Hermeneutika - The Heritage of Hegel

6
The Heritage of Hegel Oleh Nibras Nada Nailufar, 1206250494 Sebagai salah satu tokoh hermeneutika, Gadamer yang merupakan murid Heidegger sering berselisih dengan gurunya tersebut mengenai Hegel dan pengaruhnya terhadap hermeneutika maupun dunia filsafat secara keseluruhan. Sebagai pembelaan terhadap Hegel yang selalu didiskreditkan oleh Heidegger, Gadamer menulis sebuah esai berjudul ‘The Heritage of Hegel’. Esai ini banyak berbicara mengenai Hegelian juga filsafat Gadamer. Dalam esai ini, Gadamer berpendapat bahwa kita tidak perlu menerima semua warisan besar pemikiran Hegelian. Tapi setidaknya kita dapat mengevaluasi warisan ini dan mengkonfirmasi batas kompetensinya sebagai upaya menghargai jasa-jasanya. Selain itu, tidak ada yang harus membayangkan dirinya bisa menuai hasil seluruh zaman. Bahkan Hegel sendiri tidak melakukan ini, Hegel yang epigon terlalu bersemangat ingin membebani dengan gagasan dan ide yang ia lalui yang bernama “pengetahuan mutlak”. Menurut pendapatnya Gadamer, warisan dari Hegel telah dialihkan dengan upayanya dalam merumuskan pemikirannya sendiri. Pergantian sejarah filsafat yang sehubungan dengan impuls dari pemikiran Heidegger, merupakan warisan bagi hermeneutika romantik dan pengembangan progesif dengan cara sekolah sejarah melalui Ranke, Droysen, Dilthey, dan murid-muridnya yang tidak terlepas dari cakupan semua sintesis Hegel. Di bawah totalitas kebenaran (doktrin) yaitu yang menegaskan mutlak dan kebenaran rasional.

Transcript of Hermeneutika - The Heritage of Hegel

Page 1: Hermeneutika - The Heritage of Hegel

The Heritage of Hegel

Oleh Nibras Nada Nailufar, 1206250494

Sebagai salah satu tokoh hermeneutika, Gadamer yang merupakan murid Heidegger sering

berselisih dengan gurunya tersebut mengenai Hegel dan pengaruhnya terhadap hermeneutika

maupun dunia filsafat secara keseluruhan. Sebagai pembelaan terhadap Hegel yang selalu

didiskreditkan oleh Heidegger, Gadamer menulis sebuah esai berjudul ‘The Heritage of Hegel’.

Esai ini banyak berbicara mengenai Hegelian juga filsafat Gadamer.

Dalam esai ini, Gadamer berpendapat bahwa kita tidak perlu menerima semua warisan besar

pemikiran Hegelian. Tapi setidaknya kita dapat mengevaluasi warisan ini dan mengkonfirmasi

batas kompetensinya sebagai upaya menghargai jasa-jasanya. Selain itu, tidak ada yang harus

membayangkan dirinya bisa menuai hasil seluruh zaman. Bahkan Hegel sendiri tidak melakukan

ini, Hegel yang epigon terlalu bersemangat ingin membebani dengan gagasan dan ide yang ia

lalui yang bernama “pengetahuan mutlak”.

Menurut pendapatnya Gadamer, warisan dari Hegel telah dialihkan dengan upayanya dalam

merumuskan pemikirannya sendiri. Pergantian sejarah filsafat yang sehubungan dengan impuls

dari pemikiran Heidegger, merupakan warisan bagi hermeneutika romantik dan pengembangan

progesif dengan cara sekolah sejarah melalui Ranke, Droysen, Dilthey, dan murid-muridnya

yang tidak terlepas dari cakupan semua sintesis Hegel. Di bawah totalitas kebenaran (doktrin)

yaitu yang menegaskan mutlak dan kebenaran rasional. Dialektika terbuka Platonis

Schleiermacher pasti muncul jauh lebih menjanjikan sebagai dasar bagi metodologi ilmu-ilmu

sejarah dari pembangunan Hegel terhadap sejarah dunia. Dilthey, penulis biografi

Schleiermacher, merumuskan landasan epistemologis dari Geisteswissenschaften di bawah

semboyan hermeneutika. Tapi di dalam filsafat itu sendiri bahwa pencapaian konseptual Hegel,

metode spekulatif dialektika, bertemu dengan resistensi yang tajam. Jadi mungkin bahwa

warisan Hegel dan terutama gagasan yang semangat tujuan akhirnya mendapatkan kekuasaan

baru atas Dilthey dan bahkan lebih neo-Kantianisme dan fenomenologi yang muncul di abad

kita. Cara untuk mengatasi keberpihakan dari subjektivisme modern dan terutama dari

