HIPERSENSITIVITAS TIPE 1

download HIPERSENSITIVITAS TIPE 1

of 11

Transcript of HIPERSENSITIVITAS TIPE 1

HIPERSENSITIVITAS REAKSI CEPAT TIPE 1 : ALERGI Pada bab ini anda akan mempelajari tentang bagaimana Gen berkembang pada lingkungan yang sesuai yang dapat menimbulkan respon TH2. Hal ini memicu produksi immunoglobulin E (IgE) dengan mediator sel mast yang akan menimbulkan gejala alergi. Anda akan mempelajari lebih dalam mengenai gangguan alergi. DEFINISI Definisi atopi imunologik adalah hipeersensivitas reaksi cepat terhadap antigen yang diperantarai oleh IgE. Reaksi tersebut cenderung terjadi di dalam keluarga, dan keluarga tersebut memiliki riwayat atopi yang diwariskan. Walaupun alergi secara harfiah berarti reaksi terhadap antigen eksogen yang telah berubah, yang sekarang disebut sebagai atopi. Penyakit alergi termasuk, anafilaksis, angioedema, urtikaria, rhinitis, asthma, dan beberapa jenis dermatitis dan eksema. Perbedaan antara alergi yang sebenarnya dengan reaksi lainnya sangat penting karena beberapa terapi pada alergi tidak sesuai pada reaksi jenis lainnya. Biasanya alergi merupakan reaksi yang sangat cepat yang diperantarai oleh IgE dan gejala akan muncul dalam beberapa menit setelah terpapar antigen. Walaupun demikian, beberapa reaksi alergi berlnajut selama beberapa waktu ( misalnya saat lingkungan antigen tidak dapat dicegah dengan mudah), dan akan berkembang menjadi fase akhir reaksi yang bercirikan infiltrasi sel-T. Keadaan ini disebut respon fase akhir (late-phase response) dan akan dibahas pada bab ini. Pada awal bab ini akan dijelaskan bagaimana alergi dapat terjadi. Beberapa unsur yang umum untuk anda, yang berasal dari bab 15 (sel TH1 dan TH2) dan bab 21 (sel mast). Pada pertengahan bab dijelaskan gejala klinis secara lebih rinci. ALERGEN Antigen yang memicu timbulnya reaksi disebut sebagai allergen. Alergen mencari jalan mereka sendiri untuk masuk ke dalam tubuh. Beberapa allergen terdapat pada lingkungan berupa partikel kecil atau substansi dengan berat molekul yang rendah yang masuk ke tubuh melalui inhalasi, termakan, atau yang terdapat pada obat-obatan. Antigen secara inhalasi dapat berupa serbuk bunga, spora jamur, dan feses tungau rumah. Beberapa allergen termasuk feses tungau rumah yang berupa enzim. Ciri khas ini memungkinkan mereka dimakan oleh sistem pertahanan imun bawaan. Beberapa bisa serangga dapat menjadi allergen dan langsung ditusukkan pada kulit.

Bagian yang terpenting pada terapi alergi adalah mengetahui dan menghindari allergen. Pencermatan terhadap identifikasi allergen sangat bermanfaat. Contohnya, pasien yang ingusan lebih sensitif terhadap allergen yang terdapat di udara. Jika gejala yang terjadi sering pada musim panas, serbuk sari bunga seperti penjahat. Jika gejala terjadi sepanjang tahun dan terutama di dalam rumah, berarti lebih senstif terhadap feses tungu rumah. Alergi terhadap tungau rumah terjadi di wilayah di mana saat iklim dingin dibutuhkan untuk pemanasan global, selimut tebal, dan karpet tebal yang merupakan habitat tungau tersebut. Petunjuk lainnya untuk mnegenali allergen dapat dilakukan reaksi silang terhadap allergen. y Pada alergi penicillin, allergen tersebut merupakan rantai -laktam pada molekul penicillin.

