Hubungan Koefisien Partisi Aktivitas Biologis Obat
Click here to load reader
-
Upload
sefty-ramadani -
Category
Documents
-
view
1.853 -
download
6
Transcript of Hubungan Koefisien Partisi Aktivitas Biologis Obat
HUBUNGAN KOEFISIEN PARTISI AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
Suatu zat terlarut dalam dua fase cairan yang tidak saling bercampur, akan berdistribusi di
antara kedua fase dalam rasio yang konstan disebut koefisien partisi. Oleh karena itu koefisien ini
adalah ukuran diferensial kelarutan dari senyawa antara kedua pelarut. Nilai konstanta ini
bergantung pada suhu, dan pada jenis zat terlarut dan pelarut.
Harga koefisien partisi suatu senyawa obat didefinisikan sebagai perbandingan kadar
keseimbangan monomerik senyawa dalam fase nonpolar dengan kadar dalam fase polar. Pada
bidang kimia medisinal, parameter koefisien partisi (P) digunakan pada studi hubungan kuantitatif
struktur dan aktivitas suatu obat dengan metoda Hansch. Hal ini dapat menunjukkan karakter
transpor dan interaksi dengan fase diam yang terkait, yaitu digunakan untuk mengetahui proses
transpor yang didistribusikan oleh darah dalam tubuh.
Koefisien partisi berguna dalam memperkirakan distribusi obat dalam tubuh. Obat yang
bersifat hidrofobik dengan koefisien partisi tinggi akan didistribusikan ke kompartemen hidrofobik
seperti lipid bilayer pada sel, sementara obat hidrofilik dengan koefisien partisi rendah ditemukan
dalam kompartemen hidrofilik seperti serum darah.
Dalam konteks farmakokinetik, koefisien distribusi memiliki pengaruh kuat pada ADME
obat. Lebih khusus lagi, pada obat dengan rute pemberian oral, biasanya terlebih dahulu melewati
lipid bilayer di usus epitel. Obat harus cukup hidrofobik untuk menembus lapisan lipid bilayer.
Hidrofobisitas memiliki peran utama dalam menentukan di mana obat akan didistribusikan dalam
tubuh setelah adsorpsi dan ini akan mempengaruhi kecepatan obat tersebut dalam proses
metabolisme dan ekskresi.
Dalam konteks farmakodinamik, efek hidrofobik merupakan faktor utama untuk
mengikat obat ke reseptor sasaran. Di sisi lain, obat hidrofobik cenderung lebih beracun karena
pada umumnya dipertahankan lebih lama, distribusi yang lebih luas dalam tubuh agak kurang
selektif dalam pengikatan pada protein, dan akhirnya dimetabolisme secara ekstensif. Dalam
beberapa kasus, metabolit yang dihasilkan adalah kimia reaktif. Oleh karena itu dianjurkan untuk
membuat obat yang bersifat hidrofilik agar afinitasnya adekuat pada target protein terapeutik,
sehingga koefisien distribusi ideal untuk suatu obat yang tidak terlalu hidrofobik juga tidak terlalu
hidrofilik.
Koefisien partisi merupakan alat dalam mengubah aliran dari pengendalian membran ke
pengendalian lapisan difusi. Harga koefisien partisi yang besar menunjukan lipofilisitas dari
partikel-partikel obat yang berpenetrasi. Koefisien partisi antara kulit dan protein pembawa, yang
merupakan ukuran afinitas relatif dari obat tersebut untuk kulit dan protein pembawa. Hal tersebut
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penetrasi dari suatu obat ke dalam kulit.
Koefisien partisi pertama kali dihubungkan dengan aktivitas biologis, yaitu efek hipnotik
dan anestesi, obat-obat penekan system saraf pusat oleh Overton dan Meyer (1899). Ada tiga
postulat yang berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak,
sebagai berikut:
a. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut dalam lemak, seperti eter, hidrokarbon dan
hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narkosis pada jaringan hidup sesuai
dengan kemampuannya untuk terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang mengandung lemak, seperti sel saraf.
c. Efisiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau distribusi
senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat di atas disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi dengan
koefisien partisi lemak/air. Teori lemak hanya mengemukakan afinitas suatu senyawa terhadap
tempat aksi saja dan tidak menunjukkan bagaimana mekanisme kerja biologisnya dan juga tidak
dapat menjelaskan mengapa suatu senyawa yang mempunyai koefisien partisi lemak/air tinggi
tidak selalu dapat menimbulkan efek anestesi.
