Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

46
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEKIP PALEMBANG BULAN DESEMBER 2012 Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Oleh: Yurika Erliani, S.Ked 04114705090 Pembimbing 1: dr. Hendarmin Aulia, SU Pembimbing 2: Bahrun Indawan Kasim, SKM, Msi Prof. Dr. dr. RM. Suryadi Tjekyan, DTM & H, MPH DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013

description

medical

Transcript of Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Page 1: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEKIP PALEMBANG

BULAN DESEMBER 2012

Tugas AkhirSebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik

Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh:Yurika Erliani, S.Ked

04114705090

Pembimbing 1:dr. Hendarmin Aulia, SU

Pembimbing 2:Bahrun Indawan Kasim, SKM, Msi

Prof. Dr. dr. RM. Suryadi Tjekyan, DTM & H, MPH

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013

Page 2: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut

berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang

salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas)

hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga

telinga tengah dan pleura.1 Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang

kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat

terjadi kesukaran bernapas dan tidak dapat minum. Usia Balita adalah kelompok yang

paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka

morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara

berkembang.

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas

40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.

Menurut WHO, 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian

besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, di mana pneumonia

merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita

setiap tahun.2

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati

urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA

juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas

yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai

penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh

kematian balita.3

Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009 menyebutkan angka

kejadian ISPA tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008 sebanyak

282.661 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus. Sedangkan menurut data

yang ada di Puskesmas Sekip Palembang, penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas

Page 3: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Sekip Palembang tahun 2007 sebanyak 11.959 kasus, tahun 2008 sebanyak 16.690

kasus, tahun 2009 sebanyak 17.201 kasus.4

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita antara lain:

status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan pemberian vitamin A,

BBLR, imunisasi tidak lengkap, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, tingkat sosial

ekonomi dan pendidikan. Sebuah penelitian di wilayah kerja Puskesmas DTP Jamanis

Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010 yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian ISPA pada balita menyebutkan adanya hubungan status gizi dengan

kejadian ISPA (p value = 0,001).5 Data yang diperoleh dari rekam medik URJ anak

RSU Dr. Soetomo Surabaya pada periode Februari 2008 dari kunjungan sebanyak

1020 balita yang terkena ISPA sebanyak 484 (47,45%) dan dari pembahasan terdapat

hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan taraf

siknifikannya sedang dan mempunyai arah positif, artinya semakin baik status gizi

balita semakin besar peluang tidak menderita ISPA.6 Penelitian lain yang dilakukan di

Puskesmas Sosial Palembang menyatakan adanya hubungan bermakan antara status

gizi dengan kejadian ISPA pada balita (OR: 29,91).7

Telah lama diketahui adanya sinergitas antara malnutrisi dan infeksi.

malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative pada daya tahan

tubuh terhadap infeksi. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti hubungan

status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sekip

Palembang.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Sekip Palembang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Sekip Palembang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran status gizi balita di Puskesmas Sekip

Palembang bulan Desember 2012.

2. Untuk mengetahui distribusi status gizi balita berdasarkan jenis kelamin.

Page 4: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

3. Untuk mengetahui angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip

Palembang bulan Desember 2012.

4. Untuk mengetahui distribusi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin.

5. Untuk mengetahui proporsi kejadian ISPA pada balita berdasarkan status

gizi.

6. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Puskesmas Sekip Palembang

mengenai hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita

yang merupakan penyakit tersering diderita oleh balita yang berobat ke

pelayanan kesehatan anak Puskesmas Skip Palembang tahun 2012.

2. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya dan bahan referensi

bagi perpustakaan FK UNSRI Palembang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan tentang

pentingnya mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA di

Puskesmas Sekip Palembang sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu

bahan pertimbangan dalam upaya promotif dan preventif di bidang kesehatan

khususnya dalam menurunkan angka kejadian ISPA pada balita.

