HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA LANSIA · PDF fileJurnal Kesehatan Kartika...
Transcript of HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA LANSIA · PDF fileJurnal Kesehatan Kartika...
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 17
HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA LANSIA DI KECAMATAN CICENDO KOTA BANDUNG
Lia Meilianingsih
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectiaonal yang bertujuan untuk menguji adanya hubungan antara pola makanan (kecukupan makanan, kelengkapan variasi jenis makanan, kebiasaan minum teh dan kopi ) dengan kejadian anemia. Penelitian ini dilakukan terhadap 132 sampel yang diambil secara acak. Data dikumpulkan dengan menggunakan foods records selama 7 hari dan pemeriksaan Hb dengan sianmethemoglobin. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara kecukupan sayur, lauk, pauk, dan buah (masing-masing mempunyai nilai p= 0,000). Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara kecukupan nasi dengan kejadian anemia (p=0,137). Secara keseluruhan komponen makanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia (p=0,014). Kelengkapan variasi jenis makanan juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia (p=0,018). Kebiasaan minum teh dan kopi juga mampunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,000). Uji statistik menunjukkan kecukupan lauk merupakan komponen pola makan yang paling dominan terhadap kejadian anemia karena mempunyai nilai OR tertinggi, yaitu 92,334.
Kata Kunci: Pola makan dan anemia pada lansia Daftar Pustaka 69 (1978 – 2005)
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peningkatan jumlah populasi lansia disatu sisi menggembirakan namun disisi lain
menimbulkan permasalah. Permasalahan yang berkembang sehubungan dengan peningkatan
jumlah lansia ini memiliki kaitan yang erat dengan perubahan kondisi yang menyertai lansia.
Lansia mengalami perubahan-perubahan secara fisik dan psikososial yang cenderung menurun
dan dapat mengakibatkan beberapa permasalahan.
Permasalahan yang dihadapi lansia pada umumnya adalah penyakit degeneratif, namun
penyakit yang terkait dengan masalah gizi juga akan meningkat (Dep.Kes, 2003). Lima penyakit
utama yang banyak diderita oleh penduduk lanjut usia di Indonesia adalah : kanker ( 2,2% ), TBC
(11,5 %), infeksi saluran pernafasan (12,2 %), penyakit jantung – pembuluh darah (29,5 %), dan
anemia (50%) (Dep.Kes, 2003; Nugroho, 2002, http://www.kompas.com, diperoleh tanggal 26 Mei
2004). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa anemia merupakan penyakit terbanyak
yang di derita lansia di Indonesia.
Anemi pada lansia dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan hewani sebagai
sumber zat besi /heme iron, kurang vitamin B12, dan Kurang asam folat (Dep.Kes, 2003;
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 18
Roe,1992; Ramakrishnan, 2001; Fatimah, 1999). Kondisi tersebut biasanya menyertai lansia yang
menderita kurang gizi akibat asupan nutrisi yang kurang. Kurangnya asupan zat besi dapat pula
terjadi pada lansia dengan gizi baik namun tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Dep.Kes, 2003).
Asupan nutrisi pada lansia tergantung pada pola dan kebiasaan makan lansia yang dipengaruhi
oleh perubahan psikologis, social, dan fisik karena proses menua (Dep.Kes, 2003; Fatimah, 1999;
Schlenker, 1998).
Menurut Stanhope (1999) dan Gunawan (2002) bahwa pola makan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Karena setiap budaya mempunyai ciri
dalam menentukan makanan, mengolah dan menyajikan makanan. Hal tersebut selalu terpola dan
menjadi kebiasaan suatu kelompok masyarakat. Kebiasaan atau pola makan suatu kelompok
masyarakat akan berdampak pada tingkat asupan gizi (Gunawan, 2002).
Pemahaman tentang kebiasaan dan pola makan penting diperhatikan oleh perawat untuk
melakukan berbagai upaya dalam memperbaiki masalah kesehatan masyarakat terkait gizi,
termasuk masalah anemi pada lansia (Tyson, 1999; Yasmin, 1993; Dep.Kes, 2003).. Perawat perlu
memperkenalkan pola makan yang sesuai dengan kecukupan gizi, namun sesuai dengan latar
belakang budaya lansia. Oleh karena itu perawat yang professional perlu memiliki pemahaman
tentang kultur atau budaya masyarakat, karena dapat menjadi sumber informasi untuk menentukan
tindakan keperawatan yang dilakukan (Leininger, 1978).
