HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN …repository.ub.ac.id/5843/1/Ramadhan, Aditya...
Transcript of HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN …repository.ub.ac.id/5843/1/Ramadhan, Aditya...
HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN GASTROPODA
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS REGRESI DI KAWASAN HUTAN
MANGROVE KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
Oleh:
ADITYA AFTURNY RAMADHAN
NIM. 105080601111080
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Hubungan Kerapatan Mangrove Dan Kelimpahan Gastropoda Dengan
Menggunakan Analisis Regresi Di Kawasan Hutan Mangrove Kecamatan
Muncar Kabupaten Banyuwangi
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mraih Gelar Sarjana Kelautan Di Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Oleh:
ADITYA AFTURNY RAMADHAN
NIM. 105080601111080
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : Hubungan Kerapatan Mangrove Dan Kelimpahan Gastropoda Dengan
Menggunakan Analisis Regresi Di Kawasan Hutan Mangrove Kecamatan Muncar
Kabupaten Banyuwangi
Nama Mahasiswa : ADITYA AFTURNY RAMADHAN
NIM : 105080601111080
Program Studi : Ilmu Kelautan
PENGUJI PEMBIMBING :
Pembimbing 1 : Dr. H. Rudianto, MA
Pembimbing 2 : Dhira Khurniawan S.kel, M.Sc
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING :
Dosen Penguji 1 : Ir. Aida Sartimbul, M.Sc, Ph.D
Dosen Penguji 2 : Muliawati Handayani, S.Pi., M.Si
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam pembuatan Laporan Skripsi
yang saya tulis ini merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang
pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Laporan skripsi ini
hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Malang, 10 Agustus 2017
Mahasiswa
Aditya Afturny Ramadhan
RINGKASAN
Aditya Afturny Ramadhan. Hubungan Kerapatan Mangrove Dan Kelimpahan
Gastropoda Dengan Menggunakan Analisis Regresi Di Kawasan Hutan
Mangrove Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi. (dibaah bimbingan Dr. H.
Rudianto dan Dhira Khurniawan S.Kel, M.Sc)
Ekosistem mangrove merupakan bagian yang penting dan menarik dari keseluruhan ekosistem, karena memiliki fungsi baik secara fisik ekologis maupun sosial ekonomi. Fungsi ekologis terutama sebagai habitat yang baik untuk daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah mencari makan (feeding ground) bebagai macam organisme. Selain itu ekosistem mangrove juga berperan penting dalam produktivitas perairan melalui serasah yang dihasilkan, yang merupakan sumber energi bagi biota yang hidup di paerairan sekitarnya. Hal tersebut menjadikan kawasan mangrove memiliki organisme yang beragam. Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah kelompok moluska. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kerapatan mangrove dan kelimpahan gastropoda serta mengetahui kondisi kealitas perairan muncar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Nopember 2016. Sebagai bahan kajian penelitian ada 5 stasiun yang berada pada kecamatan muncar kabupaten banyuwangi.
Pengamatan mangrove dilakukan dengan menggunkan metode transek kuadrat contoh yaitu dengan cara menarik garis lurus tegak lurus garis pantai disetiap stasiun, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat berukuran 10m x 30m sebagai sub stasiun contoh: Jarak antar kuadrat ditetapkan berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Masing-masing plot replikasi berada di dalam transek kuadrat berukuran 10m x 30m. Pada plot yang berukuran 10m x 30m dilakukan perhitungan jumlah pohon atau tegakan. Di dalam plot replikasi dibuat petak berukuran 5m x 15m untuk menghitung jumlah anakan dan petak berukuran 1m x 5m untuk mengukur jumlah semai. Setiap transek, lakukan identifikasi jenis tumbuhan mangrove, hitung jumlah pohon, anakkan dan semai serta ukur diameternya yang nantinya digunakan untuk menghitung nilai INP. Hasil dari regresi linier sederhana menunjukan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kepadatan gastropoda mendapatkan hasil dengan nilai persamaan y = 188,7x + 1833,5. Hasil dari koefisien determinasi R² adalah 0,4714 yang menunjukan adanya pengaruh hubungan sebesar 47% antara kepadatan gastropoda dengan kerapatan mangrove
Kata Kunci : Mangrove, Kerapatan, Gastropoda, Kelimpahan
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan terselesaikannya Laporan skripsi ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-NYA berupa
kesempatan dan kesehatan sehingga terselesaikan laporan skripsi ini.
2. Oran tua saya serta keluarga yang selalu mendoakan dan mendukung
saya untuk menyelesaikan laporan ini.
3. Dr. H. Rudianto MA selaku pembimbing 1 dan Dhira Khurniawan S.Kel,
M.Sc selaku pembimbing 2 atas bimbingannya sehingga laporan ini dapat
terselesaikan.
4. Dr. Ir. Darmawan ockto yang telah memberikan arahan agar terselesaikan
laporan ini.
5. Teman-teman ilmu kelautan yang sama-sama berjuang untuk lulus yang
telah saling membantu dan mengingatkan, tanpa dukungan mereka
mungkin sangat sulit penulis untuk berjalan maju hingga terselesaikan
laporan ini. Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih banyak.
Malang, 10 Agustus 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS…………………….…………………………………i
UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………….……….ii
RINGKASAN….………………………………..……………………….…...…………iii
KATA PENGANTAR……………………………..………………………...………….iv
DAFTAR ISI………………………………………..…………………………..….……v
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..…….…………..vi
DAFTAR TABEL………………………………………………..……………...………vii
1. PENDAHULUAN ............................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ....................................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Perumusan Masalah ............................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan .................................................... Error! Bookmark not defined.
1.4 Kegunaan ............................................... Error! Bookmark not defined.
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Hutan Mangrove ..................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.1 Pengertian Hutan Mangrove .....................Error! Bookmark not defined.
2.1.2 Diversitas Mangrove ....................................................................... 5
2.1.3 Habitat Mangrove ........................................................................... 5
2.1.4 Zonasi Distribusi Mangrove………………………….…………..……6
2.1.5 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove………………………………..8
2.2 Gastropoda .......................................................................................... ..9
2.2.1 Pengertian gastropoda………………………………………......……...9
2.2.2 Klasifikasi dan Morfologi gatropoda ...................................................... 9
2.2.3 Habitat Gastropoda ...................................................................... 10
2.2.4 Makanan dan Kebiasaan Gastropoda..……………………………...12
2.2.5 Kepadatan gastropoda…………….....……………………………….12
vi
2.2.6 Keanekaragaman Jenis Gastropoda...……………………………….13
2.2.7 Pola Sebaran Gastropoda………………………………..…………...13
2.2.8 Hubungan Kerapatan Mangrove dan Kepadatan Gastropoda…….14
2.3 Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Gatropoda ................... 14
2.3.1 Suhu ............................................................................................. 14
2.3.2 Oksigen Terlarut (DO) ...............................Error! Bookmark not defined.
2.3.3 Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 16
2.3.4 Salinitas ........................................................................................ 16
2.3.5 Substrat Dasar.............................................................................. 17
2.3.6 Kondisi Optimum Gastropoda .............................................................. 17
3. METODE PENELITIAN .................................................................................. 19
3.1 Waktu dan Lokasi penelitian ................................................................ 19
3.2 Alat dan Bahan ....................................... Error! Bookmark not defined.
3.2.1 Alat ........................................................................................... 20
3.2.2 Bahan ........................................................................................ 20
3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................... 21
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data Mangrove .............................................. 21
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data Gastropoda ............................................ 22
3.4 Metode Pengolahan Data .................................................................... 22
3.5 Teknik Penentuan Lokasi Stasiun ........................................................ 25
3.6 Hubungan Kepadatan Gastropoda Terhadap Kerapatan Mangrove . 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................. Error! Bookmark not defined.
4.1 Hasil Penelitian……………………………………………………………….27
4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
4.1.2 Jenis Mangrove dan Kerapatannya .. Error! Bookmark not defined.
vii
4.2 Gastropoda ........................................................................................ 33
4.2.1 Identifikasi dan Kepadatan Gastropoda……………......……………33
4.3 Data Kualitas Air ..................................... Error! Bookmark not defined.
4.4 Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Gastropoda .. 41
5. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 43
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 43
5.2 Saran ............................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 44
LAMPIRAN……………………………………………………………………………..47
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Zonasi Mangrove…………………………………………………………5
Gambar 2. Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove………………….7
Gambar 3. Bagan Cangkang Gastropoda……………..…………………………...9
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di Desa Muncar Kabupaten Banyuwangi…..16
Gambar 5. Stasiun Lokasi Penelitian………………………………………………..18
Gambar 6. Transek Gastropoda……………………………………………………..19
Gambar 7. Grafik Jumlah Mangrove Tiap Stasiun……...……………………….…31
Gambar 8. Grafik Jumlah Gastropoda Tiap Stasiun……………………………….33
Gambar 9. Hasil Nilai Kecerahan Setiap Stasiun…………………………………..39
Gambar 10. Hasil Nilai Suhu Setiap Stasiun………………………………………..39
Gambar 11. Hasil Nilai PH setiap Stasiun…………………………………………..40
Gambar 12. Hasil Nilai DO setiap Stasiun…………………………………………..40
Gambar 13. Hasil Nilai Salinitas Setiap Stasiun
Gambar 14.Grafik Regresi Linier Sederhana Kepadatan Gastropoda dengan Kerapatan Mangrove…………………………………………………….29
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Alat dan Fungsi………………………………………………………………17 Tabel 2. Bahan dan Fungsi …………………………………………………………..17 Tabel 3. Analisis Korelasi……………………………………………………………..23 Tabel 4. Jenis Mangrove dan Total Kerapatan……………………………………..24
Tabel 5. Baku Mutu Kerapatan Mangrove…………………………………………..25
Tabel 6. Struktur Komunitas Gastropoda……………………………………………26
Tabel 7. Data Kualitas Air…………………………………………………………
1
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan bagian yang penting dan menarik dari
keseluruhan ekosistem, karena memiliki fungsi baik secara fisik ekologis maupun
sosial ekonomi. Fungsi ekologis terutama sebagai habitat yang baik untuk daerah
pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah
mencari makan (feeding ground) bebagai macam organisme. Selain itu
ekosistem mangrove juga berperan penting dalam produktivitas perairan melalui
serasah yang dihasilkan, yang merupakan sumber energi bagi biota yang hidup
di paerairan sekitarnya. Hal tersebut menjadikan kawasan mangrove memiliki
organisme yang beragam. Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem
mangrove adalah kelompok moluska (Suwondo et al., 2006).
