HASIL PENELITIAN KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA … · Contoh yang paling kentara adalah pada...
Transcript of HASIL PENELITIAN KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA … · Contoh yang paling kentara adalah pada...
i
HASIL PENELITIAN
KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENGATURAN
KEHIDUPAN BERAGAMA
Peneliti:
Dr. Drs. Muntoha, SH., M.Ag
Ali Rido
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2011
LAPORAN PENELITIAN
KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PENGATURAN
KEHIDUPAN BERAGAMA
Yogyakarta, l3 Mei 2011
Mengetahui,
*IJIMJIUI
Peneliti,
Dr. Drs. Muntoha, SH.,M.Ag
ISLAMEoozmult
qflfrtruJ
z3
iii
ABSTRAK
Salah tujuan dan fungsi negara adalah menciptakan keadaan yang baik agar rakyat dapat
mencapai keinginan secara maksimal dan menciptakan persamaan serta kebebasan bagi
warganya. Oleh karenanya jaminan tersebut dituangkan ke dalam kosntitusi sebagai
resultante, termasuk didalamnya kebebasan beragama. Akan tetapi ketika kebebasan
tersebut di implementasikan dalam ranah yang lebih nyata, nampaknya menimbulkan
persoalan yangs serius, sehingga konflik yang berbau agama sering terjadi. Dalam
menyikapi tersebut negara sebagai organ yang memiliki wewenang mengatur akhirnya ikut
campur dalam mengurusi persoalan keagamaan. Tindakan pemerintah itupun menimbulkan
pro dan kontra dikalanagan masyarakat. Penelitian ini terfokus pada tiga hal penting yang
menjadi persoalan, pertama, apa urgensi negara mengatur aliran-aliran agama di
Indonesia?, kedua, Bagaimana pengaturan kehidupan beragama di Indonesia ?, ketiga, Apa
saja yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama ?. Penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif, sehingga bahan hukum yang digunakan Bahan hukum
primer, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permaslahan yang dibahas. Dari bahan tersebut digunakan untuk menganalisis rumusan
masalah yang telah dirumuskan tersebut. Penelitain ini menyimpulkan, pertama, urgensi
negara melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama adalah sebagai bentuk
perwujudan atas tujuan negara yaitu untuk mewujudkan keamanan ekstern, ketertiban
intern, keadilan, kesejateraan umum dan menjaga keamanan masyarakat. Kedua, dalam
mengatur kehidupan beragama masyarakat, negara lebih memakai konsep/model
pengaturan yang bersifat relatif (perspektif relativisme HAM), sehingga hal itu dibenarkan
baik didalam instrumen internasional maupun nasional. Ketiga, bentuk-bentuk intervensi
yang dilakukan oleh negara, secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya pada
lingkup urusan adminstasi keagamaan negara ikut campur tangan dalam mengurusi
aktifitas keagamaan warga negaranya, seperti dalam urusan pemenuhan fasilitas yang
mendukung kelancaran ibadah bagi setiap pemeluk agama. Adapun alasan yang dibenarkan
untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-
mata perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan masyarakat), public
order (ketrtiban masyarakat), public health (kesehatan masyarakat), public morals (etika
dan moral masyarakat), dan protection of rights and freedom of others (melindungi hak
dan kebebasan mendasar orang lain).
iv
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohim
Kepasrahan atas ketetapan Allah yang bersenyawa dengan ketundukan pada
kekuasaannya yang tak tertandingi, telah meniscayakan kita untuk selalu bernaung
dibawah lindungannya dari konspirasi yang menjebak. Begitupun kebijaksanaan hati yang
telah mampu memberi pertimbangan pada rasio disaat akan memutuskan suatu ketetapan,
telah pula mengajarkann kita untuk pandai mensyukuri samudera nikmat yang
dihamparkannya tak terhingga. Alhamdulillah...
Selanjutnya, marilah kita tak henti-hentinya haturkan sholawat dan salam ta’dzim
kepada rasulullah SAW yang mengajari kita untuk meminta qishash atas
kepemimpinannya, sehingga kita tidak mengenal tradisi menuduh jika berlaku khilaf,
ataupun menepuk dada keangkuhan ketika keberhasilan diraih. Percayalah bahwa semua
keberhasilan dan perubahan yang ada merupakann dialektika aktif dari seluruh struktur,
infrastruktur bahkan kultur yang mengitarinya.
Penelitian ini berjudul KEBIJAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN BERAGAMA. Ada tiga persoalan penting
yang di kaji didalam penelitian ini, yaitu, pertama; filosofi urgensi negara mengatur aliran-
aliran agama di Indonesia, kedua; pengaturan kehidupan beragama di Indonesia, ketiga;
bentuk intervensi apa saja yang dilakukan oleh negara negara terhadap agama yanag
berkembang di indonesia.
Sejumlah persoalan yang menyangkut kebebasan beragama sering kali
bermunculan di Indonesia, mulai dari kekerasan berbasis agama, pelarangan ajaran-ajaran
tertentu, sampai kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas
keagamaannya. Seperti diketahui bersama bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi
bangsa Indonesia diantaranya konflik-disintegrasi bangsa, penegakan hukum dan HAM.
Salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun adalah hak
beragama, bahkan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya.
v
Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban
melindungi penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau
menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
Akan tetapi fakta yang muncul di ranah publik malah menimbulkan persoalan
ketika seseorang mengekspresikan hak kebabasannya. Sehingga terjadi konflik horizontal.
Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah sebagai pemegang kekuasaan turut campur
dalam upaya menyelesaikan permasalahan tersebut. Atas tindakan pemerintah itu, apakah
kemudian dibenarkan negara ikut campur mengurusi kebebasan individu warga negaranya
yang berkaiatan dengan kebebasan beragama?, lantas bagaimana pengaturan dan bentuk-
bentuk pengaturan yang di kategorikan sebagai intervensi negara terhadap kebebasan
beragama warga negaranya?. Pertanyaan mendasar iniliah yang kemudian dikaji dalam
penelitian ini.
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih tak terhingga kepada pimpinan Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan fasilitas dana dan kesempatan
untuk meneliti. Tidak lupa peneliti sampaikan terima kasih kepada dosen-dosen di
lingkungan Fakultas Hukum UII yang telah berkenan mengkoreksi dan mempertajam
fokus penelitian ini dalam seminar proposal. Semoga sikap baik dan penularan intelektual
bapak dan ibu dibalas oleh Allah dengan balas yang setimpal. Amin.
Peneliti juga menghaturkan terim kasih kepada staf Pustaka FH UII dan Pusat Studi
Islam UII yang telah membantu memfasilitasi bahan-bahan penelitian. Semoga yang maha
kuas Allah membalasnya dengan pahal yang berlimpah. Amin.
Peneliti sadar betul bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya peneliti mengharapkan dengan sangat kritik dan saran yang konstruktif untuk
dijadikan bahan tambahan penyempurnaan penelitian ini. Harapan yang selalu terpatri oleh
vi
peneliti adalah semoga penelitian ini dapat memberi manfaat dan menambah khazanah
keilmuan di FH UII pada khususnya. Amin ya rabbal’alamin.
Yogyakarta, 13 Mei 2011
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... . ii
ABSTRAK......................................................................................................... .. iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
D. Luaran yang Diharapkan................................................................. . 6
E. Kegunaan......................................................................................... . 6
F. Tinjauan Pustaka.............................................................................. . 7
G. Metode Penelitian............................................................................ . 11
1. Jenis Penelitian............................................................................ . 11
2. Bahan Hukum............................................................................... 11
3. Metode Pendekatan...................................................................... 12
4. Analisa Bahan............................................................................... 12
BAB II : HAK SIPIL, KEBEBASAN SIPIL DAN KONSEP KEWENANGAN
NEGARA
A. Hak Sipil dan Kebebasan Sipil....................................................... . 14
B. Konsep Kewenangan Negara.......................................................... 16
BAB III : PEMBAHASAN
A. Konvergensi dan Urgensi Pengaturan Aliran Keagamaan/Kepercayaan di
Indonesia..................................................................................... 21
viii
1. Tujuan Negara dan Relevansinya Terhadap Pengaturan Aliran
Keagamaan/Kepercayaan di Indonesia.................................... 21
2. Fenomena Aliran Keagamaan dalam Bingkai Sejarah Indonesia dan
Urgensi Pengaturannya............................................................ .27
3. Justifikasi Suatu Negara dalam Melakukan Pembatasan Beragama atau
Berkeyakinan......................................................................... 30
B. Universalisme dan Relativisme HAM; Konsep Kebebasan Beragama dan
Pengaturannya di Indonesia....................................................... 33
1. Definisi Kebebasan dan Ruang Lingkupnya........................ 33
2. Konsep Kebebasan Beragama Perspektif Universalisme dan Relativisme
HAM..................................................................................... 37
3. Pasal 29 UUD 1945 dan Berbagai Interpretasinya Serta Konsep
Kebebasan Beragama (Berkeyakinan) Perspektif MK............ 43
4. Pengaturan Kehidupan Beragama di Indonesia dan
Signifikansinya....................................................................... 54
C. Identifikasi Bentuk-bentuk Intervensi (campur tangan) Negara Terhadap
Kehidupan Beragama di Indonesia................................................ 61
1. Kegiatan Lintas Sektoral.......................................................... 62
2. Pendidikan Agama................................................................... 62
3. Kerukunan Hidup Beragama.................................................... 63
4. Pembinaan Badan-badan Peradilan Agama.............................. 64
5. Pembinaan Aparatur dan Sarana Fisik...................................... 65
6. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah............... 67
ix
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. ...... ... 73
B. Saran.............................................................................................. .. 76
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 78
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Meski bukan tema baru dan sudah sering dibahas pada diskusi, seminar,
konferensi, maupun di artikel atau buku, tetapi persoalan kerukunan dan kebebasan
umat beragama senantiasa perlu kembali disegarkan dan terus-menerus
disosialisasikan. Penyegaran dan sosialisasi itu disebabkan konflik antar umat
beragama dan intern umat beragama di Indonesia khususnya dan di dunia pada
umumnya, masih terus berlangsung hingga hari ini. Oleh karena itu, kerukunan dan
kebebasan umat beragama sangat di perlukan, agar dapat menjalani kehidupan
beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh
dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu, agenda-agenda
kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama antar agama, seperti
memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk
pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan
sebaik-baiknya.
Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai
posisi yang kompleks.1 Sering dipandang sebagai fasilitator bagi kepentingan
proteksi manusia sebagai homo sapiens, dan memungkinkan manusia
mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap
terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, serta membentuk hubungannya
dengan sesama makhluk.
1 Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta, 2001, hlm. 238-239.
2
Dalam konfigurasi ketatanegaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi
yang penting juga. Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal
mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik.
Norma-norma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam kesendirian hingga
partisipasi aktif dalam kehidupan politik suatu negara. Menurut Ifdhal Kasim2
kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar dalam instrumen-
instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran
mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik. Namun demikian,
kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan
dengan entitas negara.
Walaupun sederhana, sembulan-sembulan persoalan kebebasan beragama
yang berimplikasi terhadap kerukunannya barangkali ada kesesuaiannya dengan apa
yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Sejumlah persoalan yang menyangkut kebebasan
beragama bermunculan mulai dari kekerasan berbasis agama,3 pelarangan ajaran-
ajaran tertentu,4 sampai kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat
dalam aktivitas keagamaannya.5 Isu pokok yang menjadi uraian dalam tulisan ini
adalah makna kebebasan beragama, ditinjau dari hukum dan HAM, serta analisis yang
menunjukkan adanya persoalan kebebasan beragama ketika harus berhadapan dengan
otoritas negara.
2 Ibid 3 Lihat misalnya tulisan Abd A’la, “Kekerasan Atas Nama Agama”, Harian Kompas, 14 Oktober 1999,
hlm. 4-5. 4 Lihat Abdul Aziz Dahlan, “Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi” dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 83-84. 5 Lihat kasus-kasus di Indonesia khususnya kurun 1998-sekarang, antara lain Kasus Lia Amminuddin
dan Ahmad Mashaddeq.
3
Seperti diketahui bersama bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi
bangsa Indonesia diantaranya konflik-disintegrasi bangsa, penegakan hukum dan
HAM. Salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun adalah hak beragama, bahkan setiap orang bebas memilih agama dan
beribadat menurut agamanya. Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama,
sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi penduduk dalam melaksanakan
ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum. Namun apabila melihat faktanya cukup timpang
jika dibandingkan dengan keadaan empirisnya. Contoh konkretnya adalah ketika
adanya penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara menteri dan kejaksaan
terkait Jamaah Al Qiyadah Al Islamiyah, hal itu dinilai sebagai tindakan berlebihan
pemerintah terhadap privasi rakyatnya.
Dalam regulasi yang berlaku di Negara indoensia juga menampilkan fakta
kebijakan diskriminatif, hal tersebut bisa dilihat dalam peraturan-pertauran
perundnag-undnagan sebagai berikut :
1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Dalam UU tersebut
Negara hampir-hampir tidak melirik sedikitpun agama-agama tidak resmi.
Bahkan yang mengemuka adalah pertengkaran tanpa makna antara Islam
dengan Kristen ketika memperdebatkan pasal agama. Dalam pasal 31 dari
undang-undang tersebut masih mengandung semngat membatasi hak beragama
dengan persepsi lima agama resmi.
2. Peraturan pemerintah (PP) RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama Dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata, PP ini sebenarnya
sudah diskriminatif bagi agama dan suku apabila melihat bahasan-bahasan
4
eksplisitnya. Contoh yang paling kentara adalah pada pasal 9 ayat 1 bahwa
pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu. Model ini yang kemudian berimplikasi pada
bahasan-bahasan dalam pasal berikutnya, yang secara gamblang hanya
membatasai pendidikan agama dan keagamaan pada enam agama tersebut.
3. Undang-undang Administrasi dan Kependudukan yang dikeluarkan pada tahun
2006. Pasal krusial yang menjadi perdebatan itu berkaitan dengan adanya
diskriminasi agama didalam dokumen kependudukan. Antara lain adanya
penghilangan hak sispil terhadap warga Negara yang menganut agama di luar
“lima agama yang di urus”. Dampaknya kepada tidak adanya pelayanan
pencatatan sipil dalam peristiwa penting dari penduduk yang agamanya
terdiskriminasi tersebut.
Fakta lainnya ialah ketika langkah negara (pemerintah) dalam menyikapi
fenomena sekte yang dianggap menyimpang yang ada di Indonesia. Perilaku negara
dan tokoh agama dalam menyikapi aliran dan kelompok agama yang dianggap sesat
memunculkan persoalan serius menyangkut kebebasan dan hak-hak individu di negeri
kita. Setiap kali ada kelompok agama atau keyakinan baru yang muncul, reaksi yang
diperlihatkan para tokoh mayoritas yang mengaku lebih tahu tentang islam secara
umum tampak sangat berlebihan. Jika bukan dihakimi langsung, kaum mayoritas
ramai-ramai menuntut polisi dan aparat pemerintah untuk memberangusnya,
seringkali dengan cara yang merendahkan dan mempermalukan martabat seseorang.
Setelah kasus Al-Qiyadah al-Islamiyah yang masih segar dalam ingatan kita, kini
muncul lagi kasus penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa
Barat. Ini adalah peristiwa yang kesekian kalinya Ahmadiyah mengalami kekerasan
dan permusuhan dari umat Islam. Dengan pemberitaan yang tidak adil, media massa
5
kita juga cenderung memihak agama status-quo, sambil ikut-ikutan mencap “sesat”
kelompok minoritas itu.
