Hasil wawancara

download Hasil wawancara

of 4

Transcript of Hasil wawancara

Hasil wawancara di kota Medan Hasil wawancara dengan Informan 1 (Pejabat di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara) tanggal 3 Juli 2011: Dari wawancara dengan pejabat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, diketahui bahwa Intensitas demonstrasi di Medan cukup tinggi. Namun tidak pernah ada Polisi di Sumatera Utara yang dituntut karena pelanggaran saat pengamanan unjuk rasa, dan bagaimana mungkin polisi mau dikenakan pidana, sementara demonstranlah yang merupakan pelaku yang arogan. Seorang Jaksa menceritakan bahwa 3 hari yang lalu terjadi demonstrasi di depan kejaksaan dengan membawa ban bekas dan oleh karenanya memaksa aparat menangkap seseorang. Sebenarnya hampir setiap hari ada demo di depan kantor kejaksaan dan itu tidak menjadi permasalahan. Namun demonstrasi yang 3 hari lalu itu agak menyebalkan. Karena membawa ban untuk dibakar, oleh aparat disampaikan agar tidak membakar ban tersebut dan silahkan saja menyampaikan apapun yang diinginkan. Namun ban itu tetap dibakar dan kemudian memicu personil keamanan kejaksaan membuka baju dinasnya untuk kemudian menghadapi para pendemon yang membakar ban tersebut. Terjadilah keributan. Namun personil keamanan kejaksaan kemudian menyampaikan bahwa silahkan saja melapor kepada polisi jika tidak terima dengan tindakan tersebut. Tindakan dilakukan karena pendemo sudah mulai anarkis dan merusak, tindakan bukanlah aksi perlawanan melainkan usaha untuk memadamkan api, namun saat melakukan pemadaman para pendemon malah melakukan kekerasan fisik. Pimpinan kejaksaan tidak dapat melerai disebabkan aksi pembalasan oleh para aparat keamanan adalah aksi pembelaan oleh teman-teman aparat dilapangan, karena melihat temannya dipukuli. Saat kejadian ada aparat kepolisian di lokasi. Saat ditanya mengapa bisa terjadi demikian, Jaksa mengatakan bahwa ketika pendemon bertindak diluar aturan, maka aparat keamanan kejaksaan juga menjadi terpancing. Hasil wawancara dengan Informan 2 (Pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) tanggal 4 Juli 2011: Dari wawancara dengan Pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa Intensitas unjuk rasa dikantor gubernur SUMUT sangat sering, dan yang paling sering adalah permasalahan tanah. Pengunjuk rasa sangat bervariatif, mulai dari yang menggunakan jas dan dasi hingga yang tidak memakai pakaian. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa semua unjuk rasa ditampung oleh Pemprov SUMUT, unjuk rasa kenaikan BBM pun juga terjadi di kantor Gubernur, meskipun itu merupakan kebijakan pusat. Kepala Matrik Hansip Linmas Kantor Gubernur Sumatera Utara menyampaikan bahwa LINMAS bertugas menerima unjuk rasa. Membuat laporan jika ada unjuk rasa. Membuat rekap mengenai itu sebulan sekali. Saat mereka datang, izin unjuk rasa diperiksa, lalu diminta catatan mengenai apa tuntutannya. Setelah itu tuntutan dan perwakilan pengunjuk rasa akan diajak bertemu dengan pejabat yang sesuai dengan permasalahan yang dituntut. Namun jika tidak mau bertemu dengan pejabat setingkat ekselon 2 maka akan diinformasikan kepada gubernur bahwa pengunjuk rasa hanya ingin bertemu gubernur. Petugas hansip menggunakan kayu untuk melindungi diri jika terjadi anarkis. Dari Kepala Matrik Hansip Linmas Kantor Gubernur Sumatera Utara diperoleh data:

1. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 300/098.K/TAHUN 2003 tentang Standart Pembinaan Dan Pengendalian Keamanan, Ketentraman / Ketertiban Lingkungan Kantor Gubernur, Kantor DPRD Propsu, Dan Rumah Pejabat Pempropsu Terlampir. 2. Prosedur Tetap Nomor: Protap / 21 / III / 2003 tentang Pengamanan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Kantor DPRD Prop Sumatera Utara Dan Rumah Pejabat Pem. Prop Sumatera Utara Terlampir. 3. Rekapitulasi Demonstrasi / Unjuk Rasa di Lingkungan Sekretariat Kantor Gubernur Sumatera Utara Medan Selama Bulan Mei Tahun 2011 Terlampir. Hasil wawancara dengan Informan 6 (Demonstran di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara) tanggal 4 Juli 2011: Dari wawancara dengan seorang demonstran di halaman Kator Gubernur Sumatera Utara, diketahui bahwa dalam pelaksanaan unjuk rasa meraka tidak ada tindakan berlebihan dari aparat dan tidak ada larangan untuk berdemonstrasi. Meraka juga sudah memberitahukan kepada polisi untuk melakukan aksi. Mereka hanya ingin bertemu dengan Plt.Gubernur SUMUT (H. Gatot Pujo Nugroho, ST). Tuntutan telah disampaikan, massa kurang lebih 1000 orang, dan mereka tidak membawa alat yang berbahaya, hanya hasil-hasil perkebunan. Hasil wawancara dengan Informan 7 (Aparat pengamanan unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara) tanggal 4 Juli 2011: Dari wawancara dengan aparat pengamanan unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara, diketahi bahwa massa akan berdemontrasi hingga bertemu dengan Plt.Gubernur SUMUT. Rencananya ada sekitar 1000 orang yang akan berdemonstrasi. Persiapan sudah dilakukan untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Dikatakan olehnya bahwa aparat pada dasarnya hanya menjaga agar tidak anarkis. Unjuk rasa jarang anarkis, kecuali unjuk rasa yang terjadi di kantor DPRD yang menyebabkan kematian Ketua DPRD waktu lalu. Aparat sering kewalahan karena pengunjuk rasa terkadang berbohong tentang jumlah massa. Dikatakan 500 orang, ternyata yang datang jauh lebih banyak. Hasil wawancara dengan Informan 5 (beberapa Pengacara LBH Medan) tanggal 4 Juli 2011: Dari wawancara dengan beberapa Pengacara LBH Medan, disampaikan bahwa LBH kurang memiliki data tentang korban-korban unjuk rasa, namun ada memang yang sampai ke proses pengadilan. Contohnya kasus mas mining (tambang mas) di mandailing madina sumatera utara. Pelaku lainnya masih di selidiki oleh POLRI. Korban ditembak polisi karena bakar-bakar, namun ketika diinvestigasi, si korban pengunjuk rasa tidak merasa membakar apapun. Jadi semacam ada yang masuk dan memprovokasi. Namun karena mereka yang aksi, maka korlapnya harus bertanggung jawab. Oknum polisi juga diproses, namun hanya kena disiplin, padahal brimobnya main tembak saja. Kami sering lihat di lapangan, tembak satu biar mundur semua. LBH mengatakan, hal ini tidak seimbang dengan apa yang menimpa dengan korban pengunjuk rasa, harusnya dikenakan pidana. Lalu mengenai protap pengamanan unjuk rasa tahun 2010, secara normatif dikatakan bagus, tapi polisi di lapangan tidak paham itu. Protap penghormatan ham tahun 2009 sering tidak ditaati aparat, polisi masih banyak yang tidak paham. Jadi konsep HAM dalam pengamanan itu tidak ada. Pihak yang salah silahkan di hukum, tapi penanganannya jangan brutal. Jadi kesannya otomatis ke polisi sendiri. Demonstrasi tidak mungkin rusuh jika penanganannya baik. LBH juga

sering demonstrasi, tapi kami tidak pernah bentrok-bentrok. Pihak institusi yang di datangi terkadang yang membuat situasi jadi rusuh. Misalnya jika pendemo mengundang kejaksaan selama lima menit untuk hadir dan menjawab apa yang diinginkan pendemo, tapi mereka tidak mau datang. Sehingga kesannya tidak mau menampung aspirasi. Pihak yang malah datang menemui pendemo adalah orang yang jabatannya tidak ada hubungannya dengan aspirasi pendemo. Wajar jika pendemo semakin marah. Dari wawancara dengan LBH, didapat sebuah laporan sederhana hasil penelitian mendalam oleh Majda El Muhtaj tentang peristiwa penembakan oleh aparat kepolisian pada kasus unjuk rasa warga masyarakat Desa Hutagodang Muda Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, dengan PT. Sorikmas Mining yang terjadi di wilayah Siabu pada hari Minggu 29 Mei 2011 Terlampir. Hasil wawancara dengan Informan 4 (Pejabat di Kepolisian Daerah Sumatera Utara) tanggal 5 Juli 2011: Dari wawancara dengan Pejabat di Kepolisian Daerah Sumatera Utara, diketahui bahwa Sebelum unjuk rasa, mereka (pengunjuk rasa) memberitahukan dan menyampaikan kepada POLRI, bisa kepada POLRES ataupun POLDA. Begitu disampaikan, diberikan STTP yaitu Surat Tanda Terima Pemberitahuan. Rata-rata dua atau tiga hari sebelum kegiatan, ada juga yang satu hari, ada yang mepet juga, ketentuannya memang tiga hari, namun pelaksanaan dilapangan ternyata seringkali mepet waktunya, tapi itu tidak dipermasalahkan, kita selalu koordinasi dengan korlapnya, dalam artian, kami ingin tahu, karena dalam pemberitahuan terkadang tidak disampaikan berapa jumlah orang yang kira-kira nantinya akan melakukan aksi. Sedangkan kami (polisi) paling tidak harus tau juga, karena ini kaitannya dengan persiapan anggota dilapangan. Pengunjuk rasa terkadang berbohong tentang jumlah yang akan aksi, diinformasikan jumlahnya 5000 orang, ternyata hanya 500 yang aksi, juga sebaliknya, oleh karena itu kami juga melakukan pemantauan atau mendeteksi di lapangan akan sebesar apakah aksi yang akan dilakukan. Sebenarnya yang diinginkan oleh kepolisian dengan adanya pemberitahuan oleh pengunjuk rasa tiga hari sebelum aksi adalah adalah agar kepolisian dapat mempersiapkan tenaga personil bagaimana cara bertindaknya, mensosialisasikan kepada masyarakat, dengan menutup jalan atau merekayasa arus kendaraan, dan memberitahukan kepada pihak yang dituju. Siapa yang akan menerima mereka di tempat yang dituju. Namun kendalanya ini sering dilanggar, ketentuan kurang tegas mengenai hal ini. Dengan waktu yang cukup, maka aparat akan mempersiapkan diri dengan lengkap, siap korlapnya, penanggung jawab, apa tema yang disuarakan, berapa jumlahnya, apa fasilitas apa yang mau dipakai. Ini semua dibutuhkan untuk mengantisipasi sejak dini. Ketentuan 3 hari itu tidak ada sanksinya jika dilanggar. Polisi tidak bisa langsung dengan tegas menolak, Jadwal diminta untuk dimundurkan, namun apakah mereka mau? Biasanya sangat jarang, karena terkait momen yang sesuai, misalnya pas ulang tahun kejaksaan. tapi terkadang bisa juga, tergantung bagaimana koordinasi dengan korlap-korlapnya. Pengaturan memberitahukan tiga hari sebelumnya diatur dalam UU kebebasan menyampaikan pendapat. STTP adalah surat yang dibuat oleh pihak kepolisian setelah mendapat pemberitahuan oleh pihak pengunjuk rasa. Aksi tanpa pemberitahuan, aparat akan melakukan tahapan-tahapan sesuai ketentuan, diantaranya tahapan memberi peringatan, tahapan membubarkan, namun polisi selalu melihat situasinya terlebih dahulu, jika situasinya terkendali dan bisa diberi himbauan, maka aksi dapat

