Health Services System Design
description
Transcript of Health Services System Design
i
RANCANGAN
SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
DI KABUPATEN/KOTA PADA ERA DESENTRALISASI
Dr. YOSRI AZWAR, M.Kes.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI i
A. SISTEM PELAYANAN KESEHATAN MASA DEPAN 1
B. KERANGKA HUKUM DAN PERUNDANGAN 4
C. GABUNGAN PEMERINTAH DAN SWASTA 5 1. Rumah Sakit & Puskesmas Sebagai Perusahaan Umum 5 2. Obat-obatan 9
D. PENDANAAN DAN TARGETING 11 1. Berbagi Biaya Tarip Pengguna 12 2. Penyempurnaan Target Subsidi 17 3. Mendorong Segmen Individu 21 4. Menghapus Subsidi Peserta ASKES 21 5. Menghapus Subsidi Pengobatan Tingkat Lanjut dan Rumah Sakit 22 6. Strategi dengan Mekanisme Block Grant 23
E. KESINAMBUNGAN DAN MOBILISASI DANA 26 1. Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu 26 2. Proses Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu 26 3. Mobilisasi Sumber Daya 30 4. Pembayar Pihak Ketiga 31
F. PENGEMBANGAN ORGANISASI 32
G. PENGEMBANGAN KEMAMPUAN SUMBER DAYA MANUSIA 34 1. Mengapa Pengembangan Kemampuan 34 2. Dimana Kemampuan SDM Harus Diperkuat? 35 2.1. Memperkuat Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota 36 2.2. Kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota 38 2.3. Kemampuan DPRD 39 2.4. Puskesmas dan Praktek Pribadi 39 2.5. Pengembangan Kemampuan SDM Rumah Sakit 40 2.6. Institusi Pelatihan/ Pendidikan 41 2.7. Organisasi Profesi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs) 41
H. ARAH KE MASA DEPAN 42 1. Mensosialisasikan Rancangan Sistem Kesehatan 42 2. Advokasi Perubahan Peraturan Yang Diperlukan 42 3. Pengembangan Sistem Kesehatan 42
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
1
A. SISTEM PELAYANAN KESEHATAN MASA DEPAN
Pandangan Umum
Terbatasnya sumberdaya di sektor pemerintah membawa konsekuensi bahwa
penggunaan sumberdaya tersebut harus lebih efisien dan efektif. Rancangan sistem
pelayanan kesehatan berikut ini memberikan gambaran bagaimana hal tersebut dapat
dicapai. Disamping melakukan perubahan pada organisasi dan pelaksanaan kegiatan
yang diperlukan, faktor kontekstual yang memberi kesempatan dikembangkannya
sistem ini adalah iklim desentralisasi yang membawa perubahan-perubahan dalam pola
pendanaan, perencanaan dan pengambilan keputusan di daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan undang-undang No. 32 & 33 tahun 2004, maka dinas kesehatan,
rumah sakit dan puskesmas pada tingkat kabupaten/kota akan mengambil peran penting
sektor kesehatan. Mekanisme pendanaan di waktu yang akan datang dapat kita lihat
pada gambar A.1. Hal ini lebih sederhana dan lebih transparan daripada sistem yang
ada sekarang. Melihat adanya kekurangan disana sini, baik dalam hal sistem maupun
kemampuan (capacity) pada tingkat kabupaten/kota, maka rancangan sistem ini akan
memberi masukan-masukan dan perubahan-perubahan secara menyeluruh.
Rancangan ini memperkenalkan bentuk pelayanan kesehatan yang akan
dilakukan melalui sektor publik dan swasta, namun lebih mengarah kepada bentuk yang
terintegrasi dan bukan terpisah-pisah seperti yang ada sekarang. Rumah sakit dan
puskesmas akan mampu mengelola penghasilan mereka sendiri dan menggaji staf
mereka secara purna waktu baik di puskesmas maupun rumah sakit tanpa praktek
pribadi. Pemakaian obat-obatan akan lebih efisien dengan harga yang lebih rendah dan
lebih terjangkau oleh masyarakat.
Agar sistem dapat berjalan, maka dibutuhkan berbagai kemampuan dan keahlian
baik pada tingkat Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas bahkan juga di lingkungan
Pemda dan DPR, untuk itu rancangan ini juga mengajukan rencana dalam hal
pengembangan/ peningkatan kapasitas-kapasitas yang diperlukan.
Sumber daya sektor pemerintah yang terbatas akan jauh lebih efektif bila
diarahkan kepada pelayanan yang bersifat layanan umum (public goods) dan untuk
perlindungan masyarakat miskin. Rincian yang lebih detail tentang siapa melakukan apa
akan diputuskan kemudian. Dengan kerangka konsep ini, berbagai jenis pelayanan
tersebut akan dipisahkan kedalam 3 tingkatan:
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
1
Pelayanan umum (public goods);
Pelayanan kesehatan dasar dan
Pelayanan rumah sakit,
Metode pembayaran pada tiap tingkatan dapat lebih fleksibel, namun dianjurkan
agar pemerintah hanya akan membiayai bentuk-bentuk pelayanan yang bersifat public
goods, pelayanan rumah sakit akan dibiayai secara pribadi oleh masyarakat sedangkan
pelayanan kesehatan dasar di puskesmas akan dibiayai secara bersama (pemerintah
dan masyarakat) dengan mekanisme tertentu (subsidi silang) yang ditujukan untuk
perlindungan terhadap masyarakat miskin.
Pada 2 bentuk pelayanan yang pertama yaitu ‘pelayanan umum’ dan ‘pelayanan
kesehatan dasar’ terdapat apa yang disebut dengan Paket Pengobatan Dasar dengan
estimasi biaya pada tingkat-tingkat tertentu dan model pembiayaan di mana bentuk
pelayanan tertentu dapat ditambah atau dikurangi dan biaya untuk kepentingan umum
disesuaikan terhadap situasi dan kondisi di daerah kabupaten/kota.
Penerapan secara institusi dari pola pendekatan perencanaan dan pendanaan
kesehatan yang terintegrasi akan menjamin terjadinya kesinambungan (sustainability)
dan mobilisasi sumber daya yang ada di masyarakat, diketahuinya kebutuhan yang akan
dibiayai dan sumber daya akan diupayakan untuk itu. Bila sumber daya tadi tidak dapat
diupayakan, maka perencanaan harus dirubah dan disesuaikan.
World Bank telah menghitung biaya pelayanan kesehatan rata-rata di provinsi
Sumatera Utara sebesar US$. 5 per orang per tahun. Biaya sebesar US$. 5 tersebut
dihitung atas biaya obat-obatan dan rata-rata kunjungan per orang per tahun. Kalau
jumlah ini digandakan, maka biaya keseluruhannya akan mencapai US$. 6,7 per kapita
dan kalau harga obat digandakan, maka biayanya akan meningkat menjadi hampir US$.
10 per kapita.
Namun ada kemungkinan bahwa sistem yang akan dikembangkan memerlukan
biaya yang lebih besar dari yang ada sekarang ini. Pada tahun 1993 World Bank telah
menghitung bahwa paket pengobatan dasar di negara miskin sudah mencapai US$. 12
per kapita. Dan dalam 10 tahun terakhir hal ini belum banyak berubah, pendanaan oleh
pemerintah pusat adalah merupakan salah satu bagiannya.
Jadi selama ini sebenarnya kita bekerja dalam situasi sumber daya yang tidak
mencukupi sama sekali dan hal ini telah berlangsung untuk sekian lama. Dengan
desentralisasi, tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota seharusnya lebih besar lagi
terhadap kebutuhan-kebutuhan kesehatan masyarakatnya dan harus mengalokasikan
sumber daya yang lebih banyak lagi untuk itu.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
2
Gambar A1. Pendanaan Kesehatan di masa depan
PEGAWAI NON
MISKIN MISKIN
GRATIS Gratis untuk Paket Dasar
Tarif Pelayanan: - Harga Satuan (unit cost) - Kemampuan membayar
(ability to pay)
PIHAK KETIGA:
- Bapel JPKM - PT. ASKES - JAMSOSTEK
- Employers - Dll
DINAS KESEHATAN
- Contract - Capitation - Fee for Service - Budgeting
BUPATI/ WALIKOTA
DPRD
- Advocacy - IHPB PAD
DAK
DAU
APBD
- Plan & Bgt. utk pelayanan umum - Plan & Bgt. utk penduduk miskin - Obat-obatan dari sumber lain
- Hubungan kontrak - Dll
Contract
Premium subsidy for the poor
PUSKESMAS RUMAH SAKIT
PRAKTEK DOKTER
PRAKTEK BIDAN
GUBERNUR
KABUPATEN/ KOTA
PUSAT/ PROVINSI
PRIVATE GOODS PUBLIC GOODS
PLN
APBD PROV
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
3
B. KERANGKA HUKUM DAN PERUNDANGAN
Pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap penerapan seluruh undang-
undang termasuk undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 yang menata ulang
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat akan mengumpulkan
sendiri perolehan dan bagiannya, dan membagi hasil ke daerah melalui mekanisme DAU
(block grant). Pemerintah pusat menjamin keseimbangan yang pantas dalam
pembagian ini. Pada tingkat provinsi Dinas Kesehatan Provinsi dibutuhkan untuk
menjamin implementasi dan perimbangan antar kabupaten/kota. Bappeda
mempertahankan fungsi koordinasinya dan dinas kesehatan provinsi akan menjadi
pelaksana bila kabupaten/kota menyatakan tidak mampu melaksanakannya.
Mengamati Penerapan Program-program. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus
lebih otonom dalam menentukan bentuk dan jangkauan pelayanan kesehatan dan harus
lebih bebas lagi menentukan besarnya tarip dan biaya operasionalnya. Bupati dan
kepala dinas kesehatan diharapkan dapat membuat perencanaan berikut anggaran
biaya untuk pemakaian sumber-sumber daya yang ada dan bertanggung jawab untuk
mengamati penerapannya dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh daerah. Staf
akan bertanggung jawab kepada mereka disamping juga harus bertanggung jawab
kepada masyarakat dan DPRD.
Pengembangan Peraturan Perundangan dan Penerapan Program. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota akan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengembangan
sistem kesehatan, penerapan program-program kesehatan, perlindungan masyarakat
miskin selama penerapan dan mengevaluasi dampaknya. Mencatat dan melaporkan,
walau mungkin tidak sesulit di masa lalu, tetapi tetap diperlukan di masa depan.
Supervising Staff. Kepala dinas dan direktur rumah sakit harus mampu (mungkin untuk
yang pertama kalinya) melakukan supervisi, mempekerjakan dan memberhentikan
pegawainya atau dalam hal lain mengatur fungsi personal secara keseluruhan.
Beberapa aspek penting yang memerlukan pendekatan untuk dapat dimasukkan ke
dalam peraturan daerah adalah sebagai berikut:
Melindungi pembiayaan anggaran kesehatan dengan menjamin jumlah minimal
peruntukan dana bagi sektor kesehatan (minimal 10% dari APBD);
Memberikan kewenangan kepada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit untuk
mempekerjakan dan memberhentikan pegawai;
Memberikan kewenangan kepada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit untuk
mengelola sendiri pendapatannya.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
4
C. GABUNGAN PEMERINTAH DAN SWASTA
C.1. Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai Perusahaan Umum
Rumah Sakit dan Puskesmas merupakan pemberi pelayanan kesehatan utama
dalam sistem pelayanan kesehatan pemerintah. Di daerah kabupaten/kota ada unit
pelayanan puskesmas di bawah kendali pemerintah daerah. Masalah tidak efesiennya
puskesmas, dapat disimpulkan oleh karena disebabkan adanya kompleksitas berbagai
masalah sebagai berikut:
Terlalu banyak program (18 program) dengan jalur anggaran dan administrasi
yang berbeda;
Hanya 12 program saja sebenarnya yang dapat benar-benar dilaksanakan;
Hanya dibiayai melalui pendanaan operasional dan pemeliharaan;
Rendahnya motivasi staf khususnya di kalangan dokter-dokter PTT;
Skala penggajian yang tidak bisa bersaing dengan pendapatan dari praktek
pribadi;
Terlalu banyak formulir yang harus diisi untuk sistem informasi kesehatan, tidak
ada analisa yang sistematis atau feed back dari tingkat administrasi yang lebih
tinggi;
Beban kerja untuk mengawasi Posyandu adalah substansial (rata-rata 2
kunjungan lapangan yang harus diselesaikan setiap hari);
Pemanfaatan (utilisasi) rata-rata sangat rendah, hanya 5-20 pasien perhari
dengan jumlah staf rata-rata 26 orang;
Kurangnya kewenangan untuk menjaring potensi pasar;
Tidak memiliki kewenangan resmi untuk mengelola sendiri pendapatannya.
Di masa lalu setiap masalah dilihat secara sendiri-sendiri (tidak komprehensif).
Masalah-masalah yang berkaitan dengan informasi diatasi dengan melakukan
perubahan pada pedoman. Beban kerja yang berat hanya diatur melalui “Mini
Lokakarya“ setiap bulannya diantara staf-staf puskesmas. Inisiatif-inisiatif untuk
memodifikasi sistem yang salah itu dilakukan oleh Depkes Pusat, biasanya dalam
bentuk proyek percobaan di tempat-tempat tertentu. Puskesmas, dinas kesehatan
kabupaten/kota bahkan dinas kesehatan provinsi tidak mengambil inisiatif tersebut
sebab kebijakan dan prosedur dibuat pada tingkat pusat.
Kenyataannya, pendekatan pemecahan yang sepotong-sepotong seperti itu tidak
berjalan dengan baik sebab tidak mampu melihat kepada inti permasalahannya secara
menyeluruh. Masalahnya adalah tidak adanya kewenangan pada tingkat puskesmas
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
5
untuk mengkonsolidasikan permasalahan, anggaran, memobilisasi sumber daya dari
pasar potensial dan merancang bentuk pelayanan yang memang dibutuhkan oleh
penduduk dan masyarakatnya.
