HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias … kerja lapang di PKSPL IPB Balai Sea Farming Kepulauan...

33
HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina Molk. MELALUI PAKAN PANJI IRAWAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias … kerja lapang di PKSPL IPB Balai Sea Farming Kepulauan...

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA

PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina

Molk. MELALUI PAKAN

PANJI IRAWAN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA

PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina Molk.

MELALUI PAKAN

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

PANJI IRAWAN

C14062325

ABSTRAK

PANJI IRAWAN. Histologi gonad ikan lele jantan Clarias sp. pada perlakuan

ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui pakan. Dibimbing oleh

MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Ikan lele Clarias sp. merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki

permintaan pasar yang cukup tinggi, tetapi ketersediaan benih tidak mencukupi.

Peningkatan produksi benih dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas induk.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas dan

kuantitas sperma dari induk jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi

pengaruh dosis pemberian ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui

pakan terhadap perkembangan spermatogenesis ikan lele Clarias sp. berdasarkan

gambaran histologi gonad. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ikan lele

kisaran bobot 200-300 g/ekor. Dosis purwoceng yang digunakan adalah 2,5 g/kg;

5 g/kg; 7,5 g/kg pakan dan kontrol (tanpa perlakuan). Pemeliharaan ikan

dilakukan dalam bak semen berukuran 2 x 1,5 x 1 m3 dan diisi air hingga volume

air sekitar 2 m3. Setelah 30 hari masa pemeliharaan, ikan diambil dan dibedah

untuk diambil gonadnya. Kemudian dilakukan proses preparasi histologi pada

gonad tersebut. Lalu preparat diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui

perkembangan tubulus seminiferus dan derajat spermatogenesisnya menurut

kriteria Johnsen. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng yang

diberikan dengan dosis 5 g/kg pakan berpengaruh nyata terhadap perkembangan

tubulus seminiferus (p<0,05), sedangkan berdasarkan derajat spermatogenesis

menurut kriteria Johnsen menunjukkan perbedaan di mana pada perlakuan ekstrak

purwoceng lebih tinggi (9) dibandingkan kontrol (8).

Kata Kunci : ikan lele, purwoceng, spermatogenesis, histologi, tubulus

seminiferus, kriteria Johnsen

ABSTRACT

PANJI IRAWAN. Catfish male gonad histology with the treatment of purwoceng

Pimpinella alpina Molk. extract through the feed. Supervised by MUHAMMAD

ZAIRIN JUNIOR and DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Catfish Clarias sp. is one of fishery commodities that have high market demand

but insufficient in fry availability. Increasing in fry production can be done by

improving the quality of the broodstock. One of the ways is by improving the

quality and quantity of the male broodstock sperm. This study aimed to evaluate

the dose effect of the purwoceng Pimpinella alpina Molk extract through the

spermatogenesis growth of catfish Clarias sp. based on gonad histology. The

research was conducted by using catfish weight range 200-300 g/fish. Purwoceng

dose was 2.5 g/kg feed, 5 g/kg feed, 7.5 g/kg feed, and control (no treatment). The

fish were reared in the concrete tanks at size 2 x 1.5 x 1 m3 and filled with about

2 m3 of water. After 30 days treatment periods, the fish were taken and then

dissected to take the gonad to begin the process of gonad histology preparation.

The result of the preparations were examined under the microscope to determine

the development of the seminiferous tubules and the degree of spermatogenesis

based on Johnsen criteria. The results showed that the purwoceng extracts with the

dose at 5 g/kg feed significantly affect the growth of the seminiferous tubules

(p<0.05), whereas according to Johnsen criteria and based on the degree of

spermatogenesis, the purwoceng extract had a higher value (9) than the control

(8).

Keywords: catfish, purwoceng, spermatogenesis, histology, seminiferous tubules,

Johnsen criteria

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA

PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina

Molk. MELALUI PAKAN

PANJI IRAWAN

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Judul Skripsi : Histologi gonad ikan lele jantan Clarias sp. pada

perlakuan ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk.

melalui pakan

Nama Mahasiswa : Panji Irawan

Nomor Pokok : C14062325

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc. Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA.

NIP. 19590218 198601 1 001 NIP. 19611016 198403 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc.

NIP. 19671013 199302 1 001

Tanggal lulus :

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah ini. Penelitian yang dilaksanakan selama bulan Maret hingga bulan Mei

2011 di Kolam Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor ini berjudul “Histologi Gonad Ikan Lele Jantan Clarias sp. pada Perlakuan

Ekstrak Purwoceng Pimpinella alpina Molk. Melalui Pakan”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Zairin

Junior, M.Sc. selaku dosen Pembimbing I dan Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati,

DEA. selaku dosen Pembimbing II serta Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M. Sc.

selaku dosen Pembimbing Akademik yang dengan penuh kesabaran telah

memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penulis menempuh studi.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ir. Dadang Shafruddin, M.Si.