Page 5: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang ISPA

Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut

dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke

dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran

pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses

akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses

ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi

akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak

seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho

pneumonia.8

Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat

diketahui menurut:

2.1.1 Lokasi Anatomik

Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu: ISPA

atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold),

Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain

yang relatif tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia

yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.9

2.1.2 Klasifikasi penyakit

Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :

1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: pneumonia berat dan bukan

pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast

Page 6: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih,

atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe

chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan

dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.10

2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas: pnemonia

berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas

sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu

anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali

permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding

dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.10

2.1.3 Tanda dan Gejala

Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria

untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan

adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi

napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit

dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan

sampai kurang dari 5 tahun.11

Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah

kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.

Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai

dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali

permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah

ke dalam (severe chest indrawing).11

Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai

tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita

dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan

frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah

kedalam.11

Page 7: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang

dikelompokkan sebagai tanda bahaya:

1. Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa

minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi

napas), demam.

2. Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun

yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.

2.1.4 Penyebab Terjadinya ISPA

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri,

virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh

Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan

mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya

mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah

dalam penanganannya.10

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus,

Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus

penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,

Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.10

2.1.5 Faktor Risiko ISPA

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan

berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik untuk meningkatkan

insiden (Morbiditas) maupun kematian (Mortalitas) akibat pneumonia.12

Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia

adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat

badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan

kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan

aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.12

Page 8: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

2.1.6 Penatalaksanaan Penderita ISPA

Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada

balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata

laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian yaitu:

1. Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada

pada penderita.

2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak

bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, demam atau

dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun

adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi

buruk.10

3. Tindakan dan Pengobatan

Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa

pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi

antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun

yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah,

pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih

cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada.10

Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan

sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :

a. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya

setelah sembuh.

b. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan

pemberian ASI.

c. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana.10

Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa

pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana rujukan, diberi antibiotik 1 dosis

serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada.10

Page 9: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan

dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat

diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau

penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus

segera dikirim ke sarana rujukan.10

Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet

kotrimoksasol 480 mg, tablet kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg

dan tablet parasetamol 100 mg.10

2.2 Tinjauan Umum Tentang Balita

Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka

kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan

mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan

dengan faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan

kesehatan.

Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses

tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan

dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan

penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Faktor Resiko ISPA

2.3.1 Asap Dapur

Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain

disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara

yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur. Pencemaran udara

dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya antara lain: pengguna

bahan bakar biomassa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap

rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan

bangunan sintesis seperti cat dan asbes.13

Bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar

biomassa yang menimbulkan asap (asap dapur) yang berbahaya bagi

kesehatan adalah:14

Page 10: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

1. Partikel

Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung

unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As),

cadmium (Cd). Partikel yang terhisap dapat menempel pada saluran pernapasan

bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan

kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan menimbulkan

edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb dan

Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu

lama akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat

pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu

terjadinya iritasi pada saluran napas sampai dengan timbulnya kanker paru.

2. Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik

Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena

diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene.

3. Formaldehid (HCHO)

Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung

dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika

bahan pencemaran bercampur dengan air mata atau lendir dalam saluran

pernapasan.

4. Carbonmonoksida (CO)

Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen

dalam tubuh, yang disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan

molekul hemoglobin membentuk CO-Hb.

5. Nitrogendioksida (NO2)

Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak

mempengaruhi kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung

lama dapat menambah kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh

bakteri (pneumonia) atau virus (influenza).

6. Sulfurdioksida (SO2)

Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air

membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan

mangganggu fungsi paru.

Page 11: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Anak-anak/balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan

ibunya ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga

sehingga kontak dengan polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang

berlangsung secara terus menerus menyebabkan iritasi pada mukosa saluran

pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

2.3.2 Kebiasaan Merokok Dalam Rumah

Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya

jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat

merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah

perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa

penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang mengalami risiko

lebih besar daripada perokok sesungguhnya.15

Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan

asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang

diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi

dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang

menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa.16

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko

anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk

asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko

untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya

perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma

pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap

rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak

dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di

jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-

paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara.15

2.3.3 Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif

Page 12: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta

mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang dibuat

manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi.17

Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa

tambahan makanan atau minuman apapun termasuk air (obat-obatan dan vitamin

yang tidak dilarutkan dalam air mungkin dapat diberikan kalau dibutuhkan secara

medis). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI Ekslusif

menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini, isapan anak

menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia

untuk dapat menghisap sepuasnya (BKKBN, 2001). Sedangkan menurut Rusli (2004)

ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa

memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif lebih tahan

terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu ibu terdapat zat

anti terhadap kuman penyebab ISPA.12

2.3.4 Status Imunisasi

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit

dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit

yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata

imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan

memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk

terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya.18

Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem

kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan

terhadap serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu

kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit

yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.

Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk

mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan

bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang

dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri,

tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, TBC, dan lain sebagainya.

Page 13: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Infeksi SPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah

difteri, batuk rejan dan campak.

2.3.5 Status Gizi

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting

untuk terjadinya ISPA. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya

hubungan status gizi dengan kejadian ISPA, sehingga balita yang mengalami

gizi buruk rentan mengalami infeksi saluran nafas.

Balita dengan gizi buruk akan lebih mudah terserang ISPA dibanding

balita dengan gizi baik karena faktor daya tahan tubuh yang kuat. Dalam

keadaan gizi yang baik, tubuh memiliki cukup kekuatan dalam

mempertahankan tubuh dari infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk, reaksi

kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan

diri dari infeksi akan menurun juga.

2.3.6 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka

kematian neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar

89.000 bayi usia 1 bulan meninggal, artinya setiap 5 menit ada 1 neonatus

meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah bayi berat lahir rendah

(BBLR) (29 %) yang kedua adalah asfiksia (27 %).

Berat Badal Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat lahir <

2500 gram. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan.

BBLR kurang bulan/prematur khususnya yang masa kehamilannya < 35 minggu,

biasanya mengalami penyulit seperti gangguan napas, ikterus, infeksi dan lain-lain.

Sementara BBLR yang cukup / lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur

sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya. Mereka hanya

membutuhkan kehangatan, pemberian nutrisi dan mencegah infeksi.19

BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir

hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan

napas yakni bayi baru lahir yang bernafas cepat > 60 kali/menit, lambat < 30

Page 14: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi

dinding dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian BBLR sangat beresiko

untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR.19

2.4 Kerangka Konsep

ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun virus, lebih

sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita

ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian. ISPA di pengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain adalah:

1. Asap dapur sebagai sisa hasil pembakaran rumah tangga, bila terhirup secara terus

menerus dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah terutama kelompok balita,

sehingga dapat berisiko terjadinya sakit.

2. Asi banyak mengandung protein, kalori dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

membentuk sistem kekebalan tubuh sehingga terhindar dari penyakit dan infeksi.

Pemberian makanan pendamping menyebabkan bayi kenyang sehingga tidak mau

menetek.

3. Pemberian imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh anak berkurang.

Dengan pemberian imunisasi campak dan DPT diharapkan anak balita akan terhindar dari penyakit

difteri, pertusis dan campak yang menyebabkan komplikasi pneumonia.

4. Status gizi yang buruk menjadi faktor imunitas tubuh balita karena pada gizi buruk,

kemampuan reaksi imun dalam menghadapi agen penyebab infeksi juga akan menurun.

5. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat mencemari ruangan sehingga asap rokok

dapat terisap oleh anak balita.

6. Bayi dengan BBLR mudah menderita penyakit infeksi terutama pneumonia dan saluran

pernafasan lainnya karena perkembangan zat kekebalan tubuh kurang sempurna.

Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel yang

diteliti sebagai berikut:

Page 15: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Gambar 1.1: Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian.

1. H0: Tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di

Puskesmas Sekip Palembang.

2. H1 : Terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di

Puskesmas Sekip Palembang.

Faktor Individu Balita:

Status giziStatus imunisasiBBLR

Faktor Lingkungan:

Pencemaran udara dalam rumah (asap dapur dan asap rokok)Ventilasi rumahKepadatan hunian rumah

Faktor Perilaku:

Pemberian ASIPendidikan orang tuaStatus social ekonomiPenggunaan fasilitas kesehatan

Kejadian ISPA pada balita

Page 16: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian

potong lintang (cross sectional).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 di Puskesmas Sekip Palembang.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Semua balita yang berobat ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas

Sekip Palembang selama bulan Desember 2012.