Desentralisasi telah membuka cakrawala baru untuk memikirkan perbaikan secara
radikal. Gagasannya ialah merubah bentuk puskesmas dan rumah sakit menjadi bentuk
badan usaha atau perusahaan umum (public enterprise) yang strategis. Dalam konsep
ini rumah sakit dan puskesmas hampir secara keseluruhan menjadi badan usaha
(business units). Gambaran mengenai model baru tersebut adalah sebagai berikut:
Rumah sakit dan puskesmas seperti saat ini akan dimiliki oleh pemerintah daerah
dan ditugaskan untuk menjalankan program kesehatan pemerintah. Program-
program tersebut sebagai contoh meliputi kesehatan lingkungan, pengendalian
vektor, imunisasi dan beberapa pelayanan kesehatan dasar. Sebagai tambahan
fasilitas-fasilitas tersebut juga melayani masyarakat miskin. Untuk hal ini rumah sakit
dan puskesmas akan dibiayai secara penuh oleh pemerintah daerah. Anggaran biaya
untuk program-program kesehatan masyarakat akan dialokasikan oleh dinas
kesehatan, akan tetapi untuk pembayaran bagi fungsi pelayanan masyarakat miskin
dapat dilakukan melalui sistem kapitasi.
Puskesmas akan membuka kliniknya baik pagi maupun dimalam hari. Klinik pagi hari
akan melaksanakan pelayanan seperti yang ditugaskan oleh pemerintah daerah,
termasuk kepada masyarakat miskin. Klinik malam hari akan memberikan pelayanan
dengan kualitas yang sama atau lebih baik daripada pelayanan oleh klinik/ praktek
dokter swasta yang ada sekarang ini. Semua penghasilan yang dikumpulkan akan
dikelola oleh puskesmas.
Hal yang sama juga diterapkan di rumah sakit. Rumah sakit memberikan pelayanan
dengan kelas-kelas yang berbeda (Kelas III, Kelas II, Kelas I, VIP dan seterusnya).
Masyarakat miskin seperti biasa akan dilayani di fasilitas kelas III secara gratis, dan
rumah sakit akan dibiayai secara keseluruhan dari anggaran pemerintah. Semua
pendapatan rumah sakit akan dikelola dan digunakan oleh rumah sakit untuk biaya
operasional sekaligus untuk insentif stafnya.
Baik puskesmas maupun rumah sakit akan menyiapkan anggaran biaya globalnya
yang berdasarkan kepada volume pelayanan, aktivitas proyek tahun depan dan biaya
satuan (unit cost) untuk aktivitas tertentu. Anggaran biaya ini akan dinegosiasikan
dengan dinas kesehatan untuk pengesahan. Kalau diakhir tahun, pendapatan yang
dikumpulkan melebihi anggaran biaya tersebut, maka akan ditransfer ke kas
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
6
pemerintah daerah. Namun sebagian dari kelebihan penghasilan tadi dapat
digunakan oleh rumah sakit atau puskesmas untuk membayar insentif.
Hal ini akan memotivasi rumah sakit atau puskesmas untuk menghemat biaya
(efisien) dan meningkatkan pendapatan baik dari klinik malam ataupun dari aktivitas
yang menghasilkan lainnya yang mungkin telah berkembang seperti mengadakan
kontrak dalam pelayanan dengan pihak ketiga.
Gaji staf sama dengan skala gaji pemerintah lainnya, namun demikian rumah sakit
atau puskesmas tadi akan menetapkan pula sistem insentif mereka sendiri dengan
kesepakatan staf dan didasarkan kepada hasil pekerjaan (kinerja) dari masing-
masing staf. Insentif ini bukan hanya diberikan kepada staf medis yang memberikan
layanan pada pasien tapi juga kepada semua staf lainnya yang melaksanakan
program kesehatan masyarakat dan mereka yang bekerja di unit-unit administrasi.
Sebagai suatu unit usaha, maka rumah sakit atau puskesmas dimungkinkan untuk
melakukan perjanjian (kontrak) dengan pihak ketiga atau perusahaan yang ingin
memberikan pelayanan kesehatan kepada karyawannya. Lebih jauh, puskesmas
beserta rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta bisa membentuk suatu
jaringan kerja “Puskesmas – Rumah sakit pemerintah – Rumah sakit swasta“ untuk
menjalankan program kesehatan pemerintah, memberikan pelayanan kepada
individu yang mau memilih pelayanan lain seperti misalnya melalui sistem asuransi.
Ada beberapa alternatif yang mungkin untuk bentuk kerjasama antara pemilik,
pemberi, pembayar dan pemakai jasa pelayanan (Gambar C1.).
[1] Model Unit Independent
Dalam model ini rumah sakit dan puskesmas beroperasi selaku perusahaan umum
dengan strategi bisnis yang independen, dimiliki oleh dinas kesehatan. Masing-
masing dibiayai secara terpisah oleh dinas kesehatan untuk program kesehatan
masyarakat dan pelayanan terhadap masyarakat miskin, dan masing-masing juga
menghasilkan pendapatan tambahan dari asuransi, para pengguna individu dan
pembayar pihak ketiga lainnya dengan sistem fee for service.
[2] Model Jaringan Kerja RS Pemerintah – Puskesmas
Rumah sakit dan beberapa puskesmas membentuk jaringan kerja, yang mana
puskesmas berfungsi sebagai pintu masuk (goal getter). Dalam hal ini rumah sakit
dan puskesmas mengembangkan suatu anggaran biaya dan rencana yang terpadu.
Dinas kesehatan membiayai jaringan kerja tersebut sebagai satu kesatuan yang
dengan cara sama jaringan kerja tersebut juga menghasilkan pendapatan tambahan
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
7
dari asuransi, para pengguna individu dan pembayar pihak ketiga lainnya dengan
sistem fee for service.
[3] Model Jaringan Kerja RS Pemerintah – RS Swasta – Puskesmas
Jaringan kerja bisa diperluas dengan melibatkan rumah sakit swasta. Keduanya,
rumah sakit pemerintah dan swasta menugaskan puskesmas untuk bertindak selaku
pintu masuk (goal getter). Model ini lebih rumit dan hanya mungkin untuk
dilaksanakan apabila kabupaten/kota memiliki rumah sakit swasta.
Gambar C1. Model hubungan antara pemilik, pemberi, pembayar dan pemakai
Expanded Network Model
Dinas Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
Asuransi, karyawan, pengguna individu
Puskesmas
Puskesmas
RS Swasta
Network Model
Dinas Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
Asuransi, karyawan, pengguna individu
Dinas Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
Asuransi, karyawan, pengguna individu
Puskesmas
Puskesmas
Independent Model
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
8
C.2. Obat-obatan
Obat-obatan adalah merupakan bagian pokok dari sistem pelayanan kesehatan.
Merupakan alat utama dalam pelayanan medis dan merupakan bagian pengeluaran
biaya yang terbesar. Penggunaan yang salah dan penyalahgunaan selalu terjadi pada
semua tingkat dan berakibat kepada pemborosan sumber daya dan bahkan berbahaya
bagi pasien. Tujuan keseluruhan adalah penggunaan obat-obatan yang aman, efektif
dan berkualitas baik dengan harga yang terjangkau. Kenyataan pada saat ini tujuan
tersebut masih belum tercapai.
Penggunaan Obat yang Rasional. Hal yang pertama dan utama berkenaan dengan
obat-obatan adalah penggunaannya secara rasional dan efektif. Walaupun belum
melakukan suatu uji kualitas tentang penggunaan obat yang rasional, akan tetapi banyak
contoh yang ditemukan yang menunjukkan penggunaan yang boros dari antibiotik dan
obat-obat lainnya dengan dosis dibawah dosis terapi. Untuk dapat menjamin adanya
penggunaan obat-obatan yang rasional maka ;
a. Perlu dikembangkan suatu sistem pengawasan di tingkat kabupaten/kota untuk
memonitor kualitas pengobatan;
b. Oleh karena sebagian besar pelayanan dilaksanakan di luar jam kerja (pada sore
hari) yang sepenuhnya berada di luar pengawasan. Dengan menyatukan pelayanan
umum dengan swasta/ pribadi, maka hal tersebut di atas akan teratasi.
Dalam garis besarnya, rancangan sistem ini memiliki beberapa karakteristik:
1. Kerangka kerja menyeluruh untuk menjamin obat-obatan yang beredar adalah
cocok, efektif dan berkualitas baik serta terjangkau adalah merupakan tanggung
jawab pemerintah pusat yang berwenang untuk:
a. Menentukan kebijaksanaan obat nasional
b. Memperbaharui daftar obat esensial dan standar/pedoman pengobatan
c. Registrasi dan jaminan kualitas terhadap obat-obatan import dan lokal
2. Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban untuk mematuhi pedoman tersebut.
Hal ini akan menghindari adanya duplikasi dan fragmentasi yang dapat
menimbulkan pemborosan seperti halnya pada sistem yang ada sekarang. Daftar
obat esensial dan standar/pedoman pengobatan yang disahkan harus berdasarkan
kepada kebutuhan sesuai angka kesakitan dan program prioritas di daerah.
Fasilitas pelayanan kesehatan akan memperoleh obat-obatan dari gudang farmasi
dinas kesehatan daerah. Dengan demikian kesulitan dalam menghitung kebutuhan
tahunan secara akurat yang berulang setiap tahun dapat dihindarkan.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
9
3. Rumah sakit. Pada saat sekarang ini rumah sakit menghindar dari pengadaan obat-
obatan untuk pasiennya, kecuali obat-obatan untuk peserta ASKES dan PKPS-
BBM. Hal ini mengakibatkan pasien harus membeli sendiri dari apotik di dalam atau
di luar rumah sakit dengan harga yang mahal. Rancangan sistem ini menyarankan
agar rumah sakit mengambil tanggung jawab untuk menyediakan dan menjual obat-
obat generik dan menarik keuntungan yang wajar.
Rumah sakit seharusnya dapat membeli obat dari gudang farmasi dinas kesehatan
kecuali kalau ada sumber lain yang lebih murah dengan kualitas yang sama. Ada
dua implikasi dalam hal ini ; pertama pasien memperoleh obat-obatan dengan harga
lebih murah dan kedua rumah sakit memiliki sumber pendapatan untuk membantu
aktivitasnya. Pasien-pasien yang miskin perlu dibebaskan dari beberapa biaya (ini
ditentukan secara lokal) tetapi pemasok obat perlu dibayar.
4. Puskesmas. Pada saat sekarang tidak menjual obat, seharusnya puskesmas juga
memakai sistem yang sama seperti yang diusulkan untuk rumah sakit dengan
mekanisme perlindungan yang lebih luas untuk masyarakat miskin. Sekarang ini
sebagian besar dari pasien puskesmas bukanlah dari golongan orang yang miskin
dan mereka seharusnya membayar untuk pelayanan yang bersifat pribadi (private
goods). Sistem ini akan cocok sekali dengan rencana untuk merubah puskesmas
menjadi perusahaan umum. Pendapatan dari apotik puskesmas bisa digunakan
untuk puskesmas. Puskesmas seharusnya membeli obat dari gudang farmasi dinas
kesehatan kecuali kalau ada yang lebih murah di tempat lain.
5. Dinas Kesehatan. Harus memiliki berbagai kemampuan seperti:
a. Mampu berperan sebagai pedagang besar farmasi, dimana mereka
menyediakan stok obat-obatan generik esensial dan menjualnya ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan harga yang relatif lebih murah. Keuntungan
dapat menutupi kenaikan harga dan tidak semata-mata bergantung kepada
kekayaan daerah. Ini berarti bahwa keterampilan dalam menjalankan fungsi
sebagai pedagang besar farmasi, meramalkan tuntutan dan kebutuhan obat
tahunan, adalah merupakan hal yang sangat dibutuhkan.
b. Mampu untuk melatih dan menyelia cara penyimpanan dan penggunaan obat
secara rasional pada fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten/kota.
6. Perbekalan (Procurement). Oleh karena itu dinas kesehatan perlu menyediakan
obat yang cukup banyak untuk kebutuhan semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Harus mampu meramalkan kebutuhan tetapi bukan mendikte. Volume obat yang
dapat dibeli dengan jumlah dana yang sama akan jauh lebih banyak bila dilakukan
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
10
melalui tender terbuka (mungkin Internasional) yang kompetitif. Akan tetapi isu
tentang siapa yang akan melaksakannya dalam hal ini ada 2 kemungkinan:
a. Menggabungkan order-order pembelian dalam satu pengadaan akan menjadi
lebih ekonomis. Ini dapat dilakukan oleh dinas kesehatan melalui suatu kontrak
dengan pihak Provinsi atau dengan agen lain yang profesional.
b. Mendorong pertumbuhan apotik dan pedagang besar farmasi di daerah, akan
membuat obat lebih banyak tersedia dengan harga yang relatif lebih murah,
sehingga dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan
dapat lebih menyederhanakan proses pengadaan.
7. Meningkatkan kesadaran masyarakat. Dengan promosi kesehatan yang aktif
tentang keuntungan menggunakan obat generik, pentingnya memilih obat dan dosis
yang tepat serta harga yang bersaing akan membantu menekan harga jual apotik
yang tinggi (berlebihan) seperti sekarang ini.
8. Di daerah terpencil, dimana sering dijumpai kekurangan obat di apotik, maka toko
obat yang menyediakan stok obat esensial yang dibutuhkan secara tidak resmi
harus dilegitimasi (diakui) dan dengan demikian menjadi tanggung jawab dan
dibawah pengawasan dinas kesehatan.
D. PENDANAAN DAN TARGETING
D.1. Berbagi Biaya (Cost sharing)/ Tarip Pengguna
Program tarip pengguna (user fee) yang akan diterapkan di kabupaten/kota sangat
strategis untuk beberapa alasan. Pertama, tarip akan menghasilkan pendapatan yang
memang sangat dibutuhkan oleh sistem kesehatan. Kedua, tarip dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk mendorong masyarakat agar lebih efisien dalam
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Tarip yang lebih tinggi untuk pelayanan
yang lebih canggih akan mendorong masyarakat untuk memilih pelayanan pada tingkat
yang lebih rendah. Akhirnya pengurangan tarip atau penghapusan tarip secara penuh
adalah hanya dilakukan untuk pelayanan terhadap masyarakat miskin.
Ada beberapa hal yang mungkin akan menjadi masalah dengan pelaksanaan
program “user fees”. Tarip yang tinggi menjadikan pelayanan tertentu tidak laku, tidak
adanya penghasilan untuk membayar insentif staf akan berakibat menurunnya perhatian
terhadap masyarakat miskin dan pelayanan akan diutamakan untuk golongan yang tidak
miskin. Untuk menghindarkan timbulnya dampak negatif dan mendorong keseimbangan
pelayanan, beberapa prinsip berikut perlu diperhatikan:
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
11
Tabel 1. Prinsip-prinsip program “user fees”
Principle of graduated fee levels. Tarip harus ditetapkan lebih rendah untuk tingkat dan fasilitas pelayanan yang lebih rendah pada sistem kesehatan untuk mendorong penggunaan yang efisien.
