Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

21
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA MENURUT PERSPEKTIF AL QUR’AN *Desri Nengsih* I. Pendahuluan Agama Islam adalah agama rahmat, sebagaimana al Qur’an menyatakan bahwa NabiSaw diutus sebagai rahmatan lil ’alamȋn. Untuk mewujudkan cita-cita besar ini yaitu rahmatan lil ’alamin diperlukan kerjasama antara umat manusia tidak terbatas antar interen umat Islam saja, tetapi dengan non muslim pun perlu dijalin demi cita-cita di atas. Untuk mewujudkan persaudaraan antar sesama manusia ini, al Qur’an telah memperkenalkan sebuah konsep yaitu ta’ȃruf. Seperti yang disebutkan Allah dalam al Qur’an. ٌ ر يِ بَ خٌ م يِ لَ عَ َ اَ نِ اْ مُ ك اَ قْ تَ اِ َ اَ د نِ عْ مُ كَ مَ رْ كَ اَ نِ وا اُ فَ ارَ عَ تِ لَ لِ اَ / بَ قَ ا وً / وبُ عُ 8 شْ مُ ك اَ نْ لَ عَ / جَ ى وَ < ث نُ اَ وٍ رَ كَ ذ نِ م مُ ك اَ نْ قَ لَ خ اَ بِ اُ اسَ ن ل ا اَ هُ يَ ا اَ ب“Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki- laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal. Pada ayat di atas, jelas sekali bahwa keanekaragaman adalah suatu keniscayaan atau kehendak Illahi. Allah menghendaki keanekaragaman dan menolak ketunggalan (monolitik). Secara eksplisit, Allah mengatakan misi dari keadaan ini (keragaman) adalah agar setiap orang, setiap umat, setiap suku, dan setiap bangsa agar saling mengenal satu sama lain, sehingga tali persaudaraan dan ikatan sosial lebih dapat terjalin dengan erat. II. Pembahasan A. Pengertian hubungan antar manusia Hubungan antar manusia adalah kemampuan mengenali sifat, tingkah laku, pribadi seseorang. Ruang lingkup hubungan antar manusia dalam arti luas adalah interaksi antar seseorang dengan orang lain dalam suatu kehidupan untuk memperoleh kepuasan hati. Sedangkan menurut Hugo Cabot dan Joseph A Kahl (1967), hubungan antar manusia adalah

description

jjjj

Transcript of Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

Page 1: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA MENURUT PERSPEKTIF AL QUR’AN

*Desri Nengsih*

I. Pendahuluan

Agama Islam adalah agama rahmat, sebagaimana al Qur’an menyatakan bahwa NabiSaw diutus sebagai rahmatan lil ’alamȋn. Untuk mewujudkan cita-cita besar ini yaitu rahmatan lil ’alamin diperlukan kerjasama antara umat manusia tidak terbatas antar interen umat Islam saja, tetapi dengan non muslim pun perlu dijalin demi cita-cita di atas. Untuk mewujudkan persaudaraan antar sesama manusia ini, al Qur’an telah memperkenalkan sebuah konsep yaitu ta’ȃruf. Seperti yang disebutkan Allah dalam al Qur’an.

�ن� �م� إ �ق�اك �ت �ه� أ �م� ع�ند� الل م�ك �ر� ك� �ن� أ ف�وا إ �ع�ار� �ت �ل� ل �ائ #ا و�ق�ب ع�وب �م� ش� �اك �ن ع�ل �ى و�ج� �نث �ر* و�أ �م م-ن ذ�ك �اك �ق�ن ل �ا خ� �ن �اس� إ 1ه�ا الن ي

� �ا أ ي

�ير3 ب �يم3 خ� �ه� ع�ل الل

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.

Pada ayat di atas, jelas sekali bahwa keanekaragaman adalah suatu keniscayaan atau kehendak Illahi. Allah menghendaki keanekaragaman dan menolak ketunggalan (monolitik). Secara eksplisit, Allah mengatakan misi dari keadaan ini (keragaman) adalah agar setiap orang, setiap umat, setiap suku, dan setiap bangsa agar saling mengenal satu sama lain, sehingga tali persaudaraan dan ikatan sosial lebih dapat terjalin dengan erat.

II. Pembahasan

A. Pengertian hubungan antar manusia

Hubungan antar manusia adalah kemampuan mengenali sifat, tingkah laku, pribadi seseorang. Ruang lingkup hubungan antar manusia dalam arti luas adalah interaksi antar seseorang dengan orang lain dalam suatu kehidupan untuk memperoleh kepuasan hati. Sedangkan menurut Hugo Cabot dan Joseph A Kahl (1967), hubungan antar manusia adalah suatu sosiologi konkrit karena meneliti situasi kehidupan, khususnya masalah “interaksi” dengan pengaruh psikologisnya.

