Hirarki dan Diversifikasi, Tugas Penghulu, Kas Mesjid, Perkara perkawinan dan Ordonasi Perkawinan...

14
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada zaman colonial ada dua sikap terhadap bupati. Sikap pertama diwakili oleh Daendels dan Raffles, pada permulaan abad ke-19. Daendels terus mengurangi kekuasaan para bupati dan menempatkan mereka langsung dibawah kekuasaan “prefect’. Sedang Raffles mengambil tindakan lebih jauh lagi, yaitu: melucuti para bupati dari semua pengaruh politik dan membuat mereka hanya sebagai pegawai polisi. Raffles dan juga Daendels tidak mau menerima prinsip penggantian jabatan secara turun temurun. Semboyan Raffles adalah: “langsung berhubungan dengan rakyat”, sehingga akhirnya ada yang berpendapat, bahwa “para bupati merupakan roda pemerintahan yang berlebihan. 1 Pada zaman Gubernur Jenderal Van Capellen, apalagi zaman Gubernur Jenderal Vaan den Bosch (1830-1833), politik ini dirubah. Dengan beberapa alasan, pemerintah colonial memilih kembali sistem politik “in-direct rule”. Memang sesudah perang diponegoro, pemerintah mau membentuk golongan bangsawan yang kuat, bebas dari kraton dan terikat kepada Gubernur Belanda. Oleh karena itu jabatan bupati diberikan langsung oleh Gubernur secara turun temurun untuk mengikat kepentingan keluarga para bupati pada pemerintah. Disamping itu melalui sistem tanam 1 Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 226

description

Hirarki dan Diversifikasi, Tugas Penghulu, Kas Mesjid, Perkara perkawinan dan Ordonasi Perkawinan Pertama, Zakat dan Kebijakan Dalam Mengangkat Penghulu Baru

Transcript of Hirarki dan Diversifikasi, Tugas Penghulu, Kas Mesjid, Perkara perkawinan dan Ordonasi Perkawinan...

BAB IPENDAHULUANA. LATAR BELAKANG MASALAHPada zaman colonial ada dua sikap terhadap bupati. Sikap pertama diwakili oleh Daendels dan Raffles, pada permulaan abad ke-19. Daendels terus mengurangi kekuasaan para bupati dan menempatkan mereka langsung dibawah kekuasaan prefect. Sedang Raffles mengambil tindakan lebih jauh lagi, yaitu: melucuti para bupati dari semua pengaruh politik dan membuat mereka hanya sebagai pegawai polisi. Raffles dan juga Daendels tidak mau menerima prinsip penggantian jabatan secara turun temurun. Semboyan Raffles adalah: langsung berhubungan dengan rakyat, sehingga akhirnya ada yang berpendapat, bahwa para bupati merupakan roda pemerintahan yang berlebihan.[footnoteRef:2] [2: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 226]

Pada zaman Gubernur Jenderal Van Capellen, apalagi zaman Gubernur Jenderal Vaan den Bosch (1830-1833), politik ini dirubah. Dengan beberapa alasan, pemerintah colonial memilih kembali sistem politik in-direct rule. Memang sesudah perang diponegoro, pemerintah mau membentuk golongan bangsawan yang kuat, bebas dari kraton dan terikat kepada Gubernur Belanda. Oleh karena itu jabatan bupati diberikan langsung oleh Gubernur secara turun temurun untuk mengikat kepentingan keluarga para bupati pada pemerintah. Disamping itu melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) juga diciptakan perantara yang setia kepada pemerintah dan diberikan alasan kuat untuk memakai sistem bupati ini (Schrieke 1974:32-41).Sebelum abad ke-19, sudah ada pemimpin agama seperti penghulu. Tetapi kedudukannya selaku pegawai agama tertinggi dalam strukur kabupaten, baru dibentuk bersamaan dengan pembentukan kabupaten seperti yang diciptakan dalam abad ke-19 ini.Bupati dalam kabupaten adalah kepala agama atau sekurang-kurangnya menganggap diri kepala agama dalam instruksinya dikatakan, bahwa para penghulu mempunyai kedudukan di bawahnya, dan bahwa dia harus mengawasi semua petugas agama. Oleh bupati hal ini sering ditafsirkan bahwa dia adalah orang yang paling penting dalam segala bidang di kabupatennya, termasuk dalam bidang agama! Bupati Madiun pernah memakai galar wakil atau khalifah sultan (Snouck Hurgronje 1959:754) dan ternyata pegawai-pegawai Eropa pada waktu itu sama sekali tidak keberatan.[footnoteRef:3] [3: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 227]