Principle of local retention and control. Fasilitas pelayanan harus dibenarkan untuk mengutip penghasilannya dan menggunakannya sesuai kebutuhan tetapi dengan pedoman yang ditetapkan oleh pimpinan.
Principle of price differentiation and cost recovery. Pemerintah kabupaten/kota harus mendorong fasilitas pelayanan untuk lebih meningkatkan penghasilan dari pelayanan fee-for-service dengan berbagai upaya yang mungkin sejauh tidak mengganggu pelayanan terhadap masyarakat miskin atau menciptakan insentif yang tidak benar. Tarip pelayanan pada ruang perawatan Kelas I, II dan VIP harus melebihi total biaya sedangkan tarip pada ruang perawatan Kelas III mendekati total biaya. Pelayanan terhadap masyarakat miskin harus gratis atau dengan tarip yang terendah. Dalam hal ini prinsip subsidi silang positif (positive cross subsidies) dapat digunakan untuk menutupi kekurangan beberapa pelayanan dengan kelebihan dari pelayanan yang lain. Untuk mencapai tingkat ‘price differentiation’ ini, setiap fasilitas pelayanan harus mengetahui apa itu full cost dari satu jenis/ bentuk pelayanan sebelum menetapkan tarip dan menentukan kebijaksanaan.
Principle of multiple targeting mechanisms for public subsidies. Menetapkan seseorang menjadi penerima subsidi akan berakibat kepada biaya yang tinggi dan dapat menjadi suatu kesalahan (contoh orang yang tidak miskin menerima kartu miskin). Cara multiple targeting dapat dipakai untuk ini.
Principle of subsidizing services with public good characteristics. Tarip yang dibebankan untuk pelayanan yang bersifat umum (public goods) seperti imunisasi, KB dan lainnya harus dihapuskan, atau dengan subsidi untuk meningkatkan cakupan.
Threat of dual standards of care. Seluruh pasien harus terjamin memperoleh mutu pelayanan yang sama untuk paket pelayanan dasar. Standar ganda kalau ada harus didasarkan kepada pelayanan yang bersifat sekunder dan tertier misalnya servis kamar, bukan kepada pelayanan esensial.
Principle of horizontal and vertical fee imbalance. Pemerintah kabupaten/kota harus menetapkan tarip dengan memperhatikan tarip pesaing yang berdekatan untuk jenis dan tingkat pelayanan yang sama. Apabila tarip lebih tinggi, maka pasien akan datang ke tempat pesaing yang lebih murah.
Principle of service department accountability. Setiap unit pelayanan harus benar-benar akuntabel terhadap setiap tarip dari tiap jenis pelayanan yang dihasilkan oleh unit tersebut. Pada pandangan ini setiap unit adalah bagian dengan inputs, outputs dan hasil masing-masing. Catatan pada tiap unit harus menggambarkan a) total service yang dihasilkan; b) total cash value dari service yang dihasilkan (volume times fee); c) total cash received; d) cash value of subsidized or free service rendered. Dalam hal ini hasil yang diharapkan dapat dibandingkan dengan hasil sebenarnya dan unit pelayanan bertanggung gugat atas selisih yang terjadi.
Principle of transparency and full disclosure. Penghasilan dikumpulkan dengan terbuka dan setiap pembayaran harus disertai tanda terima. Seluruh transaksi harus resmi dan semua penghasilan dihitung dan disetor ke bank sedapat mungkin pada hari yang sama. Penggunaan hasil secara langsung sebelum penghitungan dan penyetoran tidak diperkenankan.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
12
Principle of neutral provider incentives. Banyak negara menggunakan sistem dimana insentif dihubungkan dengan tarip dan volume pelayanan yang dihasilkan. Sebagai contoh ; seorang apoteker memperoleh penghasilan hanya bila menjual obat, dan penghasilannya berbandiing langsung dengan jumlah dan harga obat yang terjual. Dalam contoh lainnya, seorang petugas akan memperoleh insentif yang lebih besar dengan memberi pelayanan kepada pasien yang bayar daripada pasien yang tidak bayar. Karena jenis pelayanan umum biasanya taripnya murah atau gratis sama sekali, insentif juga akan berkurang dan di sisi lain mereka harus mengurangi waktu untuk pasien yang tidak membayar dan tidak mendatangkan penghasilan. Pada prinsipnya, insentif petugas harus sedikitnya netral bila dihadapkan kepada pelayanan yang gratis seperti KB. Maka sebaiknya petugas harus memperoleh insentif untuk melakukan pelayanan seperti itu.
Principle of fees for service. Beberapa fasilitas pelayanan mengalami kehabisan stok bagi kebutuhan pokok pasien seperti obat-obatan dan alat medis. Dalam hal dimana keadaan tersebut terjadi, maka treatment fees lebih tepat daripada consultation fees. Walau administrasinya sulit dan mahal, treatment fees lebih tepat dan mendatangkan kepuasan terhadap pasien dalam jangka pendek. Orang lebih senang membayar untuk komoditi, bukan untuk konsultasi.
Principle of accountability for revenue earned, not just cash received. Kebanyakan pelayanan memiliki nilai cash sesuai tarip yang dikenakan. Sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah pada umumnya cash-based dan titik beratnya hanya pada cash received dari pelayanan dan bukan cash value dari pelayanan tersebut. Petugas harus bertanggung gugat terhadap semua hasil yang diterima, bukan hanya cash yang diterima.
Principle of public information. Masyarakat harus diberitahu tentang perlunya user fees, metode pembayaran dan tingkat harga. Daftar tarip harus ditempelkan dan tanda terima harus dikeluarkan pada waktu pembayaran. Kelompok sasaran harus diberitahu tentang klaim dan cara melakukannya. Sistem pembayaran/klaim yang dirancang baik tetapi tidak diketahui oleh orang bukanlah mekanisme yang efektif untuk melindungi masyarakat miskin.
Rancangan ini merekomendasikan agar ‘user fees’ digunakan secara strategis
untuk dapat: a) melindungi penduduk miskin melalui seleksi individu, geografis dan
karakteristik target; b) merealisasi penghasilan secara maksimal dari penjualan
pelayanan yang bersifat pribadi (private goods); c) mendorong penggunaan pelayanan
yang efisien dengan penetapan tarip yang relatif; dan d) mendorong penggunaan
pelayanan yang bersifat umum (public goods) dengan membayar tarip. Beberapa
rekomendasi berdasarkan hal-hal di atas adalah:
Menyetujui prinsip cost sharing. Dinas kesehatan harus memperhatikan prinsip-
prinsip di atas, menyetujui sebagian atau keseluruhannya, atau merubahnya. Program
user fees akan dilaksanakan dengan mengingat prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip
tersebut harus mempengaruhi bentuk sistem tersebut.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
13
Mencatat ‘full cost’ pelayanan dan menentukan tarip.
Idealnya besarnya tarip pelayanan adalah sama dengan besarnya full cost dari
pelayanan tersebut. Akan tetapi untuk mencapai cakupan pelayanan yang tinggi atau
untuk melindungi masyarakat miskin, tarip perlu ditentukan lebih rendah dari cost atau
tanpa cost. Beberapa pelayanan pribadi (private service) yang murni sebaliknya dijual
dengan tarip full cost atau lebih besar untuk dapat menghasilkan tingkat subsidi (degree
of cost subsidy) tertentu. Dalam rangka menentukan tarip dan meningkatkan
penghasilan, maka full cost dari setiap jenis pelayanan harus diketahui dan menjadi
dasar dari perhitungan tarip tersebut. Apabila pengurangan tarip harus dilakukan, maka
besarnya tingkat subsidi harus diketahui pula.
Menetapkan tarip tertentu untuk pelayanan tertentu. Seperti disebutkan di atas
bahwa beberapa pelayanan diberikan tanpa tarip, dan yang lainnya dengan tarip yang
tinggi. Dinas harus mempelajari bentuk-bentuk pelayanan tersebut dan menentukan
pelayanan mana yang bersifat pelayanan umum (public goods), yang mana bersifat
pelayanan pribadi murni (purely private goods) dan yang mana bersifat di antaranya.
Pelayanan umum akan disubsidi, sementara pelayanan pribadi akan dijual untuk
menutupi pembiayaan.
Pemerintah kabupaten/kota harus mempertimbangkan untuk hanya menjual beberapa
jenis pelayanan, dan memberikan pelayanan lainnya secara gratis. Menawarkan secara
gratis bentuk pelayanan dimana taripnya sulit dikutip secara resmi. Sebagai contoh
pemerintah kabupaten/kota hanya mengenakan tarip bagi obat-obatan sementara untuk
konsultasi dan menulis resepnya ditiadakan. Masyarakat hanya mau membayar untuk
obat-obatan, sementara apabila hanya membayar untuk konsultasi dan resep mereka
akan merasa kurang senang. Jenis tarip ini disebut tarip obat (drug fee).
Mengurangi atau menghilangkan biaya pelayanan umum (public goods).
Untuk pelayanan-pelayanan penting yang ditujukan dalam rangka mencapai target-
target kesehatan masyarakat, tarip harus dihitung untuk tujuan yang maksimal. Hal ini
memerlukan pengurangan atau penghapusan tarip dan meniadakan klaim bagi bentuk
pelayanan umum murni.
Tarip bertingkat berdasarkan tingkatan sistem.
Tarip harus ditetapkan lebih rendah untuk tingkat yang lebih rendah dalam sistem. Untuk
mendorong penggunaan puskesmas sebagai contoh, maka tarip harus ditetapkan di
bawah cost. Hal ini akan memperbaiki tingkat efisiensi pemakaian. Untuk pelayanan
pribadi yang murni maka tarip dihitung dengan cost penuh atau lebih besar.
Menghitung kemampuan untuk suatu subsidi silang (cross subsidies).
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
14
Tentukan dasar standar minimal untuk setiap pelayanan. Lihat kemungkinan untuk
meningkatkan kenyamanan sehingga tarip yang lebih tinggi dapat ditarik. Tetapi
pastikan bahwa tarip ditetapkan di atas cost agar mampu menghasilkan subsidi silang.
Orang lebih suka membayar untuk pelayanan yang bersifat pribadi (private goods), dan
yang mampu akan membayar lebih besar dari yang miskin.
Menghitung insentif dasar dan melakukan penyesuaian terhadapnya.
Mengurangi atau menghapuskan insentif dasar bagi petugas-petugas yang dibayar
langsung (actual payment). (lihat Principles of Incentives)
Tarip Langsung (fees for services). Apabila obat, x-ray film dan pelayanan lain secara
rutin selalu habis, maka pemerintah harus mau mempertimbangkan untuk tidak
mengenakan tarip untuk konsultasi dan hanya untuk pelayanan yang benar-benar
diterima oleh pasien seperti obat, x-ray film, test laboratorium dll.
Berikut ini adalah sebuah contoh dari kabupaten/kota yang memakai sistem fee, untuk
memberikan gambaran bagaimana mencapai penghasilan yang maksimum dan
bersamaan dengan itu tercapai pula perbaikan tingkat efisiensi dalam pemakaian.
Contoh User Fee Policy
Tujuan: 1. Pengembalian modal yang tinggi dari tarip pemakai (user fees)
2. Efisiensi pemakaian
3. Kemampuan subsidi silang yang tinggi
Fee program
Tentukan target pengembalian modal (cost recovery) pada tingkat fasilitas, bukan
individu berdasarkan biaya penuh (full cost) dari semua pelayanan. Juga untuk
pelayanan yang disubsidi, tentukan tarip berdasarkan apa yang dibayar sebagai
contoh, pengembalian modal obat-obatan pada tingkat fasilitas (bukan individual)
Tentukan biaya subsidi dan pelayanan gratis yang diberikan
Bukukan semua pendapatan yang dihasilkan dari semua pelayanan, bukan hanya
terbatas pada pembayaran langsung (cash).
Tentukan target pendapatan dan pengeluaran.
Target pengembalian modal harus dihitung pada tingkat fasilitas, bukan individu.
Mengawasi pemasukan dan pengeluaran secara langsung di tempat pelayanan.
Tarip bertingkat
Tarip lebih tinggi pada tingkat yang lebih tinggi
Tarip lebih tinggi pada kualitas (kenyamanan) yang lebih tinggi
Pengurangan tarip hanya seperlunya dan pada tempatnya (tepat)
Penetapan tarip
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
15
Jual apa yang orang ingin beli, apa-apa yang menghasilkan uang
Jangan memberi tarip kepada pelayanan umum (public goods)
Tentukan daftar tarip yang mudah: tetapkan pada tarip rata-rata
Buat daftar tagihan yang simple
Hapuskan biaya konsultasi
Subsidi silang untuk pelayanan umum dari pelayanan pribadi pada tingkat fasilitas
Pendapatan dapat tinggal di tingkat kabupaten/kota
25% tinggal di fasilitas untuk subsidi pelayanan tertentu
50% tinggal di fasilitas kolektif untuk peningkatan mutu
25% tinggal untuk insentif staf yang didasarkan kepada beban kerja, dll
Besarnya Insentif
Hindarkan insentif yang didasarkan pada perawatan atau penjualan obat
Hindarkan insentif yang didasarkan pada penjualan individu
Tetapkan insentif berdasarkan produktivitas, kualitas dan efisiensi
Tetapkan insentif berdasarkan pelayanan terhadap kelompok target
Tetapkan insentif berdasarkan pelayanan prioritas walaupun pelayanan tersebut
tidak menghasilkan uang
Menentukan target pengembalian modal yang lebih tinggi pada tingkat sistem yang
lebih tinggi
Bebaskan biaya konsultasi pada tingkat Posyandu, Puskel, Pustu dan pelayanan pada
jam dinas di Puskesmas
Pelayanan gratis di Posyandu, Puskel
Pelayanan gratis pada jam kerja di puskesmas yang ditentukan, tetapi membayar
untuk harga (harga dasar) obat generik
Pengembalian modal secara penuh untuk obat generik di puskesmas sore hari.
Pengembalian modal dan keuntungan untuk obat paten di puskesmas sore hari.
