HASIL PENELITIAN KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA … · Contoh yang paling kentara adalah pada...

95
i HASIL PENELITIAN KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN BERAGAMA Peneliti: Dr. Drs. Muntoha, SH., M.Ag Ali Rido UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS HUKUM YOGYAKARTA 2011

Transcript of HASIL PENELITIAN KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA … · Contoh yang paling kentara adalah pada...

i

HASIL PENELITIAN

KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENGATURAN

KEHIDUPAN BERAGAMA

Peneliti:

Dr. Drs. Muntoha, SH., M.Ag

Ali Rido

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

YOGYAKARTA

2011

LAPORAN PENELITIAN

KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENGATURAN

KEHIDUPAN BERAGAMA

Yogyakarta, l3 Mei 2011

Mengetahui,

*IJIMJIUI

Peneliti,

Dr. Drs. Muntoha, SH.,M.Ag

ISLAMEoozmult

qflfrtruJ

z3

iii

ABSTRAK

Salah tujuan dan fungsi negara adalah menciptakan keadaan yang baik agar rakyat dapat

mencapai keinginan secara maksimal dan menciptakan persamaan serta kebebasan bagi

warganya. Oleh karenanya jaminan tersebut dituangkan ke dalam kosntitusi sebagai

resultante, termasuk didalamnya kebebasan beragama. Akan tetapi ketika kebebasan

tersebut di implementasikan dalam ranah yang lebih nyata, nampaknya menimbulkan

persoalan yangs serius, sehingga konflik yang berbau agama sering terjadi. Dalam

menyikapi tersebut negara sebagai organ yang memiliki wewenang mengatur akhirnya ikut

campur dalam mengurusi persoalan keagamaan. Tindakan pemerintah itupun menimbulkan

pro dan kontra dikalanagan masyarakat. Penelitian ini terfokus pada tiga hal penting yang

menjadi persoalan, pertama, apa urgensi negara mengatur aliran-aliran agama di

Indonesia?, kedua, Bagaimana pengaturan kehidupan beragama di Indonesia ?, ketiga, Apa

saja yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama ?. Penelitian ini

adalah penelitian hukum normatif, sehingga bahan hukum yang digunakan Bahan hukum

primer, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan

permaslahan yang dibahas. Dari bahan tersebut digunakan untuk menganalisis rumusan

masalah yang telah dirumuskan tersebut. Penelitain ini menyimpulkan, pertama, urgensi

negara melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama adalah sebagai bentuk

perwujudan atas tujuan negara yaitu untuk mewujudkan keamanan ekstern, ketertiban

intern, keadilan, kesejateraan umum dan menjaga keamanan masyarakat. Kedua, dalam

mengatur kehidupan beragama masyarakat, negara lebih memakai konsep/model

pengaturan yang bersifat relatif (perspektif relativisme HAM), sehingga hal itu dibenarkan

baik didalam instrumen internasional maupun nasional. Ketiga, bentuk-bentuk intervensi

yang dilakukan oleh negara, secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya pada

lingkup urusan adminstasi keagamaan negara ikut campur tangan dalam mengurusi

aktifitas keagamaan warga negaranya, seperti dalam urusan pemenuhan fasilitas yang

mendukung kelancaran ibadah bagi setiap pemeluk agama. Adapun alasan yang dibenarkan

untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-

mata perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan masyarakat), public

order (ketrtiban masyarakat), public health (kesehatan masyarakat), public morals (etika

dan moral masyarakat), dan protection of rights and freedom of others (melindungi hak

dan kebebasan mendasar orang lain).

iv

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohim

Kepasrahan atas ketetapan Allah yang bersenyawa dengan ketundukan pada

kekuasaannya yang tak tertandingi, telah meniscayakan kita untuk selalu bernaung

dibawah lindungannya dari konspirasi yang menjebak. Begitupun kebijaksanaan hati yang

telah mampu memberi pertimbangan pada rasio disaat akan memutuskan suatu ketetapan,

telah pula mengajarkann kita untuk pandai mensyukuri samudera nikmat yang

dihamparkannya tak terhingga. Alhamdulillah...

Selanjutnya, marilah kita tak henti-hentinya haturkan sholawat dan salam ta’dzim

kepada rasulullah SAW yang mengajari kita untuk meminta qishash atas

kepemimpinannya, sehingga kita tidak mengenal tradisi menuduh jika berlaku khilaf,

ataupun menepuk dada keangkuhan ketika keberhasilan diraih. Percayalah bahwa semua

keberhasilan dan perubahan yang ada merupakann dialektika aktif dari seluruh struktur,

infrastruktur bahkan kultur yang mengitarinya.

Penelitian ini berjudul KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN BERAGAMA. Ada tiga persoalan penting

yang di kaji didalam penelitian ini, yaitu, pertama; filosofi urgensi negara mengatur aliran-

aliran agama di Indonesia, kedua; pengaturan kehidupan beragama di Indonesia, ketiga;

bentuk intervensi apa saja yang dilakukan oleh negara negara terhadap agama yanag

berkembang di indonesia.

Sejumlah persoalan yang menyangkut kebebasan beragama sering kali

bermunculan di Indonesia, mulai dari kekerasan berbasis agama, pelarangan ajaran-ajaran

tertentu, sampai kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas

keagamaannya. Seperti diketahui bersama bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi

bangsa Indonesia diantaranya konflik-disintegrasi bangsa, penegakan hukum dan HAM.

Salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun adalah hak

beragama, bahkan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya.

v

Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban

melindungi penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau

menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Akan tetapi fakta yang muncul di ranah publik malah menimbulkan persoalan

ketika seseorang mengekspresikan hak kebabasannya. Sehingga terjadi konflik horizontal.

Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah sebagai pemegang kekuasaan turut campur

dalam upaya menyelesaikan permasalahan tersebut. Atas tindakan pemerintah itu, apakah

kemudian dibenarkan negara ikut campur mengurusi kebebasan individu warga negaranya

yang berkaiatan dengan kebebasan beragama?, lantas bagaimana pengaturan dan bentuk-

bentuk pengaturan yang di kategorikan sebagai intervensi negara terhadap kebebasan

beragama warga negaranya?. Pertanyaan mendasar iniliah yang kemudian dikaji dalam

penelitian ini.

Peneliti mengucapkan banyak terima kasih tak terhingga kepada pimpinan Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan fasilitas dana dan kesempatan

untuk meneliti. Tidak lupa peneliti sampaikan terima kasih kepada dosen-dosen di

lingkungan Fakultas Hukum UII yang telah berkenan mengkoreksi dan mempertajam

fokus penelitian ini dalam seminar proposal. Semoga sikap baik dan penularan intelektual

bapak dan ibu dibalas oleh Allah dengan balas yang setimpal. Amin.

Peneliti juga menghaturkan terim kasih kepada staf Pustaka FH UII dan Pusat Studi

Islam UII yang telah membantu memfasilitasi bahan-bahan penelitian. Semoga yang maha

kuas Allah membalasnya dengan pahal yang berlimpah. Amin.

Peneliti sadar betul bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karenanya peneliti mengharapkan dengan sangat kritik dan saran yang konstruktif untuk

dijadikan bahan tambahan penyempurnaan penelitian ini. Harapan yang selalu terpatri oleh

vi

peneliti adalah semoga penelitian ini dapat memberi manfaat dan menambah khazanah

keilmuan di FH UII pada khususnya. Amin ya rabbal’alamin.

Yogyakarta, 13 Mei 2011

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... . ii

ABSTRAK......................................................................................................... .. iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... vii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6

D. Luaran yang Diharapkan................................................................. . 6

E. Kegunaan......................................................................................... . 6

F. Tinjauan Pustaka.............................................................................. . 7

G. Metode Penelitian............................................................................ . 11

1. Jenis Penelitian............................................................................ . 11

2. Bahan Hukum............................................................................... 11

3. Metode Pendekatan...................................................................... 12

4. Analisa Bahan............................................................................... 12

BAB II : HAK SIPIL, KEBEBASAN SIPIL DAN KONSEP KEWENANGAN

NEGARA

A. Hak Sipil dan Kebebasan Sipil....................................................... . 14

B. Konsep Kewenangan Negara.......................................................... 16

BAB III : PEMBAHASAN

A. Konvergensi dan Urgensi Pengaturan Aliran Keagamaan/Kepercayaan di

Indonesia..................................................................................... 21

viii

1. Tujuan Negara dan Relevansinya Terhadap Pengaturan Aliran

Keagamaan/Kepercayaan di Indonesia.................................... 21

2. Fenomena Aliran Keagamaan dalam Bingkai Sejarah Indonesia dan

Urgensi Pengaturannya............................................................ .27

3. Justifikasi Suatu Negara dalam Melakukan Pembatasan Beragama atau

Berkeyakinan......................................................................... 30

B. Universalisme dan Relativisme HAM; Konsep Kebebasan Beragama dan

Pengaturannya di Indonesia....................................................... 33

1. Definisi Kebebasan dan Ruang Lingkupnya........................ 33

2. Konsep Kebebasan Beragama Perspektif Universalisme dan Relativisme

HAM..................................................................................... 37

3. Pasal 29 UUD 1945 dan Berbagai Interpretasinya Serta Konsep

Kebebasan Beragama (Berkeyakinan) Perspektif MK............ 43

4. Pengaturan Kehidupan Beragama di Indonesia dan

Signifikansinya....................................................................... 54

C. Identifikasi Bentuk-bentuk Intervensi (campur tangan) Negara Terhadap

Kehidupan Beragama di Indonesia................................................ 61

1. Kegiatan Lintas Sektoral.......................................................... 62

2. Pendidikan Agama................................................................... 62

3. Kerukunan Hidup Beragama.................................................... 63

4. Pembinaan Badan-badan Peradilan Agama.............................. 64

5. Pembinaan Aparatur dan Sarana Fisik...................................... 65

6. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah............... 67

ix

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................. ...... ... 73

B. Saran.............................................................................................. .. 76

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 78

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Meski bukan tema baru dan sudah sering dibahas pada diskusi, seminar,

konferensi, maupun di artikel atau buku, tetapi persoalan kerukunan dan kebebasan

umat beragama senantiasa perlu kembali disegarkan dan terus-menerus

disosialisasikan. Penyegaran dan sosialisasi itu disebabkan konflik antar umat

beragama dan intern umat beragama di Indonesia khususnya dan di dunia pada

umumnya, masih terus berlangsung hingga hari ini. Oleh karena itu, kerukunan dan

kebebasan umat beragama sangat di perlukan, agar dapat menjalani kehidupan

beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh

dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu, agenda-agenda

kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama antar agama, seperti

memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk

pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan

sebaik-baiknya.

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai

posisi yang kompleks.1 Sering dipandang sebagai fasilitator bagi kepentingan

proteksi manusia sebagai homo sapiens, dan memungkinkan manusia

mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap

terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, serta membentuk hubungannya

dengan sesama makhluk.

1 Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

(ELSAM), Jakarta, 2001, hlm. 238-239.

2

Dalam konfigurasi ketatanegaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi

yang penting juga. Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal

mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik.

Norma-norma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam kesendirian hingga

partisipasi aktif dalam kehidupan politik suatu negara. Menurut Ifdhal Kasim2

kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar dalam instrumen-

instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran

mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik. Namun demikian,

kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan

dengan entitas negara.

Walaupun sederhana, sembulan-sembulan persoalan kebebasan beragama

yang berimplikasi terhadap kerukunannya barangkali ada kesesuaiannya dengan apa

yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Sejumlah persoalan yang menyangkut kebebasan

beragama bermunculan mulai dari kekerasan berbasis agama,3 pelarangan ajaran-

ajaran tertentu,4 sampai kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat

dalam aktivitas keagamaannya.5 Isu pokok yang menjadi uraian dalam tulisan ini

adalah makna kebebasan beragama, ditinjau dari hukum dan HAM, serta analisis yang

menunjukkan adanya persoalan kebebasan beragama ketika harus berhadapan dengan

otoritas negara.

2 Ibid 3 Lihat misalnya tulisan Abd A’la, “Kekerasan Atas Nama Agama”, Harian Kompas, 14 Oktober 1999,

hlm. 4-5. 4 Lihat Abdul Aziz Dahlan, “Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi” dalam

Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 83-84. 5 Lihat kasus-kasus di Indonesia khususnya kurun 1998-sekarang, antara lain Kasus Lia Amminuddin

dan Ahmad Mashaddeq.

3

Seperti diketahui bersama bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi

bangsa Indonesia diantaranya konflik-disintegrasi bangsa, penegakan hukum dan

HAM. Salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun adalah hak beragama, bahkan setiap orang bebas memilih agama dan

beribadat menurut agamanya. Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama,

sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi penduduk dalam melaksanakan

ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu

ketenteraman dan ketertiban umum. Namun apabila melihat faktanya cukup timpang

jika dibandingkan dengan keadaan empirisnya. Contoh konkretnya adalah ketika

adanya penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara menteri dan kejaksaan

terkait Jamaah Al Qiyadah Al Islamiyah, hal itu dinilai sebagai tindakan berlebihan

pemerintah terhadap privasi rakyatnya.

Dalam regulasi yang berlaku di Negara indoensia juga menampilkan fakta

kebijakan diskriminatif, hal tersebut bisa dilihat dalam peraturan-pertauran

perundnag-undnagan sebagai berikut :

1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Dalam UU tersebut

Negara hampir-hampir tidak melirik sedikitpun agama-agama tidak resmi.

Bahkan yang mengemuka adalah pertengkaran tanpa makna antara Islam

dengan Kristen ketika memperdebatkan pasal agama. Dalam pasal 31 dari

undang-undang tersebut masih mengandung semngat membatasi hak beragama

dengan persepsi lima agama resmi.

2. Peraturan pemerintah (PP) RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan

Agama Dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata, PP ini sebenarnya

sudah diskriminatif bagi agama dan suku apabila melihat bahasan-bahasan

4

eksplisitnya. Contoh yang paling kentara adalah pada pasal 9 ayat 1 bahwa

pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, katolik,

Hindu, Budha, dan Khonghucu. Model ini yang kemudian berimplikasi pada

bahasan-bahasan dalam pasal berikutnya, yang secara gamblang hanya

membatasai pendidikan agama dan keagamaan pada enam agama tersebut.

3. Undang-undang Administrasi dan Kependudukan yang dikeluarkan pada tahun

2006. Pasal krusial yang menjadi perdebatan itu berkaitan dengan adanya

diskriminasi agama didalam dokumen kependudukan. Antara lain adanya

penghilangan hak sispil terhadap warga Negara yang menganut agama di luar

“lima agama yang di urus”. Dampaknya kepada tidak adanya pelayanan

pencatatan sipil dalam peristiwa penting dari penduduk yang agamanya

terdiskriminasi tersebut.

Fakta lainnya ialah ketika langkah negara (pemerintah) dalam menyikapi

fenomena sekte yang dianggap menyimpang yang ada di Indonesia. Perilaku negara

dan tokoh agama dalam menyikapi aliran dan kelompok agama yang dianggap sesat

memunculkan persoalan serius menyangkut kebebasan dan hak-hak individu di negeri

kita. Setiap kali ada kelompok agama atau keyakinan baru yang muncul, reaksi yang

diperlihatkan para tokoh mayoritas yang mengaku lebih tahu tentang islam secara

umum tampak sangat berlebihan. Jika bukan dihakimi langsung, kaum mayoritas

ramai-ramai menuntut polisi dan aparat pemerintah untuk memberangusnya,

seringkali dengan cara yang merendahkan dan mempermalukan martabat seseorang.

Setelah kasus Al-Qiyadah al-Islamiyah yang masih segar dalam ingatan kita, kini

muncul lagi kasus penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa

Barat. Ini adalah peristiwa yang kesekian kalinya Ahmadiyah mengalami kekerasan

dan permusuhan dari umat Islam. Dengan pemberitaan yang tidak adil, media massa

5

kita juga cenderung memihak agama status-quo, sambil ikut-ikutan mencap “sesat”

kelompok minoritas itu.

Dari pemaparan tersebut nampak bahwa negara (pemerintah) mempolitisasi

agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Hal ini diwujudkan dengan pengakuan

negara terhadap agama secara resmi yang tertuang dalam kebijaakan-kebijakannya,

baik itu berupa peraturan-peraturan maupaun putusan-putusan bersama. Oleh karena

itu seseuai dengan makna politisasi agama, yaitu upaya mempergunakan agama

sebagai alat unutk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu, baik yang dilakuakn oleh

orang peroranagn atau kelompok maupun institusi tertentu.6 Politisasi agama dalam

wujud pengakuan negara terhadap agama secara resmi sudah jelas bertentangan

dengan hak asasi manusia (HAM), hal seperti itu sama halnya dengan menegasikan

makna makhluk sosial, karena ada makhluk yang direndahkan, bahkan tidak dianggap

manusia. Dengan adanya fakta tersebut jelas-jelas telah memberikan kontradiktif

terhadap tujuan Negara, sesuai dengan semangat yang digelorakan oleh Aristoteles

bahwa negara memilki tujuan meneyelenggarakan kehidupan yang lebih baik. Apabila

kemudian dikorelasikan dengan tujuan negara hukum, yaitu untuk mewujudkan

keamanan, keadilan, kepastian, dan kesejahteraan nampaknya fakta diskrimnasi yang

dilakukan oleh pemerintah di atas sangat jauh dari idealisme tujuan negara hukum

tersebut.

Berdasarkan fenomena di atas sudah menjadi keharusan bahwa kewajiban,

tugas dan tanggung jawab negara harus direposisi. Tugas pemerintah harus

memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan

6 Suryadi Radjab, Indonesia:Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik Indonesia,

PBHI dan TAF, Jakarta, 2001, hlm. 47

6

ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib, baik intern

maupun antar umat beragama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa urgensi negara mengatur kehidupan beragama di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan kehidupan beragama di Indonesia ?