Teori anestesi di atas kemudian dilengkapi dengan teori-teori anestesi sistemik lain, yang
berdasarkan sifat fisik yang lain yaitu ukuran molekul (teori Wulf Featherstone) dan pembentukan
mikrokristal hidrat (teori Pauling).
PRINSIP FERGUSON
Banyak senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi mempunyai sifat fisik sama,
seperti eter, kloroform dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narkosis atau anestesi
sistemik. Pada banyak senyawa seri homolog aktivitas akan meningkat sesuai dengan kenaikan
jumlah atom C.
Fuhner (1904), mendapatkan bahwa untuk mencapai aktivitas sama, anggota seri
homolog yang lebih tinggi memerlukan kadar lebih rendah, sesuai persamaan deret ukur sebagai
berikut:
1/31, 1/32, 1/33, 1/34, …… 1/3n
Perubahan sifat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap, kelarutan
dalam air, tegangan permukaan, dan distribusi dalam pelarut yang saling tidak campur, kadang-
kadang juga sesuai dengan deret ukur.
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan distribusi
pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal yang kadar senyawanya dapat diukur dan
biofasa. Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan kadar obat dalam
biofasa atau reseptor karena pada keadaan kesetimbangan, kecenderungan obat untuk
meninggalkan biofasa dan fasa eksternal adalah sama, walaupun kadar obat dalam masing-masing
fasa mungkin berbeda.
Kecenderungan obat untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.
Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut:
a=Pt/Ps
Pt : tekanan parsial senyawa dalam larutan, yang diperlukan untuk menimbulkan efek
biologis
Molekul obat
Cairan ekstra sel (fasa eksternal
Cairan dalam sel (biofasa)
Inti sel
Dinding sel
Ps : tekanan uap jenuh senyawa
Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa larutan dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut:
a=St/So
St : kadar molar senyawa yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis
So : kelarutan senyawa
Karena harga Ps dan So tetap maka dimungkinkan untuk menentukan dan mengamati
perubahan Pt dan St.. Bila senyawa mempunyai tekanan parsial tinggi atau kadar dalam fasa
eksternal tinggi maka perbandingan Pt/Ps atau St/So besar, biasanya antara 1-0,01, hal ini berarti
bahwa senyawa didistribusikan ke seluruh organisme tanpa diikat secara tetap dalam sel dan
keseimbangan terjadi pada fasa eksternal dan biofasa.
Demikian pula sebaliknya bila perbadingan Pt/Ps atau St/So rendah, biasanya kurang dari
0,01, senyawa akan terikat pada reseptor tertentu dalam sel organisme dan keseimbangan antara
obat dan reseptor terjadi pada sel atau di dalamnya.
Contoh hubungan penghambatan enzim suksinat dehidrogenase oleh beberapa senyawa dengan
aktivitas termodinamik dapat dilihat pada tabel berikut.
Senyawa Kadar molar yang menyebabkan
penghambatan 50% masukan oksigen
Aktivitas
termodinamik
1. Etiluretan 0,65 0,117
2. Feniluretan 0,003 0,20
3. Propionitril 0,48 0,24
4. Valeronitril 0,08 0,36
5. Vanilin 0,011 0,0002
Pada tabel tersebut, terlihat bahwa senyawa 1 sampai 4, menunjukkan aktivitas termodinamik yang
lebih besar dari 0,01 dan aktivitas biologis dihasilkan oleh sifat kimia fisika tertentu dari senyawa
dan struktur senyawa bersifat tidak spesifik. Vanilin mempunyai nilai aktivitas termodinamik
sangat rendah rendah, lebih rendah dari 0,01 dan diduga aktivitas biologisnya dihasilkan oleh
struktur kimia obat yang spesifik.
Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat dibagi menjadi dua
golongan yaitu senyawa berstruktur tidak spesifik dan senyawa berstruktur spesifik.
1. Senyawa berstruktur tidak spesifik
Ciri-ciri senyawa berstruktur tidak spesifik :
a) senyawa dengan struktur kimia bervariasi
b) tidak berinteraksi dengan reseptor spesifik
c) aktivitas biologisnya tidak secara langsung dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika,
seperti derajat ionisasi, kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan
redoks potensial
d) efek biologis terjadi karena akumulasi obat pada daerah yang penting dari sel sehingga
menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme.
Senyawa berstuktur tidak spesifik menunjukkan aktivitas fisik dengan karakteristik
sebagai berikut :
a. Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas termodinamik, dan
memerlukan dosis yang relatif besar.
b. Walaupun perbedaan struktur kimia besra, asal aktivitas termodinamik hampir sama,
akan memberikan efek sama.
c. Ada kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d. Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas termodinamik masing-masing fasa harus
sama.
e. Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa eksternal juga mencerminkan
aktivitas termodinaamik biofasa.
f. Senyawa dengan kejenuhan sama, mempunyai aktivitas termodinamik sama
sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh karena itu, larutan jenuh dari senyawa
dengan struktur yang berbeda dapat memberikan efek biologis sama.