Dan lain-lain
Mendirikan apotik (obat generik dan obat paten) di puskesmas dan rumah sakit
Menjamin konsistensi di setiap tingkat dalam sistem dan antar Daerah
Memberi peluang kepada bentuk pendapatan lainnya
Menjual obat-obatan di rumah sakit dan puskesmas
Menjual kacamata
Menjual obat-obat bebas
D.2. Penyempurnaan Target Subsidi
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
16
Ada beberapa prinsip dalam menentukan target yang dapat diikuti bila kita akan
melaksanakan program cost sharing yang akan menghasilkan pendapatan dan
pengembalian modal yang maksimal. Daftar prinsip ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Ada dua bentuk target yang bisa dipertimbangkan. Yang pertama mempertimbangkan
target penduduk miskin, memastikan penduduk miskin mampu mengakses pelayanan
kesehatan. Kedua target untuk pelayanan-pelayanan khusus yang menjamin akses dan
pengembalian maksimal (lihat Tabel 3. untuk bermacam-macam pilihan target).
Pada umumnya untuk pelayanan kesehatan masyarakat, diharapkan
menggunakan target global dan meniadakan tagihan. Dari itu pemerintah
kabupaten/kota harus memberikan beberapa pelayanan yang gratis kepada semua
orang setiap saat. Pengendalian vektor dan sanitasi lingkungan adalah contoh dari
bentuk pelayanan tadi. Pelayanan ini adalah pelayanan umum yang murni (pure public
goods).
Bagi pelayanan yang pada dasarnya bersifat pribadi namun memiliki karakteristik
pelayanan umum dan langsung kepada kelompok target yang spesifik, maka target yang
karakteristik dapat digunakan. Pengembangan Program Imunisasi (EPI) adalah contoh
yang tepat. Biaya imunisasi terhadap anak dibawah 5 tahun dapat dihapuskan selama
imunisasi dilakukan di Posyandu.
Untuk pelayanan yang murni bersifat pribadi (private goods), maka target secara
individual dapat diterapkan. Dalam hal ini dilakukan pengujian terhadap individu apakah
ia tergolong kedalam masyarakat miskin, dan kalau memang demikian maka individu
tersebut dilayani secara gratis atau di tingkat subsidi.
Dalam beberapa hal pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan mekanisme target
ganda (multiple targeting mechanisms) tergantung situasi, jenis pelayanan dan lokasi
(kombinasi dari target geografis, karakteristik dan personal).
Tabel 2.: Prinsip-prinsip Target
METODE TARGET DIGUNAKAN DI . . . . .
Individual targeting. Target individu
didasarkan kepada karakter tertentu dari
individu. Ini adalah mekanisme target yang
paling sering dipakai dan menjadi dasar
pertimbangan apakah biaya dikutip atau
dibebaskan. Walaupun demikian harus hati-
hati karena biaya pelaksanaan program akan
meningkat secara substantif bila ada
diskriminasi diantara penerima/ sasaran dari
target ini.
Metode ini sangat tepat dipakai bila:
a) kita ingin pelayanan hanya akan dinikmati
oleh orang tertentu;
b) biaya dari “kebocoran” kepada orang atau
kelompok lain sangat tinggi; dan/atau
c) bila karakteristik dari individu dapat dengan
mudah ditentukan.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
17
Geographic targeting. Dalam metode ini
wilayah dengan geografis tertentu menjadi
fokus dari perhatian program/ pelayanan
tertentu. Target daerah miskin untuk subsidi
pelayanan dapat mewakili penetapan untuk
target individu. Diperkirakan sebagian besar
penduduk pada area tersebut adalah miskin dan
tidak mampu membayar biaya pelayanan.
Metode ini sangat tepat dipakai bila
pemerintah ingin memberikan pelayanan
umum dan bila ada kebocoran kepada yang
tidak miskin tidaklah terlalu mahal. Baik
untuk pelayanan dengan unit cost yang rendah,
dimana biaya administrasi untuk target yang
lebih tepat akan tinggi.
Occupation targeting. Metode ini digunakan
bila sekelompok masyarakat pada umumnya
miskin atau berisiko tinggi terhadap masalah
kesehatan dimana pemerintah ingin
menjangkaunya
Metode ini sangat tepat digunakan bila ada
kaitan yang jelas antara kelompok tersebut
dengan kemiskinan. Misalnya pemerintah
akan memberikan pelayanan gratis atau subsidi
terhadap semua orang yang bekerja sebagai
petani.
Service level/ type targeting. Dalam rangka
mendorong kebutuhan akan pelayanan spesifik
contohnya KB, maka biaya untuk beberapa
pelayanan dapat dikurangi pada titik di mana
kebutuhannya meningkat.
Sangat sesuai bila orang sangat peka terhadap
biaya pelayanan tersebut dan bila konsumsi
secara individu dapat bermanfaat kepada
masyarakat. Pelayanan ini biasanya memiliki
karakteristik pelayanan umum.
Self targeting. Metode target ini sangat tepat
bila kita ingin mencoba memilih seseorang
untuk dikeluarkan dari subsidi
Adalah tidak tepat untuk menarik biaya
pelayanan umum dari orang miskin. Lebih
baik menarik biaya dari orang yang memilih
membayar lebih tinggi untuk pelayanan yang
lebih nyaman seperti di ruang rawatan VIP.
Subsidized fees. Metode ini diperlukan untuk
mengurangi biaya dari pelayanan tertentu.
Sangat tepat untuk memberikan pelayanan
yang bersifat umum (public goods). Akan
tetapi menjadi sangat mahal bila ada kebocoran
bukan untuk orang miskin, bila subsidi
diberikan kepada pelayanan khusus (private
gods) contohnya untuk pengobatan. Bila
subsidi pengobatan diberikan, maka perlu
melakukan individual targeting untuk
menghindarkan kebocoran dan non poor.
Contoh sistem target tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sebagai berikut:
Pada tingkat pusat, target provinsi miskin dan provinsi dengan kebutuhan khusus.
Pada tingkat provinsi, target kabupaten/kota miskin dan kabupaten/kota dengan
kebutuhan khusus.
Pelayanan umum (sanitasi, vektor kontrol, air bersih)
Pelayanan umum gratis total (mis. sanitasi, P2M, Imunisasi, dll)
Pelayanan preventif pribadi
Target karakteristik (umur) untuk beberapa pelayanan (mis. Imunisasi)
Pelayanan umum gratis total (mis. sanitasi, P2M, Imunisasi, dll)
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
18
Pelayanan kuratif dasar (Pustu dan Puskesmas)
Target karakteristik (umur) untuk beberapa pelayanan (mis. Imunisasi)
Tidak ada tarip konsultasi, Tarip hanya untuk obat-obatan
Gratis pada area dengan target geografis (wilayah miskin yang ditentukan)
Gratis untuk pelayanan & lokasi tertentu (paket dasar di Puskesmas dan Pustu)
Gratis untuk hari & lokasi tertentu
Pelayanan kuratif sekunder (Rumah sakit rawat jalan umum)
Tarip lebih murah pada area dengan geografis tertentu (wilayah geografis miskin)
Tarip lebih murah pada hari dan waktu-waktu tertentu, tidak ada tarip konsultasi
Tarip hanya untuk pelayanan obat, laboratorium dan x-ray
Tarip lebih tinggi untuk obat paten atau obat bagi segmen pribadi tertentu
Pelayanan bagi segmen pribadi untuk kelas yang lebih tinggi
Pelayanan kuratif sekunder (Puskesmas rawat inap)
Tarip subsidi penduduk miskin untuk pelayanan kuratif Puskesmas rawat jalan
(target karakteristik di Puskesmas)
Pelayanan kuratif tertier (Rumah sakit rawat jalan spesialis)
Tarip subsidi penduduk miskin untuk pelayanan kuratif Puskesmas rawat jalan
(target karakteristik di Puskesmas)
Tarip penuh untuk penduduk lainnya
Pelayanan kuratif tertier (Rumah sakit rawat inap)
Tarip subsidi penduduk miskin untuk pelayanan kuratif Puskesmas rawat jalan
(target individual melalui referal)
Tarip subsidi penduduk miskin untuk pelayanan kuratif (target individu di RS)
Tabel 3. Beberapa bentuk Mekanisme Proteksi
Pilihan Keuntungan Kerugian 1. Tarip Subsidi
Besar tarip ditentukan
dibawah biaya, untuk
menghasilkan pendapatan
dan menghindarkan tagihan
Tanpa biaya administrasi
Kebanyakan penduduk
dapat membayar bila tarip
dibuat rendah
Pendapatan dibawah optimal
Menimbulkan kebocoran bila
tarip terlalu rendah
Cakupan rendah bila tarip
terlalu tinggi
Menurunkan tarip atau
tagihan untuk mendorong
penggunaan pelayanan
tertentu (mis. KB, P2PMS)
Biaya administrasi rendah
Mendorong pengobatan
Efisien bila sebagian besar
pasien miskin
Pendapatan rendah bila
pelayanan yang dibutuhkan
sangat luas
Banyak kebocoran bila pasien
mampu membayar tetapi
mendapat pelayanan disubsidi
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
19
2. Bebas dari: Target Karakteristik
Membebaskan kelompok
umur, untuk meningkatkan
kunjungan (mis. Bayi)
Biaya administrasi rendah
Mendorong penggunaan
Efisien bila sebagian besar
pasien miskin
Pendapatan rendah bila
kunjungan bayi tinggi
Banyak kebocoran bila pasien
mampu membayar
Membebaskan kelompok
yang termasuk tidak mampu
(mis. Manula)
Biaya administrasi rendah
Efisien bila sebagian besar
pasien miskin
Pendapatan rendah bila
kunjungan bayi tinggi
Banyak kebocoran bila pasien
mampu membayar
Membebaskan pada tingkat
pelayanan (mis. Puskesmas,
Puskel, dll) untuk mendorong
penggunaan
Tanpa biaya administrasi
Efisien bila sebgn pasien
mampu menggunakan jasa
pribadi
Menghemat upah pungut
pada tarip rendah
Mendorong penggunaan
yang cost effective dari
referal sistem
Pendapatan rendah
Banyak kebocoran bila pasien
mampu dilayani
Dapat menimbulkan kesan
memanjakan penduduk
Membebaskan kelompok
pekerja tertentu yang tidak
mampu
Biaya administrasi rendah
Potensi kebocoran tinggi karena
para pekerja tidak persis sama
dengan orang miskin
Perlu bukti tentang penghasilan
yang rendah
Membebaskan kelompok
pengangguran Biaya administrasi rendah
Identifikasi dapat dilakukan
hanya bila pengangguran
memiliki sertifikat
Membebaskan pasien tertentu
(pada jam pelayanan khusus) Tanpa biaya administrasi
Menghemat upah pungut
Pelayanan dua baris seperti ini
kurang diterima oleh
masyarakat
Penggunaan sumber daya (staf
dan ruang) mungkin tidak
efisien
Membebaskan tarip pada
wilayah miskin Tanpa biaya administrasi
Kebocoran rendah bila
sebagian besar miskin
Memerlukan biaya ekstra atau
subsidi silang dari bagian yang
menghasilkan
3. Target Langsung pada penduduk miskin
Perlu dilakukan testing Biaya administrasi rendah
bila digunakan hanya
untuk pelayanan yang
mahal
Memaksimalkan
penghasilan
Biaya administratif tinggi bila
digunakan untuk pelayanan
yang murah
4. Dana Kesejahteraan/ Dana Sehat
Dana kesejahteraan eksternal
(untuk perolehan yang
bernilai tinggi)
Tidak ada biaya untuk
fasilitas
Biaya administrasi total
yang rendah, bila dipakai
secara ekonomis/ hemat
Biaya administratif tinggi
Memerlukan uluran tangan
pemerintah atau donor lokal
untuk modal pendirian
D.3. Mendorong Segmen Individu
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
20
Seleksi pribadi dapat menjadi alat bagi pemerintah kabupaten/kota untuk membagi
pasar/market pelayanan. Alat ini memberikan pilihan kepada masyarakat tentang tingkat
pelayanan yang mereka butuhkan, pelayanan apa yang ingin mereka peroleh dan bayar.
Sebagai contoh: menawarkan pilihan ruang perawatan dari kelas III, II, I atau VIP,
dengan demikian pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
memilih secara pribadi dimana mereka akan dirawat, dengan pengertian tarip lebih tinggi
untuk kelas yang lebih tinggi.
Pilihan pribadi adalah jalan yang baik untuk memperoleh tambahan penghasilan. Mutu
tekhnis layanan keperawatan harus sesuai untuk setiap ruang rawatan. Dan dalam hal
ini, pemerintah kabupaten/kota dapat menawarkan obat paten, pelayanan hotel yang
lebih baik, kamar pribadi dan kenyamanan lainnya di kelas yang lebih tinggi. Bila hal ini
dilakukan, maka full cost/ biaya penuh dari pelayanan rawat inap pada kelas tersebut
harus diketahui dan tarip ditetapkan untuk mengembalikan biaya penuh tadi. Bila Kelas
I dan VIP ada, maka tarip ditetapkan di atas biaya penuh, karena hal ini memberikan
kesempatan untuk memberikan subsidi silang kepada pelayanan masyarakat miskin.
Wilayah dengan potensi penghasilan yang besar ini harus menggunakan pula obat-
obatan paten yang dijual dengan mengambil keuntungan yang pantas.
D.4. Menghapus Subsidi bagi Peserta ASKES
Pembayaran jasa pelayanan terhadap pasien peserta ASKES kepada fasilitas
pelayanan pemerintah adalah dibawah biaya penuh untuk menghasilkan pelayanan
tersebut. Untuk setiap pelayanan yang diberikan maka rumah sakit harus mengeluarkan
biaya untuk menutupi selisih harga pembayaran ASKES.
Bila fasilitas kesehatan pemerintah tidak memiliki dana yang cukup, maka biaya ini akan
diambil dari sumber lain, dan mungkin untuk pelayanan penduduk miskin.
Ada 4 (empat) alternatif bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menghadapi hal ini:
Pertama, pemerintah kabupaten/kota menerima hal ini padahal tidak realistik, karena
peserta ASKES bukanlah target resmi subsidi pemerintah untuk penduduk miskin.
Kedua, pemerintah kabupaten/kota dapat menurunkan tingkat pelayanan sehingga
sesuai dengan harga pembayaran ASKES. Selisih harga dapat ditagih langsung kepada
peserta ASKES atau langsung kepada PT. ASKES.