selaku dosen penguji tamu serta kepada Dr. Alimuddin selaku Komisi Pendidikan

Departemen pada sidang ujian akhir/skripsi penulis. Selain itu, penulis juga

menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan adik yang senantiasa

memberikan doa, dukungan, kasih sayang dan semangat. Selanjutnya penulis

menyampaikan terima kasih kepada para teknisi kolam Babakan (Kang Entis, Pak

Wawan, Kang Irus) serta Pak Ranta yang sangat membantu dalam proses

preparasi histologi yang dilakukan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada

para laboran, teknisi, staf administrasi Departemen Budidaya Perairan yang telah

banyak memberikan bantuan, dan sahabat-sahabat BDP 43, 42, 45 serta pihak-

pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu

penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Bogor, September 2012

Panji Irawan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 24 Nopember 1987 dari pasangan

keluarga bapak Sadiya dan ibu Siti Dariyah. Penulis merupakan anak pertama dari

dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah dilalui oleh penulis adalah

SDN Lawanggintung 3 Bogor (1993-1999), SLTPN 3 Bogor (1999-2002) dan

SMUN 4 Bogor (2002-2005). Pada tahun 2006, penulis berhasil lulus dalam

seleksi masuk perguruan tinggi IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB) dan kemudian memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan

Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah magang mandiri di Balai Besar

Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah (2008) dan

praktek kerja lapang di PKSPL IPB Balai Sea Farming Kepulauan Seribu (2009).

Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Dasar-Dasar Genetika Ikan dan

Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik. Selain itu penulis juga aktif menjadi

pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2007/2008

sebagai anggota divisi Olahraga dan Seni serta 2008/2009 sebagai anggota divisi

Kewirausahaan. Kegiatan kemahasiswaan lain yang pernah diikuti oleh penulis

adalah Program Mahasiswa Wirausaha 2010 yang didanai oleh Dikti. Sebagai

tugas akhir, penulis menulis skripsi yang berjudul “Histologi Gonad Ikan Lele

Jantan Clarias sp. pada Perlakuan Ekstrak Purwoceng Pimpinella alpina

Molk. Melalui Pakan”.

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iii

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

II. BAHAN DAN METODE .................................................................. 3

2.1. Materi Uji .................................................................................... 3

2.2. Rancangan Percobaan ................................................................. 3

2.3. Prosedur Penelitian...................................................................... 4

2.3.1. Persiapan Wadah .............................................................. 4

2.3.2. Penebaran ......................................................................... 5

2.3.3. Pemeliharaan .................................................................... 5

2.3.4. Penyiapan Ekstrak Purwoceng ......................................... 5

2.3.5. Perlakuan Ekstrak Purwoceng Melalui Pakan .................. 5

2.4. Parameter Penelitian.................................................................... 6

2.4.1. Diameter Tubulus Seminiferus ......................................... 6

2.4.2. Derajat Spermatogenesis .................................................. 6

2.4.3. Analisis Data .................................................................... 7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 8

3.1 Hasil ............................................................................................. 8

3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus ......................................... 8

3.1.2. Derajat Spermatogenesis (Kriteria Johnsen) .................... 9

3.2 Pembahasan .................................................................................. 10

IV. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 14

4.1. Kesimpulan ................................................................................. 14

4.2. Saran ............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15

LAMPIRAN ................................................................................................ 16

ii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Histogram diameter tubulus seminiferus ikan lele pada hari ke-30

paska perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan .............................. 8

2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen .............. 9

3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng

melalui pakan: a) kontrol, b) dosis 2,5 g/kg, c) dosis 5 g/kg, d) dosis

7,5 g/kg .................................................................................................. 10

iii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Rekapitulasi ketersediaan produksi benih ikan lele tahun 2007-2011

(satuan ekor) ......................................................................................... 17

2. Hasil perhitungan statistik diameter tubulus seminiferus ikan lele

(Clarias sp.) ......................................................................................... 18

3. Hasil perhitungan statistik derajat spermatogenesis menurut kriteria

Johnsen ................................................................................................. 19

4. Diagram alir pembuatan blok parafin .................................................. 20

5. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan

pewarna hematoksilin dan eosin .......................................................... 21

6. Gambar tingkatan kriteria Johnsen pada perlakuan dengan dosis

purwoceng 2,5 g/kg pakan ................................................................... 22

I. PENDAHULUAN

Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang

memiliki potensi untuk dikembangkan. Permintaan akan ikan lele di pasar

meningkat setiap tahunnya. Secara nasional, produksi ikan lele cukup tinggi.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprediksi produksi ikan lele

tahun 2012 menjadi 400.000 ton, naik dibanding tahun sebelumnya yang sebesar

346.000 ton. Menurut Ketut Sugema, Dirjen Perikanan Budidaya KKP, konsumsi

ikan lele masih didominasi wilayah Jawa sebanyak 250 ton per hari. Kebutuhan

ikan lele per hari di ibukota yang mencapai 80 ton, baru terpenuhi sekitar 62,5%

saja atau sekitar 50 ton. Selain Jakarta konsumsi ikan lele terbanyak berada di

Yogyakarta (Handoyo, 2012).