3. Apa saja yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama ?

C. Tujuan

1. Mendeskripsikan bentuk pengaturan kehidupan beragama yang berlaku di

Indonesia secara makro namun komprehensif ;

2. Menganalisis persoalan kebijakan pengaturan kehidupan beragama yang tergolong

sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama di Indonesia.

D. Luaran yang Diharapkan

Luaran penelitian ini adalah artikel ataupun jurnal yang mengkaji tentang

bentuk kebijakan yang berkaitan pengaturan kehidupan beragama yang berlaku di

Indonesia, dan kebijakan pengaturan apa saja yang tergolong sebagai bentuk

intervensi negara terhadap agama, sekaligus juga kritikan bagi pemerintah terkait

peran sertanya dalam menjaga dan menfasilitasi warga Indonesia dalam berbagai

aktifitasnya, termasuk beragama.

E. Kegunaan

Secara umum, penelitian ini berguna untuk memberikan pencerahan pada

pemikiran warga Indonesia yang selama ini masih awam terhadap pengetahuan terkait

7

batasan-batasan negara dalam memberikan jaminan kebebasan beragama bagi

warganya. Selain itu, penelitian ini juga berguna untuk:

1. Memberikan penjelasan akan pentingnya negara terlibat atau mengatur kehidupan

aliran keagamaan di Indonesia.

2. Memberikan penjelasam bagaimana pengaturan yang berlaku di Indonesia

tentang kehidupan beragama;

3. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan pengaturan apa saja yang tergolong

sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama di Indonesia;

F. Tinjauan Pustaka

Buku yang ditulis oleh Abdullahi Ahmed an Na’im berjudul Islam dan Negara

Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, kemudian menarik untuk ditelisik,

khususnya dalam kerangka negara modern plus plural semacam Indonesia. Menurut

Abdullahi Ahmed An Na’im, melalui buku ini, negara memang tidak seharusnya

menjadikan agama sebagai tameng untuk mencapai keinginannya. Dengan kata lain,

menjadikan doktrin agama sebagai landasan tindakan negara terhadap warga

negaranya akan menjadikan Islam itu sendiri menjauh dari kesuciannya. Sebab, ketika

syariah (doktrin agama) diformalkan melalui aturan-aturan negara, itu berarti

masyarakat muslim menjalankan perintah agama itu atas dasar desakan dari negara,

dan ini tentu tidak dapat diperbolehkan. Menjalankan perintah agama sepenuhnya

harus dikembalikan kepada individu masing-masing sehingga esensi ibadah sebagai

penyerahan dan pengabdian diri kepada Tuhan (Allah ta’ala) terpenuhi dengan sebaik-

baiknya. Prinsip syariah sendiri akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila

dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan

8

sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam.

Pendapat ini disebut an-Naim sebagai 'netralitas negara terhadap agama. Menurut an

Na’im, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat

Islam model ini.7

Sementara dalam konteks ke Indonesiaan, beberapa penelitian

mengungkapkan bahwa hubungan negara dengan rakyat sejak lama telah menjadi satu

persoalan. Bahtiar Effendy mengungkapkan bahwa hubungan politik antara negara

dengan agama (Islam) di Indonesia telah lama mengalami kebuntuan. Kedua pihak

(negara dan tokoh Islam) sama-sama memandang satu sama lainnya sebagai “musuh”

atau paling tidak “memandang curiga”, sehingga harus ditundukkan dan dilemahkan

posisinya. Sejauh perjalanan Indonesia, periode pemerintahan pertama (Soekarno) dan

sebagian besar periode kedua (Soeharto), kelompok agama (Islam) menjadi pihak

kalah dalam persaingan politik. Dengan demikian, tidak jarang intervensi negara

terhadap berbagai kegiatan keagamaan terjadi dengan cara-cara represif. Maka, untuk

mendamaikan ‘konflik’ ini, Bahtiar menawarkan pembangunan hubungan politik yang

integratif antara Islam dengan negara. Dengan model hubungan macam ini,

diharapkan antar Islam politik dan negara dapat “hidup damai” bersandingan.8

Kenegaraan dengan format negara hukum bisa saja tidak “menghiraukan”

berbagai bentuk hubungan yang terbentuk dalam suatu negara seperti di Indonesia

yang tidak jarang berubah-ubah, sebab segala tindakan sudah terkondisikan dengan

berbagai macam aturan yang berlaku. Namun, pergerakan perpolitikan negara

terkadang tidak dapat terkontrol hanya dengan mengandalkan aturan yang berlaku. Di

7 Abdullahi Ahmed An Na’im, Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Mizan, Bandung,

2007 hlm. 16 8 Kedua model ini dalam penerapannya juga memiliki beberapa variasi. Baca lebih lengkap dalam, Bahtiar

Effendy Islam dan Negara Penerbit Paramadina, , Jakarta, 1998, hlm. 332-338

9

Indonesia, perpolitikan (para tokoh agama) Islam sering menjadikan kondisi negara

(agak) goyah atau disintegrasi, utamanya yang terkait dengan persoalan sesensitif

keyakinan. Peristiwa terkait keyakinan beragama yang banyak terjadi belakangan

adalah contoh paling segar untuk dikemukakan.

Buku yang ditulis Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi tahun 2001 berjudul

“Intervensi Negara Terhadap Agama”, sebenarnya cukup representatif menerangkan

persoalan ini yang belakangan muncul kembali. Dalam penelitiannya itu, penulis

menyimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 29 UUD 1945, pelaksanaan kehidupan

beragama; baik intern umat beragama, antar umat beragama, dan umat beragama

dengan pemerintah, sudah cukup terjamin legalitas hukumnya. Kalau dilihat dari

pelaksanaan Pasal tersebut dalam kehidupan beragama, kewenangan negara terbatas

pada masalah “administrasi organisasional”, bukan pada masalah material (ibadah dan

syariat agama).9 Tindakan negara yang sampai pada pengaturan terhadap bagaimana

syariat yang benar harus dijalankan, misalnya, berarti negara telah sampai pada

pelanggaran terhadap HAM warganya.

Buku yang cukup baru dan layak untuk dibaca yaitu yang ditulis Tedi

Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama Resmi

dan Diskriminasi Hak Sipil. Dalam urainnya tedi mencoba membedah bagaimana

negara sampai terlibat mengurusi persoalan keagamaan yang nyata-nyata wilayah

private tiap individu maysarakat. Ia menjelaskan secara komprehensif bahwa secara

nyata politik pengakuan tentang agama pertama-tama telah memilah-milah agama ke

dalam “agama legal” dan “agama illegal”, ia mengatakan bahwa politik pengakaun

9 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, UII Press, Yogyakarta, 2001,

hlm. 239

10

negara atas agama tercermin dalam berbagai regulasi.10 Akan tetapi penulis buku

tersebut belum menyebutkan secara terperinci ataupun mendetail aturan mana saja

yang kemudian disebut sebagai regulasi yang diskrimnatif terhadap agama-agama

yang hidup di Indonesia.

Dari uraian tersebut nampaknya para penulis ataupun peneliti belum

mendeskripsikan secara detail kebijakan pengaturan apa saja yang sebenarnya telah

dikeluarkan oleh pemerintah sebagai lembaga yang legal dalam memproduk aturan-

aturan hukum. Kemudian dari uraian penelitian terdahulu nampaknya belum di

uraikan secara menyeluruh yang berkaitan dengan keterlibatan negara dalam

mengurusi aliran-aliran yang berkembang seiring dengan dinamika zaman. Selain itu

juga apabila dilihat secara teliti, beberapa buku yang telah disebutkan di atas belum

menampilkan aturan yang aktual yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam

mengantisipasi berkembangnya aliran keagmaan yang di anggap menyimpang.

Hal yang kemudian menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah dengan

memberikan pemaparan terhadap urgensi negara mengatur aliran-aliran agama yang

ada di Indonesia, dan juga di uraikan bagaimana pengaturan kehidupan beragamanya.

Aspek lain yang menjadi perbedaan adalah dengan memberikan penjelasan apa saja

yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadapa agama dan tujuan

dikeluarkannya aturan tersebut sebagai bentuk intervensi negara terhadap kehidupan

beragama.

10 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama Resmi dan

Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009, hlm. 326.

11

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library research).11 Ini juga

dikatakan sebagai pnelitian hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai

apa yang tetulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau morma yang merupakan patokan prilaku manusia

yang dianggap pantas.12

2. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, digunakan bahan hukum berupa bahan hukum yang

terdiri atas :

a. Bahan hukum primer, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan

yang relevan dengan permaslahan yang dibahas. Seperti Kitab Undang-

undagng Hukum Pidana, UU No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU No. 12 tahun 2005 tentang

Ratifikasi ICCPR, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku, jurnal, artikel dan literatur lainnya

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang di peroleh dari kamus.

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata, Jakarta, 1973, hlm. 15. 12 Amirudin Zainal, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Grafindo Persada,

Jakarta, 2003, hlm. 118.

12

3. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan, yaitu :

a) Pendekatan yuridis-normatif, yaitu dengan mengkaji, yaitu penelitian

dengan mengkaji permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, dan dari pustaka yang relevan

dengan pokok bahasan. Pendekatan yuridis normatif yang digunakan

dalam penelitian ini tidak sekedar menilik kepada analisis aturan semata,

melainkan lebih kepada makna dibalik teks-teks yang tertulis itu. Dengan

demikain, pendekatan yusridis-normatif yang digunakan dalam penelitian

ini sangat dekat dengan pendekatan filosofi aturan itu.

b) Pendekatan komparatif, yaitu dengan membandingkan aturan-aturan satu

dengan yang lainnya mengenai materi sesuai dengan fokus penelitian.13

Aturan yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan Hak

asasi manusia yang berlaku di Indonesia.

4. Analisis Bahan

Teknik analisis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

isi. Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih bahan dari

berbagai bahan pustaka (bahan hukum) yang ada dan searah dengan objek kajian

yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis

tentang pengaturan kehidupan beragama di Indonesia dan kebijakan pengaturan

yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama.

13 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2005, hlm.

302-303

13

Analisis kebutuhan penelitian

Pengumpulan data

Perencaaan objek penelitian

Implementasi penelitian

Analisis hasil penenlitian

LAPORAN

=

LUARAN

(Artikel,

Jurnal,dll)

14

BAB II

HAK SIPIL, KEBEBASAN SIPIL DAN KONSEP KEWENANGAN NEGARA

A. Hak Sipil dan Kebebasan Sipil

Paul M. Johnson dalam A Glosary of Political Economy Term memberikan

gambaran bahwa apa yang dimaksud dengan civil right dan civil liberties dapat

diuraiakan sebagai hak-hak dari tiap warganegara dalam kaitannya dengan

kebebasan untuk berpikir, bergerak, berekspresi, dan kebebasan individu untuyk

membentuk organisasi-organisasi serta mengejar tujuan-tujuan umum, dan

kebebasan untuk memgambil bagian seacra politis dalam cara-cara yang tidak

melanggar hak-hak orang lain.14

Namun seringkali kedua istilah tersebut mengalami tumpang tindih, oleh

karenanya lebih lanjut Johnson memeberikan uraian bahwa kebebasan-kebebasan

sipil merupakan istilah yang secara umum menunjukan lebih rinci kepada

perlindungan hak-hak untuk eksis dalam menyatakan pilihan-pilihan atau

keyakinan, dan untuk bertindak secara bebas tanpa campur tanagan pemerintah.15

Sementara hak-hak sipil menekankan lebih rinci pada hak-hak setiap warganegara

untuk mengambil bagian dengan bebas dan setara dalam ruang politik dan

kepentingan publik dalam urutan denagn aktif untuk mengupayakan kebijakan

publik yang lebih memihak melalui keikutsertaan pribadi dalam proses-proses

politik. Dengan demikian, kebebasan-kebeasan sipil bisa dilihat sebagai upaya

14 Paul M. Johnson, A Glossary of Political Economy Term, dalam http://www.auburn.edu/-

johnson/gloss/civil_right_civil_liberties. diakses tanggal 16 Oktober 2010. 15 Ibid

15

menghubungkan dengan logis tujuan pemerintahan yang dibatasi, sementara hak-

hak sipil adalah menghubungkan secara logis tentang tujuan dari pemerintah

demokratis.16

Sementara apabila melihat pemaparan Han Kelsen dalam Pure Theory of

Law bahwa hak memilki tiga fungsi, yaitu :17

a. Hak sebagai sebuah kepentingan yang dijaga secara legal (interest theory).

Pengertian hak (baca:hukum) dalam arti subjektif sebagai kepentingan

yang dijaga secara legal, hal ini sering digambarkan oleh ilmu hukum

tradisional dengan mengacu pada hak sebagai refleksi dari kewajiban

hukum.

b. Hak sebagai kekuatan hukum (legal power) atau bisa juga disebut sebagai

will-power theory. Hak dalam makna ini dipayungi oleh legal order.

c. Hak ijin positif.

Tiga makna tentang hak dalam perspektif kelsenian tersebut, terutama

dalam penegrtian legal power, bis ditempatkan sebagai suatu jalan untuk

menempatkan hak pada sebuah posisi yang mesti dilindungi oleh konstitusi legal,

dalam hal ini negara. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya fungsi hukum

sebgaimana yang diapaparkan oleh Carl Wellman, hukum harus mengantarkan

manusia pada suatu kondisi damai, hukum harus menuju pada bentuk keinginan

16 Ibid 17 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California, California, 1970, hlm. 132-133.

16

untuk menjaga hak alamiah dari masyarakat, dan hukum harus mengarah pada

kebaiakn semua manusia.18

B. Konsep Kewenangan Negara

Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa

kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritorial)

tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib

dan keselamatan manusia yang ada di dalamnya, yang patut dipahami selanjutnya

adalah, bahwa organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya

organisasi, ada organisasi-organisasi lain seperti yang bergerak di bidang

keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-

masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan. Kurang tepat

apabila negara dikatakan sebagai suatu masyarakat yang diorganisir. Adalah tepat

apabila dikatakan diantara organisasi-organisasi di atas, negara merupakan suatu

organisasi yang utama di wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang

campur tangan dalam bidang organisasi-organisasi lainnya.19 Dari sinilah

beberapa pakar ada yang mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi

kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang memenuhi persyaratan tertentu,

yaitu adanya pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat.20

Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan

memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk

18 Carl Wellmen, Moral and Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1988, hlm. 179. 19 Mirza Nasution, Negara Dan Konstitusi, USU Digital Library, Medan, 2004, hlm. 1 20 Pringgodigdo dalam C.S.T. Kansil, Ilmu Negara: Umum dan Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,

2001, hlm. 9

17

suatu negara dan berada dalam wilayah negara, hal ini populer dengan sebutan

kekuasaan, atau wewenang, atau kedaulatan negara. Untuk mendapatkan

wewenang ini, terdapat empat macam teori yang populer diungkapkan, yaitu teori

kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan

rakyat.21 Dalam implementasinya, setiap konsep kedaulatan ini akan

menimbulkan efek kewenangan negara yang beragam.

Lebih lanjut, teori klasik mengenai hakikat tujuan negara dengan

pendekatan historis menggambarkan bahwa negara-negara pada zaman dahulu

memiliki konsep yang berbeda-beda. Pada zaman Yunani Kuno, negara itu adalah

Polis, yang jika kita tinjau dari kaca mata sekarang artinya suatu negara (sebesar)

Kota (city-state) dengan segala sifat kekhususannya, seperti misalnya demokrasi

langsung. Di abad pertengahan negara diartikan sebagai suatu ”organisasi-

masyarakat” yang bernama Civitas Terena (keduniawian) di samping Civitas Dei

(keagamaan) dan Civitas Academica (ilmiah). Sedangkan di permulaan abad

modern, kita jumpai pandangan bahwa negara adalah milik: suatu

dinasti/imperium, dimana sebagai eksesnya yang paling menonjol nampak pada

ungkapan: ”L’ etat c’ est moi”.22

Secara historis akhirnya kita jumpai pula pandangan bahwa negara itu

sifat hakikatnya adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu (staat-state),

yaitu status bernegara sebagai lawan daripada status belum bernegara, status

naturalis lawan dari status civilis atau status berhukum rimba dan status dimana

hak-hak civil atau hak asasi warga negara terjamin. Pada akhirnya, Kansil

menyimpulkan bahwa negara merupakan organisasi pada fungsi-fungsi tersebut.

21 Ibid, hlm. 2 22 C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 12-13

18

Sehingga ada yang menganggap bahwa negara tidak lain adalah organisasi

jabatan (ambten-organisatie).23

Pemahaman demikian terlihat masih bertahan hingga saat ini, khususnya

dalam kajian teori kenegaraan. Hanya saja, persoalan seperti ini tidak lagi

menjadi fokus persoalan yang banyak diperdebatkan. Inti persoalan yang banyak

menyeruak dewasa ini adalah bagaimana peran negara dalam mengatasi

ketimpangan (permasalahan) sosial yang terjadi di suatu negara. Peran negara

sering menjadi kabur karena kondisi di masyarakat ternyata tidak sesuai dengan

cita-cita pembentukan suatu negara. Sementara kedaulatan yang diberikan rakyat

kepada negara seakan tidak cukup untuk mewujudkan cita-cita itu.

Perumusan para pakar mengenai pembentukan suatu negara, nyatanya

mengandung perbedaan-perbedaan bergantung pada kondisi para perumus ketika

merumuskan suatu negara. Namun, dalam banyak teori itu, jika dikaitkan dengan

tujuan pembentukan negara, pada hakikatnya memiliki dasar yang sama, yaitu

untuk menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik,24 atau pada zaman modern

sering terdengar kata walfare state (negara kesejahteraan).25

Dewasa ini, hampir semua negara ingin mewujudkan tujuan negara

melalui sistem yang termaktub dalam konstitusi setiap negara

(konstitusionalisme). Ini merupakan efek dari munculnya wacana demokratisasi

23 Ibid, hlm. 14 24 Ketika memberi komentar tentang tujuan pembentukan Negara, Aristoteles hanya mengartikan tujuan

Negara dengan kata-kata yang singkat, yaitu mencapai kepentingan hidup yang lebih baik, bagus dan harmonis.