Baru pada akhir abad ke-19 timbul protes terhadap gelar bupati sebagai kepala agama dan dimulai proses melepaskan penghulu dari pengaruh langsung para bupati. Selanjutnya penghulu ditempatkan di bawah gubernur jenderal dan pegawainya ditetapkan dari pusat pemerintahan.B. RUMUSAN MASALAHA. Jelaskan Mengenai Hirarki dan Diersifikasi?B. Jelaskan Mengenai Tugas Penghulu?C. Jelaskan Mengenai Kas Mesjid?D. Jelaskan Mengenai Perkara Perkawinan dan Ordonasi Perkawinan Pertama?E. Jelaskan Mengenai Zakat dan Kebijakan Dalam Mengangkat Penghulu Baru?

C. TUJUAN MASALAHA. Mengetahui Hirarki dan DiersifikasiB. Mengetahui Tugas PenghuluC. Mengetahui Kas MesjidD. Mengetahui Perkara Perkawinan dan Ordonasi Perkawinan PertamaE. Mengetahui Zakat dan Kebijakan Dalam Mengangkat Penghulu Baru

BAB IIPEMBAHASAN

A. Hirarki dan DiersifikasiSekalipun menurut teologi islam tidak ada hierarki atau hubungan tinggi rendah diantara petugas agama, tetapi dalam birokrasi kepegawaian hirarki ini jelas ada dan begitu juga penghulu. Pada akhir abad ke-19 tiap Daswati pemerintahan ditetapkan seorang penghulu.Penghulu kabupaten kadang-kadang disebut hoofd-penghulu atau penghulu-kepala, dan penghulu kewedanan naib. Kalau suatu daerah dibagi menjadi dua kabupaten, maka hampir secara otomatis di ibukota kabupaten baru diangkat seorang penghulu kepala yang berdiri sendiri. Kasusu ini memang sering menimbulkan kesulitan, karena gaji penghulu kabupaten juga tergantung dari jumlah zakat.Dari penghulu kepala yang berkedudukan di ibukota kabupaten sampai penghulu kecamatan, merasakan diri diangkat secara langsung atau tidak langsung oleh pemerintah pusat. Struktur ini mrupakan suatu hirarki, dimana pegawai rendah bisa naik tingkat sampai jabatan tertinggi. Pemimpin masjid atau langgar di tingkat desa agak terpisah dari sistem sosial yang merupakan hirarki penghulu ini. Pada umumnya tidak ada jalan ke atas untuk lebe (lebai), modin, amil atau kaum yang hanya mengurus rumah ibadat di tingkat desa.Disamping kedua sistem social tersebut masih ada lagi suatu golongan ahli agama lain, yaitu para kyai pesantren. Walaupun ada katan timbale balik antara tiga golongan ini dan kyai pesantren sering diangkat sebagai anggota (Lid) pengadilan agama, tetapi dalam pergaulan, pelaksanaan tugas dan pada penggantian fungsionaris bagi jabatan penghulu, ternyata terdapat juga pemisahan atau perbedaan.[footnoteRef:4] [4: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 227]

Sususnan Hirarki Peradilan AgamaMenurut ketentuan pasal 6 UU no.7 tahun 199, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua tingkat; yaitu: Peradilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.[footnoteRef:5] [5: Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 83]