Dari pemaparan tersebut nampak bahwa negara (pemerintah) mempolitisasi
agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Hal ini diwujudkan dengan pengakuan
negara terhadap agama secara resmi yang tertuang dalam kebijaakan-kebijakannya,
baik itu berupa peraturan-peraturan maupaun putusan-putusan bersama. Oleh karena
itu seseuai dengan makna politisasi agama, yaitu upaya mempergunakan agama
sebagai alat unutk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu, baik yang dilakuakn oleh
orang peroranagn atau kelompok maupun institusi tertentu.6 Politisasi agama dalam
wujud pengakuan negara terhadap agama secara resmi sudah jelas bertentangan
dengan hak asasi manusia (HAM), hal seperti itu sama halnya dengan menegasikan
makna makhluk sosial, karena ada makhluk yang direndahkan, bahkan tidak dianggap
manusia. Dengan adanya fakta tersebut jelas-jelas telah memberikan kontradiktif
terhadap tujuan Negara, sesuai dengan semangat yang digelorakan oleh Aristoteles
bahwa negara memilki tujuan meneyelenggarakan kehidupan yang lebih baik. Apabila
kemudian dikorelasikan dengan tujuan negara hukum, yaitu untuk mewujudkan
keamanan, keadilan, kepastian, dan kesejahteraan nampaknya fakta diskrimnasi yang
dilakukan oleh pemerintah di atas sangat jauh dari idealisme tujuan negara hukum
tersebut.
Berdasarkan fenomena di atas sudah menjadi keharusan bahwa kewajiban,
tugas dan tanggung jawab negara harus direposisi. Tugas pemerintah harus
memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan
6 Suryadi Radjab, Indonesia:Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik Indonesia,
PBHI dan TAF, Jakarta, 2001, hlm. 47
6
ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib, baik intern
maupun antar umat beragama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa urgensi negara mengatur kehidupan beragama di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaturan kehidupan beragama di Indonesia ?
3. Apa saja yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama ?
C. Tujuan
1. Mendeskripsikan bentuk pengaturan kehidupan beragama yang berlaku di
Indonesia secara makro namun komprehensif ;
2. Menganalisis persoalan kebijakan pengaturan kehidupan beragama yang tergolong
sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama di Indonesia.
D. Luaran yang Diharapkan
Luaran penelitian ini adalah artikel ataupun jurnal yang mengkaji tentang
bentuk kebijakan yang berkaitan pengaturan kehidupan beragama yang berlaku di
Indonesia, dan kebijakan pengaturan apa saja yang tergolong sebagai bentuk
intervensi negara terhadap agama, sekaligus juga kritikan bagi pemerintah terkait
peran sertanya dalam menjaga dan menfasilitasi warga Indonesia dalam berbagai
aktifitasnya, termasuk beragama.
E. Kegunaan
Secara umum, penelitian ini berguna untuk memberikan pencerahan pada
pemikiran warga Indonesia yang selama ini masih awam terhadap pengetahuan terkait
7
batasan-batasan negara dalam memberikan jaminan kebebasan beragama bagi
warganya. Selain itu, penelitian ini juga berguna untuk:
1. Memberikan penjelasan akan pentingnya negara terlibat atau mengatur kehidupan
aliran keagamaan di Indonesia.
2. Memberikan penjelasam bagaimana pengaturan yang berlaku di Indonesia
tentang kehidupan beragama;
3. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan pengaturan apa saja yang tergolong
sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama di Indonesia;
F. Tinjauan Pustaka
Buku yang ditulis oleh Abdullahi Ahmed an Na’im berjudul Islam dan Negara
Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, kemudian menarik untuk ditelisik,
khususnya dalam kerangka negara modern plus plural semacam Indonesia. Menurut
Abdullahi Ahmed An Na’im, melalui buku ini, negara memang tidak seharusnya
menjadikan agama sebagai tameng untuk mencapai keinginannya. Dengan kata lain,
menjadikan doktrin agama sebagai landasan tindakan negara terhadap warga
negaranya akan menjadikan Islam itu sendiri menjauh dari kesuciannya. Sebab, ketika
syariah (doktrin agama) diformalkan melalui aturan-aturan negara, itu berarti
masyarakat muslim menjalankan perintah agama itu atas dasar desakan dari negara,
dan ini tentu tidak dapat diperbolehkan. Menjalankan perintah agama sepenuhnya
harus dikembalikan kepada individu masing-masing sehingga esensi ibadah sebagai
penyerahan dan pengabdian diri kepada Tuhan (Allah ta’ala) terpenuhi dengan sebaik-
baiknya. Prinsip syariah sendiri akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila
dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan
8
sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam.
Pendapat ini disebut an-Naim sebagai 'netralitas negara terhadap agama. Menurut an
Na’im, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat
Islam model ini.7
Sementara dalam konteks ke Indonesiaan, beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa hubungan negara dengan rakyat sejak lama telah menjadi satu
persoalan. Bahtiar Effendy mengungkapkan bahwa hubungan politik antara negara
dengan agama (Islam) di Indonesia telah lama mengalami kebuntuan. Kedua pihak
(negara dan tokoh Islam) sama-sama memandang satu sama lainnya sebagai “musuh”
atau paling tidak “memandang curiga”, sehingga harus ditundukkan dan dilemahkan
posisinya. Sejauh perjalanan Indonesia, periode pemerintahan pertama (Soekarno) dan
sebagian besar periode kedua (Soeharto), kelompok agama (Islam) menjadi pihak
kalah dalam persaingan politik. Dengan demikian, tidak jarang intervensi negara
terhadap berbagai kegiatan keagamaan terjadi dengan cara-cara represif. Maka, untuk
mendamaikan ‘konflik’ ini, Bahtiar menawarkan pembangunan hubungan politik yang
integratif antara Islam dengan negara. Dengan model hubungan macam ini,
diharapkan antar Islam politik dan negara dapat “hidup damai” bersandingan.8
Kenegaraan dengan format negara hukum bisa saja tidak “menghiraukan”
berbagai bentuk hubungan yang terbentuk dalam suatu negara seperti di Indonesia
yang tidak jarang berubah-ubah, sebab segala tindakan sudah terkondisikan dengan
berbagai macam aturan yang berlaku. Namun, pergerakan perpolitikan negara
terkadang tidak dapat terkontrol hanya dengan mengandalkan aturan yang berlaku. Di
7 Abdullahi Ahmed An Na’im, Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Mizan, Bandung,
2007 hlm. 16 8 Kedua model ini dalam penerapannya juga memiliki beberapa variasi. Baca lebih lengkap dalam, Bahtiar
Effendy Islam dan Negara Penerbit Paramadina, , Jakarta, 1998, hlm. 332-338
9
Indonesia, perpolitikan (para tokoh agama) Islam sering menjadikan kondisi negara
(agak) goyah atau disintegrasi, utamanya yang terkait dengan persoalan sesensitif
keyakinan. Peristiwa terkait keyakinan beragama yang banyak terjadi belakangan
adalah contoh paling segar untuk dikemukakan.
Buku yang ditulis Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi tahun 2001 berjudul
“Intervensi Negara Terhadap Agama”, sebenarnya cukup representatif menerangkan
persoalan ini yang belakangan muncul kembali. Dalam penelitiannya itu, penulis
menyimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 29 UUD 1945, pelaksanaan kehidupan
beragama; baik intern umat beragama, antar umat beragama, dan umat beragama
dengan pemerintah, sudah cukup terjamin legalitas hukumnya. Kalau dilihat dari
pelaksanaan Pasal tersebut dalam kehidupan beragama, kewenangan negara terbatas
pada masalah “administrasi organisasional”, bukan pada masalah material (ibadah dan
syariat agama).9 Tindakan negara yang sampai pada pengaturan terhadap bagaimana
syariat yang benar harus dijalankan, misalnya, berarti negara telah sampai pada
pelanggaran terhadap HAM warganya.
Buku yang cukup baru dan layak untuk dibaca yaitu yang ditulis Tedi
Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama Resmi
dan Diskriminasi Hak Sipil. Dalam urainnya tedi mencoba membedah bagaimana
negara sampai terlibat mengurusi persoalan keagamaan yang nyata-nyata wilayah
private tiap individu maysarakat. Ia menjelaskan secara komprehensif bahwa secara
nyata politik pengakuan tentang agama pertama-tama telah memilah-milah agama ke
dalam “agama legal” dan “agama illegal”, ia mengatakan bahwa politik pengakaun
9 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, UII Press, Yogyakarta, 2001,
hlm. 239
10
negara atas agama tercermin dalam berbagai regulasi.10 Akan tetapi penulis buku
tersebut belum menyebutkan secara terperinci ataupun mendetail aturan mana saja
yang kemudian disebut sebagai regulasi yang diskrimnatif terhadap agama-agama
yang hidup di Indonesia.
Dari uraian tersebut nampaknya para penulis ataupun peneliti belum
mendeskripsikan secara detail kebijakan pengaturan apa saja yang sebenarnya telah
dikeluarkan oleh pemerintah sebagai lembaga yang legal dalam memproduk aturan-
aturan hukum. Kemudian dari uraian penelitian terdahulu nampaknya belum di
uraikan secara menyeluruh yang berkaitan dengan keterlibatan negara dalam
mengurusi aliran-aliran yang berkembang seiring dengan dinamika zaman. Selain itu
juga apabila dilihat secara teliti, beberapa buku yang telah disebutkan di atas belum
menampilkan aturan yang aktual yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam
mengantisipasi berkembangnya aliran keagmaan yang di anggap menyimpang.
Hal yang kemudian menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah dengan
memberikan pemaparan terhadap urgensi negara mengatur aliran-aliran agama yang
ada di Indonesia, dan juga di uraikan bagaimana pengaturan kehidupan beragamanya.
Aspek lain yang menjadi perbedaan adalah dengan memberikan penjelasan apa saja
yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadapa agama dan tujuan
dikeluarkannya aturan tersebut sebagai bentuk intervensi negara terhadap kehidupan
beragama.
10 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama Resmi dan
Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009, hlm. 326.
11
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library research).11 Ini juga
dikatakan sebagai pnelitian hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai
apa yang tetulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau morma yang merupakan patokan prilaku manusia
yang dianggap pantas.12
2. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, digunakan bahan hukum berupa bahan hukum yang
terdiri atas :
a. Bahan hukum primer, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan permaslahan yang dibahas. Seperti Kitab Undang-
undagng Hukum Pidana, UU No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU No. 12 tahun 2005 tentang
Ratifikasi ICCPR, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku, jurnal, artikel dan literatur lainnya
yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang di peroleh dari kamus.
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata, Jakarta, 1973, hlm. 15. 12 Amirudin Zainal, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm. 118.
12
3. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan, yaitu :
a) Pendekatan yuridis-normatif, yaitu dengan mengkaji, yaitu penelitian
dengan mengkaji permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, dan dari pustaka yang relevan
dengan pokok bahasan. Pendekatan yuridis normatif yang digunakan
dalam penelitian ini tidak sekedar menilik kepada analisis aturan semata,
melainkan lebih kepada makna dibalik teks-teks yang tertulis itu. Dengan
demikain, pendekatan yusridis-normatif yang digunakan dalam penelitian
ini sangat dekat dengan pendekatan filosofi aturan itu.
b) Pendekatan komparatif, yaitu dengan membandingkan aturan-aturan satu
dengan yang lainnya mengenai materi sesuai dengan fokus penelitian.13
Aturan yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan Hak
asasi manusia yang berlaku di Indonesia.
4. Analisis Bahan
Teknik analisis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
isi. Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih bahan dari
berbagai bahan pustaka (bahan hukum) yang ada dan searah dengan objek kajian
yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis
tentang pengaturan kehidupan beragama di Indonesia dan kebijakan pengaturan
yang tergolong sebagai bentuk intervensi negara terhadap agama.
13 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2005, hlm.
302-303
13
Analisis kebutuhan penelitian
Pengumpulan data
Perencaaan objek penelitian
Implementasi penelitian
Analisis hasil penenlitian
LAPORAN
=
LUARAN
(Artikel,
Jurnal,dll)
14
BAB II
HAK SIPIL, KEBEBASAN SIPIL DAN KONSEP KEWENANGAN NEGARA
A. Hak Sipil dan Kebebasan Sipil
Paul M. Johnson dalam A Glosary of Political Economy Term memberikan
gambaran bahwa apa yang dimaksud dengan civil right dan civil liberties dapat
diuraiakan sebagai hak-hak dari tiap warganegara dalam kaitannya dengan
kebebasan untuk berpikir, bergerak, berekspresi, dan kebebasan individu untuyk
membentuk organisasi-organisasi serta mengejar tujuan-tujuan umum, dan
kebebasan untuk memgambil bagian seacra politis dalam cara-cara yang tidak
melanggar hak-hak orang lain.14
Namun seringkali kedua istilah tersebut mengalami tumpang tindih, oleh
karenanya lebih lanjut Johnson memeberikan uraian bahwa kebebasan-kebebasan
sipil merupakan istilah yang secara umum menunjukan lebih rinci kepada
perlindungan hak-hak untuk eksis dalam menyatakan pilihan-pilihan atau
keyakinan, dan untuk bertindak secara bebas tanpa campur tanagan pemerintah.15
Sementara hak-hak sipil menekankan lebih rinci pada hak-hak setiap warganegara
untuk mengambil bagian dengan bebas dan setara dalam ruang politik dan
kepentingan publik dalam urutan denagn aktif untuk mengupayakan kebijakan
publik yang lebih memihak melalui keikutsertaan pribadi dalam proses-proses
politik. Dengan demikian, kebebasan-kebeasan sipil bisa dilihat sebagai upaya
14 Paul M. Johnson, A Glossary of Political Economy Term, dalam http://www.auburn.edu/-
johnson/gloss/civil_right_civil_liberties. diakses tanggal 16 Oktober 2010. 15 Ibid
15
menghubungkan dengan logis tujuan pemerintahan yang dibatasi, sementara hak-
hak sipil adalah menghubungkan secara logis tentang tujuan dari pemerintah
demokratis.16
Sementara apabila melihat pemaparan Han Kelsen dalam Pure Theory of
Law bahwa hak memilki tiga fungsi, yaitu :17
a. Hak sebagai sebuah kepentingan yang dijaga secara legal (interest theory).
Pengertian hak (baca:hukum) dalam arti subjektif sebagai kepentingan
yang dijaga secara legal, hal ini sering digambarkan oleh ilmu hukum
tradisional dengan mengacu pada hak sebagai refleksi dari kewajiban
hukum.
b. Hak sebagai kekuatan hukum (legal power) atau bisa juga disebut sebagai
will-power theory. Hak dalam makna ini dipayungi oleh legal order.
c. Hak ijin positif.
Tiga makna tentang hak dalam perspektif kelsenian tersebut, terutama
dalam penegrtian legal power, bis ditempatkan sebagai suatu jalan untuk
menempatkan hak pada sebuah posisi yang mesti dilindungi oleh konstitusi legal,
dalam hal ini negara. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya fungsi hukum
sebgaimana yang diapaparkan oleh Carl Wellman, hukum harus mengantarkan
manusia pada suatu kondisi damai, hukum harus menuju pada bentuk keinginan
16 Ibid 17 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California, California, 1970, hlm. 132-133.
16
untuk menjaga hak alamiah dari masyarakat, dan hukum harus mengarah pada
kebaiakn semua manusia.18
B. Konsep Kewenangan Negara
Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa
kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritorial)
tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib
dan keselamatan manusia yang ada di dalamnya, yang patut dipahami selanjutnya
adalah, bahwa organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya
organisasi, ada organisasi-organisasi lain seperti yang bergerak di bidang
keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-
masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan. Kurang tepat
apabila negara dikatakan sebagai suatu masyarakat yang diorganisir. Adalah tepat
apabila dikatakan diantara organisasi-organisasi di atas, negara merupakan suatu
organisasi yang utama di wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang
campur tangan dalam bidang organisasi-organisasi lainnya.19 Dari sinilah
beberapa pakar ada yang mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi
kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang memenuhi persyaratan tertentu,
yaitu adanya pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat.20
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan
memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk
18 Carl Wellmen, Moral and Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1988, hlm. 179. 19 Mirza Nasution, Negara Dan Konstitusi, USU Digital Library, Medan, 2004, hlm. 1 20 Pringgodigdo dalam C.S.T. Kansil, Ilmu Negara: Umum dan Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
2001, hlm. 9
17
suatu negara dan berada dalam wilayah negara, hal ini populer dengan sebutan
kekuasaan, atau wewenang, atau kedaulatan negara. Untuk mendapatkan
wewenang ini, terdapat empat macam teori yang populer diungkapkan, yaitu teori
kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan
rakyat.21 Dalam implementasinya, setiap konsep kedaulatan ini akan
menimbulkan efek kewenangan negara yang beragam.