Ibid, hlm. 58 25 Secara faktual, Edi Suharto mengartikan istilah ini dengan state walfare atau kesejahteraan negara. Baca

lebih lanjut dalam Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran apa yang bisa

dipetik untuk membangun Indonesia? Makalah disampaikan pada Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare

state dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia”, Institute for Research and Empowerment

(IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta 25 Juli 2006, hlm. 1

19

dan keinginan banyak negara, khususnya yang besar dan maju. Konsep ini

menjadi sesuatu yang diyakini dapat mewujudkan cita-cita negara sejahtera,

sesuai dengan konteks tuntutan seluruh manusia yang hidup di zaman modern.26

Hanya saja, berdasarkan pengalaman penyelenggaraan negara, konsep

demokrasi ternyata juga memiliki kisah buram, sehingga hampir semua penulis

menyatakan bahwa ambiguitas makna bagi negara-negara di dunia dalam

menjalankannya menjadi persolan serius terhadap konsep ini.27 Akibatnya,

dewasa ini tidak sedikit tuntutan agar sistem demokrasi dirubah dengan sistem

yang lain. Indonesia adalah salah satu ”korban” ambiguitas dari konsep demorasi

itu. Oleh karenanya, dalam praktiknya, demokrasi sering dimanipulasi para elit

sehingga menimbulkan kekuasaan sangat besar bagi negara dan melemahkan

posisi rakyat, padahal rakyat dalam konsep demokrasi adalah pihak yang sangat

diagungkan.28 Dari sini muncul keinginan untuk merampingkan kekuasaan negara

itu dengan kembali kepada konsep Rousseau dan para pakar lainnya yang ingin

membatasi kekuasaan negara dengan teori pembagian kekuasaan (antar lembaga

negara) dan Teori Perjanjian (kontrak) Sosial (lembaga negara dengan rakyat).29

Konsep demokrasi yang merupakan jelmaan dari konsep kedaulatan rakyat ini,

pada episode selanjutnya berkembang dengan munculnya konsep negara hukum.

Intinya, menjalankan kenegaraan dengan konsep demokrasi harus disandingkan

dengan legalitas (hukum) yang mendasarinya.

26 Lihat Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 1 27 Lihat Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm: 9; Lihat juga Miriam

Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 50. Hendra Nurtjahjo mengatakan

bahwa konsep demokrasi saat ini tidak dapat dijalankan secara mandiri. Sistem demokrasi akan berjalan dengan

sempurna dengan mengimbanginya dengan etika. Tanpa etika, demokrasi akan berubah menjadi diktator. Lihat

Hendra Nurtjahjo, Ibid, hlm. 9 28 Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia, Malang, 2007, hlm. 265-266 29 Lihat Tonny P. Situmorang, Pandangan Rousseau Tentang Negara Sebagai Kehendak Umum, USU

Digital Library, Medan, 2004, hlm. 2-4

20

Intelektual muslim terlibat kontroversi pendapat terkait bagaimana

membangun hubungan negara dengan warganya. Sebagian menghendaki, bentuk

pemerintahan demokratis, sehingga hubungan antara negara dengan rakyat dapat

sejajar, dengan arti bahwa para negara (melalui aparaturnya) memperoleh

kedaulatan dari rakyat dan rakyat berada pada posisi melaksanakan fungsi kontrol

terhadap kinerja apratur negara itu sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai.

Selain itu, terdapat pula dari mereka yang menyatakan bahwa sistem monarki

lebih baik. Model ini menempatkan hubungan antara rakyat dengan penguasa

ibarat atasan dan bawahan. Penguasa yang berada pada posisi puncak,

diagungkan rakyat, dan dipercaya kebenaran dan kebaikan segala kebijakan yang

dikeluarkannya.30

30 Baca lebih lengkap, J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Rajawali Press,

Jakarta, 2002, hlm. 280-295

21

BAB III

PEMBAHASAN

A. Konvergensi dan Urgensi Pengaturan Aliran Keagamaan/Kepercayaan di

Indonesia

1. Tujuan Negara dan Relevansinya Terhadap Pengaturan Aliran

Keagamaan/Kepercayaan di Indonesia

Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas

dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan

sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia

untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia

bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman

(kepercayaan kepada Tuhan) dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi

kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la,

transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat

yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang.31 Namun

hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Karena

transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi khalifah

Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman demikian

maka nilai-nilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret, termasuk

dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu

31 Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003, hlm. 134.

22

dilembagakan.32 Mengingat betapa sucinya suatu agama dengan nilai yang

terkandung di dalamnya, maka tidak sepantasnya suatu agama ternodai oleh

aktifitas yang menyimpang dari ajaran suci agama tersebut.

Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu

ternyata melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan

beragama/berkeyakinan dan gugus negara. Dalam studi ilmu negara lazim

diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk pertama-tama melindungi HAM

warga negara dan memberikan kesejahteraan secara optimal.33 Bagaimana

menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para pengamat sosial

merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama dengan negara,

yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma

integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. Dalam gugus

negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara menyatu, jadi wilayah

agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan

lembaga politik dan keagamaan sekaligus.

Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama, di mana

kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip kegamaan.34

Achmad Gunaryo menyebut paradigma ini sebagai cita negara teokratik.35

Paradigma ini menghendaki kepentingan agama merupakan suatu hal yang

32Asal-usul dan pengertian pelembagaan agama, periksa: Masdar F. Mas’udi, “Agama dan

Pluralitasnya” dalam Interfidei, Yogyakarta, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65

Tahun, Interfedei, Yogyakarta, hlm. 368. 33 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Grasindo, 2004,

Jakarta, hlm. 2002. 34 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,

LKiS, Yogyakarta, 2001, hlm. 23-24. 35 Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan

“Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Pustaka Pelajar dan Pascasarjana IAIN Walisongo,

Semarang, 2006, hlm. 25-29.

23

penting untuk dilindungi.36 Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa

antara agama dan negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling

memerlukan.37 Karena sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih

mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam

masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai

hukum negara.

Pada sisi yang ekstrem, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma

itu. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya

dipisahkan agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid

bahwa agama adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara.38 Sementara negara

adalah badan, raga yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini,

keberadaan negara tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial

dari masyarakat manusia yang bersifat sekular, akan tetapi lebih dari itu, negara

dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya dari idealisme ketuhanan,

sementara agama adalah substansi untuk menegakkan keadilan semesta. Menurut

Denny JA, paradigma sekularisitik terwujud dalam konfigurasi negara di mana

agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada ketentuan-ketentuan

keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama tidak perlu

“meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.39 Bahkan

seperti dikatakan oleh Oemar Seno Adji, dalam paradigma ini kepentingan agama

tidak perlu dilindungi oleh hukum.40 Namun demikian, Mohammd ‘Abed al-

36 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1981, hlm. 87. 37 Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.Cit., hlm. 26. 38 Abdurrahman Wahid, Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas, Kata Pengantar dalam Masdar F.

Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 14-17. 39 Denny JA, “Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA (Penyunting), Negara

Sekular Sebuah Polemik, Putra Berdikari Bangsa, Jakarta, 2000, hlm. 17-18. 40 Oemar Seno Adji, Op.C it., hlm. 105.

24

Jabiri, seorang cendekiawan asal Maroko, mengkritik paradigma sekularistik yang

dinilainya sebagai konstruksi yang keliru atas realitas.41 Sekularisasi tidak lebih

sebagai kebutuhan lokal ketika di suatu tempat terdapat potensi adanya “politisasi

agama” maupun “agamanisasi politik”.

Sebagai negara yang telah mentasbihkan kemerdekaannya, Indonesia

seharusnya memiliki tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegaranya.

Tanpa terkecuali dalam kehidupan beragamanya, meskipun Indonesia bukanlah

negara agama dan bukan pula negara sekuler, melainkan negara pancasila yakni

sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai agama. Maka

sewajarnya pula Indonesia memiliki tujuan yang jelas di dalamnya. Adapun tujuan

negara tidak lain sebagai upaya terealisasinya cita-cita luhur yang telah digariskan

pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Ada beberapa teori tentang tujuan negara yang bisa dikaji dari berbagai

khazanah keilmuan, Jacobsen dan Lipman memperspektifkan tujuan negara dalah

pemeliharaan ketertiban, memajukan kesejahteraan individu dan masyarakat,

mempertinggi moralitas.42 Tidak jauh berbeda dalam uraian J. Barents yang

merumuskan tujuan negara sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban serta

penyelenggaraan kepentingan umum.43 Lebih konkret apabila melihat pemaparan

Charles E. Merriem yang memaparkan bahwa terdapat lima tujuan negara, yaitu

keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejateraan umum serta

kebebasan. Berbeda dengan argumentasi Leslie Lipson yang menegasan bahwa

41 Lihat dalam Ahmad Baso, “Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed

‘Abed al-Jabiri”, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4 tahun1999. 42 Jacobsen dan Lipman. Political Science, dalam College Outline Series Barners and Noble, New

York, 1956, hlm. 15-18. 43 Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Jakarta, 1982, hlm. 173

25

tujuan negara bukanlah yang terpenting tetapi alat untuk mencapai tujuan tidak

kalah pentingnya. Alat-alat itu dipergunakan untuk menyelenggarakan fungsi

negara. Fungsi negara yang asli dan tertua adalah perlindungan. Artinya negara

dibentuk oleh individu untuk memperoleh perlindungan dan negara dipertahankan

untuk memelihara tujuan itu. Selain perlindungan, Lipson juga mengemukakan

ketertiban serta keadilan sebagai dua hal utama yang menjadi tujuan adanya suatu

negara.44

Menurut Miriam Budiardjo, fungsi minimum dari suatu negara terlepas

dari ideologi yang dianutnya adalah melaksanakan penertiban (law and order),

menjaga kesatuan dan persatuan sebagai suatu bangsa/negara, menjaga keamanan

masyarakat. Fungsi kedua adalah mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat, baik dalam aspek materiel maupun spiritual, rohani dan jasmani. Fungsi

ketiga yaitu pertahanan, hal ini juga mnejaga segala kemungkinan serangan dari

luar. Fungsi keempat adalah menjunjung tinggi keadilan yang dilaksanakan

melalui lembaga peradilan.45 Sedangkan L. V. Ballard secara sederha menyatakan

bahwa tujuan negara yang terutama adalah memelihara ketertiban dan peradaban,

sedangkan fungsinya ialah menciptakan syarat-syarat dan perhubungan yang

memuaskan bagi semua warga negara.46

Republik Indonesia yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17

Agustus 1945 merumuskan tujuannya negaranya dalam pembukaan UUD 1945,

tepatnya pada alinea keempat. Yaitu :

44 Leslie Lipson, The Great Issues of Politic, An Introduction to Political Science, Prentice Hall, New

York, hlm. 41. 45 Miriam Bidiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 45. 46 Soehino, Ilmu Negara, Libeety, Yogyakarta, 1980, hlm. 16.

26

Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha

esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan

kerakyatanayangadipimpinaolehahikmatakebijaksanaanadalamapermusyawara

-tan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

Dari pemaparan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945

tersebut, nampaknya ada keserasian antara teori tujuan negara dan tujuan negara

RI. Walaupun demikian perlu diingat bersama bahwa tujuan dan fungsi negara

sangatlah cenderung dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negera

tertentu. Bagi Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, maka isi dari tujuaan

dan fungsinya terimplisit di dalamnya.

Mengingat cita-cita dan wacana pendirian bangsa yang telah digariskan

oleh para pendiri bangsa ini mempunyai makna sejarah yang sangat penting. Maka

dapat dikatakan cita-cita politik yang sangat sentralistik tersebut sangatlah penting

implementasi subtansi tujuan negara yang ter-cover dalam pembukaan UUD 1945

tersebut. Hal ini mengingat bangsa Indonesia yang penuh dengan

keberanekaragaman budaya, agama, suku, adat, bahasa dan sebagainya. Padmo

Wahjono menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan negara tersebut, dibentuk

suatu pemerintahan negara yang mempunyai fungsi yang nampak sama

perumusannya seperti tujuan negara. hal itulah yang kemudian dengan

dibentuknya Badan Kordinasi Pengawasan Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat

(Bakor PAKEM) yang merupakan bentukan dari Kejaksaan RI. Tugas-tugas yang

diemban dari Pakem adalah mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik

serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran-aliran

kepercayaan/kebatinan, memeriksa/mempelajari buku-buku, brosur-brosur

27

keagamaan/aliran kepercayaan, baik yang berasal dari dalam maupun luar, demi

kepentingan umum.47

Sekilas dari tugas Pakem tersebut memberikan gambaran bahwa urgensi

negara ‘ikut campur’ dalam mengatur aliran-aliran agama di Indonesia tidak lain

adalah untuk merealisasikan tujuan negara yang suci sebagaimana tertulis dalam

preambule UUD 1945. Hal itu pula yang relevan apabila dikorelasikan dengan

teori-teori tujuan negara yang telah disebutkan di atas. Perlunya pengawsan

terhadap aliran-aliran keagamaan di Indonesia tidak bisa dilepasakan dengan fakta

sejarah yang membuktikan bahwa banyak muncul aliran kepercayaan yang

menyatakan dalam ajarannya bahwa aliran tersebut mempunyai nabi dan kitab

suci tersendiri.48 Sehingga hal itu menimbulkan konflik intern di dalam agama

tertentu. Hal inilah yang sengaja dihindari oleh negara dengan melibatkan diri

mengatur pergerakan aliran-aliran keagamaan agar tidak merusak tatanan ideal

dari tujuan negara RI.

2. Fenomena Aliran Keagamaan dalam Bingkai Sejarah Indonesia dan Urgensi

Pengaturannya

Dalam pemaparan Niels Mulder pada masa 1953 muncul begitu banyak

kelompok-kelompok kebatinan, ia mencatat bahwa organisasi mistik itu menarik

perhatian baik kaum mistikawan jawa maupun departemen agama.49 Departemen

47 Lihat Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pusat Pakem, Nomor 34/Pakem/S.E/61 tertanggal 7

April 1961, perihal instruksi Pembentukan Batasan Pakemdi tiap-tiap propinsi dan di daerah-daerah. Surat ini

ditujukan kepada semua Jaksa/Tinggi/Kordinator Kejaksaan Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia. 48 Djoko Prakoso, Tugas-tugas Kejaksaan di bidang Non Yudisial, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 2. 49 Niels Murder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and

Change, Sinagpore University Press, Singapore, 1978, hlm. 158. Fakta tersebut jelas ketika pada tahun 1951

28

Agama melaporkan bahwa pada tahun tersebut ada lebih dari 360 kelompok

kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran

menentukan, sehingga pada pemilu 1955 partai-partai Islam gagal memperoleh

suara mayoritas, dan hanya mendapat 42% suara. Hal itu dicatat oleh Mulder

sebagai masa dimana pecahnya Islam dan sinkretisme atau kejawen.50 Dalam

situasi seperti inilah UU No. 1/PNPS/1965 dan Bakorpkem51 muncul menjadi

semacam ‘wasit’ bagi aliran-aliran kepercayaan yang marak bermunculan pada

tahun 1950-1963. Tujuannya tidak lain adalah menjadikan ajaran-ajaran/gerakan-

gerakan yang muncul tidak menimbulkan gangguan ketertiban/keamanan umum,

dan tidak menjadikan aliran agama atau kepercayaan tersebut merugikan para

pengikut agama yang telah meyakini agamanya.

Persoalan keagamaan yang krusial pada masa awal kemerdekaan

Indonesia adalah begitu kuatnya aliran kebatinan baik dalam ranah politik maupun

sosial.52 Diakui atau tidak fenomena aliran kepercayaan yang muncul di Indonesia

tidak bisa dilepaskan dari gejala sosial, karena manusia dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya tidak dapat secara sempurna. Lagi pula manusia mempunyai

kepentingan yang berbeda-beda. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya tidak

terpisahnya teori kausalitas, yaitu sebab akibat dalam melihat fenomena tersebut.

Wongsonegoro telah aktif mengorganisasikan kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan

Kebatinan dan dalam partai politiknya, Partai Indonesia Raya (PIR), telah mendatangi berbagai sekte mistik

sambil mengajak mereka untuk berorganisasi di bawah pengayomannya. 50 Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 116. 51 Secara lengkap tugas dari Bakorpakem ini ada uda hal. 1. Mempelajari dan menyelidiki bentuk,

corak, dan tujuan dari kepercayaan-kepercayaan didalam masyarakat beserta cara-cara perkawinan yang terjadi

didalam masyarakat. 2. Memepertimbangkan dan mengusulkan kepada pemerintah membuat peraturan-

peraturan/ undang-undang yang mengatur apa yang tersebut pada poin 1 di atas dan membatasinya untuk

ketentraman kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis seseuai. Dalam

perkembanagn selanjutnya ternyata tugas-tugas bidang Pakem harus melibatkan instansi-instansi pemerintah

lainnya, sehingga penyempurnaan organisasi perlu diadakan yaitu dengan membantu suatu team, team Pakem

yang terdiri dari team Pakem Pusat, Team Pakem daerah propinsi dan team Pakem daerah Kabupaten/Kota.

Lihat surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-108/J.A/5/1984 tertanggal 15 Januari 1994. 52 Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern dan Klasik, Gramedia,

Jakarta, 1986, hlm. 158.