Pengailan Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama berarti Pengadilan ini bertindak menerima, memeriksa, dan memutuskan setiap permohonan atau gugatan pada tahap awal dan paling bawah.Pengadilan Agama bertindak sebagai Peradilan sehari-hari menampung, memutus, dan mengadili pada tahap awal setiap perkara yang diajukan oleh setiap pencari keadilan. Jadi, terhadap pemohonan atau gugatan perkara yang diajukan kepadanya dalam dudukan setiap intansi Pengadilan Tingkat Pertama, dia harus menerima, memeriksa, dan memutus perkara atau permohonan tersebut. Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya degan alasan apapun (Pasal 50).Para pencari keadilan tidak boleh langsung mengajukan perkaranya ke Pengadilan Tinggi, karena fungsi peradilan yang diberikan undang-undang kepada Pengadilan Tinggi adlah Pengadilan Tingkat Banding. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan sebagai Pengadilan Tingkat Banding, bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama, apabila para pihak mengajukan banding. Jadi, dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai Pengadilan Tinggi Banding, Pengadilan Tinggi Agama mengoreksi putusan Pengadilan Agama. Dalam hal ini, Pengadilan Tinggi Agama dapat menguatkan putusan Pengadilan Agama (apabila dianggap benar), memperbaiki amar yang kurang jelas, atau membatalkan putusan Pengadilan Agama (jika terdapat kesalahan di Pengadilan Agama), maka Pengadilan Tinggi Agama mengadili sendiri dengan amar putusan yang berbeda dengan amar putusan Pengadilan Agama.Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama disebut putusan tingkat akhir adalah pemeriksaan mengenai keadaan, fakta dan pembuktian pokok perkara sudah selesai dan berakhir. Itu sebabnya Peradilan Tingkat Pertama dan tingkat anding disebut Peradilan judex facti.[footnoteRef:6] [6: M. Yahya Hararap, Kedudukan dan Acara Peradilan Agama (UU No.7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 107]

Adapun Mahkamah Agung yaitu Peradilan Tingkat Terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan. Wewenang dari Mahkamah Agung ini adlah membatalkan penetapan putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan, apabila Peradilan dibawahnya:[footnoteRef:7] [7: Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, Gemala Dewi, Lok.Cit, h. 85]

1. Tidak berwenang atau melampaui bataswewenang;2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.Ketiga hal inilah yang menjadi batas wewenang Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.Susunan Hirarki Pengadilannya: Pengadilan Agama : Peradilan Pertama, berkuasa di tingkat kota madya dan kabupaten; Pengadilan Tinggi Agama: Putusan Tingkat Akhir, berkuasa di tingkat provinsi; Mahkamah Agung: Peradilan Tingkat Akhir (Kasasi), berkuasa di tingkat Nasional.

B. Tugas PenghuluPenghulu tingkat kabupaten harus melaksanakan lima fungsi, yaitu:a. Sebagai mufti (penasehat hukum islam) dia harus menghadiri siding-sidag pengadilan negeri (landraad) dan untuk fungsi ini dia diangkat oleh pemerintah Belanda dan memperoleh uang siding.b. Sebagai Qadi atau hakim dalam pengadilan agama.c. Sebagai imam masjid, da mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan masjid raya d tempat kediamannya.d. Sebagai wali hakim, dia mengawinkan wanita yang tidak mempunyai wali, dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.e. Menurut adat dia adalah satu-satunya orang yang berhak mengumpulkan zakat. Yang tidak diperuntukkan bagi Mustahik, tetapi untuk gajinya.Fungsi-fungsi ini tidak selalu diperankan oleh satu orang, walaupun pemerintah berusaha terus mengadakan kombinasi. Sejak tahun 1918 kombinasi fungsi ini resmi diwajibkan. Khusus di Preanger sebelumnya ditemukan dua jabatan: penghulu landraad (a.b.e.) dan penghulu hakim, yang juga di sebut penghulu kawin atau penghulu masjid, untuk c dan d.[footnoteRef:8] [8: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 228]