Lebih lanjut, teori klasik mengenai hakikat tujuan negara dengan
pendekatan historis menggambarkan bahwa negara-negara pada zaman dahulu
memiliki konsep yang berbeda-beda. Pada zaman Yunani Kuno, negara itu adalah
Polis, yang jika kita tinjau dari kaca mata sekarang artinya suatu negara (sebesar)
Kota (city-state) dengan segala sifat kekhususannya, seperti misalnya demokrasi
langsung. Di abad pertengahan negara diartikan sebagai suatu ”organisasi-
masyarakat” yang bernama Civitas Terena (keduniawian) di samping Civitas Dei
(keagamaan) dan Civitas Academica (ilmiah). Sedangkan di permulaan abad
modern, kita jumpai pandangan bahwa negara adalah milik: suatu
dinasti/imperium, dimana sebagai eksesnya yang paling menonjol nampak pada
ungkapan: ”L’ etat c’ est moi”.22
Secara historis akhirnya kita jumpai pula pandangan bahwa negara itu
sifat hakikatnya adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu (staat-state),
yaitu status bernegara sebagai lawan daripada status belum bernegara, status
naturalis lawan dari status civilis atau status berhukum rimba dan status dimana
hak-hak civil atau hak asasi warga negara terjamin. Pada akhirnya, Kansil
menyimpulkan bahwa negara merupakan organisasi pada fungsi-fungsi tersebut.
21 Ibid, hlm. 2 22 C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 12-13
18
Sehingga ada yang menganggap bahwa negara tidak lain adalah organisasi
jabatan (ambten-organisatie).23
Pemahaman demikian terlihat masih bertahan hingga saat ini, khususnya
dalam kajian teori kenegaraan. Hanya saja, persoalan seperti ini tidak lagi
menjadi fokus persoalan yang banyak diperdebatkan. Inti persoalan yang banyak
menyeruak dewasa ini adalah bagaimana peran negara dalam mengatasi
ketimpangan (permasalahan) sosial yang terjadi di suatu negara. Peran negara
sering menjadi kabur karena kondisi di masyarakat ternyata tidak sesuai dengan
cita-cita pembentukan suatu negara. Sementara kedaulatan yang diberikan rakyat
kepada negara seakan tidak cukup untuk mewujudkan cita-cita itu.
Perumusan para pakar mengenai pembentukan suatu negara, nyatanya
mengandung perbedaan-perbedaan bergantung pada kondisi para perumus ketika
merumuskan suatu negara. Namun, dalam banyak teori itu, jika dikaitkan dengan
tujuan pembentukan negara, pada hakikatnya memiliki dasar yang sama, yaitu
untuk menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik,24 atau pada zaman modern
sering terdengar kata walfare state (negara kesejahteraan).25
Dewasa ini, hampir semua negara ingin mewujudkan tujuan negara
melalui sistem yang termaktub dalam konstitusi setiap negara
(konstitusionalisme). Ini merupakan efek dari munculnya wacana demokratisasi
23 Ibid, hlm. 14 24 Ketika memberi komentar tentang tujuan pembentukan Negara, Aristoteles hanya mengartikan tujuan
Negara dengan kata-kata yang singkat, yaitu mencapai kepentingan hidup yang lebih baik, bagus dan harmonis.
Ibid, hlm. 58 25 Secara faktual, Edi Suharto mengartikan istilah ini dengan state walfare atau kesejahteraan negara. Baca
lebih lanjut dalam Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran apa yang bisa
dipetik untuk membangun Indonesia? Makalah disampaikan pada Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare
state dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia”, Institute for Research and Empowerment
(IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta 25 Juli 2006, hlm. 1
19
dan keinginan banyak negara, khususnya yang besar dan maju. Konsep ini
menjadi sesuatu yang diyakini dapat mewujudkan cita-cita negara sejahtera,
sesuai dengan konteks tuntutan seluruh manusia yang hidup di zaman modern.26
Hanya saja, berdasarkan pengalaman penyelenggaraan negara, konsep
demokrasi ternyata juga memiliki kisah buram, sehingga hampir semua penulis
menyatakan bahwa ambiguitas makna bagi negara-negara di dunia dalam
menjalankannya menjadi persolan serius terhadap konsep ini.27 Akibatnya,
dewasa ini tidak sedikit tuntutan agar sistem demokrasi dirubah dengan sistem
yang lain. Indonesia adalah salah satu ”korban” ambiguitas dari konsep demorasi
itu. Oleh karenanya, dalam praktiknya, demokrasi sering dimanipulasi para elit
sehingga menimbulkan kekuasaan sangat besar bagi negara dan melemahkan
posisi rakyat, padahal rakyat dalam konsep demokrasi adalah pihak yang sangat
diagungkan.28 Dari sini muncul keinginan untuk merampingkan kekuasaan negara
itu dengan kembali kepada konsep Rousseau dan para pakar lainnya yang ingin
membatasi kekuasaan negara dengan teori pembagian kekuasaan (antar lembaga
negara) dan Teori Perjanjian (kontrak) Sosial (lembaga negara dengan rakyat).29
Konsep demokrasi yang merupakan jelmaan dari konsep kedaulatan rakyat ini,
pada episode selanjutnya berkembang dengan munculnya konsep negara hukum.
Intinya, menjalankan kenegaraan dengan konsep demokrasi harus disandingkan
dengan legalitas (hukum) yang mendasarinya.
26 Lihat Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 1 27 Lihat Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm: 9; Lihat juga Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 50. Hendra Nurtjahjo mengatakan
bahwa konsep demokrasi saat ini tidak dapat dijalankan secara mandiri. Sistem demokrasi akan berjalan dengan
sempurna dengan mengimbanginya dengan etika. Tanpa etika, demokrasi akan berubah menjadi diktator. Lihat
Hendra Nurtjahjo, Ibid, hlm. 9 28 Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia, Malang, 2007, hlm. 265-266 29 Lihat Tonny P. Situmorang, Pandangan Rousseau Tentang Negara Sebagai Kehendak Umum, USU
Digital Library, Medan, 2004, hlm. 2-4
20
Intelektual muslim terlibat kontroversi pendapat terkait bagaimana
membangun hubungan negara dengan warganya. Sebagian menghendaki, bentuk
pemerintahan demokratis, sehingga hubungan antara negara dengan rakyat dapat
sejajar, dengan arti bahwa para negara (melalui aparaturnya) memperoleh
kedaulatan dari rakyat dan rakyat berada pada posisi melaksanakan fungsi kontrol
terhadap kinerja apratur negara itu sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai.
Selain itu, terdapat pula dari mereka yang menyatakan bahwa sistem monarki
lebih baik. Model ini menempatkan hubungan antara rakyat dengan penguasa
ibarat atasan dan bawahan. Penguasa yang berada pada posisi puncak,
diagungkan rakyat, dan dipercaya kebenaran dan kebaikan segala kebijakan yang
dikeluarkannya.30
30 Baca lebih lengkap, J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Rajawali Press,
Jakarta, 2002, hlm. 280-295
21
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konvergensi dan Urgensi Pengaturan Aliran Keagamaan/Kepercayaan di
Indonesia
1. Tujuan Negara dan Relevansinya Terhadap Pengaturan Aliran
Keagamaan/Kepercayaan di Indonesia
Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas
dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan
sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia
untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia
bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman
(kepercayaan kepada Tuhan) dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi
kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la,
transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat
yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang.31 Namun
hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Karena
transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi khalifah
Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman demikian
maka nilai-nilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret, termasuk
dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu
31 Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003, hlm. 134.
22
dilembagakan.32 Mengingat betapa sucinya suatu agama dengan nilai yang
terkandung di dalamnya, maka tidak sepantasnya suatu agama ternodai oleh
aktifitas yang menyimpang dari ajaran suci agama tersebut.
Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu
ternyata melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan
beragama/berkeyakinan dan gugus negara. Dalam studi ilmu negara lazim
diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk pertama-tama melindungi HAM
warga negara dan memberikan kesejahteraan secara optimal.33 Bagaimana
menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para pengamat sosial
merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama dengan negara,
yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma
integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. Dalam gugus
negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara menyatu, jadi wilayah
agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan
lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama, di mana
kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip kegamaan.34
Achmad Gunaryo menyebut paradigma ini sebagai cita negara teokratik.35
Paradigma ini menghendaki kepentingan agama merupakan suatu hal yang
32Asal-usul dan pengertian pelembagaan agama, periksa: Masdar F. Mas’udi, “Agama dan
Pluralitasnya” dalam Interfidei, Yogyakarta, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65
Tahun, Interfedei, Yogyakarta, hlm. 368. 33 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Grasindo, 2004,
Jakarta, hlm. 2002. 34 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,
LKiS, Yogyakarta, 2001, hlm. 23-24. 35 Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan
“Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Pustaka Pelajar dan Pascasarjana IAIN Walisongo,
Semarang, 2006, hlm. 25-29.
23
penting untuk dilindungi.36 Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa
antara agama dan negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling
memerlukan.37 Karena sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih
mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam
masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai
hukum negara.
Pada sisi yang ekstrem, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma
itu. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya
dipisahkan agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid
bahwa agama adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara.38 Sementara negara
adalah badan, raga yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini,
keberadaan negara tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial
dari masyarakat manusia yang bersifat sekular, akan tetapi lebih dari itu, negara
dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya dari idealisme ketuhanan,
sementara agama adalah substansi untuk menegakkan keadilan semesta. Menurut
Denny JA, paradigma sekularisitik terwujud dalam konfigurasi negara di mana
agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada ketentuan-ketentuan
keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama tidak perlu
“meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.39 Bahkan
seperti dikatakan oleh Oemar Seno Adji, dalam paradigma ini kepentingan agama
tidak perlu dilindungi oleh hukum.40 Namun demikian, Mohammd ‘Abed al-
36 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1981, hlm. 87. 37 Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.Cit., hlm. 26. 38 Abdurrahman Wahid, Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas, Kata Pengantar dalam Masdar F.
Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 14-17. 39 Denny JA, “Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA (Penyunting), Negara
Sekular Sebuah Polemik, Putra Berdikari Bangsa, Jakarta, 2000, hlm. 17-18. 40 Oemar Seno Adji, Op.C it., hlm. 105.
24
Jabiri, seorang cendekiawan asal Maroko, mengkritik paradigma sekularistik yang
dinilainya sebagai konstruksi yang keliru atas realitas.41 Sekularisasi tidak lebih
sebagai kebutuhan lokal ketika di suatu tempat terdapat potensi adanya “politisasi
agama” maupun “agamanisasi politik”.
Sebagai negara yang telah mentasbihkan kemerdekaannya, Indonesia
seharusnya memiliki tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegaranya.
Tanpa terkecuali dalam kehidupan beragamanya, meskipun Indonesia bukanlah
negara agama dan bukan pula negara sekuler, melainkan negara pancasila yakni
sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai agama. Maka
sewajarnya pula Indonesia memiliki tujuan yang jelas di dalamnya. Adapun tujuan
negara tidak lain sebagai upaya terealisasinya cita-cita luhur yang telah digariskan
pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada beberapa teori tentang tujuan negara yang bisa dikaji dari berbagai
khazanah keilmuan, Jacobsen dan Lipman memperspektifkan tujuan negara dalah
pemeliharaan ketertiban, memajukan kesejahteraan individu dan masyarakat,
mempertinggi moralitas.42 Tidak jauh berbeda dalam uraian J. Barents yang
merumuskan tujuan negara sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban serta
penyelenggaraan kepentingan umum.43 Lebih konkret apabila melihat pemaparan
Charles E. Merriem yang memaparkan bahwa terdapat lima tujuan negara, yaitu
keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejateraan umum serta
kebebasan. Berbeda dengan argumentasi Leslie Lipson yang menegasan bahwa
41 Lihat dalam Ahmad Baso, “Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed
‘Abed al-Jabiri”, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4 tahun1999. 42 Jacobsen dan Lipman. Political Science, dalam College Outline Series Barners and Noble, New
York, 1956, hlm. 15-18. 43 Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Jakarta, 1982, hlm. 173
25
tujuan negara bukanlah yang terpenting tetapi alat untuk mencapai tujuan tidak
kalah pentingnya. Alat-alat itu dipergunakan untuk menyelenggarakan fungsi
negara. Fungsi negara yang asli dan tertua adalah perlindungan. Artinya negara
dibentuk oleh individu untuk memperoleh perlindungan dan negara dipertahankan
untuk memelihara tujuan itu. Selain perlindungan, Lipson juga mengemukakan
ketertiban serta keadilan sebagai dua hal utama yang menjadi tujuan adanya suatu
negara.44
Menurut Miriam Budiardjo, fungsi minimum dari suatu negara terlepas
dari ideologi yang dianutnya adalah melaksanakan penertiban (law and order),
menjaga kesatuan dan persatuan sebagai suatu bangsa/negara, menjaga keamanan
masyarakat. Fungsi kedua adalah mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, baik dalam aspek materiel maupun spiritual, rohani dan jasmani. Fungsi
ketiga yaitu pertahanan, hal ini juga mnejaga segala kemungkinan serangan dari
luar. Fungsi keempat adalah menjunjung tinggi keadilan yang dilaksanakan
melalui lembaga peradilan.45 Sedangkan L. V. Ballard secara sederha menyatakan
bahwa tujuan negara yang terutama adalah memelihara ketertiban dan peradaban,
sedangkan fungsinya ialah menciptakan syarat-syarat dan perhubungan yang
memuaskan bagi semua warga negara.46
Republik Indonesia yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945 merumuskan tujuannya negaranya dalam pembukaan UUD 1945,
tepatnya pada alinea keempat. Yaitu :
44 Leslie Lipson, The Great Issues of Politic, An Introduction to Political Science, Prentice Hall, New
York, hlm. 41. 45 Miriam Bidiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 45. 46 Soehino, Ilmu Negara, Libeety, Yogyakarta, 1980, hlm. 16.
26
Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha
esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatanayangadipimpinaolehahikmatakebijaksanaanadalamapermusyawara
-tan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dari pemaparan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945
tersebut, nampaknya ada keserasian antara teori tujuan negara dan tujuan negara
RI. Walaupun demikian perlu diingat bersama bahwa tujuan dan fungsi negara
sangatlah cenderung dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negera
tertentu. Bagi Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, maka isi dari tujuaan
dan fungsinya terimplisit di dalamnya.
Mengingat cita-cita dan wacana pendirian bangsa yang telah digariskan
oleh para pendiri bangsa ini mempunyai makna sejarah yang sangat penting. Maka
dapat dikatakan cita-cita politik yang sangat sentralistik tersebut sangatlah penting
implementasi subtansi tujuan negara yang ter-cover dalam pembukaan UUD 1945
tersebut. Hal ini mengingat bangsa Indonesia yang penuh dengan
keberanekaragaman budaya, agama, suku, adat, bahasa dan sebagainya. Padmo
Wahjono menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan negara tersebut, dibentuk
suatu pemerintahan negara yang mempunyai fungsi yang nampak sama
perumusannya seperti tujuan negara. hal itulah yang kemudian dengan
dibentuknya Badan Kordinasi Pengawasan Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat
(Bakor PAKEM) yang merupakan bentukan dari Kejaksaan RI. Tugas-tugas yang
diemban dari Pakem adalah mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik
serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran-aliran
kepercayaan/kebatinan, memeriksa/mempelajari buku-buku, brosur-brosur
27
keagamaan/aliran kepercayaan, baik yang berasal dari dalam maupun luar, demi
kepentingan umum.47
Sekilas dari tugas Pakem tersebut memberikan gambaran bahwa urgensi
negara ‘ikut campur’ dalam mengatur aliran-aliran agama di Indonesia tidak lain
adalah untuk merealisasikan tujuan negara yang suci sebagaimana tertulis dalam
preambule UUD 1945. Hal itu pula yang relevan apabila dikorelasikan dengan
teori-teori tujuan negara yang telah disebutkan di atas. Perlunya pengawsan
terhadap aliran-aliran keagamaan di Indonesia tidak bisa dilepasakan dengan fakta
sejarah yang membuktikan bahwa banyak muncul aliran kepercayaan yang
menyatakan dalam ajarannya bahwa aliran tersebut mempunyai nabi dan kitab
suci tersendiri.48 Sehingga hal itu menimbulkan konflik intern di dalam agama
tertentu. Hal inilah yang sengaja dihindari oleh negara dengan melibatkan diri
mengatur pergerakan aliran-aliran keagamaan agar tidak merusak tatanan ideal
dari tujuan negara RI.