"psikologis" interpretasi, yaitu pemikiran Schleiermacher mengenai empati dengan tidak hanya

menambahkan metode tradisional teori penafsiran tetapi juga memilih perbedaan khusus.

Page 2: Hermeneutika - The Heritage of Hegel

Teori ini menjadi warisan yang efektif di sekolah Dilthey dan neo-kantianisme akan dihapuskan.

Dia harus memutuskan antara alternatif dari “rekonstruksi psikologis pemikiran masa lalu” dan

“integrasi pemikiran masa lalu ke dalam pikiran sendiri” antara para penentang Schleiermacher

dan pendukung Hegel. Yang pasti, Filsafat Dunia Sejarah Hegel tetap terjebak dalam kontradiksi

yang tak terpecahkan dari kemajuan terbuka sejarah dan ketakutan akan konklusi maknanya, dan

itu tidak bisa terulang jika kita berniat umtuk mengkaji historisitas dengan serius.

Secara khusus, energi filosofis dari Heidegger telah mendirikan paradoks dari hermeneutika

faktisitas sebagai imbangan terhadap fenomenologi transendental Husserl dan programnya dari

ilmu baru kesadaran menginspirasi dirinya. Secara filosofis, Hegel memberi sumbangsih besar

melebihi Kant. Ia telah memperkaya suatu dimensi filsafat baru bagi usaha-usaha pengembangan

ilmu filsafat, yakni tentang sejarahnya. Hingga kini, ide tentang filsafat sejarah semua filsuf

belakangan boleh dikatakan berkiblat kepadanya. Pemahaman terhadap sejarah tidak hanya soal

memperoleh pengetahuan dan mengembangkan konteks sejarah, namun pemahaman terhadap

sejarah juga soal menentukan nasib kita. Hal tersebut dikarenakan pemahaman bukan hanya soal

kesadaran dalam kekayaan sejarah, pemahaman juga terutama tentang membuat sejarah.

Heidegger yang banyak mengkritik Hegel berpendapat bahwa makhluk itu tidak lain adalah

manusia. Tetapi ia tidak menyebutkan manusia, melainkan “subjek, aku, persona, kesadaran”.

Sedangkan manusia dengan nama das sein. Kata ini berasal dari kata sein=ada, dan kaya da=di

situ. Manusia tidak ada begitu saja, tetapi secara erat bertautan dengan adanya sendiri.

Gadamer yang juga sedikit banyak bertolak dari pemikiran Hegel dan Heidegger berpendapat

bahwa suatu kebenaran tidak dapat diukur hanya dari hubungan faktualnya terhadap fakta dan

kongruensi, dan tidak juga mengandalkan konteks kebenaran tersebut.

Pada akhirnya, kebenaran mengandalkan hubungannya dengan sang pembicara, karena makna

sebuah kalimat tidak selalu sesuai dengan yang tersurat. Kebenaran tersebut dapat diketahui jika

mengikuti sejarah dari motivasi dan dampak kebenaran tersebut. Dari sinilah Gadamer mendapat

pengetahuan tentang hermeneutika. Warisan dari Dilthey yang dileburkan dengan fenomenologi

Husserl.

Bagi Gadamer, proses berfilsafatnya bukan soal menjadi murid Hegel, melainkan melengkapi

dan menantang pemikiran-pemikiran Hegel. Di bawah tantangan ini, pengalaman dasar

Page 3: Hermeneutika - The Heritage of Hegel

hermeneutika mulai terungkap sebagai universalitas bahasa kita. Bahasa secara konstan membuat

dunia (universe) menjadi konkret. Oleh karenanya, hermeneutika menukar fungsinya sebagai

metode sejarah, menjadi bentuk filsafat yang dapat dideterminasi.