Pasien yang memiliki riwayat gejala dengan golongan penicillin yang berbeda contohnya amoxicillin dan flucloxacillin. Pasien yang alergi dapat bereaksi pada golongan antibiotic lainnya seperti cephalosphorin, yang juga memiliki struktur rantai -laktam (lihat table 5.1) y Beberapa allergen yang yang tumbuh terjadi reaksi silang; contohnya, pasien yang memiliki rhinitis musim semi dan alergi makanan yang dapat sensitive pada reaksi silang protein yang serbuk sari pada pohon birch sepeti pada hazelnut, apel, wortel dan kentang. DEGRANULASI SEL Sel-sel utama yang berperan dalam alergi adlah sel mast dan eosinofil yang di jelaskan pada bab 21, di mana dijelaskan bagaimana sel-sel tersebut tersusun untuk membunuh parasit. Sel mast hadir pada sejumlah jaringan yang banyak (tidak sebaliknya dengan makrofag), di mana eosinofil bermigrasi ke jaringan dimana reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi (sebaliknya, netrofil tertarik ke tempat terjadinya inflamasi). Sel-sel ini melepaskan mediator yang akan menimbulkan gejala alergi. Tipe ketiga sel degranulasi adalah basofil. Sel ini memilkki kesaam dengan sel mast, tetapi mereka hanya ada pada sirkulasi. Belum diketahui kegunaan khusus mereka. Sel mast berperan penting untuk menimbulkan gejala dari reaksi alergi setelah allergen dan IgE berinteraksi. Sel mast mengekspresikan reseptor terhadap IgE, yaitu Fc RI (reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi). Ketika allergen berhubungan silang dengan ikatan IgE dengan sel oleh Fc RI, sel melepaskan mediator pada fase awal reaksi. Walaupun sel mast, eosinofil, dan basofil juga teraktivasi oleh stimuli lainnya. Sebagai contoh, generasi komplemen teraktivasi oleh infeksi dapat mengaktivasi sel mast , seperti sinyal yang ditransmisi di sistem saraf--sebagai contoh sebagai respon dalam perubahan cuaca. Sangatlah penting untuk mengingat bahwa gejala yang digambarkan secara rinci pada akhir bab ini (gambar 26.1) dapat disebabakan oleh kondisi laiinnya sebagai penyebab alergi.

ANTIBODI IgE dibutuhkan pada reaksi hipersensivitas tipe I. Kelompok sel B berubah memproduksi IgE ketika mereka distimulasi oleh interleukin-4 (IL-4) yang dihsilkan oleh sel T-helper 2 (TH2). Saat IgE dihasilkan, sel tersebut akan berikatan dengan reseptor afinitas tinggi Fc RI yang diekspresikan pada sel mast pada jaringan dan eosinofil yang telah diaktivasi dan bermigrasi ke dalam jaringan. (Gambar 26.2). IgE berikatan dengan Fc RI denagn afinitas yang tinggi walaupun IgE dapat ditemukan seribukali lipat lebih sedikit konsentrasinya dibandingkan dengan IgG pada serum, sel mast selalu dilapisi IgE untuk melawan antigen. Level IgE yang sangat tinggi dapat dilihat pada pasien yang terinfeksi parasit- contohnya, schistosomiasis. Level IgE total juga meningkat pada orang yang memilki keturunan sifat atopi. Level IgE yang spesifik diberikan terhadap allergen dapat diukur dengan menggunakan prick test atao ELISA (enzyme-link immunosorbent assays) ketika memeriksa penyebab gejala alergi. Tabel 26. 1 Penyakit Alergi Sistem yang terkena Sistemik Sindroma klinis Anafilaksis Gejala Tekanan darah menurun, angioedem dan obstruksi jalan nafas. Dapat fatal , contohnya alergi kacang dan antibiotik. Obstruksi jalan nafas pada bronkus yang reversibel. Beringus, bersin dan obstruksi nasal, biasanya muncul dengan conjunctivitis. Hidup singkat, edema yang gatal pada jaringan kutan, penyebab lesi dapat dikenali dengan prick test Hidup singkat, edema yang tidak gatal pada jaringan kutan, Beberaap bentuknya adalah bengkak bibir, yang mungkin menjadi gejala klinis pada alergi makanan. inflamasi kronik yang gatal pada kulit, beberapa kasus karena alergi makanan.