Salah satu fauna penghuni asli kawasan mangrove adalah gastropoda.
Keberadaan gastropoda ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kawasan mangrove
itu sendiri. Pada kawasan yang terbuka terhadap laut lepas, komposisi
gastropoda akan lebih banyak dipengaruhi oleh jenis yang berasal dari laut.
Selain itu juga ditentukan oleh kondisi fisika kimia substrat dan komunitas
mangrove itu sendiri (Samson, 1999).
Ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang
berubah setiap saat. Hal ini memberikan pengaruh terhadap biota perairan yang
hidup berasosiasi dengan ekosistem mangrove tersebut (Yuniarti, 2007)
menyatakan bahwa wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang produktif
yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Potensi
mangrove sebagai sumber nutrien bagi biota yang hidup di dalamnya sebagai
2
tempat tinggal, tempat mencari makan (feeding ground), pembesaran (nursery
ground) serta tempat pemijahan (spawning ground).
Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses
dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang bersifat
herbivor dan detrivor, dengan kata lain gastropoda berkedudukan sebagai
dekomposer. Kehadiran gastropoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi
mangrove yang ada di daerah pesisir. Kepadatan dan asosiasi gastropoda
dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat, ketersediaan makanan,
pemangsaan dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat
mempengaruhi jumlah kepadatan jenis dan perbedaan pada asosiasi (Suwondo
dkk, 2006)
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu diketahui mengenai kelimpahan
gastropoda pada kawasan mangrove di pesisir Muncar Kecamatan Muncar,
Kabupaten Banyuwangi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kepadatan Gastropoda di kawasan Mangrove, pesisir Muncar
Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi?
2. Bagaimana kerapatan hutan mangrove di pesisir Muncar?
3. Faktor-faktor lingkungan apakah yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman Gastropoda di kawasan Mangrove?
4. Bagaimana hubungan antara kerapatan mangrove dan kepadatan
gastropoda?
1.3 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
3
1. Untuk mengetahui kerapatan mangrove di persisir muncar kecamatan
muncar kabupaten banyuwangi.
2. Untuk mengetahui Kepadatan Gastropoda di pesisir Muncar Kecamatan
Muncar, Kabupaten Banyuwangi.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove dan kepadatan
gastropoda.
1.4 Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu ;
1. Untuk mengetahui keanekaragaman gastropoda, dan faktor lain yang
mempengaruhinya di pesisir Muncar, Kecamatan Muncar, Kabupaten
Banyuwangi.
2. Memberikan informasi mengenai peranan serta pemanfaatannya oleh
masyarakat sekitar dari Gastropoda.
3. Memberikan data dan informasi bagi pemerintah daerah terutama Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi untuk menentukan
kebijakannya agar kawasan Mangrove dan organisme yang berasosiasi
tidak rusak dan tetap terjaga.
1.5 Waktu Dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir hutan mangrove muncar, kecamatan
muncar, kabupaten banyuwangi, pada tanggal 29 Oktober 2016 sampai 4
Nopember 2016. Pengamatan identifikasi biota gastropoda dilakukan di
Laboratorium Ilmu-Ilmu Perairan (IIP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya Malang.
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
2.1.1 Pengertian Hutan Mangrove
Hutan mangrove atau lebih dikenal dengan hutan bakau merupakan hutan
yang tumbuh di atas rawa-rawa pada perairan payau yang terletak pada garis
pantai dan dipengaruhi oleh proses pasang surut. Mangrove tumbuh di tempat
pengendapan lumpur yang banyak mengandung bahan organik dan terlindung
dari deburan ombak, maupun muara sungai (Leksono, 2011).
Ekosistem mangrove adalah ekosistem peralihan antara darat dan laut
yang memiliki peran dan fungsi yang sangat besar terhadap ekosistem pesisir.
Secara ekologis, mangrove berfungsi sebagai mata rantai makanan di suatu
perairan yang tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, melainkan
juga menciptakan suasana iklim yang kondusif dan menjaga keseimbangan
siklus biologi perairan. Kekhasan tipe perakaran berbagai jenis mangrove
(seperti Rhizophora spp., Avicennia spp. dan Sonneratia spp.), kondisi tanah
hutan, kubangan dan alur-alur yang berhubungan merupakan perlindungan bagi
larva biota. Kondisi yang seperti ini sangat mendukung dalam menyediakan
tempat bertelur, pemijahan dan pembesaran, serta mencari makan. Selain itu,
juga berperan bagi habitat jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi (Pramudji, 2011).
Menurut Indriyanto (2012), ekosistem mangrove memiliki keaneragaman
yang tinggi dengan jumlah spesies mencapai 202 spesies yang terdiri dari 89
spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan satu
spesies sikas. Spesies-spesies yang termasuk pohon utama adalah Avicennia
spp., Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. Spesies tumbuhan yang hidup di air
payau ini, digolongkan sesuai dengan tingkat kadar garam dan fluktuasi
5
permukaan air laut yang disebut juga zonasi vegetasi. Pengelompokan zonasi
vegetasi mangrove dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat adalah
sebagai berikut.
1. Jalur Pedada yang terbentuk oleh golongan spesies tumbuhan Avicennia spp.
dan Sonneratia spp.
2. Jalur Bakau yang terbentuk oleh golongan spesies tumbuhan Bruguiera spp.
dan juga seringkali ditemui Xylocarpus spp., Kandelia spp. dan Aegiceras spp.
3. Jalur Transisi, yang merupakan wilayah antara hutan mangrove dengan hutan
dataran rendah adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fruticans.
1.1.2 Diversitas Mangrove
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman
jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri
atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis
sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang
spesifik hutan mangrove (Bengen, 2000).
Jenis tanaman mangrove di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi
didominasi oleh 2 jenis spesies antara lain yaitu bakau (Rhizophoramucronata)
dan bogem (Sonneratia caseolaris) (Sudarmadji,2011).
1.1.3 Habitat Mangrove
Hutan Mangrove yang terbentuk tergantung pada kondisi yang mendukung,
yaitu faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi flora dan fauna serta
hubungan yang terjadi di dalamnya (Kustanti, 2011). Menurut (Chapman,1975
dalam Kustanti, 2011) Faktor abiotik sebagai syarat utama terbentuknya hutan
mangrove adalah
1. Suhu
2. Substrat lumpur
6
3. Daerah payau
4. Arus air laut
Menurut Setyawan et al., (2002), faktor lingkungan utama yang
mempengaruhi mangrove dalam jangka panjang adalah ketinggian dan fluktuasi
permukaan laut. Adapun faktor-faktor jangka pendek yang berpengaruh adalah
suhu, salinitas, arus laut, angin badai, kemiringan pantai, dan subtract sedimen
tanah. Kebanyakan mangrove tumbuh di tanah lumpur, namun dapat pula
tumbuh di tanah gambut, pasir, dan batu karang. Apabila kondisi pasang surut
optimal, mangrove dapat tumbuh jauh ke pedalaman sepanjang muara sungai
dan teluk.
Gambar 1. Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove
(Sumber: Bengen, 2002)
1.1.4 Zonasi Distribusi Mangrove
Tumbuhan mangrove umumnya membentuk zonasi mulai dari pinggir
pantai kea rah daratan. Zonasi ini mencerminkan tanggapan ekofisiologi
tumbuhan mangrove terhadap perubahan gradasi lingkungan. Zonasi yang
terbentuk dapat sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) atau kompleks
(beberapa zonasi) (setyawan AD, 2008).
7
Menurut Saparinto (2007) Zonasi distribusi mangrove berdasarkan jenisnya
adalah sebagai berikut :
1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove.
Sebagian besar didomniasi oleh satu atau lebih spesies avicennia.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona avicennia. Didominasi oleh satu
atau lebih spesies rhizophora. Spesies rhizophora sering kali tinggi dan
berkembang pada daerah intertidal yang luas.
3. Zona Brugrueira, dibelakang zona rhozophora. Pohon-pohon genus
Brugueira berkembang pada sedimen yang lebih berat (tanah liat).
4. Zona Nypa, yang terkadang-kadang ada dan jenis tumbuhannya adalah
nypa, suatu asosiasi dari semak yang kecil-kecil.