Dalam pemeliharaannya, ikan ini termasuk ke dalam jenis ikan yang mudah

untuk dipelihara karena mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang

memiliki kualitas air yang buruk seperti kadar oksigen terlarut yang rendah. Ikan

lele dapat memijah sepanjang musim di mana ketersediaan induk yang berkualitas

tinggi sangat mempengaruhi produksi benih yang dihasilkan. Dari data produksi

benih yang didapatkan yaitu terjadi peningkatan produksi benih lele selama

periode tahun 2008-2009 yaitu sebesar 1,95%. Pada tahun 2008 diproduksi benih

sebanyak 6.782.595.000 ekor dan tahun 2009 sebanyak 6.914.739.000 ekor, tetapi

pada tahun 2010-2011 terjadi penurunan produksi benih lele yaitu masing–masing

pada tahun 2010 sebesar 6.651.787.060 ekor dan tahun 2011 sebesar

5.388.892.373 ekor (Lampiran 1). Berdasarkan data tersebut, dibutuhkan

peningkatan produksi benih ikan lele untuk mengimbangi permintaan pasar yang

ada. Peningkatan produksi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas dari induk yang

dipijahkan.

Untuk meningkatkan kualitas induk dapat dilakukan dengan berbagai cara,

salah satu di antaranya adalah dengan meningkatkan kecepatan proses

pematangan gonad induk. Pada ikan jantan, kualitas sperma yang dihasilkan

mempengaruhi derajat pembuahan maupun viabilitas embrio yang dihasilkan

menjadi calon benih. Kualitas dan kuantitas sperma dapat ditingkatkan melalui

2

penambahan bahan perangsang untuk memicu kematangan gonad lebih cepat dan

berkualitas tinggi.

Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) merupakan salah satu bahan yang

dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah spermatozoa karena dapat

meningkatkan kadar LH, FSH dan testosteron (Juniarto, 2004). Hal ini sesuai

dengan penelitian dari Taufiqurrahman dan Wibowo (2005) yang menunjukkan

bahwa pada dosis 25 mg dan 50 mg ekstrak purwoceng yang diimplankan

langsung ke dalam mulut tikus jantan dewasa dapat meningkatkan kadar

testosteron dan LH dengan lama pemberian 30 hari.

Berdasarkan kandungan purwoceng tersebut, diharapkan dengan

penambahan purwoceng pada pakan dapat meningkatkan jumlah sperma dari

induk ikan lele yang diberikan pakan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi pengaruh dosis pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina

Molk.) melalui pakan terhadap perkembangan spermatogenesis ikan lele (Clarias

sp.) berdasarkan gambaran histologi gonad.

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Materi Uji

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan Mei 2011 di

Kolam Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ikan lele yang digunakan merupakan ikan lele jantan yang memiliki kisaran bobot

200-300 g. Sedangkan bahan perlakuan yang digunakan merupakan tanaman

purwoceng yang didapatkan dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman

Obat dan Aromatik di desa Gunung Putri, Cipanas, Bogor. Bagian tanaman yang

digunakan untuk perlakuan merupakan bagian daun. Dosis purwoceng yang

diberikan dalam perlakuan adalah 2,5 g/kg; 5 g/kg; 7,5 g/ kg pakan versus Kontrol

(tanpa perlakuan).

2.2. Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga

perlakuan serta satu kontrol dan setiap perlakuan menggunakan tiga ulangan,

yaitu :

1) Perlakuan tanpa dosis Purwoceng.

2) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 2,5 g/kg pakan.

3) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 5,0 g/kg pakan.

4) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 7,5 g/kg pakan.

Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti rumus

Steel dan Torrie (1991) yaitu :

Keterangan:

Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j.

µ = Nilai tengah dari pengamatan.

σi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i.

εij = Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j.

4

Model ini digunakan pada pengukuran diameter tubulus seminiferus.

Sedangkan untuk derajat spermatogenesis dilakukan pengukuran secara kualitatif

menggunakan kriteria Johnsen. Adapun menurut Syahrum (1997), kriteria

Johnsen tersebut yaitu:

1) Nilai 10 : Kriteria spermatogenesis lengkap dan teratur dengan

spermatozoa yang banyak dan epitel seminiferus normal. Lumen tubulus

seminiferus terbuka.

2) Nilai 9 : Spermatozoa banyak, tetapi epitel seminiferus tidak teratur.

Tampak bagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing). Lumen tubulus

seminiferus tertutup.

3) Nilai 8 : Jumlah spermatozoa dalam tubulus seminiferus kurang dari

sepuluh.

4) Nilai 7 : Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus seminiferus, tetapi

masih banyak spermatid.

5) Nilai 6 : Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus

seminiferus kurang dari sepuluh.

6) Nilai 5 : Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus

seminiferus tetapi masih banyak spermatid.

7) Nilai 4 : Tidak ada spermatozoa dalam tubulus seminiferus dan jumlah

spermatosit kurang dari lima.

8) Nilai 3 : Sel kelamin dalam tubulus seminiferus hanya terdiri atas

spermatogonia.

9) Nilai 2 : Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel kelamin, hanya

sel sertoli.

10) Nilai 1 : Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel.

2.3. Prosedur Penelitian

2.3.1. Persiapan Wadah

Pada tahap ini digunakan wadah berupa bak semen berukuran 2 x 1,5 x 1 m3.