Adapun yang dimaksud dengan hubungan antar manusia di dalam al Qur’an adalah adanya penciptaan Allah yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia seperti laki-laki dan perempuan, suku-suku yang banyak , berbangsa-bangsa, bahasa yang berbeda-beda, serta warna kulit yang tidak sama dan berbagai keanekaragaman lainnya agar manusia tersebut saling mengenal satu sama lainnya dan bukan untuk menjelekkan perbedaan tersebut. Namun, bagaimana mereka bisa bersatu dengan segala perbedaan tersebut untuk menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis yang penuh dengan kedamaian, karena manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya dan mereka tidak akan bisa hidup dengan individu mereka sendiri.. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al Hujurȃt ayat 13:

Page 2: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

�ن� �م� إ �ق�اك �ت �ه� أ �م� ع�ند� الل م�ك �ر� ك� �ن� أ ف�وا إ �ع�ار� �ت �ل� ل �ائ #ا و�ق�ب ع�وب �م� ش� �اك �ن ع�ل �ى و�ج� �نث �ر* و�أ �م م-ن ذ�ك �اك �ق�ن ل �ا خ� �ن �اس� إ 1ه�ا الن ي

� �ا أ ي

�ير3 ب �يم3 خ� �ه� ع�ل الل

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa terjalinnya hubungan satu sama lain di antara sesama manusia merupakan suatu ketetapan dari Allah, dan hubungan ini berawal dari berbeda-bedanya ciptaan manusia[1]. Sengaja diciptakan Allah berbeda-beda, laki-laki, perempuan, bersuku suku, dan berbangsa-bangsa supaya mereka saling mengenal. Hal ini untuk saling mengisi sehingga terciptakan manusia terbaik. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al Mȃ’idah ayat 48:

� 6ه� و�ال ل� الل �نز� �م�ا أ �ه�م ب �ن �ي �م ب �ه� ف�اح�ك �ي #ا ع�ل �م�ن �اب� و�م�ه�ي �ك�ت �ه� م�ن� ال �د�ي �ن� ي �ي -م�ا ب �ح�ق- م�ص�د-ق#ا ل �ال �اب� ب �ك�ت �ك� ال �ي �ل �ا إ �ن ل �نز� و�أم�ة# و�اح�د�ة#

� �م� أ �ك �ج�ع�ل 6ه� ل اء الل �و� ش� ا و�ل �ه�اج# ع�ة# و�م�ن ر� �م� ش� �ا م�نك �ن ع�ل �لD ج� �ك �ح�ق- ل �ه�و�اءه�م� ع�م�ا ج�اءك� م�ن� ال �ع� أ �ب �ت ت�ف�ون� �ل ت �خ� �م� ف�يه� ت �نت �م�ا ك �م ب �ك -ئ �ب �ن �م� ج�م�يع#ا ف�ي ج�ع�ك �ل�ى الله م�ر� ات� إ �ر� ي �ق�وا الخ� �ب ت �م ف�اس� �اك �م� ف�ي م�آ آت �و�ك �ل �ب -ي ك�ن ل ـ� و�ل

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.

Jadi, keadaan manusia yang berbeda-beda tersebut bukan untuk menjadikan permusuhan, tapi justru untuk saling mengenal (ta’aruf), karena pada dasarnya derjat manusia dihadapan Allah adalah sama, yang membedakan adalah kadar taqwa kepada Allah Swt. Sebab, agama Islam di samping mengatur hubungan antar manusia dengan Allah (hablum min Allah), juga menitik beratkan kepada hubungan antar manusia (Hablum min an Nȃs). Sebagaimana Allah Swt berfirman surat ‘Ali ‘Imrȃn ayat 112:

�اس� �ل* م-ن� الن ب 6ه� و�ح� �ل* م-ن� الل ب �ح� � ب �ال � إ �ق�ف�وا �ن� م�ا ث �ي �ة� أ �ه�م� الذ-ل �ي �ت� ع�ل ض�ر�ب

“ mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.....”.

B. Keanekaragaman sebagai Sunnatullah

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Allah telah menciptkan berbagai keanekaragaman dalam kehidupan manusia. Seperti firman Allah Swt dalam surat ar Rȗm ayat 22:

ô �م�ين� �ع�ال -ل �ات* ل ي �ن� ف�ي ذ�ل�ك� آل� �م� إ �ك �و�ان ل� �م� و�أ �ك �ت ن �ل�س� ف� أ �ال� ت ر�ض� و�اخ�

� م�او�ات� و�األ� �ه� خ�ل�ق� الس� �ات و�م�ن� آي

Page 3: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.

Maka, hal ini sudah merupakan ketentuan Allah yang berlaku terhadap makhluk-Nya yang tidak bisa dirubah oleh siapapun. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al Ahzȃb ayat 62:

�د�يال# �ب �ه� ت �ة� الل ن �ج�د� ل�س� �ل� و�ل�ن ت �و�ا م�ن ق�ب ل �ذ�ين� خ� �ه� ف�ي ال �ة� الل ن س�

“Sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.

Kehendak Allah akan tetap berjalan pada jalurnya dan tak akan dapat disimpangkan. Jadi, adanya berbagai keanekaragaman dalam kehidupan manusia agar manusia tersebut dapat meneguhkan perhubungan dengan sesama dibalik segala perbedaan yang ada[2]. Oleh karena itu, dalam pergaulan kita harus memperhatikan petunjuk agama, agar tidak menimbulkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

C. Landasan hubungan antar manusia dalam al Qur’an

Adapun ayat yang melandasi hubungan antar manusia di dalam al Qur’an adalah:

1. Interaksi sosial secara umum. Hal ini terdapat dalam surat al Hujurȃt ayat 13 sebagaimana telah disebutkan di atas.

�م� �ق�اك �ت �ه� أ �م� ع�ند� الل م�ك �ر� ك� �ن� أ ف�وا إ �ع�ار� �ت �ل� ل �ائ #ا و�ق�ب ع�وب �م� ش� �اك �ن ع�ل �ى و�ج� �نث �ر* و�أ �م م-ن ذ�ك �اك �ق�ن ل �ا خ� �ن �اس� إ 1ه�ا الن ي

� �ا أ ي

�ير3 ب �يم3 خ� �ه� ع�ل �ن� الل إ

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

M. Qurais Shihab menyatakan bahwa ayat ini memberikan uraian tentang prinsip dasar hubungan manusia, karena pada ayat ini seruan tidak lagi ditujukan secara khusus kepada orang-orang beriman, akan tetapi kepada seluruh jenis manusia yaitu “ Wahai sekalian manusia”[3].