29

Jika dilihat dari sebab, maka sebab-sebab mengikuti tumbuh suburnya aliran

kepercayaan antara lain sebagai berikut:53

1. Adanya kepercayaan yang harus dihormati dan dianggap merupakan

warisan budaya leluhur yang turun temurun;

2. Munculnya suatu isme (ajaran) yang menarik, dapat berindikasikan suatu

aliran agama atau aliran yang sinkretisme;

3. Pengaruh dari karisma seorang pemimpin aliran kepercayaan sehingga

banyak memperoleh pengikut;

4. Perbuatan-perbuatan yang luar biasa atau dianggap mukjizat dilingkungan

kepercayaan, seperti penyembuhan secara paranormal, dan dukun tiban

yang dapat memberikan berkah;

5. Aliran keeprcayaan yang berkaitan dengan dengan urusan social ekonomi,

meramal buntut, nasib baik atau buruk dan supaya murah dapat rezeki,

murah pangkat dan jabatan;

6. Dapat pula terjadi aliaran kepercayaan yang dilandasi kepentingan

ideology dan politik tertentu.

Dari pandangan penulis dapat disimpulkan bahwa masalah yang

ditimbulkan oleh kepercayaan di Indonesia tidaklah berdiri sendiri, sebab sebagai

akibatnya adalah berkaitan dengan masalah segala aspek material dan spiritual

kehidupan yang meliputi ideologi, politik, sosial budaya dan agama. Oleh

karennya meyikapi aliran-aliran yang muncul yang disebabkan tersebut, maka

diaturlah pola pengaturan yang berorientasi untuk melindungi agama yang telah

ada agar tidak ternodai, juga semangat untuk menjaga stabilitas negara yang saat

itu dan sekarang masih resistan dengan pemebrontakan. Karena apabila dibiarkan,

maka ancaman dari kelompok agama yang merasa dinodai akan juga berarti

ancaman terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Pola pengaturan ini

memang terkesan sebagai alat untuk membentengi agama-agama resmi dari

serangan aliran-aliran sempalan keagamaan, akan tetapi tujuan sebenarnya adalah

dalam konsepsi mewujudkan negara yang tertib, aman, dan tidak ada konflik antar

sesama (intern) agama.

53 IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2009, hlm. 230.

30

Tujuan di atas nampak lugas ketika pemerintah mengeluarkan SKB

tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada juni 2008. Sebagai prinsip awal,

dalam Buku Sosialisasi SKB tegas dikatakan bahwa pemerintah tidak sedang

mengintervensi keyakinan masyarakat melainkan memerankan perannya sebagai

pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya

pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan

meyimpang.54 Pengaturan yang bersendikan ketertiban bagi masyarakat umum

juga ‘diizinkan’ dalam konvensi internasional, sebagaimana dalam ICCPR

(International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh

Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005, di dalamnya menyebutkan sejauh

menyangkut keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan

kebebasan mendasar orang lain. Maka pemerintah (negara) diberi peran untuk

mengaturnya tanpa melanggar dan mengurangi hak dasar dari warga negaranya.

3. Justifikasi Suatu Negara dalam Melakukan Pembatasan Beragama atau

Berkeyakinan

Langkah-langkah yang dilakukan oleh negara (Indonesia) seperti halnya

yang diurai di atas mencerminkan negara ikut mengintervensi dan sekaligus

membatasi kebebasan pribadi untuk berpikir, bernurani, beragama, serta

berkeyakinan. Hal seperti itu seringkali kelompok kontra menyebutnya sebagai

bentuk pelanggaran. Oleh karenanya negara sering dipersalahkan ketika langkah

ataupun kebijakan diambil dalam mengatur persoalan-persoalan tersebut. Dalam

sub tema ini penulis mencoba menguraikan bagaimana dasar-dasar yang legal

54 Lihat Balitbang Diklat Departemen Agama RI, Agustus 2008

31

suatu negara dibenarkan dalam memberikan batasan terhadap kebabasan dan

berkeyakinan.

Dalam instrumen internasional, khususnya terkait konvensi internasional

ICCPR Pembatasan demi perlindungan keamanan publik55 dilegalkan baik itu

dalam ranah publik.56 Hal ini khususnya penting ketika kelompok keagamaan

yang bermusuhan berkonfrontasi satu sama lain atau ketika kebiasaan agama

digunakan untuk melayani kepentingan politik. Ketika ancaman terkait agama

yang bersifat langsung seperti itu terjadi atas orang atau harta kekayaan, negara

diberi kewenangan untuk mengambil upaya-upaya yang sungguh-sungguh

diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi kepentingan keselamatan

publik, termasuk larangan atau pembubaran suatu sidang majelis, aliran agama,

dan dalam kasus-kasus ekstrem, bahkan pelarangan suatu kelompok keagmaan

yang benar berbahaya, khusunya yang bertentanagn dengan pasal 20 ICCPR,57 hal

seperti itulah intervensi negara diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan

sesuai dengan pasal 18 ayat (3) ICCPR.58 Walaupun begitu perlu juga dibuat

perbedaan antara pengaturan kebebasan bergaama atau berkeyakinan yang hanya

55 Keamanan Publik merupakan khusus yang termasuk didalamnya tatanan, kesehatan, dan moral

publik atau hak fundamental dan kebebasan orang lain. Lihat International Covenant on Civil and Political

Rights pasal 18 ayat (3). Lihat juga The European Convention For The Protection of Human Rights and

Fubdamental Freedom pasal 9 ayat (2). 56 Lihat Manfred Nowak, United Nation Covenant on Civil and Political Rights, USA: N P Engel Pub,

1993, hlm. 326. 57 Bunyi pasal 20 ICCPR: pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas

dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan

atau kekerasan. Kemudian juga dalam pasal 21 menyebutkan: pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat

damai; dan pasal 22: hak setiap orang atas kebebasan berserikat. 58 Persoalan tersebut bisa dilihat dalam M. A. V, Italy, comm. No. 117/1981 (UN Human Rights

Committee, 10 April 1984), Keputusan Penolakan.

32

terkait dengan keselamatan pribadi orang yang bersangkutan, dan pengaturan yang

berkaitan dengan ranah keselamatan publik.59

Selain legalitas pembatasan yang terkait dengan keamanan publik, juga

dibenarkan pembatasan untuk melindungi tatanan/ketertiban publik.

Tatanan/ketertiban publik diinterpretasikan dalam pengertiannya yang sempit

yaitu pencegahan kekacauan publik.60 Sementara pembatasan-pembatasan dalam

rangka perlindungan moral juga ‘dilampu hijaukan’ kepada negara, sehingga tidak

salah kalau kemudian negara ikut andil mengatur guna terwujudnya moralitas

yang baik. Karena bagaimanapun moral merupakan hal yang diklaim agama

sebagai sistem nilai yang tertinggi dalam beragama. Pembatasan demi

perlindungan hak-hak dan kebebasan fundamental orang lain juga menajdi salah

satu tugas negara untuk melakukan intervensi.61 Alasannya tidak lain karena

dalam beragama juga tidak dibenarkan menggunakan cara-cara yang mengganggu

kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Hal seperti itulah yang tidak

bisa dibenarkan, sehingga negara diberikan peran untuk mengaturnya secara

netral. Hal ini juga berkaitan dengan penghinaan terhadap agama juga tidak

dibenarakan, sehingga lagi-lagi negara diberi kewajiban untuk mengaturnya.62

59 Nicola Colbran, dkk, Freedom of religion or Belief, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers,

2004, hlm. 296. 60 Van Dijk dan Van Hoof, Theory and Practice of The Eurpean Convention On Human Right, Edisi

ke-4, USA: Intersentia, hlm. 555 61 Joel feinberg, The Moral Limits of The Criminal law, Volume 4, New York: Oxford University

Press, 1990, hlm. 123. 62 Lihat Kasus Gay News X Ltd. And Y v, United Kingdom, App. No. 8710/79 (EcomHR, 28

Keputusan dan Laporan 77, 7 Mei 1982)

33

B. Universalisme dan Relativisme HAM; Konsep Kebebasan Beragama dan

Pengaturannya di Indonesia

1. Definisi Kebebasan dan Ruang Lingkupnya

Memaknai substansi kebebasan pastinya akan bersinggungan dengan

berbagai varian definisi yang telah dirumuskan oleh para pakar yang kompeten di

bidang keilmuan yang dimilikinya. Setidaknya hal ini nampak dalam perdebatan

sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache yang berpendapat

bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli

filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk

menetapkan perbuatannya.63 Sementara Robert D. Cooter secara sederhana

memknai kebebasan tidak adanya larangan, namun kemudian disebutkan bahwa

dalam implementasinya harus ada keseimbangan.64

Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi

apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu

paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif,

karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa.

Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya

dan apa yang dilakukannya, (2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan

yang tersedia baginya, dan (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu

yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang

dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.65 Hal

ini nampaknya sejalan dengan rumusan yang termaktub dalam Kamus John

63Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, terjemah oleh Farid Ma’ruf, Cet. I, dari judul asli al-Akhlaq, Bulan

Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 53. 64 Robert D. Cooter, Liberty, Eficency, and Law, Law and Contemporary Problem, Vol. 50, no. 4,

hlm.143, dlm http:/www.jstore.org 65 Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hlm. 39-40.

34

Kersey yang mengartikan bahwa kebebasan adalah sebagai kemerdekaan,

meninggalkan atau bebas meninggalkan.66 Artinya, semua orang bebas untuk

tidak melakukan atau melakukan suatu hal.

Dalam konteks hubungan antara pemerintah (negara) dan warga negara,

kebebasan ini lebih menekankan pada tidak adanya intervensi atau larangan dari

negara terhadap kebebasan warga negaranya.67 Hal ini menjadikan makna

kebebasan menjadi absolute, sehingga kebebasan warga negara tidak boleh

diintervensi baik oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah maupun produk

perundang-undangan sekalipun. Bahkan secara tidak langsung menganjurkan

kebebasan untuk memiliki semua hak yang telah diatur didalam hak asasi manusia

harus diberikan oleh negara kepada semua individu yang ada di dalam wilayah

kedaulatannya. Pengertian dalam konteks ini akan mengalami benturan apabila

melihat definisi kebebasan dalam kamus hukum black, di dalamnya menjelaskan

bahwa kebebasan diartikan sebgai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk

larangan kecuali larangan yang telah diatur di dalam undang-undang.68 Artinya,

makna kebebasan disini harus memperhatikan rambu-rambu yang telah

ditentukan, jangan sampai menjalankannya semau sendiri, karena bagaimanapun

asas proporsionalitas akan menjadi penting ketika hendak mengimplementasikan

arti kebebasan tersebut.

Dalam perspektif HAM yang diproduksi Barat misalnya, kebebasan

menjadi adagium yang bebas tafsir, bahkan cenderung bebas nilai. Hal ini karena

Barat menerjemahkan kebasan berstandarkan individual, individu adalah standar

66 Lihat selengkapnya di Jay Newman, On Religion Freedom, University Of Ottawa Press, California,

1991, hlm. 18. 67Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Lakbang Mediatama, Yogyakarta, 2010,

hlm. 86. 68 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Definitions of the term and pharses of America and

English Jurisprudence, Ancient an Modern, St. Paul. West Publishing Co, Amerika, 1990, hlm. 918.

35

segala sesuatu. Pengertian etimologis ini tentu tidak memadai dan memungkinkan

dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu

terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak

ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak

orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh

aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya. Agama Islam misalnya,

memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah), kebebasan

didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia

mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya,

dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Singkatnya definisi

kebebasan berarti tidak dapat berpikir semaunya dan bertindak semaunya, karena

kita hidup dalam masyarakat yang memproduksi banyak peraturan dan nilai-nilai

moral tentang baik dan buruk. Tindakan kita dibatasi oleh aturan dan nilai-nilai

moral. Dengan kata lain, kebebasan sosial kita terbatas/dibatasi.

Dalam uraian Isaiah Berlin, ia memetakan ruang lingkup kebeasan

menjadi dua bentuk yaitu kebebasan dalam bentuk positif dan kebebasan dalam

bentuk negatif. Kebebasan dalam bentuk positif yaitu apa atau siapa yang

bertindak sebagai sumber hukum, yang bisa menentukan seseorang untuk

menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu kebebasan. Sedangkan kebebasan

dalam bentuknya yang negatif bersinggungan dengan ruang lingkup dimana

seseorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan seseuatu

seperti yang dikehendaki tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.69

69 Isaiah Berlin, Two Concept of Liberty, Oxford University Press, United Kingdom, 1991, hlm. 34.

36

Instrumen yang mengatur kebebasan positif adalah konvensi internasional

Kovenan Hak Sipil dan Politik, yaitu pasal 2 ayat 3 yang berbunyi :70

a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atas kebebasannya diakui dalam

kovenan ini dilanggar, harus memperoleh upaya pemulihan yang efektif,

walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak

dalam kapasitas resmi;

b. Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus

ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif

yang berwenang, atau oleh lemabaga berwenang lainnya yang diatur oleh

sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala

kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;

c. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut harus melaksanakan

penyelesaian hukum apabila dikabulkan.

Sedangkan pengejewantahan kebebasan yang berbentuk negatif terdiri

dari unsur ‘bebas untuk’ melakukan semua hal yang bisa membuat seseorang

menajdi manusia yang bebas.71 Kebebasan negatif ini mengandung unsur hukum,

moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur tentang dilarangnya semua jenis

intervensi. Aturan-aturan tersebut melindungi hak seseorang untuk bebas dari

semua bentuk intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya. Berdasarkan

konsep ini, kebebasan setiap individu untuk menjadi atau melakukan apa yang

mereka iniginkan harus dilindungi dan dijamin oleh negara. Salah satu cara untuk

mewujudkannya adalah melalui peraturan perundang-undagan, yang kemudian du

konkretkan dalam dalam tindakan nyata pemerintah yang bisa berupa kebijakan-

kebijakan negara yang dimaksudkan untuk menegakan hukum.

Kebebasan dalam bentuknya yang negatif juga bisa dilihat dari komentar

umum komite HAM yang menyatakan bahwa negara-negara anggota harus

menahan diri untuk melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang diatur dalam

kovenan. Pembatasan-pembatasan dalam bentuk apapun oleh negara yang bisa

70Lihat selengkapnya pada ICCPR Convention atau bisa diakses: http://www.hrwg.org/in/advokasi-

konvensi/iccpr. 71 Henry Hardy, Liberty In Law, Oxford University Press Inc, United Kingdom, 2001, hlm. 178.

37

mengakibatkan terganggunya hak asasi yang diakui oleh kovenan tidak

dibenarkan oleh hukum.72 Hal ini dikarenakan sifat dan ruang lingkup hak asasi

manusia adalah universal, melintasi batas-batas norma-norma yang ada di

masyarakat seprti tradisi, agama dan budaya.

2. Konsep Kebebasan Beragama Perspektif Universalisme dan Relativisme

HAM

Sejauh ini apabila membicarakan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM),

maka tidak bisa dipisahkan dengan dua teori yang sangat familiar di ranah

internasional, yaitu teori HAM Universalis dan teori HAM relativisme budaya.

Keduanya memilki ciri dan karakter yang berbeda serta memberikan kontribusi

dalam dinamisasi HAM di internasional. Sebagai rumusan manusia, kedua teori

tersebut sudah apsti memilki nilai positif dan negatif yang dibawanya. Sehingga

kemudian dalam perkembanganannya ada upaya untk memadukan kedua teori

tersebut agar bisa saling melengkapi.

Asal muasal dan perkembangan HAM tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan universalisme nilai moral. HAM berangkat dari konsep

universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral yang

melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme ini menjelaskan keberadaan

kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat

diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral ini, khususnya

yang di Eropa dapat dijumpai dalam tulisan Aristoteles. Salah satu karyanya

Nicomachen Ethic yang mengurai suatu argumentasi yang mendukung keberadaan

ketertiban moral yang besifat alamiah. Argumentasi ini selaras dengan apa yang

72 Ibid

38

diuraiakn John Locke bahwa individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah

dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Dalam universalisme,

individu adalah sebuah unit sosial yang memilki hak-hak yang tidak dapat

dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.73

Pakar yang memberikan kontribusi dalam memahami universalisme HAM

ini salah satunya adalah Nussbaum, ia berpendapat bahwa HAM adalah

pencapaian-pencapaian fundamental yang tidak dapat dinegosiasikan dengan

alasan apapun.74 Ia menegasikan masyarakat dengan maksud agar ada standar

internasional tentang pencapaian HAM. Hal ini dikarenakan HAM dan khususnya

hak kebabasan beragama dan berkeyakinan di dalam instrumen internasional

mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, ketika ada pengaruh dari lokalitas

nilai di suatu masyarakat tertentu, maka ruang lingkup dari hak tersebut bisa

dibatasi oleh pemahaman-pemahaman yang diskriminatif. Ini dikarenakan banyak

nilai lokal di negara-negara yang masih bersifat primordial dan sekterian

berdasarkan nilai yang berkembang di dalam masyarakat tertentu. Artinya ketika

lokalitas budaya ‘diikutsertakan’ dalam HAM, maka yang muncul adalah nilai-

nilai HAM yang fundamental tersebut akan tereduksi oleh nilai-nilai lokalitas di

suatu negara yang bervariatif tersebut.

Memang berdasarkan instrumen-instrumen internasional, hak kebebasan

beragama tidak saja mengakui hak untuk beragama dan berkeyakinan, melainkan

juga hak untuk tidak meyakini suatu agama atau keyakinan apapun juga. Sehingga

hak kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya mengakui semua jenis

ritual, praktik, simbol dan berbagai macam fenomena yang dianggap agama atau

73 Ifdhal Kasim dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hlm. 20. 74 M. John Alexander, Capabilities, Human Rights and Moral Pluralisme, International Journal of

Human Rights, Vol. 8 No. 4, hlm. 451.

