diagnosis 77.1% 72.3% 75.2%
% of Total 46.9% 28.3% 75.2%Total Count 157 101 258
% within Kategori Status Gizi 60.9% 39.1% 100.0%
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 60.9% 39.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig. (2-
sided)Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .757a 1 .384
Continuity Correctionb .522 1 .470
Likelihood Ratio .751 1 .386
Fisher's Exact Test .460 .234
Linear-by-Linear Association .754 1 .385
N of Valid Cases 258
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.05.b. Computed only for a 2x2 table
VIII. Indeks Berat Badan menurut Umur