2. Fenomena Aliran Keagamaan dalam Bingkai Sejarah Indonesia dan Urgensi
Pengaturannya
Dalam pemaparan Niels Mulder pada masa 1953 muncul begitu banyak
kelompok-kelompok kebatinan, ia mencatat bahwa organisasi mistik itu menarik
perhatian baik kaum mistikawan jawa maupun departemen agama.49 Departemen
47 Lihat Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pusat Pakem, Nomor 34/Pakem/S.E/61 tertanggal 7
April 1961, perihal instruksi Pembentukan Batasan Pakemdi tiap-tiap propinsi dan di daerah-daerah. Surat ini
ditujukan kepada semua Jaksa/Tinggi/Kordinator Kejaksaan Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia. 48 Djoko Prakoso, Tugas-tugas Kejaksaan di bidang Non Yudisial, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 2. 49 Niels Murder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and
Change, Sinagpore University Press, Singapore, 1978, hlm. 158. Fakta tersebut jelas ketika pada tahun 1951
28
Agama melaporkan bahwa pada tahun tersebut ada lebih dari 360 kelompok
kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran
menentukan, sehingga pada pemilu 1955 partai-partai Islam gagal memperoleh
suara mayoritas, dan hanya mendapat 42% suara. Hal itu dicatat oleh Mulder
sebagai masa dimana pecahnya Islam dan sinkretisme atau kejawen.50 Dalam
situasi seperti inilah UU No. 1/PNPS/1965 dan Bakorpkem51 muncul menjadi
semacam ‘wasit’ bagi aliran-aliran kepercayaan yang marak bermunculan pada
tahun 1950-1963. Tujuannya tidak lain adalah menjadikan ajaran-ajaran/gerakan-
gerakan yang muncul tidak menimbulkan gangguan ketertiban/keamanan umum,
dan tidak menjadikan aliran agama atau kepercayaan tersebut merugikan para
pengikut agama yang telah meyakini agamanya.
Persoalan keagamaan yang krusial pada masa awal kemerdekaan
Indonesia adalah begitu kuatnya aliran kebatinan baik dalam ranah politik maupun
sosial.52 Diakui atau tidak fenomena aliran kepercayaan yang muncul di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari gejala sosial, karena manusia dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya tidak dapat secara sempurna. Lagi pula manusia mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya tidak
terpisahnya teori kausalitas, yaitu sebab akibat dalam melihat fenomena tersebut.
Wongsonegoro telah aktif mengorganisasikan kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan
Kebatinan dan dalam partai politiknya, Partai Indonesia Raya (PIR), telah mendatangi berbagai sekte mistik
sambil mengajak mereka untuk berorganisasi di bawah pengayomannya. 50 Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 116. 51 Secara lengkap tugas dari Bakorpakem ini ada uda hal. 1. Mempelajari dan menyelidiki bentuk,
corak, dan tujuan dari kepercayaan-kepercayaan didalam masyarakat beserta cara-cara perkawinan yang terjadi
didalam masyarakat. 2. Memepertimbangkan dan mengusulkan kepada pemerintah membuat peraturan-
peraturan/ undang-undang yang mengatur apa yang tersebut pada poin 1 di atas dan membatasinya untuk
ketentraman kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis seseuai. Dalam
perkembanagn selanjutnya ternyata tugas-tugas bidang Pakem harus melibatkan instansi-instansi pemerintah
lainnya, sehingga penyempurnaan organisasi perlu diadakan yaitu dengan membantu suatu team, team Pakem
yang terdiri dari team Pakem Pusat, Team Pakem daerah propinsi dan team Pakem daerah Kabupaten/Kota.
Lihat surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-108/J.A/5/1984 tertanggal 15 Januari 1994. 52 Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern dan Klasik, Gramedia,
Jakarta, 1986, hlm. 158.
29
Jika dilihat dari sebab, maka sebab-sebab mengikuti tumbuh suburnya aliran
kepercayaan antara lain sebagai berikut:53
1. Adanya kepercayaan yang harus dihormati dan dianggap merupakan
warisan budaya leluhur yang turun temurun;
2. Munculnya suatu isme (ajaran) yang menarik, dapat berindikasikan suatu
aliran agama atau aliran yang sinkretisme;
3. Pengaruh dari karisma seorang pemimpin aliran kepercayaan sehingga
banyak memperoleh pengikut;
4. Perbuatan-perbuatan yang luar biasa atau dianggap mukjizat dilingkungan
kepercayaan, seperti penyembuhan secara paranormal, dan dukun tiban
yang dapat memberikan berkah;
5. Aliran keeprcayaan yang berkaitan dengan dengan urusan social ekonomi,
meramal buntut, nasib baik atau buruk dan supaya murah dapat rezeki,
murah pangkat dan jabatan;
6. Dapat pula terjadi aliaran kepercayaan yang dilandasi kepentingan
ideology dan politik tertentu.
Dari pandangan penulis dapat disimpulkan bahwa masalah yang
ditimbulkan oleh kepercayaan di Indonesia tidaklah berdiri sendiri, sebab sebagai
akibatnya adalah berkaitan dengan masalah segala aspek material dan spiritual
kehidupan yang meliputi ideologi, politik, sosial budaya dan agama. Oleh
karennya meyikapi aliran-aliran yang muncul yang disebabkan tersebut, maka
diaturlah pola pengaturan yang berorientasi untuk melindungi agama yang telah
ada agar tidak ternodai, juga semangat untuk menjaga stabilitas negara yang saat
itu dan sekarang masih resistan dengan pemebrontakan. Karena apabila dibiarkan,
maka ancaman dari kelompok agama yang merasa dinodai akan juga berarti
ancaman terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Pola pengaturan ini
memang terkesan sebagai alat untuk membentengi agama-agama resmi dari
serangan aliran-aliran sempalan keagamaan, akan tetapi tujuan sebenarnya adalah
dalam konsepsi mewujudkan negara yang tertib, aman, dan tidak ada konflik antar
sesama (intern) agama.
53 IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2009, hlm. 230.
30
Tujuan di atas nampak lugas ketika pemerintah mengeluarkan SKB
tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada juni 2008. Sebagai prinsip awal,
dalam Buku Sosialisasi SKB tegas dikatakan bahwa pemerintah tidak sedang
mengintervensi keyakinan masyarakat melainkan memerankan perannya sebagai
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya
pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan
meyimpang.54 Pengaturan yang bersendikan ketertiban bagi masyarakat umum
juga ‘diizinkan’ dalam konvensi internasional, sebagaimana dalam ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005, di dalamnya menyebutkan sejauh
menyangkut keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan
kebebasan mendasar orang lain. Maka pemerintah (negara) diberi peran untuk
mengaturnya tanpa melanggar dan mengurangi hak dasar dari warga negaranya.
3. Justifikasi Suatu Negara dalam Melakukan Pembatasan Beragama atau
Berkeyakinan
Langkah-langkah yang dilakukan oleh negara (Indonesia) seperti halnya
yang diurai di atas mencerminkan negara ikut mengintervensi dan sekaligus
membatasi kebebasan pribadi untuk berpikir, bernurani, beragama, serta
berkeyakinan. Hal seperti itu seringkali kelompok kontra menyebutnya sebagai
bentuk pelanggaran. Oleh karenanya negara sering dipersalahkan ketika langkah
ataupun kebijakan diambil dalam mengatur persoalan-persoalan tersebut. Dalam
sub tema ini penulis mencoba menguraikan bagaimana dasar-dasar yang legal
54 Lihat Balitbang Diklat Departemen Agama RI, Agustus 2008
31
suatu negara dibenarkan dalam memberikan batasan terhadap kebabasan dan
berkeyakinan.
Dalam instrumen internasional, khususnya terkait konvensi internasional
ICCPR Pembatasan demi perlindungan keamanan publik55 dilegalkan baik itu
dalam ranah publik.56 Hal ini khususnya penting ketika kelompok keagamaan
yang bermusuhan berkonfrontasi satu sama lain atau ketika kebiasaan agama
digunakan untuk melayani kepentingan politik. Ketika ancaman terkait agama
yang bersifat langsung seperti itu terjadi atas orang atau harta kekayaan, negara
diberi kewenangan untuk mengambil upaya-upaya yang sungguh-sungguh
diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi kepentingan keselamatan
publik, termasuk larangan atau pembubaran suatu sidang majelis, aliran agama,
dan dalam kasus-kasus ekstrem, bahkan pelarangan suatu kelompok keagmaan
yang benar berbahaya, khusunya yang bertentanagn dengan pasal 20 ICCPR,57 hal
seperti itulah intervensi negara diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan
sesuai dengan pasal 18 ayat (3) ICCPR.58 Walaupun begitu perlu juga dibuat
perbedaan antara pengaturan kebebasan bergaama atau berkeyakinan yang hanya
55 Keamanan Publik merupakan khusus yang termasuk didalamnya tatanan, kesehatan, dan moral
publik atau hak fundamental dan kebebasan orang lain. Lihat International Covenant on Civil and Political
Rights pasal 18 ayat (3). Lihat juga The European Convention For The Protection of Human Rights and
Fubdamental Freedom pasal 9 ayat (2). 56 Lihat Manfred Nowak, United Nation Covenant on Civil and Political Rights, USA: N P Engel Pub,
1993, hlm. 326. 57 Bunyi pasal 20 ICCPR: pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas
dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan. Kemudian juga dalam pasal 21 menyebutkan: pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat
damai; dan pasal 22: hak setiap orang atas kebebasan berserikat. 58 Persoalan tersebut bisa dilihat dalam M. A. V, Italy, comm. No. 117/1981 (UN Human Rights
Committee, 10 April 1984), Keputusan Penolakan.
32
terkait dengan keselamatan pribadi orang yang bersangkutan, dan pengaturan yang
berkaitan dengan ranah keselamatan publik.59
Selain legalitas pembatasan yang terkait dengan keamanan publik, juga
dibenarkan pembatasan untuk melindungi tatanan/ketertiban publik.
Tatanan/ketertiban publik diinterpretasikan dalam pengertiannya yang sempit
yaitu pencegahan kekacauan publik.60 Sementara pembatasan-pembatasan dalam
rangka perlindungan moral juga ‘dilampu hijaukan’ kepada negara, sehingga tidak
salah kalau kemudian negara ikut andil mengatur guna terwujudnya moralitas
yang baik. Karena bagaimanapun moral merupakan hal yang diklaim agama
sebagai sistem nilai yang tertinggi dalam beragama. Pembatasan demi
perlindungan hak-hak dan kebebasan fundamental orang lain juga menajdi salah
satu tugas negara untuk melakukan intervensi.61 Alasannya tidak lain karena
dalam beragama juga tidak dibenarkan menggunakan cara-cara yang mengganggu
kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Hal seperti itulah yang tidak
bisa dibenarkan, sehingga negara diberikan peran untuk mengaturnya secara
netral. Hal ini juga berkaitan dengan penghinaan terhadap agama juga tidak
dibenarakan, sehingga lagi-lagi negara diberi kewajiban untuk mengaturnya.62
59 Nicola Colbran, dkk, Freedom of religion or Belief, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers,
2004, hlm. 296. 60 Van Dijk dan Van Hoof, Theory and Practice of The Eurpean Convention On Human Right, Edisi
ke-4, USA: Intersentia, hlm. 555 61 Joel feinberg, The Moral Limits of The Criminal law, Volume 4, New York: Oxford University
Press, 1990, hlm. 123. 62 Lihat Kasus Gay News X Ltd. And Y v, United Kingdom, App. No. 8710/79 (EcomHR, 28
Keputusan dan Laporan 77, 7 Mei 1982)
33
B. Universalisme dan Relativisme HAM; Konsep Kebebasan Beragama dan
Pengaturannya di Indonesia
1. Definisi Kebebasan dan Ruang Lingkupnya
Memaknai substansi kebebasan pastinya akan bersinggungan dengan
berbagai varian definisi yang telah dirumuskan oleh para pakar yang kompeten di
bidang keilmuan yang dimilikinya. Setidaknya hal ini nampak dalam perdebatan
sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache yang berpendapat
bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli
filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
menetapkan perbuatannya.63 Sementara Robert D. Cooter secara sederhana
memknai kebebasan tidak adanya larangan, namun kemudian disebutkan bahwa
dalam implementasinya harus ada keseimbangan.64
Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi
apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu
paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif,
karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa.
Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya
dan apa yang dilakukannya, (2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan
yang tersedia baginya, dan (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu
yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang
dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.65 Hal
ini nampaknya sejalan dengan rumusan yang termaktub dalam Kamus John
63Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, terjemah oleh Farid Ma’ruf, Cet. I, dari judul asli al-Akhlaq, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 53. 64 Robert D. Cooter, Liberty, Eficency, and Law, Law and Contemporary Problem, Vol. 50, no. 4,
hlm.143, dlm http:/www.jstore.org 65 Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hlm. 39-40.
34
Kersey yang mengartikan bahwa kebebasan adalah sebagai kemerdekaan,
meninggalkan atau bebas meninggalkan.66 Artinya, semua orang bebas untuk
tidak melakukan atau melakukan suatu hal.
Dalam konteks hubungan antara pemerintah (negara) dan warga negara,
kebebasan ini lebih menekankan pada tidak adanya intervensi atau larangan dari
negara terhadap kebebasan warga negaranya.67 Hal ini menjadikan makna
kebebasan menjadi absolute, sehingga kebebasan warga negara tidak boleh
diintervensi baik oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah maupun produk
perundang-undangan sekalipun. Bahkan secara tidak langsung menganjurkan
kebebasan untuk memiliki semua hak yang telah diatur didalam hak asasi manusia
harus diberikan oleh negara kepada semua individu yang ada di dalam wilayah
kedaulatannya. Pengertian dalam konteks ini akan mengalami benturan apabila
melihat definisi kebebasan dalam kamus hukum black, di dalamnya menjelaskan
bahwa kebebasan diartikan sebgai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk
larangan kecuali larangan yang telah diatur di dalam undang-undang.68 Artinya,
makna kebebasan disini harus memperhatikan rambu-rambu yang telah
ditentukan, jangan sampai menjalankannya semau sendiri, karena bagaimanapun
asas proporsionalitas akan menjadi penting ketika hendak mengimplementasikan
arti kebebasan tersebut.
Dalam perspektif HAM yang diproduksi Barat misalnya, kebebasan
menjadi adagium yang bebas tafsir, bahkan cenderung bebas nilai. Hal ini karena
Barat menerjemahkan kebasan berstandarkan individual, individu adalah standar
66 Lihat selengkapnya di Jay Newman, On Religion Freedom, University Of Ottawa Press, California,
1991, hlm. 18. 67Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Lakbang Mediatama, Yogyakarta, 2010,
hlm. 86. 68 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Definitions of the term and pharses of America and
English Jurisprudence, Ancient an Modern, St. Paul. West Publishing Co, Amerika, 1990, hlm. 918.
35
segala sesuatu. Pengertian etimologis ini tentu tidak memadai dan memungkinkan
dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu
terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak
ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak
orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh
aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya. Agama Islam misalnya,
memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah), kebebasan
didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia
mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya,
dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Singkatnya definisi
kebebasan berarti tidak dapat berpikir semaunya dan bertindak semaunya, karena
kita hidup dalam masyarakat yang memproduksi banyak peraturan dan nilai-nilai
moral tentang baik dan buruk. Tindakan kita dibatasi oleh aturan dan nilai-nilai
moral. Dengan kata lain, kebebasan sosial kita terbatas/dibatasi.