C. Kas MesjidSelama abad ke-19 di Batavia tidak ada kas masjid, sedangkan di Banten kas mesjid baru didirikan pada akhir abad ke-19 atas usul dan anjuran residen. (Snouck Hurgronje 1959-798). Perkembangan kas masjid tidak mengalami sejarah yang sama di semua daerah.Suatu hal yang betul-betul konsisten dimana-mana adalah sikap ambilaven oemerintah terhadap agama Islam. Penghulu dan bupati diangkat oleh pemerintah colonial sebagai pegawai, tetapi pemerintah tidak mau mencampuri masalah agama, dan jarang sekali melakukan pengawasan. Akibat sikap ambivalen dan kurang konsekwen ini, timbullah praktek korupsi dan penyalahgunaan uang dari kas masjid. Tidak hanya penghulu dan bupati, tetapi juga pegawai Belanda yang mestinya mengawasi perkara ini sering terlibat.Dalam laporan Holle dinyatakan, bahwa para pembantu bupati Karawang dibayar dari kas masjid di samping untuk kepentingan pribadi bupati. (suratnya tanggal 12.8.1873 dalam Geh. Bt. 29.11.1873 no. C7). Menurut sebuah laporan Direktur Binnenlandsch Bestuur 26.6.1873, Bupati Tuban telah mengambil 20.000 gulden dari kas masjid. Memang dalam hal ini dia dipanggil ke pengadilan (dalam Bt. Yang sama), tetapi tindakan seperti itu jarang sekali diambil. Cukup sering para residen diperingatkan untuk mengawasi kas masjid, tetapi mereka sendiri juga terlibat. Masalah residen Surabaya menganjurkan, agar semua kas masjid di karesidenannya terus memberikan sumbangan kepada rumah sakit Kristen di Mojowarno, yang dipimpin oleh tokoh Zending, J-Kruyt. Menurut Residen sumbangan ini perlu, karena orang islam juga dirawat di rumah sakit tersebut. Dia belum pernah mendengar keluhan atau protes dari pihak bupati atau penghulu, karena sedekah toh sangat keras dianjurkan dalam undang-undang Islam.[footnoteRef:9] [9: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.229]