Pilihan Ketiga, rumah sakit meminta pengembalian biaya penuh dari ASKES untuk
semua pelayanan yang diberikan. Semua pilihan di atas memerlukan pengetahuan
tentang biaya pelayanan.
Keempat, adanya kenyataan bahwa kebanyakan rumah sakit kelebihan kapasitas
tempat tidur, maka pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ASKES dapat
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
21
mengadakan kontrak untuk beberapa tempat tidur pada rumah sakit tertentu. Kemudian
ASKES akan membayar jumlah per kapita per peserta ASKES atau membayar semua
anggaran biaya (global budget) yang dikeluarkan untuk pelayanan yang diperlukan bagi
peserta ASKES di tempat tidur tersebut. Dengan cara tersebut akan ada penggeseran
dari pembayaran biaya pelayanan (fee-for-service) kepada pembayaran dimana
pemerintah kabupaten/kota benar-benar memiliki kendali terhadap sumber dayanya.
(lihat Tabel 4. Uraian pro dan kontra tentang cara pembayaran lainnya).
Sistem ini merekomendasikan untuk jangka pendek memakai pilihan kedua dan rumah
sakit menagih kepada peserta ASKES pada akhir perawatan. Pilihan ketiga adalah
yang terbaik untuk jangka panjang, namun membutuhkan waktu untuk penerapannya.
Pilihan ketiga ini dapat dibiayai dengan tambahan 2% dari pemerintah disamping 2%
yang sudah ada dari peserta ASKES.
Cara dan pilihan yang sama juga dapat dilakukan terhadap peserta JAMSOSTEK.
Hal lain yang terjadi dengan peserta ASKES adalah tingkat penggunaan (utilisasi) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi yang lainnya. Pemerintah kabupaten/kota
harus mempertimbangkan penerapan co-payments pada saat pelayanan diberikan, hal
ini ditujukan untuk menghindarkan pelayanan yang tidak perlu.
D.5. Menghapus Subsidi bagi Pengobatan tingkat lanjut dan Rumah Sakit
Sistem ini juga merekomendasikan mekanisme penetapan tarip pelanggan (target
user fees) untuk meniadakan subsidi yang tidak tepat kepada tingkat fasilitas yang lebih
tinggi. Tarip pelanggan (user fees) harus ditetapkan cukup tinggi untuk mendorong
efisiensi penggunaan dari fasilitas pelayanan pemerintah.
Contoh dari kebijaksanaan pemerintah kabupaten/kota dalam mengatasi subsidi yang
tidak tepat ini dapat dilihat berikut ini:
1. Puskesmas keliling dan Puskesmas pembantu, Semua jenis pelayanan gratis.
2. Puskesmas, Semua pelayanan kesehatan dasar diberikan gratis. Tarip pelayanan
kuratif harus ditetapkan dibawah biaya. penghasilan dari tarip hanya digunakan
untuk pengembalian modal obat-obatan, laboratorium dan X-rays. Dengan cara ini
setiap orang akan dijamin memperoleh pelayanan konsultasi dan resep secara
gratis. Tarip untuk wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah miskin harus dibawah
normal, atau dihapuskan pada tingkat ini.
3. Rumah Sakit Kelas C, Tidak ada tarip rawat inap maupun rawat jalan bagi pasien
rujukan yang datang dari fasilitas pelayanan yang lebih rendah (puskesmas). Pada
rujukan swasta/ pribadi (self-referral) tarip harus didasarkan kepada biaya marginal
(mencakup tarip pelayanan yang bermacam-macam) pasien rawat jalan. Untuk
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
22
pelayanan rawat inap, tarip harus mencakup biaya marginal, tarip untuk target
individu spesifik (specific individual targeting) dihitung dari sini, dengan memberikan
tarip tagihan untuk membuktikan ketidakmampuan membayar.
4. Seluruh pendapatan sebaiknya tinggal di fasilitas yang memperolehnya. Sebagian
(tidak seluruhnya) digunakan untuk membayar insentif staf yang didasarkan kepada
tingkat pelayanan kepada penduduk miskin, produktivitas dan efisiensi, bukan
kepada jumlah pasien yang membayar. Sebagian lagi dari pendapatan tersebut
digunakan untuk pendanaan pelayanan preventif dan promotif.
5. Bantuan yang sesuai untuk rumah sakit diberikan dalam rangka mendukung fungsi
rumah sakit dalam hal pelayanan terhadap penduduk miskin. Besarnya bantuan
akan disesuaikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk melayani penduduk miskin,
biaya rujukan dan subsidi biaya pelayanan tertentu bila ada.
D.6. Strategi Dengan Mekanisme Block Grant
Pembenahan pembiayaan kesehatan dengan memakai anggaran global (global
budget) bertujuan untuk secara bersamaan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan dan
kinerja yang efisien dan akuntabel. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka para
pimpinan di tingkat kabupaten/kota harus memiliki informasi yang baik dan akurat
tentang harga/ cost untuk dapat melakukan pengelolaan anggaran secara baik dan
harus dapat terbebas dari kemungkinan adanya hambatan dalam administrasi dan
peraturan-peraturan. Dinas kesehatan kabupaten/kota harus memiliki pengawasan yang
baik terhadap petugasnya, dan petugas harus benar-benar bertanggung jawab terhadap
kinerjanya.
Kurangnya pengembangan kemampuan SDM dan sulitnya penerapan kendali
mutu dapat menghambat keberhasilan pelaksanaan block grant. Oleh karena insentif
untuk menghasilkan pelayanan yang bermutu pada block grant sangat kecil, maka perlu
membuat suatu mekanisme pengaturan yang kuat, apakah melalui pengaturan oleh
provinsi atau melalui pengaturan secara internal di kabupaten/kota.
Administrasi yang mapan dan transparan sangat diperlukan untuk melakukan
evaluasi dan pengendalian/ perbaikan terhadap anggaran global tersebut. Apabila ada
ketidakpuasan pimpinan dalam menerima anggaran, maka efisiensi dari fleksibilitas
anggaran global tidak akan tercapai karena ia tidak menaruh perhatian yang penuh
terhadap pemakaian anggaran tersebut. Di lain pihak sistem yang kurang memberikan
penyesuaian anggaran untuk insentif akan mengurangi biaya, tetapi akan berpengaruh
negatif terhadap mutu pelayanan apalagi bila jumlah anggaran yang dialokasikan tidak
mencukupi. Hal inilah yang terjadi selama ini di Sumatera Utara.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
23
Pengaturan keuangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
harus mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut, bila ingin mengembangkan dan
melaksanakan mekanisme grant tersebut:
Tabel 4. Prinsip-prinsip Pengalokasian Grant
Autonomy (otonomi) Pemerintah daerah harus benar-benar memiliki kebebasan dan fleksibilitas dalam mengatur sumber dayanya dan menetapkan prioritas. Sistem kesehatan selama ini selalu mengalami hambatan dalam mengelola sumber daya dan meningkatkan efisiensinya oleh karena mekanisme transfer dan grant yang vertikal dan telah finish dari pusat. Desentralisasi akan memberikan otonomi dan kewenangan yang diperlukan untuk membuat perubahan.
Revenue adequacy (Kecukupan penghasilan) Daerah harus memiliki keuangan yang cukup untuk memikul tanggung jawab di bidang kesehatan. Pada saat sekarang ini tanggung jawab tersebut sudah ada, akan tetapi sumber daya yang ada tidak mampu mengimbangi tanggung jawab tersebut. Paket pelayanan kesehatan dasar harus dibuat berdasarkan sumber daya yang dapat diharapkan (dari pendapatan asli daerah ditambah grant dari pusat) dan tanggung jawab dibatasi terhadap pelaksanaan paket ini dan kewenangan diberikan untuk mengatur alokasi sumber daya kesehatannya.
Equity (Kesesuaian) Banyaknya alokasi sumber daya kesehatan yang dari pusat ke daerah, berbanding langsung sesuai kebutuhan dan berbanding terbalik dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan uang untuk membiayai upaya kesehatan di daerahnya.
Predictability (Perhitungan ke depan) Untuk kepentingan manajemen kabupaten/kota perlu mengetahui tingkat sumber daya yang akan terkumpul dari tahun ke tahun mendatang tidak hanya dari dalam kabupaten/kota tetapi juga dari grant dan yang ditransfer oleh pusat. Perencanaan dan penganggaran untuk beberapa tahun ke depan sudah perlu dibuat.
Efficiency (Efisiensi) Dana Alokasi Umum adalah berupa grant untuk daerah yang sifatnya netral. Dengan perkataan lain masih multisektoral sifatnya (dalam bentuk block) langsung ke daerah dan daerahlah yang akan mengalokasikan untuk kesehatan. Merujuk kepada prinsip ini berarti daerah harus mengembangkan kriteria dan sistem alokasi internalnya masing-masing untuk membiayai pelayanan kesehatannya. Hal ini akan menumbuhkan suatu kontrol lokal maksimal dan memperkecil hal-hal informal yang tersembunyi. Adalah penting dipahami bahwa kesehatan itu bukanlah hal yang kompetitif terhadap sektor lain, jadi penetapan alokasi untuk sektor kesehatan harus dilakukan di tingkat daerah.
Simplicity (Penyederhanaan) Grant untuk daerah harus didasarkan kepada kemudahan mengidentifikasi dan ketersediaan kriteria atau faktor-faktor yang objektif dan terukur dimana daerah hanya memiliki kendali langsung yang kecil (misalnya tingkat kekayaan, ukuran populasi, dll). Adanya “Grantsmanship” dan persaingan yang didasarkan kepada proposal atau inter sektoral dan kompetisi dalam memperoleh alokasi sumber daya di daerah seharusnya tidak terjadi.
Incentive (Penghasilan tambahan)
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
24
Usulan grant dari pusat harus memberikan insentif untuk pengamanan keuangan dan program dan tidak memberikan insentif tertentu kepada staf/ petugas, fasilitas atau dinas untuk biaya operasional. Grant dan subsidi ini harus bebas dari insentif yang bersifat program dan benar-benar memerlukan pendanaan manajemen dan akunting. Program JPS adalah sebuah contoh mengapa tidak memberikan uang grant.
Safeguarding the grantor’s objectives (Melindungi tujuan pemberi grant), Grant datang dengan beberapa batasan dan kondisi yang tersembunyi dan dapat mendorong terjadinya bentuk atau tingkah laku tertentu dalam membelanjakan uang. Bentuk grant harus dapat menjamin bahwa daerah terikat dengan tujuan dari grant tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan laporan yang ketat, supervisi secara rutin, monitoring dan kontrol dan bantuan tekhnis yang cukup.
E. KESINAMBUNGAN DAN MOBILISASI DANA
E.1. Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu
Dinas kesehatan kabupaten/kota di masa mendatang akan memiliki tanggung
jawab yang lebih besar untuk merencanakan pelayanan kesehatan yang lebih relevan
dengan kebutuhan lokal. Termasuk tanggung jawab dalam hal menjamin kecukupan
sumber dana kesehatan, melindungi penduduk miskin dan menciptakan sistem
kesehatan yang akuntabel.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
25
Penggunaan data fasilitas dan populasi adalah langkah untuk mencapai
perencanaan yang relevan. Prioritas untuk program-program kesehatan demikian juga
halnya dengan tujuan dan target program dan alokasi sumber dana juga ditentukan
berdasarkan situasi lokal. Begitu juga anggaran ditetapkan berdasarkan harga satuan
(unit cost) lokal. Bila anggaran yang diperlukan adalah melebihi sumber dana yang ada
saat ini, maka Dinas kesehatan harus menggali kesempatan untuk memobilisasi
berbagai sumber dana potensial, seperti users fee dan prepayment systems seperti
yang digambarkan sebelumnya, demikian juga dengan menggali kemitraan dengan
sektor swasta, dan berperan melakukan advokasi kepada pemerintah dan DPRD.
Dalam rangka mengantisipasi desentralisasi kabupaten/kota, Biro Perencanaan
Depkes telah mengembangkan suatu metode perencanaan dan anggaran yang
terintegrasi (Integrated Health Planning & Budgeting = IHPB) sebagai pedoman untuk
digunakan di dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada dasarnya metode tersebut adalah
bentuk integrasi dari perencanaan kesehatan wilayah, dimulai dengan analisa situasi
yang menyeluruh, identifikasi masalah, menentukan prioritas, menentukan tujuan dan
target, memilih cara intervensi yang paling efektif dan akhirnya menetapkan rencana
pelaksanaan (POA). Pada bidang anggaran, dimulai dengan menghitung besar harga
satuan (unit cost) yang sebenarnya. Biaya pembinaan puskesmas ke Posyandu sebagai
contoh, dapat berbeda antar kecamatan. Dibawah desentralisasi, biaya obat dapat
berbeda antara kabupaten/kota bila pengaturannya dibuat oleh masing-masing
kabupaten/kota. Karakteristik lain dari anggaran dengan pendekatan IHPB adalah
jaminan bahwa anggaran untuk operasional dan pemeliharaan dapat mencukupi.
Metode IHPB adalah pedoman yang sangat berguna dalam memasuki era desentralisasi
sistem kesehatan.
E.2. Proses Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu
(1) Analisa situasi menyeluruh (Comprehensive situational analysis)
Perencanaan kesehatan kabupaten/kota dimulai dengan melakukan suatu analisa
situasi yang menyeluruh, yang akan mencakup bidang epidemiologi (morbidity dan
mortality) dan determinan kesehatan (lingkungan/sanitasi, perilaku berobat dan perilaku
kesehatan lainnya, pelayanan kesehatan, demografi dan faktor-faktor lainnya yang
mungkin berpengaruh kepada status kesehatan). Analisa penggunaan fasilitas
kesehatan akan menghasilkan informasi tentang siapa menggunakan pelayanan apa
dan seberapa seringnya. Pemerintah kabupaten/kota juga harus mengetahui dengan
pasti seberapa besarnya masalah kemiskinan di daerahnya. Berapa banyak keluarga
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
26
miskin, dimana lokasi mereka dan ke mana mereka pergi untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.
Dasar yang penting untuk melakukan analisa situasi secara menyeluruh adalah data
dasar tentang fasilitas dan populasi seperti yang ada pada Susenas. Analisa tentang
data Susenas menghasilkan informasi sebagai berikut:
a. Penyakit utama (perceived illness)
b. Perilaku berobat (health seeking behavior)
c. Belanja kesehatan (health expenditure)
d. Lingkungan dan Sanitasi (environment and sanitation)
Di masa mendatang, sangat penting bagi kabupaten/kota untuk melakukan suatu rapid
surveys epidemiologi. Survey tersebut akan menghasilkan data kesakitan dengan faktor-
faktor yang berhubungan.