Dalam uraian Isaiah Berlin, ia memetakan ruang lingkup kebeasan
menjadi dua bentuk yaitu kebebasan dalam bentuk positif dan kebebasan dalam
bentuk negatif. Kebebasan dalam bentuk positif yaitu apa atau siapa yang
bertindak sebagai sumber hukum, yang bisa menentukan seseorang untuk
menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu kebebasan. Sedangkan kebebasan
dalam bentuknya yang negatif bersinggungan dengan ruang lingkup dimana
seseorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan seseuatu
seperti yang dikehendaki tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.69
69 Isaiah Berlin, Two Concept of Liberty, Oxford University Press, United Kingdom, 1991, hlm. 34.
36
Instrumen yang mengatur kebebasan positif adalah konvensi internasional
Kovenan Hak Sipil dan Politik, yaitu pasal 2 ayat 3 yang berbunyi :70
a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atas kebebasannya diakui dalam
kovenan ini dilanggar, harus memperoleh upaya pemulihan yang efektif,
walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak
dalam kapasitas resmi;
b. Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus
ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif
yang berwenang, atau oleh lemabaga berwenang lainnya yang diatur oleh
sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala
kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;
c. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut harus melaksanakan
penyelesaian hukum apabila dikabulkan.
Sedangkan pengejewantahan kebebasan yang berbentuk negatif terdiri
dari unsur ‘bebas untuk’ melakukan semua hal yang bisa membuat seseorang
menajdi manusia yang bebas.71 Kebebasan negatif ini mengandung unsur hukum,
moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur tentang dilarangnya semua jenis
intervensi. Aturan-aturan tersebut melindungi hak seseorang untuk bebas dari
semua bentuk intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya. Berdasarkan
konsep ini, kebebasan setiap individu untuk menjadi atau melakukan apa yang
mereka iniginkan harus dilindungi dan dijamin oleh negara. Salah satu cara untuk
mewujudkannya adalah melalui peraturan perundang-undagan, yang kemudian du
konkretkan dalam dalam tindakan nyata pemerintah yang bisa berupa kebijakan-
kebijakan negara yang dimaksudkan untuk menegakan hukum.
Kebebasan dalam bentuknya yang negatif juga bisa dilihat dari komentar
umum komite HAM yang menyatakan bahwa negara-negara anggota harus
menahan diri untuk melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang diatur dalam
kovenan. Pembatasan-pembatasan dalam bentuk apapun oleh negara yang bisa
70Lihat selengkapnya pada ICCPR Convention atau bisa diakses: http://www.hrwg.org/in/advokasi-
konvensi/iccpr. 71 Henry Hardy, Liberty In Law, Oxford University Press Inc, United Kingdom, 2001, hlm. 178.
37
mengakibatkan terganggunya hak asasi yang diakui oleh kovenan tidak
dibenarkan oleh hukum.72 Hal ini dikarenakan sifat dan ruang lingkup hak asasi
manusia adalah universal, melintasi batas-batas norma-norma yang ada di
masyarakat seprti tradisi, agama dan budaya.
2. Konsep Kebebasan Beragama Perspektif Universalisme dan Relativisme
HAM
Sejauh ini apabila membicarakan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM),
maka tidak bisa dipisahkan dengan dua teori yang sangat familiar di ranah
internasional, yaitu teori HAM Universalis dan teori HAM relativisme budaya.
Keduanya memilki ciri dan karakter yang berbeda serta memberikan kontribusi
dalam dinamisasi HAM di internasional. Sebagai rumusan manusia, kedua teori
tersebut sudah apsti memilki nilai positif dan negatif yang dibawanya. Sehingga
kemudian dalam perkembanganannya ada upaya untk memadukan kedua teori
tersebut agar bisa saling melengkapi.
Asal muasal dan perkembangan HAM tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan universalisme nilai moral. HAM berangkat dari konsep
universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral yang
melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme ini menjelaskan keberadaan
kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat
diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral ini, khususnya
yang di Eropa dapat dijumpai dalam tulisan Aristoteles. Salah satu karyanya
Nicomachen Ethic yang mengurai suatu argumentasi yang mendukung keberadaan
ketertiban moral yang besifat alamiah. Argumentasi ini selaras dengan apa yang
72 Ibid
38
diuraiakn John Locke bahwa individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah
dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Dalam universalisme,
individu adalah sebuah unit sosial yang memilki hak-hak yang tidak dapat
dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.73
Pakar yang memberikan kontribusi dalam memahami universalisme HAM
ini salah satunya adalah Nussbaum, ia berpendapat bahwa HAM adalah
pencapaian-pencapaian fundamental yang tidak dapat dinegosiasikan dengan
alasan apapun.74 Ia menegasikan masyarakat dengan maksud agar ada standar
internasional tentang pencapaian HAM. Hal ini dikarenakan HAM dan khususnya
hak kebabasan beragama dan berkeyakinan di dalam instrumen internasional
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, ketika ada pengaruh dari lokalitas
nilai di suatu masyarakat tertentu, maka ruang lingkup dari hak tersebut bisa
dibatasi oleh pemahaman-pemahaman yang diskriminatif. Ini dikarenakan banyak
nilai lokal di negara-negara yang masih bersifat primordial dan sekterian
berdasarkan nilai yang berkembang di dalam masyarakat tertentu. Artinya ketika
lokalitas budaya ‘diikutsertakan’ dalam HAM, maka yang muncul adalah nilai-
nilai HAM yang fundamental tersebut akan tereduksi oleh nilai-nilai lokalitas di
suatu negara yang bervariatif tersebut.
Memang berdasarkan instrumen-instrumen internasional, hak kebebasan
beragama tidak saja mengakui hak untuk beragama dan berkeyakinan, melainkan
juga hak untuk tidak meyakini suatu agama atau keyakinan apapun juga. Sehingga
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya mengakui semua jenis
ritual, praktik, simbol dan berbagai macam fenomena yang dianggap agama atau
73 Ifdhal Kasim dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hlm. 20. 74 M. John Alexander, Capabilities, Human Rights and Moral Pluralisme, International Journal of
Human Rights, Vol. 8 No. 4, hlm. 451.
39
keyakinan oleh penganutnya.75 Manifestasi keagamaan atau keyakinan tidak
terbatas pada mainfestasi keagamaan dari agama-agama terdahulu yang sudah
sering diformalisasikan dalam rutinitas keagamaan dari tiap-tiap agama yang ada,
seperti shalat di dalam Islam. Hal tersebut dipertegas dengan opini kelompok
‘pemuja’ HAM universalisme yang beropini baik secara de jure dan atau de facto
tidak bisa dipungkiri keberadaannya merupakan konsensus negara-negara
internasional yang multi ideologi pada tahun 1948. Sebagai satu konsensus yang
telah dideklarasikan dunia internasional maka keberadaan hak asasi manusia
berarti bersifat universal dan berlaku di semua ruang dan waktu selama manusia
itu ada. Eksistensi penghormatan HAM tidak boleh dihilangkan dalam situasi dan
kondisi apapaun.
Universalisme HAM sejatinya didasarkan pada definisi HAM sebagai hak
alamiah bersifat fundamental, dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat
ataupun negara. Tidak perlu pengakuan dari pejabat atau dewan manapun dan
tidak perlu pembatasan kewenangan dan yuridiksi negara. Fungsi negara adalah
untuk melindungi dan hak-hak alamiah masyarakatnya bukan untuk kepentingan
monarkhi atau sistem kekuasaan. Penganut universalisme cenderung menerapkan
teori positivisme dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan
sosial masyarakat. Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial di dalam
masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi
sosial masyarakat tersebut.76 Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur
hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Misalnya, petugas hukum dan produk
75 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan.....Op. Cit, hlm. 147. 76 Relativisme dan Universalisme HAM, http://mas-hanief.blogspot.com/2010/09/relativisme-dan-
universalisme-ham.html, diakses tanggal 04 Februari 2011.
40
perundang-undanganya harus benar-benar netral dari conflict of interest dan
conflict of norms agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam konteks
beragama dan berkeyakinan merupakn hak individu yang fundamental yang tidak
bisa dicampur adukan apalagi dibenturkan dengan budaya lokal, nilai-nilai
kultural, atau tradisi-traidisi masyarkat di suatu negara. Hal ini mengingat loklitas
budaya di suatu negara tertentu masih sering dijumpai sebagai budaya yang
sekterian dan cenderung diskriminatif. Sehingga ketika kebebasan beragama dan
berkeyakinan harus dihadapkan dengan lokalitas tersebut, maka independensi dan
substansi makna kebebasan beragama dan berkeyakinan akan tereliminasi oleh
budaya-budaya lokal yang ada di negara tersebut.
Teori kedua adalah berkaitan dengan realtivisme budaya dalam HAM.
Teori ini merupakan tandingan atas universalistas HAM, hal ini mengemuka
menjelang berakhirnya perang dingin yang rata-rata disuarakan oleh negara-
negara berkembang dan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI
(Organisasi Konferensi Islam). Substansi gugatan ialah teletak pada relativisme
budaya yang otomatis menjadi sumber penilaian eksistensi keabsahan suatu hak
dan kaidah moral yang selayaknya ada dalam satu negara. Dalam konteks ini
kemudian HAM tidak mungkin berlaku universal tetapi keberadaannya pasti
terikat oleh budaya yang berlangsung di satu wilayah. Kebudayaan yang berbeda-
beda itu mempunyai standar dan prinsip-prinsip haknya masing-masing sehingga
tidak mungkin terjadi proses universalisasi terhadap HAM satu negara terhadap
negara-negara lainnya. Apalagi dalam konteks HAM internasional.
Indonesia dan Malaysia merupakan kelompok yang mendukung
relativisme budaya bersama dengan Kuba dan negara-negara Arab. Gagasan
41
tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-
satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.77 Relativisme budaya (cultural
realitivism) maerupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam
budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut
pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi dimana mereka yang
memegang kekuasaan yang tidak setuju.78 Oleh karena itu HAM tidak dapat
secara utuh bersifat universal kecuali apabila HAM tidak tunduk pada ketetapan
budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian
tidak dapat mewakili setiap individu.
Menurut penganut relativisme, sebuah hukum tidak akan berlaku efektif
ketika masyarakat menentangnya karena tidak sesuai dengan norma-norma dan
tradisi yang ada. Begitu juga yang terjadi dengan hak asasi manusia internasional
yang ditetapkan berdasarkan konsensus internasional negara-negara. Jika tidak
mengakui relativisme budaya dan nilai-nilai yang berkembang di negara-negara,
instrumen internasional justru bisa menjadi efektif. Salah satu sebabnya adalah
karena instrumen internasional tidak mampu mengintervensi sebuah pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan oleh sebuah negara karena adanya aturan
hukum Piagam PBB yang melarang intervensi asing terhadap kedaulatan sebuah
negara. Kelompok relativisme kultural menjadikan komunitas sebagai unit sosial
dan cenderung meniadakan hak-hak alamiah yang sifatnya individual. Hak asasi
manusia dianggap ada hanya ada dalam satu masyarakat dan ada dalam satu
negara sehingga keberadaan HAM di negara-negara timur dan non liberal
77 Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornelly University Press, Ithaca
and London, 2003, hlm. 89. 78 http://www.aasianst.org/Viewpoints/Nathan.htm, diakses tanggal 04 Februari 2011.
42
dianggap sebagai pemberian negara dan boleh dibatasi oleh kekuasaan negara
tersebut.79
Menurut Al Khanif,80 dalam konteks agama, perspektif ini bisa menerima
norma-norma yang tidak ‘menyerang’ budaya inti dari agama tersebut, yakni
keyakinan. Penyeranagan terhadap keyakinan tersebut dianggap bisa
menghilangkan nilai-nilai suci dari agama tersebut. Sedangkan di dalam konteks
budaya, penyerangan terhadap budaya inti dianggap bisa merubah struktur
masyarakat. Sederhananya konsep beragama dan berkeyakinan seyogyanya harus
bersandar dan ‘tunduk’ terhadap nilai-nilai budaya lokal yang hidup di dalam
negara tertentu. Amartha Sen yang kemudian bisa dijadikan rujukan dalam
mempelajari relativisme budaya, ia menguraikan bahwa HAM adalah artikulasi
dari tuntutan-tuntutan etika yang bersifat terbuka.81 Sen berpendapat bahwa tujuan
yang ingin di capai di dalam HAM harus memperhatikan nilai-nilai yanga ada di
masyarakat. Sebab-sebab yang mendasari pendapat Sen adalah bahwa masing-
masing budaya, tradisi atau agama mempunyai ciri khas tentang etika dan
moralitas yang berbeda-beda.
Nampaknya argumentasi Sen tersebut di adopsi dalam konfernesi HAM
yang di gagas oleh negara-negara Asean dan Muslim tahun 1993 di Vienna, hasil
konferensi itu memproklamirkan bahwa pada dasarnya HAM adalah universal
tetapi perbedaan-perbedaan regional, dan juga perbedaan latar belakang hsitoris,
kultural, dan religius harus diperhatikan.82 Karena makna dan implikasi norma-
79Moh.aSyafii,aDiskursusaUniversalismeadanaRelatifismeaKulturalaHAM,adalamahttp://syafiie.blogs
pot.com/2010/07/diskursus-universalisme-dan-relatifisme.html, di akses tanggal 04 Februari 2011. 80 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan......Op. Cit, hlm. 151. 81 Stacy Humes Schulz, Limiting Soverignity Immunity in the Age of Human Rights, Harvard Human
Rights Journal, Vol. 21, hlm. 124. 82 Teks deklarasi ini ada dalam World Conference on Human Rights: The Viena Declaration and
Programme of Action, June 1993, New York, United Nation, 1993.
43
norma HAM tidak bisa disangkal dan harus dikondisikan oleh pengalaman-
pengalaman sejarah dan budaya dari tradisi-tradisi dan kemasyarakatan umat
manusia. Oleh karena itu, jelas bahwa artikulasi dan implementasi norma-norma
tersebut dalam situasi-situasi konkret akan ditentukan oleh masyarakat manusia
itu sendiri, menurut waktu dan tempatnya. Dengan kata lain, suatu sistem moral
yang cocok bagi masyarakat tertentu mungkin tidak cocok bagi masyarakat
lainnya, yang mau tidak mau menunutut elaborasi sistem-sistem yang mereka
miliki sesuai dengan keadaan budaya-budaya dan historis mereka masing-masing.
3. Pasal 29 UUD 1945 dan Berbagai Interpretasinya Serta Konsep Kebebasan
Beragama (Berkeyakinan) Perspektif MK
Dalam pasal 29 disebutkan bahwa negara berdasarkan atas ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.83 Pasal ini merupakan pasal landasan beragama dan
kebebasan menjalankan rutinitas beribadah berdassarkan keyakinan masing-
masing individu. Sekilas memang pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan
tanpa syarat dalam menjalankan aktifitas ibadah secara normal. Bahkan pasal
tersebut nampak begitu netral tanpa ‘tendensi’ yang melingkupinya.
Sebagaimana diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945 diskusi tentang
pasal 29 dianggap telah selesai karena baik rumusan pembukaan UUD 1945
maupun pasal 29 UUD 1945 tidak lagi memunculkan peristilahan yang secara
eksplisit merujuk kepada sesuatu agama. Namun bagi kelompok yang ingin
mendasarkan negara Republik Indonesia pada dasar agama tetap merasa tidak
83 Pasal 29 UUD 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 52.
44
puas dan terus menerus berupaya memperjuangkan ide itu, baik melalui cara-cara
konstitusional maupun dengan cara-cara lain. Soekarno salah satu the founding
fathers mengamanatkan bahwa pasal 29 merupakan pasal mana harus menjadi
dasar kehdupan hukum di bidang keagamaan.84 Terhadap amanat Soekarni,
Achmad Syaichu salah satu seorang anggota sidang Konstituante pada tahun
1959, memahami bahwa pernyataan di atas berarti dapat diciptakan pula
perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam.85 Konsekuensinya negara
‘menjamin’ untuk terciptanya regulasi dibidang agama. Berbeda dengan Partai
Serikat Islam Indonesia dalam memahami amanat sang proklamator tersebut,
partai berbasis Islam itu menyebutkan bahwa pasal 29 belum memungkinkan bagi
umat Islam untuk menjalankan agama Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-
penuhnya dalam segala bidang selama fondasi dan landasan negara tidak
berdasarkan Islam dimana berlaku hukum Allah dan Sunnah Rasulnya.86
Sementara mufasir lain dilontarkan oleh Hazairin, ia menafsirkan pasal 29
ayat 1 sebagai berikut :
Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama yang dianut umat beragama di Indonesia. Negara
RI wajib menajalankan syariat bagi masing-masing agama sesuai dengan
syariatnya. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk
menjalankan dan karena itu dapat berdiri sendiri, dijalankan oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah
bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri-sendiri.87
84 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah Proyeksi, Bulan
Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 12. Sebagaimana dikutip dalam Jazim Hamidi, Intervensi Negara.....Op. Cit, hlm.