Di daerah Surabaya, menurut Residen, belum pernah timbul keberatan terhadap pembayaran dari kas masjid kepada lembaga yang mempunyai tujuan Kristenisasi! (Snouck Hurgronje 1959:808). Di Pekalongan pernah timbul rencana untuk memakai jumlah uang yang cukup besar dari kas masjid sebagai modal bank kredit. Tetapi masalah ini dipermasalahkan dengan alasan unsure baunga bank tidak serasi dengan ajaran Islam.Sebenarnya kas masjid hanya ditujukan untuk mengumpulkan uang guna menjamin pemeliharaan dan pemugaran masjid. Uang tersebut diperoleh dari potongan penghasilan penghulu dan pembantunya pada pelaksanaan perkawinan. Snouck Hurgronje pernah menganjurkan, supaya penghulu diberikan kenaikan gaji, atau tariff perkawinan dikurangi, jika uang kas masjid lebih yang diperlukan. Snouck juga menganjurkan agar kas masjid tidak memberikan sumbangan kepada WTS (Pelacur) yang sakit, kalau banyak orang tidak kawin, karena tariff perkawinan yang terlalu tinggi, seperti terjadi di Kediri. (o.c.808).Di samping itu Snouck juga menyoroti sumbangan dari kas masjid untuk para haji yang berkeliling desa untuk mengumpulkan uang dan biaya makanan jamaah yang salat tarawih dalam bulan puasa (o.c. 798-822).D. Perkara Perkawinan dan Ordonasi Perkawinan PertamaDi bidang peraturan tentang perkawinan tampak suasana yang sama akibat sikap ambivalen pemerintah di bidang agama. Pemerintah colonial tidak mau mengambil konsekwensi dalam bentuk pengawasan dan bimbingan terhadap pegawai agama yang diangkat oleh pemerintah sepanjang abad ke-19. Jika suatu kasus penyelewengan sudah dapat dibuktikan, pemerintah tidak bersedia mengambil tindakan karena semua perkara ini dianggap sebagai perkara intern agama.Dengan kedatangan beberapa ahli seperti L.W.C. Van Den Berg, Holle, dan kasusnya Snouck Hurgronje pada tahun 1889, maka suasana ini pun berubah. Dalam kebijakan umum, pemisahan antara agama dan negara tetap dipertahankan. Tetapi dalam kebijakan operasional pemerinat tidak dapat melepaskan diri dari sikap penyelewengan yang dilakukan pegawainya. Justru karena itu pada tahun 1895 ditertibkan ordonansi khusus dalam rangka mengawasi kas masjid dan tertib perkawinan.Beberapa tahun sebelumnya Ordonansi 1895 terdapat beberapa peraturan local, seperti peraturan Rembang 1843, khusus mengenai tarif perkawinan dan perkara pengadilan agama (disalin dalam hal. 215-217), dan peraturan Banten 1870 mengenai larangan pencatatan perkawinan oleh kepala masjid desa (dorpsgeestelijke) dan penertiban saksi dalam perkawinan, dimana hanya penghulu tingakt kecamatan yang dibolehkan menyaksikan perkawinan.[footnoteRef:10] [10: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 230]

Akibat dari peraturan 1895 ini adalah:1. Di beberapa daerah ditemukan cukup banyak pasangan suami/isteri tanpa perkawinan formal karena melonjaknya biaya perkawinan dan terbatasnya petugas dalam bidang ini (para penghulu distrik tidak bersedia mengangkat lebih banyak petugas karena khawatir penghasilan mereka akan berkurang). Keterbatasan jumlah petugas di desa menyebabkan para pasangan calon pengantin harus pergi menempuh jarak yang cukup jauh sampai ibu kota kecamatan untuk menyelenggarakan perkawinan formal.2. Khusus di Batavia ditemukan pencatat perkawinan gelap, yang minta tarif lebih rendah dari pegawai resmi. Menurut beberapa ahli fiqih, perkawinan yang dilaksanakan tanpa petugas resmi itu sah juga, asal wali dan dua saksi hadir dan dengan prosedur yang baik. Pengadilan negeri Makassar pada tahun 1880 membatalkan vonis terhadap pencatat gelap, sehingga sesudah pembatalan itu praktek mereka menjadi lebih pesat lagi.Peraturan 1895 juga mengatur orang-orang yang berhak bertindak sebagai pencatat NTR (Nikah Talak Rujuk), pembebanan denda kepada pencatat gelap dan larangan tariff perkawinan yang terlalu tinggi (lihat Van Ophuysen 1907).E. Zakat dan Kebijakan Dalam Mengangkat Penghulu BaruZakatMenurut ilmu Fiqih, yang diajarkan dipesantren, ada beberapa golongan yang berhak menerima zakat. Tetapi dalam praktek di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Madura dalam abad ke-19 zakat dianggap sebagai gaji pegawai masjid. Bahkan dibeberapa daerah para pegawai lain, seperti Bupati, wedana dan kepala desa turut membantu mengumpulkan zakat dan menerima sebagian hasil zakat dan Fitrah. Pada tahun 1866 pemerintah mengeluarkan peraturan (bijblad 1892) yang melarang keras kepala desa sampai bupati turut campur dalam pengumpulan zakat. Peraturan ini mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada penghulu dan naib lagi, melainkan kepada ahli agama yang lebih dihormati, yaitu kyai atau guru pengajian. Ada kesan umum. Bahwa zakat dipraktekkan lebih baik di Jawa Barat daripada di daerah lain. Tetapi belum ada suatu studi yang teliti, dan mungkin juga data dari arsif sangat kurang untuk menetapkan hal ini. Dalam arsif pada umumnya hanya ditemukan peraturan lokal tentang siapa yang berhak menerima zakat itu. Satu contoh dari Algemeen Verslag Regentschap Soemenep over 1811, mana tercatat: Itoe Pangoeloe serta katibnya dia poenya kalakowan periksa orang bitjara kawin, batjarie dan bagi barangnja orang mathie. Hingaja 10: real itoe pangoeloe dapat 1 percent dari 10: lagie dia trima oeang kawin dari 2 : stuyver sampe 30 stuyver dengan lagie 1: aijam 2: klapa dan 1: toekal benang. Saban boelan poeassa dia trime Vietra 4: Katie beras 1: orang dan lagie 1: atau 2: doewit. Lagie saban boelan hadjie trima koerban dari kapala sendirie roepa sampie hidoep dan lagie jekkat darie padie jagoon dan janawoot darie 10: satoe. Ini smoewa njang roepa oewang pangoeloe bagie dengan katibnya 2: bagian dia ampunja sandirie njang 1: bagian die bagie sama katibnja sama rata. (Arsif Nasional, Madura Bundel 5 d).[footnoteRef:11] [11: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.231]

