Hp3 vs nelayan tradisional

8

Click here to load reader

Transcript of Hp3 vs nelayan tradisional

Page 1: Hp3 vs nelayan tradisional

Hak Penguasaan Perairan Pesisir

VS

Peminggiran Nelayan Tradisional

Indepth ReportFebruari 2011

Oleh : Luluk Uliyah

Page 2: Hp3 vs nelayan tradisional

Bona Beding, lahir dan besar di Lamalera. Dia anak salah seorang lamafa (juru

tikam) di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Bona sangat tahu arti laut buat dirinya

dan ribuan nelayan yang ada di sana. Bahkan masyarakat Lamalera punya kearifan

tersendiri dalam menjaga lautnya.

Tradisi penangkapan paus (Ola Nue) adalah salah satu kearifan mereka, yang

dijaga hingga kini. Menangkap ikan paus, yang tak hanya asal menangkap ikan

untuk dikonsumsi, tetapi sudah menjadi bagian dari tradisi dan religi masyarakat

Lamalera.

Ola Nue sendiri merupakan tradisi

penangkapan ikan paus yang

sudah dilakukan sejak turun

temurun oleh nenek moyang

masyarakat Lefo Lamalera. Sudah

berabad-abad Ola Nue

menyangga nilai-nilai budaya

masyarakat di sana, dan telah

menyatu dengan nilai-nilai

keagamaan sejak masuknya

agama Katolik di Lembata pada tahun 1886.

Penangkapan paus pun tidak dilakukan secara sembarangan. Ada aturan dan

patokan waktunya. Penangkapan paus biasanya dilakukan pada 1 Mei hingga 31

Oktober. Sebelum melaut, pada 27 – 29 April, mereka melakukan upacara adat.

Dan pada 30 April sore, masyarakat melakukan misa untuk memohon keselamatan

bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Dilanjutkan pada keesokan

harinya dengan melakukan misa memohon keselamatan bagi yang akan melaut.

Page 3: Hp3 vs nelayan tradisional

Baru pada 2 Mei nelayan Lamalera beramai-ramai turun melaut.

Lima hari seminggu, karena Sabtu dan Minggu mereka harus istirahat dan

beribadah. Mereka menangkap ikan hanya sesuai yang dibutuhkan saja. Tidak

ngoyo (mengebu-gebu). Jika ikan berontak, maka akan dilepas.

Demikian juga dengan hasil tangkapan. Ikan paus yang ditangkap dibagikan kepada

semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir

miskin. Tak hanya itu, dengan berdasar aturan adat, tangkapan ikan paus dibagikan

secara merata sesuai dengan tanggung jawab yang diemban.

Mereka percaya, bila ada yang

melakukan penyimpangan,

maka akan mendapatkan

celaka. Inilah yang menjadikan

penangkapan ikan paus tak

sekadar penangkapan untuk

konsumsi belaka, tapi berkaitan

dengan penghidupan, tradisi,

dan religi seluruh masyarakat

Lamalera.

Kearifan Lokal dan Hak Penguasaan Perairan Pesisir

Namun saat ini Bona mulai resah dan khawatir. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah

memberikan kuasa kepada para pemodal untuk melakukan pengkaplingan dan

mengkomersialisasi perairan pesisir lewat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).

Dengan Undang-Undang ini, kearifan masyarakat Lamalera akan digusur dan

Indepth Report Yayasan Satudunia

Page 4: Hp3 vs nelayan tradisional

disingkirkan, yang berarti akan menghilangkan identitas tradisi masyarakat

Lamalera. Dan ini juga akan mengancam nelayan-nelayan tradisional yang ada di

seluruh pesisir Indonesia.

HP3 dan Peminggiran Nelayan Tradisional

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 di

ketentuan umum poin 18 disebutkan

bahwa “Hak Pengusahaan Perairan

Pesisir, selanjutnya disebut HP-3,

adalah hak atas bagian-bagian

tertentu dari perairan pesisir untuk

usaha kelautan dan perikanan, serta

usaha lain yang terkait dengan

pemanfaatan Sumber Daya Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil yang

mencakup atas permukaan laut dan

kolom air sampai dengan permukaan

dasar laut pada batas keluasan

tertentu.

Inilah yang menjadi akar permasalahan. Dengan ketentuan ini, HP3 akan

melegitimasi kepentingan modal untuk menggusur nelayan tradisional dan

masyarakat pesisir. Industri macam pertambangan, perikanan dan budidaya, serta

pariwisata akan melakukan eksploitasi sumber daya alam, merusak lingkungan

sekaligus merampas hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.

Kawasan pesisir menjadi komersil, dan tak lagi bisa dimanfaatkan oleh nelayan-

nelayan tradisional, yang selama ini hidup berdampingan dengan laut. Pun juga

Page 5: Hp3 vs nelayan tradisional

bagi masyarakat umum lainnya yang tak lagi bisa menikmati indahnya panorama

pesisir Indonesia secara cuma-cuma.

Di pasal-pasal yang lain pun banyak ditemukan aturan yang mengancam nelayan

tradisional. Di pasal 16 menyebutkan bahwa pemanfaatan wilayah pesisir diberikan

dalam bentuk HP3. Dilanjutkan dengan pasal 19 yang menyebutkan bahwa HP3

diberikan dalam jangka waktu 20 tahun, dan bisa diperpanjang. Tentu bisa dinalar,

nelayan tradisional tak mungkin bisa punya modal untuk menguasai wilayahnya

saat ini.

