HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN …...i Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui...

31
HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMP OLEH IMMANUEL ANGGIA M. 802010120 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Transcript of HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN …...i Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui...

  • HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN

    ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMP

    OLEH

    IMMANUEL ANGGIA M.

    802010120

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

    Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2017

  • 2

  • 3

  • 4

  • 5

    HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN

    ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMP

    Immanuel Anggia M.

    K. D. Ambarwati

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2017

  • i

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara optimisme akademik

    dengan adversity quotient pada siswa SMP Kristen 1 Salatiga. Sebanyak 44 dari 50 siswa-

    siswi menjadi sampel penelitian dengan menggunakan teknik sampel jenuh, sebanyak enam

    siswa tidak menjadi sampel penelitian dikarenakan tidak hadir di sekolah. Alat ukur yang

    digunakan dalam pengumpulan data dimodifikasi dari skala optimisme akademik dari Adams

    dan Forsyth (2011) dan modifikasi dari skala adversity quotient dari Stoltz (2000). Analisis

    data menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan SPSS 20,0.

    Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif dengan koefisien korelasi (r) kedua

    variabel sebesar 0,584 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05), yang artinya makin tinggi

    optimisme akademik maka makin tinggi adversity quotient siswa SMP.

    Kata Kunci : Optimisme Akademik, Adversity Quotient, Siswa SMP.

  • ii

    Abstract

    This research aims to determine the significance of the relationship between academic

    optimism with adversity quotient in Kristen 1 Junior High School Students in Salatiga. As

    many as 44 out of 50 students become sample of the research by using saturated sampling

    technique, as many as six students did not become sample of the research because did not

    attended at school. The measuring instruments used in data collection is modified from the

    academic optimism scale by Adams and Forsyth (2011) and the modification scale from the

    adversity quotient scale by Stoltz (2000). Data analysis using Product Moment Pearson

    correlation technique with the help of SPSS 20.0. The results showed a positive correlation

    with the correlation coefficient (r) of both variables is 0.584 with 0.000 significance (p <

    0.05), which means the higher the adversity quotient, the higher the academic optimism of

    junior high school students.

    Keywords : Academic Optimism, Adversity Quotient, Junior High School Students.

  • 1

    PENDAHULUAN

    Jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan

    setelah melewati satu tingkat pendidikan sebelumnya, yaitutingkat sekolah dasar (SD). Pada

    tingkat pendidikan SMP pelajaran akan lebih sulit dan juga akan ada penambahan mata

    pelajaran yang belum pernah dipelajari pada tingkat pendidikan sebelumnya.Seseorang yang

    menempuh pendidikan di sekolah disebut sebagai murid atau siswa. Menurut Kamus Besar

    Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian siswa adalah seseorang (anak) yang sedang belajar.

    Jadi,secara harfiah siswa SMP adalah seseorang (anak) yang sedang belajar dan terdaftar

    pada suatu sekolah menengah pertama. Masa ini juga merupakan masa peralihan atau disebut

    juga sebagai masa transisi. Masa transisi ini dianggap dapat menimbulkan masalah bagi

    seseorang karena transisi yang terjadi tidak hanya mengenai peralihan tingkat pendidikan SD

    (kelas enam) ke SMP (kelas tujuh), tetapi juga mengenai peralihan masa anak-anak ke remaja

    (Santrock, 2003).

    Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), masa remaja adalah kaum muda dengan

    batasan umur antara 10 dan 19 tahun. Pada masa remaja banyak perubahan yang terjadi, tidak

    hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan kognisi dan emosi. Tokoh yang pertama kali

    mendalami tentang masa remaja adalah Hall (dalam Arnett, 1999), yang menyebutkan remaja

    adalah masa yang penuh dengan permasalahan dan masa remaja merupakan masa badai dan

    tekanan (storm & stress). Hal tersebut selaras dengan pernyataan dari Marcia (1987)yang

    mengungkapkan karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri juga

    sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

    Para siswa SMP yang sedang berada pada masa transisi memasuki masa remaja awal

    ini merupakan masa yang penuh dengan permasalahan dan hambatan. Hambatan dan

    permasalahan yang dialami siswa antara lain seperti rendahnya tingkat partisipasi dan aspirasi

    di kelas, menolak bersikap kooperatif, bahkan siswa dapat melakukan penolakan pada

  • 2

    pelajaran (Jhonson, 1970), aktivitas belajar tidak selamanya berlangsung lancar (Ahmadi &

    Supriyono, 1991), dan perubahan jaman yang menyebabkan pelanggaran yang dilakukan

    siswa terhadap peraturan di sekolah menjadi lebih ekstrim, seperti misalnya pelanggaran yang

    terjadi pada siswa di tahun 1940 hanya sebatas mengunyah permen karet di sekolah, pada

    tahun 1990 pelanggaran meningkat menjadi pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang

    (Stoltz, 2000).

    Dari hasil wawancara denganbeberapa murid dan guru SMP Kristen 1 Salatiga,

    berbagai masalah akademiksiswa ada yang bersumber dari dalam diri ataupun yang berasal

    dari lingkungan. Bentuk masalah yang dihadapi sepertibolos sekolah, kegagalan dalam

    menjalani proses belajar, tidak mampu mencapai tujuan belajar, banyak murid yang

    mengambil jalan pintas dengan mencontek ketika mengerjakan tugasdan ujian karena merasa

    kesulitan dalam mengerjakan atau mempersiapkannya, tidak dapat mengatur waktu untuk

    belajar di rumah, tidak mendapatkan nilai sesuai dengan yang diinginkan, dan kesulitan untuk

    berkonsentrasi belajar di rumah karena suasana yang dirasa mengganggu.