Terhadap urusan zakat yang nota bene merupakan urusan keagamaan murni, pemerintah Belanda tercatat pernah mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun alih-alih memajukan, kebijakan-kebijakan tersebut pada kenyataannya malah semakin memperlemah pelaksanaan ibadah zakat di dalam masyarakat. Pemerintah Belanda nampaknya memang menghendaki agar potensi zakat terabaikan sehingga rakyat Indonesia yang mayoritas muslim tetap lemah kondisi ekonominya sekaligus tetap rendah tingkat kesejahteraannya.[footnoteRef:12] Kebijakan ini sangat boleh jadi dipengaruhi juga oleh kenyataan bahwa sebagian dana zakat dipergunakan pula oleh umat Islam untuk membiayai peperangan melawan Belanda,[footnoteRef:13] seperti terjadi pada Perang Aceh. Perang Aceh yang terbukti mampu membuat pemerintah Belanda kewalahan ternyata dapat bertahan dalam waktu cukup panjang salah satunya karena didukung oleh sumber dana yang memadai yang antara lain berasal dari zakat yang dikumpulkan melalui para ahli fiqih.[footnoteRef:14] [12: Ali Yafie, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 119] [13: Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988) h. 32] [14: C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, ter. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 22]

Kebijaksanaan dalam mengangkat penghuluAda tiga aliran yang menentukan kebijaksanaan pengangkatan penghulu baru dalam politik pemerintah colonial.Pertama, sebagian besar pegawai pemerintah, termasuk para residen dan gubernur jenderal, berpendapat bahwa jabatan penghulu adalah jabatan agama, sehingga harus bebas dari campur tangan pemerintah belanda. Bupati boleh saja mengangkat seorang keponakan, yang sama sekali tidak tahu agama, menjadi penghulu.satu-satunya syarat yang dicantumkan dalam korespondensi para pejabat tentang pengangkatan penghulu baru adalah bahwa calon penghulu bukan pemakai mandat. Sikap ini sebenarnya pasif sekali.Kedua, sikap yang agak pasif juga yang datang dari Holle dan beberapa tokoh lain. Mereka berpendapat, bahwa pemerintah harus memerintahkan agar para penghulu baru tidak diangkat dari kelompok orang islam yang terlalu fanatik atau yang turut dalam satu aliran tarekat. Credit Point perlu diberikan kepada para penghulu jika mereka giat memperbaiki pertanian, melaksanakan proyek irigasi, membasmi tikus, membantu proyek suntikan penyakit cacar dan lain-lain. Dalam beberapa laporan, Holle juga secara konsekuen menganjurkan agar penghulu masjid dan penghulu landraad dijabat oleh seorang petugas saja, sehingga pemerintah bisa menetapkan siapa pejabat islam yang paling penting di suatu daerah (pemerintah tidak berhak memilih penghulu masjid, hanya penghulu Landraad).Aliran ketiga dipelopori oleh Snouck Hurgronje dan bersifat aktif. Snouck menegaskan, bahwa penghulu harus bertindak tegas terhadap penghulu yang korup atau yang sama sekali tidak mengetahui hukum islam dan mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan hukum itu.[footnoteRef:15] [15: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 232]