3.3.2 Sampel

Semua balita yang berobat ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas

Sekip Palembang selama bulan Desember 2012 yang memenuhi kriteria

inklusi. Sampel diambil dengan metode total sampling.

1. Kriteria Inklusi

Semua balita yang berusia 12 bulan – 60 bulan (5 tahun) yang berobat ke

Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember

2012 dengan pertimbangan anak balita usia 12 bulan telah mendapatkan

imunisasi dasar lengkap.

2. Kriteria Eksklusi

Balita yang berusia kurang dari 12 bulan yang berobat ke Balai

Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu status gizi balita dan

pengukurannya dengan menggunakan hasil penimbangan berat badan dan

umur dibandingkan dengan standar baku WHO-NCHS (National Center for

Health Statistics).

Page 17: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

3.4.2 Variabel Terikat (Dependent)

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian ISPA dan

pengukuran dengan data catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita

Sakit) di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang.

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Balita

Anak laki-laki dan perempuan yang berusia ≥12 bulan – 60 bulan (5

tahun) yang berobat ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang pada

bulan Desember 2012.

3.5.2 Status Gizi Balita

Status gizi balita yang berusia ≥12 bulan – 60 bulan (5 tahun) yang

ditentukan berdasarkan data antropometri berupa berat badan menurut umur

dengan berpedoman pada standar WHO-NCHS yang disajikan dalam versi

skor simpang baku (standar deviation score = Z). Pengukuran Skor Simpang

Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Individu Subjek

(NIS) dengan nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang

bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR).

Atau dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

X : Nilai Individu Subjek (NIS)

SD : Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR)

M : Nilai Baku Median Rujukan (NMBR)

Tabel 3.1 Penilaian status gizi berdasarkan Indeks BB/U Standar baku antropometri WHO-NCHSNo. Indeks antropometri Batas pengelompokan Status gizi1. BB/U < -3 SD Gizi Buruk2. -3 SD s/d < -2 SD Gizi Kurang3. -2 SD s/d +2 SD Gizi Baik4. >+2 SD Gizi Lebih

3.5.3 Malnutrisi Dan Gizi Baik.

Page 18: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Malnutrisi adalah status gizi balita di bawah nilai -2 SD. Gizi baik

adalah status gizi balita di atas -2 SD.

3.5.4 Kejadian ISPA

Frekuensi terjadinya penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang

terjadi pada bulan Desember 2012, yang ditandai dengan salah satu atau lebih

gejala batuk, pilek, disertai dengan demam diperoleh dari pemeriksaan petugas

kesehatan.

3.6 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dipakai adalah data sekunder catatan registrasi Puskesmas

Sekip Palembang bulan Desember 2012.

3.7 Analisa Data

Data dikumpulkan dan dianalisis serta disajikan dalam tabel distribusi dan grafik

kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS dan diinterpretasi:

a. Analisis Univariat

Untuk mendeskripsikan kondisi variabel penelitian.

b. Analisis Bivariat

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat, digunakan metode Chi-square.

Page 19: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Puskesmas Sekip Palembang

Puskesmas Sekip Palembang awalnya berdiri pada tahun 1962 yang masih

merupakan KIA, berlokasi di Jalan Madang RT 39, kemudian tahun1964 pindah ke

daerah Sekip Ujunh dan pelayanan bertambah menjadi Balai Pengobatan dan KIA.

Seiring perkembangannya, berubah menjadi Pustu (Puskesmas Pembantu) dengna

menginduk ke Puskesmas Dempo, selanjutnya berubah menginduk ke Puskesmas

Basuki Rahmat. Tahun 1983, berubah menjadi Puskesmas Induk.