    Dalam permasalahan atau tantangan yang dialami siswa, siswa diharapkan memiliki

    kemampuan untuk mengatasi dan keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Berbagai

    hambatan dan masalah yang dirasakan oleh siswa pada jenjang pendidikan dapat diatasi

    dengan adanya adversity quotient(AQ) pada diri siswa tersebut. Mamahit (dalam Laura &

    Sunjoyo, 2009) mengemukakan individu yang mampu bertahan menghadapi dan mengatasi

    kesulitan akan mencapai kesuksesan dalam hidup.

    Menurut Stoltz (2000), adversity quotient merupakan suatu kerangka kerja konseptual

    yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan dan perbaikan respons

    terhadap kesulitan, sehingga mampu untuk mengubah hambatan menjadi peluang

    keberhasilan mencapai tujuan. Adversity quotientdapat didefinisikan secara singkat sebagai

    kemampuan/kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam mengahadapi dan mengatasi

  • 3

    kesulitan (Stoltz, 2000). Oleh karena itu, agar mampu bertahan dan mengatasi berbagai

    kesulitan dan tantangan, ditentukan oleh tinggi rendahnya adversity quotient yang dimiliki

    oleh setiap individu. Stoltz (2000) menambahkan bahwa adversity quotient berperan penting

    dalam memprediksi seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan

    dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut.

    Garmezy dan Michael (1983) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan

    hidup, sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan, mereka justru mengembangkan

    pola-pola perilaku yang bermasalah. Sebagian lainnya bisa bertahan dan mengembangkan

    perilaku yang adaptif, bahkan lebih baik lagi bila mereka bisa berhasil keluar dari kesulitan

    dan menjalani kehidupan yang sehat. Sedangkan menurut Stoltz (2000), dalam diri setiap

    orang yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi terdapat dorongan untuk terus

    berkembang, adanya keuletan, memiliki daya tahan yang baik terhadap tekanan beban tugas

    dan tanggung jawab yang tinggi untuk terus mengembangkan diri mereka serta akan

    senantiasa termotivasi dalam mengerjakan bagian mereka.

    Adversity quotient mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan.

    Dalam konsep adversity quotient yang tinggi, individu yang mengalami kesulitan cenderung

    bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya, mampu mengontrol masalah, lihai dalam

    mencari pemecahan masalah yang dihadapi, dan juga akan fokus terhadap solusi (Stoltz,

    2000). Selain itu, individu dengan adversity quotient tinggi akan mampu membatasi reaksi

    emosi yang timbul sebagai akibat dari permasalahan yang dihadapi serta memiliki keyakinan

    diri untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Individu jugayakin bahwa permasalahan

    yang dihadapi memiliki nilai positif untuk pertumbuhan pribadinya (Stoltz, 2000).

    Aspek-aspek Adversity Quotient

  • 4

    Adversity quotientmenurut Stoltz (2000) terdiri atas empat aspek, yaitucontrol, origin

    dan ownership,reach,dan endurance. Controlatau kendali berkaitan dengan seberapa besar

    orang mengendalikan kesulitan dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu

    berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Stoltz(2000)mengatakan bahwa

    control atau kendali yang tinggi dalam suatu peristiwa menyebabkan seseorang kebal

    terhadap ketidakberdayaan, ulet dan tidak kenal menyerah, serta setiap tindakan yang

    dilakukan memunculkan kendali yang lebih besar terhadap situasi yang ada. Seorang yang

    adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali lebih besar atas peristiwa atau stres

    yang dihadapi dibanding dengan seseorang yang adversity quotient-nya yang rendah.Origin

    dan ownership,origin merupakan kemampuan individu dalam menempatkan rasa bersalah

    atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya dan mempertanyakan siapa atau apa yang

    menjadi asal-usul kesulitan dan sampai sejauh mana seseorang mengakui akibat dari

    kesulitan tersebut, sedangkan ownership merupakan kemampuan individu untuk mengakui

    atau tidak penyebab timbulnya kesulitan dan bertanggungjawab atas kesalahan yang

    diperbuat dan belajar untuk memperbaiki kesalahan yang dibuatnya dengan mengusahakan

    jalan keluar yang terbaik. Reachmempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau

    bagian-bagian lain dari kehidupan individu dan melihat kemampuan individu memperkecil

    akibat dari kesulitan agar kesulitan yang dihadapi tidak mempengaruhi sisi lain dari

    kehidupannya(Stoltz, 2000). Terakhir endurance, berkaitan dengan kemampuan individu

    untuk bertahan dalam kesulitan yang dihadapinya.Semakin rendah skor endurance semakin

    besar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan dan penyebab kesulitan akan

    berlangsung lama dan hal ini mengakibatkan seseorang takut untuk mencoba, takut untuk

    berusaha dan merasa tidak berdaya atau kalah sebelum coba untuk melakukan sesuatu (Stoltz,

    2000). Semakin tinggi skor endurance maka semakin besar pula kemungkinan seseorang

    memandang bahwa stres akademik bukan merupakan kesulitan yang akan dihadapi untuk

  • 5

    selamanya, dan menganggap bahwa kesulitan yang dihadapi hanya bersifat sementara, dan

    setiap permasalahan yang dihadapi ada jalan keluarnya, sehingga menjadikan dirinya tidak

    cepat menyerah dan selalu berusaha untuk memperbaiki kesalahannya (Stoltz, 2000).