Penggalan pertama ayat di atas “sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan” adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derjat kemanusiannya sama disisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain dan tidak ada pula perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan, karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhoh agar menikahkah salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap

Page 4: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

keliru ini dikecam oleh al Qur’an dengan menegaskan bahwa kemulian disisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi karena ketaqwaan[4]. Di samping itu, juga disebutkan bahwa ayat ini diturunkan pada saat penaklukkan Kota Mekkah ketika Bilal menaiki permukaan Ka’bah lalu ia mengumandangkan azan, sebagian orang ketika itu berkata ”apakah orang hitam ini yang azan di Ka’bah”?, sebagian lagi berkata “Alhamdulillahayahku telah wafat sebelum melihat kejadian ini”. Ada lagi yang berkomentar “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”[5].

Kata "شعوب"syu’ȗb pada ayat di atas adalah bentuk jama’ dari kata "شعب"sya’b yang digunakan untuk menunjukkan kumpulan dari sekian qabȋlah yang bisa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek[6]. Imam ibnu Kasir mengatakan bahwa kata-kata syu’ȗb ini lebih umum dari kata qabȋlah, dibawahqabȋlah ini ada tingkatan lain yang disebut dengan ‘imȃrah "عمارة" atau kumpulan dariqabȋlah, dan kumpulan dari ‘imȃrah ini disebut bathn "بطن", kemudian dibawah bathnini ada fakhz "فخذ"atau kumpulan dari bathn[7] . Imam az Zamaksyari menyebutkan bahwa kata syu’ȗb merupakan tingkatan yang paling tinggi, contoh: Kinanah merupakan kabilah, Quraisy merupakan ‘imarah, Qushay merupakan bathn, dan hasyim merupakan fakhz[8].

Sedangkan kata ta’ȃrafȗ terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan pada ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti ia saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang saling memberi manfaat. Karena itu, ayat ini menekankan perlunya saling mengenal, karena kita tidak dapat menarik pelajaran dan tidak dapat saling melengkapi dan menarik manfaat bahkan tidak dapat bekerjasama tanpa adanya hubungan atau interaksi sesama kita sebagai manusia[9].

Jadi, ayat diatas (surat al Hujurȃt ayat 13) merupakan dasar atas eksistensi interaksi sosial antar sesama manusia. Karena, perbedaan adalah sunnah kehidupan. Jadi, jika ada yang menyatukan selera, warna, jenis, maka itu tidak akan bisa bahkan itu merupakan usaha yang sia-sia. Akan tetapi, jalan keluarnya adalah bagaimana supaya bisa memahami perbedaan tersebut. Dan jalan agar saling memahami perbedan itu ialah dengan berkomunikasi antara sesama, karena komunikasi merupakan sebuah konsep yang membantu saling memahami antara satu dengan yang lainnya.

2. Interaksi sosial atau hubungan antar manusia dalam aktifitas keagamaan.

a. Berbuat baik dan santun kepada orang-orang (non muslim) yang tidak menunjukkan sikap permusuhan kepada kaum muslimin. Sebagaimana hal ini dijelaskan Allah dalam surat surat al Mumtahanah ayat 8-9

�ن� �ه�م� إ �ي �ل �ق�س�ط�وا إ وه�م� و�ت �ر1 �ب ن ت� �م� أ �ار�ك �م م-ن د�ي �خ�ر�ج�وك �م� ي �م� ف�ي الد-ين� و�ل �ل�وك �ق�ات �م� ي �ذ�ين� ل �ه� ع�ن� ال �م� الل �ه�اك �ن ال� ي

. �م�ق�س�ط�ين� �ح�ب1 ال �ه� ي وا  الل �م� و�ظ�اه�ر� �ار�ك �م م-ن د�ي ج�وك �خ�ر� �م� ف�ي الد-ين� و�أ �ل�وك �ذ�ين� ق�ات �ه� ع�ن� ال �م� الل �ه�اك �ن �م�ا ي �ن إ�م�ون� �ك� ه�م� الظ�ال �ئ و�ل

� �ه�م� ف�أ �و�ل �ت �و�ه�م� و�م�ن ي �و�ل ن ت� �م� أ اج�ك �خ�ر� ع�ل�ى إ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan

Page 5: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Perintah untuk memusuhi kaum kafir (non muslim) pada beberapa ayat bisa jadi menimbulkan kesan bahwa semua non muslim harus dimusuhi yang menyebabkan timbulnya kekeliruan dalam kehidupan sesama. Maka, untuk mencegah kekeliruan tersebut ayat di atas menggarisbawahi prinsip dasar hubungan interaksi kaum muslimin dengan non muslim. Dalam ayat ini, Allah tidak melarang berbuat baik dalam bentuk apapun terhadap mereka. Jika dalam interaksi sosial mereka (non muslim) berada pada pihak yang benar, sedangkan salah seorang dari golongan kita berada pada pihak yang salah, maka haruslah membela dan memenangkan mereka, karena berbuat baik kepada mereka merupakan salah satu bentuk akhlak mulia[10]. Hal ini mesti untuk dilakukan selama mereka tidak memerangi, memusuhi atau mengusir kita dari negeri yang kita tempati dan membiarkan kita hidup dengan rasa aman dan ketenangan. Dengan demikian, menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk bersikap adil dan berbuat baik terhadap mereka, sekalipun kita berbeda dalam segi keyakinan dengan mereka.