2. Tujuan Penelitian
a. karakteristik responden.
b. kejadian anemia pada responden.
c. pola makan (kecukupan makanan, variasi jenis kelengkapan makanan, kebiasaan minum teh
dan kopi) pada responden.
d. hubungan antara kecukupan makanan yang dikonsumsi ( nasi, sayur, Lauk, pauk, dan buah-
buahan) dengan kejadian anemia pada responden.
e. hubungan antara kelengkapan variasi jenis makanan yang dikonsumsi dengan kejadian
anemia pada responden.
f. hubungan antara kebiasaan minum teh dan kopi dengan kejadian anemia pada responden.
g. komponen pola makan yang paling dominan terhadap kejadian anemia pada responden.
B. METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan
cross sectional, karena variabel dependen dan independen dikumpulkan dalam waktu yang
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 19
bersamaan (Notoatmojo, 2002; Danim, 2003). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan
antara pola makan, yang meliputi jumlah makanan, variasi jenis makanan, dan kebiasaan makan
dan minum dengan kejadian anemia pada lansi
2. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesa Mayor : Ada hubungan antara pola makan pada lansia dengan kejadian anemia
pada lansia.
b. Hipotesa Minor
1) Ada hubungan antara Jumlah makan makanan yang dikonsumsi lansia setiap hari
dengan kejadian anemia pada lansia.
2) Ada hubungan antara kelengkapan jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari dengan
kejadian anemia pada lansia
3) Ada hubungan antara kebiasaan minum the dengan kejadian anemia pada lansia.
3. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua, yaitu variabel independen adalah pola makan
(kecukupan makanan, kelengkapan variasi jenis makanan, kebiasaan minum teh dan kopi) dan
variabel dependen adalah kejadian anemia
4. Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini data pola makan responden dikumpulkan melalui pengisian food
records dan wawancara.. Untuk menentukan keadaan anemia pada lansia dilakukan pengukuran
Hb dengan menggunakan metode Sianmethemoglobin.
5. Populasi Dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia berumur ≥ 60 tahunyang berada di
wilayah Kecamatan Cicendo Kota Bandung yang berjumlah 654 orang, sedangkan pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah secara acak sederhana. Namun pada penelitian ini terdapat
beberapa kriteria inklusi, yaitu : lansia berusia 60 sampai dengan 90 tahun, tidak sedang dalam
kondisi sakit (TBC, tukak lambung, perdarahan, kanker, gagal ginjal, diadetes melitus) atau
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar Hb. Jumlah sampel dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow, 1997 sehingga didapat 130
sampel.
6. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaraja wilayah kerja Puskesmas Pasirkaliki Kota
Bandung, karena jumlah lansia di wilayah ini merupakan jumlah lansia terbanyak di Kota
Bandung, sehingga hasil penelitian diharapkan dapat mewakili secara keseluruhan. Selain itu
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 20
angka kejadian anemi di kelurahan Pasirkaliki paling banyak dibandingkan dengan kelurahan-
kelurahan yang terdapat di kota Bandung. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juni sampai
dengan Juli.
C. Hasil Penelitian
1. Gambaran Karakteristik Responden, Pola makan, dan Kejadian Anemia
a. Karakteristik responden
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
No Karakteristik Responden
Jumlah Prosentase
1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Umur a. Umur 60 – 70 tahun b. Umur 71 – 89 tahun
Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan
Pendidikan
a. ≤ SD
b. >SD Suku bangsa
a. Sunda b. Bukan Sunda
Agama a. Muslim b. Non Muslim
Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak bekerja
Pendapatan a. Kurang dari 642.590 b. Sama atau > 642.590
Aktivitas a. Ringan b. Sedang
Kelengkapan gigi a. Lengkap b. Tidak lengkap
Gangguan gigi dalam makan a. Mengganggu b. Tidak mengganggu
108 24 25 107 99 33
118 14
129 3 14 118 68 64
100 32 3 129 30 102
81,8 18,2
18,9 81,1 75 25
89,4 10,6
97,7 2,3
10,6 89,4
51,5 48,5
75,8 24,2 2,3 97,7
22,7 77,3
Responden dalam penelitian ini, 81,8% termasuk usia lanjut (60 – 70 tahun) dan 18,2%
responden termasuk usia lanjut tua (71 – 89 tahun). Secara persentase responden yang berusia
lanjut tua lebih banyak (70%) mengalami anemia dibandingkan dengan responden yang berusia
lanjut (45,4%). Kondisi ini disebabkan karena dengan bertambah tua usia, masukan zat-zat gizi
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 21
yang dibutuhkan tubuh terutama untuk pembentukan darah semakin menurun sebagai akibat
adanya perubahan fisik dan fisiologi dari proses menua (Muhilal, 1993).
Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan responden perempuan lebih banyak
(48,6%) mengalami anemia dibandingkan responden laki-laki (44,0%). Keadaan ini sesuai
dengan pendapat Muhilal (1993), bahwa wanita dewasa cenderung anemia dibandingkan pria,
hal ini disebabkan karena pada usia dewasa wanita banyak kehilangan darah melalui
menstruasi dan persalinan. Oleh karena itu kebutuhan Fe pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki (Miller, 1995; Dep.Kes, 2003).
Sebagian besar responden dalam penelitian ini berpendidikan rendah, yaitu 9,1 % tidak
sekolah dan 65,9% berpendidikan SD / SR. Menurut Husaini (1989) tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap pemilihan makanan sehari-hari. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Irawati (1999) yang menyataka bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu, maka
semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu gizinya yang berpengaruh dalam pemilihan bahan
pangan. Pemilihan bahan pangan yang baik diharapkan dapat mencegah atau mengatasi
anemia. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang
berkontribusi dalam kejadian anemia.
Responden dalam penelitian ini terdiri dari suku Sunda, Jawa, Palembang, dan
Tionghoa. Suku bangsa dapat mempengaruhi pola dan kebiasaan makan masyarakatnya
karena sangat berhubungan dengan budaya yang berlaku pada suku bangsa tersebut.
Kebudayaan mempunyai kekuatan yang sangat berpengaruh pada pemilihan bahan makanan
yang akan dikonsumsi dan pola makan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
(89,4%) responden berasal dari Suku Sunda, hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh tempat
penelitian diadakan, yaitu masuk dalam wilayah Jawa Barat. Hal ini tentunya berkaitan dengan
Suku Sunda yang mempunyai budaya makan lalaban atau sayuran karena mempuyai
keyakinan bahwa sayuran akan menyehatkan tubuh. Selain itu sebagian besar Suku Sunda
tinggal pada daerah pertanian dan pegunungan dimana sayuran sangat banyak ditanam.
Kondisi ini menyebabkan Suku sunda lebih menyukai sayur-sayuran dibandingkan makanan
hewani yang banyak mengandung hem iron.. Namun dari hasil uji statistik memperlihatkan tidak
ada hubungan antara suku dengan kejadian anemia. Hal ini dapat terjadi karena proporsi sapel
setiap suku jumlahnya tidak sama sehingga tidak dapat menggambarkan perbedaan yang
sesungguhnya.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 22
b. Kejadian Anemia
Tabel 2 Distribusi Responden Menurut Status Anemia di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
Status Anemia Jumlah Prosentase
Anemia Tidak anemia
63 69
47,7 52,3
Total 132 100,0
Persentase kejadian anemia pada penelitian ini adalah 47,7%. Angka kejadian ini
termasuk prevalensi yang cukup tinggi walaupun lebih rendah dari hasil studi epidemiology
pada lansia di Jawa Barat, yaitu 77% (Info Pangan dan Gizi, 1996) dan angka kesakitan anemia
pada lansia secara nasional, yaitu 50% (Dep.Kes, 2003)
c. Pola Makan
Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Kecukupan Makan di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
No.