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient

    Menurut Stoltz (2000) terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi adversity

    quotient adalah (1)faktor internal yang terdiri dari: (a)genetika, warisan genetis tidak akan

    menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini; (b)keyakinan,

    keyakinan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu masalah serta membantu

    seseorang dalam mencapai tujuan hidup; (c)bakat, kemampuan dan kecerdasan seseorang

    dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya

    dipengaruhi oleh bakat; (d) hasrat dan kemauan, untuk mencapai kesuksesan dalam hidup

    diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau disebut hasrat, hasrat

    menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat; (e)karakter,

    seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan

    untuk mencapai sukses; (f)kinerja, salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi

    masalah dan meraih tujuan hidup dapat diukur lewat kinerja; (g)kecerdasan, bidang

    kecerdasan yang dominan biasanya mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi;

    (h)kesehatan, kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi seseorang dalam menggapai

    kesuksesan dan (2)faktor eksternal yang terdiri dari: (a)pendidikan, pendidikan dapat

    membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak,

    keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan; (b)lingkungan, lingkungan tempat individu

    tinggal dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon

    kesulitan yang dihadapinya.

    Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan sulit akan memiliki adversity quotient

  • 6

    yang lebih tinggi. Menurut Stoltz (2000), individu yang terbiasa berada di lingkungan sulit

    akan memiliki adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan

    beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi.Adversity quotient

    sebagai bentuk respon individu terhadap kesulitan dan pengendalian terhadap respon yang

    konsisten tidak terlepas dari bagaimana individu menyikapi situasi yang menekan dalam

    kehidupannya (Stoltz, 2000). Menururt Sheier dan Carver (dalam Abele & Gendolla, 2007)

    penyikapan terhadap situasi yang menekan dalam kehidupannya dapat dijalani dengan

    keyakinan akan hal-hal yang baik di masa mendatang. Keyakinan mengenai hal-hal baik di

    masa mendatang disebut optimisme. Carver (2012) menyatakan, bahwa ketika menghadapi

    sebuah tantangan, individu yang optimistis akan percaya dan tekun dalam berjuang meskipun

    kemajuan atas usahanya melalui fase sulit dan berjalan lambat.Menurut Adams & Forsyth

    (2011), optimisme dan harapan memberikan daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi

    depresi tatkala musibah melanda; terutama dalam tugas-tugas yang menantang. Respon

    terhadap kesulitan dibentuk lewat pengaruh dari orang tua, guru, dan teman sebaya, dan

    orang-orang yang mempunyai peran penting selama masa kanak-kanak (Dweck dalam Stoltz,

    2000).

    Optimisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keyakinan atas

    segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan

    yang baik. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Lopez dan Snyder (2003), optimisme

    adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa sesuatu akan berjalan menuju kearah

    kebaikan. Dalam hubungannya dengan proses belajar, menurut Toor (2009), optimisme

    akademik mirip dengan optimisme pada umumnya, namun dengan pengkhususan yaitu fokus

    dari optimisme akademik lebih kepada domain kehidupan akademik. Optimisme akademik

    adalah kecenderungan umum untuk mengharapkan hasil positif dari segi personal terkait

    dengan pengalaman akademis di masa kini dan masa depan (Toor, 2009).

  • 7

    Optimisme akademik pertama kali ditemukan oleh A. Hoy, Tarter, dan W.

    Hoy(2006), namun pada fokus optimisme akademik kolektif dan optimisme akademik

    individu guru.Kemudian penelitiannya dilanjutkan oleh Adams dan Forsyth (2011) pada

    fokus optimisme akademik indvidu siswa.Optimisme akademik memberi pengaruh positif

    dan berkontribusi secara signifikan terhadap siswa dalam meraih prestasi akademik yang baik

    di sekolah (Adam &Forsyth, 2011).Secara konseptual Adams & Forsyth (2011)

    mendefinisikan optimisme akademik sebagai kecenderungan siswa yang muncul dari hasil

    penilaian pribadi terhadap efikasi akademik, kepercayaan terhadap pengajarnya, dan persepsi

    terhadap tekanan keberhasilan akademik dari orang tua/keluarga.