Jalan nafas

Asthma Rhinitis Urtikaria Angioedema

Kulit

Ekzema atopik

Sel T-H2 Kebanyakan dari respon sistem imun adaptif pada manusia menghasilkan campuran antibodi dan sel T sitotoksik. Ketentuan keseimbangan jenis respon yang mendominasi tergantung pada patogenitas terhadap sistem imun. Pada bab 22, anda dapat membaca bagaimana respon sistem imun terhadap infeksi intrasel kronik misalnya pada TB, dengan produksi utamanya yaitu TH1 sebagai respon akibat dari aktivasi sel T sitotoksik dan makrofag oleh interferon- (IFN- ). Level IgG yang tinggi juga diproduksi pada respon TH1. Walaupun demikian, suatu alergi membutuhkan sejumlah besar IgE yang diproduksikan

yang akan berperan dengan TH2 untuk meghasilkan IL-4. Pada respon TH2, produksi IgG dan sel T sitotoksik dihambat. TB dan alergi menunjukkan pola yang berbeda terhadap respon imun adaptif. Kebanyakan respon tidak terlalau ekstrim dan termasuk campuran sel TH1 dan TH2. Sel TH1 terpolarisasi berciri dengan mengekspresikan transkripsi faktor T-bet yang akan meningkatkan sekresi IFN- . Sel TH2 mengekspresikan transkripsi faktor GATA3, yang akan meningkatkan sekresi IL-4 dan berkaitan dengan IL-5 dan IL-13. Sel TH1dan TH2 timbul dari terbentuk dari sel T yang memilki berdiferensiasi menjadi sel TH1 dan sel TH2.Meskipun imun berdiferensiasi menjadi TH1 dan TH2 merupakan ketentuan, T-bet atau GATA3 menjadi faktor transkripsi dominan (Gambar 26.3). Populasi sel TH yang ketiga adalah sel T te-regulasi (Treg). Treg memilki peranan yang penting pada toleransi perifer dan menghambat sel TH1 dan TH2 tergantung pada pembuatan antigen. Treg menghambat sel T lainnya dengan menghasilkan sitokin seperti TGF- (transforming growth factor- ) dan IL-10.Treg juga memiliki peranan saat infeksi: misalnya mereka mencegah respon yang berlebihan yang sebaliknya akan menimbulkan hipersensitivitas. Pada kebanyakan orang, Treg akan mencegah respon T helper dari menjadi terlalu terpolarisasi bahkan ekstrim pada produksi sitokin TH1 dan TH2. Misalnya pada orang yang tidak alergi, Treg mendominasi sel-T jenis spesifik pada lingkungan allergen. Dengan kata lain, respon yang terjadi terhadap lingkungan allergen tidak dapat terjadi karena Treg yang menghambatnya. Sel yang me-presentasikan antigen (APC) muncul sebagai acuan apakah sel-T precursor akan menjadi sitokin TH1 dan TH2. Dengan keadaan yang sulit dimengerti, APC mendukung produksi sel TH2. Hal ini lebih dikarenakan terjadi ketika antigen muncul pada permukaan mukosa atau berkaitan dengan molekul yang menstimuli pola molekul pengenalan yang jelas pada APC. Contohnya, stimulasi Toll like receptor-2 (TLR 2) muncul saat akhir respon TH2. Oleh karena itu, GATA3 diinduksi dan menstimuli selT untun\k menghasilkan sejumlah kecil IL-4. Yang masing-masingnya akan mengalami proliferasi sel-T, turunan sel-T dapat menjadi lebih dan lebih terpolarisasi pada fenotip TH2. Hal ini hanya akan terjadi jika Treg tidak menghambat polarisasi. Sebagai tambahan, jika APC menghasilkan IL-12 (misalnya karena infeksi intrasel oleh mikobakteria) mendukung terjadinya respon TH1. Saat respon TH2 terbentuk , sekresi sejumlah IL-4 tingkat tinggi akan menstimuli produksi IgE oleh sel-B. IgE akan yang dihasilkan akan berikatan dengan Fc RI pada permukaaan sel mast. Jika antigen berhubungan silang dengan IgE yang terikat dengan Fc RI sel mast akan melepaskan IL-4. Hal ini akan memicu terjadinya sistem feedback positif untuk memproduksi lebih banyak lagi IgE dan sel TH2 (lihat gambar 26.3). IL-4 juga menghambat produksi IFN- dengan sel-T TH1. Demikian, saat sel-T