4.1.1 Wilayah Kerja

Puskesma Sekip melipputi 3 kelurahan sebagai wilayah kerja, yaitu:

1. Kelurahan Pahlawan

2. Kelurahan Sekip Jaya

3. Kelurahan 20 Ilir DII

4.1.2 Geografi

Puskesmas Sekip Palembang terletak di wilayah kelurahan 20 Ilir DII

Kecamatan kemuning Kota Palembang dengan luas wilayah 674,3 Ha dengan

jumlah penduduk 41.831 jiwa pada tahun 2011. Geografi wilayah kerja

Puskesmas Sekip Palembang sebagian besar terdiri dari daerah daratan dan

sebagian kecil di pinggir sungai dan rawa.

4.1.3 Demografi

Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Sekip Palembang

pada tahun 2011 adalah 41.831 jiwa. Penduduk berusia bayi sebanyak 762

jiwa dan penduduk berusia balita sebanyak 3522 jiwa.

4.1.4 Daftar Penyakit Terbanyak di Balai Pengobatan Anak

Tabel 4.1. 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Sekip dan Pustu tahun 2011.

No. Nama Penyakit Jumlah1. ISPA 21302. Penyakit Lainnya 17233. Diare 3164. Penyakit Kulit Infeksi 252

Page 20: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

5. Penyakit Kulit Alergi 1606. Penyakit Mata 707. Penyakit Rongga Mulut 658. Kecelakaan 319. Tonsillitis 2610. Pneumonia 14

4.1.5 Status Gizi Balita berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 di Puskesmas Sekip

Palembang

Tabel 4.2. Status Gizi Balita berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011

No. Status Gizi Laki-laki Perempuan Jumlahn % n % n %

1. Gizi Lebih 27 1,15 16 0,66 43 0,902. Gizi Baik 2.303 98,13 2.374 98,30 4.677 98,223. Gizi Kurang 15 0,64 25 1,04 40 0,844. Gizi Buruk 2 0,09 0 0,00 2 0,02

Total 2.347 49,29 2.415 50,71 4.762 100

4.1.6 Persentase Cakupan Imunisasi

Tabel 4.3. Persentase Cakupan Imunisasi Tahun 2011No. Imunisasi Jumlah1. BCG 97%2. Polio 3 9353. DPT1 + HB1 96%4. DPT3 + HB3 90%5. Campak 90%

4.2 Distribusi Jumlah Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas

Sekip Palembang Bulan Desember 2012

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan,

distribusi jumlah kunjungan balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip

Palembang bulan Desember 2012 dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Jumlah Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember 2012.

No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase1. Laki-laki 131 50,8%2. Perempuan 127 49,2%

Total 258 100%

Page 21: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Gambar 4.1: Grafik Distribusi Kunjungan Balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 berdasarkan Jenis Kelamin.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa terdapat 258 kunjungan balita (12

bulan – 60 bulan) ke Balai Pengobatan Anak ke Puskesmas Sekip Palembang selama

bulan Desember 2012, jumlah balita laki-laki lebih banyak yaitu 131 orang (50,8%)

dan balita perempuan sebanyak 127 orang (49,2%).

4.3 Gambaran Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember

2012

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan,

gambaran status gizi balita yang berkunjung ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas

Sekip Palembang selama bulan Desember 2012 dapat dilihat pada tabel dan grafik

berikut:

Tabel 4.5. Gambaran Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember 2012

No. Status Gizi Frekuensi Persentase1. Gizi Buruk 12 4,7%2. Gizi Kurang 52 20,2%3. Gizi Baik 188 72,9%4. Gizi Lebih 6 2,3%

Total 258 100%

Page 22: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Gambar 4.2. Grafik Distribusi Status Gizi Balita yang Berobat ke Balai Pengobatan Anak di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012.

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 anak yang berobat ke balai

pengobatan Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 sebanyak 72,9%

balita memiliki status gizi baik.

4.3.1 Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data status gizi yang didapat, berikut adalah distribusi

status gizi balita berdasrkan jenis kelamin:

Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Jenis KelaminNo. Status Gizi Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuann % n % n %

1. Gizi Buruk 4 33,3 8 66,7 12 1002. Gizi Kurang 30 57,7 22 42,3 52 1003. Gizi Baik 94 50 94 50 188 1004. Gizi Lebih 3 50 3 50 6 100

Total 131 50,8 127 49,2 258 100

Page 23: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Gambar 4.3. Grafik Distribusi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 72,9% balita yang memiliki

status gizi baik, jumlah balita laki-laki dan perempuan memiliki distribusi

yang sama.