    Dimensi Optimisme Akademik

    Optimisme akademik menurut Adams & Forsyth (2011) terdiri atas tiga dimensi,

    yaitu student academic self-efficacy, student trust in teacher, dan home academic

    press.Student academic self-efficacyadalah keyakinan siswa tentang diri mereka sendiri

    terkait dengan kegiatan akademiknya. Dimensi ini menyajikan informasi tingkatan keyakinan

    kemampuan diri siswa dalam mengikuti pelajaran dan penyelesaian tugas akademik di

    sekolah. Siswa meyakini kemampuannya akan memperoleh nilai yang baik, mampu

    melaksanakan dan mengerjakan tugas-tugas akademik yang banyak dan beragam, serta

    mendapatkan hasil yang baik (Adams & Forsyth, 2011). Student trust in teacher adalah

    keyakinan siswa terhadap guru sekolah mereka. Dimensi ini menyajikan informasi tentang

    rasa percaya siswa terhadap para guru di sekolah sebagai pengajar dan pembimbing mereka

    yang siap membantu para siswanya di saat dibutuhkan. Student trust in teacher akan

    memberikan informasi bagaimana para siswa meyakini akan pengetahuan dan penguasaan

    para guru atas mata pelajaran yang diajarkan, serta kemampuan para guru untuk

    menyampaikan materi secara terstruktur dan sistematis, sehingga dengan mudah dapat

    dipahami dan diterima dengan baik oleh para siswa. Termasuk apresiasi siswa atas

  • 8

    ketersedian fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah (Adams & Forsyth,

    2011). Home academic pressadalah keyakinan siswa terhadap dukungan ataupun tekanan

    orang tua mereka dalam hal akademik. Siswa dalam menempuh pendidikan di sekolah,

    keberhasilannya bukan saja ditentukan oleh kompetensi para guru dengan dukungan

    infrastruktur sekolah dan keyakinan atas kemampuan dirinya sendiri saja. Akan tetapi,

    dukungan orang tua dan keluarga juga memiliki bobot yang tidak dapat diabaikan. Dukungan

    orang tua dan keluarga, serta perhatian dan apresiasi yang diberikan atas kerja keras para

    siswa dapat mempengaruhi optimisme dalam diri siswa. Begitu juga dengan meluangkan

    waktu untuk sekedar berdiskusi atas materi pelajaran yang sedang dipelajari dan tugas-tugas

    siswa, akan memberikan dampak positif yang tidak kalah penting terhadap keberhasilan

    pendidikan siswa (Adams & Forsyth, 2011).

    Hasil riset dari Hoy dkk. (2006), pada awalnya optimisme akademik dibangun oleh

    tiga komponen, yaitu tekanan akademik (academic emphasis) sebagai respon dari perilaku

    (behavior),keyakinan bersama(collective efficacy) sebagai respon dari kognitif (cognitive),

    dan rasa percaya pihak sekolah pada siswa dan orangtua (faculty trust in parents and

    students)sebagai respon perasaan/emosional (affective/emotional). Optimisme akademik

    kemudian dikembangkan oleh Adams dan Forsyth (2011) menjadi tiga jenis, yaitu optimisme

    akademik kolektif sekolah, optimisme akademik individu guru, dan optimisme akademik

    individu siswa. Seperti yang telah dijelaskan di atas tipe optimisme akademik individu

    siswaterdiri dari tiga aspek, yaitustudent academic self-efficacyuntuk aspek perilaku, student

    trust in teacheruntuk aspek kognitif, dan home academic pressuntuk aspek afektif.

    Penelusuran yang peneliti lakukan, belum ditemukan topik penelitian dengan kedua

    variabel yang sama seperti penelitian ini. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang memiliki

    kemiripan dan dapat dihubungkan dengan topik penelitian ini. Seperti penelitian yang

    dilakukan oleh Utami, Hardjono, dan Karyanta (2014) pada mahasiswa Progdi Psikologi

  • 9

    Fakultas Kedokteran UNS yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan antara

    optimisme dengan adversity quotient.Ada pula penelitian untuk disertasi yang dilakukan oleh

    Nelson (2012) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

    optimisme akademik dengan prestasi akademik siswa. Kemudian ada pula penelitian yang

    dilakukan oleh Lestari (2014) yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan

    antara adversity quotient dengan prestasi akademik mahasiswa Progdi Bimbingan Konseling

    Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana.

    Hipotesis

    Berdasarkan tinjauan teoritis diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

    hubungan positifantara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.

    Hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan positif dan

    signifikan antara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.”

    METODE PENELITIAN

    Identifikasi Variabel

    Optimisme Akademik (Variabel Bebas)

    Adams dan Forsyth (2011) mendefinisikan optimisme akademik sebagai

    kecenderungan siswa yang muncul dari hasil penilaian pribadi terhadap efikasi akademik,

    kepercayaan terhadap pengajarnya, dan persepsi terhadap tekanan keberhasilan akademik dari

    orang tua/keluarga.

    Adversity Quotient (Variabel Terikat)

    Menurut Stoltz (2000),adversity quotientadalah kemampuan/kecerdasan seseorang

    untuk bertahan dalam mengahadapi dan mengatasi kesulitan.

  • 10

    Populasi danSampel Penelitian

    Populasidalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Kristen 1 yang berjumlah 50

    orang. Penelitian ini menggunakan teknik sampel jenuh. Menurut Azwar (2013), teknik

    sampel jenuh adalah cara pengumpulan data dimana seluruh elemen populasi dijadikan

    sampel penelitian. Jadi, dalam penelitian ini keseluruhan populasi akan dijadikan sampel

    penelitian. Dari total populasi yang berjumlah 50 orang, sampel yang diteliti dalam penelitian

    berjumlah 44 orang dikarenakan enam siswa tidak hadir di sekolah.