merespon terhadap antigen telah menyimpang menjadi produksi sitokin TH2, feed back positif terus berlanjut dan meningkatkan respon tersebut. Akhirnya, sel-T TH2 mensekresikan sitokin lainnya (IL-5, IL-13, eotaxin) dimana akan membantu berlanjutnya respon TH2 dengan menstimulasi pematangan dan migrasi eosinofil dan me-nonaktifkan makrofag (Gambar 26.4). Ditambah lagi APC membuat keputusan apakah sel-T akan menjadi TH1 atau TH2, yang akan mengekspresikan IL-4 atau IFN- . Selama respon tersebut, campuran dari sel TH1 dan TH2 diproduksi, walaupun salah satu respon akan cenderung mendominasi, tergantung dariinfeksi yang memicunya, sel TH1 dan TH2 dapat menghasilkan feedback positif bagi jenis sel mereka sendiri, yang dapat meicu terjadinya respon imun yang berlebihan. Polarisasi yang ekstrim normalnya akan dicegah oleh Treg. Ketiadaan Treg, respon imun dapat menjadi overpolarisasi menuju TH2 dan dapat berkembang menjadi reaksi alergi. PREDISPOSISI ALERGI Alergi sudah sangat sering terjadi dan meningkat prevalensinya di seluruh dunia. Contohnya alergi kacang meningkat dalam hal prevalensi (sejumlah orang yang terkena) dan keparahannya. Seperti semua jenis hipersensitivitas, predisposisi alergi disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan. Beberapa faktor genetic bekerja sama dalam munculnnya trait atopi. Meningkatnya prevalensi alergi dapat disebabkan karena faktor lilngkungan- hygiene hypothesis. TRAIT ATOPI Pada dunia barat, lebih dari 40% populasi memilki trait atopi dengan respon IgE yang terlalu berlebihan. Alergi cenderung diturunkan dalam keluarga; anggota keluarga memiliki alergi mereka sendiri atau memilki resiko untuk alergi karena mereka memiliki sejumlah besar IgE untuk melawan antigen yang spesifik. Anggota keluarga yang terkena dapat memiliki alergi yang berbeda misalnya asthma, hay fever atau eczema terkait dengan respon allergen yang berbeda. Hal itu merupakan resiko bahwa alergi dapat menjadi keturunan namun tidak alergi spesifik. Alergi secara genetik sangat kompleks, termasuk di dalamnya interaksi di antara beberapa gen. contohnya, polimorf pada gen IL-4 dan Fc RI dapat meningkatkan resiko alergi. Untuk berbagai alasan yang belum dimengerti, dan Fc RI lebih diwariskan dari ibu yang terkena resiko alergi daripada gen Fc RI yang diwariskan oleh sang ayah. Gen lainnya yang tidak teridentifikasi jelas termasuk didalamnya.