Dalam karakter linguistik terhadap dunia, kita berada dalam sebuah proses atau tradisi yang

menjadikan kita penanda sejarah. Bahasa bukan alat instrumental, melainkan elemen dimana kita

hidup dan tidak dapat kita anggap sebagai objek hingga tidak lagi ada di sekitar kita.

Hermeneutika pada dasarnya harus menyingkapkan kebenaran struktur tatanan bahasa

(universality) disetiap penggunaan kalimat-kalimat dalam bahasa yang digunakan manusia, atau

lebih bagusnya, menyingkapkan kebenaran itu sendiri karena bahasa membuat kita sebagai

manusia berpikir, memunculkan pengalaman tersendiri bagi manusia di dunia.

Bahasa lah yang menghasilkan terminologi dimana sesuatu itu ada secara nyata. Bahasa

bukanlah alat instrumental, alat yang digunakan, namun merupakan elemen yang hadir selama

kita hidup — dikehidupan kita sehari-hari, dimana tanpanya kita tidak bisa mengobjektifikasi

apapun yang ada disekeliling kita. Dengan bahasa kita tahu bahwa ada benda bernama burung,

ada perasaan bernama sayang, dan lain-lain.

Bahasa juga contoh yang paling sempurna dari apa yang kita alami sehari-hari. Bahasa

mengelilingi kita dengan pengucapan kata yang kita ucapkan — ucapan yang hadir dalam

diskursus universial manusia (ta legomena). Karena ta legomena, bahasa membentuk ruang

kebebasan manusia. Meskipun filsafat Hegel memberi warisan mengenai kebebasan idealisme

masih abstrak, meskipun kebebasan itu nyatanya memang hak untuk setiap individu — yang

memang Hegel rancang sebagai tujuan dari sejarah dunia ini, meskipun kontradiksi antara apa

yang nyata dengan apa yang rasional tidak bisa dipecahkan adanya, namun itu semua

membuktikan bahwa ada kebebasan bagi umat manusia terutama dalam berpikir. Kegiatan

berpikir itu sendiri bisa muncul secara alamiah ataupun paksaan dari keadaan kita, namun,

kebebabasan bagi manusia itu ada karena kita melakukan kegiatan pengambilan keputusan, kita

bisa merasakan harapan dan ketakutan berdasarkan apa yang kita ingin rasa, disitulah manusia

berpindah ke ruang kebebasan. Ruang kebebasan ini bukanlah ruang kebebasan yang dinikmati

secara abstrak, namun ruangan ini dipenuhi oleh realitas yang hadir karena familiarity, yang

dihasilkan oleh bahasa, yang bahasa membuat segalanya menjadi familiar dimata manusia.

Page 4: Hermeneutika - The Heritage of Hegel

Untuk itulah, pemikiran Hegel harus diapresiasi. Ia pernah mengatakan, “buatlah diri kalian

seperti dirumah sendiri.” Maksudnya, kebebasan yang dirasakan oleh individu haruslah

menciptakan kenyamanan di lingkungan sosial dan perilaku individu itu sendiri, seperti layaknya

dirumah sendiri. Bebas.

Enigma dari kebebasan manusia sama seperti rasionalitasnya, kita terus memperdebatkan

pemikiran kita karena kebenaran absolut seperti yang diungkapkan Hegel sangat utopis, sehingga

mustahil bagi logika manusia untuk berhenti berpikir. Dan enigma itu terdiri dari kode-kode

bahasa untuk membantu kita mencari pengertian yang pas dari hasil berpikir. Dan tentu, kita

harus tahu bahwa kita bukanlah Tuhan, kita hanyalah manusia yang memiliki batasan. Maka dari

itulah self-knowledge menjadi suatu peringatan bahwa kita sebagai manusia punya batasan,

bukanlah sebagai makhluk sempurna yang mengetahui segalanya.

Pemikiran Hegel membantu kita bahwa menghadapi pengalaman dimana kita harus mengetahui

kondisi historis diri kita sendiri, kita menghadapi diri dalam seni, agar kita mendapatkan manfaat

sosial. Kita menghadapi tantangan dimana kita masih mempercayai agama disaat kita hidup di

masa ilmu pengetahuan adalah segalanya. Untuk itulah gunanya berpikir, agar kita mengetahui

jawaban dari kontradiksi pemikiran kita dengan tradisi filosofis.