Jumlah bak yang digunakan sebanyak 8 bak dan masing-masing bak diberi

penutup berupa jaring untuk mencegah ikan melompat. Sebelum digunakan, bak

dikeringkan, dibersihkan dan kemudian dibilas dengan air. Setelah itu, bak

5

dikeringkan kembali sebelum diisi air. Bak yang telah kering kemudian diisi air

hingga volume air sekitar 2 m3 dan diberikan aerasi.

2.3.2. Penebaran

Setiap bak yang telah terisi air, masing-masing ditebar sebanyak 10 ekor lele

jantan yang memiliki kisaran bobot 200- g/ekor. Ikan yang digunakan

diperoleh dari pengumpul dan petani pembesaran ikan lele di daerah Kabupaten

Bogor. Penebaran ikan pada kolam perlakuan dilakukan setelah ikan dipelihara

selama seminggu untuk pengadaptasian dengan lingkungan pemeliharaan.

2.3.3. Pemeliharaan

Pemeliharaan ikan lele dilakukan selama 30 hari masa penelitian dengan

diberikan pakan setiap harinya sebanyak 3 kali dengan pelet komersial yang telah

diberikan ekstrak purwoceng sesuai dosis. Feeding rate yang digunakan setiap

kali pemberian pakan adalah 3 %. Selama pemeliharaan, dilakukan pergantian air

sebanyak 20-30 % volume air setiap 2 minggu sekali.

2.3.4. Penyiapan Ekstrak Purwoceng

Hal yang pertama kali dilakukan dalam pembuatan ekstrak purwoceng

adalah penjemuran purwoceng di bawah sinar matahari langsung. Penjemuran

dilakukan selama seminggu. Setelah purwoceng kering, tanaman tersebut

diblender hingga menjadi bubuk. Kemudian, bubuk purwoceng tersebut dilarutkan

ke dalam alkohol 70 % hingga 100 ml. Langkah yang terakhir adalah penyaringan

larutan dengan kertas saring Whatman No. 41 dan dipindahkan ke dalam botol

sprayer.

2.3.5. Perlakuan Ekstrak Purwoceng Melalui Pakan

Pemberian ekstrak purwoceng melalui pakan dilakukan dengan

menyemprotkan larutan ekstrak purwoceng dalam botol sprayer pada pakan sesuai

dosis yang diperlukan. Setiap 100 ml larutan ekstrak purwoceng disemprotkan

pada 1 kg pakan secara merata dan selanjutnya pakan dibiarkan kering udara.

Pakan perlakuan diberikan selama 30 hari masa penelitian.

6

2.4. Parameter Penelitian

Parameter dalam penelitian ini meliputi parameter kuantitatif (diameter

tubulus seminiferus) dan parameter kualitatif (derajat spermatogenesis). Data

parameter tersebut kemudian digunakan untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan

ekstrak purwoceng terhadap gonad berdasarkan gambaran histologinya. Adapun

proses histologi yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

2.4.1. Diameter Tubulus Seminiferus

Parameter ini meliputi diameter tubulus seminiferus yang diukur

menggunakan mikrometer objek. Untuk menentukan nilai parameter tersebut,

dibuat satu titik pada preparat histologi pada perbesaran 100 kali. Kemudian

diamati empat diameter tubulus seminiferus di sekitar titik tersebut. Pengukuran

diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan mengukur diameter terpanjang

dan diameter terpendek lalu dibagi dua untuk mendapatkan hasilnya. Setelah itu,

mikrometer objek dikalibrasikan terlebih dahulu dengan mikrometer slide standar

internasional. Selanjutnya, hasil pengamatan dikalikan dengan hasil dari

mikrometer objek yang telah dikalibrasikan. Langkah terakhir, diambil rata-rata

dari keempat diameter tubulus seminiferus tersebut.

2.4.2. Derajat Spermatogenesis

Derajat spermatogenesis dari tubulus seminiferus diklasifikasikan

berdasarkan kriteria Johnsen. Pengamatan dilakukan dengan cara dibuat sebuah

titik pada preparat histologi dan diambil empat tubulus di sekitar titik tersebut di

bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Penentuan titik sama dengan titik

pada pengamatan diameter tubulus seminiferus sebelumnya pada preparat yang

sama. Selanjutnya, diamati setiap tubulus tersebut kelengkapan fase

spematogenesisnya sesuai dengan kriteria Johnsen. Fase-fase yang diamati pada

tubulus seminiferus adalah fase spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit

sekunder, spermatid dan spermatozoa. Setelah itu, diambil rata-rata derajat

spermatogenesis dari keempat tubulus seminiferus tersebut.

7

2.4.3. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui metode kuantitatif dianalisis dengan uji F pada

selang kepercayaan 95 % dengan digunakannya program MS. Excel 2007 dan

SPSS 16.0. Analisis ini dilakukan untuk penentuan pengaruh perlakuan terhadap

parameter yang diamati. Apabila berpengaruh nyata diuji lanjut dengan

menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Sedangkan

untuk data yang diperoleh melalui metode kualitatif dianalisis secara deskriptif

berdasarkan derajat spermatogenesisnya menurut kriteria Johnsen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus

Hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus pada gonad ikan lele jantan

setelah dipelihara selama 30 hari disajikan pada Gambar 1. Rata-rata diameter

tubulus seminiferus pada perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)

berkisar antara 25-33 m versus 23 m (kontrol).