4.4 Angka Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan

Desember 2012

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, angka kejadian ISPA pada

balita berusia 12 bulan – 60 bulan di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip

Palembang pada bulan Desember 2012 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7. Angka Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012

No. Diagnosis Frekuensi Persentase1. ISPA 157 60,9%2. Non-ISPA 101 39,1%

Total 258 100%

Page 24: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Gambar 4.4. Grafik Angka Kejadian ISPA pada Balita di Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 kunjungan balita usia 12 bulan –

60 bulan ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember

2012, 157 balita (60,9%) didiagnosis menderita ISPA dan 101 (39,1%) balita

didiagnosis Non-ISPA.

4.4.1 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data kejadian ISPA pada tabel 4.7, berikut adalah

distribusi kejadian ISPA dan Non-ISPA berdasarkan jenis kelamin:

Tabel 4.8. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis KelaminNo. Diagnosis Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuann % n % n %

1. ISPA 81 51,6 76 48,4 157 1002. Non-ISPA 50 49,5 51 50,5 101 100

Total 131 50,8 127 49,2 258 100

Gambar 4.5 Grafik Distribusi ISPA dan Non-ISPA pada Balita Berdasarkan Jenis Kelamin

Page 25: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 258 kunjungan balita usia 12

bulan – 60 bulan ke Balai Pengobatan Puskesmas Sekip Palembang selama

bulan Desember 2012 didapatkan 51,6% balita laki dan 48,4% balita

perempuan mengalami ISPA, sisanya sebanyak 49,5% balita laki-laki dan

50,5% balita perempuan mengalami penyakit lainnya.

4.4.2 Distribusi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, berikut distribusi

kejadian ISPA dan Non-ISPA berdasarkan status gizi:

Tabel 4.9. Proporsi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status GiziNo. Status Gizi Diagnosis Jumlah

ISPA Non-ISPAn % n % n %

1. Gizi Buruk 4 33,3 8 66,7 12 1002. Gizi Kurang 32 61,5 20 38,5 52 1003. Gizi Baik 116 61,7 72 38,3 188 1004. Gizi Lebih 5 83,3 1 16,7 6 100

Total 157 60,9 101 39,1 258 100

Gambar 4.6. Distribusi ISPA dan Non-ISPA Berdasarkan Status Gizi

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, dari 72,9% balita yang berobat ke

Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember

2012 yang memiliki status gizi baik, didapatkan 61,7% balita dengan gizi baik

mengalami ISPA dan 38,3% menderita penyakit lainnya.

Page 26: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

4.5 Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, berikut adalah analisis bivariat

antara kategori status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip

Palembang pada bulan Desember 2012:

Tabel 4.10. Hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012

No. Kategori Status gizi

ISPA Non-ISPA Jumlah p-valuen % n % n %

1. Malnutrisi 36 56,3 28 43,8 64 100 0,4702. Gizi Baik 121 62,4 73 37,6 194 100

Total 157 60,9 101 39,1 258 100

Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita

berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa di antara 194 balita yang status

gizinya baik, 62,4% mengalami ISPA. Sedangkan pada 64 balita dengan status gizi

malnutrisi, 56,3% yang mengalami ISPA. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value

sebesar 0,470. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5%, tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA di

Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember 2012.