Makanan
Kecukupan
Ya Tidak
Jumlah % Jumlah %
1. Nasi 34 25,8 98 74,2
2. Sayur 86 65,2 46 34,8
3. Lauk 76 57,6 56 42,4
4. Pauk 51 38,6 81 61,4
5. Buah 58 43,9 74 56,1
6. Nasi, sayur, lauk, Pauk, dan Buah 7 5,3 125 94,7
Kelengkapan variasi jenis makanan yang dimakan setiap hari dalam jumlah yang cukup,
dikelompokkan menjadi dua, yaitu lengkap dan tidak lengkap. Kategori lengkap yaitu apabila
jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari minimal terdiri dari nasi, sayur, lauk, dan pauk
dalam jumlah yang cukup. Sedangkan kategori tidak lengkap apabila ada salah satu dari nasi,
sayur, lauk, atau pauk tidak dikonsumsi atau dikonsumsi dalam jumlah yang tidak cukup.
Tabel 4 Distribusi Responden Menurut Kelengkapan variasi jenis makanan di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
Variasi jenis makanan Jumlah Prosentase
Lengkap Tidak lengkap
11 121
8,3 91,7
Total 132 100,0
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 23
d. Kebiasaan minum teh dan kopi Tabel 5 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan minum teh dan kopi di Kecamatan Cicendo
Kota Bandung
No Kebiasaan minum
Jumlah Prosentase
1
2
Teh a. Setiap hari b. Tidak setiap hari dan
tidak pernah Kopi
a. Minum kopi b. Tidak minum kopi
65 67
63 69
49,2 50,8
47,7 52,3
2. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Anemia
a. Hubungan kecukupan makanan dengan kejadian anemia
Tabel 6. Hubungan Kecukupan Makan dengan Kejadian Anemia di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
No Kecukupan Makanan Kejadian Anemia Total P OR ( 95 % CI )
Anemia Tdk Anemia Value
1 Nasi
a. Tidak cukup 51 (52,0%) 47 (48,0%) 98 0,137 1,99(0,89-4,46)
b. Cukup 12 (35,3%) 22 (64,7%) 34
2 Sayur
a. Tidak cukup 41 (89,1%) 5 (10,9%) 46 0,000 23,85 (8,37 - 67,98)
b. Cukup 22 (25,6%) 64 (74,4%) 86
3 Lauk
a. Tidak cukup 52 (92,9%) 4 (7,1%) 56 0,000 76,81(23,1-255,32)
b. Cukup 11 (14,5%) 65 (85,5%) 78
4 Pauk
a. Tidak cukup 53 (65,4%) 28 (34,6%) 81 0,000 7,76(3,39-17,78)
b. Cukup 10 (19,6%) 41 (80,4%) 51
5 Buah
a. Tidak cukup 48 (64,9%) 26 (35,1%) 74 0,000 5,29(2,48-11,28)
b. Cukup 15 (25,9%) 43 (74,1%) 58
6 Nasi, sayur, lauk, pauk
Dan buah
a. Tidak cukup 63 (50,4%) 62 (49,6%) 125 0,014 6,8 (0,8 – 163,5)
b. Cukup 0 (0%) 7 (100%) 7
Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
kecukupan nasi dengan kejadian anemia (p=0,137), karena nasi merupakan sumber kalori yang
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 24
dibutuhkan untuk beraktivitas bukan sumber nutrisi yang banyak mengandung zat besi atau
dapat membantu proses penyerapan zat besi.
Penelitian ini memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara kecukupan sayuran
dengan kejadian anemia (p=0,000). Namun pada studi ini belum dapat menjelaskan jenis-jenis
sayuan yang dikonsumsi, tetapi berdasarkan pengamatan peneiti selama melakukan studi
menunjukan,bahwa di area studi penduduk lebih banyak mengkosumsi sayuran hijau. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska (1998 ), bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kebiasaan makan sumber zat besi termasuk sayuran dengan resiko anemia
(p=0,00) dan hasil penelitian Arasj yang mengemukakan ada hubungan yang bermakna antara
sayruan hijau dengan kejadian anemia (p=0,038). Responden yang tidak cukup mengkonsumsi
sayuran mempunyai peluang 23,85 kali mengalami anemia dibandingkan responden yang
mengkonsumsi sayuran dalam jumlah yang cukup. Hal ini kemungkinan karena sayuran
merupakan sumber zat besi non hem yang diserap oleh tubuh 1-5% (Muhlilal,1998). Sayuran
hijau dapat mencegah anemia karena selain mengandung zat besi ,sayuran hijau juga dapat
membantu peningkatan penyerapan zat besi, karena mengandung vitamin C. (Tyson 1999;
Yasmin1993; Ramkrishnan 2001; Husaini 1989). Oleh karena vitamin C tidak dapat disimpan
dalam tubuh , maka peranan asupan vitamin C dari makanan dirasakan sangat penting sekali.