Gambar 1. Histogram diameter tubulus seminiferus ikan lele pada hari ke-30

pasca perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan.

Pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 g/kg pakan menunjukkan rata-

rata diameter tubulus seminiferus tertinggi (33,67±3,41 m). Sedangkan nilai rata-

rata diameter tubulus seminiferus terendah adalah perlakuan kontrol (23,17±

3,32 m). Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa perlakuan

penambahan ekstrak purwoceng melalui pakan dengan dosis 5 g/kg pakan

menunjukkan perkembangan diameter tubulus seminiferus yang lebih baik bila

dibandingkan dengan perlakuan lainnya serta kontrol (p<0,05; Lampiran 2).

23,17 26,12

33,67

25,79

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

Kontrol 2,5 5 7,5

Dia

me

ter

(µm

)

Dosis Purwoceng (g/kg)

a a a

b

9

3.1.2. Derajat Spermatogenesis (Kriteria Johnsen)

Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis berdasarkan kriteria

Johnsen pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari dapat dilihat

pada Gambar 2. Rata-rata derajat spermatogensis pada perlakuan dosis purwoceng

(Pimpinella alpina Molk.) mencapai 9 versus 8 (kontrol).

Gambar 2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen.

Pada Gambar 2 menunjukkan rata-rata derajat spermatogenesis testis

tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 g/kg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30, dan

yang terendah adalah pada perlakuan kontrol (8,00±0,33). Oleh karena data tidak

tersebar normal (non parametrik) maka tidak dilakukan uji statistik (Lampiran 3).

Berdasarkan pengamatan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen

melalui gambaran histologinya disajikan pada Gambar 3. Derajat spermatogenesis

menurut kriteria Johnsen sesuai dengan gambaran histologinya pada perlakuan

kontrol; 2,5 g/kg; 5 g/kg dan 7,5 g/kg dosis purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)

berturut-turut adalah 7,5±1; 9,25±0,96; 8,75±0,96; dan 9±0,82. Hasil gambaran

histologi merupakan hasil preparasi histologi yang diamati di bawah mikroskop

pada perbesaran 100 kali. Adapun proses histologi tersebut terlampir pada

Lampiran 4 dan 5.

8,00

9,22 9,00 8,92

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

Kontrol 2,5 5 7,5

De

raja

t Sp

erm

ato

gen

esi

s (J

oh

nse

n)

Dosis Purwoceng (g/kg)

10

a) b)

c) d)

Gambar 3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng

melalui pakan: a) kontrol, b) dosis 2,5 g/kg, c) dosis 5 g/kg, d) dosis

7,5 g/kg pada perbesaran 100 kali.

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai derajat spermatogenesis menurut

kriteria Johnsen terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,5±1 (Gambar

3a), sedangkan tertinggi terdapat pada perlakuan dosis purwoceng 2,5 g/kg yaitu

9,25±0,96 (Gambar 3b). Hal itu ditunjukkan dengan kelengkapan fase

spermatogesis dari dosis 2,5 g/kg yang lebih baik daripada kontrol dan perlakuan

lainnya. Adapun contoh gambar yang memperlihatkan derajat spermatogenesis

pada perlakuan dengan dosis 2,5 g/kg dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan

untuk diameter tubulus seminiferus yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol

yaitu 20±7,41 m dan tertinggi pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 g/kg

pakan yaitu 32,35±14,9 m.

3.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai

perkembangan diameter tubulus seminiferus, derajat spermatogenesis menurut

kriteria Johnsen dan gambaran histologi dari perlakuan dengan penambahan

11

ekstrak purwoceng melalui pakan. Hasil pada Gambar 1 menunjukkan bahwa

terjadi perkembangan diameter tubulus seminiferus pada perlakuan yang

diberikan bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai perkembangan diameter tubulus

seminiferus tertinggi terdapat pada perlakuan 5 g/kg yaitu sebesar 33,67±3,41 m.

Hal ini menjelaskan bahwa pada perlakuan 5 g/kg pakan diduga terjadi

peningkatan proses spermatogenesis bila dibandingkan dengan kontrol. Adanya

peningkatan proses spermatogenesis menimbulkan peningkatan diameter tubulus

seminiferus, karena pada testis yang produksi spermanya rendah atau tidak

berproduksi sama sekali, didapatkan penurunan diameter tubulus seminiferus

(Gulkesen et al., 2002 dalam Purwoko, 2005). Berdasarkan hasil analisis ragam

yang telah dilakukan diketahui bahwa perlakuan penambahan ekstrak purwoceng

pada pakan pada dosis 5 g/kg pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus (P<0,05). Hal ini sesuai

dengan pernyataan dari Juniarto (2004), yang mengatakan bahwa pemberian

ekstrak purwoceng dan pasak bumi dapat memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus.