Pada evaluasi sistem pelayanan kesehatan, suatu analisa terhadap input dan output
pelayanan kesehatan, termasuk (1) sumber daya manusia, (2) fasilitas, (3) obat-obatan,
dan kinerja sistem pelayanan bila memungkinkan. Laporan yang baik juga penting untuk
menjamin keabsahan analisis.
Sebagai bagian dari analisa situasi, perencana kesehatan kabupaten/kota harus juga
melihat kepada kebijakan kesehatan secara nasional dan provinsi. Mungkin ada
program nasional atau provinsi yang perlu diintegrasikan dengan kabupaten/kota.
Sebagai contoh, kampanye nasional imunisasi atau program vektor kontrol nasional
mungkin perlu diintegrasikan ke dalam perencanaan kesehatan kabupaten/kota.
Analisa juga harus mempertimbangkan pentingnya analisa stakeholder, sektor swasta,
NGOs, organisasi profesi atau agama dan lain-lain.
(2) Rumusan program (Program formulation)
Tekhnik perencanaan program IHPB tidak spesifik, mengikuti tahapan
perencanaan program seperti identifikasi masalah dan rumusan, menetapkan prioritas,
merumuskan tujuan, analisa untuk menetapkan strategi dan intervensi yang efektif dan
akhirnya merumuskan rencana pelaksanaan (POA).
Perencanaan program pada IHPB akan menentukan jenis pelayanan apa yang akan
dihasilkan, seberapa banyaknya, siapa yang melakukannya dan untuk siapa. Demikian
juga kabupaten/kota harus menentukan program kesehatan masyarakat yang
bagaimana yang harus dilaksanakan dan seberapa banyaknya. Dalam jangka pendek,
IHPB memerlukan perhitungan jumlah output yang ingin dihasilkan dalam waktu
tertentu.
(3) Pembiayaan program (Costing the program)
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
27
IHPB memberi penekanan yang kuat pada pembiayaan program. Dalam prakteknya hal
ini tidaklah mudah karena informasi harga dalam kebanyakan kasus tidak lengkap dan
kadang-kadang tidak tersedia sama sekali. Hal ini disebabkan adanya institusi yang
berbeda memberikan informasi tentang input dan biaya kesehatan tanpa melalui kantor
dinas kesehatan kabupaten/kota. Apabila kabupaten/kota menemukan ada perbedaan
harga satuan (unit cost) diantara wilayah kerja, seperti perbedaan unit cost untuk
aktivitas lapangan, maka kabupaten/kota harus menetapkan terlebih dahulu standar
untuk unit cost berdasarkan pengalaman.
Aplikasi dari analisa biaya (cost analysis) pada satu kabupaten/kota dimana IHPB diuji
coba menghasilkan perkiraan biaya 3 (tiga) kali lebih besar daripada anggaran
kesehatan pada tahun berjalan. Konsekuensi ini telah diramalkan sebelumnya karena
anggaran konvensional didasarkan kepada alokasi secara top-down dari tingkat pusat.
(4) Anggaran Kesehatan Kabupaten/Kota (District health account)
Mengetahui berapa banyak uang yang telah digunakan di kabupaten/kota adalah
penting dalam proses IHPB. Informasi ini akan memberikan gambaran secara global
jumlah total uang yang telah dibelanjakan, dari mana datangnya dan ke mana perginya.
Pedoman untuk melakukan klasifikasi sumber dana tersebut adalah:
a. Pemerintah: pusat, provinsi, kabupaten/kota
b. Non Pemerintah:
Biaya kesehatan pribadi (out of pocket/ household health expenditure)
Biaya kesehatan tenaga kerja (employers health spending)
Asuransi (Insurance)
Pengalaman di banyak tempat di Indonesia menunjukkan bahwa adanya perhitungan
anggaran kesehatan yang sempurna dan lengkap hampir mustahil dilakukan dengan
sumber pendanaan yang terpisah-pisah (fragmented), administrasi dan laporan yang
terpisah-pisah, bahkan sering terjadi laporan yang minim. Dengan desentralisasi
diharapkan terjadi perbaikan khususnya apabila alokasi DAU diberikan dalam bentuk
block grant ke tingkat kabupaten/kota.
Informasi yang dihasilkan dari perhitungan anggaran kesehatan dapat dipergunakan
sebagai dasar untuk menetapkan strategi dalam proses anggaran.
(5) Penganggaran (Budgeting)
Dokumen awal dari anggaran dibuat berdasarkan kepada biaya program (program cost)
dan penghitungan biaya kesehatan (health accounts). Sekali lagi bahwasanya format
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
28
anggaran (budget format) adalah tidak spesifik untuk IHPB. Ianya meliputi juga istilah
pengembangan (development) dan pengulangan (recurrent) anggaran oleh program.
(6) Proses yang berulang (The iterative process)
Pada dasarnya IHPB adalah proses perencanaan tahunan dengan rencana dan
anggaran yang dilakukan berulang-ulang, sampai dirumuskan suatu rencana dan
anggaran yang beralasan dan dapat diterima.
Prosesnya disimpulkan pada gambar 2. berikut ini:
Gambar D1. The IHPB Conceptual Framework
Proses Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu
E.3. Mobilisasi Sumber Daya
Langkah berikutnya di dalam IHPB adalah mengidentifikasi sumber daya untuk
anggaran kesehatan. Selama ini dengan sistem anggaran yang terkotak-kotak, dimana
setiap kegiatan/program memiliki sumber daya sendiri-sendiri dan saluran tersendiri
pula, maka sistem perencanaan dan anggaran kesehatan terpadu (IHPB) tak dapat
dilaksanakan karena dinas kesehatan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan untuk
mengendalikan anggarannya. Dengan desentralisasi hal ini akan berubah. Namun
dengan proses IHPB jumlah anggaran kesehatan tersebut akan membengkak dua atau
JPKM
SSN
DISTRICT HEALTH ACCOUNT
District Budget
GAF Provincial
Budget
Askes
Other prepayment
INTEGRATED BUDGETING
DEVELOPMENT
PROGRAM COSTING By activities
Unit cost
INTEGRATED HEALTH PLANNING 1. Comprehensive situational
analysis 2. Program planning
priority program: basic public health and curative services
special curative services
targeting the poor
etc.
Resources mobilization
Other Gov’t
Private
Household expend (Susenas)/users fee
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
29
tiga kali lipat. Dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten/kota harus mencari
kemungkinan-kemungkinan untuk menggerakkan berbagai sumber daya seperti:
- Mengimplementasikan tarip pengguna (price adjustment).
- Mengembangkan sistem prabayar (prepayment mechanism) seperti JPKM.
- Memobilisasi sumber daya sektor swasta dalam investasi kesehatan, misalnya
membangun kelas VIP atau membeli peralatan yang canggih dan mahal di rumah
sakit.
Dalam implementasi tarip pengguna (user fees), konsep ‘public’- dan ‘private-good’ atau
konsep ‘public-private mix’ maupun konsep cross subsidization ada beberapa prinsip
yang perlu diingat disamping harus tetap melindungi masyarakat miskin, pemerintah
kabupaten/kota juga harus memobilisasi atau menggali penghasilan dari masyarakat
yang mampu membayar melalui mekanisme tarip tersebut. Berikut ini adalah beberapa
prinsip dasar tarip pengguna (user fees) yang perlu diperhatikan:
(1) Harus didasarkan kepada survei pasar (market research) untuk mengetahui apa
sebenarnya yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat, hal ini mungkin
termasuk isu tentang mutu pelayanan kesehatan serta kenyamanan.
(2) Harus didasarkan kepada analisa biaya yang hati-hati, termasuk semua investasi
dan biaya operasional.
(3) Harus didasarkan kepada analisis tentang kemampuan membayar masyarakat
(ability to pay) terutama pada tingkat kabupaten/kota untuk menjamin ketersediaan
pasar bagi pelayanan kesehatan. Data untuk ini dapat diperoleh dari Susenas.
Sebagai contoh, analisis terhadap data susenas tahun 1998 memperlihatkan contoh
kasar dari perhitungan kemampuan membayar masyarakat di Medan, Nias dan Karo.
Untuk keperluan analisis maka definisi operasional dari ‘ability to pay’ adalah jumlah
yang telah dibayarkan oleh masyarakat untuk pelayanan kesehatan termasuk beberapa
pengeluaran non-essential tertentu seperti rokok dan alkohol.
Hasil dari analisis memperlihatkan bahwa kebanyakan masyarakat Nias memiliki
kemampuan membayar yang kecil, di Karo lebih tinggi dan di Medan ada gabungan
antara paling miskin dan kaya. Informasi ini penting dalam menetapkan kebijakan
tentang tarip pelayanan kesehatan. Data ini juga penting untuk advokasi kepada DPRD.
Dari hasil analisis juga dapat diketahui ukuran dari pasar dengan kemampuan
membayar yang tinggi dan jumlah rumah tangga yang membutuhkan subsidi silang.
Hal ini telah diterapkan melalui beberapa proyek (HP-III dan HP-IV) di Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Barat dan Jawa Timur,
tentu hal serupa juga dapat dilakukan di kabupaten/kota.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
30
E.4. Pembayar Pihak Ketiga (Third Party Payers)
JPKM adalah suatu terobosan/ langkah besar dalam manajemen keuangan sektor
kesehatan di Indonesia, dan oleh Depkes telah dimasukkan sebagai salah satu strategi
untuk mencapai “Healthy Indonesia 2010”. Konsepnya telah diperkenalkan sejak tahun
1982, akan tetapi perkembangannya sangat lambat setelah itu.
Kurangnya profesionalisme, adanya subsidi yang besar bagi pelayanan-pelayanan
pemerintah, mutu yang rendah, kesulitan dalam pengutipan premi, peserta swakarsa
yang menjadi konflik kepada kebutuhan adalah faktor-faktor yang dilaporkan menjadi
penghambat perkembangan JPKM.
Adanya program Jaring Pengaman Sosial menjadi momentum bagi perkembangan
JPKM. Beberapa Bapel JPKM yang baru telah berdiri sejak dana JPS dikucurkan.
Menurut hasil observasi ternyata fungsi utama dari Bapel JPKM hanyalah sebagai
saluran bagi dana JPS ke pihak pemberi pelayanan. Fungsi mereka tidak lebih hanya
sebagai administrator pihak ketiga (third party administrators), bukan sebagai institusi
pelayanan (managed care institutions). Perbaikan terhadap keadaan ini harus
memperoleh prioritas yang tinggi di Kabupaten/Kota, bila JPKM diharapkan
menjadi alat penting untuk menggalang dana dan pemberi pelayanan. Bapel yang
ada sekarang harus dilihat sebagai aset dan JPKM harus segera beralih menjadi
organisasi pelayanan (managed care organization) yang sebenarnya, sebelum
masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap keberadaannya. Dengan perkataan lain
Bapel yang ada harus segera memulai pengembangan kepesertaannya ke arah segmen
masyarakat menengah ke atas (non-poor segment). Pemerintah kabupaten/kota harus
mencari jalan untuk mengembangkan mekanisme pengutipan uang premi. Pada salah
satu kabupaten di Jawa Timur uang premi dikutip bersamaan dengan pembayaran
rekening listrik setiap bulan. Beberapa rumah tangga yang tidak menggunakan listrik
dibebaskan dari pembayaran dan masih boleh memperoleh pelayanan dasar di
Puskesmas dan fasilitas pelayanan kelas III di rumah sakit umum.
Pemerintah kabupaten/kota harus berfungsi sebagai pemberi dukungan kepada
pengembangan JPKM, akan tetapi pada saat sekarang ini mereka juga masih
memerlukan dukungan untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut. Provinsi diharapkan
dapat melakukan peran secara substansial dalam hal pengembangan SDM di
lingkungan JPKM.
PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK adalah dua perusahaan asuransi yang sekarang ini
memasukkan fasilitas pelayanan masyarakat kedalam jaringan pelayanannya. Dinas
kesehatan perlu menghitung besar yang sebenarnya dari harga satuan (unit cost)
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
31
normatif untuk setiap pelayanan yang diberikan dan menggunakan informasi ini untuk
menegosiasikan struktur tarip yang layak kepada pihak ketiga.
Metode lain yang juga potensial untuk memobilasi dana di kabupaten/kota adalah
memberikan pelayanan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Sebagai contoh ada
banyak bisnis perkebunan dan banyak di antaranya sekarang ini langsung memberikan
pelayanan kesehatan kepada pekerjanya. Ada kecenderungan pada 10 tahun terakhir
ini bahwa perusahaan swasta tersebut ingin kembali kepada bisnis utamanya dengan
alasan efisiensi dan cukup melakukan kontrak untuk pelayanan kesehatan kepada pihak
ketiga. Bila kecenderungan ini terjadi, maka dinas kesehatan, puskesmas atau rumah
sakit dapat memberikan pelayanan yang dibutuhkan tersebut, namun mereka juga harus
memperbaiki mutu pelayanannya.
F. PENGEMBANGAN ORGANISASI
Undang-undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 dan peraturan pemerintah yang
akan dikeluarkan untuk itu akan berdampak besar kepada manajemen, perencanaan,
keuangan dan pemberian pelayanan kesehatan di kabupaten/kota. Perobahan yang
besar tersebut antara lain adalah:
o Perencanaan dan anggaran tidak lagi didasarkan kepada tingkat anggaran lalu
(historical budget levels) tetapi didasarkan kepada kebutuhan.
o Mempekerjakan dan memberhentikan serta membina staf.
o Menempatkan staf ke berbagai unit pelaksana dari sistem kesehatan.
o Menghitung, mengelola keuangan dan melaporkannya ke DPRD dan Bupati dan
mungkin Provinsi dan Pusat untuk belanja kesehatan.
o Laporan tentang pelayanan kesehatan yang dilakukan kepada masyarakat.
o Mengembangkan dan ikut dalam kontrak-kontrak pelayanan (ke dalam/ ke luar).
o Melaksanakan sistem rujukan yang memungkinkan pasien untuk dapat dirujuk
sampai ke tingkat paling tinggi, bahkan keluar dari wilayahnya.
o Melakukan pinjaman dan perjanjian langsung dengan pihak donor.
o Memperoleh pasokan bahan, peralatan dan obat-obatan dari pemasok lain
(outside historical channel).