Gambar 2. Zonasi Mangrove
(Sumber: Welly dan Sumerta, 2010)
Sedangkan Menurut Noor et al., (2006), Secara sederhana, mangrove
umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah,
daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah
kearah daratan yang memiliki air tawar.
1. Mangrove terbuka
Mangrove berada pada abagian yang berhadapan dengan laut. Sonneratia
marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah
yang berlumpur
8
2. Mangrove tengah
Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona
ini biasanya didomonasi oleh jenis Rhizophora.
3. Mangrove payau
Mangrove berada di sepanjang sungai berair payau hampir tawar. Di zona
ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.
4. Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang
jalur hijau manrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan
pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Intsia bijuga, N. fruticans,
Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis.
1.1.5 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan sudah sangat
dirasakan manfaatnya. Menurut Soemarno et al. (2010), mangrove, magal,
bakau, hutan pantai dan hutan api-api adalah merupakan komunitas tumbuhan
pantai yang berperan penting untuk kehidupan laut. Secara ekologis, hutan
mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik (penahan ombak,
angin dan intrusi air laut) dan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis
kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput dan hewan jenis
lainnya. Hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar
seperti monyet, ular, berang-berang, biawak dan burung. Ditinjau dari aspek
sosial ekonomi, peran hutan mangrove dapat dilihat dari kegiatan masyarakat
dalam memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu bakar, tempat wisata
alam dan sumber rezeki masyarakat nelayan maupun petani di tepi pantai.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang terjadi di pesisir Pulau Jawa
semakin cepat berlangsung dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian
yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahan-perubahan yang terjadi di
9
daerah pesisir telah merubah fungsi kawasan mangrove. Kerusakan terjadi
sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan
membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian,
pemukiman, tempat rekreasi dan bencana alam (banjir, kekeringan, badai dan
tsunami), serta serangan hama penyakit.
Menurut Saparinto (2007), keterkaitan antara potensi dengan fungsi
mangrove dapat dirasakan oleh manusia dan lingkungannya baik langsung
maupun tidak langsung. Beberapa fungsi dari kawasan mangrove antara lain
adalah sebagai fungsi fisik, kimia, biologi, sosial dan ekonomi.
1.2 Gastropoda
2.2.1 Pengertian Gastropoda
Gastropoda berasal dari kata gastros: perut; podo: kaki. Jadi Gastropoda
berarti hewan yang berjalan dengan perutnya. Hewan anggota kelas Gastropoda
umumnya bercangkang tunggal yang terpilin membentuk spiral dengan bentuk
dan warna yang beragam. Cangkang Gastropoda sudah terpilin sejak masa
embrio (Harminto, 2003).
Menurut Barnes (1980) kelas Gastropoda merupakan kelas terbesar dari
Mollusca lebih dari 75.000 spesies yang ada telah teridentifikasi dan 15.000
diantaranya dapat dilihat bentuk fosilnya. Fosil dari kelas tersebut secara terus
menerus tercatat mulai awal zaman Cambrian. Ditemukan Gastropoda
diberbagai macam habitat, dapat disimpulkan bahwa gastropoda merupakan
kelas yang paling sukses diantara kelas lain.
1.2.2 Klasifikasi dan Morfologi Gastropoda
Sebelum mencapai bentuk yang sempurna, gastropoda mengalami
perubahan bentuk tubuh yang meliputi tiga tahapan utama, yaitu perkembangan
kepala, perubahan cangkang dari fungsinya sebagai alat pelindung, menjadi
tempat membenamkan tubuh lunaknya dan perputaran cangkang (torsi). Adapun
10
setelah bentuknya sempurna, Gastropoda tersusun atas kepala, leher, kaki dan
badan (Barnes, 1987).
Gastropoda memiliki bentuk cangkang yang beragam, ada yang conical,
biconical,abconical, turreted, fusi form, patelli form, ovoid, discoidal, involute,
obovatus, globose, lenticular, bulloid, cylindrycal dan trochoid (Oemarjati dan
Wardana 1990). Bagan cangkang gastropoda dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Bagan Cangkang Gastropoda (Sumber: Dharma, 1988)
1.2.3 Habitat Gastropoda
Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan
dan bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji,1987).
Menurut Mujiono (2008), beberapa gastropoda yang dominan terdapat pada
ekosistem mangrove adalaha family Littorinidae (Littorina scabra). Keberadaan
jenis gastropoda tersebut tergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan
11
diri atau memiliki toleransi lingkungan yang luas, seperti lahan kering (Littorina,
Brachiodontes, dan Crassostrea), dan tahan terendam air (Cerithidea).
Sebagian dari gastropoda hidup di daerah mangrove, memiliki adaptasi
spasial yakni dengan cara hidup di atas permukaan substrat yang berlumpur
atau tergenang air, hidup menempel pada akar atau batang dan hidup
membenamkan diri didalam lumpur (Susiana,2011).
Sebagian dari gastropoda juga hidup di daerah hutan Bakau, ada yang
hidupnya di lumpur atau tanah yang tergenang air, ada juga yang menempel
pada akar dan batangnya, bahkan adapula yang memiliki kemampuan
memanjat, misalnya Littorina. Pada umumnya pergerakan Gastropoda sangat
lambat dan bukan merupakan binatang yang berpindah-pindah (Dharma, 1988).
Gastropoda di ekosistem mangrove berdasarkan habitatnya, terdiri dari
gastropoda yang hidup di atas permukaan tanah (epifauna), gastropoda yang
hidup meliang didalam tanah (infauna), dan gastropoda yang hidup di pohon
mangrove (tree fauna). Gastropoda yang termasuk tree fauna, bergerak aktif naik
turun mengikuti pasang surut. Hal tersebut merupakan suatu adaptasi terhadap
perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pengaruh pasang surut di
ekosistem mangrove (Sasekumar, 1974).
Gastropoda yang hidup di daerah pasang surut memiliki beberapa cara
dalam mengatasi perubahan faktor lingkungan, yaitu dengan menyimpan air
dalam cangkangnya, bergerak mencari tempat yang masih digenangi air atau
masih lembab, memodifikasi atau menambah alat pernafasan lain selain insang
sehingga dapat mengambil oksigen langsung dari udara, memiliki cara
reproduksi yang dipengaruhi oleh pasang surut, mempunyai toleransi terhadap
fluktuasi salinitas yang besar terutama di daerah tropis yang mengalami
penyinaran matahari yang kuat dan frekuensi hujan yang cukup tinggi (Budiman
1986).
12
1.2.4 Makanan dan Kebiasaan Makan Gastropoda
Gastropoda adalah hewan invertebrata yang melakukan aktifitas lokomosi
dengan kaki-perutnya (gastro-perut, poda-kaki). Untuk mengetahui
kecenderungan lokomosi Gastropoda terhadap perubahan pasang surut
(geotropisme), kami mengamati gastropoda yang berhabitat di akar napas
mangrove. Letaknya bervariasi, dari yang sangat dekat dengan permukaan air
hingga jauh dari permukaan air.
Guttierez (1988) menyatakan bahwa gastropoda Mangrove memangsa
hewan mikrofagus seperti detritus, sponge, alga, dan mikroorganisme tak
bercangkang lainnya. Pada keadaan surut, mangsa-mangsa tersebut terdedah di
permukaan substrat sehingga memudahkan gastropoda untuk memangsanya.
Seperti yang dikemukakan oleh Hesse (1947) faktor kedua yang menstimulus
hewan untuk berlokomosi adalah faktor barrier. Saat keadaan surut, predator
gastropoda yang berupa kepiting sedang tidak aktif. Kepiting aktif pada sore dan
malam hari, yaitu saat keadaan substrat berair karena kepiting adalah hewan
yang berlokomosi dengan cara berenang dan berjalan (Trueman, 1975).
1.2.5 Kepadatan Gastropoda
Kepadatan dan pola distribusi Gastropoda merupakan informasi yang
penting. Kepadatan dapat dijadikan indikator perubahan kondisi lingkungan dan
dasar untuk mengetahui kemungkinan kelangsungan hidup dan keterancaman
keberadaan biota di alam. Kepadatan populasi di suatu daerah juga dapat
dipengaruhi oleh pola distribusi dari populasinya.
Beberapa penelitian mengenai kepadatan dan pola distribusi Gastropoda
yang telah dilakukan antara lain pada mangrove di Pantai Cermin Kecamatan
Serdang Sumatera Utara oleh (Tanjung 2012:03) ditemukan 10 jenis dengan
kepadatan 22,75 ind/m², didominasi oleh Telescopium telescopium dengan pola
distribusi merata. Di kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap, (Pribadi
13
2009:05) mendapatkan 19 jenis Gastropoda dengan kepadatan 15,71 ind/m²,
didominasi oleh Neritalineata dengan pola distribusi mengelompok dan acak.
1.2.6 Keanekaragaman Jenis Gastropoda
Keanekaragaman gastropoda merupakan gambaran banyaknya jenis
gastropoda yang ditemukan pada setiap stasiun/titik sampel. Kelimpahan
gastropoda sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain faktor biotik
dan abiotik (Ayunda, 2011).
Menurut Hutabarat (1985), bahwa faktor biotik terdiri dari pohon mangrove
yang merupakan sumber makanan utama bagi gastropoda. Faktor abiotik terdiri
dari suhu, salinitas subtrat dasaran. Perubahan suhu dapat mempengaruhi
kelimpahan hewan pada suatu perairan. Salinitas juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keberadaan gastropoda karena organisme laut hanya
dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil dan lambat.