Selanjutnya, M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa kata تبروهم pada ayat di atas terambil dari kata بر (bir), yang berarti kebajikan yang luas. Salah satu nama Allah adalah al Bar, ini karena demikian luasnya kebajikan Allah, dataran yang terhampar dipersada bumi dinamai bar karena luasnya. Dengan demikian, penggunaan kata bir pada ayat tersebut, tercermin atas izin untuk melakukan aneka kebajikan bagi non muslim.

Imam al Maraghi mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik terhadap non muslim (kafir) yang tidak menyerang atau memusuhi orang islam, dan tidak mengusir orang mukmin dari negeri yang ia tempati, dan juga tidak menolong atau membantu untuk mengeluarkan orang mukmin dari negeri tersebut. Akan tetapi, Allah melarang untuk berbuat baik tersebut terhadap orang-orang yang menimbulkan permusuhan serta membunuh atau mengeluarkan orang mukmin dari negerinya, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekkah terhadap orang muslim pada masa Nabi Saw[11].

Adapun sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan peristiwa Asma binti Abu Bakar yang didatangi olegh ibunya yang masih musyrik. Maka, ia bertanya kepada Rasulullah :

"يا رسول الله قدمت علي أمي وهي راغبة أفأصل أمي؟ قال نعم صلي أمك

Wahai Rasulullah ibuku telah datang kepadaku dan ia mengharapkanku, apakah aku harus mendoakannya ? Rasulullah menjawab : Ya, doakanlah ia[12].

Dalam riwayat lain juga dikatakan bahwa Ibu Asma’ yang bernama Quthailah berkunjung membawa hadiah untuk putrinya, tetapi ia enggan menerimanya dan enggan juga menerima ibunya, dan ia bertanya kepada saudaranya (Aisyah), dan turunlah ayat ini, Nabi pun memerintahkan untuk menyambut ibunya dan menerima hadiah tersebut[13].

Dengan demikian, Kebhinekaan agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agama kita. Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama yang bukan Islam. Mengakui keanekaragaman agama tersebut dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berartijuga membenarkan agama-agama lain itu. Namun, di

Page 6: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

sini dituntut untuk saling menghargai dan menonjolkan sikap toleransi dengan sesama. Seperti firman Allah dalam surat al Kȃfirȗn ayat 1 sampai 6:

. ون� �اف�ر� �ك 1ه�ا ال ي� �ا أ . ق�ل� ي �د�ون� �ع�ب �د� م�ا ت �ع�ب �د�. ال� أ �ع�ب �د�ون� م�ا أ �م� ع�اب �نت . و�ال� أ 1م� �دت �د3 م�ا ع�ب �ا ع�اب �ن �د�ون� و�ال� أ �م� ع�اب �نت و�ال� أ

�د�. �ع�ب �م� و�ل�ي� د�ين� م�ا أ �ك �م� د�ين �ك ل

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Sayyid Quthub mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang damai, dan penuh cinta. Ia merupakan sistim yang bertujuan menaungi seluruh alam dengan naungan yang berupa kedamaian dan cinta, bahwa manusia dihimpun dibawah panji Allah dengan kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal mengenal dan cinta mencintai. Tidak ada yang menghalangi arah tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuhNya dan musuh tindakan agama ini. Adapun jika mereka bersikap damai, Islam sama sekali tidak berminat untuk melakukan permusuhan[14].

Jadi, adanya agama yang bebeda-beda dalam kehidupan, dituntut untuk saling menghargai pemeluk agama lain tersebut, sekalipun agama yang diridhoi Allah adalah agama Islam, namun meskipun demikian Allah tetap mengajarkan kepada hambaNya untuk tetap memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Seperti firman Allah dalam surat al An’ȃm ayat 108:

�ل�ى �م� إ �ه�م� ث م�ة* ع�م�ل� �ل- أ �ك �ا ل �ن ي �ذ�ل�ك� ز� * ك �م �ر� ع�ل �غ�ي 6ه� ع�د�و#ا ب � الل 1وا ب �س� 6ه� ف�ي �د�ع�ون� م�ن د�ون� الل �ذ�ين� ي � ال 1وا ب �س� � ت و�ال

�ع�م�ل�ون� � ي �وا �ان �م�ا ك �ه�م ب -ئ �ب �ن ج�ع�ه�م� ف�ي -ه�م م�ر� ب ر�

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Ayat ini memberikan petunjuk kepada orang muslim agar tidak melakukan cacian atau mencela sembahan-sembahan non muslim. Karena, hal ini bisa jadi dilakukan oleh orang muslim karena terdorong oleh emosi menghadapi ganguan kaum musyrik atau ketidaktahuan mereka. Karena, makian atau cercaan tidak akan menghasilkan kemaslahatan dalam agama. Larangan memaki Tuhan-Tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan tuntutan agama, guna memelihara kesucian agama, dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat agama[15].

b. Menjaga dan menepati isi perjanjian, meskipun orang yang terikat dalam perjanjian tersebut adalah orang-orang musyrik. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat at Taubah ayat 4

�ه�م� ع�ه�د�ه�م� �ي �ل � إ �م1وا �ت �ح�د#ا ف�أ �م� أ �ك �ي � ع�ل وا �ظ�اه�ر� �م� ي #ا و�ل �ئ ي �م� ش� �نق�ص�وك �م� ي �م� ل �ين� ث ر�ك �م�ش� 1م م-ن� ال �ذ�ين� ع�اه�دت � ال �ال إ

�ق�ين� �م�ت �ح�ب1 ال 6ه� ي �ن� الل �ه�م� إ �ل�ى م�د�ت إ

“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa”.