Testis dalam proses reproduksi mempunyai dua fungsi utama yaitu

memproduksi hormon dan spermatozoa. Kedua fungsi tersebut secara anatomi

berlangsung terpisah yaitu hormon testosteron dihasilkan oleh sel leydig,

sedangkan sel spermatozoa dihasilkan oleh sel epithel tubulus seminiferus (Burger

et al., 1977 dalam Nyoman dan Laksmi, 2010). Proses pembentukan sel

spermatozoa di dalam tubulus seminiferus disebut spermatogenesis. Terdapat

beberapa tingkatan spermatogenesis pada perkembangan testis ikan lele (Clarias

batrachus) yaitu spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder,

spermatid dan spermatozoa (Chinabut et al., 1991). Fase-fase inilah yang

digunakan dalam penentuan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen.

Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis pada tubulus

seminiferus menurut kriteria Johnsen terlihat bahwa terdapat perbedaan antara

perlakuan yang diberikan dengan kontrol. Rata-rata derajat spermatogenesis testis

tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 g/kg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30.

Sedangkan rata-rata derajat spermatogenesis testis terendah terdapat pada

perlakuan kontrol yaitu sebesar 8,00±0,33. Hasil ini menunjukkan bahwa pada

12

perlakuan 2,5 g/kg pakan memiliki tingkat kematangan gonad yang lebih baik bila

dibandingkan kontrol. Hal ini tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran diameter

tubulus seminiferus sebelumnya, sehingga bertentangan dengan pendapat dari

Juniarto (2004) yang menyatakan bahwa pemeriksaan diameter tubulus

seminiferus dan derajat spermatogenesis seharusnya mempunyai korelasi positif

karena semakin tebal dinding tubulus maka derajat spermatogenesis menurut

kriteria Johnsen juga semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena lamanya

pemeliharaan ikan uji tidak disesuaikan dengan lamanya waktu daur

spermatogenesis epitel seminiferus pada ikan lele. Menurut Sukmaningsih et al.

(2011), waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap langkah

perkembangan sel spermatogenik berbeda, oleh karena itu akan terjadi berbagai

bentuk kombinasi sel dari berbagai jenis perkembangan sel-sel germinal di dalam

tubulus seminiferus.

Selain penyesuaian lama daur spermatogenesis, perbedaan tersebut diduga

juga disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan

gonad yaitu faktor lingkungan ataupun hormon. Hal ini merujuk pada

pemeliharaan ikan uji yang dilakukan di laboratorium lapangan yang tidak dapat

terkontrol maksimal seperti di dalam ruangan karena air hujan dan pencahayaan

dapat mempengaruhi kondisi air dalam bak pemeliharaan. Scott (1979) dalam

Affandi dan Tang (2004) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dominan

mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu dan makanan, serta cahaya dan

musim. Sehingga pada perlakuan dengan dosis 5 g/kg pakan yang memiliki

diameter tubulus seminiferus tertinggi (Gambar 1), derajat spermatogenesisnya

lebih rendah dari pada perlakuan 2,5 g/kg pakan (Gambar 2).

Ekstrak purwoceng mempengaruhi gambaran histologi testis yaitu pada

kelengkapan spermatogenesis, misalnya pada perlakuan 2,5 g/kg pakan ekstrak

purwoceng menunjukkan komponen spermatogonium, spermatosit primer,

spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa dibandingkan dengan

perlakuan lainnya (Gambar 3b). Gambar 3c memperlihatkan bahwa perlakuan 5

g/kg pakan memiliki diameter rata-rata tubulus seminiferus yang lebih besar bila

dibandingkan dengan perlakuan lainnya, tetapi kelengkapan komponen

spermatogenesisnya kurang lengkap. Pada gambar 3d, terlihat bahwa perlakuan

13

7,5 g/kg pakan memiliki diameter tubulus seminiferus yang lebih besar bila

dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan 2,5 g/kg pakan, namun komponen

spermatogenesisnya tidak selengkap perlakuan 2,5 g/kg pakan tetapi lebih baik

bila dibandingkan dengan perlakuan 5 g/kg pakan. Sedangkan pada kontrol

menunjukkan kriteria Johnsen serta rata-rata diameter tubulus seminiferus yang

paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 3a). Sehingga dapat

disimpulkan bahwa perlakuan 2,5 g/kg menunjukkan perkembangan kematangan

gonad yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun

diameter tubulus seminiferusnya lebih rendah dari perlakuan 5 g/kg. Sedangkan

perlakuan 5 g/kg menunjukkan perkembangan tubulus seminiferus yang lebih baik

bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun memiliki derajat

spermatogenesis yang lebih rendah dari perlakuan 2,5 g/kg.

Hasil dari pengamatan berdasarkan gambaran histologinya menunjukkan

bahwa penambahan ekstrak purwoceng melalui pakan dapat mempengaruhi

perkembangan derajat spermatogenesisnya bila dibandingkan dengan kontrol. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Juniarto (2004) yang mengatakan bahwa

pemeriksaan histologi menunjukkan bahwa terjadi proses spermatogenesis yang

lebih baik pada testis tikus yang diberi perlakuan purwoceng yang pada akhirnya

meningkatkan pula jumlah spermatozoa yang dihasilkan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Ekstrak purwoceng yang diberikan melalui pakan dengan dosis 5 g/kg

berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus pada gonad ikan

lele jantan bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, derajat

spermatogenesis menurut kriteria Johnsen secara histologi menunjukkan

perbedaan di mana pada perlakuan ekstrak purwoceng lebih tinggi (9)

dibandingkan kontrol (8).