1.2.7 Pola Sebaran Gastropoda
Pola sebaran gastropoda di Muara Sungai Kawal menunjukkan seluruhnya
bersifat mengelompok. Siregar (2013) menyatakan hal ini merupakan bentuk
penyebaran paling umum yang terjadi di alam. Kelompok individu yang hidup
secara berkelompok memiliki kemampuan mobilitas yang rendah sehingga sukar
untuk menyebar dan berpindah-pindah. Jenis-jenis yang mempunyai pola
penyebaran mengelompok ini menunjukkan bahwa kehidupannya membutuhkan
habitat yang khas, sehingga pola penyebaran jenis-jenis ini sempit dan terbatas.
Odum (1994) dalam Siregar (2013) menyatakan bahwa pola penyebaran biota di
alam umumnya terjadi secara mengelompok dan jarang sekali terjadi acak. Sifat
individu yang cenderung mengelompok tersebut sebagai akibat menanggapi
perubahan cuaca dan musim, perubahan habitat dan proses reproduktif. Pola
penyebaran ini sangat tidak menguntungkan karena dapat meningkatkan
14
persaingan antar individu dalam mendapatkan makanan dan ruang sebagai
tempat hidupnya.
2.2.8 Hubungan Kerapatan Mangrove dan Kepadatan Gastropoda
Filum moluska yang hidup dalam ekosistem mangrove daerah pantai dan
estuaria berada di daerah pasang surut sehingga mempunyai kemampuan
beradaptasi terhadap daerah yang cenderung kering, perubahan salinitas serta
derajat keasaman (pH) dari tanah mangrove. Hal ini dikarenakan pengaruh air
laut dan air tawar serta proses biologi kimia tanah. Ada beberapa cara bagi
bivalvia untuk mengatasi masalah terhadap habitat ekosistem mangrove yang
khas tersebut, antara lain adalah dengan menyimpan air dalam cangkang yang
cukup banyak, bergerak mencari tempat yang masih digenangi air atau
berlindung di semak-semak mangrove atau memodifikasi alat pernapasan selain
insang serta memiliki kemampuan bertoleransi terhadap kekeruhan dengan cara
menyaring dan membuat partikel lumpur dari air (Nybakken,1992).
1.3 Parameter Lingkungan Yang Mempengaruhi Gastropoda
Keberadaan gastropoda pada suatu perairan, maupun kawasan mangrove
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik.
Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah serasah mangrove sebagai
produsen primer yang merupakan salah satu sumber makanan utama bagi
gastropoda. Sedangkan menurut Allard, (1987) faktor abiotik adalah kondisi
fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, oksigen terlarut (DO), pH, Salintas dan
substrat dasar.
1.3.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor terpenting di dalam suatu perairan.
Perubahan suhu akan mempengaruhi kelarutan oksigen pada suatu perairan.
Dimana, semakin tinggi suhu perairan, maka semakin kecil kelarutan oksigennya
15
dan berlaku sebaliknya. Kebutuhan oksigen akan meningkat seiring dengan
meningkatnya proses metabolisme (Faozan, 2004).
Hal sama diungkapkan (Effendi, 2003), bahwa peningkatan suhu perairan
akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup
didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu
perairan sebesar 10o
C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen
oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
Perubahan suhu berpengaruh terhadap jenis organisme yang dapat
hidupdan bertahan pada wilayah perairan tertentu, serta aktivitas suatu
organisme. Suhu berpengaruh terhadap kandungan oksigen yang larut dalam air.
Semakin tinggi suhu suatu perairan, maka semakin sedikit oksigen yang larut
dalam air (Pescod 1973).
1.3.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tumbuhan
dan hewan di dalam air. Kehidupan organisme di dalam air tersebut tergantung
dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupannya (Fardiaz 1992). Oksigen terlarut di dalam air
berasal dari udara dan dari proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan air. Terlarutnya
oksigen di dalam air dipengaruhi oleh suhu, tekanan barometrik udara, dan kadar
mineral di dalam air (Alaerts & Santika 1984).
Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut dalam perairan berbeda-
beda tergantung pada jenis organismenya. Pada perairan dengan kandungan
oksigen terlarut rendah, kondisi suatu perairan dapat menjadi anaerob, sehingga
kehidupan mengganggu kehidupan Gastropoda di dalamnya (Goldman & Horne
1983: 97).
16
Berdasarkan kandungan oksigenterlarut (DO), Lee et al.,(1978)
mengelompokkan kualitas perairan menjadi empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5
mg/l), tercemar ringan (4,5--6,5 mg/l), tercemar sedang (2,0-- 4,4 mg/l) dan
tercemar berat (<2,0 mg/l).
1.3.4 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu
larutan melalui konsentrasi ion hidrogen H+. Semakin tinggi konsentrasi ion H+
akan mengurangi konsentrasi ion OH, sehingga nilai pH air lebih kecil dari tujuh.
Hal sebaliknya terjadi jika konsentrasi ion OH bertambah, maka akan
menurunkan konsentrasi ion H+ dalam air, sehingga pH akan bernilai diatas tujuh
(Kordi & Tancung 2007).
Menurut Kordi dan Tancung (2007), suatu lingkungan perairan dengan pH
rendah mengakibatkan kandungan oksigen terlarut berkurang. Hal tersebut
menyebabkan konsumsi oksigen menurun dan aktivitas pernafasan naik,
sehingga selera makan Gastropoda berkurang karena lebih banyak beraktivitas
mengambil udara.
1.3.5 Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme baik secara
horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. (Odum, 1971).
Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna
menghindari salinitas yang terlalu rendah (Effendi, 2003).
Menurut Astuti (1990) bahwa salinitas sangat berpengaruh terhadap
distribusi hewan benthos, karena berkaitan dengan kemampuan organisme
untuk dapat hidup pada suatu perairan dengan salinitas tertentu. Untuk mengatur
kondisi tersebut sangat tergantung pada kemampuannya dalam merubah
tekanan osmose di dalam tubuhnya agar sesuaidengan lingkungannya.
17
Hughes (1986) mengatakan bahwa fluktuasi salinitas diperairan untuk
gastropoda intertidal tidak menyebabkan peningkatan rata-rata metabolisme di
atas tingkat normalnya, karena gastropoda termasuk jenis organisme laut yang
dapat menyesuaikan diri dengan habitat atau lingkungan yang ditempatinya
(osmokonformer).
1.3.6 Substrat Dasar
Substrat didefinisikan sebagai campuran dari lumpur, pasir, dan tanah liat.
Pada perairan yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan substrat yang kasar
yaitu pasir atau kerikil, karena partikel kecil akan terbawa arus air. Jika
perairannya tenang dan arusnya lemah, maka lumpur halus akan mengendap
(Brower & Zar 1977: 42--43).
Tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir kasar
dan tipe substrat berpasir halus. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju
pertukaran air yang cepat dan kandungan organik yang rendah, sehingga
oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat
berlangsung secara aerob. Sementara itu tipe substrat berpasir halus kurang
baik untuk pertumbuhan organisme perairan karena memiliki pertukaran air yang
lambat dan dapat menyebabkan proses dekomposisi yang berlangsung
disubstrat pada keadaan anaerob (Nybakken 1992).
1.3.7 Kondisi Optimum Gastropoda
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu berpengaruh terhadap
proses metabolisme suatu organisme. Gastropoda dapat melakukan proses
metabolisme secara optimal pada kisaran suhu antara 25--320C (Suwondo et
al.,2006).
Kandungan DO yang optimum untuk moluska bentik berkisar 4,50-6,60
mg/L (Razak, 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Lee et al., (1878) bahwa
18
kandungan DO tergolong tercemar ringan dengan nilai 4,50-6,50 mg/L,
sedangkan sama atau di atas 6,50 mg/L tergolong tidak tercemar yang berarti
masih alami.
Gastropoda memiliki batas toleransi terhadap derajat keasaman (pH) yang
besarnya bergantung pada oksigen terlarut, suhu air, keberadaan berbagai
kation dan anion, serta jenis organisme yang ada (Pescod 1973:). Menurut
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, baku mutu pH untuk
biota di laut yaitu berkisar antara 7-8,5.
Untuk dapat hidup normal hewan bentos harus berada pada rentangan
salinitas antara 25 - 40‰ (Coles, 1977). Sedangkan Menurut Huet, (1972)
bahawa Salinitas optimum untuk gastropoda berkisar 2-36 ‰.
Harman (1974) menyatakan bahwa karakteristik substrat dasar perairan
yang berupa batuan dan lumpur pada umumnya cocok untuk kehidupan
Gastropoda dibandingkan dengan substrat tanah liat.