Hasil penelitian menunjukkan 92,9% responden yang mengkonsumsi lauk (ikan, daging,
dan telur) mengalami anemia dan ada hubungan yang bermakna antara kecukupan lauk dengan
kejadian anemia (p=0,00). Uji kai kuadrat dalam penelitian ini memperlihatkan responden yang
mengkonsumsi lauk dalam jumlah yang tidak mencukupi mempunyai peluang 76,81 kali. Hal ini
kemungkinan karena lauk merupakan sumber zat besi heme iron yang paling baik dan dapat
diserap 20% - 30% (Ramakrishnan,2001). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhlilal
(1998), bahwa absorbsi zat besi dari makanan sehari-hari yang berasal dari daging sangat
tinggi. Hasil studi penyerapan zat besi menjelaskan bahwa penambahan ikan 40 gram dapat
meningkatkan penyerapan zat besi 6,4% pada laki-laki dan 11,9% pada wanita ( Than Batu
dalam Sumarni, 1998).
Hasil analisis menunjukkan bahwa respnden yang mengkonsumsi pauk tidak cukup,
65,4% mengalami anemia. Secara staistik diketahui ada hubungan yang bermakna antara
kecukupan pauk dengan kejadian anemia (p=0,000). Hal ini disebabkan karena tempe dan tahu
merupakan fermentasi kedelai yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi ( Lynch dalam
Sumarni, 1998).
Uji statistic menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kecukupan buah dengan
anemia ( p=0,000). Responden yang tidak cukup mengkonsumsi buah mempunyai peluang
5,292 kali mengalami anemia dibandingan responden yang cukup mengkonsumsi buah. Buah-
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 25
buahan banyak mengandung vitamin C yang dapat meningkatkan absorbsi zat besi ( Brown,
1999).Selain itu vitamin C juga dapat eningkatkan penerapan zat besi non hem sampai empat
kali ( Monsh dalam Siska, 1999).
b. Hubungan kelengkapan variasi jenis makanan dengan kejadian anemia
Tabel 7 Hubungan Kelengkapan Variasi Jenis Makanan dengan Kejadian Anemia di Kecamatan
Cicendo Kota Bandung
Kelengkapan variasi Kejadian Anemia Total P OR ( 95 % CI )
jenis makanan Anemia Tdk Anemia Value
a. Tidak Lengkap 62 (51,2%) 59 (48,8%) 121 (100%) 0,018 10,508(1,305-84,647)
b. Lengkap 1 (9,1%) 10 (90,9%) 11 (100%)
Responden yang mengkonsumsi makanan secara keseluruhan dalam jumlah yang tidak
mencukupi, 50% mengalami anemia. Hal tersebut memperlihatkan bahwa yang penting adalah
mengkonsumsi seluruh komponen dalam jumlah yang cukup. Namun apabila tidak
memungkinkan seluruh komponen tercukupi, untuk pencegahan anemia yang perlu diperhatikan
adalah makanan yang mengandung zat besi, zat yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi,
dan menghindari faktor penghambat penyerapan zat besi ( Husaini, 1989).