39

keyakinan oleh penganutnya.75 Manifestasi keagamaan atau keyakinan tidak

terbatas pada mainfestasi keagamaan dari agama-agama terdahulu yang sudah

sering diformalisasikan dalam rutinitas keagamaan dari tiap-tiap agama yang ada,

seperti shalat di dalam Islam. Hal tersebut dipertegas dengan opini kelompok

‘pemuja’ HAM universalisme yang beropini baik secara de jure dan atau de facto

tidak bisa dipungkiri keberadaannya merupakan konsensus negara-negara

internasional yang multi ideologi pada tahun 1948. Sebagai satu konsensus yang

telah dideklarasikan dunia internasional maka keberadaan hak asasi manusia

berarti bersifat universal dan berlaku di semua ruang dan waktu selama manusia

itu ada. Eksistensi penghormatan HAM tidak boleh dihilangkan dalam situasi dan

kondisi apapaun.

Universalisme HAM sejatinya didasarkan pada definisi HAM sebagai hak

alamiah bersifat fundamental, dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat

ataupun negara. Tidak perlu pengakuan dari pejabat atau dewan manapun dan

tidak perlu pembatasan kewenangan dan yuridiksi negara. Fungsi negara adalah

untuk melindungi dan hak-hak alamiah masyarakatnya bukan untuk kepentingan

monarkhi atau sistem kekuasaan. Penganut universalisme cenderung menerapkan

teori positivisme dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan

sosial masyarakat. Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial di dalam

masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi

sosial masyarakat tersebut.76 Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur

hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Misalnya, petugas hukum dan produk

75 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan.....Op. Cit, hlm. 147. 76 Relativisme dan Universalisme HAM, http://mas-hanief.blogspot.com/2010/09/relativisme-dan-

universalisme-ham.html, diakses tanggal 04 Februari 2011.

40

perundang-undanganya harus benar-benar netral dari conflict of interest dan

conflict of norms agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam konteks

beragama dan berkeyakinan merupakn hak individu yang fundamental yang tidak

bisa dicampur adukan apalagi dibenturkan dengan budaya lokal, nilai-nilai

kultural, atau tradisi-traidisi masyarkat di suatu negara. Hal ini mengingat loklitas

budaya di suatu negara tertentu masih sering dijumpai sebagai budaya yang

sekterian dan cenderung diskriminatif. Sehingga ketika kebebasan beragama dan

berkeyakinan harus dihadapkan dengan lokalitas tersebut, maka independensi dan

substansi makna kebebasan beragama dan berkeyakinan akan tereliminasi oleh

budaya-budaya lokal yang ada di negara tersebut.

Teori kedua adalah berkaitan dengan realtivisme budaya dalam HAM.

Teori ini merupakan tandingan atas universalistas HAM, hal ini mengemuka

menjelang berakhirnya perang dingin yang rata-rata disuarakan oleh negara-

negara berkembang dan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI

(Organisasi Konferensi Islam). Substansi gugatan ialah teletak pada relativisme

budaya yang otomatis menjadi sumber penilaian eksistensi keabsahan suatu hak

dan kaidah moral yang selayaknya ada dalam satu negara. Dalam konteks ini

kemudian HAM tidak mungkin berlaku universal tetapi keberadaannya pasti

terikat oleh budaya yang berlangsung di satu wilayah. Kebudayaan yang berbeda-

beda itu mempunyai standar dan prinsip-prinsip haknya masing-masing sehingga

tidak mungkin terjadi proses universalisasi terhadap HAM satu negara terhadap

negara-negara lainnya. Apalagi dalam konteks HAM internasional.

Indonesia dan Malaysia merupakan kelompok yang mendukung

relativisme budaya bersama dengan Kuba dan negara-negara Arab. Gagasan

41

tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-

satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.77 Relativisme budaya (cultural

realitivism) maerupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam

budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut

pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi dimana mereka yang

memegang kekuasaan yang tidak setuju.78 Oleh karena itu HAM tidak dapat

secara utuh bersifat universal kecuali apabila HAM tidak tunduk pada ketetapan

budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian

tidak dapat mewakili setiap individu.

Menurut penganut relativisme, sebuah hukum tidak akan berlaku efektif

ketika masyarakat menentangnya karena tidak sesuai dengan norma-norma dan

tradisi yang ada. Begitu juga yang terjadi dengan hak asasi manusia internasional

yang ditetapkan berdasarkan konsensus internasional negara-negara. Jika tidak

mengakui relativisme budaya dan nilai-nilai yang berkembang di negara-negara,

instrumen internasional justru bisa menjadi efektif. Salah satu sebabnya adalah

karena instrumen internasional tidak mampu mengintervensi sebuah pelanggaran

hak asasi manusia yang dilakukan oleh sebuah negara karena adanya aturan

hukum Piagam PBB yang melarang intervensi asing terhadap kedaulatan sebuah

negara. Kelompok relativisme kultural menjadikan komunitas sebagai unit sosial

dan cenderung meniadakan hak-hak alamiah yang sifatnya individual. Hak asasi

manusia dianggap ada hanya ada dalam satu masyarakat dan ada dalam satu

negara sehingga keberadaan HAM di negara-negara timur dan non liberal

77 Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornelly University Press, Ithaca

and London, 2003, hlm. 89. 78 http://www.aasianst.org/Viewpoints/Nathan.htm, diakses tanggal 04 Februari 2011.

42

dianggap sebagai pemberian negara dan boleh dibatasi oleh kekuasaan negara

tersebut.79

Menurut Al Khanif,80 dalam konteks agama, perspektif ini bisa menerima

norma-norma yang tidak ‘menyerang’ budaya inti dari agama tersebut, yakni

keyakinan. Penyeranagan terhadap keyakinan tersebut dianggap bisa

menghilangkan nilai-nilai suci dari agama tersebut. Sedangkan di dalam konteks

budaya, penyerangan terhadap budaya inti dianggap bisa merubah struktur

masyarakat. Sederhananya konsep beragama dan berkeyakinan seyogyanya harus

bersandar dan ‘tunduk’ terhadap nilai-nilai budaya lokal yang hidup di dalam

negara tertentu. Amartha Sen yang kemudian bisa dijadikan rujukan dalam

mempelajari relativisme budaya, ia menguraikan bahwa HAM adalah artikulasi

dari tuntutan-tuntutan etika yang bersifat terbuka.81 Sen berpendapat bahwa tujuan

yang ingin di capai di dalam HAM harus memperhatikan nilai-nilai yanga ada di

masyarakat. Sebab-sebab yang mendasari pendapat Sen adalah bahwa masing-

masing budaya, tradisi atau agama mempunyai ciri khas tentang etika dan

moralitas yang berbeda-beda.

Nampaknya argumentasi Sen tersebut di adopsi dalam konfernesi HAM

yang di gagas oleh negara-negara Asean dan Muslim tahun 1993 di Vienna, hasil

konferensi itu memproklamirkan bahwa pada dasarnya HAM adalah universal

tetapi perbedaan-perbedaan regional, dan juga perbedaan latar belakang hsitoris,

kultural, dan religius harus diperhatikan.82 Karena makna dan implikasi norma-

79Moh.aSyafii,aDiskursusaUniversalismeadanaRelatifismeaKulturalaHAM,adalamahttp://syafiie.blogs

pot.com/2010/07/diskursus-universalisme-dan-relatifisme.html, di akses tanggal 04 Februari 2011. 80 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan......Op. Cit, hlm. 151. 81 Stacy Humes Schulz, Limiting Soverignity Immunity in the Age of Human Rights, Harvard Human

Rights Journal, Vol. 21, hlm. 124. 82 Teks deklarasi ini ada dalam World Conference on Human Rights: The Viena Declaration and

Programme of Action, June 1993, New York, United Nation, 1993.

43

norma HAM tidak bisa disangkal dan harus dikondisikan oleh pengalaman-

pengalaman sejarah dan budaya dari tradisi-tradisi dan kemasyarakatan umat

manusia. Oleh karena itu, jelas bahwa artikulasi dan implementasi norma-norma

tersebut dalam situasi-situasi konkret akan ditentukan oleh masyarakat manusia

itu sendiri, menurut waktu dan tempatnya. Dengan kata lain, suatu sistem moral

yang cocok bagi masyarakat tertentu mungkin tidak cocok bagi masyarakat

lainnya, yang mau tidak mau menunutut elaborasi sistem-sistem yang mereka

miliki sesuai dengan keadaan budaya-budaya dan historis mereka masing-masing.

3. Pasal 29 UUD 1945 dan Berbagai Interpretasinya Serta Konsep Kebebasan

Beragama (Berkeyakinan) Perspektif MK

Dalam pasal 29 disebutkan bahwa negara berdasarkan atas ke-Tuhanan

Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.83 Pasal ini merupakan pasal landasan beragama dan

kebebasan menjalankan rutinitas beribadah berdassarkan keyakinan masing-

masing individu. Sekilas memang pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan

tanpa syarat dalam menjalankan aktifitas ibadah secara normal. Bahkan pasal

tersebut nampak begitu netral tanpa ‘tendensi’ yang melingkupinya.

Sebagaimana diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945 diskusi tentang

pasal 29 dianggap telah selesai karena baik rumusan pembukaan UUD 1945

maupun pasal 29 UUD 1945 tidak lagi memunculkan peristilahan yang secara

eksplisit merujuk kepada sesuatu agama. Namun bagi kelompok yang ingin

mendasarkan negara Republik Indonesia pada dasar agama tetap merasa tidak

83 Pasal 29 UUD 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 52.

44

puas dan terus menerus berupaya memperjuangkan ide itu, baik melalui cara-cara

konstitusional maupun dengan cara-cara lain. Soekarno salah satu the founding

fathers mengamanatkan bahwa pasal 29 merupakan pasal mana harus menjadi

dasar kehdupan hukum di bidang keagamaan.84 Terhadap amanat Soekarni,

Achmad Syaichu salah satu seorang anggota sidang Konstituante pada tahun

1959, memahami bahwa pernyataan di atas berarti dapat diciptakan pula

perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam.85 Konsekuensinya negara

‘menjamin’ untuk terciptanya regulasi dibidang agama. Berbeda dengan Partai

Serikat Islam Indonesia dalam memahami amanat sang proklamator tersebut,

partai berbasis Islam itu menyebutkan bahwa pasal 29 belum memungkinkan bagi

umat Islam untuk menjalankan agama Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-

penuhnya dalam segala bidang selama fondasi dan landasan negara tidak

berdasarkan Islam dimana berlaku hukum Allah dan Sunnah Rasulnya.86

Sementara mufasir lain dilontarkan oleh Hazairin, ia menafsirkan pasal 29

ayat 1 sebagai berikut :

Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama yang dianut umat beragama di Indonesia. Negara

RI wajib menajalankan syariat bagi masing-masing agama sesuai dengan

syariatnya. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk

menjalankan dan karena itu dapat berdiri sendiri, dijalankan oleh setiap

pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah

bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri-sendiri.87

84 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah Proyeksi, Bulan

Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 12. Sebagaimana dikutip dalam Jazim Hamidi, Intervensi Negara.....Op. Cit, hlm.

116. 85 Bandingkan dan lihat pada TAP MPR no. IV, tahun 1978 dan no. II tahun 1983 tentang GBHN,

Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 86 Pernyataan ini disampaiakn dalam sidang konstituante ke I, Rabu 6 Mei 1999, di kutip oleh M.

Yamin, Naskah II, hlm. 521. 87 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas, Jakarta, 1973, hlm. 18-19.

45

Tafsiran tersebut kemudian diambil kesimpulan sebagai berikut :88 pertama, di

negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh ada

aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan

syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at nashrani bagi nashrani dan seterusnya,

sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. ketiga, setiap

pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-

hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. Dari uraian interpretasi

Hazairin, ia memperjelas hubungan antara agama, hukum dan negara, yaitu negara

hanya bertugas menjamin kerukunan umat beragama untuk melaksanakan

peribadatannya. Sedangkan mengenai keabsahan peribadatan suatu agama

diserahkan kepada masing-masing institusi agama yang mempunyai legitimasi

untuk hal itu.

Selain menafsirkan ayat 1 pasal 29, Hazairin juga menafsirkan ayat kedua

pasal 29. Ia menyatakan bahwa ayat 2 dalam pasal 29 memberikan arti bahwa

negara tidak menjamin kebebasan bergerak bagi atheism dan akan mengawasi dan

menuntun pihak-pihak yang masih berkepercayaan animisme, polytheisme dan

lain-lain bentuk takhayul.89 Terlihat dari tafsiran tersebut bahwa tugas Negara

selain menjamin dan melindungi kebeasan beragama warga negaranya, secara

implisit Negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan warga

negaranya kepada jalan atau agama yang berketuhanan yang maha esa. Dengan

kata lain negara ditugaskan untuk menyadarkan mereka yang ‘menyimpang’ step

by step melalui penerangan dan pendidikan, supaya mereka atas dasar keinsyafan

88 Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama, makalah

disamapakan dlaam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Persaudaraan

Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII, Yogyakarta 6 Februari 2011. 89 Hazairin, Op. Cit..., hlm. 25-26.

46

sendiri berpaling dari kebodohan dan kesesatan, yaitu dengan kembali kepada

ajaran yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menyinggung tentang arti kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29

UUD 1945, Ruyandi dalam bukunya Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan

Yang Maha Esa menyatakan:90

Arti kepercayaan tersebut oleh Abdul Gafar Pringgodigdo, dari wawancara

dengan wartawan antara tanggal 8 November 1970 setelah memberikan

ceramah mengenai riwayat pasal 29 UUD 1945 pada symposium nasional

kepercayaan di Yogyakarta. Pada wawancara tersebut dikatakan: Beliau masih

ingat bahwa kata kepercayaan dalam pasal 29 UUD 1945 antara lain adalah

usul Wongsonegoro sebagai salah satu anggota panitia perancang UUD 1945.

Pernyataan Pringgodagdo tersebut dibenarkan oleh Wongsonegoro yang saat

symposium turut hadir. Wongsonegoro menambahkan bahwa selaku anggota

panitia perancang UUD 1945, beliau mengusulkan kebebasan beribadat yang

seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan dalam segala bentuk dan isinya

seperti yang diistilahkan kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Usul

Wongsonegoro untuk mencantumkan pula kata kebatinan dalam pasal 29

UUD 1945 diterima. Tetapi kemudian dalam proses pembuatannya, untuk kata

kebatinan itu dicari istilah lain yang netral dan digunakan kata kepercayaan

seperti yang ada pada ayat 2 pasal 29 UUD 1945 hingga sekarang.

Kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 apabila

melihat pemaparan di atas memberikan gambaran bahwa ayat satunya hanya

menunjukan kepercayaan bangsa Indonesia adalah satu agama. Jadi Indonesia

bukanlah negara agama, juga bukan Negara sekuler tetapi Negara pancasila. Pada

ayat duanya, tentang kata kepercayaan dimaksud meliputi kebatinan, kerohanian,

kejiwaan, yaitu sebagai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu

“Kepercayaan” dalam pasal 29 dimaksudkan sebagai kebatinan, kejiwaan, dan

kerohanian. Karenanya di akhir symposium itu disimpulkan bahwa kepercayaan

sejajar dengan agama.91 Sementara Syafi’i Ma’arif mengartikan “Ketuhanan yang

Maha Esa” tidak lain identik dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara

90 Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen P dan K Dirjen

Kebudayaan Direktorat PPK, Jakarta, 1985, hlm. 63-64. 91 Rachmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 98.

47

organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan,

dan musyawarah.92 Sejatinya antara agama dan negara tidak bisa saling

memisahkan diri. Keduanya saling melengkapi sebagai motor penggerak untuk

melakukan karya sosial.

Frasa ‘dan kepercayaannya’ dalam pasal 29 ayat 2 tersebut orang yang

bertanggung jawab atas munculnya kata tersebut adalah Wongsonegoro. Salah

satu pembuat Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI). Ia kemudian memberikan tambahan yang redaksional

lengkapnya adalah “karena mungkin diartikan bahwa Negara boleh memaksa

orang Islam untuk menjalankan syari’at agama, maka diusulkan supaya pasal 29

ayat 2 ditambah dengan kata-kata ‘dan kepercayaannya’ antara agamanya dan

masing-masing”.93 Akhirnya Soekarno juga neyetujui usulan Wongsonegoro

tersebut.

Memang tidak bisa di pungkiri, sejarah mengatakan bahwa

Wongsonegoro adalah orang yang berada dibalik keberhasilan memasukan kata

kepercayaan dalam konstitusi. Makna dari kata kepercayaan ini tentu hanya bias

di ketahui saat kita mengerti siapa yang menawarakannya menjadi teks dalam

konstitusi. Dalam biografi anggota BPUPKI disebutkan bahwa pemilik nama

lengkap Mr. Kanjeng Raden Mas Temengung Wongsonegoro itu adalah Bupati

Sragen yang lahir di Solo 20 April 1897, riwayat organisasinya selalu memiliki

keterkaitan dengan budaya jawa. 1920 dan 1932 ia di daulat menjadi ketua

perkumpulan kebudayaan Krido Wantjoyo Solo. Sempat juga menjadi ketua

92Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam

Konstituante, LP3ES, 1985, Jakarta, hlm. 152. 93 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretarian Negara

Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 248.

48

Boedi Oetomo Cabang Solo pada 1923-1924, dan pada 1942 Wongsonegoro

menjadi ketua pekumpulan kebudayaan Mardi Boedojo Sragen.94 Sejarah juga

mencatat, bahwa ia pernah menjabat sebagai ketua Badan Kongres Kebatinan

Indonesia (BKKI). Dari uraian historis itu, jelas bahwa Wongsonegoro adalah

seorang penganut aliran kebatinan, kepercayaan alias kejawen. Ini artinya ketika

Wongsonegoro mengusulkan nama “kepercayaan” agar masuk dalam konstitusi

pada 13 Agustus 1945, ia sungguh berada dalam kesadaran penuh bahwa ia adalah

seorang kejawen. Maka hal yang wajar jika ada kepentingan ideologis dibalik

usulan tersebut.