Contoh senyawa berstruktur tidak spesifik :
1. Obat anestesi sistemik yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida, asetilen,
nitrogen oksida, eter dan kloroform. Kadar isoanestesi bervariasi antara 0,05-100%
sedang aktivitas termodinamik variasinya berkisar antara 0,01-0,05.
2. insektisida yang mudah menguap dan bakterisida tertentu, seperti timol, kresol, n-
alkohol dan resorsinol. Dengan membandingkan nilai St dan So dari methanol dan
oktanol dapat diketahui bahwa obat yang aktifitasnya tinggi mempunyai kelarutan
dalam air rendah atau kelarutan dalam lemak besar.
2. Senyawa Berstruktur Spesifik
Senyawa berstruktur spesifik adalah senyawa yang memberikan efeknya dengan
mengikat reseptor atau aseptor yang spesifik. Mekanisme kerjanya dapat melalui salah satu cara
berikut, yaitu:
a. Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan atau pengaktifan
kembali enzim-enzim tubuh.
b. Antagonis, yaitu antagonis kimia, fungsional, farmakologis atau antagonis metabolic.
c. Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis
protein.
d. Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah menbran sel atau mempengaruhi sistem
transport membran sel.
Aktifitas biologis senyawa berstruktur spesifik tidak tergantung pada aktifitas
termodinamik, nilai a lebih kecil dari 0,01, tetapi lebih tergantung pada struktur kimia yang
spesifik. Senyawa berstruktur spesifik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Efektif pada kadar yang rendah
b. Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal
c. Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibanding ikatan pada senyawa yang
berstruktur tidak spesifik.
d. Pada keadaan kesetimbangan aktifitas biologisnya maksimal.
e. Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalam menentukan efek biologis.
f. Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab terhadap
efek biologis senyawa analog.
g. Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastic aktifitas biologis obat.
Contoh obat berstruktur spesifik, antara lain: analgesic (morfin), antihistamin
(difenhidramin), diuretika penghambat monoamine aksidase (asetazolamid) dan β-adrenergik
(salbutamol).
Pada senyawa berstruktur spesifik sedikit perubahan struktur kimia dapat berpengaruh
terhadap aktifitas biologisnya. Perbedaan antara senyawa berstruktur spesifik dan non spesifik
tidak cukup dipandang dari satu atau dua perbedaan karakteristik senyawa tetapi harus dipandang
sifat atau karakteristik secra keseluruhan. Sering pada obat tertentu tidak mempunyai struktur yang
mirip tetapi menunjukkan efek farmakologis yang sama dan perubahan sedikit struktur tidak
mempengaruhi efek.
Sebagai contoh adalah obat diuretik yang mempunyaistruktur kimia sangat bervariasi,
contoh turunan merkuri organik, turunan sulfamid, turunan tiazid, dan spironolakton. Sedikit
modifikasi struktur tidak mempengaruhi aktifitas diuretik dari masing-masing turunan. Ini
merupakan salah satu karakteristik dari senyawa berstruktur tidak spesifik, padahal kenyataannya
obat diuretik termasuk golongan senyawa berstruktur spesifik.
Contoh di atas menunjang pengertian bahwa mekanisme aksi obat pada tingkat molekul
dapat melalui beberapa jalan. Obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan respon
biologis yang sama. Sebenarnya sulit memisahkan antara senyawa berstruktur tidak spesifik dan
spesifik karena banyak senyawa yang berstruktur spesifik, seperti antibiotika turunan penisilin,
tidak berinteraksi secara spesifik dengan reseptor pada tubuh manusia, tetapi berintraksi dengan
reseptor spesifik yang terlibat pada proses pembentukan dinding sel bakteri. Jadi, aktivitas
antibakterinya terutama ditentukan oleh sifat fisika kimia seperti sifat lipofilik dan elektronik yang
berperan pada proses distribusi obat sehingga dapat mencapai jaringan target dengan kadar yang
cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Martin, A, James S, dan Arthur Cammarata.1990. Farmasi Fisik.UI Press, Jakarta.
Siswandono dan Bambang S. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Surabaya.
http://74.125.153.132/translate_c?hl=id&sl=en&u=http://www.encyclopedia.com/doc
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/
Partition_coefficient
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/445209/partition-coefficient