4.6 Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara status

gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan

Desember 2012. Hasil ini berbeda dengan teori imunitas tubuh balita menjadi

menurun pada status gizi yang kurang. Banyak faktor lain yang mempengaruhi

kejadian ISPA pada balita yaitu factor individu balita seperti status gizi, status

imunisasi, berat lahir. Faktor perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua,

status social dan ekonomi, dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor

lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur

maupun asap rokok, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun

2006 mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Pati I menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif

dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,01), ada hubungan antara kepadatan

hunian dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00), ada hubungan antara

Page 27: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

ventilasi ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,03), ada hubungan

antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadiap ISPA pada balita

(p value = 0,00), ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok

dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,00). Sedangkan status gizi, status

imunisasi, lantai ruang tidur, kepemilikan lubang asap dapur, dan penggunaan jenis

bahan bakar tidak memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita.20

Pada penelitian Nuryanto yang meneliti factor yang berhubungan dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang pada bulan

Januari sampai April 2009 menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status

gizi (p value = 0,004), status imunisasi (p value = 0,005), kepadatan rumah (p value =

0,011), keadaan ventilasi rumah (0,007), status merokok orang tua (p value = 0,005),

pendidikan ibu (p value = 0,001), dan status ekonomi keluarga (p value = 0,005)

dengan kejadian ISPA pada balita.21

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sukmawati dan Sri Dara Ayu di

wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan Bantoa Kabupaten Maros,

Makassar, menunjukkan hasil ada hbungan antara status gizi (p value = 0,031) dengan

kejadian ISPA pada balita, tidak ada hubungan bermakna antara berat badan lahir

dengan jedaian ISPA (p value = 0,636), dan ada hubungan bermakna antara status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,026).22

Page 28: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Sekip Palembang selama bulan Desember 2012.

2. Jumlah kunjungan balita ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas Sekip Palembang

pada bulan Desember 2012 sebanyak 258 balita, proporsi laki-laki lebih banyak

yaitu 131 balita laki-laki (50,8%) dan 127 balita perempuan (49,2%).

3. Status gizi terbanyak yang dimiliki responden yaitu status gizi baik dengan jumlah

188 balita (72,9%) dan terendah yaitu status gizi lebi dengan jumlah 6 balita

(2,3%).

4. Proporsi balita laki-laki sama dengan proporsi balita perempuan pada status gizi

baik yaitu masing-masing sebesar 50% (94 balita).

5. Angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang bulan Desember

2012 sebesar 157 kasus (60,9%) dari total kunjungan 258 kunjungan.

6. Proporsi balita laki-laki yang mengalami ISPA lebih banyak yaitu sebesar 51,6%

(81 balita) dan proporsi balita perempuan sebesar 48,4% (76 balita).

7. Kejadian ISPA pada balita dengan status gizi baik sebanyak 116 kasus (61,7%),

sedangkan pada gizi kurang sebesar 32 kasus, gizi buruk 4 kasus, dan gizi lebih 5

kasus.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel penelitian yang lebih

banyak sesuai factor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu

faktor individu balita seperti status gizi, status imunisasi, berat lahir. Faktor

perilaku seperti pemberian ASI, pendidikan orang tua, status social dan ekonomi,

dan penggunaan fasilitas kesehatan. Sedangkan faktor lingkungan yaitu

pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan asap dapur maupun asap rokok,

ventilasi rumah, dan kepadatan hunian rumah.

2. Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan dalam periode yang lebih lama.

Page 29: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

3. Penelitian lanjutan sebaiknya juga meneliti hubungan usia dan kejadian ISPA

pada balita.

4. Penelitian lanjutan sebaiknya menggunakan data primer berupa kuisioner.

Page 30: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.2. Salam, A.,(2006) Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten

Magelang. Tesis , UGM. Yogyakarta3. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.4. http://www.dinkes.palembang.go.id/ 5. Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (Ispa) Pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.2 Tahun 2012.6. Rahmawati D. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di

Urj Anak Rsu Dr. Soetomo Surabaya. 2008. Politeknik Kesehatan Program Studi Kebidanan Sutomo Surabaya.

7. Sulistyoningsih R, Rustandi R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Dtp Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010. 2011. ISBN 978-602-96943-1-4. FKM UNSIL.