Page 7: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

Ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin yaitu dilarang untuk membatalkan komitmen dan janji-janjinya secara pihak, kecuali jika pihak lain terlebih dahulu membatalkannya, baik secara tegas maupun melalui bukti-bukti yang menyakinkan. Itupun dengan menyampaikan pembatalan tersebut secara tegas dan jelas dan dalam waktu yang cukup untuk diketahui benar-benar pembatalannya oleh pihak lain[16]. Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud kaum musyrikin yang dikecualikan ini adalah Banu Dhamroh salah satu cabang suku Kinanah yang batas waktu perjanjian Nabi Saw dengan mereka sembilan bulan. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Banu Mudlij dan Khuza’ah[17].

c. Memberikan perlindungan kepada orang non muslim. Hal ini sebagaimana terdapat al Qur’an surat at Taubah ayat 6:

�م�ون� �ع�ل � ي �ه�م� ق�و�م3 ال ن� �أ �ه� ذ�ل�ك� ب م�ن

� �غ�ه� م�أ �ل �ب �م� أ 6ه� ث �م� الل �ال م�ع� ك �س� �ى ي ت ه� ح� ج�ر�� ك� ف�أ ار� �ج� ت ر�ك�ين� اس� �م�ش� �ح�د3 م-ن� ال �ن� أ و�إ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.

Kata استجارك (istajȃraka) terambil dari kata جوار (jiwȃr) yang berarti kedekatan, dari sini tetangga dinamai جار (jȃr) karena rumahnya dekat dengan tetangganya. Ayat ini melahirkan kesan bahwa betapa tingginya kedudukan tetangga dan betapa pentingnya mereka sehingga ia harus dilindungi walau agamanya berbeda dengan kita[18]. Ayat ini seakan-akan berkata bahwa jika ada orang musyrik yang telah diizinkan Allah untuk dibunuh, ditawan, atau tidak diperkenankan masuk kewilayah muslim, tetapi ia secara tulus bermaksud menemui Nabi Saw, atau mendengar ayat-ayat al Qur’an, maka berilah ia perlindungan, dengan demikian ia akan mengenal Islam lebih dekat dan mengetahui betapa indahnya tuntunannya[19].

d. Memakan sembelihan ahli kitab dan menikahi perempuan-perempuan mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Mȃ’idah ayat 5:

�ات� م�ن� �م�ح�ص�ن �ه�م� و�ال �م� ح�ل1 ل �م� و�ط�ع�ام�ك �ك �اب� ح�لl ل �ك�ت � ال �وا �وت �ذ�ين� أ �ات� و�ط�ع�ام� ال -ب �م� الط�ي �ك �ح�ل� ل �و�م� أ �ي الاف�ح�ين� �ر� م�س� �ين� غ�ي ه�ن� م�ح�ص�ن �ج�ور� �م�وه�ن� أ �ت �ي �ذ�ا آت �م� إ �ك �ل �اب� م�ن ق�ب �ك�ت � ال �وا �وت �ذ�ين� أ �ات� م�ن� ال �م�ح�ص�ن �ات� و�ال �م�ؤ�م�ن الر�ين �خ�اس� ة� م�ن� ال �ه� و�ه�و� ف�ي اآلخ�ر� �ط� ع�م�ل ب �يم�ان� ف�ق�د� ح� �اإل �ف�ر� ب �ك �خ�د�ان* و�م�ن ي �خ�ذ�ي أ � م�ت و�ال

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa dibolehkannya memakan makanan sembelihan ahli kitab, dan begitu juga dengan sembelihan orang Islam dibolehkan bagi mereka untuk memakannya. Al Maraghi mengatakan bahwa yang dimaksud denganطعام (tha’am) atau makanan pada ayat di atas adalah sembelihan, adapan yang dimaksud dengan الذين أوتوا الكتاب  adalah Yahudi dan Nashrani, yakni

Page 8: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

sembelihan Ahlul Kitab yang diberikan kitab suci Injil dan Taurat dan bukan sembelihan orang-orang musyrik yang tidak mempunyai kitab suci yang menyembah berhala dan patung-patung[20]. Sebagian lagi ada yang memahami bahwa yang dimaksud dengan makanan adalah buah-buahan, biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat lemah[21]. Kendatipun demikian, perlu untuk diingat bahwa tidak otomatis semua makanan Ahlul Kitab selain sembelihannya menjadi halal, karena boleh jadi makanan yang mereka hidangkan telah bercampur dengan bahan-bahan haram, atau boleh jadi adanya bahan yang bernajis[22].