19
3. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Oktober – 1 Nopember di kawasan
hutan Mangrove pesisir Muncar desa Muncar Kabupaten Banyuwangi. Penelitian
ini terdiri dari pengambilan sampel dilapang dan analisis data di Laboratorium
Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Malang. Lokasi penelitian
dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini :
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di Desa Muncar Kabupaten Banyuwangi
20
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alat dan Fungsi
Alat Fungsi
Tali rafia 10M (4 pack) Transek kuadran
Alat tulis Mencatat data
Kamera digital (canon) Dokumentasi data
Ph meter Mengukur kadar Ph perairan
Gps (Garmin) Menetukan titik koordinat lokasi
Salinometer Mengukur kadar salinitas perairan
Termometer Digital Mengukur suhu perairan
Toples Tempat sampel gastropoda
Washing bottle Wadah aquades
Notebook (Acer) Untuk mengidentifikasi jenis mangrove
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Bahan dan Fungsi
Bahan Fungsi
Aquades Kalibrasi dan membersihkan alat
Formalin (4 %) dan alkohol (95%) Mengawetkan gastropoda
Kertas label Penanda sampel
Gastropoda Bahan yang diidentifikasi
Tisu Mengeringkan alat setelah dibilas
menggunakan aquades
21
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data Mangrove
Pengamatan mangrove dilakukan dengan menggunkan metode transek
kuadrat contoh yaitu dengan cara menarik garis lurus tegak lurus garis pantai
disetiap stasiun, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat berukuran
10m x 30m sebagai sub stasiun contoh: Jarak antar kuadrat ditetapkan
berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Masing-masing plot replikasi berada di
dalam transek kuadrat berukuran 10m x 30m. Pada plot yang berukuran 10m x
30m dilakukan perhitungan jumlah pohon atau tegakan. Di dalam plot replikasi
dibuat petak berukuran 5m x 15m untuk menghitung jumlah anakan dan petak
berukuran 1m x 5m untuk mengukur jumlah semai. Setiap transek, lakukan
identifikasi jenis tumbuhan mangrove, hitung jumlah pohon, anakkan dan semai
serta ukur diameternya yang nantinya digunakan untuk menghitung nilai INP.
Pengambilan sampel Gastropoda dilakukan pada waktu surut terendah di
setiap stasiun. Sampel Gastropoda yangberadadi hutan mangrove baik di
substrat pasir, lumpur, akar, batang, dan daun tanaman mangrove diambil dan di
masukkan kedalam kantong plastik serta diberi label. Gastropoda yang sudah
diberi label dibawa ke Laboratorium untuk diidentifikasi.
Gambar 5. Stasiun Lokasi Penelitian
22
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data Gastropoda
Pengambilan sampel gastropoda dilakukan pada transek pengamatan
vegetasi mangrove yang berukuran 10m × 10m yang didalam plot dibuat 5 buah
sub plot yaitu kanan atas, kiri atas, kanan bawah, kiri bawah dan tengah dimana
masing-masing sub plot tersebut berukuran 1m × 1m (Priangle,1984).
Pembuatan sub plot dapat dilihat pada gambar 6, pengambilan sampel
gastropoda dilakukan dengan cara langsung memungut biota kemudian
dibersihkan dan dimasukan kedalam toples setelah itu diawetkan menggunakan
formalin 10% selama ±1 hari kemudian dimasukan kedalam larutan alkohol 70%
setelah itu diidentifikasi (Raniatsih dan Kushartono 2009).
Pada penelitian ini saya menggunakan plot dengan ukuran 1m x 5m untuk
pengukuran kepadatan mangrove didalam transek mangrove yang berukuran
10m x 30m.
Gambar 6. Transek Gastropoda
3.4 Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
perhitungan indeks ekologis berdasarkan kerapatan jenis mangrove dan
kelimpahan, kelimpahan relative, indeks keanekaragaman, indeks dominansi dan
indeks keseragaman gastropoda.
Kerapatan Jenis
10m
30m
Plot 1
Plot 3 Plot 4
Plot 2
Plot 5 1m
x 5m
23
Keterangan :
Di = kerapatan jenis
ni = jumlah total tegakan jenis kei
= luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)
Kelimpahan jenis
keterangan: Xi = kelimpahan spesies ke-i.
ni = jumlah spesies ke-i.
A = luas permukaan pengambilan sampel (m2
).
Kelimpahan Relative
Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini
adalah persamaan Shanon-Wiener (Krebs, 1999; Krebs, 2001; Molles,2002).
∑
Keterangan :
= Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener
S = Jumlah Spesies,
= ni /N
Ni = Jumlah Individu jenis ke-i,
N = Jumlah total individu
Dengan kriteria :
24
- Jika nilai H > 3, maka keragaman tinggi
- Jika nilai 1 < H < 3, maka keragaman sedang
- Jika nilai H < 1, maka keragaman rendah
Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman menunjukkan merata atau tidaknya pola sebaran
jenis suatu spesies. Formula yang digunakan untuk menghitung indeks tersebut
adalah (Krebs, 1989; Barbour et al. 1987):
Keterangan :
= Indeks Keseragaman
maks= ln s (s adalah spesies)
= Indeks Keragaman
H’ max akan terjadi apabila ditemukan dalam suasana dimana semua
spesies melimpah. Nilai indeks keseragaman ( ), dengan kisaran antara 0dan 1.
Nilai 1 menggambarkan keadaan semua spesies melimpah (Fachrul,2006).
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
spesies yang mendominasi pada suatu populasi. Odum (1993) untuk mengetahui
adanya pendominasian jenis tertentu dapat digunakan indeks dominansi simpson
dengan persamaan berikut :
∑
Keterangan
= indeks dominansi Simpson
S = jumlah jenis
= ni/N
25
Dengan kriteria :
- Jika nilai 0 < D � 0,5 maka Dominansi rendah
- Jika nilai 0,5 < D � 0,75, maka Dominansi sedang
- Jika nilai 0,75 < D � 1,00, maka Dominansi tinggi
Pada suatu komunitas sering dijumpai spesies dominan. Spesies dominan
menyebabkan keragaman jenis rendah. Keragaman jenis rendah, jika hanya
terdapat beberapa jenis yang melimpah, dan sebaliknya suatu komunitas
dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing
jenis tinggi (Odum 1993).
3.5 Teknik Penentuan Lokasi Stasiun
Lokasi penelitian berada pada ekosistem mangrove di pesisir muncar.
Penentuan stasiun penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling
yaitu berdasarkan kerapatan mangrove, lokasi mangrove dan kondisi perairan
Maka dalam stasiun penelitian ditetapkan dengan 3 lokasi yang berbeda.
Stasiun1 merupakan kawasan mangrove berdekatan dengan pemukiman dan
stasiun 2 merupakan kawasan mangrove berdekatan dengan tambak. stasiun 3
merupakan kawasan mangrove buatan berdekatan dengan muara.
3.6 Hubungan Kerapatan mangrove Terhadap Kepadatan gastropoda
Menurut Krebs (1989), dalam melihat hubungan antara dua variable (x dan
y) yang berbeda, dilakukan pengujian model menggunakan regresi sederhana.
Dari data kerapatan mangrove dan kepadatan gastropoda. Rumus yang
digunakan adalah:
Keterangan :
= Kepadatan gastropoda
𝑌 𝑎 + 𝑏𝑋
26
= Kerapatan Mangrove
= Konstanta
= slope
Keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kepadatan
bivalvia dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi (r) dan koefisien
determinasi (R2). Nilai koefisien korelasi berkisar – 1 sampai +1, tanda negatif (-)
menyatakan korelasi negatif dan tanda positif (+) menyatakan korelasi positif.
Nilai koefisien determinasi berkisar antara 0 sampai 1. Koefisien determinasi
menggambarkan besarnya variasi indeks tetap (y) dapat diterangkan oleh indeks
bebas (x). Sedangkan koefisien korelasi menggambarkan besarnya hubungan
antara indeks bebas dengan indeks tetap (Sarwono, 2006). Interpretasi hasil
korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Korelasi
Sumber : (Sarwono, 2006
R Interpretasi
0 Tidak berkorelasi
>0-0,25 Sangat lemah
>0,25-0,5 Cukup
>0,5-0,75 Kuat
>0,75-0,99 Sangat kuat
1 Sempurna Sumber: Sarwono (2006)
27
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi Nomor 32 Tahun 2004.
Kecamatan Muncar merupakan salah satu dari 3 (tiga) kecamatan. Kecamatan
Muncar adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang terkenal
sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Kabupaten Banyuwangi dan Propinsi
Jawa Timur. Kecamatan Muncar terletak di bagian Timur dari Kabupaten
Banyuwangi dengan luas wilayah 8.509,6 ha, dengan batas administrasi sebagai
berikut :
Sebelah Utara :Kecamatan Rogojampi
Sebelah Selatan :Kecamatan Tegaldlimo
Sebelah Timur :Selat Bali
Sebelah Barat :Kecamatan Cluring dan Srono
Secara administrasi wilayah perencanaan masuk ke dalam wilayah
Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Kecamatan Muncar terdiri dari 10
desa, antara lain : Blambangan, Kedungrejo, Kedungringin, Kumendung,
Sumberberas, Sumbersewu, Tambakrejo, Tapanrejo, Tembokrejo, Wringin
Putih.
Lokasi stasiun penelitian ini dilakukan secara purposive sampling yaitu
penentuan lokasi pengambilan data secara acak. Lima stasiun tersebut berada di
Wringin Putih dan Tegaldlimo dengan kondisi yang berbeda pada setiap lokasi
stasiunnya. Berikut keadaan lokasi pengambilan data dari stasiun satu sampai
stasiun lima :
27
Stasiun 1
Stasiun 1 dengan titik koordinat 208367.71 E, 9064578.22 S, yang berada
desa Wringin Putih. Lokasi tersebut berada di daerah tambak yang terdapat di
sebelah barat dan diapit oleh 2 sungai kecil di sebelah utara dan selatan. Kondisi
ekosistem mangrove termasuk dalam kondisi sehat.