    Metode Pengumpulan Data

    Pengumpulan datadalam penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu :

    1. Skala Optimisme Akademik

    Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel terikatberdasarkandimensi-

    dimensi dari optimisme akademik yang diukur dengan menggunakan skala psikologi, yaitu

    Student Academic Optimism Scale (SAOS) yang terdiri dari tiga dimensi optimisme

    akademik yang dikemukakan Adams dan Forsyth (2011), yaitu :

    a) Student academic self-efficacy, yaitu keyakinan siswa tentang diri mereka sendiri

    terkait dengan kegiatan akademiknya.

    b) Student trust in teacher, yaitu keyakinan siswa terhadap guru sekolah mereka.

    c) Home academic press, yaitu keyakinan siswa terhadap dukungan ataupun tekanan

    orang tua mereka dalam hal akademik.

    Skala ini terdiri dari20item pernyataan dan hanya tersusun dari satu jenis pernyataan

    saja, yaitu favorableyang menggunakan model Likert yang sudah dimodifikasi dengan

    menghilangkan kategori jawaban yang berada di tengah.Penghilangan pilihan jawaban di

    tengah (netral/ragu-ragu) dilakukan untuk menghindari arti ganda dan juga menghindari

    kecenderungan subjek untuk lebih memilih kategori jawaban ini (Azwar, 2002).Maka skala

  • 11

    Likert tersebut mempunyai empat macam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju

    (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Penyekoran ini dilakukan dengan

    sistematika untuk item-item favorable, jawaban sangat setuju (SS) mendapat skor 4 dan

    bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Semakin tinggi skor yang

    diperoleh pada skala ini, berarti individu memiliki optimisme yang tinggi pada bidang

    akademik. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berarti individu memiliki

    optimisme yang rendah pada bidang akademik.

    Penghitungan uji seleksi itemskala optimisme akademik yang terdiri dari 20 item,

    diperoleh tiga item gugur (item 5, 6, dan 11) dan uji reliabilitasterhadap 17 item yang valid

    diperoleh koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,868. Menurut Azwar (2013), jika koefisien

    Alpha lebih dari 0,60 maka menunjukkan bahwa reliabilitas alat ukur termasuk dalam

    kategori baik, sehingga skala optimisme akademik yang digunakan sebagai alat ukur dalam

    penelitian ini juga termasuk dalam kategori baik.

    2. Skala Adversity Quotient

    Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel bebasberdasarkanaspek-aspek

    dari adversity quotient yang diadaptasi dari Adversity Response Profile (ARP) yang terdiri

    dari empat aspek adversity quotient yang dikemukakan oleh Stoltz (2000), yaitu :

    (a) Control atau kendali berkaitan dengan seberapa besar individu mengendalikan

    kesulitan dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu berperan dalam

    peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

    (b)Origin dan Ownership. Origin atau asal usul merupakan kemampuan individu dalam

    menempatkan rasa bersalah atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya,

    sedangkan ownership atau pengakuan merupakan kemampuan individu untuk

    mengakui atau menyangkal penyebab timbulnya kesulitan.

    (c) Reachatau jangkauanmerupakan kemampuan individu memperkecil akibat dari

  • 12

    kesulitan agar kesulitan yang dihadapi tidak meluas dan mempengaruhi sisi lain dari

    kehidupannya.

    (d) Enduranceatau daya tahanmerupakan kemampuan individu untuk bertahan dalam

    kesulitan yang dihadapinya dan yakin bahwa kesulitan hanya bersifat sementara

    Skala ini terdiri dari 30item pernyataan dan disusun dengan dua jenis pernyataan,

    yaitu favorable dan unfavorable.Metode yang digunakan sebagai pola dasar pengukuran

    skala ini adalah model Likert yang sudah dimodifikasi dengan menghilangkan kategori

    jawaban yang berada di tengah. Seperti yang diungkapkan oleh Azwar (2002), penghilangan

    jawaban di tengah dilakukan untuk menghindari arti ganda dan kecenderungan subjek untuk

    lebih memilih kategori jawaban ini.Dengan demikian skala Likert tersebut mempunyai empat

    macam pilihan jawaban,yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat

    tidak sesuai (STS). Penyekoran ini dilakukan dengan sistematika untuk item-item favorable,

    jawaban sangat setuju (SS) mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban

    sangat tidak setuju (STS). Begitu juga dengan item-item unfavorable, jawaban sangat tidak

    setuju (STS) mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sangat setuju (SS).

    Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala ini, berarti individu memiliki adversity

    quotientyang tinggi ketika menghadapi dan mengatasi kesulitan akademik yang dialami.

    Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berarti individu memiliki adversity quotient

    yang rendah ketika menghadapi dan mengatasi kesulitan akademik yang dialami.

    Penghitungan uji seleksi itemskala adversity quotient yang terdiri dari 30 item,

    diperoleh dua item gugur (item 8 dan 16) danuji reliabilitas terhadap 28 item yang

    mempunyai daya diskriminasi yang baik diperoleh koefisien Cronbach’s Alpha sebesar

    0,932. Dengan demikian, alat ukur adversity quotientmemiliki reliabilitas yang baik untuk

    digunakan karena koefisien Alpha lebih dari 0,60 sehingga skala optimisme akademik yang

    digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini juga termasuk dalam kategori baik.