Apalagi saat ini banyak kawasan pesisir

yang telah “dipagari” oleh para pemodal

besar dengan menjadikannya objek

wisata, perumahan, pertokoan, mal,

pertambangan hingga kawasan industri

yang tak boleh disentuh sedikit pun oleh

para nelayan.

Sudah banyak bukti yang bisa dipaparkan. Di Manado, Sulawesi Utara contohnya.

Ratusan nelayan Manado, mulai dari Pondol hingga kawasan Mega Mas tak lagi bisa

menambatkan perahunya di pinggir pantai.

Sepanjang pantai yang selama ini mereka gunakan, telah berganti menjadi

kawasan Boulevard. Akibatnya mereka tak bisa lagi menambatkan perahu selepas

mencari ikan di laut. Pengelola Boulevard yang pernah menjanjikan tambatan

perahu, ternyata hanya membuat satu tambatan. Tentu ini tak cukup, karena ada

lebih dari 300 nelayan di sepanjang Pondol hingga kawasan Megamas. Saat ombak

besar, banyak perahu nelayan yang hancur.

Indepth Report Yayasan Satudunia

Page 6: Hp3 vs nelayan tradisional

Di pusat ibukota pun sama. Nelayan di pesisir utara Jakarta tak bisa lagi berlabuh

dan menangkap ikan di sekitar lokasi wisata Ancol. Perusahaan-perusahaan di

sepanjang pesisir tersebut

melakukan pengawasan

yang sangat ketat, yang

mengganggu aktivitas

nelayan. Padahal, dulu

kawasan tersebut

merupakan tempat nelayan

di pesisir utara Jakarta

menangkap ikan.

Saat ini para nelayan harus

melaut lebih jauh lagi dan

hal ini berdampak pada kebutuhan bahan bakar yang semakin banyak dari

biasanya. Padahal hasilnya belum tentu bertambah banyak.

Sementara itu, di Pasal 14 UU No. 27/2007, tentang penyusunan Rencana Strategis

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil yang (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (RAWP-3-K), terlihat sekali bahwa peran pemerintah daerah dan

dunia usaha sangat besar. Sementara masyarakat hanya sekedar dijadikan

pendukung, bukan pemilik kedaulatan atas ruang hidup dan wilayah

penghidupannya.

Dan masih banyak pasal-pasal lagi yang tak berpihak pada nelayan-nelayan

tradisional, dan mengancam keberlanjutan hidup mereka. Padahal, jumlah nelayan

di negeri bahari ini terus menurun. Saat ini saja, jumlahnya sekitar 2,8 juta kepala

Page 7: Hp3 vs nelayan tradisional

keluarga, turun 25% dalam kurun waktu 10 tahun. Faktor kebijakan yang tak

berpihak pada nelayan tradisional dan pengabaian nasib nelayan menjadi faktor

penyebab terbesar.

UU ini seperti cermin bagi pemerintah ini, yang tak pernah memperhatikan nasib

warganya terutama nelayan. HP3 akan menciptakan ranah “pertempuan” terbuka

antara nelayan tradisional dengan pemodal, yang pasti akan menggusur dan

meminggirkan nelayan tradisional. Padahal, Negara punya kewajiban untuk

memberikan pelayanan dan memperhatikan nasib keselamatan rakyatnya. Peran

Negara sangat ditunggu untuk benar-benar jadi pengayom rakyatnya.

-------------------------------

Sumber tulisan:

1. amalera Minta Konservasi Ikan Paus Dikaji Ulang, Senin, 23-Maret-2009,

http://www.cileungsi.endonesia.com/mod.php?

mod=publisher&op=viewarticle&cid=37&artid=3075. , diunduh pada 7

Februari 2011

2. Lamalera Tolak Congkak Di Balik Rencana Konservasi Ikan Paus, “Bentara”

FLORES POS, Selasa 28 April 2009

3. Elemen Masyarakat Mengajukan Uji Materi (judicial review) Hak Pengusahaan

Perairan Pesisir (HP3)

4. Menyangkut HP3, DKP Abaikan Suara Masyarakat Adat, Siaran Pers Forum

Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus (FMPTPIP) Lamalera, Nusa

Tenggara Timur, WALHi dan KIARA pada 12 Agustus 2009

Kontraversi HP3, Leonardo Marbun

Nelayan Kembali Pertanyakan Tambatan Perahu, 21 January 2010,

poskomanado.com

5. Walhi: Masyarakat Pesisir Butuh HP3, 21 Juli 2008, berita.kapanlagi.com

Indepth Report Yayasan Satudunia

Page 8: Hp3 vs nelayan tradisional

6. Riza Damanik, Nasib Nelayan Indonesia Memprihatinkan,

http://www.perspektifbaru.com/wawancara/722, Edisi 722 | 25 Jan 2010

Sumber foto :

http://images.aditko.multiply.com

http://2.bp.blogspot.com/_UkpuhUacrt8/TPTDJ7hhzUI/AAAAAAAAAFg/Zq63_ZK3eyE/s

400/Peledang+Lamalera.jpg

http://sinduhartanto.files.wordpress.com/2011/01/nelayan-manado-aksi-di-mall.png

http://ihcs.or.id/s2/images/stories/misc/invite_tolak%20hp3.jpg