4.2. Saran

Purwoceng merupakan salah satu dari fitoandrogen yang baru pertama kali

diaplikasikan untuk mempercepat kematangan gonad, sehingga diperlukan

pengetahuan mengenai siklus kematangan gonad jantan ikan lele untuk

menyesuaikan lama penelitian dengan lamanya siklus spermatogenesis pada ikan

lele. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperhatikan

faktor lingkungan dan efek dari purwoceng terhadap kesehatan ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Rekapitulasi Ketersediaan Induk dan Produksi Benih Lele - Air

Tawar. Available at http://perbenihan-budidaya.kkp.go.id/komoditi.php?

komo=33&jenis=b&th1=2007&th2=2012&jns=1. [31 Juli 2012]

Affandi, R., Tang, U.M., 2004. Biologi Reproduksi Ikan. Unri Press, Riau.

Chinabut, S., Limsuwan, C., Kitsawat, P., 1991. Histology of The Walking

Catfish, Clarias batrachus. IDRC. Ottawa.

Handoyo, 2012. Bisnis Ikan Lele Menggiurkan. Available at http://kkp.go.id/

index.php/arsip/c/6990/Bisnis-Ikan-Lele-Menggiurkan/?category_id=. [25

Juli 2012]

Juniarto, A.Z., 2004. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia

dan Pimpinella alpina pada Spermatogenesis Tikus Sparaque Dawly.

[Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang.

Nyoman, D., Laksmi, D.I., 2010. Glutathion Meningkatan Kualitas Tubulus

Seminiferus Pada Mencit yang Menerima Pelatihan Fisik Berlebih.

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Denpasar Bali.

Purwoko, Y., Triwahyudi, Z.E., 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma

Longifolia Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Balb/C Jantan

yang Dibuat Stres dengan Stresor Renjatan Listrik. Semarang, Januari –

Juni 2010, pp. 45-50.

Steel, G.D., Torrie, J.H., 1981. Prinsip-prinsip dan Prosedur Statistika.

Terjemahan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sukmaningsih, A.A.Sg.A., Ermayanti, I.G.A.M., Wiratmini, N.I., Sudatri, N.W.,

2011. Gangguan Spermatogenesis Setelah Pemberian Monosodium

Glutamat pada Mencit (Mus Musculus L.). Jurnal Biologi XV (2), 49-52.

Syahrum, M. H., 1997. Biopsi Testis Sebagai Pengevaluasi Pasien Azoospermia.

Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan, volume 47, pp. 232-236.

Taufiqurrahman, Wibowo, S., 2005. Effect of Purwoceng (Pimpinella alpina)

Extract in Stimulating Testosterone, Luteinizing Hormone (LH) and

Follicle Stimulating Hormone (FSH) in Sprague Dawley Male Rats, in:

Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Bogor,

15-16 September 2005. Hlm. 45-54.

LAMPIRAN

17

Lampiran 1. Rekapitulasi ketersediaan produksi benih ikan lele tahun 2007-

2011 (satuan ekor)

Propinsi 2007 2008 2009 2010 2011

TOTAL 0 6,782,595,000 6,914,739,000 6,651,787,060 5,388,892,373

NAD 0 1,234,000 979,000 2,400,000 253,000

SUMUT 0 3,641,000 6,534,000 0 547,275,800

SUMBAR 0 11,154,000 468,440,000 84,066,000 37,789,360

RIAU 0 902,171,000 85,398,000 782,816,000 0

JAMBI 0 2,000,000 15,531,000 0 0

SUMSEL 0 4,750,000 5,370,000 1,612,500 28,200,000

BENGKULU 0 5,775,000 13,407,000 11,451,000 0

LAMPUNG 0 108,745,000 137,805,000 88,605,000 3,245,000

BABEL 0 4,514,000 8,117,000 12,794,000 3,443,240

JAKARTA 0 15,815,000 811,000 76,544,000 580,000

JABAR 0 1,393,083,000 465,664,000 1,061,783,000 131,273,450

JATENG 0 742,253,000 1,598,150,000 758,966,000 2,178,621,800

D.I.Y. 0 459,327,000 409,489,000 511,220,000 1,106,391,690

JATIM 0 2,656,887,000 2,547,517,000 2,964,355,000 1,106,391,690

BANTEN 0 360,647,000 520,046,000 238,442,000 33,814,780

BALI 0 1,372,000 1,372,000 7,608,000 0

NTB 0 1,704,000 760,000 2,177,000 0

NTT 0 145,000 87,000 219,000 10,000

KALBAR 0 36,973,000 261,309,000 29,335,000 0

KALTENG 0 747,000 1,015,000 1,768,560 1,793

KALSEL 0 81,000 55,075,000 978,000 361,170

KALTIM 0 0 1,968,000 429,000 23,100

SULUT 0 0 0 3,629,000 476,700

SULTENG 0 11,466,000 302,400,000 847,000 202,200

SULSEL 0 4,590,000 4,626,000 6,873,000 43,385,400

SULRA 0 0 0 757,000 391,000

GORONTALO 0 0 0 135,000 13,200

PAPUA 0 53,513,000 126,000 552,000 0

SULBAR 0 8,000 0 25,000 40,000

PABAR 0 0 200,000 1,400,000 0

KEPRI 0 0 2,543,000 0 166,708,000

(Sumber: KKP, 2012)