116. 85 Bandingkan dan lihat pada TAP MPR no. IV, tahun 1978 dan no. II tahun 1983 tentang GBHN,
Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 86 Pernyataan ini disampaiakn dalam sidang konstituante ke I, Rabu 6 Mei 1999, di kutip oleh M.
Yamin, Naskah II, hlm. 521. 87 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas, Jakarta, 1973, hlm. 18-19.
45
Tafsiran tersebut kemudian diambil kesimpulan sebagai berikut :88 pertama, di
negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh ada
aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan
syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at nashrani bagi nashrani dan seterusnya,
sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. ketiga, setiap
pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-
hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. Dari uraian interpretasi
Hazairin, ia memperjelas hubungan antara agama, hukum dan negara, yaitu negara
hanya bertugas menjamin kerukunan umat beragama untuk melaksanakan
peribadatannya. Sedangkan mengenai keabsahan peribadatan suatu agama
diserahkan kepada masing-masing institusi agama yang mempunyai legitimasi
untuk hal itu.
Selain menafsirkan ayat 1 pasal 29, Hazairin juga menafsirkan ayat kedua
pasal 29. Ia menyatakan bahwa ayat 2 dalam pasal 29 memberikan arti bahwa
negara tidak menjamin kebebasan bergerak bagi atheism dan akan mengawasi dan
menuntun pihak-pihak yang masih berkepercayaan animisme, polytheisme dan
lain-lain bentuk takhayul.89 Terlihat dari tafsiran tersebut bahwa tugas Negara
selain menjamin dan melindungi kebeasan beragama warga negaranya, secara
implisit Negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan warga
negaranya kepada jalan atau agama yang berketuhanan yang maha esa. Dengan
kata lain negara ditugaskan untuk menyadarkan mereka yang ‘menyimpang’ step
by step melalui penerangan dan pendidikan, supaya mereka atas dasar keinsyafan
88 Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama, makalah
disamapakan dlaam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Persaudaraan
Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII, Yogyakarta 6 Februari 2011. 89 Hazairin, Op. Cit..., hlm. 25-26.
46
sendiri berpaling dari kebodohan dan kesesatan, yaitu dengan kembali kepada
ajaran yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menyinggung tentang arti kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29
UUD 1945, Ruyandi dalam bukunya Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa menyatakan:90
Arti kepercayaan tersebut oleh Abdul Gafar Pringgodigdo, dari wawancara
dengan wartawan antara tanggal 8 November 1970 setelah memberikan
ceramah mengenai riwayat pasal 29 UUD 1945 pada symposium nasional
kepercayaan di Yogyakarta. Pada wawancara tersebut dikatakan: Beliau masih
ingat bahwa kata kepercayaan dalam pasal 29 UUD 1945 antara lain adalah
usul Wongsonegoro sebagai salah satu anggota panitia perancang UUD 1945.
Pernyataan Pringgodagdo tersebut dibenarkan oleh Wongsonegoro yang saat
symposium turut hadir. Wongsonegoro menambahkan bahwa selaku anggota
panitia perancang UUD 1945, beliau mengusulkan kebebasan beribadat yang
seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan dalam segala bentuk dan isinya
seperti yang diistilahkan kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Usul
Wongsonegoro untuk mencantumkan pula kata kebatinan dalam pasal 29
UUD 1945 diterima. Tetapi kemudian dalam proses pembuatannya, untuk kata
kebatinan itu dicari istilah lain yang netral dan digunakan kata kepercayaan
seperti yang ada pada ayat 2 pasal 29 UUD 1945 hingga sekarang.
Kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 apabila
melihat pemaparan di atas memberikan gambaran bahwa ayat satunya hanya
menunjukan kepercayaan bangsa Indonesia adalah satu agama. Jadi Indonesia
bukanlah negara agama, juga bukan Negara sekuler tetapi Negara pancasila. Pada
ayat duanya, tentang kata kepercayaan dimaksud meliputi kebatinan, kerohanian,
kejiwaan, yaitu sebagai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu
“Kepercayaan” dalam pasal 29 dimaksudkan sebagai kebatinan, kejiwaan, dan
kerohanian. Karenanya di akhir symposium itu disimpulkan bahwa kepercayaan
sejajar dengan agama.91 Sementara Syafi’i Ma’arif mengartikan “Ketuhanan yang
Maha Esa” tidak lain identik dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara
90 Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen P dan K Dirjen
Kebudayaan Direktorat PPK, Jakarta, 1985, hlm. 63-64. 91 Rachmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 98.
47
organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan,
dan musyawarah.92 Sejatinya antara agama dan negara tidak bisa saling
memisahkan diri. Keduanya saling melengkapi sebagai motor penggerak untuk
melakukan karya sosial.
Frasa ‘dan kepercayaannya’ dalam pasal 29 ayat 2 tersebut orang yang
bertanggung jawab atas munculnya kata tersebut adalah Wongsonegoro. Salah
satu pembuat Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Ia kemudian memberikan tambahan yang redaksional
lengkapnya adalah “karena mungkin diartikan bahwa Negara boleh memaksa
orang Islam untuk menjalankan syari’at agama, maka diusulkan supaya pasal 29
ayat 2 ditambah dengan kata-kata ‘dan kepercayaannya’ antara agamanya dan
masing-masing”.93 Akhirnya Soekarno juga neyetujui usulan Wongsonegoro
tersebut.
Memang tidak bisa di pungkiri, sejarah mengatakan bahwa
Wongsonegoro adalah orang yang berada dibalik keberhasilan memasukan kata
kepercayaan dalam konstitusi. Makna dari kata kepercayaan ini tentu hanya bias
di ketahui saat kita mengerti siapa yang menawarakannya menjadi teks dalam
konstitusi. Dalam biografi anggota BPUPKI disebutkan bahwa pemilik nama
lengkap Mr. Kanjeng Raden Mas Temengung Wongsonegoro itu adalah Bupati
Sragen yang lahir di Solo 20 April 1897, riwayat organisasinya selalu memiliki
keterkaitan dengan budaya jawa. 1920 dan 1932 ia di daulat menjadi ketua
perkumpulan kebudayaan Krido Wantjoyo Solo. Sempat juga menjadi ketua
92Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante, LP3ES, 1985, Jakarta, hlm. 152. 93 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretarian Negara
Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 248.
48
Boedi Oetomo Cabang Solo pada 1923-1924, dan pada 1942 Wongsonegoro
menjadi ketua pekumpulan kebudayaan Mardi Boedojo Sragen.94 Sejarah juga
mencatat, bahwa ia pernah menjabat sebagai ketua Badan Kongres Kebatinan
Indonesia (BKKI). Dari uraian historis itu, jelas bahwa Wongsonegoro adalah
seorang penganut aliran kebatinan, kepercayaan alias kejawen. Ini artinya ketika
Wongsonegoro mengusulkan nama “kepercayaan” agar masuk dalam konstitusi
pada 13 Agustus 1945, ia sungguh berada dalam kesadaran penuh bahwa ia adalah
seorang kejawen. Maka hal yang wajar jika ada kepentingan ideologis dibalik
usulan tersebut.
Sebagai seorang pengaut kepercayaan, tentu ia ingin agar kepentingannya
bisa diakomodir oleh konstitusi. Lontara ide, tentu tidak bisa begitu saja
dilepaskan dari kepentingan ideologisnya. Karenanya agama dan kepercayaan
dalam pasal 29 ayat 2 itu hendak mengatakan bahwa yang dijamin oleh negara
adalah semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di negeri ini. Meski
kepercayaan yang diusung Wongsonegoro saat itu adalah kepercayaan dalam arti
kejawen, tetapi kepercayaan ini masih sangat lentur dan elastis untuk dilebarkan
pada berbagai bentuk kepercayaan di luar kejawen.95
Mahkamah Konstitusi sebagai guardian constitution dan penafsir
konstitusi telah memberikan batasan atas konsep kebabasan
beragama/berkeyakinan. Sebelumnya, putusan tersebut merupakan konsekuensi
atas judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh beberapa LSM dan
tokoh agama, seperti Imparsial dan KH Abdurahman Wahid. Pasal-pasal yang
diajukan judicial review adalah pasal 1,2,3, dan 4. Pasal 1 berbicara mengenai
94 Ibid, hlm. 517. 95 Tedi Kholiluddin, Op. Cit, hlm. 280
49
larangan dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2 berkaitan dengan kewenangan menteri agama, jaksa agung dan
menteri dalam negeri mengeluarkan suatu keputusan bersama untuk menghentikan
perbuatan tersebut. Pasal 3 yaitu tentang kewenangan negara mediskrimnasi
pelaku dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun setelah tidak
mengindahkan surat keputusan tersebut. Pasal 4 berbicara tentang penguatan
kriminalisasi yang telah diatur dalam KUH Pidana.96 Pasal-pasal tersebut
bertentangan dengan instrumen HAM baik nasional maupun Internasional.
Instrumen internasional yang digunakan adalah sebagai berikut, pasal 18
DUHAM97, pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Ploitik98, komentar
umum Nomor 22 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama99, dan
pasal 6 huruf (d) dan (e) deklarasi penghapusan intoleransi dan diskriminasi
agama100. Argument hukum nasional yang dijadikan konfrontasi atas pasal-pasal
tersebut ialah pasal 27 ayat (1), 28 D ayat (1), 28 E ayat (1) dan (2), 28 I ayat (1)
dan 29 ayat (2) UUD 1945. Disamping itu kebebasan beragama dan berkeyakinan
juga dijamin dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Hak Asasi
Manusia.
96 Lebih lengkapnya lihat dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. 97 Universal Declaration of Human Right 1948. 98 ICCPR yang disahkan pada 16 Desember 1996 dan diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun
2003. 99 General Comment Nomor 18: Non Discrimination: 10/11/1989. ICCPR. 100 Resolusi Majelis Umum PBB 36/55 pada 25 November 1981 tentang penghapusan IntoleraNSI
DAN Diskriminasi Agama.
50
Dalam judicial review inilah MK menjawab argument hokum penolakan judicial
review UU Penodaan Agama dengan kalimat sebgai berikut:
bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada
setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan
kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung
jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang.101
Kemudian secara jelas putusan atas penolakan yang sempat menimbulkan
kontroversi tesebut juga dapat disimpulkan sebagai berikut :102
1. Bahwa pasal-pasal penodaan agama harus dilihat juga dari aspek filosofisnya
sehingga tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridisnya saja. Aspek
filosofisnya bertujuan menempatkan kebebasan beragama/berkeyakinan dalam
perspektif ke-Indonesia. Praktik kebebasan/berkeyakinan di Indonesia
menempatkan aspek preventif sebagai pertimbanagn utama dalam suatu
masyarakat yang heterogen;
2. Kebebasan/berkeyakinan yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah
merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich. Selain adanya
hak kebabasan berkeyakinan, harus juga diikuti dengan tanggung jawab sosial
untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang;
3. Berangkat dari konsep negara hukum (the rule of law), negara memiilki peran
sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan
HAM yang berkeadilan. Peran egara ini diaplikasikan untuk memastikan
bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama/berkeyakinan, seseorang
maupun kelompok tidak melukai kebebasan beragama/berkeyakinan orang
lain. Di sinilah egara bertindak sebagai penengah;
4. Berdasarkan jaminan konstitusional terhadap kebebasan penafsiran, maka
memang diakui bahwa menafsirkan terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu
merupakan kebebasan berpikir setiap orang yang berada pada forum internum.
Akan tetapi, penafsiran tersebut haruslah berkeseseuaian dengan pokok-pokok
ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran
agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing. Ini artinya bahwa
kebebasan melakuakn penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak
atau absolute pada forum eksternum. Penafsiran juga harus dikontrol, yang
dalam minimalnya, control tersebut bisa berupa dialog dengan metodologi
yang umum diakui oleh para penganut agama agar tidak menimbulkan reaksi
yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau
dilaksanakan dimuka umum. Hal ini sesuai juga dengan ketentuan pasal 18
ICCPR.103
101 Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id,
tanggal 08 Februari 2011. 102 Faiq Tobroni, Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
(Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965), Jurnal Konstitusi Volume 7, No. 6,
Desember 2010, Jakarta: sSekretariat Jenderl dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi, 2010, hlm. 106-107. 103 Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, PBHI dan European Union, Jakarta,
2004, hlm. 14.
51
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut mencerminkan bahwa
dalam menjalankan kebebasan beragama/berkeyakinan harus memperhatikan
aturan main yang ada, sehingga kebebasan tersebut tidak melanggar kebebasan
orang lain yang juga harus dilindungi. Dengan kata lain jaminan yang diberikan
oleh negara kepada setiap orang adalah kebabasan bersyarat. Kebebasan yang
memiliki arti bukan bebas semau sendiri tanpa ada tanggung jawab sosial. Hal ini
selaras dengan ungkapan yang dikutip Munawir Syadzali, bahwa Freedom is not
License, hal ini pula yang tertulis dalam pasal 1 dari Declaration on the
Elimination of All Forms of Intolerances and of Discrimination based on Religion
and Belief tahun 1981, yang substansinya menjelaskan bahwa pemerintah dapat
mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan
beragama/berkeyakinan, serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan
berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama
yang pada gilirannya akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan
pembangunan.104
Sekali lagi Mahkamah Konstitusi memberi penegasan terhadap falsafah
negara yang agamis, MK menyatkan bahwa dalam negara Pancasila tidak boleh
diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan.105 Jadi
negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama
adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi
oleh negara demi harkat martabat manusia. Meskipun demikian, negara juga boleh
membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas
104 Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan Konsepsional), Penrbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 45. 105Arsyad Sanusi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011.
52
penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan
bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya
HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk
menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan serta tanpa
melukai yang lainnya. Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi
karena ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme,
Orientalisme dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai
kesepakan bersama negara Indonesia.
Pola kebebasan yang ditawarkan MK sejatinya relevan apabila melihat
dalam UUD 1945 berkaitan dengan pluralisme yang juga diakomodir di
dalamnya. Bagaimnapun pluralism seringkali bersinggungan dengan kebeasan
sebagai konsekuensi. Pluralism yang lazim diberi pengertian sebagai suatu
kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran
satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Atau dengan kalimat lain,
pluralisme merupakan sikap menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa
serta mewujudkannya sebagai keniscayaan realitas. Pluralisme sesungguhnya
menjdikan sebuah ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai
salah satu entitas mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Sehinga
pluralisme semestinya diposisikan tidak sebgai ancaman melainkan sebagai
kekuatan dalam aktifitas berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia.
UUD 1945 sebgaai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi
politik, melainkan juga konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Oleh karenanya,
UUD 1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara,
konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa denagan rakyat yang telah
memberikan mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
53
Bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan bertingkah laku
dalam setiap aktifitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi dalam
hal ini adalah pedoman bersama bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalin
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi mengikat sebagai
perdoman bersama karena dibuat berdasarkan kesepakatan bersama oleh
komponen bangsa.
Secara historis, pluralisme merupakan titik pijak bagi pendirian negara
bangsa Indonesia yang kemudian secara tegas diadopsi oleh para founding fathers
pada saat merumuskan UUD 1945. Terkait dengan itu maka UUD bukan lain
merupakan tonggak konvergensi atau titik temu kebhinekaan bangsa
Ditinjau dari aspek konstitusi, anutan pluralisme negara ini mendapatkan
tempat istimewa dan ditegaskan secara lebih spesifik melalui frasa-frasa seperti
negara “memelihara”, “mengakui”, “menghormati”, “menjamin”, dan
memebrikan “perlindungan” terhadap keberagmaan bangsa Indonesia. Hal ini
sekurang-kurangnya dapat ditemukan dengan jelas pada pasal 18, pasal 28, dan
pasal 29 UUD 1945. Oleh Karena itu, ditinjau dari aspek konstitusi maka bangsa
harus memahami pluralitas yang ada dengan memposisikan perbedaan adalah
sebagai fitrah. Bangsa ini hidup bernegara dalam kebhinekaan tetapi juga dalam
kesatuan sehingga pluralisme diperlukan untuk menciptakan hidup yang nyaman
dengan orang lain dalam suasana perbedaan. Harus disadari bahwa pluralisme
sebagaimana telah dianut oleh konstitusi, menjanjikan ruang nyaman bagi
penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar sifat
kemanusiaan seorang manusia. Untuk itu, sudah bukan waktunya lagi
memposisikan pluralisme ini sebagai ancaman melainkan saatnya
54
memposisikannya sebgai spirit dan kekuatan dalam aktifitas berbangsa menuju
cita-cita dan tujuan negara Indonesia.