HYGIENE HYPOTHESIS Meningkatnya insidensi alergi di seluruh dunia mempengaruhi efek perubahan pada faktor lingkungan. Terdapat sedikit angka kejadian bahwa polusi zat kimia menyebabkna perubahan prevalensi alergi. Walaupun demikian, beberapa bukti kecil mendukung pemikiran bahwa perubahan ekologi pada lingkunagn dimana kita hidup telah terpajan antigen berupa bakteri pada awal masa kehidupan dan hal ini meningkatkan resiko terjadi alergi: y Anak-anak dengan alergi cenderung tinggal di rumah yang lebih bersih daripada mereka yang tidak alergi. y y Tumbuh besar di ladang dan terpajan pada peternakan mengurangi resiko alergi Alergi sangat jarang pada area dengan angka kejadian TB tinggi

Hipotesa kebersihan mempengaruhi yang terpajan pada organisme, seringnya mikobakteria, pada awal masa kehidupan mencegah tingginya polarisasi respon TH2 dalam perkembangannya. Kata hygiene berarti bersih dari mikrobiologik. Bahkan pada Negara berkembang dimana mungkin terlihat kotordapat bersih secara mikrobiologik! Mikobakteria umum terdapat lingkungan organisme, kebanyakan tidak menyebabkan penyakit pada manusia yang sehat. Terdapat dua cara yang saling overlap di mana mikobakteria dapat dicegah respon TH2 overpolarisasi berkembang pada awal masa kehidupan: y Mikobakteria dapat bertahan hidup di dalam makrofag dan memicu respon TH1 yang kuat. Sebagaimana yang and abaca pada bab 22, mikobakterium tuberkulosa telah menyusun mekanisme untuk pengelakan yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia yang sehat. Kebanaykan mikobakteria tidak mematikan dan tidak dapat memicu respon TH1 dari inang. Berdasarkan hipotesis kebersihan tersebut, terpajan mikobakteria yang tidak membahayakan pada daerah pedesaancontohnya pada fesee hewan- menstimulasi sel-t untuk mensekresikan IFNyang menghambat respon TH2 (gambar 26.5) y Penjelasan kedua adalah mikobakterium yang tidak mematikan yang dapat memicu kondisi yang mendukung produksi Treg. Bahkan, menghasilkan sel TH2 secaar individual kemudian dapat menghasilkan Treg yang spesifik pada lingkungan allergen. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa jelas Treg merupakan sel-T spesifik utama bagi allergen pada individu yang bukan alergi Hipotesa kebersihan tersebut mungkin dapat menjadi keuntungan bagi klinin di masa depan. Sebagai contohnya, vaksinasi dengan mikobakterium vaccae, yang merupakan mikobakterium yang tidak mematikan, telah menunjukkan pengurangan tingkat keparahan eczema pada anak-anak yang alergi.

Obat-obatan dapat juga digunakan sebagai unsure mikroorganisme yang mirip dan mengendalikan respon imun dari polarisasri TH2. Contohnya, CpG adalah motif nukleotida yang ditemukan pada virus yang berikatan dengan Toll-like receptor 9 dan menstimuli sekresi IL-12 oleh APC. CpG sintetik dibuat dari hewan dapat menghentikan respon alergi TH2. MEDIATOR PADA FASE AWAL Pada fase awal alergi yang disebabkan oleh pelepasan mediator oleh sel mast ketika IgE berikatan Fc RI berhubungan silang oleh allergen. Anafilaksis merupakan jenis alergi yang paling serius dan dapat terjadi ketika allergen masuk ke dalam tubuh dari berbagai rute. Selama anafilaksis, sel mast mensintesis prostaglandin dan leukotrien secara cepat melalui jalur siklooksigenase dan lipoksigenasi (lihat bab 21). Mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Perpindahan cairan dari vaskuler ke ruang ekstravaskular, dan terdapat perubahan drastis pada vaskular. Hasilnya adalah penyebaran aktivasi sel mast dapat menurunkan tekanan darah secara dramatis, yang merupakan cirri khas anafilaksis. Sel mast pada kulit, bukan yang pada jalur nafas, melepaskan histamine yang menyebabkan pembengkakan (edema) dan perpindahan cairan. Bentuk lainnya dari alergi, yang lebih terfokus berubah dalam pembuluh darah, terjadi retriksi di mana allergen masuk. Misalnya, pada rhinitis allergika, allergen terinhalasi menstimuli sel mast pada mukosa hidung. Terdapat vasodilatasi dan edema pada hidung, menyebabkan hidung terasa kaku dan bersin. Leukotriene (lihat bab 21) meningkatkan sekresi mucus yang menyebabkan adanya kotoran yang merupakan cirri khas rhinitis alergika. Sekresi mukus yang meningkat pada bronkus juga terjadi pada asthma dan menyebabkan obstruksi jalan nafas. Karena pada paru leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, di mana akan terjadi efek terhadap penurunan jalan nafas (Gambar 26.6). Semua efek tersebut dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terpajan allergen. Gejala akan menetap sementara terpajan allergen terus berlangsung. Walaupun pasien dapt menghindari allergen, reaksi fase akhir dapat terjadi. MEDIATOR FASE AKHIR Reaksi hipersensitivitas tipe I umumnya bercirikan gejala yang muncul cepat setelah terpajan allergen. Sebagai contoh pasien dengan asthma yang alergi pada kucing akan terjadi obsrtuksi jalan nafas, dengan cirri mengi beberapa detik terpajana dengan bulu kucing. Gejala akan akan membaik dalam waktu sejam atau sesaat setelah respon di non-aktifkan segera.