c. Hubungan antara kebiasaan minum teh dan kopi dengan kejadian anemia
Tabel 8 Hubungan Kebiasaan minum Teh dan Kopi dengan Kejadian Anemia di Kecamatan Cicendo Kota Bandung
No Kebiasaan minum Kejadian Anemia Total P OR ( 95 % CI )
teh dan kopi Anemia Tdk Anemia Value
1 Minum teh
a. Setiap hari 54(83,1%) 11 (16,9%) 65 (100%) 0,000 31,64(12,165-82,273)
b. Tidak setiap hari dan 9 (13,4%) 58 (86,6%) 67 (100%)
tidak pernah
2 Minum kopi
a. Minum kopi 40(63,5%) 23 (36,5%) 63 (100%) 0,001 3,478 (1,699 – 7,122)
b. Tidak minum kopi 23 (33,3%) 46 (66,7%) 69 (100%)
Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh
dan kopi dengan kejadian anemia (p=0,000 dan p=0,001(p=0,000). Responden yang minum teh
setiap hari mempunyai peluang 31,64 kali mengalami abemia dibandingkan dengan responden
yang minum kopi mempunyai peluang 3,478 kali mengalami anemia dibandingkan responden
yang tidak minum kopi. Teh dan kopi banyak mengandung tanin sehingga dapat menghambat
penyerapan zat besi. Hal ini tentunya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut. Tanin pada kopi
dapat menurunkan penyerapan zat besi sampa 40% sedangkan tanin pada teh dapat
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 26
menurunkan penyerapan 80% (Gathrie, 1995; Roe, 1992; Sumarmi, 1998). Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Muhilal (1983), yaitu; penyerapan zat besi tanpa teh sekitar
12%, dengan adanya teh penyerapan zat besi turun sampai 2%
3. Komponen Pola makan yang Paling dominan Berhubungan dengan Kejadian Anemia
a. Pemilihan variabel independen
Hasil analisis bivariat variabel independen dan sub variabel yang mempunyai nilai p<0,25 disajikan
dalam tabel berikut ini
Tabel 9. Hasil Analisis Bivariat Antara Sub Variabel Kecukupan Makan, Kelengkapan Variasi Jenis Makanan, Kebiasaan Minum Teh dan Kopi dengan Kejadian Anemia
No Variabel / Sub Variabel Log-Likelihood G P Value
1. 2. 3.
Kecukupan makanan
a. Kecukupan nasi b. Kecukupan sayur c. Kecukupan lauk d. Kecukupan pauk e. Kecukupan buah f. Kecukupan nasi, sayur,
lauk,pauk, dan buah Kelengkapan variasi jenis makanan Kebiasaan minum teh dan kopi
a. Kebiasaan minum teh b. Kebiasaan minum kopi
179,842 129,433 91,667 154,928 162,252 173,283
174,369
111,974 170,531
2,876 53,285 91,051 27,790 20,466 9,435
8,349
70,744 12,187
0,090 0,000 0,000 0,000 0,000 0,002
0,004
0,000 0,000
Setelah dilakukan analisis multivariat, maka ada 3 sub variabel yang berhubungan secara
signifikan dengan kejadian anemia, yaitu kecukupan lauk (p=0,000), kecuakupan pauk (p=0,004),
dan kebiasaan minum teh (0,000). Secara teori ketiga faktor tersebut mempunyai peranan yang
sangat penting sebagai sumber zat besi, maupun faktor penghambat penyerapan zat besi. Oleh
karena itu untuk dapat mengatasi anemia menurut asumsi peneliti lebih ditekankan untuk
mancukupi kebutuhan lauk dan pauk, serta membatasi atau tidak minum teh.
b. Penentuan komponen yang dominan yang berhubungan dengan kejadian anemia
Tabel 10. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Kecukupan Lauk, Kecukupan Pauk, dan kebiasaan minum teh dengan Kejadian Anemia
Variabel B P Wald OR 95% CI
Kecukupan lauk 4,525 0,000 92,334 14,676-580,928
Kecukupan pauk 3,143 0,002 23,166 3,061-175,326
Kebiasaan minum teh 4,139 0,000 62,712 9,348
-2 Log Likelihood = 47,446 G = 135,272 p value = 0,000
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 27
Hasil analisis di atas menunjukkan kecukupan lauk, kecukupan pauk, dan kebiasaan
minum teh merupakan komponen pola makan yang berhubungan secara signifikan dengan
kejadian anemia, karena masing-masing mempunyai p value kurang dari 0,05. Dari ketiga
komponen tersebut, yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemia, yaitu
kecukupan lauk karena mempunyai nilai OR yang paling besar (92,334). Hal ini tentunya
berkaitan dengan uraian sebelumnya yang menyatakan bahwa komponen lauk merupakan
protein hewani yang merupakan sumber zat besi tersebar dibandingkan dengan sumber-sumber
zat besi lainnya.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Penelitian ini memberikan gambaran kejadian anemia pada lansia di kecamatan Cicendo
Kota Bandung, yaitu sebesar 47,7%. Ada hubungan yang bermakna antara kecukupan sayur,
lauk, pauk dan buah dengan kejadian anemia (semuanya mempunayai nilai p = 0,000). Namun
tidak ada hubungan yang bermakna antara kecukupan nasi dengan kejadian anemia (p=0,137).