Stasiun 2
Stasiun 2 dengan titik koordinat 209337.06 E, 9602282.41 S, yang berada
di Desa Wringin Putih. Lokasi tersebut berada di area tambak yang berada di
sebelah barat. Kondisi ekosistem mangrove termasuk dalam kondisi sehat, dan
masuk kategori hasil alami.
Stasiun 3
Stasiun 3 dengan titik koordinat 208129.63 E, 9057053.06 S, yang berada
di perbatasan antara Desa Wringin Putih dan Tegaldlimo. Lokasi tersebut berada
di area masyarakat sehingga ada beberapa oknum yang memanfaatkan hasil
mangrove namun dengan cara yang salah sehingga menyebabkan beberapa
ekosistem mangrove di area lokasi mengalami kerusakan dan sebagian masih
terlihat sehat.
Stasiun 4
Stasiun 4 dengan titik koordinat 211318.26 E, 9056092.22 S, berada di
desa tegaldlimo. Lokasi tersebut berada di area laut lepas di sebelah barat dan
timur sehingga lokasi tersebut termasuk lokasi mangrove dengan kerapatan yang
cukup tinggi.
Stasiun 5
Stasiun 5 dengan titik koordinat 212466.17 E, 9060819.89 S, berada di
desa tegal dlimo yang paling utara atau titik paling ujung. Lokasi tersebut
mempunyai ekosistem mangrove yang sangat sehat karena banyaknya air yang
28
keluar masuk di area tersebut, namun hal tersebut tidak mengubah substrat area
tersebut.
4.1.2 Jenis Mangrove dan Kerapatanya
Beberapa jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi pengambilan
sampel di kawasan hutan mangrove pesisir muncar adalah S. alba, R.
mucronata, R. stylosa, X. granatum, R. apiculata, S. caseolaris dengan hasil
kerapatan mangrove di lokasi disajikan pada tabel 4 berikut :
Stasiun 1
Pada stasiun 1 ditemukan 3 jenis mangrove dan kerapatannya untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Jumlah individu dan kerapatan mangrove di stasiun 1
No. Spesies Mangrove
Stasiun 1
Transek A Transek B Transek C
1 S. Alba 34 28 28
2 R. Mucronata 23 24 21
3 R. Stylosa 16 19 23
Jumlah 73 71 72
Nilai Kerapatan (Di) 2400 ind/Ha
Kategori Sangat Padat
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa kerapatan tertinggi adalah S.alba,
sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada transek A didapatkan nilai 0.73
ind/m².
Stasiun 2
Pada stasiun 2 ditemukan 5 jenis mangrove dan kerapatannya untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Jumlah individu dan kerapatan mangrove di stasiun 2
No. Spesies Mangrove Stasiun 2
29
Transek A Transek B Transek C
1 S. Alba 12 10 13
2 R. Mucronata 18 15 14
3 R. Stylosa 10 13 9
4 X. Granatum 13 12 11
5 R. Apiculata 3 2 0
Jumlah 56 52 42
Nilai Kerapatan (Di) 1722 ind/Ha
Kategori Sangat Padat
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa kerapatan tertinggi adalah R.
mucronata, sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada transek A didapatkan
nilai 0.56 ind/m².
Stasiun 3
Pada stasiun 3 ditemukan 6 jenis mangrove dan kerapatannya untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6. Jumlah individu dan kerapatan mangrove di stasiun 6
No. Spesies Mangrove Stasiun 3
Transek A Transek B Transek C
1 S. Alba 12 17 14
2 R. Mucronata 26 23 29
3 R. Stylosa 14 14 11
4 X. Granatum 10 9 12
5 R. Apiculata 5 5 6
6 S. Caseolaris 2 2 0
Jumlah 69 70 72
Nilai Kerapatan (Di) 2344 ind/Ha
Kategori Sangat Padat
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa kerapatan tertinggi adalah R.
mucronata, sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada transek A didapatkan
nilai 0.72 ind/m².
30
Stasiun 4
Pada stasiun 4 ditemukan 6 jenis mangrove dan kerapatannya untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7. Jumlah individu dan kerapatan mangrove di stasiun 7
No. Spesies Mangrove Stasiun 4
Transek A Transek B Transek C
1 S. Alba 9 7 15
2 R. Mucronata 31 29 24
3 R. Stylosa 18 14 12
4 X. Granatum 13 17 8
5 R. Apiculata 13 9 14
6 S. Caseolaris 0 4 2
Jumlah 71 80 75
Nilai Kerapatan (Di) 2655 ind/Ha
Kategori Sangat Padat
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa kerapatan tertinggi adalah R.
mucronata, sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada transek A didapatkan
nilai 0.80 ind/m².
Stasiun 5
Pada stasiun 5 ditemukan 6 jenis mangrove dan kerapatannya untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 8. Jumlah individu dan kerapatan mangrove di stasiun 8
No. Spesies Mangrove Stasiun 5
Transek A Transek B Transek C
1 S. Alba 12 11 15
2 R. Mucronata 28 31 29
3 R. Stylosa 14 16 12
4 X. Granatum 12 13 12
5 R. Apiculata 15 12 14
6 S. Caseolaris 5 4 4
Jumlah 86 87 86
31
Nilai Kerapatan (Di) 2877 ind/Ha
Kategori Sangat Padat
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa kerapatan tertinggi adalah R.
mucronata, sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada transek A didapatkan
nilai 0.80 ind/m².
Jumlah mangrove yang ditemukan di 5 stasiun adalah 6 spesies. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dari table berikut
Gambar 7. Grafik jumlah mangrove setiap stasiun
Berdasarkan data dilapang di dapatkan hasil bahwa secara keseluruhan
stasiun dalam kondisi sangat padat. Ditemukan 6 spesies dari tiga stasiun
tersebut yaitu S. alba, R. mucronata, R. stylosa, X. granatum, R. apiculatadan S.
caseolaris. Dari enam spesies tersebut kelimpahan tertingi di stasiun 1 adalah S.
alba, pada stasiun 2 adalah R. mucronata, dan stasiun 3 juga R. mucronata.
Sedangakan untuk nilai kerapatan didapatkan bahwa krapatan tertinggi
terdapat pada stasiun 5 dengan nilai kerapatan mencapai 2877 ind/Ha yang jika
dibandingkan dengan baku mutu masuk dalam kategori jarang, dan nilai
terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai kerapatan 1722 ind/Ha.
Tabel 9. Baku Mutu Kerapatan Mangrove
Kriteria baku Kerapatan (pohon/ha)
Padat ≥1.500
0
20
40
60
80
100
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Grafik Jumlah Mangrove (Ind/st) S.alba
R.mucronata
R.stylosa
X.granatum
R.apiculata
S.caseolaris
32
Sedang ≥1.000 – 1500
Jarang <1.000
Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.201 tahun 2004
4.2 Gastropoda
4.2.1 Identifkasi Gastropoda dan Kepadatan Gastropoda
Berdasarkan hasil identifikasi gastropoda yang ditemukan di kelima stasiun
lokasi penelitian tersebut dengan menggunakan 5 buah transek 1m x 3m yang
dibuat didalam transek mangrove 10m x 30m adalah sebagai berikut ini :
Stasiun 1
Pada stasiun 1 ditemukan 6 jenis Gastropoda dan jumlah kepadatannya,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 10. Identifikasi gastropoda dan kepadatannya di stasiun 1
No Spesies Stasiun 1
Transek A Transek B Transek C
1 Cassidula aurisfelis 2 1 1
2 Cassidula mustelina 3 2 2
3 Turbo argyrostoma 0 0 1
4 Telescopium Telescopium 5 4 4
5 Terebralia palustris 0 1 0
6 Littoraria scabra 1 1 1
Jumlah 11 9 9
Kepadatan 0.64 ind/m²
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa individu tertinggi adalah
Telescopium Telescopium, dan nilai kepadatan yang didapat dari stasiun 1
adalah 0.64 ind/m²
Stasiun 2
Pada stasiun 1 ditemukan 6 jenis Gastropoda jumlah kepadatannya untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 11. Identifikasi gastropoda dan kepadatannya di stasiun 2
33
No Spesies Stasiun 2
Transek A Transek B Transek C
1 Cassidula aurisfelis 2 2 2
2 Cassidula mustelina 1 1 2
3 Turbo argyrostoma 1 1 0
4 Telescopium Telescopium 4 3 5
5 Terebralia palustris 0 0 0
6 Littoraria scabra 1 1 0
Jumlah 9 8 9
Kepadatan 0.57 ind/m²
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa individu tertinggi adalah
Telescopium Telescopium, dan nilai kepadatan yang didapat dari stasiun 2
adalah 0.57 ind/m²
Stasiun 3
Pada stasiun 1 ditemukan 6 jenis Gastropoda dan jumlah kepadatannya
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12. Identifikasi gastropoda dan kepadatannya di stasiun 3
No Spesies Stasiun
Transek A Transek B Transek C
1 Cassidula aurisfelis 3 2 2
2 Cassidula mustelina 2 2 2
3 Turbo argyrostoma 2 1 2
4 Telescopium Telescopium 8 6 6
5 Terebralia palustris 1 1 2
6 Littoraria scabra 2 1 2
Jumlah 18 13 16
Kepadatan 0.91 nd/m²
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa individu tertinggi adalah
Telescopium Telescopium, dan nilai kepadatan yang didapat dari stasiun 3
adalah 0.91 ind/m²
34
Stasiun 4
Pada stasiun 4 ditemukan 6 jenis Gastropoda dan jumlah kepadatannya
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 13. Identifikasi gastropoda dan kepadatannya di stasiun 4
No Spesies Stasiun
Transek A Transek B Transek C
1 Cassidula aurisfelis 2 1 2
2 Cassidula mustelina 3 3 3
3 Turbo argyrostoma 2 1 3
4 Telescopium Telescopium 10 8 10
5 Terebralia palustris 2 3 2
6 Littoraria scabra 1 1 2
Jumlah 20 17 22
Kepadatan 1.31 ind/m²
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa individu tertinggi adalah
Telescopium Telescopium, dan nilai kepadatan yang didapat dari stasiun 4
adalah 1.31 ind/m²
Stasiun 5
Pada stasiun 5 ditemukan 6 jenis Gastropodavdan jumlah kepadatannya
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 14. Identifikasi gastropoda dan kepadatannya di stasiun 5
No Spesies Stasiun
Transek A Transek B Transek C
1 Cassidula aurisfelis 3 2 3
2 Cassidula mustelina 3 2 2
3 Turbo argyrostoma 1 2 3
4 Telescopium Telescopium 14 14 15
5 Terebralia palustris 1 2 1
6 Littoraria scabra 2 2 1
Jumlah 24 24 25
Kepadatan 1.62 ind/m²
35
Dari stasiun diatas dapat dilihat bahwa individu tertinggi adalah
Telescopium Telescopium, dan nilai kepadatan yang didapat dari stasiun 1
adalah 1.62 ind/m²
Jumlah Gastropoda yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan di
kawasan hutan mangrove pesisir muncar berjumlah 6 spesies, untuk lebih
jelasnya bisa dilihat pada gambar 5 berikut ini :
Gambar 8. Grafik Jumlah Gastropoda
Pada tabel struktur komunitas diatas diketahui bahwa jumlah gastropoda
yang ditemukan dilokasi pengamatan berjumlah 6 spesies, dan nilai kepadatan
gastropoda yang semakin bertambah setiap stasiun biarpun tidak terlalu
signifikan, hal ini disesbabkan karena perbedaan substrat semakin bercampur
dengan lumpur di beberapa titik lokasi stasiun dan parameter kualitas air yang
berubah di setiap stasiun.