Beberapa jam setelah episode akut, jalan nafas pada bronkus dapat terganggu lagi, merefleksikan migrasi leukosit, umumnya eosinofil ke bronkus dalam respon terhadap kemokin. Reaksi fase akhir dapat muncul dalam beberapa jam (26.7). Pada beberapa orang, proses ini akan dimemorikan seperti sel T H2 pada dinding bronkus mensekresi sitokin seperti IL-4 dan menarik kemokin (lihat Gambar 26.7). hasilnya adalah reaksi inflamasi alergi yang kronik pada jalan nafas. Mediator akan dilepaskan oleh eosinofil termasuk peroksidase, eosinofil merupakan bahan utama protein, dan protein kationik yang semuanya dapat menyebabkan kerusakan langsung jaringan bronkus. Sebagai hasil akhir dari inflamasi alergi kronik adalah hipertrofi otot-otot polos bronkus, dan peningkatan sekresi mucus: pengurangan jalan nafas menjadi persisten daripada intermitten. Kesimpulan dari tipe gejala yang dapat disebabkan alergi tampak pada Gambar 26.1. PENGOBATAN Alergi menghasilkan gejala dari yang ringan (contoh blockade nasal pada rhinitis) hingga mengancam jiwa (contohnya asthma yang parah atau anafilaksis). Terapi alergi disesuaikan kepada individual pasien terhadap kondisi dan gejalanya. Standar umum terapi alergi termasuk mengenali dan menghindari kemungkinan yang menjadi allergen. Hal ini tidak selalu memungkinkan ketika allergen tersebar di lingkungan seperti serbuk bunga. Terapi lainnya termasuk penggunaan obat-obatan atau desensitisasi. TERAPI MEDIKAMENTOSA Beberapa obat memblok efek akhir dari pelepasan mediator; sebagai contoh2-adrenergik

agonis

seperti salbutamol, mirip dengan efek simpatis sistem saraf dan bekerja terutama sebagi pencegah kontraksi otot polos bronkus pada asthma (Gambar 26.8). Epinefrin (adrenalin) merupakan obat penting dan dapat menyelamatkan nyawa pada anafilaksis. Pada anafilaksis tekanan darah menurun drastic karena perpindahan cairan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah. Epinefrin menstimuli dan reseptor adrenergik, menurunkan permeabilitas kapiler, meningkatkan tekanan darah dan memperbaiki obstruksi jalan nafas. Antihistamin memblok reseptor histamine yang spesifik dan memilki peranan yang penting pada alergi yang terkena pada kulit, hidung dan membran mucus. Antihistamin sedikit lebih lambat kerjanya dibandingkan dengan epinefrin dalam pengobatan anafilaksis dan tidak terlalu berarti pada asthma karena histamine bukan mediator alergi yang penting yang dilepaskan oleh sel mast pada paru.