Secara keseluruhan nasi, sayur, lauk, pauk, dan buah mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian anemia (p=0.014).
Penelitian ini juga memperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan
variasi jenis makanan dengan kejadian anemia (0,018). Kebiasaan minum teh dan kopi juga
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia (masing-masing mempunyai nilai
p=0,000). Namun dari hasil analisis multivariate menunjukkan hanya ada 3 komponen dari pola
makan yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia, yaitu kecukupan lauk
(p=0,000), kecukuan pauk(0,004), dan kebiasaan minum teh (0,000). Kecukupa lauk merupakan
komponen pola makan yang paling dominan berhubungan dengan kejadian anemi, dengan nilai
OR 82,076
2. Saran
Keluaga dengan responden yang mengalami anemia disarankan memilih makanan yang
mengandung zat besi dalam jumlah cukup untuk dikonsumsi setiap hari. Keluarga juga
diharapkan membantu responden untuk mengurangi atau menghentikan kebiasaan minum teh
atau kopi yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Perawat sangat penting untuk
melakukan promosi kesehatan tentang jenis makanan dan jumlah makanan sumber zat besi
yang perlu dikonsumsi, serta jenis makanan yang dapat menghambat absorbsi. Perawat juga
perlu melakukan modifikasi pola makan yang sesuai dengan budayaklien .
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 28
DAFTAR PUSTAKA Allen, L. (2001). Prevalence and Causes of Nutritional Anemias, dalam Ramakrishnan, Nutritional
Anemias. Washington, D.C: CRC Press. Andrews, M & Boyle, JS. (1995) Transculural Consepts in Nursing Care, Second edition, Philadelphia, J.B.
Lippincot Company. Brown, Jeri B. (1999). Gerontological Protocols for Nurse Practioners. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins. Darmojo, RB. (1999a). Teori Proses Menua, dalam Darmojo & Martono, Buku Ajar Geriatri: Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut (hlm. 3-13). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. ___________. (2002). Trends in Dietary Habits of The Elderly: The Indonesian Case. Asia Pasific Journal
of Clinical Nutrition, 11(S), 351-354. Doenges, Marilyn E. (1992). Nursing Care Plan : Guidelines for Planning and Documenting Patient Care.
Philadelphia: Davis Company. Geiger & Davidhizar (1995), Transcultural Nursing Assessment and Intervension, Second edition, St Louis
Mosby. Gunawan, R. (2002). Makanan dalam perspektif budaya. Nursing Journal of Padjadjaran University, 4(7),
55-60. Hirlan. (1999). Penyakit Sistem Gastrointestinal, dalam Darmojo & Martono, Buku Ajar Geriatri: Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut (hlm. 273-309). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Khumaidi, M. (1994). Gizi Masyarakat. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Leininger, M. (1978). Transculture Nursing: Concewpt, Theories, and Practice. Toronto: A Wiley Medical
Publication. Miller A Calor ( 1995 ) , Nursing Care OF Older Adult, Theori and Practiece. 2 Ed. Philadelphia : J.B.
Lippincott Co. Soejono, H. (2000).Gizi Pada Usia Lanjut, dalam Soejono dkk, Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien
Geriatri (hlm. 25-34). Jakarta: FKUI. Souter, S. (2000). Nutritional Risk Assesment in The Older Adult. Southern Online Journal of Nursing
Research, 1(3),1-21 Soenarto & Suharti. (1999). Kelainan Hematologi Pada Usia Lanjut, dalam Darmojo & Martono, Buku Ajar
Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut (hlm. 229-241). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Susan. (2000). Nutritional Screening and Older Adults. http://gateway 1.ovid.com, diperoleh 13 Juni, 2003.
The American Journal of Medicine. (2003). Anemia Associated With Physical Decline in Older Adult. http:// www.geri.com, diperoleh tanggal 2 April, 2005.
Usha. (2000). Cultural and Religious Influences on Adult Nutrition in The UK. http://gateway 1.ovid.com, diperoleh 13 Juni, 2003.