Adapun adanya penegasan kata طعامكم yang sebelumnya ditegaskan kata طعامهمadalah untuk menggarisbawahi bahwa dalam soal makanan dibenarkan hukum timbal balik. Adapun dalam soal pernikahan tidak ada hukum timbal balik, dalam arti pria muslim dapat menikahi wanita Ahlul Kitab, tetapi pria Ahlul Kitab tidak dibenarkan menikahi wanita muslimah. Bisa jadi hal ini disebabkan karena wanita tersebut harus patuh dan tunduk kepada suaminya, sehingga bisa menjadikan mereka akan berpindah kepada keyakinan yang dianut oleh suaminya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa ditutupnya ayat di atas dengan ancaman “ barang siapa yang kafir setelah beriman, maka putuslah amalannya dan seterusnya...”merupakan peringatan kepada setiap orang yang makan, dan atau merencanakan pernikahan dengan mereka, agar berhati-hati jangan sampai hal tersebut mengantarkan mereka kepada kekufuran, karena akibatnya adalah siksa di akhirat kelak[23].

Maka, berdasarkan prinsip ta’ȃruf antara pemeluk agama di atas, sudah seharusnya kaum muslimin bersikap terbuka kepada pemeluk agama lain. Karena, dengan sikap keterbukaan tersebut, mereka akan dapat mengambil manfaat dari berbagai kemajuan umat lain dan berbagai macam bentuk peradaban mereka.

3. Hubungan antar manusia dalam wacana perubahan sosial.

Setelah terbentuknya hubungan antar manusia dengan saling mengenal dan menghagai serta menolong antara pemeluk agama yang berbeda, maka hal ini akan dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis yang akan merubah aktivitas kesosialan dengan persatuan diatas segala perbedaan. Dalam al Qur’an ada dua ayat yang sering diungkapkan dalam konteks perubahan sosial.

a. Surat ar Ra’du ayat 11

� م�ا وا -ر� �غ�ي �ى ي ت * ح� �ق�و�م -ر� م�ا ب �غ�ي � ي 6ه� ال �ن� الل 6ه� إ م�ر� الل� �ه� م�ن� أ �ح�ف�ظ�ون �ف�ه� ي ل �ه� و�م�ن� خ� �د�ي �ن� ي �ي �ات3 م-ن ب �ه� م�ع�ق-ب ل

�ه� م�ن و�ال* �ه�م م-ن د�ون �ه� و�م�ا ل د� ل � م�ر� وء#ا ف�ال * س� �ق�و�م 6ه� ب اد� الل ر�� �ذ�ا أ ه�م� و�إ �ف�س� �ن �أ ب

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

b. Surat al Anfȃl ayat 53

Page 9: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

�يم3 م�يع3 ع�ل 6ه� س� ن� الل� ه�م� و�أ �نف�س� �أ � م�ا ب وا -ر� �غ�ي �ى ي ت * ح� �ع�م�ه�ا ع�ل�ى ق�و�م �ن -ع�م�ة# أ ا ن -ر# �ك� م�غ�ي �م� ي 6ه� ل ن� الل

� �أ ذ�ل�ك� ب

“yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Dalam dua ayat di atas ada beberapa hal penting untuk digaris bawahi yang berkaitan dengan kehidupan antar sesama manusia, yaitu[24]:

Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Hal ini dipahami dari penggunaan kata “qaum”pada ayat tersebut yang bermakna masyarakat. Sehingga, dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja.

Kedua, penggunaan kata “qaum”, juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin saja, atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum kapan dan dimanapun mereka berada.

Ketiga, kedua ayat tersebut berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku pertama adalah Allah Swt yang mengubah nikmatnya yang diberikannya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami oleh masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat ini ما Perubahan yang terjadi karena campur tangan Allah atau yang diistilahkan pada ayat di .بأنفسهمatas ما بقوم menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan masyarkat secara umum.

Keempat, kedua ayat ini menekankan bahwa perubahan yang dilakukan Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial.

Berdasarkan penjelasan dari ayat di atas, bahwa hubungan interaksi antara manusia akan mempengaruhi kehidupan mereka. Karena manusia hidup dalam sebuah masyarakat yang dituntut untuk mewujudkan sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Maka untuk mewujudkan hal ini diperlukan adanya hubungan yang baik antar manusia agar bisa hidup dalam suasana yang harmonis dengan segala latar belakang dan perbedaan yang ada dalam diri mereka.

D. Etika hubungan antar manusia dalam al Qur’an

1. Surat al Hujurȃt ayat 11

�ن� �ك �ن ي اء ع�س�ى أ -س� اء م-ن ن �س� �ه�م� و�ال� ن ا م-ن �ر# ي �وا خ� �ون �ك �ن ي * ع�س�ى أ خ�ر� ق�وم3 م-ن ق�و�م �س� �وا ال� ي �ذ�ين� آم�ن 1ه�ا ال ي� �ا أ ي

�ك� �ئ و�ل� �ب� ف�أ �ت �م� ي �يم�ان� و�م�ن ل �ع�د� اإل� �ف�س�وق� ب م� ال �س� �س� اال �ئ �ق�اب� ب �ل �األ� وا ب �ز� �اب �ن �م� و�ال� ت ك �نف�س� وا أ �م�ز� �ل �ه�ن� و�ال� ت ا م-ن �ر# ي خ�

�م�ون� ه�م� الظ�ال

Page 10: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok olok kaum yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Kata “qaum” biasa digunakan untuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat tersebut menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam pengertian kaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki, misalnya kata al mu’minȗn dapat saja tercakup di dalamnya al mu’minȃt. Namun, ayat di atas mempertegas penyebutan kata النساء karena ejekan dan merumpi lebih banyak dari kalangan perempuan dibanding kalangan laki-laki[25].