4. Pengaturan Kehidupan Beragama di Indonesia dan Signifikansinya
Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi secara gamblang merumuskan
dan mengatur atas jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan, hal ini nampak
jelas dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan UUD 1945, konstitusi hasil amandemen
tersebut menyebut, ayat 1) “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”. Hal tersebut dikukuhkan lagi dalam pasl 29 ayat 1, yaitu
“Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat 2) “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”.
Untaian pasal dalam UUD 1945 diatas menajdikan secara normatif,
jaminan kebebasan kehidupan beragama dan kepercayaan di Indonesia sebenarnya
cukup kuat. Namun, bahasa aturan-aturan normatif tidak serta merta menjadi
realitas atas kepastian hukum yang menghendaki ketentraman dan kedamaian.
Antara das sollen dan das sein sering kali kontradiktif. Dalam UU No. 1/PNPS
tahun 1965 mengenai pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, dalam
pertimbangan dikeluarkannya UU tesebut didasarkan munculnya lairan-aliran atau
organisasi-organisasi kebatinan, kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran-
ajaran dan hukum agama. Ajaran dan perbuatan aliran-aliran itu telah
55
menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan
menodai agama.106
Tujuan dengan dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 adalah, pertama-
tama agar jangan terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran
agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama
yang bersangkutan; dan dua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman
beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk
tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.107 Undang-
undang ini juga memuat larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakn
dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianggap
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiaran dan
kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. 108 UU ini
juga menempatkan pasal baru dalam KUHP yaitu pasal 156 a. Pasal tersebut bisa
dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya yang ingin dilindungi
oleh pasal ini adalah hanya agama itu sendiri, selain itu meningat sifatnya agama
“tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditunjukan untuk melindungi
penganut agama.109
Alasan aturan tentang penodaan agama perlu dimasukan dalam KUHP,
dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 di dalamnya
disebutkan beberapa hal:110
106 Lihat penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, angka romawi I. 107 Penjelasan I, umum, angka 4 UU No. 1/PNPS/1965. 108 Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. 109 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet-3, Erlangga, 1981, Jakarta, hlm.
79-80. 110 Martiman Prodjo H, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Cet-1, 1982,
Jakarta, hlm. 65-68.
56
1. UU ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi
dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama
dipandang sebagai anacaman revolusi;
2. Timbulnya berbagai aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat
yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran
tersebut dipandang telah melanggar hokum, memecah persatuan nasional dan
menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan
undang-undang ini;
3. Aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi
penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran
pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan, dan aturan ini
melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa;
4. Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (confusius)), undang-undang ini
berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama
tersebut dibatasi kehadirannya.
Pasal 156 a KUHP dalam implementasinya memang menjadi semacam
peluru yang mengancam, daripada melindungi warga negara.111 Sehingga orang
dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Selain itu
juga pasal ini merupakan pasal karet (hatzaai artikelen) yang bisa multitafsir.
Sebenarnya pasal ini bukan hanya bisa digunakan untuk menjerat aliran-aliran
yang menyimpang tetapi juga bisa digunakan untuk memidana aliran-aliran atau
organisasi-organisasi agama yang suka membuat kekerasan, bertindak anarkis
atau versitalisme di dalam masyarakat. Sayangnya, dalam praktiknya pasal
111 Problem penerapan KUHP ini juga dapat dilihat penjabarannya Abdullahi Ahmad An-Na’im
mengenai proses pembentukan hukum di Indonesia, ia menyebutkan sebagai berikut:”Pada saat kemerdekaan,
hukum sebagai objek dan arena kontestasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam debat mengenai peran
isalm dalam negara baru dan mengenai identitas negara baru tersebut. Sistem peradilan Belanda yang
membedakan antara orang Indonesia dan orang Eropa langsung dihapuskan pada saat kemerdekaan. Namun,
secar aumum, materi hukum tidaklah berubah, banyak materi yang diambil dari hukum kolonial. Selama periode
awal kemerdekaan, para pemimpin nasional berusaha melakukan unifikasi sistem hukum guna menegakan
persatuan dan kesatuan bangsa ini dengan membuat satu sistem hukum nasional dan menghapuskan pengadilan
sesat. Akan tetapi, membuat hukum yang seragam bagi negeri ini merupakan hal yang sulit karena
masyarakatnya yang sangat beragam. Akhirnya, sepertinya pada masa penjajahan, setelah merdeka hukum tetap
memilki kategori yang berbeda bagi kelas sosial yang berbeda, hkum kolonial bercampur dengan kepercayaan
agaam dan tradisi lokal, dan pendukung hukum adat tetap mempraktekan hukum warisan kolonial. Terkecuali di
Jawa, proyek sentralisasi dan unifikasi hukum seperti ini menjadi sumber kerusuhan”. Lihat selengkapnya
Abdullah Ahmad Ana’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, hlm. 421.
57
tersebut jarang diterapkan dengan baik oleh penegak hukum untuk melindungi
korban dari pelaku aliran kepercayaan tersebut.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap
sah secara formil, MK juga tidak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa
demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya.
Oleh karenanya UU tersebut secara de facto dan de jure masih legal untuk
dijadikan landasan hukum. Selain itu MK juga tidak sependapat dengan pendapat
UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK
memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan
kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan
untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok
agama. Melihat secara netral bahwasannya UU Penodaan Agama bukan berarti
membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut
MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan penodaan agama.112 Jadi yang
melakukan dengan sengaja di muka umum mengajarkan agama yang menyimpang
terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh
sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD 1945 diperbolehkan untuk menjaga
ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain.
Hal ikhwal bahwa UU tersebut hanya mengakui agama resmi113 dan
diskrimansi terhadap aliran-aliran kepercayaan, MK memberikan pertimbangan
bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama
112Fadhil Sumadi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011 113Agama resmi yang dimaksud adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu. Dasar
diketgorikannya agama tersebut sebagai agama resmi adalah, pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi
historis dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hamper dipeluk oelh penduduk
Indonesia. Lihat UU No. 1/PNPS/1965. Meskipun Agama-agama tersebut merupakan agama ‘impor’ atau
pendatang, akan tetapi agama itu bisa diterima. Hal ini disebabkan agama pendatang itu memilki keunggulan
dalam perlengkapan doktriner dan kenegaraan. Lihat: Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan
dan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1981, hlm. 237.
58
hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah
masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini
kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)
UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut
kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum
administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU
Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945.114
Sebenarnya UU tersebut bukanlah UU yang membatasi kebebasan dalam
beragama tetapi UU itu merupakan manifestasi pengaturan dalam beragama agar
tidak terjadi conflict of interest. Hal itu dibenarakan apabila melihat konsep
kebebasan dalam beragama dalam pemaparan Koshy, ia menyampaikan bahwa
kebebasan beragama memiliki dua penegertian, yaitu religious freedom yang
merupakan konsep yang luas dan religious liberty digunakan dalam konteks yang
spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.115 Dalam ranah yang kedua inilah
mengapa kemudian perlu diatur, hal ini karena berkaitan langsung dengan aspek
fundamental dari kebebasan sipil yang apabila tidak dipenuhi secara proporsional
akan terjadinya pelanggaran. Dalam konteks inilah negara yang harus mengatur
proporsionalitas tersebut.
Selanjutnya adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam UU
ini secara tidak langsung telah memberikan tempat pelaksanaan hukum agama
masing-masing bagi para pemeluknya, yaitu bidang hukum perkawinan. Bagi
114 Moh. Mahfud MD dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011 115 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World, Genewa: WCC Pubications, 1992, hlm. 23.
Persoalan yang berkaitan dengan agama juga dapat dilihat dalam pemetaannya Rousseeau, ia membedakannya
menjadi dua. Pertama, The Religioun of Gospel, agama yang menekankan pada spek moralitas dan
penyembahan kepada Tuhan. Kedua, agama masyarakat, yang kelak disebut sebagai agama sipil, adalah agama
sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa. Agama ini terorganisir dan hierarkis serta terikat dengan dogma-
dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan kepada Negara dan nilai-nilai pengorbanan.
Lihat Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, hlm. 93.
59
pemeluk agama Islam selain tentang perkawinan juga ditetapkan hukum
kewarisan, wakaf dan shodaqoh. Aturan lain di bawah UUD 1945 yang masih
berkaitan dengan kehidupan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan landasan
normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa
diganggu gugat. Dalam pasal 22 di tegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk
agamanya maisng-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan
kepercayaan itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Dalam pasal 8
juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemujaan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa Negara (pemerintah) adalah institusi yang
pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan bekeyakinan dan segala
sesuatu yang menjadi turunannya. Disamping itu, tuntutan untuk menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan internasional
sebagaiman tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Indoensia sebagai negara yang tidak bisa dilepaskan dalam dunia global,
juga telah meratifikasi kovenan tersebut, yaitu melalui UU No. 12 Tahun 2005
Tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Konsekuensi atas ratifikasi tersebut adalah Indonesia mau tidak mau menjadi
negara pihak (state partie) yang terikat dengan isi ICCPR.
Seiring dengan dinamisasi zaman regulasi yang ada di Indonesia yang
mengatur persoalan keagamaan dan kepercayaan juga sedikit mengalami
perubahan, walaupun tidak secara frontal akan tetapi hal itu cukup memberikan
60
warna cerah dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal itu nampak dalam
UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk).
Pada tingkatan tertentu kebijakan ini memberikan peluang kehidupan dan
eksistensi agama serta kepercayaan di luar enam agama resmi secara lebih baik.
Pasal 61 ayat 2 dalam aturan tersebut secara eksplisit meminta negara melayani
kepentingan administrasi kependudukan warga (termasuk KTP) di luar enam
agama resmi dan secara implisit mengakui keberadaan mereka dalam sistem
administrasi kependudukan Indonesia. Sungguhpun situasi ini bukanlah sesuatu
yang ideal, namun setidaknya merupakan perekmbangan yang lebih baik dari
situasi buruk yang telah lama ada sebelumnya.116
Di samping melihat ius constitutum yang sudah ada berkaitan kebebasan
beragama dan berkeyakinan, ada baiknya juga kalau melihat ius cosntituendum
yang sampai saat ini masih dalam pematangan ditangan pemegang institusi yang
berwenang. Dalam Rancangan KUHP (R-KUHP) pasal penodaan agama di
letakan dalam bab tersendiri, yaitu Bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama
dan Kehidupan Keagmaan yang di dalamnya ada delapan pasal. Dari delapan
pasal itu dibagi dalam dua bagian, yaitu :117
a. Bagian pertama, pasal 341-344 mengatur tentang penghinaan terhadap agama
dan pasal 345 mengatur tentang penghasutan untuk meniadakan keyakinan
terhadap agama;
b. Bagian kedua, mengatur tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama
dan sarana ibadah. Bagian ini mnegatur dua hal, pasal 346-347 yaitu tentang
gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan a. Pasal 348 tentang
perusakan tempat ibadah.
116 Bunyi pasal 61 ayat 2 UU No. 23 tahun 2003: Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamnya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak di isi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database kependudukan. 117 IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan......, Op. Cit, hlm. 209.
61
Harapannya memang dalam R-KUHP nantinya mengandung pasal yang
melindungi pelaku dan korban penodaan agama. Bukan hanya berorientasi kepada
pelaku penodaan agama saja, tetapi korban yang seringkali dilupakan juga harus
ikut disentuh dalam R-KUHP tersebut. Sehingga proporsionalitas akan nampak
dalam implementasi hukumnya di lapangan. Pasal yang sudah ada dalam R-
KUHP juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang
atas berbagai masalah keagamaan dan kepercayaan tidak kemudian dituduh
melakukan penodaan agama. Karena menuduh orang melakukan penodaan agama
dan kepercayaan tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun
harus bisa dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan
permusuhan, merendahkan, dan melecehkan agama dan kepercayaan.
Terlepas dari itu semua, yang hukum yang mengatur tentang hak hidup
bagi organisasi atau penganut aliran kepercayaan, bukan berarti memiliki sesuatu
kebebasan yang di luar toleransi bagi keharmonisan kehidupan beragama dan
kepercayaan. Terutama apabila kegiatan penganutnya atau organisasinya
melakukan penyimpangan yang teridentifikasi sebagai aliran kepercayaan yang
menyimpang. Maka selayaknya hal yang seperti itu perlu dibuat mekanisme
pengaturannya.
C. Identifikasi Bentuk-bentuk Intervensi (campur tangan) Negara Terhadap
Kehidupan Beragama di Indonesia
Sebelum masuk dalam pembahasan hal apa saja negara (pemerintah) turut
campur dalam memperhatikan kehidupan beragama di Indonesia. Maka penulis
tegaskan terlebih dahulu konteks ataupun makna ‘intervensi’ tersebut. Harapnnya agar
maksud yang di cerna dalam tulisan ini nantinya sejalan dengan hal-hal yang diurus
62
oleh pemerintah. Poerwadarminta menyebut campur tangan di artikan 1. Izin (untuk
memperhatikan kehidupan beragama-kursif penulis), 2. Kerelaan (mengandung unur
regulasi antara kedua belah pihak). Jadi, campur tangan yang dimaksud adalah
keterlibatan pemerintah terhadap berbagai urusan warga negaranya.118
1. Kegiatan Lintas Sektoral
Kegiatan sektoral yang dimaksud ini adalah yang termasuk di dalamnya
sebagai bentuk hubungan antara warga negara dengan negara-negara atau bangsa-
bangsa lain atau pusat keagamaan yang ada di luar negara Indoensia. Dalam
konteks ini negara sudah ikut campur di dalamnya, secara lugas dapat dilihat
dalam keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri
Kepada Lembaga Keagamaan di Indoensia.119
Kemudian juga terkait dengan pengawasan dan pembinaan pemerintah
terhadap pengembangan agama, maka dapat kita sebut juga bahwa kegiatan lintas
sektoral ikut di dalmnya. Hal ini dapat dilihat dalam keputusan bersama menteri
agama dan menteri dalam negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tentang
Pelaksnaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban
danKelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya.120
2. Pendidikan Agama
Dalam ruang lingkup kementrian agama, salah satu tugasnya antara lain :121
118 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet-Ketujuh, PN. Balai Pustaka, Jakarta,
1984, hlm. 520. 119 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1987. 120 Lihat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969. 121 BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hlm. 113.
63
1. Menyediakan, memberikan petunjuk, serta mengawasi pengajaran agama
dalam sekolah-sekolah negara;
2. Memberikan petunjuk, dukungan dan pengawasan pendidikan dan pengajaran
yang diberikan dalam madrasah-madrasah dan lembaga keagamaan lainnya;
3. Mendirikan sekolah-sekolah untuk melatih guru-guru agama dan untuk pejabat
peradilan agama;
4. Memelihara segala hal yang berkenaan dengan pengajaran agama dalam
ketentaraan, asrama-asrama, serta dimanapun yang dipandang perlu.
Selanjutnya Delliar Noor merinci jenis-jenis pendidikan serta pengajaran
Islam yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya oleh kementrian
agama serta dinas-dinasnya, yaitu 1. Pesantren Indonesia klasik (semacam
sekolah swasta beragama), 2. Madrasah diniyah (sekolah agama), 3. Madrasah-
madrasah swasta (biasanya 35% untuk jadwal pelajaran umum dan 40% untuk
pelajaran agama), 4. Madrasah ibtidaiyah negeri (minimal 6 tahun), 5. Madrasah
ibtidaiyah negeri 8 tahun dengan tambahan ketrampilan-ketrampilan, 6.