  • 13

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Analisis Deskriptif

    Berikut adalah hasil penghitungan nilai rata-rata,nilai minimal dan maksimal, serta

    standar deviasi sebagai hasil pengukuran skala optimisme akademik dan skala adversity

    quotientyang tersajipada tabel di bawah ini, yang pembentukannya didasarkan pada kriteria

    Supranto (2000) yang menyatakan sekelompok data yang berdistribusi normal jika rata-rata

    ditambah dan dikurang satu standar deviasi termasuk ke dalam kategori sedang, dengan

    rumus: ȳ ± 1ϭ ; dibawahnya masuk kedalam kategori rendah; diatasnya masuk kedalam

    kategori tinggi.

    Tabel 1. Klasifikasi Optimisme Akademik danAdversity Quotient pada siswa SMP

    Variabel Interval Kategori f % Mean SD Max Min

    Optimisme

    Akademik

    63-67 Tinggi 6 13,6

    53,95 7,62 67 40

    46-62 Sedang 31 70,5

    40-45 Rendah 7 15,9

    Jumlah 44 100

    Adversity

    Quotient

    98-111 Tinggi 11 25,0

    83,18 14,29 111 61

    69-97 Sedang 25 56,8

    61-68 Rendah 8 18,2

    Jumlah 44 100

    Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa SMP memiliki tingkat

    optimisme akademik pada kategori sedang, yakni sebesar 70,5% dari total populasi; kategori

    rendah sebesar 15,9 % dan tinggi sebesar 13,6 %. Begitu pula dengan tingkat adversity

    quotient, sebagian besar siswa memiliki tingkat adversity quoetientpada kategori sedang,

  • 14

    yakni sebesar 56,8%dari total populasi;kategori rendah sebesar 18,2 %, dan tinggi sebesar

    25,0 %.

    Hasil Pengujian

    Uji Asumsi

    1. Uji Normalitas

    Uji asumsi kenormalan terlebih dahulu dilakukan untuk mengetahui apakah data yang

    akan dianalisis dengan uji korelasi memenuhi asumsi kenormalan. Uji asumsi normalitas

    dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil ujidisajikanpada tabel di bawah ini :

    Tabel 2. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

    Optimisme AkademikdanAdversity Quotient

    Tests of Normality

    Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

    Statistic df Sig. Statistic df Sig.

    AQ ,106 44 ,200* ,948 44 ,048

    OA ,092 44 ,200* ,964 44 ,185

    *. This is a lower bound of the true significance.

    a. Lilliefors Significance Correction

    Pada skala optimisme akademik diperoleh hasil skor sebesar 0,092 dengan

    signifikansi sebesar 0,200. Sedangkan pada skala adversity quotient diperoleh hasil skor

    sebesar 0,106 dengan signifikansi 0,200. Dengan demikian, dari uji tersebut disimpulkan

    bahwa kedua variabel memenuhi asumsi kenormalan secara signifikan.

    2. Uji Linieritas

    Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui hubungan linier antara kedua varibel.Uji

    linieritas dilakukan dengan uji ANOVA. Hasil uji linier disajikan pada tabel di bawah ini:

  • 15

    Tabel 3. ANOVA Uji Linieritas

    Optimisme Akademik dan Adversity Quotient

    ANOVA Table

    Sum of

    Squares

    df Mean

    Square

    F Sig.

    AQ * OA

    Between Groups

    (Combined) 5758.379 21 274.209 1.995 .058

    Linearity 2993.201 1 2993.201 21.775 .000

    Deviation from Linearity 2765.178 20 138.259 1.006 .492

    Within Groups 3024.167 22 137.462

    Total 8782.545 43

    Hasil uji linieritas diperoleh nilai Fobservasi dari linieritas sebesar 1,006 dengan

    signifikansi = 0,492 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara optimisme akademik

    dengan adversity quotient adalah linier.

    Uji Korelasi

    Setelah dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data Optimisme

    Akademik dan Adversity Quotient memenuhi asumsi kenormalan, maka dilanjutkan dengan

    uji korelasi yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

    Tabel 4. Hasil Uji Korelasi antara

    Optimisme Akademik dengan Adversity Quotient

    Koefisien korelasi antara optimisme akademik dengan adversity quotient sebesar

    0,584 dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positifyang

    Correlations

    AQ OA

    AQ

    Pearson Correlation 1 .584**

    Sig. (1-tailed) .000

    N 44 44

    OA

    Pearson Correlation .584** 1

    Sig. (1-tailed) .000

    N 44 44

    **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-

    tailed).

  • 16

    signifikan antara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.

    Berdasarkan hasil uji korelasi didapatkan koefisien determinasi atau R-Square sebesar

    0,341 yang berarti kontribusi variabel optimisme akademik terhadap adversity quotient

    sebesar 34,1%.

    Pembahasan

    Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa

    terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme akademik dengan adversity

    quotient pada siswa SMP Kristen 1.Dari uji korelasi didapat koefisien korelasi r = 0,584 (p <

    0,05). Dilihat dari hubungan positif yang didapat dari hasil uji korelasi kedua variabel

    menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel merupakan hubungan yang searah, yakni

    semakin tinggi tingkatoptimisme akademik, maka semakin tinggi pula tingkat adversity

    quotientsiswa SMP Kristen 1.Demikian pula sebaliknya, jika semakin rendahoptimisme

    akademiksiswa, hal itu juga memberikan gambaran adversity quotientyang rendah.

    Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Utami, Hardjono, dan

    Karyanta (2014) yang menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara

    optimisme dengan adversity quotient.Hal ini berarti optimisme akademik pada siswa SMP

    Kristen 1 menjadi salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan adversity quotient

    sesuai dengan pernyataan Adams dan Forsyth (2011) yang mengungkapkan optimisme

    akademik merupakan kecenderungan siswa yang muncul dari hasil penilaian pribadi dari

    efikasi akademik, kepercayaan terhadap guru, serta persepsi terhadap dukungan dan tekanan

    akademik dari orang tua atau keluarga. Jadi, siswa SMP Kristen 1 yang memiliki keyakinan

    bahwa mata pelajaran mampu membuat mereka tertarik dan gurunya menyenangkan, siswa

    cenderung merasa mampu mengatasi segala tantangan pada mata pelajaran tersebut.

    Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diketahui bahwa sebagian

  • 17

    besar siswa SMP Kristen 1 memiliki tingkat optimisme akademik yang berada pada kategori

    sedang, yakni sebesar 70,5% dari total populasi penelitian. Untuk kategori tinggi dan rendah

    masing-masing dengan persentase sebesar 13,6% dan 15,9%. Begitu pula dengan tingkat

    adversity quotient sebagian besar siswa SMP Kristen 1 juga berada pada kategori sedang,

    yakni sebesar 56,8% dari total populasi penelitian. Sedangkan untuk kategori tinggi dan

    rendah masing-masing dengan persentase sebesar 25,0% dan 18,2%.

    Dilihat dari nilai R-Square sebesar 0,341, menunjukkan bahwa variabel optimisme

    akademikhanya dapat menjelaskan tentang variabel adversity quotientsebesar 34,1%. Dengan

    demikian terdapat 65,9% faktor-faktor lain yang berkontribusi pada variabel adversity

    quotient, yaitu A. Faktor Internal: 1) Genetika, 2) Keyakinan, 3) Bakat, 4) Hasrat dan

    Kemauan, 5) Karakter, 6) Kinerja, 7) Kecerdasan, 8) Kesehatan, B. Faktor Eksternal: 1)

    Pendidikan, dan 2) Lingkungan.

    Penulis mengacu pada faktor lain yang berkontribusi pada variabel adversity quotient,

    yakni faktor keyakinan diri. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi adversity quotient

    tersebut berkaitan dengan dimensi dari optimisme akademik yang juga berfokus pada

    keyakinan diri siswa, yaitu student self-efficacy atau keyakinan siswa tentang diri mereka

    sendiri terkait dengan kegiatan akademiknya, student trust in teacher atau keyakinan siswa

    terhadap guru sekolah mereka, dan home academic press atau keyakinan siswa terhadap

    dukungan ataupun tekanan orang tua mereka dalam hal akademik. Peneliti melakukan

    wawancara dengan guru SMP Kristen 1 yang menyebutkan bahwa kurangnya keyakinan diri

    siswa dalam menghadapi tugas maupun ujian yang akan diberikan. Hal tersebut ditunjukkan

    dengan banyaknya keluhan siswa apabila diberikan tugas atapun materi pelajaran yang akan

    diujikan. Dari hasil wawancara tersebut dapat menggambarkan kurangnya keyakinan diri

    sebagian besar siswa SMP Kristen 1.

  • 18

    Penjelasan diatas sejalan dengan penelitian yang telah Dhatt & Rishi (2015) yang

    berjudul Study of Self-Efficacy and Optimism of B.Ed. Students yang menunjukkan adanya

    hubungan positif dan signifikan antara self-efficacy (keyakinan diri) dengan optimisme.

    Menurut Stoltz (2000), faktor keyakinan diri dapat mempengaruhi seseorang dalam

    menghadapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Jadi,

    keyakinan diri siswa yang baik tentang diri mereka sendiri terkait dengan kegiatan

    akademiknya, terhadap guru sekolah mereka, maupun terhadap dukungan dan juga tekanan

    orang tua mereka dalam hal akademik dapat mempengaruhi siswa dalam mengahadapi

    masalah dan tantangan serta membantu siswa untuk mencapai hasil yang baik dalam hal

    akademik siswa.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka

    dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

    1. Terdapat hubungan positif yangsignifikan antara optimisme akademik dengan

    adversity quotient pada siswa SMP.

    2. Dalam penelitian ini siswa-siswi SMP Kristen 1 memiliki optimisme akademik pada

    tingkat kategori sedang, begitu pula adversity quotientyang berada pada tingkat

    kategori sedang.

    Saran

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai dan peneliti menyadari masih

    banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti memberikan beberapa saran

    sebagai berikut :

  • 19

    1. Untuk siswa SMP Kristen 1

    Optimisme akademik dan adversity quotient dapat dibentuk, oleh karena itu para

    siswa yang rata-rata berada pada kategori tingkat sedang pada kedua variabel

    penelitian diharapkan lebih meningkatkan optimisme pada bidang akademiknya dan

    meningkatkan adversity quotient-nya (kemampuan atau kecerdasan dalam

    menyelesaikan masalah/tantangan).Dengan meningkatkan keyakinan, kemauan,

    kinerja dan pendidikan (lebih giat dalam belajar), memilih lingkungan yang baik, dan

    berpikir positif kiranya dapat meningkatkan optimisme dalam bidang akademik

    maupun adversity quotient (kemampuan atau kecerdasan dalam menyelesaikan

    masalah/tantangan).