Sebagai seorang pengaut kepercayaan, tentu ia ingin agar kepentingannya

bisa diakomodir oleh konstitusi. Lontara ide, tentu tidak bisa begitu saja

dilepaskan dari kepentingan ideologisnya. Karenanya agama dan kepercayaan

dalam pasal 29 ayat 2 itu hendak mengatakan bahwa yang dijamin oleh negara

adalah semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di negeri ini. Meski

kepercayaan yang diusung Wongsonegoro saat itu adalah kepercayaan dalam arti

kejawen, tetapi kepercayaan ini masih sangat lentur dan elastis untuk dilebarkan

pada berbagai bentuk kepercayaan di luar kejawen.95

Mahkamah Konstitusi sebagai guardian constitution dan penafsir

konstitusi telah memberikan batasan atas konsep kebabasan

beragama/berkeyakinan. Sebelumnya, putusan tersebut merupakan konsekuensi

atas judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh beberapa LSM dan

tokoh agama, seperti Imparsial dan KH Abdurahman Wahid. Pasal-pasal yang

diajukan judicial review adalah pasal 1,2,3, dan 4. Pasal 1 berbicara mengenai

94 Ibid, hlm. 517. 95 Tedi Kholiluddin, Op. Cit, hlm. 280

49

larangan dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu

agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan

yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan

kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pasal 2 berkaitan dengan kewenangan menteri agama, jaksa agung dan

menteri dalam negeri mengeluarkan suatu keputusan bersama untuk menghentikan

perbuatan tersebut. Pasal 3 yaitu tentang kewenangan negara mediskrimnasi

pelaku dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun setelah tidak

mengindahkan surat keputusan tersebut. Pasal 4 berbicara tentang penguatan

kriminalisasi yang telah diatur dalam KUH Pidana.96 Pasal-pasal tersebut

bertentangan dengan instrumen HAM baik nasional maupun Internasional.

Instrumen internasional yang digunakan adalah sebagai berikut, pasal 18

DUHAM97, pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Ploitik98, komentar

umum Nomor 22 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama99, dan

pasal 6 huruf (d) dan (e) deklarasi penghapusan intoleransi dan diskriminasi

agama100. Argument hukum nasional yang dijadikan konfrontasi atas pasal-pasal

tersebut ialah pasal 27 ayat (1), 28 D ayat (1), 28 E ayat (1) dan (2), 28 I ayat (1)

dan 29 ayat (2) UUD 1945. Disamping itu kebebasan beragama dan berkeyakinan

juga dijamin dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Hak Asasi

Manusia.

96 Lebih lengkapnya lihat dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama. 97 Universal Declaration of Human Right 1948. 98 ICCPR yang disahkan pada 16 Desember 1996 dan diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun

2003. 99 General Comment Nomor 18: Non Discrimination: 10/11/1989. ICCPR. 100 Resolusi Majelis Umum PBB 36/55 pada 25 November 1981 tentang penghapusan IntoleraNSI

DAN Diskriminasi Agama.

50

Dalam judicial review inilah MK menjawab argument hokum penolakan judicial

review UU Penodaan Agama dengan kalimat sebgai berikut:

bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada

setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan

kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung

jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang.101

Kemudian secara jelas putusan atas penolakan yang sempat menimbulkan

kontroversi tesebut juga dapat disimpulkan sebagai berikut :102

1. Bahwa pasal-pasal penodaan agama harus dilihat juga dari aspek filosofisnya

sehingga tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridisnya saja. Aspek

filosofisnya bertujuan menempatkan kebebasan beragama/berkeyakinan dalam

perspektif ke-Indonesia. Praktik kebebasan/berkeyakinan di Indonesia

menempatkan aspek preventif sebagai pertimbanagn utama dalam suatu

masyarakat yang heterogen;

2. Kebebasan/berkeyakinan yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah

merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich. Selain adanya

hak kebabasan berkeyakinan, harus juga diikuti dengan tanggung jawab sosial

untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang;

3. Berangkat dari konsep negara hukum (the rule of law), negara memiilki peran

sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan

HAM yang berkeadilan. Peran egara ini diaplikasikan untuk memastikan

bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama/berkeyakinan, seseorang

maupun kelompok tidak melukai kebebasan beragama/berkeyakinan orang

lain. Di sinilah egara bertindak sebagai penengah;

4. Berdasarkan jaminan konstitusional terhadap kebebasan penafsiran, maka

memang diakui bahwa menafsirkan terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu

merupakan kebebasan berpikir setiap orang yang berada pada forum internum.

Akan tetapi, penafsiran tersebut haruslah berkeseseuaian dengan pokok-pokok

ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran

agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing. Ini artinya bahwa

kebebasan melakuakn penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak

atau absolute pada forum eksternum. Penafsiran juga harus dikontrol, yang

dalam minimalnya, control tersebut bisa berupa dialog dengan metodologi

yang umum diakui oleh para penganut agama agar tidak menimbulkan reaksi

yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau

dilaksanakan dimuka umum. Hal ini sesuai juga dengan ketentuan pasal 18

ICCPR.103

101 Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id,

tanggal 08 Februari 2011. 102 Faiq Tobroni, Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

(Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965), Jurnal Konstitusi Volume 7, No. 6,

Desember 2010, Jakarta: sSekretariat Jenderl dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi, 2010, hlm. 106-107. 103 Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, PBHI dan European Union, Jakarta,

2004, hlm. 14.

51

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut mencerminkan bahwa

dalam menjalankan kebebasan beragama/berkeyakinan harus memperhatikan

aturan main yang ada, sehingga kebebasan tersebut tidak melanggar kebebasan

orang lain yang juga harus dilindungi. Dengan kata lain jaminan yang diberikan

oleh negara kepada setiap orang adalah kebabasan bersyarat. Kebebasan yang

memiliki arti bukan bebas semau sendiri tanpa ada tanggung jawab sosial. Hal ini

selaras dengan ungkapan yang dikutip Munawir Syadzali, bahwa Freedom is not

License, hal ini pula yang tertulis dalam pasal 1 dari Declaration on the

Elimination of All Forms of Intolerances and of Discrimination based on Religion

and Belief tahun 1981, yang substansinya menjelaskan bahwa pemerintah dapat

mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan

beragama/berkeyakinan, serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan

berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama

yang pada gilirannya akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan

pembangunan.104

Sekali lagi Mahkamah Konstitusi memberi penegasan terhadap falsafah

negara yang agamis, MK menyatkan bahwa dalam negara Pancasila tidak boleh

diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan.105 Jadi

negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama

adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi

oleh negara demi harkat martabat manusia. Meskipun demikian, negara juga boleh

membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas

104 Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan Konsepsional), Penrbit

Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 45. 105Arsyad Sanusi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011.

52

penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan

bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya

HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk

menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan serta tanpa

melukai yang lainnya. Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi

karena ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme,

Orientalisme dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai

kesepakan bersama negara Indonesia.

Pola kebebasan yang ditawarkan MK sejatinya relevan apabila melihat

dalam UUD 1945 berkaitan dengan pluralisme yang juga diakomodir di

dalamnya. Bagaimnapun pluralism seringkali bersinggungan dengan kebeasan

sebagai konsekuensi. Pluralism yang lazim diberi pengertian sebagai suatu

kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran

satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Atau dengan kalimat lain,

pluralisme merupakan sikap menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa

serta mewujudkannya sebagai keniscayaan realitas. Pluralisme sesungguhnya

menjdikan sebuah ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai

salah satu entitas mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Sehinga

pluralisme semestinya diposisikan tidak sebgai ancaman melainkan sebagai

kekuatan dalam aktifitas berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia.

UUD 1945 sebgaai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi

politik, melainkan juga konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Oleh karenanya,

UUD 1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara,

konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa denagan rakyat yang telah

memberikan mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

53

Bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan bertingkah laku

dalam setiap aktifitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi dalam

hal ini adalah pedoman bersama bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalin

hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi mengikat sebagai

perdoman bersama karena dibuat berdasarkan kesepakatan bersama oleh

komponen bangsa.

Secara historis, pluralisme merupakan titik pijak bagi pendirian negara

bangsa Indonesia yang kemudian secara tegas diadopsi oleh para founding fathers

pada saat merumuskan UUD 1945. Terkait dengan itu maka UUD bukan lain

merupakan tonggak konvergensi atau titik temu kebhinekaan bangsa

Ditinjau dari aspek konstitusi, anutan pluralisme negara ini mendapatkan

tempat istimewa dan ditegaskan secara lebih spesifik melalui frasa-frasa seperti

negara “memelihara”, “mengakui”, “menghormati”, “menjamin”, dan

memebrikan “perlindungan” terhadap keberagmaan bangsa Indonesia. Hal ini

sekurang-kurangnya dapat ditemukan dengan jelas pada pasal 18, pasal 28, dan

pasal 29 UUD 1945. Oleh Karena itu, ditinjau dari aspek konstitusi maka bangsa

harus memahami pluralitas yang ada dengan memposisikan perbedaan adalah

sebagai fitrah. Bangsa ini hidup bernegara dalam kebhinekaan tetapi juga dalam

kesatuan sehingga pluralisme diperlukan untuk menciptakan hidup yang nyaman

dengan orang lain dalam suasana perbedaan. Harus disadari bahwa pluralisme

sebagaimana telah dianut oleh konstitusi, menjanjikan ruang nyaman bagi

penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar sifat

kemanusiaan seorang manusia. Untuk itu, sudah bukan waktunya lagi

memposisikan pluralisme ini sebagai ancaman melainkan saatnya

54

memposisikannya sebgai spirit dan kekuatan dalam aktifitas berbangsa menuju

cita-cita dan tujuan negara Indonesia.

4. Pengaturan Kehidupan Beragama di Indonesia dan Signifikansinya

Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi secara gamblang merumuskan

dan mengatur atas jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan, hal ini nampak

jelas dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan UUD 1945, konstitusi hasil amandemen

tersebut menyebut, ayat 1) “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan

hati nuraninya”. Hal tersebut dikukuhkan lagi dalam pasl 29 ayat 1, yaitu

“Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat 2) “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”.

Untaian pasal dalam UUD 1945 diatas menajdikan secara normatif,

jaminan kebebasan kehidupan beragama dan kepercayaan di Indonesia sebenarnya

cukup kuat. Namun, bahasa aturan-aturan normatif tidak serta merta menjadi

realitas atas kepastian hukum yang menghendaki ketentraman dan kedamaian.

Antara das sollen dan das sein sering kali kontradiktif. Dalam UU No. 1/PNPS

tahun 1965 mengenai pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, dalam

pertimbangan dikeluarkannya UU tesebut didasarkan munculnya lairan-aliran atau

organisasi-organisasi kebatinan, kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran-

ajaran dan hukum agama. Ajaran dan perbuatan aliran-aliran itu telah

55

menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan

menodai agama.106

Tujuan dengan dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 adalah, pertama-

tama agar jangan terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran

agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama

yang bersangkutan; dan dua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman

beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk

tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.107 Undang-

undang ini juga memuat larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakn

dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianggap

dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiaran dan

kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. 108 UU ini

juga menempatkan pasal baru dalam KUHP yaitu pasal 156 a. Pasal tersebut bisa

dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya yang ingin dilindungi

oleh pasal ini adalah hanya agama itu sendiri, selain itu meningat sifatnya agama

“tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditunjukan untuk melindungi

penganut agama.109

Alasan aturan tentang penodaan agama perlu dimasukan dalam KUHP,

dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 di dalamnya

disebutkan beberapa hal:110

106 Lihat penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, angka romawi I. 107 Penjelasan I, umum, angka 4 UU No. 1/PNPS/1965. 108 Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. 109 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet-3, Erlangga, 1981, Jakarta, hlm.

79-80. 110 Martiman Prodjo H, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Cet-1, 1982,

Jakarta, hlm. 65-68.

56

1. UU ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi

dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama

dipandang sebagai anacaman revolusi;

2. Timbulnya berbagai aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat

yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran

tersebut dipandang telah melanggar hokum, memecah persatuan nasional dan

menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan

undang-undang ini;

3. Aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi

penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran

pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan, dan aturan ini

melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta

ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang

Maha Esa;

4. Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen,

Katholik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (confusius)), undang-undang ini

berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama

tersebut dibatasi kehadirannya.

Pasal 156 a KUHP dalam implementasinya memang menjadi semacam

peluru yang mengancam, daripada melindungi warga negara.111 Sehingga orang

dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Selain itu

juga pasal ini merupakan pasal karet (hatzaai artikelen) yang bisa multitafsir.

Sebenarnya pasal ini bukan hanya bisa digunakan untuk menjerat aliran-aliran

yang menyimpang tetapi juga bisa digunakan untuk memidana aliran-aliran atau

organisasi-organisasi agama yang suka membuat kekerasan, bertindak anarkis

atau versitalisme di dalam masyarakat. Sayangnya, dalam praktiknya pasal

111 Problem penerapan KUHP ini juga dapat dilihat penjabarannya Abdullahi Ahmad An-Na’im

mengenai proses pembentukan hukum di Indonesia, ia menyebutkan sebagai berikut:”Pada saat kemerdekaan,

hukum sebagai objek dan arena kontestasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam debat mengenai peran

isalm dalam negara baru dan mengenai identitas negara baru tersebut. Sistem peradilan Belanda yang

membedakan antara orang Indonesia dan orang Eropa langsung dihapuskan pada saat kemerdekaan. Namun,

secar aumum, materi hukum tidaklah berubah, banyak materi yang diambil dari hukum kolonial. Selama periode

awal kemerdekaan, para pemimpin nasional berusaha melakukan unifikasi sistem hukum guna menegakan

persatuan dan kesatuan bangsa ini dengan membuat satu sistem hukum nasional dan menghapuskan pengadilan

sesat. Akan tetapi, membuat hukum yang seragam bagi negeri ini merupakan hal yang sulit karena

masyarakatnya yang sangat beragam. Akhirnya, sepertinya pada masa penjajahan, setelah merdeka hukum tetap

memilki kategori yang berbeda bagi kelas sosial yang berbeda, hkum kolonial bercampur dengan kepercayaan

agaam dan tradisi lokal, dan pendukung hukum adat tetap mempraktekan hukum warisan kolonial. Terkecuali di

Jawa, proyek sentralisasi dan unifikasi hukum seperti ini menjadi sumber kerusuhan”. Lihat selengkapnya

Abdullah Ahmad Ana’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, hlm. 421.

57

tersebut jarang diterapkan dengan baik oleh penegak hukum untuk melindungi

korban dari pelaku aliran kepercayaan tersebut.

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap

sah secara formil, MK juga tidak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa

demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya.

Oleh karenanya UU tersebut secara de facto dan de jure masih legal untuk

dijadikan landasan hukum. Selain itu MK juga tidak sependapat dengan pendapat

UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK

memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan

kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan

untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok

agama. Melihat secara netral bahwasannya UU Penodaan Agama bukan berarti

membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut

MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan penodaan agama.112 Jadi yang

melakukan dengan sengaja di muka umum mengajarkan agama yang menyimpang

terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh

sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD 1945 diperbolehkan untuk menjaga

ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain.

Hal ikhwal bahwa UU tersebut hanya mengakui agama resmi113 dan

diskrimansi terhadap aliran-aliran kepercayaan, MK memberikan pertimbangan

bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama

112Fadhil Sumadi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011 113Agama resmi yang dimaksud adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu. Dasar

diketgorikannya agama tersebut sebagai agama resmi adalah, pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi

historis dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hamper dipeluk oelh penduduk

Indonesia. Lihat UU No. 1/PNPS/1965. Meskipun Agama-agama tersebut merupakan agama ‘impor’ atau

pendatang, akan tetapi agama itu bisa diterima. Hal ini disebabkan agama pendatang itu memilki keunggulan

dalam perlengkapan doktriner dan kenegaraan. Lihat: Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan

dan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1981, hlm. 237.

58

hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah

masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini

kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)

UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut

kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum

administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU

Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945.114

Sebenarnya UU tersebut bukanlah UU yang membatasi kebebasan dalam

beragama tetapi UU itu merupakan manifestasi pengaturan dalam beragama agar

tidak terjadi conflict of interest. Hal itu dibenarakan apabila melihat konsep

kebebasan dalam beragama dalam pemaparan Koshy, ia menyampaikan bahwa

kebebasan beragama memiliki dua penegertian, yaitu religious freedom yang

merupakan konsep yang luas dan religious liberty digunakan dalam konteks yang

spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.115 Dalam ranah yang kedua inilah

mengapa kemudian perlu diatur, hal ini karena berkaitan langsung dengan aspek

fundamental dari kebebasan sipil yang apabila tidak dipenuhi secara proporsional

akan terjadinya pelanggaran. Dalam konteks inilah negara yang harus mengatur

proporsionalitas tersebut.

Selanjutnya adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam UU

ini secara tidak langsung telah memberikan tempat pelaksanaan hukum agama

masing-masing bagi para pemeluknya, yaitu bidang hukum perkawinan. Bagi

114 Moh. Mahfud MD dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011 115 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World, Genewa: WCC Pubications, 1992, hlm. 23.

Persoalan yang berkaitan dengan agama juga dapat dilihat dalam pemetaannya Rousseeau, ia membedakannya

menjadi dua. Pertama, The Religioun of Gospel, agama yang menekankan pada spek moralitas dan

penyembahan kepada Tuhan. Kedua, agama masyarakat, yang kelak disebut sebagai agama sipil, adalah agama

sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa. Agama ini terorganisir dan hierarkis serta terikat dengan dogma-

dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan kepada Negara dan nilai-nilai pengorbanan.