18

Lampiran 2. Hasil perhitungan statistik diameter tubulus seminiferus ikan lele

(Clarias sp.)

a. Deskripsi

Ulangan Kontrol 2,5 g/kg 5 g/kg 7,5 g/kg

1 22,63 25,15 37,53 27,83

2 26,72 26,80 32,43 22,37

3 20,15 26,40 31,05 27,17

Rata-rata 23,17±3,32 26,12±0,86 33,67±3,41 25,79±2,98

b. Anova

Sumber Keragaman

(SK)

Jumlah

Kuadrat (JK)

Derajat

Bebas (DB)

Kuadrat

Tengah (KT) F hitung P

Perlakuan 183,869 3 61,290 7,595 0,010

Galat 64,560 8 8,070

Total 248,429 11

Kesimpulan: P<0,05; berarti perlakuan penambahan ekstrak purwoceng pada pakan

berpengaruh nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus

19

Lampiran 3. Hasil perhitungan statistik derajat spermatogenesis menurut kriteria

Johnsen

a. Deskripsi

Ulangan Kontrol 2,5 g/kg 5 g/kg 7,5 g/kg

1 8,00 9,08 8,67 9,08

2 8,33 9,25 9,08 8,08

3 7,67 9,33 9,25 9,58

Rata-rata 8,00±0,33 9,22±0,13 9,00±0,30 8,92±0,76

b. Tes Normalisasi Data

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistik DB P Statistik DB P

Kriteria 0,268 12 0,017 0,902 12 0,169

Kesimpulan: Pada metode Kolmogorov-Smirnov nilai P<0,05; berarti data variabel

kriteria Johnsen tidak berdistribusi dengan normal

20

Lampiran 4. Diagram alir pembuatan blok parafin

Sample gonad ikan

uji

Fiksasi dalam larutan Bouin’s selama 24

jam

Rendam dalam akohol 70% atau larutan

formalin4% selama 24 jam

Alkohol 70%, selama 24 jam

Alkohol 80%, selama 2 jam

Alkohol 90%, selama 2 jam

Alkohol 95%, selama 2 jam

Alkohol 95%, selama 2 jam

Alkohol absolut I, selama 12 jam

Alkohol absolut II, selama 1 jam

Alkohol : Xylol (1:1), selama 30 menit

Xylol I, selama 30 menit

Xylol II, selama 30 menit

Xylol III, selama 30 menit

Infiltrasi paraffin dalam oven 60C

Xylol : parafin (1:1), selama 45 menit

Parafin I, selama 45 menit

Parafin II, selama 45 menit

Parafin III, selama 45 menit

Dicetak dalam blok parafin pada suhu

60C

Fiksasi Jaringan

Dehidrasi

Clearing

Impregnasi

Embedding

21

Lampiran 5. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan

pewarna hematoksilin dan eosin

Preparat jaringan

Dicelup dalam larutan xylol I, 5 menit

Dicelup dalam larutan xylol II, 5 menit

Alkohol absolut I, 2-3 menit

Alkohol absolut II, 2-3 menit

Alkohol 95%, 2-3 menit

Alkohol 90%, 2-3 menit

Alkohol 80%, 2-3 menit

Alkohol 70%, 2-3 menit

Alkohol 50%, 2-3 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 1 menit

Haemotoksilin, 2 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5 menit

Eosin, 3 menit

Alkohol 50%, 2-3 menit

Alkohol 70%, 2-3 menit

Alkohol 80%, 2-3 menit

Alkohol 90%, 2-3 menit

Alkohol absolut I, 2-3 menit

Alkohol absolut II, 2-3 menit

Xylol I, 2-3 menit

Xylol II, 2-3 menit

Xylol III, 2-3 menit

Alkohol 95%, 2-3 menit

Dikeringkan pada suhu ruangan

Dilapisi entellan neu dan ditutup cover glass

Jangan sampai ada udara

Dewaxing

Hidrasi

Pencucian

Pewarnaan

Dehidrasi

22

Lampiran 6. Gambar tingkatan kriteria Johnsen pada perlakuan dengan dosis

purwoceng 2,5 g/kg pakan

Keterangan: - Sg : Spermatogonium

- Sc I : Spermatosit primer

- Sc II : Spermatosit sekunder

- Sd : Spermatid

- Sz : Spermatozoa

Sc I Sc

II Sg

Sd

Kriteria Johnsen 10

Spermatogenesis

lengkap dan teratur

Epithel tubulus baik

Spermatozoa

banyak

Kriteria Johnsen 8

Jumlah spermatozoa

kurang dari sepuluh Sz

Sz Sg

Sc

II

Sc I

Sd