Banyak dari fungsi-fungsi ini adalah baru bagi orang-orang di kabupaten/kota,
yang mana selama ini selalu pasif, menunggu uang, bahan, peralatan dan pengarahan
dari atas. Sebagai tambahan, banyak wewenang, tanggung jawab dan fungsi dari dinas
kesehatan dan Kanwil Kesehatan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota (sebelum
desentralisasi) akan bergabung di dinas kesehatan kabupaten/kota. Dinas kesehatan
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
32
pada tingkat kabupaten/kota akan lebih jauh menangani sumber daya dibanding pada
masa lalu dan sumber daya akan disalurkan melalui saluran dan cara yang berbeda.
Pentingnya advokasi, pemasaran sosial dan pendidikan masyarakat (public
education) di kabupaten/kota akan lebih besar dari sebelumnya. Ini akan menjadi
penting bila UU No. 22 hanya menghasilkan dana pembangunan umum (general
development grants) bagi kabupaten/kota dan setiap sektor perlu berlomba untuk
memperoleh sumber dana yang langka tersebut.
Kemampuan organisasi yang diperlukan pada tingkat kabupaten/kota, termasuk:
Informasi dan pendidikan masyarakat (public information and education)
Advokasi dan pemasaran sosial (social marketing and advocacy)
Hitung dagang dan manajemen keuangan (accounting and financial management)
Manajemen sumber daya manusia (personnel management)
Pengembangan organisasi (organizational development)
Rekayasa dan pengembangan sistem (system design and development)
Sistem informasi kesehatan (health information system)
Sistem informasi manajemen (management information system)
Sistem akuntansi (accounting system)
Untuk pelaksanaan yang mulus dalam rangka melakukan transisi kepada sistem
kesehatan yang desentralisasi penuh, maka dinas kesehatan perlu melakukan banyak
perubahan-perubahan. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan pengembangan
organisasi dalam jangka waktu tertentu. Adalah penting bagi dinas kesehatan dan
Pemda kabupaten/kota untuk mulai membuat rencana transisi secepat mungkin. Namun
demikian yang paling dibutuhkan pada saat ini adalah pengembangan kemampuan
sumber daya manusia.
G. PENGEMBANGAN KEMAMPUAN SUMBER DAYA MANUSIA
G.1. Mengapa Pengembangan Kemampuan
Sistem kesehatan di Indonesia bahkan di dunia sedang berubah, dan akan terus
berubah. Evaluasi tentang sistem tersebut memperlihatkan banyak terdapat masalah
(problems), demikian juga kekuatan (strengths) dan kesempatan (opportunities).
Jumlah penduduk miskin meningkat, dan pemulihan ekonomi dalam waktu dekat
masih belum pasti, demikian juga halnya dengan kelanjutan JPS. Kemampuan
pemerintah untuk membiayai sektor kesehatan juga menurun karenanya. Adanya
pemborosan (inefficiency) pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah adalah
disebabkan kurangnya pemanfaatan (underutilization) oleh masyarakat.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
33
JPS, JPKM, RS Swadana, Perencanaan dan Anggaran Kesehatan Terpadu
(PPKM), Program Quality Assurance, Dokter PTT, Bidan di Desa (BDD), Kebijaksanaan
obat generik dan banyak lagi kebijaksanaan lainnya sebagai bagian dari reformasi
bidang kesehatan telah diimplementasikan.
Dalam kondisi inilah sistem kesehatan berjalan, dan puncak dari semuanya adalah
kebijaksanaan desentralisasi. Desentralisasi akan merubah semua tatanan dalam
sistem, dan akan berpengaruh hampir pada semua elemen dan fungsi yang membentuk
sistem. Sebagai contoh, para pengambil keputusan (stakeholders) di tingkat
kabupaten/kota akan memiliki fungsi, peran dan tanggung jawab baru, yang akan sangat
berbeda dengan yang pernah ada. Adalah sangat memungkinkan bahwa fungsi, peran
yang baru tersebut memerlukan adanya peningkatan kemampuan bagi yang
bersangkutan. Tanpa pengembangan kemampuan, desentralisasi tidak akan berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Dengan perkataan lain, bagaimanapun baiknya
perencanaan dibuat, namun tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan tanpa
kesungguhan/ kemauan yang cukup untuk meningkatkan kemampuan diantara para
pengambil keputusan kunci.
Menurut istilah yang berkaitan, kemampuan (capacity) memiliki 2 elemen dasar
(basic elements) yaitu: (1) kemampuan tekhnis (technical skill) dan sumber daya untuk
melakukan fungsi tertentu dan (2) kewenangan (authority) yang cukup untuk melakukan
fungsinya. Rancangan juga merekomendasikan adanya pengembangan kemampuan
(capacity building) untuk para pengambil keputusan yang diperlukan dalam memperbaiki
sistem kesehatan di kabupaten/kota.
G.2. Dimana Kemampuan SDM Harus Diperkuat?
Analisa situasi dan analisa tentang para pengambil keputusan pada sistem
kesehatan yang ada menghasilkan kesimpulan bahwa ada 3 kelompok institusi yang
membentuk sistem dimana masing-masing kelompok tersebut memiliki kepentingan dan
fungsi yang berbeda.
Pertama adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Pemda (Bupati dan Bappeda) dan
DPRD. Mereka ini adalah institusi utama yang berperan dalam menetapkan
kebijaksanaan dan melaksanakan administrasi kesehatan masyarakat (Public Health
Administration) termasuk perencanaan (planning) dan penganggaran (budgeting) dari
program kesehatan pemerintah.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
34
Kelompok Kedua adalah pelaksana/ pemberi pelayanan kesehatan (providers) seperti
Puskesmas, Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta dan praktek pribadi baik
dokter maupun paramedis.
Kelompok Ketiga adalah institusi pendidikan, pembayar pihak ketiga (third party
payers), organisasi profesi dan LSM (NGOs), yang mana berfungsi antara lain advokasi
kebijaksanaan, menghasilkan SDM, melakukan evaluasi terhadap sektor kesehatan dan
memberikan bantuan tekhnis (technical assistance).
A) Kebijaksanaan dan Administrasi
1. Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: Bupati/Walikota dan Bappeda
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
B) Pelaksanaan Program dan Pelayanan Kesehatan
1. Puskesmas
2. Rumah Sakit (pemerintah dan swasta)
3. Praktek pribadi (dokter dan paramedis)
C) Sistem Pendukung
1. Pembayar pihak ketiga (JPKM, PT. ASKES, Jamsostek, Dll)
2. Institusi Pendidikan
3. Organisasi Profesi
4. LSM
Tabel G1, G2 dan G3 pada lampiran berisikan rangkuman strategi pengembangan
kemampuan untuk setiap pengambil keputusan yang disebutkan di atas, baik dalam hal
kewenangan maupun dalam hal kemampuan tekhnis.
G.2.1. Memperkuat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
1) Kewenangan yang diperlukan (Necessary authority)
Kabupaten/Kota akan menjadi unit yang sangat strategis dalam tatanan politik
dan administrasi di Indonesia setelah desentralisasi terwujud, dimana Bupati dan
DPRD adalah dua badan yang paling berkuasa dalam menentukan arah dan
pelaksanaan pembangunan sosial dan ekonomi. Sebagai aparat Bupati, Dinas
Kesehatan mungkin akan diberi kewenangan untuk merencanakan dan
melaksanakan program-program kesehatan berdasarkan kepada situasi lokal dan
menyusun anggaran yang menyeluruh dan terpadu untuk itu, yang didasarkan
kepada indeks harga lokal. Termasuk di dalamnya adalah menentukan program-
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
35
program kesehatan prioritas berdasarkan kepada data populasi yang valid dan
representative. Dinas contohnya harus menetapkan program mana yang menjadi
tanggung jawab Puskesmas. Dinas juga harus diberi wewenang untuk
menggunakan harga satuan (unit cost) lokal yang realistik. Sebagai bagian dari
kewenangan yang melaksanakan IHPB, Dinas juga harus memiliki kewenangan
untuk menyiapkan anggaran global yang mencakup rumah sakit, puskesmas dan
unit penunjang lainnya seperti gudang farmasi.
Kewenangan lain yang harus dimiliki Dinas adalah memungut dan menyimpan
hasil pendapatan lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan memasukkannya
kedalam anggaran tahunan. Bila hasil pendapatan ini melebihi anggaran, akan
ditransfer ke buku pemerintah daerah. Penghasilan ini adalah jumlah yang ditransfer
oleh puskesmas dan rumah sakit yang mana penghasilan lebih di atas jumlah
anggaran.
Kewenangan untuk melakukan kontrak ke luar dalam fungsi tertentu juga
diperlukan oleh Dinas dalam rangka memperbaiki tingkat efisiensi. Sebagai contoh
pembayaran kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui
pembayar pihak ketiga (third party payers, seperti JPKM, PT. ASKES, dll). Aktivitas
lain juga dapat dikontrakkan ke luar seperti evaluasi cepat epidemiologi (rapid
assessment epidemiologi), akuntansi keuangan (financial accounting) dan lain-lain.
Cara ini akan mengurangi beban Dinas dalam manajemen administrasi keuangan
dan memberi kesempatan untuk lebih memfokuskan kegiatan kepada
kebijaksanaan, koordinasi, monitoring, evaluasi dan lainnya.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Depkes dalam pelaksanaan UU No.22
dan 25, maka telah diusulkan beberapa fungsi yang akan dilakukan oleh
kabupaten/kota seperti berikut ini:
(1) Pengorganisasian dan koordinasi sistem kesehatan Kab./kota
(2) Perencanaan dan monitoring program kesehatan
(3) Pemberian izin dan sertifikasi fasilitas kesehatan dan pendistribusian obat-
obatan dan alat kedokteran
(4) Memonitor pelaksanaan standarisasi
(5) Mengimplementasikan dan kontrol terhadap pelaksanaan program kesehatan
(6) Perbaikan kesehatan masyarakat
(7) Perbaikan dalam kesehatan kerja
(8) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
(9) Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
36
(10) Kesehatan lingkungan
(11) Meningkatkan pertumbuhan JPKM
(12) Pengendalian penyalahgunaan obat dan promosi kesehatan untuk
menurunkan kebiasaan merokok dan meminum alkohol
(13) Perencanaan, pengadaan dan laporan obat-obatan
(14) Meningkatkan dan mengendalikan obat tradisionil
(15) Memberikan bantuan tekhnis dalam produksi dan distribusi obat
(16) Pemberian izin untuk praktek pribadi
(17) Mengendalikan tarip pelayanan kesehatan
(18) Pelatihan sumber daya manusia di bidang kesehatan
(19) Pendidikan kesehatan (health education) dan pemberdayaan masyarakat
(20) Kerjasama lintas sektoral dalam bidang kesehatan
(21) R & D
(22) Sistem informasi kesehatan (health information system)
(23) Surveilan dan monitoring gizi
2) Kemampuan Tekhnis (Technical capability)
Dalam hal kemampuan tekhnis, hasil evaluasi memperlihatkan bahwa untuk
mengimplementasikan suatu perencanaan dan penganggaran kesehatan yang
terpadu dalam suatu wilayah, serta melaksanakan fungsi-fungsi tersebut maka
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus memiliki kemampuan dasar seperti:
a. field epidemiology
b. health information system
c. health planning and budgeting
d. health economics
e. health promotion and social marketing
Tingkat keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan dari masing-masing
bidang didasarkan kepada evaluasi kebutuhan (training need assessment).
Dengan keahlian-keahlian tersebut, maka Dinas Kabupaten/Kota akan memiliki
kemampuan dalam hal:
a. Membuat perencanaan berdasarkan data fasilitas dan penduduk, menentukan
program prioritas dan merumuskan suatu perencanaan kesehatan terpadu.
b. Menghitung biaya realis untuk menyusun anggaran dan mengembangkan sistem
anggaran terpadu
c. Meningkatkan sistem informasi kesehatan
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
37
d. Meningkatkan sistem informasi keuangan dan melaksanakan akuntansi
kesehatan di wilayah kabupaten/kota
e. Melakukan pemasaran sosial dan advokasi kepada pihak eksekutif (Bupati),
DPRD dan Masyarakat.
Ada pertanyaan yang muncul tentang dimana keahlian ini akan ditempatkan
pada struktur organisasi Dinas. Sesuai dengan struktur organisasi yang baru, maka
ada satu unit (kotak) yang langsung berada di bawah Kepala Dinas yang disebut
dengan “kelompok Jabatan Fungsional” atau kelompok fungsional (merujuk kepada
struktur organisasi Gambar G.4.). Ini adalah istilah generik dan belum ada
spesifikasi lebih lanjut. Kotak tersebut menunjukkan bahwa Dinas akan memiliki
beberapa staf yang akan ditempatkan pada posisi ini.
Dengan keadaan ini, diharapkan bahwa Kantor Dinas akan lebih menarik bagi
para dokter puskesmas karena akan ada insentif untuk menjadi profesional di bidang
yang bersangkutan. Pada masa lalu, dokter puskesmas lebih tertarik untuk menjadi
dokter spesialis dan kemudian bekerja di rumah sakit.
Masalah yang muncul dengan konsep ini adalah siapa yang akan membayar
para profesional ini? Dengan anggaran yang minim seperti sekarang ini adalah tidak
mungkin bagi Dinas untuk merekrut tenaga-tenaga ahli tersebut. Akan tetapi Dinas
dapat memilih dan melatih/ mendidik beberapa staf yang ada sekarang ini dalam
sistem (staf dinas, rumah sakit atau dokter puskesmas).
G.2.2. Kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Adalah sangat penting bagi pemerintah daerah untuk memiliki pengertian yang
menyeluruh tentang apa itu pembangunan kesehatan.
Mereka perlu diberitahu tidak hanya tentang penyakit dan berapa jumlah penduduk yang
menderita sakit, tetapi lebih dari itu, bahkan juga tentang kerugian ekonomi yang
disebabkan masalah kesehatan. Mereka juga perlu diberitahu tentang kemungkinan-
kemungkinan upaya intervensi kesehatan dan cost effectiveness dari upaya tersebut
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Dalam hal ini indikator kinerja bidang
kesehatan harus lebih dari hanya sekedar angka kesakitan dan kematian beberapa
penyakit. ratio berobat (contact rate), % APBD untuk kesehatan (% regional budget for
health), % retribusi yang dihasilkan fasilitas kesehatan terhadap alokasi dana dari
Pemda (% retribution from health facility against government allocation), % hasil
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
38
terhadap biaya investasi (% recurrent vs investment budget), biaya obat per kapita (drug
cost per capita) dan total anggaran kesehatan per kapita (total health cost per capita)
adalah contoh-contoh indikator yang akan sangat berarti bagi pemerintah daerah untuk
dapat mendukung sektor kesehatan.