    2. Untuk Guru SMP Kristen 1 dan Orang Tua/Keluarga Siswa

    Melihat hasil penelitian yang menggambarkan bahwa sebagian besar siswa SMP

    Kristen 1 memilikitingkat optimisme akademik dan adversity quotient yang berada

    pada kategori sedang, kiranya guru dan orang tua/keluarga dapat lebih membantu dan

    mendukung siswa guna meningkatkan optimisme siswa dalam bidang akademik dan

    kemampuan atau kecerdasan siswa dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut dapat

    dilakukan orang tua atau keluarga dengan selalu memberikan pedoman/petunjuk yang

    baik dalam menghadapi tantangan, menaikkan harga diri anak/siswa agar dapat lebih

    percaya dengan kemampuannya, dan sering memberikan motivasi dan dukungan pada

    anak/siswa dalam menghadapi tantangan dalam bidang akademik.Untuk guru di

    sekolah, terutama guru mata pelajaran tertentu yang dianggap sulit oleh kebanyakan

    siswa, sebaiknya lebih mengembangkan metode-metode pembelajaran yang lebih

    menyenangkan, seperti metode pembelajaran experiental learning (pembelajaran

    melalui basis pengalaman atau praktek) dan student-centered learning (pembelajaran

    yang berpusat pada siswa).

  • 20

    3. Untuk Peneliti Selanjutnya

    Untuk peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan penelitian dengan topik dan

    variabel yang sama, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan informasi

    tambahan. Penelitiselanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan

    topik dan variabel yang sama, disarankan untuk melakukan penelitian pada populasi

    dan sampel pada tingkat pendidikan yang berbeda atau mungkin lebih tinggi dari

    SMP.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Abele, A. E., & Gendolla, G. H. E. (2007). Individual differences in optimism predict the

    recall of personally relevant information. Personality and Individual Difference, 43,

    1125-1135.

    Adams, C.M.,& Forsyth, P.B. (2011).Studentacademic optimism: confirming aconstruct. A

    Paper Submitted for Presentation at The 2011 Annual Meeting of The American

    Educational Research Assosiation New Orleans, LA.

    Ahmadi, H.,&Supriyono, W. (1991).Psikologi Belajar. Jakarta:PT. Rineka Cipta.

    Arnett, J.J. (1999). Adolescent storm and stress.Journal of University of Maryland College

    Park, 54(5), 317-326.

    Azwar, S. (2013).Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Carver, C. S. (2012). Optimism.Diakses pada 21 September, 2017 dari

    http://cancercontrol.cancer.gov/brp/research/constructs/dispositional_optimism.html.

    Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Edisi ke-3).

    Jakarta: Balai Pustaka.

    Garmezy, N.,& Michael, R. (1983).Stress, Coping and Development in Children. New York:

    McGraw-Hill.

    Hall,S.G.(1904). Adolescence: In Psychology and Its Relation to Psychology, Anthropology,

    Sociology, Sex, Crime, Religion, and Education Volume I&II. New Jersey: Prentice-

    Hall.

    Hoy, W. K.,&McGuigan, L. (2006). Principal leadership: creating a culture of academic

    optimism to improve achievement for all students. The Journal of Leadership & Policy

    in Schools, 5(3), 203-229.

    Hoy, W.K., Tarter, C.J.,& Hoy, A. (2007). Academic Optimism of Schools: A Force for

    Student Achievement.North Carolina: Information Age Inc.

    Johnson, D.W. (1970). The Social Psychology of Education. New York: Holt, Reinhart &

    Winston Inc.

    Lestari, B. (2014). Hubungan antara adversity quotient dengan prestasi akademik pada

    mahasiswa bimbingan konseling UKSW angkatan 2013.Skripsi.Universitas Kristen

    Satya Wacana.

  • 22

    Lopez, & Snyder, C.R. (2003). Positive Psychological Assessment a Handbook of Models

    &Measures. Washington. DC: APA (American Psychological Assosiation).

    Marcia, J.E. (1987). The Identity Status Approach to Study of Ego Indentity

    Development.Prespectives Across the Lifespan. International Library of Psychology

    (pp. 161-171). New York: Routledge.

    Nelson, L. M. (2012). The relationship between academic optimism and academic

    achievement in middle schools in Mississippi.Dissertation.The University of Southern

    Mississippi.

    Santrock, J. W. (2003). Adolescent Psychology9thEdition. Boston: McGraw-Hill.

    Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT.

    Grasindo.

    Supranto, J. (2000). Statistik: Teori dan Aplikasi Jilid I dan II.(Edisi Ke-6). Jakarta:Erlangga.

    Toor, S.F. (2009). Optimism and achievement: Adomain-specific and within-construct

    investigation. Dissertation. University of Tennessee.

    Utami, I. B., Hardjono, &Karyanta N. A. (2014). Hubungan antara Optimisme dengan

    Adversity Quotient pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran

    UNS yang Mengerjakan Skripsi. Skripsi.Universitas Negeri Sebelas Maret.

    Walpole, E. R. (1982). Pengantar Statistika.(Edisi ke-3). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

    Utama.

    World Health Organization. Diakses pada

    http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/,pada tanggal 6 Desember 2017, pada pukul

    23.24 WIB.

    http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/,pada