Tetapi Snouck tidak mengatakan, bahwa pemerintah harus mengusahakan supaya hukum islam dilaksanakan sesempurna mungkin. Dia hanya menganjurkan dengan alasan politik, agar pemerintah mengangkat penghulu yang cukup saleh dan alim. Sejak tahun 1894 sampai lima tahun sesudah Snouck Hurgronje menjabat sebagai penasehat pemerintah colonial, para calon penghulu diharuskan menyampaikan biodata mereka. Seperti riwayat hidup, latar pendidikan dan lain-lain kepada pemerintah untuk mendapatkan pertimbangan dari kantor voor inlandche Zaken (kantor Agama). Ternyata prosedur ini menolong terciptanya suasana yang agak tertib dan mengurangi penyelewengan di kalangan penghulu. (Pijper 1977:90).Snouck Hurgronje menentang penugasan penghulu untuk mengemban beberapa pekerjaan diluar cakupan bidangnya seperti tugas mengawasi pemotongan sapi, yang dikeluhkan oleh penghulu Cianjur (mertuanya!; 1959:776-7). Menurut Snouck Hurgronje, syarat pertama bagi penghulu adalah penguasaan pengetahuan fiqih. Tetapi sebaiknya pemerintah memilih orang yang selain menguasai fiqih juga memiliki pengetahuan umum (o.c. 791: calon dari pensiunan kepala polisi ditolak).Metode yang paling baik untuk mencegah korupsi, menurut Snouck adalah menaikkan gaji. Tetapi pada zaman colonial belum pernah terjadi gaji penghulu mencukupi kebutuhan hidup mereka. Selain dari gaji yang minim, mereka juga memperoleh penghasilan dari uang siding pengadilan umum dan pengumpulan zakat. Satu segi yang menarik dari kebijaksanaan pemerintah atas desakan Snouck adalah, independensi penghulu dari bupati, sehingga penghulu langsung ditempatkan di bawah jajaran Kantor Agama dan Gubernur Jenderal. Snouck sangat keras menentang pendapat di kalangan para bupati orang pribumi dan kalangan Eropa lainnya yang menyatakan para bupati bersifat kepala agama.Snouck menjelaskan, bahwa dari semua peraturan yang telah beredar hanya dapat ditafsirkan bahwa tugas bupati dalam kegiatan agama hanyalah sebagai pengawas. Bupati tidak boleh dianggap sebagai seorang Pembina agama dan bertindak untuk pengembangan agama. Bupati Madiun pernah diperingatkan karena mengarang buku pengantar untuk pengadilan agama dengan bahasa Arab yang jelek serta uraian yang menyimpang dari fiqh islam. Bupati ini juga menyusun pengadilan agama dibawah pimpinannya sendiri dan sengaja mengusulkan pengasingan seorang guru tarekat (1959:751-755).Dalam beberapa studi, kantor agama yang didirikan oleh Snouck Hurgonje, dianggap sebagai pelopor Departemen Agama. Dengan demikian Snouck yang dicap sebagai pejuang pemisahan agama dan negara, dalam kenyataannya juga membela bermacam-macam kegiatan agama yang kemudian diambil alih oleh Departemen Agama RI.[footnoteRef:16] [16: Karel A. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 233]

BAB IIISIMPULAN