Lihat Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, hlm. 93.

59

pemeluk agama Islam selain tentang perkawinan juga ditetapkan hukum

kewarisan, wakaf dan shodaqoh. Aturan lain di bawah UUD 1945 yang masih

berkaitan dengan kehidupan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan landasan

normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa

diganggu gugat. Dalam pasal 22 di tegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk

agamanya maisng-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan

kepercayaan itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Dalam pasal 8

juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemujaan, penegakan, dan pemenuhan

hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Dari pasal tersebut jelas bahwa Negara (pemerintah) adalah institusi yang

pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan bekeyakinan dan segala

sesuatu yang menjadi turunannya. Disamping itu, tuntutan untuk menjamin

kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan internasional

sebagaiman tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR). Indoensia sebagai negara yang tidak bisa dilepaskan dalam dunia global,

juga telah meratifikasi kovenan tersebut, yaitu melalui UU No. 12 Tahun 2005

Tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Konsekuensi atas ratifikasi tersebut adalah Indonesia mau tidak mau menjadi

negara pihak (state partie) yang terikat dengan isi ICCPR.

Seiring dengan dinamisasi zaman regulasi yang ada di Indonesia yang

mengatur persoalan keagamaan dan kepercayaan juga sedikit mengalami

perubahan, walaupun tidak secara frontal akan tetapi hal itu cukup memberikan

60

warna cerah dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal itu nampak dalam

UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk).

Pada tingkatan tertentu kebijakan ini memberikan peluang kehidupan dan

eksistensi agama serta kepercayaan di luar enam agama resmi secara lebih baik.

Pasal 61 ayat 2 dalam aturan tersebut secara eksplisit meminta negara melayani

kepentingan administrasi kependudukan warga (termasuk KTP) di luar enam

agama resmi dan secara implisit mengakui keberadaan mereka dalam sistem

administrasi kependudukan Indonesia. Sungguhpun situasi ini bukanlah sesuatu

yang ideal, namun setidaknya merupakan perekmbangan yang lebih baik dari

situasi buruk yang telah lama ada sebelumnya.116

Di samping melihat ius constitutum yang sudah ada berkaitan kebebasan

beragama dan berkeyakinan, ada baiknya juga kalau melihat ius cosntituendum

yang sampai saat ini masih dalam pematangan ditangan pemegang institusi yang

berwenang. Dalam Rancangan KUHP (R-KUHP) pasal penodaan agama di

letakan dalam bab tersendiri, yaitu Bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama

dan Kehidupan Keagmaan yang di dalamnya ada delapan pasal. Dari delapan

pasal itu dibagi dalam dua bagian, yaitu :117

a. Bagian pertama, pasal 341-344 mengatur tentang penghinaan terhadap agama

dan pasal 345 mengatur tentang penghasutan untuk meniadakan keyakinan

terhadap agama;

b. Bagian kedua, mengatur tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama

dan sarana ibadah. Bagian ini mnegatur dua hal, pasal 346-347 yaitu tentang

gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan a. Pasal 348 tentang

perusakan tempat ibadah.

116 Bunyi pasal 61 ayat 2 UU No. 23 tahun 2003: Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamnya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak di isi, tetapi tetap dilayani dan dicatat

dalam database kependudukan. 117 IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan......, Op. Cit, hlm. 209.

61

Harapannya memang dalam R-KUHP nantinya mengandung pasal yang

melindungi pelaku dan korban penodaan agama. Bukan hanya berorientasi kepada

pelaku penodaan agama saja, tetapi korban yang seringkali dilupakan juga harus

ikut disentuh dalam R-KUHP tersebut. Sehingga proporsionalitas akan nampak

dalam implementasi hukumnya di lapangan. Pasal yang sudah ada dalam R-

KUHP juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang

atas berbagai masalah keagamaan dan kepercayaan tidak kemudian dituduh

melakukan penodaan agama. Karena menuduh orang melakukan penodaan agama

dan kepercayaan tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun

harus bisa dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan

permusuhan, merendahkan, dan melecehkan agama dan kepercayaan.

Terlepas dari itu semua, yang hukum yang mengatur tentang hak hidup

bagi organisasi atau penganut aliran kepercayaan, bukan berarti memiliki sesuatu

kebebasan yang di luar toleransi bagi keharmonisan kehidupan beragama dan

kepercayaan. Terutama apabila kegiatan penganutnya atau organisasinya

melakukan penyimpangan yang teridentifikasi sebagai aliran kepercayaan yang

menyimpang. Maka selayaknya hal yang seperti itu perlu dibuat mekanisme

pengaturannya.

C. Identifikasi Bentuk-bentuk Intervensi (campur tangan) Negara Terhadap

Kehidupan Beragama di Indonesia

Sebelum masuk dalam pembahasan hal apa saja negara (pemerintah) turut

campur dalam memperhatikan kehidupan beragama di Indonesia. Maka penulis

tegaskan terlebih dahulu konteks ataupun makna ‘intervensi’ tersebut. Harapnnya agar

maksud yang di cerna dalam tulisan ini nantinya sejalan dengan hal-hal yang diurus

62

oleh pemerintah. Poerwadarminta menyebut campur tangan di artikan 1. Izin (untuk

memperhatikan kehidupan beragama-kursif penulis), 2. Kerelaan (mengandung unur

regulasi antara kedua belah pihak). Jadi, campur tangan yang dimaksud adalah

keterlibatan pemerintah terhadap berbagai urusan warga negaranya.118

1. Kegiatan Lintas Sektoral

Kegiatan sektoral yang dimaksud ini adalah yang termasuk di dalamnya

sebagai bentuk hubungan antara warga negara dengan negara-negara atau bangsa-

bangsa lain atau pusat keagamaan yang ada di luar negara Indoensia. Dalam

konteks ini negara sudah ikut campur di dalamnya, secara lugas dapat dilihat

dalam keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri

Kepada Lembaga Keagamaan di Indoensia.119

Kemudian juga terkait dengan pengawasan dan pembinaan pemerintah

terhadap pengembangan agama, maka dapat kita sebut juga bahwa kegiatan lintas

sektoral ikut di dalmnya. Hal ini dapat dilihat dalam keputusan bersama menteri

agama dan menteri dalam negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tentang

Pelaksnaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban

danKelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-

pemeluknya.120

2. Pendidikan Agama

Dalam ruang lingkup kementrian agama, salah satu tugasnya antara lain :121

118 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet-Ketujuh, PN. Balai Pustaka, Jakarta,

1984, hlm. 520. 119 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1987. 120 Lihat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969. 121 BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hlm. 113.

63

1. Menyediakan, memberikan petunjuk, serta mengawasi pengajaran agama

dalam sekolah-sekolah negara;

2. Memberikan petunjuk, dukungan dan pengawasan pendidikan dan pengajaran

yang diberikan dalam madrasah-madrasah dan lembaga keagamaan lainnya;

3. Mendirikan sekolah-sekolah untuk melatih guru-guru agama dan untuk pejabat

peradilan agama;

4. Memelihara segala hal yang berkenaan dengan pengajaran agama dalam

ketentaraan, asrama-asrama, serta dimanapun yang dipandang perlu.

Selanjutnya Delliar Noor merinci jenis-jenis pendidikan serta pengajaran

Islam yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya oleh kementrian

agama serta dinas-dinasnya, yaitu 1. Pesantren Indonesia klasik (semacam

sekolah swasta beragama), 2. Madrasah diniyah (sekolah agama), 3. Madrasah-

madrasah swasta (biasanya 35% untuk jadwal pelajaran umum dan 40% untuk

pelajaran agama), 4. Madrasah ibtidaiyah negeri (minimal 6 tahun), 5. Madrasah

ibtidaiyah negeri 8 tahun dengan tambahan ketrampilan-ketrampilan, 6.

Pendidikan teologi tertinggi, pada tingkat universitas (sejak tahun 1960 pola ini

dimasukan dalam IAIN).122

3. Kerukunan Hidup Beragama

Kerukunan hidup beragama merupakan cita-cita bangsa Indoensia yang

sejak lama digagas oleh para founding fathers. Hidup rukun dan saling

berdampingan serta toleran terhadap sesama agama maupun dengan agama lain

merupakan sendi terbangunnya bangsa yang bermartabat dan memiliki tata krama.

Sehingga isu pembangunan nasional dapat terealisasi dengan baik juga salah satu

faktor penunjangnya adalah adanya masyarakat yang saling hormat menghormati,

tolong menolong, dan rasa kegotong royongan yang tinggi di dalam diri

masayarkat Indonesia.

122 Delliar Noor, Administrasi Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 49.

64

Dalam rangka perwujudan dari adanya toleransi beragama ini, pemerintah

(kementerian agama) mengeluarkan beberapa peraturan, antar lain:

1. Keputusan Menteri Agama No. 44 tahun 1978 tentang pedoman penyiaran

agama;

2. Kesepakatan pemuka-pemuka agama provinsi DIY tentang:123

a. Pendirian tempat ibadah;

b. Penyiaran agama;

c. Perkawinan antar agama;

d. Penguburan jenazah;

e. Peringatan hari besar keagamaan.

4. Pembinaan Badan-badan Peradilan Agama

Dalam keputusan rapat kerja Direktorat Pembinaan Badan-badan

Peradilan Agama bersama Ketua dan Panitera Pengadilan Agama tingkat banding

di seluruh Indonesia pada tahun 1976. Hasil rapat tersebut menghasilkan beberapa

poin penting dalam hal pembinaan badan-badan peradilan agama, di antaranya

pembinaan tata laksana peradilan agama , pembinaan sarana peradilan agama dan

pembinaan hukum dan perundang-undangan badan peradilan agama.124

Sebetulnya kesepaktan-kesepakatan tersebut merupakan rangkaian pembinaan

pemerintah terhadap peradilan agama yang selama ini sudah dilaksanakan.

123 Hasil Forum Dialog Pemuka-pemuka Agama Provinsi DIY, 9 Juni 1983, di terbitkan oleh Kanwil

Depag DIY 124 Daniel S. Lev, Badan-badan Peradilan Agama, Cet. Kedua, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 131

65

Ada tiga perkembangan penting yang mendasar, sekaligus merupakan

penyempurnaan-penyempurnaan dalam bidang administratif yang lebih maju dan

dinamis:125

1. Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1979 tentang Perkawinan

dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya tentang perkawinan di Indonesia;

2. Keputusan menetri agama No. 18 tahun 1975 sebagai pelaksana Keppres No.

44 dan 45 tahun 1974 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Agama;

3. Hapusnya inpeksi peradilan agama di daerah-daerah serta penampungan

kembali fungsi pembinaan administratif yang selama ini ada pada inspeksi-

inspeksi tersebut.

5. Pembinaan Aparatur dan Sarana Fisik

Sejalan dengan konsep dasar pandangan pemerintah terhadap agama, dan

pola pembangunan bidang agama yaitu perhatian pemerintah lebih ditekankan

pada peningkatan kualitas sarana.126 Perhatian pemerintah terhadap sarana fisik

peribadatan setidaknya dapat dilihat pada awal tahun 1987 sampai dengan 28

september 1987, ada sekitar 242 unit di 26 propinsi , 156 kabupaten dan 39

kotamadya yang diberikan dana pembangunan untuk sarana fisik.127

Bukti besarnya perhatian pemerintah dalam lingkungan aparatur negara

dan sarana fisik dapat dibaca melalui sejarah. Bahwa pimpinan depatemen agama

sebagian besar adalah tokoh agama dan ulama. Kecenderungan tersebut mulai

berubah pada masa orde baru , sejak tahun 1971 diangkat seorang menteri agama,

seorang ulama yang mempunyai latar belakang akademis yaitu A. Mukti Ali

secara berturut kemudian dipimpin oleh militer pertama yang masuk departemen

agama, yaitu letjen Alamsyah Rauprawiranegara, dan sarjana ilmu sosial politik

125 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Op. Cit, hlm. 141-142. 126 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1967, Cet-

Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 100-101. 127 Ibid

66

dan sekaligus alumnus pondok pesantren yaitu Munawir Syadzali.128 Bukti

tersebut merupakan sebagian besar dari wujud konsesi negara atau pemerintah

dalam masalah agama, yang secara yuridis konstitusional berlandaskan pasal 29

UUD 1945.

Misi pembangunan bidang agama tersebut kemudian di elaborasikan ke

dalam arah dan kebijakan agama, yaitu:129

1. Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral,

spiritual, dan etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar

segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral

agama-agama;

2. Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem

pendidikan agama, sehingga lebih terpadu dan integral dengan sistem

pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang

memadai;

3. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama ,

sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati

dalam semangat kemajemukan melalui dialog anatar umat beragama dan

pelaksanaan pendidikan agama secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk

tingkat perguruan tinggi;

4. Meningkatkan kemudahan umat beragama dalam menjalankan ibadahnya,

termasuk penyempurnaan kualitas pelaksanaan ibadah haji dan pengelolaan

zakat, dengan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk

berpartisipasi dalam penyelenggaraannya;

5. Meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut

mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupaan

untuk memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat

kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Melihat poin-poin di atas nampaknya campur tangan negara dalam

kehidupan beragama sudah samapai pada taraf peningkatan dan pemanfaatan.

Meskipun dalam realitas kemapanan dan keharmonisan kehidupan beragama

dewasa ini sedang mendapat ujian besar dan di obok-obok oleh oknum yang

kurang bertanggung jawab.

128 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Op. Cit, hlm. 145. 129 Ibid

67

6. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah

Adanya pro kontra keluarnya SKB tersebut merupakan hal yang wajar,

karena sebelumnya memang telah ada pihak yang pro kontra berkaitan dengan

kehadiran Ahmadiyah. Jadi permasalahan yang saat ini harus diperhatikan adalah

bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan SKB yang berisi peringatan dan

perintah tersebut. Hal ini tergantung bagaimana pemerintah, aparat, masyarakat,

pihak yang kontra Ahmadiyah dan Ahmadiyah itu sendiri dalam menyikapi SKB

tersebut. Untuk dapat melihat hal ini, perlu memahami dan mencermati apa saja

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam SKB yang dikeluarkan oleh dua menteri,

yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, beserta Jaksa Agung.

Pertama, berdasarkan isi dari beberapa ketentuan diktum SKB tentang

Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat, maka jelas bahwa SKB ini

ditujukan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, warga masyarakat dan aparat pemerintah dan pemerintah

daerah.

Kedua, apa yang diperingatkan dan diperintahkan serta sanksinya.

Berkaitan dengan hal ini ada 3 bentuk, sesuai dengan subjek atau kepada siapa

peringatan dan perintah tersebut ditujukan. Peringatan dan perintah yang ditujukan

kepada warga masyarakat ada dua macam, sebagaimana diatur dalam diktum

kesatu dan diktum keempat. Diktum kesatu, yaitu memberi peringatan dan

memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang

suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-

68

pokok ajaran agama itu. Sementara diktum keempat, yaitu memberi peringatan

dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara

kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat

dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI).

Bentuk peringatan dan perintah pada diktum kesatu, isinya lebih

menekankan agar warga masyarakat tidak melakukan salah satu delik agama,

yaitu delik penodaan agama. Sedangkan bentuk peringatan dan perintah pada

diktum keempat, isinya lebih menekankan agar warga masyarakat, baik yang

kontra maupun yang tidak kontra terhadap Ahmadiyah, tetap menjaga kondisi

yang kondusif dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum

terhadap penganut Ahmadiyah, seperti pengusiran, perusakan rumah dan tempat

ibadah, kekerasan, main hakim sendiri, dan lain sebagainya. Dua peringatan dan

perintah ini harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat secara jelas dan utuh,

sehingga tujuan dari dua peringatan dan perintah tersebut tercapai, yaitu tidak

terulang kembali kasus-kasus seperti Ahmadiyah di masa-masa yang akan datang

dan masyarakat tidak bertindak anarkis, karena negara ini adalah negara hukum.

Dalam SKB tersebut pada diktum kelima, disebutkan bahwa jika diktum

kesatu dan keempat tidak diindahkan, maka warga masyarakat akan dikenakan

sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan sanksi diktum

kesatu dan diktum keempat tersebut diantaranya mengacu kepada ketentuan

kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam KUHP dan UU No. 1 Pnps/1965.

Kemudian peringatan dan perintah yang ditujukan kepada penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

69

sebagaimana diatur dalam diktum kedua, yaitu memberi peringatan dan

memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk

menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-

pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi

dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Berikutnya pada diktum

ketiga ditentukan bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah

sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua, dapat dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk

organisasi dan badan hukumnya. Sanksi yang dimaksud di sini adalah mengacu

pada Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 UU No. 1 Pnps/1965. Pasal 2 ayat (2) mengatur

bahwa pelanggaran terhadap SKB yang dilakukan oleh organisasi atau sesuatu

aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan

menyatakan organisasi/aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah

Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri.

Sementara Pasal 3 mengatur bahwa jika ketentuan Pasal 2 sudah

dilaksanakan, yaitu mengeluarkan peringatan dan perintah melalui SKB dan

Presiden telah membubarkan serta menyatakan organisasi/aliran tersebut

terlarang, namun orang, organisasi/aliran kepercayaan tersebut masih tetap

melanggarnya, yaitu melanggar diktum kesatu SKB, maka orang, penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu

dipidana dengan pidana selama-lamanya lima tahun.

70

Terakhir, diktum keenam, perintah yang ditujukan kepada aparat

pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan

dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

Pelaksanaan perintah yang terakhir ini merupakan ujung tombak dari penegakan

SKB ini, karena akan mengiringi pelaksanaan SKB tersebut, apakah SKB ini

dipatuhi atau tidak.