Antagonis reseptor yang spesifik memblok efek leukotrien. Montelukast sebagai contohnya mengurangi sejumlah inflamasi jalan nafas pada asthma. Kortikosteroid banyak digunakan sebagai pencegahan gejala pada pasien alergi. Hal ini akan dibicarakan di bab 30. Kortikosteroid dapat mencegah reaksi hipersensitivitas yang cepat, fase akhir dan inflamasi alergi kronik. Untuk menghindari efek samping, kortikosteroid sering diberikan secara topical pada alergi; misalnya steroid inhalasi yang digunakan pada asthma. Sodium cromoglycate memilki beberapa efek dalam pencegahan serangan alergi. Diketahui kerjanya dengan menstabillisasi sl mast dan mengurangu degranulasi sel. Obat-obat lainnya yang dapat bertujuan memblok jalur sitokin TH2 atau mencegah IgE berikatan dengan Fc R. Terdapat hal muncul yang bertujuan untuk mengurangi alergenitas pada lingkungan allergen. Misalnya, sebuah perusahaan bioteknologi menghasilkan kucing yang sudah dimodifikasi secara genetik, yang tidak menghasilkan allergen kucing Fe1D1. Kucing tersebut tidak memicu timbulnya gejala alergi pada pasien yang tersensitasi. Tetapi dengan harga lebih dari $ 1000 untuk setiap hewannya bukan merupakan sulosi yang akan popular. DESENSITISASI Desensitisasi atau imunnoterapi adalah suatu teknik yang telah dikenal yang bertujuan untuk memperbaiki gejala alergi yang disebabkan oleh allergen spesifik. Hal ini sangat berguna ketika sebuah allergen yang menimbulkan gejala dan seringnya digunakan untuk mencegah anafilaksis karena gigitan atau sengatan serangga.bisa dari serangga dapat diinjeksikan secara subkutan denagn dosis yang terus meningkat. Walaupun terapi dimulai dengan bias dengan dosis yang paling kecil, terdapat resiko terjadinya serangan anafilaksis segera yang hebat. Oleh karena itu, staf yang berpengalaman sangat diperlukan saat desensitisasi, dengan akses peralatan resusitasi. Selanjutnya pasien diberikan iinjeksii denagn bias yang kuantitasnya bertambah, hingga akhirnya cocok dangan jumlah bias pada sengatan serangga. Pada tahap ini lebih dari 90 % pasien tidak berkembang menjadi reaksi anafilaksis jika mereka disengat lagi. Belum jelas bagaimana desensitasi bekerja apakah dengan menginduksi sel TH1 yang memicu produksi IgG melawan allergen atau dengan memicu Treg, yang menghambat polarisasi respon TH2. Pada kasus lainnya, saat desensitisasi telah terjadi, IgG allergen spesifik level tinggi akan mengikat bias tersebut dan mencegahnya dari berikatan silang denagn IgE pada sel mast (Gambar 26.9) Desensitisasi

menggambarkan bagaimana rute yang berbeda pada kasus tersebut secara subkutan memicu populasi selT yang berbeda: TH1 dan/atau Treg dan TH2 pada kasus sengatan pada kulit. BOX 26.1 Alergi Latex