8. Justin, 2006. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia, Unhalu, Kendari.

9. Anonim, 1996. Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita Dalam Pelita VI, Jakarta.

10. Anonim, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita, Jakarta.

11. Depkes R.I., (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.

12. Anonim, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.13. Sukar, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang ( Indoor ) Terhadap ISPA

Pnemonia, Buletin Penelitian Kesehatan, Bandung.14. Anwar A, 1992, Pengaruh Pencemran Udara” Indoor” Pembakaran Biomassa

Terhadap Kesehatan : Majalah Kesehatan Masyarakat,Jakarta.15. Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media

Promosi Kesehatan Indonesia No XII , Jakarta.16. Adningsih, 2003. Tidak Merokok Adalah Investasi, Interaksi Media Promosi

Kesehatan Indonesia No XIV, Jakarta.17. Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.18. Anonim, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.19. Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.20. Suhandayani I, 2007. Skripsi: Factor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun 2006. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.

21. Nuryanto. 2010. Beberapa factor yang Berhubungan dengan Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol 4, No 11 tahun 2010.

22. Sukmawati, Ayu SD. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir dan Imunisasi dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamasean Kabupaten Bontoa Kecamatan Maros, Sulawesi Selatan. Media Gizi Pangan, Vol 10, Edisi 2, Juli – Desember 2010.

Page 31: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

LAMPIRAN

I. Distribusi berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-laki 131 50.8 50.8 50.8

Perempuan 127 49.2 49.2 100.0

Total 258 100.0 100.0

II. Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012

Status Gizi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Gizi Buruk 12 4.7 4.7 4.7

Gizi Kurang 52 20.2 20.2 24.8

Gizi Baik 188 72.9 72.9 97.7

Gizi Lebih 6 2.3 2.3 100.0

Total 258 100.0 100.0

III. Status Gizi Balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012 berdasarkan Jenis Kelamin

IV. Angka Kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang pada Bulan Desember 2012

V. Distribusi Kejadian ISPA pada balita berdasarkan Jenis Kelamin

Diagnosis * Jenis Kelamin CrosstabulationCount

Jenis Kelamin

TotalLaki-laki Perempuan

Diagnosis ISPA 81 76 157

Non-ISPA 50 51 101Total 131 127 258

Count

Jenis Kelamin

TotalLaki-laki Perempuan

Status Gizi Gizi Buruk 4 8 12

Gizi Kurang 30 22 52

Gizi Baik 94 94 188

Gizi Lebih 3 3 6Total 131 127 258

Diagnosis

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid ISPA 157 60.9 60.9 60.9

Non-ISPA 101 39.1 39.1 100.0

Total 258 100.0 100.0

Page 32: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

VI. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan Status Gizi

Status Gizi * Diagnosis Crosstabulation

Diagnosis

TotalISPA Non-ISPA

Status Gizi Gizi Buruk Count 4 8 12

% within Status Gizi 33.3% 66.7% 100.0%

Gizi Kurang Count 32 20 52

% within Status Gizi 61.5% 38.5% 100.0%

Gizi Normal Count 116 72 188

% within Status Gizi 61.7% 38.3% 100.0%

Gizi Lebih Count 5 1 6

% within Status Gizi 83.3% 16.7% 100.0%Total Count 157 101 258

% within Status Gizi 60.9% 39.1% 100.0%

VII. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang pada bulan Desember 2012

Kategori Status Gizi * Diagnosis Crosstabulation

Diagnosis

TotalISPA Non-ISPA

Kategori Status Gizi

Malnutrisi Count 36 28 64

% within Kategori Status Gizi 56.3% 43.8% 100.0%

% within Diagnosis 22.9% 27.7% 24.8%

% of Total 14.0% 10.9% 24.8%

Gizi Baik Count 121 73 194

% within Kategori Status Gizi 62.4% 37.6% 100.0%

% within Diagnosis 77.1% 72.3% 75.2%

% of Total 46.9% 28.3% 75.2%Total Count 157 101 258

% within Kategori Status Gizi 60.9% 39.1% 100.0%

% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 60.9% 39.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value dfAsymp. Sig. (2-

sided)Exact Sig. (2-

sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .757a 1 .384

Continuity Correctionb .522 1 .470

Likelihood Ratio .751 1 .386

Fisher's Exact Test .460 .234

Linear-by-Linear Association .754 1 .385

N of Valid Cases 258

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.05.b. Computed only for a 2x2 table

Page 33: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang

VIII. Indeks Berat Badan menurut Umur

Page 34: Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Sekip Palembang