Dalam ayat ini ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan agar terwujudnya hubungan yang harmonis antar sesama manusia, yaitu:

a. Larangan untuk mengolok-olokan

Adapun yang dimaksud dengan kata “يسخر”atau mengolok-olokkan pada ayat ini adalah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun tingkah laku atau dengan melalui isyarat[26]. Pernyataan dari Allah agar tidak saling mengejek ini sebenarnya mengandung suatu makna yang sangat halus (tersirat), bahwa pada umumnya penilain seseorang manusia pada dirinya sendiri pada umumnya tidak tepat. Orang yang mengolok-olok orang lain biasanya menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, karena itu Allah Swt mengingatkan barangkali orang yang diejek itu bisa jadi lebih baik dari pada orang yang mengejek.

b. Larangan saling mencela

Kata تلمزو (talmizȗ) terambil dari kata اللمز  (al lamz). Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini, Ibnu Asyur misalnya memahaminya dalam arti ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ancaman atau ejekan[27]. Pada ayat di atas dilarang untuk melakukan al lamz terhadap diri sendiri, sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya sesorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain juga menimpa dirinya sendiri.

c. Larangan untuk menggelar dengan gelar yang buruk

Kata تنابزو (tanȃbuz) terambil dari kata النبز (an Nabz) yakni gelar buruk. At Tanȃbuz adalah saling memberi gelar yang buruk. Larangan ini menggunakan kata makna timbal balik, berbeda denagan panggilan al lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena at tanȃbuz lebih banyak terjadi dari pada al lamz, tetapi karena biasanya gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan yang memanggil dengan yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa saja yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar

Page 11: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

buruk, sehingga terjadilah tanȃbuz. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa an nabz khusus digandengkan dengan laqab atau gelar yang buruk,seperti mengatakan ya Fasiq, ya Kafir, dan lain sebagainya[28].

Beberapa sifat di atas merupakan perbuatan-perbuatan yang akan merusak huibungan antar manusia dengan sesamanya dalam sebuah lingkungan. Oleh sebab itu, Allah Swt mewanti-wanti untuk menjauhi beberapa perbuatan ini agar terciptanya sebuah hubungan yang harmonis dan penuh dengan kedamaian dan kenyamanan dalam sebuah kehidupan dengan sesama.

2. Surat al Hujurȃt ayat 12:

�ح�ب1 �ي �ع�ض#ا أ �م ب �ع�ض�ك �ب ب �غ�ت وا و�ال� ي �ج�س�س� �م3 و�ال� ت �ث �ع�ض� الظ�ن- إ �ن� ب ا م-ن� الظ�ن- إ �ير# �ث �وا ك �ب �ن ت �وا اج� �ذ�ين� آم�ن 1ه�ا ال ي� �ا أ ي

ح�يم3 �و�اب3 ر� �ه� ت �ن� الل �ه� إ �ق�وا الل �م�وه� و�ات �ر�ه�ت #ا ف�ك �ت �خ�يه� م�ي �ح�م� أ �ل� ل �ك �أ �ن ي �م� أ �ح�د�ك أ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, namun di sini lebih menceritakan tentang beberapa hal buruk yang sifatnya tersembunyi. Maka, pada ayat ini juga terdapat tiga hal yang mesti diperhatikan dalam kehidupan sesama manusia, yaitu:

a. Menjauhi zhon atau prasangka

Zhon diartikan dengan pikiran, pendapat atau buruk sangka, dugaan, perkiraan, dan tuduhan. Dan menurut istilah, zhon atau prasangka adalah hal yang menunjukkan gejala kurang yakin untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny atau dugaan, dan tentu apa saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan. Maka, dalam ayat ini ditegaskan bahwa sebagian dari prasangka tersebut adalah dosa. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Maka, dengan menghindari dugaan buruk tersebut, masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak kan ragu terhadap pihak lain dan juga tidak akan tersalurkan energinya kepada hal yang sia-sia. Ayat ini membentengi masyarakat dari tuntutan bterhadap hal-hal baru yang bersifat prasangka.

b. Larangan bertajassus

Kata تجسسو termbil dari kata 6جس  (jassa) yakni upaya mencari tahu tentang aib, dan ‘aurat serta menyebarkan atau membukakan apa yang sengaja ditutup oleh orang tersebut[29]. Dari sini mata-mata dinamai جسوس (jasȗs). Imam al Ghazali memahami larangan ini dalam arti setiap orang berhak menyembunyikan rahasianya apa yang enggan diketahui oleh orang lain. Jika demikian, jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari cari kesalahan orang lain

Page 12: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya. Upaya melakukan tajassus ini dapat menimbulkan kerenggangan hubungan antar sesama, karena itu pada prinsipnya dilarang[30].

c. Larangan berghibah

kata يغتب  (yaghtab) terambil dari kata غيبة (ghibah) yang berasal dri kata غيب (ghaib) yakni tidak hadir. Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutannya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan sekalipun itu adalah aib dirinya[31]. Dengan demikian, ghibah merupakan sebuah penyakit yang dapat merusak hubungan masyarakat, sehingga wujud yang diharapkan dari sebuah masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Karena, yang diharapkan dari hubungan masyarakat adalah hubungan harmonis antar angota-anggotanya, di mana setiap orang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai, masing-masing saling mengenal anggota masyarakat lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari.