Berdasarkan identifikasi bentuk-bentuk intervensi yang dilakukan oleh

negara, secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya pada lingkup

urusan adminstasi keagamaan negara ikut campur tangan dalam mengurusi

aktifitas keagamaan warga negaranya, seperti dalam urusan pemenuhan fasilitas

yang mendukung kelancaran ibadah bagi setiap pemeluk agama. Kemudian negara

juga dibenarkan memberikan batasan berdasarkan United Nation Covenant on

Civil and Political Rights yang sudah di ratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005,

yaitu dalam arti kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan,

mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang,

seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan

mendirikan tempat ibadah yang digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom

to act).

Kebebasan dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat

bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Adapun alasan yang dibenarkan

untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah

semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan

masyarakat), public order (ketrtiban masyarakat), public health (kesehatan

masyarakat), public morals (etika dan moral masyarakat), dan protection of rights

and freedom of others (melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain).

71

Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau

pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia

atau hak milik mereka.130

Secara lebih rinci uraian diatas, maka dapat di jelaskan pentingnya

perlindungan terhadap lima aspek tersebut, yaitu:131

1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

melindungi keselamatan masyarakat). Dibenarkan pemabatasan dan

larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatana

pemeluknya. Conrohnya, ajaran agama yang ekstrim, mislanya menyuruh

untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal.

2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk

melindungi ketertiban masyarakat). Pembatasan kebebasan

memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau

masyarakat . di anataranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan

hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan

ijin untuk melakukan rapat umum, keharusan mendirikan tempat ibadat

hanya pada lokasi yang diperuntukan untuk umum, dan aturan pembatasan

kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk

melindungi keshatan masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan

dnegan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada

pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau [enyakit

lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pmerintah dpaat

mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota

askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC.

Bagaiamana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama

tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan

infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya laranagn terhadap ajaran

agama yang mengharuskan penganuntnya berpuasa sepanjang masa karena

dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.

4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi

moral masyarakat). Misalnya , melarang implementasi ajaran agama yang

menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom

of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan

orang lain).

a. Proselytism (penyebaran agama). Dengan adanya hukuman terhadap

tindakan Proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebabasan

seseorang didalam memanifestasikan agamam mereka melalui

130 Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama, Makalah di sampaiakan pada

acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional

Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007, hlm. 3. 131 Ibid, hlm. 12.

72

aktifitas-aktfitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan

beragama orang lain tidak tertanggu atau dikonversikan.

b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau

kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang

lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan,

melarang perbudakan, kekejaman dan juga ekspolitasi hak-hak kaum

minoritas.

Dari uraaian diatas , maka regulasi negara dalam kehidupan beragama

tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan

perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi, untuk tujuan-tujuan

tersebut, negara perlu rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan

hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, btidak

mengajarkan kekerasan kepada siapapun dan dengan alasan apapun, dan tidak

melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.

73

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian seperti yang telah di uaraikan di atas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut. Pertama, salah satu tujuan negara adalah memelihara

ketertiban dan peradaban, sedangkan fungsinya ialah menciptakan syarat-syarat dan

hubungan yang memuaskan bagi semua warga negara. Hal itulah yang menjadi dasar

akan pentingnya (urgen) negara mengatur aliran-aliran keagamaan yang ada dan

tumbuh berkembang di Indonesia. Sejatinya negara menginginkan adanya kehidupan

yang harmonis di kalangan masyarakat, meskipun adanya aliran-aliran baru yang

muncul. Seperti tercatat dalam sejarah bahwa semasa perkembangan bangsa Indonesia

tidak bisa dilepasakan dari fenomena aliran-aliran keagamaan. Oleh karenanya negara

sebagai pemangku kewajiban memiliki tugas untuk mengatur aliran-aliran

kepercayaan/keyakinan yang muncul tersebut agar tidak menimbulkan konflik antar

satu dengan yang lainnya. Sebagai salah satu tujuan negara untuk meciptakan

kedamaian, maka salah satu perannya adalah mengusahakan dan menjamin ketertiban

atas munculnya berbagai aliran-aliran kepercayaan di Indonesia.

Tujuan negara tersebut juga sejalan dengan amanat internasional melalui

instrumen yang berlaku yaitu konvensi-konvensi internasional, salah satunya adalah

kovenan tentang hak sipil dan politik. Di dalamnya disebutkan bahwa pembatasan

yang terkait dengan keamanan publik menjadi legal, juga dibenarkan pembatasan

untuk melindungi tatanan/ketertiban publik. Alasannya tidak lain karena dalam

beragama/berkeyakinan juga tidak dibenarkan menggunakan cara-cara yang

74

mengganggu kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Hal seperti itulah

yang tidak bisa dibenarkan, sehingga negara diberikan peran untuk mengaturnya

secara netral.

Kedua, konsep kebebasan bergama/berkeyakinan dan pengaturannya apabila

dikaitkan dengan teori HAM, maka akan ditemukan berbagai varian perbedaan yang

berimplikasi pada konsep implementasnya. Kebebasan beragama/berkeyakinan

apabila dilihat dari perspektif HAM universal, maka kebeasan tersebut merupakan

kebebasan yang bebas nilai dan tidak boleh di ganggu gugat oleh siapapun. Hal ini

dikarenkaan kebebasan merupakan nilai fundamental yang telah terpatri dalam

individu manusia. Sedangkan apabila dilihat dari teori HAM relativisme, maka

kebebasan sejatinya harus tunduk pada pakem-pakem yang telah tumbuh berkembang

dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan konflik di dalam

masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan kebebasan/berkeyakinan seseorang tidak

diperbolehkan melanggar budaya dan norma yang sudah berlaku di suatu negara.

Indonesia dalam posisi ini mendukung paham relativisme HAM. Oleh karenannya

dalam menjalankan kebebasan/berkeyakinan seyogyanya tunduk pada aturan dan

budaya yang berlaku di negara Indonesia tersebut.

Melihat berbagai tafsiran Pasal 29 UUD 1945, maka dapat penulis simpulkan

bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang harus dijadikan dasar kehidupan hukum

di bidang keagamaan. Pasal 29 ayat (1) dan (2). Sila 1 Pancasila dan Pasal 29 ayat (1)

dan (2) adalah dasar dari kewenangan negara dalam mengatur dan mengurusi perkara

keagamaan rakyatnya. Penegasan terkait tafsiran pasal 29 dan makna kebebasan yang

dianut oleh negara Indonesia juga dapat dilihat melalui putusan Mahakmah Konstitusi

(MK). Sebagai lembaga penafsir sekaligus penjaga konstitusi, MK berpandangan

75

bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap

manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich,

melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan

HAM bagi setiap orang.

Aturan-aturan yang menajmin atas kebebasan beragama/berkeyakinan juga

tersebar di berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Misalnya, di dalam

konstitusi pasal 28 e ayat (1) UUD 1945 secara gamblang menjelasakan konsep

kebebasan/berkeyakinan bagi setiap warga negara, pasal tersebut sekaligus

memberikan jaminan terhadap warga negaranya. Selain itu aturan-aturan yang lain

juga muncul dalam peraturan perundang-undangan organiknya, meskipun dalam

aturan-aturan tersebut masih banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dan cenderung

mendiskriminasi kaum minoritas. Akan tetapi terlepas dari aturan-aturan derivasinya

yang bersifat kurang aspiratif dan kurang memihak, yang jelas negara dalam

kapasitasnya berusaha mewujudkan kedamaian dan toleransi antar sesama.

Ketiga, keterlibatan pemerintah terhadap berbagai urusan warga negaranya

terlihat di dalam berbagai aturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan, dan

putusan-putusan. Intervensi tersebut meliputi kegiatan lintas sektoral keagamaan,

pendidikan agama, kerukunan hidup beragama, pembinaan badan-badan peradilan

agama, pembinaan aparatur dan sarana fisik keagamaan.

Apabila dilihat dari isinya, maka bentuk intervensi tersebut terbatas pada

koridor penertiban terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang menjadi wewenang

negara, atau hanya terbatas pada hal yang bersifat administratif, hal itu dimaksudkan

agar berjalan secara teratur dan terkontrol. Seperti yang diamanatkan dalam

pembukaan UUD 1945, negara baru dapat mengintervensi aliran-aliran itu jika

76

terdapat ajaran yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengganggu ketentraman

dan keamanan masyarakat, atau dapat mengancam eksistensi pemerintahan dan

negara.

Kemudian juga intervensi lainnya ialah terkait dengan pengawasan dan

pembinaan pemerintah terhadap pengembangan agama, pertimbangan dikeluarkannya

aturan yang kemudian dikatakan sebagai bentuk intervensi negara adalah adanya tugas

negara (pemerintah) yang berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk

melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau

menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

B. Saran

1. Negara harus bersikap tegas dalam menjamin hak kebebasan

beragama/berkeyakinan bagi setiap warga negaranya. Hak fundamental yang

dimiliki oleh setiap individu untuk bebas memeluk keyakinan yang diyakini harus

terjamin secara utuh. Dalam menjalankan kewajibannya menjaga keamanan dan

ketertiban negara, negara harus besikap netral dan tidak boleh diskriminatif.

2. Aturan-aturan yang ada dan masih berlaku, dan sejauh ini yang dirasa berpotensi

menimbulkan konflik di masyarakat. Maka, kepada pihak yang berwenang

seharusnya kembali meninjau pengaturan itu. Pengaturan tentang eksistensi aliran-

aliran keagamaan tampaknya harus ditinjau ulang.

3. Restrukturisasi peran negara dalam konteks kapasitasnya sebagai ‘wasit’, yaitu

bahwa kewenangan negara itu terbatas pada urusan adminstasi keagamaan, seperti

dalam urusan pemenuhan fasilitas yang mendukung kelancaran ibadah bagi setiap

77

pemeluk agama. Adapun mengenai ajaran dari aliran-aliran keagamaan, negara

tidak dapat ikut mencampurinya, sebab masuk dalam wilayah personal. Bahkan,

jika terjadi perselisihan dalam hal ajaran, itu masih berada pada wilayah

masyarakat yang juga menghalangi negara ikut campur tangan di dalamnya.

negara baru dapat mengintervensi aliran-aliran itu jika terdapat ajaran yang

menimbulkan keresahan masyarakat, mengganggu ketentraman dan keamanan

masyarakat, atau dapat mengancam eksistensi pemerintahan dan Negara. Negara

sendiri tidak boleh menghakimi aliran-aliran itu hanya berdasarkan ajaran-

ajarannya saja, tanpa menganalisis kepada dampak sosial yang akan ditimbulkan.

78

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abdullahi Ahmed An Na’im, Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,

Bandung: Mizan, 2007.

Amirudin Zainal, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta :

PT. Grafindo Persada, 2003.

Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003.

Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama

dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar dan Pascasarjana IAIN Walisongo, 2006.

Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, terjemah oleh Farid Ma’ruf, Cet. I, dari judul asli al-

Akhlaq, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Cet. I, Jakarta, Rajawali Pers, 1990.

Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Lakbang Mediatama,

Yogyakarta, 2010.

Abdullah Ahmad Ana’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan

Syari’ah, 2001.

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-

1967, Cet-Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan

dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.

79

Bahtiar Effendy Islam dan Negara, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998.

Suryadi Radjab, Indonesia:Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia dan Transisi

Politik Indonesia, PBHI dan TAF, Jakarta, 2001.

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,

Jakarta: Grasindo, 2004.

BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

Carl Wellmen, Moral and Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1988.

C.S.T. Kansil, Ilmu Negara: Umum dan Indonesia, Jakarta: PT Pradnya Paramita,

2001.

Djoko Prakoso, Tugas-tugas Kejaksaan di bidang Non Yudisial, Jakarta, Bina Aksara,

1989.

Delliar Noor, Administrasi Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1983.

Daniel S. Lev, Badan-badan Peradilan Agama, Cet. Kedua, Jakarta: PT. Intermasa,

1986.

Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia: Malang, 2007.

Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, Jakarta: PBHI dan

European Union, 2004.

Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern dan Klasik,

Jakarta: Gramedia, 1986.

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1973.

Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California, California, 1970.

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

80

Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Definitions of the term and pharses of

America and English Jurisprudence, Ancient an Modern, St. Paul. West Publishing Co,

Amerika, 1990.

Henry Hardy, Liberty In Law, Oxford University Press Inc, United Kingdom, 2001.

Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001.

Ifdhal Kasim dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.

IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Bina Cipta, 1982.

Isaiah Berlin, Two Concept of Liberty, Oxford University Press, United Kingdom,

1991.

Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, UII Press,

Yogyakarta, 2001.

Jacobsen dan Lipman. Political Science, dalam College Outline Series Barners and

Noble, New York, 1956.

Jay Newman, On Religion Freedom, University Of Ottawa Press, California, 1991.

Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornelly University

Press, Ithaca and London, 2003.

J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali

Press, 2002.

81

Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayu

Media, 2005.

Joel Feinberg, The Moral Limits of The Criminal law, Volume 4, New York: Oxford

University Press, 1990.

Leslie Lipson, The Great Issues of Politic, An Introduction to Political Science,

Prentice Hall, New York, tanpa tahun.

Masdar F. Mas’udi, “Agama dan Pluralitasnya”, Yogyakarta: Interfidei Institute, 1995.

_______________, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1993.

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam

di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Manfred Nowak, United Nation Covenant on Civil and Political Rights, USA: N P

Engel Pub, 1993.

Martiman Prodjo H, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Cet-

1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1982.

Mirza Nasution, Negara Dan Konstitusi, USU Digital Library, Medan, 2004.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.

Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan

Konsepsional), Jakarta: Penrbit Universitas Indonesia, 2007.

Niels Murder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural

Persistence and Change, Singapore: Sinagpore University Press, 1978.

82

Nicola Colbran, dkk, Freedom of Religion or Belief, The Netherlands: Martinus Nijhoff

Publishers, 2004.

Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World, Genewa: WCC Pubications,

1992.

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet-3, Jakarta: Erlangga,

1981.

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah

Proyeksi, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995.

Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka

Caraka, 1981.

Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Mendidik Manusia Merdeka:, Yogyakarta:

Interfedei, 2000.

Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta:

Departemen P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK, 1985.

Saripudin HA, Negara Sekular \ Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa,

2000.

Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretarian Negara Republik Indonesia, 1998.

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bharata, 1973

Soehino, Ilmu Negara, Libeety, Yogyakarta, 1980.

83

Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama

Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang:RaSAIL Media Group, 2009.

Tonny P. Situmorang, Pandangan Rousseau Tentang Negara Sebagai Kehendak

Umum, USU digital library, Medan, 2004.

Van Dijk dan Van Hoof, Theory and Practice of The Eurpean Convention On Human

Right, Edisi ke-4, USA: Intersentia, tanpa tahun.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet-Ketujuh, Jakarta: Sinar

Harapan, 1990.

Makalah dan Jurnal

Abdul Aziz Dahlan, “Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi”

dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993.

Ahmad Baso, “Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed

‘Abed al-Jabiri”, Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.

Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran apa

yang bisa dipetik untuk membangun Indonesia? Makalah disampaikan pada Seminar

“Mengkaji Ulang Relevansi Welfare state dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di

Indonesia”, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan

Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli

2006.

Faiq Tobroni, Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965),

84

Jurnal Konstitusi Volume 7, No. 6, Desember 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderl dan

Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi, 2010.

Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama,

makalah disamapakan dlaam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan

oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies

UII, Yogyakarta 6 Februari 2011.

M. John Alexander, Capabilities, Human Rights and Moral Pluralisme, International

Journal of Human Rights, Vol. 8 No. 4.

Stacy Humes Schulz, Limiting Soverignity Immunity in the Age of Human Rights,

Harvard Human Rights Journal, Vol. 21.

Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama, Makalah di

sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP

diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007.

Media Massa

Abd A’la, “Kekerasan Atas Nama Agama”, Harian Kompas, 14 Oktober 1999

PaulaM.aJohnson,aAaGlossaryaofaPoliticalaEconomyaTerm,adalamahttp://www.aubur

n.edu/-johnson/gloss/civil_right_civil_liberties. diakses tanggal 16 Oktober 2010.

Robert D. Cooter, Liberty, Eficency, and Law, Law and Contemporary Problem, Vol.

50, no. 4, hlm.143, dlm http:/www.jstore.org

RelativismeadanaUniversalismeaHAM,ahttp://masahanief.blogspot.com/2010/09/relati

visme-dan-universalisme-ham.html, diakses tanggal 04 Februari 2011.

http://www.aasianst.org/Viewpoints/Nathan.htm, diakses tanggal 04 Februari 2011.

85

Moh.aSyafii,aDiskursusaUniversalismeadanaRelatifismeaKulturalaHAM,adalamahttp:/

/syafiie.blogspot.com/2010/07/diskursus-universalisme-dan-relatifisme.html, di akses tanggal

04 Februari 2011.

LembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaaksesadiahttp://www.mahkamahkon

stitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011.

Fadhil Sumadi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011

Peraturan Perundangan, Konvensi Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama.

UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and

Political Right.

UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk).

TAP MPR no. IV, tahun 1978 dan no. II tahun 1983 tentang GBHN, Agama dan

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1987.

Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969.

Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-108/J.A/5/1984 tertanggal 15 Januari 1994.

Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pusat Pakem, Nomor 34/Pakem/S.E/61

tertanggal 7 April 1961, perihal instruksi Pembentukan Batasan Pakemdi tiap-tiap propinsi

86

dan di daerah-daerah. Surat ini ditujukan kepada semua Jaksa/Tinggi/Kordinator Kejaksaan

Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 atas Undang- Undang

Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

The European Convention For The Protection of Human Rights and Fubdamental

Freedom.

World Conference on Human Rights: The Viena Declaration and Programme of

Action, June 1993, New York, United Nation, 1993.

Resolusi Majelis Umum PBB 36/55 pada 25 November 1981 tentang penghapusan

Intoleransi dan Diskriminasi Agama.

General Comment Nomor 18: Non Discrimination: 10/11/1989. ICCPR.