Gastropoda yang ditemukan di lokasi penelitian tidak terlalu banyak, hal
tersebut Karena kondisi substrat saat ini berupa pasir, berbeda dengan kondisi
awal yang berlumpur. Kondisi tersebut menyebabkan gastropoda tidak dapat
hidup dengan baik, karena habitat alami gastropoda adalah di daerah substrat
yang berlumpur.
Karakteristik gastropoda yang ditemukan di 5 stasiun tersebut adalah :
0
10
20
30
40
50
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Grafik Jumlah Gastropoda (Ind/st) Cassidula aurisfelis
Cassidula mustelina
Turbo argyrostoma
Telescopium telescopium
Terebralia palustris
Littoraria scabra
36
Cassidula aurisfelis
Gastropoda jenis ini memiliki bentuk ukuran cangkang menengah, tebal,
berbentuk oval dan memiliki arah putaran cangkang dekstral (berputar kearah
kanan). Bentuk apex tumpul, permukaan body whorl halus, spire berbentuk
cembung, suture terlihat kurang jelas dan aperture berbentuk oval. Outer
lip tebal, melebar dan halus dibagian dalamnya, outer lip dan inner lip
mengkilap. Warna permukaan luar cangkang coklat kehitaman. Ukurannya
panjang cangkang 2,95-2,41 dan lebar cangkang 1,99-1,31 cm (n=50 individu).
Habitatnya ditemukan di atas substrat berlumpur pada ekosistem mangrove.
Cassidula mustelina
Jenis Gastropoda ini ditemukan dekat aliran air, di akar mangrove dan
serasah. Pada permukaan cangkang Cassidula mustelina memiliki spiral cords
yang halus, berwarna coklat, dan ukuran cangkang berkisar 2,5-3 cm. Aperture
pada C. aurisfelis berbentuk oval, outer lip dan inner lip terlihat berwarna putih
kemerahan.
Turbo argyrostoma
Menurut kajian biologi, mata lembu (Turbo argyrostoma) cocok berada
pada habitat perairan dengan pH 7-8, suhu 23o-280oC, salinitas 32-33 ppm, dan
kandungan oksigen terlarut 3-5 ppm. Keong mata lembu juga lebih menyukai
terumbu yang ditumbuhi tumbuhan laut jenis Sargassum sp.
Telescopium Telescopium
Poutiers (1998) menyatakan bahwa jenis Gastropoda ini dapat ditemukan
pada lantai mangrove yang kondisinya sangat payau. Jenis Gastropoda ini
memiliki apex yang runcing, dengan panjang sekitar 10-12 cm, warna cangkang
coklat kehitaman, permukaan cangkang memiliki suture dan spiral cords yang
rapat. Menurut Jutting (1956) T. telescopium berwarna coklat keunguan atau
37
coklat gelap. Aperture pada T. telescopium berbentuk miring segiempat, relatif
kecil, dan menyempit (Poutiers, 1998; Houbrick, 1991).
Terebralia palustris
Terebralia merupakan sejenis Gastropoda dari famili Potaminidae yang
mempunyai karakteristik cangkang tebal, padat, runcing, kerucut, mempunyai
pinggiran yang relatif datar dan bergaris baik secara axial dan juga spiral (FAO,
1998).
Littoraria scabra
Jenis Gastropoda ini didapat pada akar, batang dan daun tanaman
mangrove. Menurut Poutiers (1998) jenis Gastropoda ini berada pada akar dan
batang tanaman mangrove. Littoraria scabra memiliki apex yang runcing, ukuran
cangkang berkisar 1,3-1,5 cm, warna cangkang coklat gelap kekuningan, dan
aperture berbentuk lingkaran. Menurut Poutiers (1998) aperture pada L. scabra
berwarna kuning pucat, outer lip tipis berwarna perpaduan kuning dan hitam, dan
inner lip berwarna putih pucat.
4.3 Data Kualitas Air
Berdasarkan hasil penelitian data kualitas air yang dilakukan di 5 stasiun
lokasi pengamatan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut :
Stasiun 1
Tabel 15. Hasil data kualitas air stasiun 1
No Parameter Satuan Nilai
1 Kecerahan Cm 201
2 Suhu 0C 28
3 pH - 5.1
4 DO mg/l 4.8
5 Salinitas mg/l 24
Dari tabel 15 diatas menunjukan bahwa nilai kecerahan 201 Cm, suhu
280C, pH 5.1, DO 4.8 mg/l dan salinitas 24 mg/l.
38
Stasiun 2
Tabel 16. Hasil data kualitas air stasiun 2
No Parameter Satuan Nilai
1 Kecerahan Cm 204
2 Suhu 0C 28
3 pH - 5.4
4 DO mg/l 4.9
5 Salinitas mg/l 23
Dari tabel 16 diatas menunjukan bahwa nilai kecerahan 204 Cm, suhu
280C, pH 5.4, DO 4.9 mg/l dan salinitas 23 mg/l.
Stasiun 3
Tabel 17. Hasil data kualitas air stasiun 3
No Parameter Satuan Nilai
1 Kecerahan Cm 201
2 Suhu 0C 29
3 pH - 5.2
4 DO mg/l 5
5 Salinitas mg/l 23
Dari tabel 17 diatas menunjukan bahwa nilai kecerahan 201 Cm, suhu
290C, pH 5.2, DO 5 mg/l dan salinitas 23 mg/l.
Stasiun 4
Tabel 18. Hasil data kualitas air stasiun 4
No Parameter Satuan Nilai
1 Kecerahan Cm 202
2 Suhu 0C 28
3 pH - 5.3
4 DO mg/l 5
5 Salinitas mg/l 23
39
Dari tabel 18 diatas menunjukan bahwa nilai kecerahan 202 Cm, suhu
280C, pH 5.3, DO 5 mg/l dan salinitas 23 mg/l.
Stasiun 5
Tabel 19. Hasil data kualitas air stasiun 5
No Parameter Satuan Nilai
1 Kecerahan Cm 201
2 Suhu 0C 28
3 pH - 5.4
4 DO mg/l 4.9
5 Salinitas mg/l 23
Dari tabel 19 diatas menunjukan bahwa nilai kecerahan 201 Cm, suhu
280C, pH 5.4, DO 4.9 mg/l dan salinitas 23 mg/l.
Sebagai data pendukung tambahan data kualitas air yang berada pada 5
stasiun menguji 5 parameter dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 9. Grafik Parameter Kualitas Air
Dari hasil gambar diatas tidak ada perbedaan parameter dengan jarak nilai
yang signifikan, hal ini disebabkan Karena lokasi stasiun yang masih berada di
area teluk pangpang muncar.
0
50
100
150
200
250
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Grafik Jumlah Gastropoda (Ind/st) Kecerahan (Cm)
Suhu ©
pH
DO (mg/l)
Salinitas (mg/l)
40
Data kualitas air dilakukan pada pagi hari disekitar area penelitian. Dari
hasil penelitian tersebut didapatkan rata-rata hasil dari 5 parameter tersebut.