Itu beberapa etika yang harus diperhatikan bagi setiap orang dalam pergaulan antar sesama agar terwujudnya rasa perdamaian dan ketenangan dalam kehidupan bersama dan terhindari dari permusuhan dan pertikain. Hal ini tidak hanya dikhususkan untuk orang muslim saja, tetapi juga untuk manusia secara umum. Oleh sebab itu, antara manusia harus saling mengenal satu sama lainnya agar terwujud sebuah kehidupan yang penuh dengan kedamain yang menjadi impian hidup bagi seluruh orang.

III. Penutup

Dalam kehidupan antar sesama manusia diperlukan adanya sikap untuk saling mengenal satu sama lain, karena kehidupan manusia terdiri dari berbagai macam keanekaragaman dan perbedaan, baik dari segi keyakinan atau agama, suku, ras, bahasa yang beraneka ragam, bahkan jenis kulit yang berbeda-beda, dan bangsa. Karena itu, diperlukannya unsur ta’ȃruf agar perbedaan tersebut bukan dijadikan sebagai tempat permusuhan akan tetapi untuk saling menghargai dan menghormati segala perbedaan yang telah Allah tetapkan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan harmonis antara manusia. Karena, seluruh manusia disisi Allah adalah sama, namun yang membedakan mereka adalah tingkat ketaqwaan masing-masing individu kepada sangkhaliq. Dengan demikian, dalam al Qur’an telah dijelaskan prinsip-prinsip ta’ȃruf danetika-etika yang mesti diperhatikan, baik antar hubungan berbangsa maupun antar kelompok manusia yang hidup dalam suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama menuju perbubahan yang baik dalam kehidupan bersama.Wallâhul musta’ân, wa huwa ‘A’lam bi as Shawâb.

Marapalam, 24 Juni 2014

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Page 13: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

Al Qur’ȃn al Karȋm

Ad Dimasyqy, Abu al Fida’ Ismail bin Katsir. Tafsir al Qur’ȃn al ‘Azhȋm. Cairo: Maktabah Qurthubah dan Maktabah Aulad as Syaik li at Turast. 2000 M.

Al Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsȋr al Marȃghȋ. Beirut: Dar al Fikr. TTh.

As Suyuti. Asbab an Nuzȗl. Cairo: Dar al Fajr at Turast. 2002 M.

Az Zamaksary, Abu al Qashim Mahmud bin Umar. Al Kassyȃf ‘an Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘uyun al Aqawȋl fȋ Wujȗh at Ta’wȋl. Riyadh: Maktabah ‘Ibkan. 1998 M

Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2001 M.

Ibnu Asyur, Muhammad Thahir. Tafsȋr at Tahrȋr wa at Tanwȋr. Tunis: Dar at Tauzȋ’ li an Nasyr.1984 M

Quthb, Sayyid. Tafsȋr fȋ Zhilȃl al Qur’an. Cairo: Dar as Syuruq. 1992 M.

Shihab, Quraish. Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2004 M.

Zuhaili, Wahbah. At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa as Syarȋ’ah wa al Manhaj. Beirut: Dar al Fikr al Mu’ashir. 1998 M.

Zulheldi. Tafsir II Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II. Padang: Hayfa Press. 2009 M.

[1] Zulheldi, Tafsir II Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II, (Padang: Hayfa Press, 2009), h. 85

[2] Hamka, Lembaga Hidup. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 137

[3] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati. 2004), juz. 13, h. 260

[4] As Suyuti, Asbȃb an Nuzȗl, (Cairo: Dar al Fajr at Turast, 2002), h. 383

[5] Ibid

[6] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, h. 261

[7] Abu al Fida’ Ismail bin Katsir ad Dimasyq, Tafsȋr al Qur’ȃn al ‘Azhȋm, (Cairo: Maktabah Qurthubah dan Maktabah Aulad as Syaik li at Turast, 2000 M), juz. 13, h. 168

[8] Abu al Qashim Mahmud bin Umar az Zamakhsary, al Kassyȃf ‘an Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘uyȗn al Aqawȋl fȋ Wujȗh at Ta’wȋl, (Riyadh: Maktabah “Ibkan, 1998 M), juz. 5, h. 585

Page 14: Hubungan Antar Manusia Menurut Perspektif Al Quran

[10] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.14 h. 168

[11] Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsȋr al Marȃghȋ. ( Beirut: Dar al Fikr, tt), juz. 10, h. 70

[12] As Suyuti, Asbȃb an Nuzȗl, h. 412

[13] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, juz. 14, h. 169

[14] Sayyid Quthb, Tafsȋr fȋ Zhilȃl al Qur’an. ( cairo: Dar as Syruq, 1992 M), juz. 6, h. 3544

[15] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, juz. 14, h. 168

[16] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.5 h. 528-529

[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Abu al Fida’ Ismail bin Katsir ad Dimasyq, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, juz. 7, h. 151

[20] Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsȋr al Marȃghȋ, juz. 2, h. 58

[21] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.3 h. 28

[22] Ibid

[23] Ibid

[24] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.6 h. 572

[25] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz. 13, h. 251

[26] Wahbah Zuhaili, At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa as Syarȋ’ah wa al Manhaj. (Beirut: Dar al Fikr al Mu’ashir, 1998 M), juz. 25-26, h. 246

[27] Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsȋr at Tahrȋr wa at Tanwȋr. ( Tunis: Dar at Tauzȋ’ li an Nasyr, 1984 M), juz. 26, h. 248

[28] Wahbah Zuhaili, At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa as Syarȋ’ah wa al Manhaj, h. 248

[29] Ibid

[30] Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz. 13, h. 254

[31] Wahbah Zuhaili, At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa as Syarȋ’ah wa al Manhaj, h. 248