diteruskan, namun jika anarkis maka akan dibubarkan. Di tempat awal persiapan aksi, polisi sudah memantau apa yang dibawa oleh pengunjuk rasa, lalu dibersihkan, kalau dimungkinkan maka akan dilakukan pemeriksaan, namun jika jumlahnya terlalu besar, maka akan ditandai, disyuting (rekam), setelah kegiatan, baru diproses, kalau di mungkinkan, maka saat aksi yang ketahuan membawa akan ditangkap. Personil yang bertugas di lapangan jelas sudah mengetahui dan memahami protap dan perkap serta memahami penghormatan hak asasi manusia. Sejak masa pendidikan bintara dan pendidikan lainnya personil sudah diajarkan. Protap sudah disosialisasikan. Hasil wawancara dengan Informan 3 (Akademisi di Universitas Sumatera Utara) tanggal 6 Juli 2011: Dari wawancara dengan Akademisi di Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa demonstrasi memang hampir tiap hari, unjuk rasa mahasiswa malah jarang di medan, karena mungkin letih jika tiap hari. Terkadang pihak universitas menggiring mahasiswa ke tempat tujuan unjuk rasanya, untuk menghindari persinggungan antar pendukung. Unjuk rasa anarkis di Medan termasuk jarang. Sekali dua memang ada terjadi, termasuk peristiwa kematian Ketua DPRD, namun kejadian itu membuat rekor buruk bagi sumatera utara. Sebenarnya bapak Ketua DPRD yang meninggal itupun memang punya penyakit jantung, jadi mungkin kena serangan jantung saat kejadian. Ketika peristiwa kematian Ketua DPRD, terlalu banyak menyalahkan pihak keamanan. Pendemo suka datang tanpa terprediksi oleh aparat. Masyarakat yang terdiri dari banyak unsur tentu akan membuat kewalahan aparat, namun aparat tentu bisa mengatasinya asalkan tidak lengah. Bisa saja dibantu oleh tentara dengan pansernya. Polisi masih bersikap persuasif. Polisi harus koordinasi dengan pihak tentara apabila keadaan terlalu gawat. Demonstrasi di Medan adalah hal yang biasa terjadi. Kerusakan yang terjadi seperti kaca kantor pecah dan itu sering memicu kemarahan pegawai kantor. Hal yang penting adalah aparat tetap tegas. Di kejaksaan juga baru-baru ini ada demonstrasi, lalu terjadi perkelahian. Oknum perusuh ternyata seorang mahasiwa dari daerahnya, ia meminta agar ditangkap bupati didaerahnya tersebut. kejaksaan dituntut kritis untuk menyikapi perilaku bupati yang menyimpang dalam menggunakan APBN. Pada peristiwa itu tidak ada korban jiwa, namun hanya sekedar lebamlebam yang sebenarnya biasa bagi orang laki-laki berkelahi.