Seorang wanita berumur 25 tahun dengan lidah dan bibir membengkak beberapa menit setelah melakukan suatu prosedur kedokteran gigi. Dia pernah mengalami hal yang sama tetapi dengan lebih sedikit bengkak pada beberapa tempat sesaat setelah dia memakan salad buah. Dia memiliki riwayat asthma dan ibu dan abangnya memiliki alergi yang sama. Prick test telah dilakukan untuk menilai kemungkinan pada alergi latex dan buah. Hasil skin tes telah selesai untuk dapat dibaca dalam 10 menit dan telah dikonfirmasikan bahwa dia sensitive terhadap latex, buah pisang, alpukat dan kiwi (Gambar 26.10). Prick test merupakan metode yang lebih digemari untuk mengetes alergi. Ketika antigen diperkenalkan dengan tusukan hubungan silang dengan IgE pada sel mast Fc RI, segera terdapat pelepasan hitamin yang menyebabkan reaksi setempat yaitu kemerahan dan bengkak. Prick test memberikan hasil dengan segera di mana pasien dapat melihat dan harganya murah dan yang lebih penting adalah lebih sensitive terhadap IgE pada sampel darah. Walau demikian prick test umumnya aman, namun dapat beresiko bagi beberapa orang yang memilikidermatitis atopi atau riwayat anafilaksis. Prick test tidak dapat dilakukan pada pasien yang sedang menggunakan antihistamin dan pada keadaan ini pengukuran tingkat IgE spesifik yang dapat berguna. Pada ilustrasi gambar di bawah (Gambar 26.11) menunjukkan bagaimana kulit dapat menjadi bengkak dengan cepat. Karet, tanaman pisang, alpukat, dan kiwi memilki hubungan kekerabatan dan mengandung protein yang mirip yang bersifat alergik pada pasien. Hal ini merupakan reaksi silang. Jika dia terpajan pada allergen ini lagi maka kemungkinan dia dapat menimbulkan reaski yang lebih parah termasuk anafilaksis. Edukasi pasien sangat penting untuk memastikan bahwa dia memahami bagaimana menghindari latex (contohnya saat melakukan prosedur klinis dan kedokteran gigi dan kondom latex) dan berkaitan dengan buah-buahan pada masa depan.

BOX 26.2 Alergi Kacang Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun datang dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD) dengan Se wajah membengkak, gatal generalisata dan mengantuk. Gejala berkembang dalam beberapa menit setelah memakan cokelat batang. Petugas IGD menemukan bahwa dia mengalami angioedema pada wajah (26.12) dan urtikaria (26.13) dan tekanan darah yang rendah. Dia telah diberikan injeksi 150g epinefrin secara intramuscular dan dalam hitungan menit penyembuhan telah terlihat. Ibunya menjelaskan bahwa dia memilki sedikit reaksi terhadap kacang di masa lalu termasuk pembengkakan pada bibir. Anak tersebut juga memilliki eczema (26.14), dan ibunya piker saat itu bahwa bengkaka tersebut karen dia memakan kacang. Ibunya mengambil kesimpulan bahwa anaknya mungkin alergi terhadap kacang dan ibunya berusaha untuk tidak menyajikan kacang di rumah. Pasien tersebut tidak pernah memiliki gejala dari susu. Ibu pasien masih menyimpan pembungkus dari cokelat batang tersebut, dan terbukti bahwa terdapat bahan mengandung kacang. Sensitisasi indivual yang tinggi dpat be-reaksi terhadap sejumlah kecil kuantitas dari allergen yang dapat mengkontaminasi pada proses pembuatan makanan tersebut. Oleh karena pasien ini sangat sensitive pada allergen kacang, dokter IGd memutuskan untuk tidak merujuk pasien untuk dilakukan prick test. Dilakukan pengambilan sampel darah dan membuat janji pertemuan 2 minggu yang akan datang di klinik alergi. Pemeriksaan darah yang pertama menunjukkan tingginya triptase sel mast pada darah. Triptase sel mast normalnya ada pada darah dengan jumlah yang sedikit, dan terdapat terjadi indikasi degranulasi sel mast dalam 12 jam setelah sampel darah diambil.nberdasarkan riwayat, inin menunjukkan adanya reaksi anafilaksis. Pemeriksaan darah yang kedua untuk menguji IgE spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa IgE tidak terdeteksi sebaagi lawan dari susu sapi, di mana sangat penting kemungkinan allergen terdapat cokelat batang tersebut. Bagian kedua pemeriksaan darah menunjukkan bahwa anak tersebut memiliki alergi terhadap beberapa jenis kacang. Reaksi terhadap beberapa kacang tersebut sering terjadi karena reaksi silang dengan antigen.