G.2.3. Kemampuan DPRD
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa DPRD adalah sangat berkuasa
dalam membuat berbagai kebijaksanaan dan melakukan pengawasan terhadap
pembangunan di kabupaten/kota. DPRD akan menentukan sektor mana yang perlu
mendapat prioritas dan berapa banyak uang yang akan dialokasikan. Singkatnya, DPRD
memiliki semua kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah pembangunan
kabupaten/kota melalui haknya untuk menyetujui atau tidak suatu Perda.
Konsekuensinya, visi kesehatan para anggota DPRD akan menentukan pula apakah
kesehatan itu penting seperti halnya program prioritas pada sektor. Dalam hal ini, seperti
halnya terhadap pemerintah kabupaten/kota, diperlukan upaya yang sistematis bagi
para anggota DPRD untuk memberi pengertian dan visi yang benar/ tepat tentang
pembangunan kesehatan, pentingnya kesehatan untuk mendukung sektor lain dan
intervensi-intervensi kesehatan yang cost effective yang perlu mendapat dukungan.
G.2.4. Puskesmas dan Praktek Pribadi
Wewenang yang diperlukan oleh Puskesmas adalah tergantung kepada bentuk
dari administrasi dan manajemen puskesmas yang diusulkan. Bentuk yang diusulkan
adalah manajemen puskesmas selaku perusahaan umum (public enterprise) atau unit
bisnis strategis, dimana fungsi swasta dokter dan petugas kesehatan diintegrasikan
dengan fungsi puskesmas sebagai pusat kesehatan masyarakat. Sebagai sebuah
organisasi bisnis, puskesmas diperbolehkan mengambil keuntungan dari pelayanan
terhadap segmen yang mampu/kaya di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan contohnya
dengan meningkatkan mutu dari komponen pelayanan non-medis pada tingkat tertentu
sehingga orang mampu/kaya mau membeli. Dengan meningkatkan mutu pelayanan,
puskesmas juga mempunyai peluang untuk menjual pelayanannya kepada pihak ketiga,
apakah itu asuransi kesehatan atau perusahaan swasta. Dengan pengaturan ini,
diharapkan bahwa dokter bersama dengan perawat dan bidan memiliki kesempatan
untuk bekerja dalam satu tim dan menjalankan “bisnis” tersebut secara kolektif.
Puskesmas juga memerlukan wewenang untuk menetapkan sistem insentif yang
didasarkan kinerja untuk seluruh stafnya. Bersamaan dengan itu, puskesmas juga akan
melaksanakan program pelayanan kesehatan masyarakat, pelayanan penduduk miskin
dengan anggaran yang berasal dari pemerintah. Dengan demikian puskesmas juga
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
39
harus menetapkan anggaran tahunannya (termasuk insentif untuk stafnya) dan setiap
kelebihan penghasilannya akan ditransfer ke buku kas Dinas. Sebuah skala pembagian
hasil keuntungan dapat dikembangkan, dan puskesmas akan menerima bagian dari
kelebihan penghasilan tersebut.
Model yang diusulkan membutuhkan beberapa keahlian di puskesmas, antara
lain: (1) penetapan tarip dan anggaran (costing and budgeting), (2) pembukuan
(accounting), (3) jaminan mutu (quality assurance), (4) pemasaran (marketing), dan (5)
administrasi kontrak (contracting administration). Ini akan menambah apa yang telah
ada di dalam sistem seperti perencana program (program planning), manajemen sistem
informasi (information system management), pengamatan (surveillance), dll.
G.2.5. Pengembangan Kemampuan SDM Rumah Sakit
Wewenang yang dibutuhkan oleh rumah sakit umum telah diidentifikasi oleh
Depkes pada tingkat pusat. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mendorong rumah
sakit agar mampu menjadi organisasi bisnis yang otonom, sama halnya seperti
puskesmas, akan tetapi dengan ukuran bisnis yang lebih besar. Menetapkan tarip,
mengelola penghasilan, melakukan kontrak keluar maupun ke dalam, mendesain
produk, skema insentif, kerjasama dengan investor swasta, adalah beberapa
kewenangan yang harus diberikan kepada rumah sakit umum. Bersamaan dengan
implikasinya maka dibutuhkan pula keahlian dan profesi tertentu, antara lain adalah
administrasi rumah sakit (general hospital administration), akuntansi, biaya dan
anggaran (accounting, costing and budgeting), penentuan gaji (setting fees), jaminan
mutu (quality assurance), administrasi kontrak (contract administration), logistik,
manajemen dan pemasaran obat (logistic and drug management and marketing).
Semua pengalaman, konsep dan model yang telah dikembangkan dapat diterapkan di
kabupaten/kota dengan penyesuaian yang perlu.
G.2.6. Institusi Pelatihan/ Pendidikan
Sistem kesehatan kabupaten/kota di masa depan ini, akan menjadi sistem yang
secara substansial berbeda samasekali dengan yang ada sekarang. Perubahannya
akan membutuhkan banyak profesional demikian juga dengan bentuk baru profesional.
Sebagai contoh JPKM tidak akan berkembang dengan baik bila tidak dikelola oleh
profesional yang tepat untuk itu. Rumah sakit yang otonom tidak dapat berfungsi secara
efektif tanpa memiliki profesional dalam manajemen rumah sakit (hospital
administration). Dinas kesehatan juga tidak dapat membuat perencanaan dengan dasar
populasi yang berbasis kepada data epidemiologi, bila tidak ada personil yang memiliki
kemampuan dalam bidang field epidemiologi. Dinas juga tidak dapat melakukan
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
40
akuntansi kesehatan kabupaten/kota, analisa harga dan anggaran tanpa keahlian dalam
bidang health planning and budgeting dan mungkin prinsip dasar dari ekonomi
kesehatan (health economics).
Ada 17 Puskesmas dan kira-kira 3 Bapel JPKM. Semua institusi kesehatan ini
perlu melatih/ mendidik stafnya di dalam bidang keahlian seperti yang telah disebutkan
tadi. Diperkirakan akan ada kira-kira 45 personil yang memerlukan pendidikan
profesional (professional training) dalam berbagai tingkatan (master, bachelor dan
diploma) dan berbagai bidang keahlian (health administration, epidemiology, hospital
administration dan managed care). Jumlah ini relatif besar dan membutuhkan beberapa
tahun untuk menyelesaikan pendidikan tersebut. Medan memiliki sebuah Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) yang mungkin dapat didukung untuk bisa melaksanakan
program pendidikan tersebut. FKM USU bisa memperoleh dukungan tekhnis dari SPH
University of Indonesia, yang telah memiliki program dalam berbagai bidang yang
disebutkan di atas. Pada saat sekarang ini FKM USU telah ditetapkan sebagai Pusat
Studi Kesehatan Masyarakat (Center for Public Health Studies) yang telah terlibat di
dalam beberapa penelitian kesehatan masyarakat demikian juga sebagai tempat latihan
bagi community development workers (CDW) yang dibiayai oleh proyek ADB di
Sumatera Utara.
G.2.7. Organisasi Profesi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Alumni
Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI) adalah organisasi profesi yang berkaitan dengan kesehatan. Fungsi penting
organisasi ini adalah bekerjasama dengan dinas kesehatan dalam menetapkan standar
dan merumuskan kebijakan sumber daya manusia. Melanjutkan pendidikan staf
puskesmas contohnya, dapat dilakukan kontrak keluar dengan organisasi ini.
H. ARAH KE MASA DEPAN
H.1. Mensosialisasikan Rancangan Sistem Kesehatan
Sosialisasi perlu dilakukan terutama kepada Bupati dan DPRD sebagai pengambil
keputusan terhadap kebijakan dan alokasi anggaran. Adalah penting bagi mereka untuk
mengetahui peranan sektor kesehatan dan kebutuhan akan target pengeluaran yang
efisien dalam rangka pelaksanaan pelayanan umum dan perlindungan terhadap
masyarakat miskin.
Disamping itu perlu juga bagi mereka untuk memahami agar setuju dengan peran
baru dinas kesehatan kabupaten/kota dan cara bagaimana terlaksananya usaha publik
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan
Dr. Yosri Azwar, M.Kes. 2005
41
(public enterprises) di bidang kesehatan. Tanpa adanya political will dari para pengambil
keputusan tersebut, maka mustahil rancangan ini akan berjalan.
Hal ini juga harus disosialisasikan ke jajaran kesehatan yang ada di kabupaten/
kota karena bagaimanapun merekalah yang akan melaksanakannya.
H.2. Advokasi Perubahan Peraturan Yang Diperlukan
1. Mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk mengalokasikan anggaran
minimum bidang kesehatan sebesar 10% dari APBD.
2. Memberi kewenangan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota untuk melakukan
kontrak-kontrak ke luar, disamping kewenangan untuk menentukan kebutuhan
staf termasuk merekrut dan memberhentikannya.
3. Memberi kewenangan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan untuk bisa
berperan sebagai public enterprises, mengontrak staf yang dibutuhkan,
mengelola uang penerimaannya dan menentukan tarip atau menarik biaya
pelayanan kesehatan di atas harga satuan (unit cost).
Beberapa dari hal-hal di atas memerlukan peraturan-peraturan daerah untuk
menjadikannya sah secara hukum legal.
H.3. Pengembangan Sistem Kesehatan
Implementasi dari rancangan sistem ini membutuhkan perbaikan-perbaikan dan
pengenalan sistem baru serta prosedur-prosedur sebagai panduan dinas, rumah
sakit dan puskesmas. Sistem dan prosedur tersebut meliputi:
1. Sistem akuntansi dan pembiayaan untuk rumah sakit.
2. Sistem pembukuan puskesmas.
3. Inventaris, stok obat dan akuntansi puskesmas, rumah sakit dan dinas.
4. Sistem informasi kesehatan.
5. Quality Assurance.
6. Perencanaan dan anggaran kesehatan terpadu.
7. Sistem rujukan dan jaringan kerja antara puskesmas dan rumah sakit.
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan di Kabupaten dan Kota
Yosri Azwar 2003
42
Tabel G.1: Capacity building at the policy and administrative level
Instansi Kewenangan Kemampuan Tekhnis
Dinas Kabupaten/Kota IHPB, priority Consolidating budget Contracting out and in Collect and retain health sector revenue Procurement policy
Entrepreneurship IHPB Advocacy & social marketing Marketing technique Rapid assessment, planning and budgeting, HIS District health account
Bupati/Bappeda Retain local revenue Examine accountability
Health vision Access to health information
DPRD Examine accountability Evaluate health sectors performance
Health vision Access to health information: problem Access on data on performance indicators
Dinas Provinsi Cross subsidization: allocation of GAF for equalization Standard Cross border problems/issues; CDC, pollution
Macro evaluation ; performance indicators Use of technique to allocate resources equitability Training capacity
Gubernur/Bappeda Cross subsidization: allocation of GAF for equalization Standard Cross border problems/issues; CDC, pollution
Macro evaluation ; performance indicators Use of technique to allocate resources equitability
Tingkat Pusat Standardization Technique to allocate resources equitability
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan di Kabupaten dan Kota
Yosri Azwar 2003
43
Tabel G.2: Capacity building at the program and services provider
Instansi Kewenangan Kemampuan Tekhnis
Puskesmas Collect and retain health sector revenue Capture high segment of population with cost recovery Contract with third party for provision of services Set up performance based incentive mechanism Combined private services in health center facilities Cost sharing for equipment with other providers
Computerized information system Use of performance indicators Marketing and health promotion Costing and budgeting Financial management and accounting QA method Basic business management (entrepreneurship) Referral system
Rumah Sakit pemerintah Collect and retain revenue Capture high segment of population with cost recovery Contract with third party for provision of services Set up performance based incentive mechanism Combined private services in health center facilities
General hospital administration knowledge and skill Business management Costing and budgeting Pricing QA Marketing Referral system
Rumah Sakit swasta Set up standard pricing for private hospitals General hospital administration knowledge and skill Business management Costing and budgeting Pricing QA Marketing Referral system
Praktek swasta (sore) Set up a “gate keeper” clinic Organized in an association Bargain for services fee provided
General hospital administration knowledge and skill Business management Costing and budgeting Pricing QA Marketing Referral system
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan di Kabupaten dan Kota
Yosri Azwar 2003
44
Tabel G.3: Capacity building for the support system
Instansi Kewenangan Kemampuan Tekhnis
Third party payers Access to health data and information Start and run a prepayment business on a competitive basis Negotiate with
Principles of insurance and managed care:
Benefit design
Actuarial & premium
Financial management and accounting
Marketing, membership management
Contract
Provider payment, utilization review
Training institutions Access to health data and information Flexibility in opening program relevant to local need
Understanding of the local system
Relevant curriculum development
Professional organization Access to health data and information Set up professional standard Continuing education for member Sanction to member in accordance to code of ethic
NGOs Access to health data and information Report to DPRD
Evaluation technique
Advocacy technique
Rancangan Sistem Pelayanan Kesehatan di Kabupaten dan Kota
Yosri Azwar 2003
45
Gambar G.4: Rancangan Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
UPT UPT
KEPALA DINAS
SUB BAG. UMUM & KEPEG.
SUB BAG. KEU. & PERLENGK.
SUB DINAS STANDARISASI
& PERIZINAN
SUB DINAS PENGEMBANGAN
SISTEM KESEHATAN
SUB DINAS PEMB. PENYAKIT
& PENY. LINGKUNGAN
SUB DINAS YANKES, PROMOSI
& FARMASI
Seksi Standarisasi
Seksi Perencanaan Kesehatan dan
Pendanaan Luar Negeri
Seksi Sertifikasi & Perizinan
Seksi Penelitian, Infokes dan
Kerjasama Lintas Sektor
KA BAG. TATA USAHA
UPT
JABATAN FUNGSIONAL
Seksi Pelayanan Kesehatan
& Promosi
Seksi Farmasi
Seksi Pengamatan dan Pemberantasan Penyakit
Menular
Seksi Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan & Matra