Kecerahan didapatkan nilai sampling rata-rata 202, suhu didapatkan nilai rata-
rata 28,3, nilai pH didapatkan nilai rata-rata 5,28, DO didapatkan nilai sampling
rata-rata 4,92, dan salinitas didapatkan nilai sampling rata-rata 23,2.
4.4 Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Gastropoda
Analisis hubungan kerapatan mangrove terhadap kelimpahan gastropoda
dengan menggunakan regresi linier sederhana. Analisis ini bertujuan untuk
mempredeksi nilai variable independen mengalami kenaikan atau penurunan dan
untuk mengetahui arah hubungan antara variable independen dengan variable
dependen apakah positif atau negative. Hasil regresi linier menunjukan terdapat
hubungan antara kerapatan mangrove dan kepadatan gastropoda dapat dilihat
pada grafik penyebaran pada gambar 10.
Gambar 10. Grafik Regresi Linier Sederhana Kepadatan Gastropoda dengan Kerapatan Mangrove.
Hasil dari regresi linier sederhana menunjukan hubungan antara kerapatan
mangrove dengan kepadatan gastropoda mendapatkan hasil dengan nilai
persamaan y = 188,7x + 1833,5. Hasil dari koefisien determinasi R² adalah
0,4714 yang menunjukan adanya pengaruh hubungan sebesar 47% antara
y = 188.7x + 1833.5 R² = 0.4714
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
0 1 2 3 4 5 6
Chart Title
41
kepadatan gastropoda dengan kerapatan mangrove, dari hasil tersebut dapat kita
simpulkan bahwa hubungan kerapatan mangrove dan kepadatan gastropoda
termasuk dalam kategori lemah, hal ini dikarenakan jumlah gastropoda yang
terlalu sedikit di lokasi penelitian Karena kondisi substrat yang berpasir. Menurut
(Emanto et al,2010) Nilai koefisien korelasi yang besar menunjukan adanya
hubungan yang erat diantara keduanya.
42
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan hutan Mangrove pesisir
muncar kabupaten banyuwangi, dengan lokasi terdiri dari 3 titik pengamatan
yang didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan struktur komunitas kerapatan mangrove yang ada pada
ekosistem mangrove di pesisir Muncar didapatkan hasil kerapatan pada
stasiun 1 sebesar 2.400 ind/ha, stasiun 2 yaitu 1.722 ind/ha, stasiun 3 yaitu
2.344 ind/ha, stasiun 4 yaitu 2.655 ind/ha dan stasiun 5 yaitu 2.877 ind/ha
2. Hasil perhitungan struktur kepadatan gastropoda yang terdapat pada
ekosistem mangrove di pesisir muncar kabupaten banyuwangi didapatkan
nilai kepadatan tertinggi di stasiun 1 yaitu 0.54 ind/ha, stasiun 2 yaitu 0.57
ind/ha, stasiun 3 yaitu 0.91 ind/ha, stasiun 4 yaitu 1.31 ind/ha dan stasiun
5 yaitu 1.62 ind/ha.
3. Data hasil perhitungan Kerapatan mangrove dan kepadatan gastropoda
kemudian di olah dengan regresi linier dan didapatkan hasil R² sebesar
0.4714. Dari hasil yang didapatkan dapat dikatakan bahwa hubungan
kerapatan mangrove dan kepadatan gastropoda yaitu lemah dikarenakan
substrat area lokasi berbentuk pasir sehingga gastropoda susah untuk
berhabitat di lokasi tersebut.
5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan untuk penelitian skripsi ini adalah harus
lebih menjaga dan memanfaatkan hasil dari mangrove, hal ini dikarenakan tidak
terawatnya area hutan mangrove yang jika ditinjau ulang hal ini dapat
meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar dengan diadakan wisata mangrove.
45
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G., dan Santika, S.S, 1984, Metode Penelitian Air, Penerbit Usaha
Nasional, Surabaya. Hal 149
Astuti, Y. 1990. Keanekaragaman Bentos Sebagai Bio Indikator Pencemaran
Logam Pb, Hg dan Cd di Pantai Utara Jawa Tengah. Program Studi
MIPA, Undip. Semarang. ILMU
Ayunda, R. 2011. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di
Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Program Studi Biologi Universitas Indonesia, Jakarta
Barnes, R.D and Ruppert, E.E. 1991. Invertebrate zoology. Sounders College
Publishing. London. 417 p.
.
Bengen, D.G. (2000). Pengenalan dan Pengelolaan EkosistemMangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Brower JE, Zar JH. 1977 . Field and Laboratory Methods for General Ecolo gy.
Iowa: WM. J Brown Company Publ. Dubuque. 94 p.
Chapman, V.J. 1984. Botanical Surveys in Mangrove Communities.DalamThe
mangrove Ecosystem: Research Methods. UNESCO, Monograph on
Oceanological Methodology 8, Paris. hal. 53-80.
Dharma, B. 1988. Siput dan kerang Indonesia (Indonesia Shells I). PT. Sarana
Graha. Jakarta.
Effendi, H., (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 11,18
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: PT. Kanisius. Fachrul, M. F.
(2012). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Ihlas. (2001).
Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Ekosistem Hutan Mangrove di
Pulau Sarapa Kecamatan Liukang Tupabiring Kabupaten Pangkap
Sulawesi Selatan. Aqua marine , 35-42. Indriyanto. (2010). Ekologi Hutan.
Jakarta: Bumi Aksara.
FAO, 2003 dalam kustanti, 2011
Faozan, M. 2004. Kepadatan dan Penyebaran Kepiting Berukuran Kecil di
Ekosistem Hutan Mangrove Muara Sungai Bengawan Solo Kecamatan
46
Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Harman WN (1974) Snails (mollusca:gastropoda).
Harminto, S., (2003), Taksonomi Avertebrata, Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka, Jakarta
Houbrick RS. 1991. Systematic Review and Functional Morphology of The
Mangrove Snails Terebralia and Telescopium (Potamididae;
Prosobranchia). Malacologia 33(1-2): 289-338.
Hutabarat, S. dan S. M. Evan. 1985. Pengantar Oseanografi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Hughes, R. N. 1986. A functional biology of marine gastropods. Croom Helm,
London & Sydney. 245 page.
Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Jakarta. Bumi Aksara.
Jutting BWSS. 1956. Systematic Studies on The Non-marine Molusca of The
Indo Australian Archipelago. Trubia 28(2): 259477.
Kustanti, A, 2011. Manajemen Hutan Mangrove, IPB Press, Bogor. ogram),
Bogor
Mujiono, N. 2008. Mudwhelks (Gastropoda: Potamididae) from mangrove of
Ujung Kulon National Park, Banten. Jurnal biologi.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Noor Y R., Khazali M., dan Suryadiputra., 2006. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. PHKA/WI-IP (Wetland Internasional- Indonesia Pr
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. (Diterjemahkan oleh M. Eidman et. al.) 459 hlm.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ekology. Third Edition, W.B. Saunders
Company. Toronto Florida.
Oemarjati, B.S dan Wardhana, W. 1990. Taksonomi Avertebrata. Penerbit
Unversitas Indonesia. Jakarta.
47
PESCOD, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for
Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59.
Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove Dan Peranannya Sebagai Habitat
Berbagai Fauna Aquatik. Jurnal ISSN 0216-1877. Oseana, Volume XXVI,
Nomor 4, 2001:13 – 23. Balai Litbang Biologi Laut, Puslit OseanografiLIPI.
Jakarta.
Poutiers JM. 1998. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific.
FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes 1(4): 363-648.
Razak, A. 2002. Dinamika Karakteristik FisikaKimia Sedimen Dan Hubungannya
dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia) dan gastropoda) di
Muara Banda Bakali Padang. IPB.
Riniatsih, I., Kushartono, E. W.,. 2009. Substrat Dasar dan Parameter
Oseanografi Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di
Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Kampus Tembalang
Semarang.
Samson, S.A. 1999. Keanekaragaman dan Asosiasi Gastropoda pada Kawasan
Mangrove Wanawisata Payau Tritih Cilacap Jawa Tengah. (Thesis).
Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 69 hlm.
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize.
Semarang
Sasekumar, A. 1974. Distribution of macrofauna on a Malayan Mangrove shore.
Journal of Animal Ecologi.
Setyawan, A. D. 2008. Biodiversitas ekosistem mangrove di Jawa; tinjauan
pesisir utara dan selatanJawa Tengah. Pusat Penelitiandan
Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, LPPM. Jurusan Biologi
FMIPA UNS. Surakarta
Sudarmadji. 2000. Vegetation structure and edaphic factors of mangrove forest at
Baluran National Park, East Java, Indonesia. [Dissertation]. University of
the Philippines Los Banos. Los Banos.
Susiana. 2011. Diversitas dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda dan Bivalvia di
Estuari Perancak, Bali. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
48
Suwondo, et al, (2006). Kualitas Biologi Perairan Sungai Senapelan, Sago dan
Sail di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator Plankton dan Bentos.
Jurnal Biogenesis. 1(1):15-20
Tancung, A. B., M. Ghufran H Kordi K. (2007). Pengelolaan Kualitas Air Dalam
Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 2,3
Yuniarti.2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. (Studi Kasus: Pengelolaan
Terumbu Karang Berbasis Masyarakat di Kepulauan Riau): Kepri. 38 hal.
49