Pendidikan teologi tertinggi, pada tingkat universitas (sejak tahun 1960 pola ini
dimasukan dalam IAIN).122
3. Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup beragama merupakan cita-cita bangsa Indoensia yang
sejak lama digagas oleh para founding fathers. Hidup rukun dan saling
berdampingan serta toleran terhadap sesama agama maupun dengan agama lain
merupakan sendi terbangunnya bangsa yang bermartabat dan memiliki tata krama.
Sehingga isu pembangunan nasional dapat terealisasi dengan baik juga salah satu
faktor penunjangnya adalah adanya masyarakat yang saling hormat menghormati,
tolong menolong, dan rasa kegotong royongan yang tinggi di dalam diri
masayarkat Indonesia.
122 Delliar Noor, Administrasi Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 49.
64
Dalam rangka perwujudan dari adanya toleransi beragama ini, pemerintah
(kementerian agama) mengeluarkan beberapa peraturan, antar lain:
1. Keputusan Menteri Agama No. 44 tahun 1978 tentang pedoman penyiaran
agama;
2. Kesepakatan pemuka-pemuka agama provinsi DIY tentang:123
a. Pendirian tempat ibadah;
b. Penyiaran agama;
c. Perkawinan antar agama;
d. Penguburan jenazah;
e. Peringatan hari besar keagamaan.
4. Pembinaan Badan-badan Peradilan Agama
Dalam keputusan rapat kerja Direktorat Pembinaan Badan-badan
Peradilan Agama bersama Ketua dan Panitera Pengadilan Agama tingkat banding
di seluruh Indonesia pada tahun 1976. Hasil rapat tersebut menghasilkan beberapa
poin penting dalam hal pembinaan badan-badan peradilan agama, di antaranya
pembinaan tata laksana peradilan agama , pembinaan sarana peradilan agama dan
pembinaan hukum dan perundang-undangan badan peradilan agama.124
Sebetulnya kesepaktan-kesepakatan tersebut merupakan rangkaian pembinaan
pemerintah terhadap peradilan agama yang selama ini sudah dilaksanakan.
123 Hasil Forum Dialog Pemuka-pemuka Agama Provinsi DIY, 9 Juni 1983, di terbitkan oleh Kanwil
Depag DIY 124 Daniel S. Lev, Badan-badan Peradilan Agama, Cet. Kedua, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 131
65
Ada tiga perkembangan penting yang mendasar, sekaligus merupakan
penyempurnaan-penyempurnaan dalam bidang administratif yang lebih maju dan
dinamis:125
1. Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1979 tentang Perkawinan
dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya tentang perkawinan di Indonesia;
2. Keputusan menetri agama No. 18 tahun 1975 sebagai pelaksana Keppres No.
44 dan 45 tahun 1974 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Agama;
3. Hapusnya inpeksi peradilan agama di daerah-daerah serta penampungan
kembali fungsi pembinaan administratif yang selama ini ada pada inspeksi-
inspeksi tersebut.
5. Pembinaan Aparatur dan Sarana Fisik
Sejalan dengan konsep dasar pandangan pemerintah terhadap agama, dan
pola pembangunan bidang agama yaitu perhatian pemerintah lebih ditekankan
pada peningkatan kualitas sarana.126 Perhatian pemerintah terhadap sarana fisik
peribadatan setidaknya dapat dilihat pada awal tahun 1987 sampai dengan 28
september 1987, ada sekitar 242 unit di 26 propinsi , 156 kabupaten dan 39
kotamadya yang diberikan dana pembangunan untuk sarana fisik.127
Bukti besarnya perhatian pemerintah dalam lingkungan aparatur negara
dan sarana fisik dapat dibaca melalui sejarah. Bahwa pimpinan depatemen agama
sebagian besar adalah tokoh agama dan ulama. Kecenderungan tersebut mulai
berubah pada masa orde baru , sejak tahun 1971 diangkat seorang menteri agama,
seorang ulama yang mempunyai latar belakang akademis yaitu A. Mukti Ali
secara berturut kemudian dipimpin oleh militer pertama yang masuk departemen
agama, yaitu letjen Alamsyah Rauprawiranegara, dan sarjana ilmu sosial politik
125 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Op. Cit, hlm. 141-142. 126 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1967, Cet-
Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 100-101. 127 Ibid
66
dan sekaligus alumnus pondok pesantren yaitu Munawir Syadzali.128 Bukti
tersebut merupakan sebagian besar dari wujud konsesi negara atau pemerintah
dalam masalah agama, yang secara yuridis konstitusional berlandaskan pasal 29
UUD 1945.
Misi pembangunan bidang agama tersebut kemudian di elaborasikan ke
dalam arah dan kebijakan agama, yaitu:129
1. Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral,
spiritual, dan etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar
segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral
agama-agama;
2. Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem
pendidikan agama, sehingga lebih terpadu dan integral dengan sistem
pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai;
3. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama ,
sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati
dalam semangat kemajemukan melalui dialog anatar umat beragama dan
pelaksanaan pendidikan agama secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk
tingkat perguruan tinggi;
4. Meningkatkan kemudahan umat beragama dalam menjalankan ibadahnya,
termasuk penyempurnaan kualitas pelaksanaan ibadah haji dan pengelolaan
zakat, dengan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraannya;
5. Meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut
mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupaan
untuk memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Melihat poin-poin di atas nampaknya campur tangan negara dalam
kehidupan beragama sudah samapai pada taraf peningkatan dan pemanfaatan.
Meskipun dalam realitas kemapanan dan keharmonisan kehidupan beragama
dewasa ini sedang mendapat ujian besar dan di obok-obok oleh oknum yang
kurang bertanggung jawab.
128 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Op. Cit, hlm. 145. 129 Ibid
67
6. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah
Adanya pro kontra keluarnya SKB tersebut merupakan hal yang wajar,
karena sebelumnya memang telah ada pihak yang pro kontra berkaitan dengan
kehadiran Ahmadiyah. Jadi permasalahan yang saat ini harus diperhatikan adalah
bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan SKB yang berisi peringatan dan
perintah tersebut. Hal ini tergantung bagaimana pemerintah, aparat, masyarakat,
pihak yang kontra Ahmadiyah dan Ahmadiyah itu sendiri dalam menyikapi SKB
tersebut. Untuk dapat melihat hal ini, perlu memahami dan mencermati apa saja
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam SKB yang dikeluarkan oleh dua menteri,
yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, beserta Jaksa Agung.
Pertama, berdasarkan isi dari beberapa ketentuan diktum SKB tentang
Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat, maka jelas bahwa SKB ini
ditujukan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, warga masyarakat dan aparat pemerintah dan pemerintah
daerah.
Kedua, apa yang diperingatkan dan diperintahkan serta sanksinya.
Berkaitan dengan hal ini ada 3 bentuk, sesuai dengan subjek atau kepada siapa
peringatan dan perintah tersebut ditujukan. Peringatan dan perintah yang ditujukan
kepada warga masyarakat ada dua macam, sebagaimana diatur dalam diktum
kesatu dan diktum keempat. Diktum kesatu, yaitu memberi peringatan dan
memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-
68
pokok ajaran agama itu. Sementara diktum keempat, yaitu memberi peringatan
dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara
kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat
dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI).
Bentuk peringatan dan perintah pada diktum kesatu, isinya lebih
menekankan agar warga masyarakat tidak melakukan salah satu delik agama,
yaitu delik penodaan agama. Sedangkan bentuk peringatan dan perintah pada
diktum keempat, isinya lebih menekankan agar warga masyarakat, baik yang
kontra maupun yang tidak kontra terhadap Ahmadiyah, tetap menjaga kondisi
yang kondusif dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum
terhadap penganut Ahmadiyah, seperti pengusiran, perusakan rumah dan tempat
ibadah, kekerasan, main hakim sendiri, dan lain sebagainya. Dua peringatan dan
perintah ini harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat secara jelas dan utuh,
sehingga tujuan dari dua peringatan dan perintah tersebut tercapai, yaitu tidak
terulang kembali kasus-kasus seperti Ahmadiyah di masa-masa yang akan datang
dan masyarakat tidak bertindak anarkis, karena negara ini adalah negara hukum.
Dalam SKB tersebut pada diktum kelima, disebutkan bahwa jika diktum
kesatu dan keempat tidak diindahkan, maka warga masyarakat akan dikenakan
sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan sanksi diktum
kesatu dan diktum keempat tersebut diantaranya mengacu kepada ketentuan
kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam KUHP dan UU No. 1 Pnps/1965.
Kemudian peringatan dan perintah yang ditujukan kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
69
sebagaimana diatur dalam diktum kedua, yaitu memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Berikutnya pada diktum
ketiga ditentukan bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua, dapat dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk
organisasi dan badan hukumnya. Sanksi yang dimaksud di sini adalah mengacu
pada Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 UU No. 1 Pnps/1965. Pasal 2 ayat (2) mengatur
bahwa pelanggaran terhadap SKB yang dilakukan oleh organisasi atau sesuatu
aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan
menyatakan organisasi/aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah
Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.
Sementara Pasal 3 mengatur bahwa jika ketentuan Pasal 2 sudah
dilaksanakan, yaitu mengeluarkan peringatan dan perintah melalui SKB dan
Presiden telah membubarkan serta menyatakan organisasi/aliran tersebut
terlarang, namun orang, organisasi/aliran kepercayaan tersebut masih tetap
melanggarnya, yaitu melanggar diktum kesatu SKB, maka orang, penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu
dipidana dengan pidana selama-lamanya lima tahun.
70
Terakhir, diktum keenam, perintah yang ditujukan kepada aparat
pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan
dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
Pelaksanaan perintah yang terakhir ini merupakan ujung tombak dari penegakan
SKB ini, karena akan mengiringi pelaksanaan SKB tersebut, apakah SKB ini
dipatuhi atau tidak.
Berdasarkan identifikasi bentuk-bentuk intervensi yang dilakukan oleh
negara, secara umum dapat dikatakan bahwa sebenarnya hanya pada lingkup
urusan adminstasi keagamaan negara ikut campur tangan dalam mengurusi
aktifitas keagamaan warga negaranya, seperti dalam urusan pemenuhan fasilitas
yang mendukung kelancaran ibadah bagi setiap pemeluk agama. Kemudian negara
juga dibenarkan memberikan batasan berdasarkan United Nation Covenant on
Civil and Political Rights yang sudah di ratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005,
yaitu dalam arti kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan,
mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang,
seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan
mendirikan tempat ibadah yang digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom
to act).
Kebebasan dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat
bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Adapun alasan yang dibenarkan
untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah
semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan
masyarakat), public order (ketrtiban masyarakat), public health (kesehatan
masyarakat), public morals (etika dan moral masyarakat), dan protection of rights
and freedom of others (melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain).
71
Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau
pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia
atau hak milik mereka.130
Secara lebih rinci uraian diatas, maka dapat di jelaskan pentingnya
perlindungan terhadap lima aspek tersebut, yaitu:131
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk
melindungi keselamatan masyarakat). Dibenarkan pemabatasan dan
larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatana
pemeluknya. Conrohnya, ajaran agama yang ekstrim, mislanya menyuruh
untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk
melindungi ketertiban masyarakat). Pembatasan kebebasan
memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau
masyarakat . di anataranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan
hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan
ijin untuk melakukan rapat umum, keharusan mendirikan tempat ibadat
hanya pada lokasi yang diperuntukan untuk umum, dan aturan pembatasan
kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk
melindungi keshatan masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan
dnegan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau [enyakit
lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pmerintah dpaat
mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota
askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC.
Bagaiamana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama
tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan
infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya laranagn terhadap ajaran
agama yang mengharuskan penganuntnya berpuasa sepanjang masa karena
dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi
moral masyarakat). Misalnya , melarang implementasi ajaran agama yang
menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom
of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan
orang lain).
a. Proselytism (penyebaran agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan Proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebabasan
seseorang didalam memanifestasikan agamam mereka melalui
130 Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama, Makalah di sampaiakan pada
acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional
Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007, hlm. 3. 131 Ibid, hlm. 12.
72
aktifitas-aktfitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan
beragama orang lain tidak tertanggu atau dikonversikan.
b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang
lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan,
melarang perbudakan, kekejaman dan juga ekspolitasi hak-hak kaum
minoritas.
Dari uraaian diatas , maka regulasi negara dalam kehidupan beragama
tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan
perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi, untuk tujuan-tujuan
tersebut, negara perlu rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan
hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, btidak
mengajarkan kekerasan kepada siapapun dan dengan alasan apapun, dan tidak
melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.
73
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian seperti yang telah di uaraikan di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, salah satu tujuan negara adalah memelihara
ketertiban dan peradaban, sedangkan fungsinya ialah menciptakan syarat-syarat dan
hubungan yang memuaskan bagi semua warga negara. Hal itulah yang menjadi dasar
akan pentingnya (urgen) negara mengatur aliran-aliran keagamaan yang ada dan
tumbuh berkembang di Indonesia. Sejatinya negara menginginkan adanya kehidupan
yang harmonis di kalangan masyarakat, meskipun adanya aliran-aliran baru yang
muncul. Seperti tercatat dalam sejarah bahwa semasa perkembangan bangsa Indonesia
tidak bisa dilepasakan dari fenomena aliran-aliran keagamaan. Oleh karenanya negara
sebagai pemangku kewajiban memiliki tugas untuk mengatur aliran-aliran
kepercayaan/keyakinan yang muncul tersebut agar tidak menimbulkan konflik antar
satu dengan yang lainnya. Sebagai salah satu tujuan negara untuk meciptakan
kedamaian, maka salah satu perannya adalah mengusahakan dan menjamin ketertiban
atas munculnya berbagai aliran-aliran kepercayaan di Indonesia.
Tujuan negara tersebut juga sejalan dengan amanat internasional melalui
instrumen yang berlaku yaitu konvensi-konvensi internasional, salah satunya adalah
kovenan tentang hak sipil dan politik. Di dalamnya disebutkan bahwa pembatasan
yang terkait dengan keamanan publik menjadi legal, juga dibenarkan pembatasan
untuk melindungi tatanan/ketertiban publik. Alasannya tidak lain karena dalam
beragama/berkeyakinan juga tidak dibenarkan menggunakan cara-cara yang
74
mengganggu kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Hal seperti itulah
yang tidak bisa dibenarkan, sehingga negara diberikan peran untuk mengaturnya
secara netral.
Kedua, konsep kebebasan bergama/berkeyakinan dan pengaturannya apabila
dikaitkan dengan teori HAM, maka akan ditemukan berbagai varian perbedaan yang
berimplikasi pada konsep implementasnya. Kebebasan beragama/berkeyakinan
apabila dilihat dari perspektif HAM universal, maka kebeasan tersebut merupakan
kebebasan yang bebas nilai dan tidak boleh di ganggu gugat oleh siapapun. Hal ini
dikarenkaan kebebasan merupakan nilai fundamental yang telah terpatri dalam
individu manusia. Sedangkan apabila dilihat dari teori HAM relativisme, maka
kebebasan sejatinya harus tunduk pada pakem-pakem yang telah tumbuh berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan konflik di dalam
masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan kebebasan/berkeyakinan seseorang tidak
diperbolehkan melanggar budaya dan norma yang sudah berlaku di suatu negara.
Indonesia dalam posisi ini mendukung paham relativisme HAM. Oleh karenannya
dalam menjalankan kebebasan/berkeyakinan seyogyanya tunduk pada aturan dan
budaya yang berlaku di negara Indonesia tersebut.
Melihat berbagai tafsiran Pasal 29 UUD 1945, maka dapat penulis simpulkan
bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang harus dijadikan dasar kehidupan hukum
di bidang keagamaan. Pasal 29 ayat (1) dan (2). Sila 1 Pancasila dan Pasal 29 ayat (1)
dan (2) adalah dasar dari kewenangan negara dalam mengatur dan mengurusi perkara
keagamaan rakyatnya. Penegasan terkait tafsiran pasal 29 dan makna kebebasan yang
dianut oleh negara Indonesia juga dapat dilihat melalui putusan Mahakmah Konstitusi
(MK). Sebagai lembaga penafsir sekaligus penjaga konstitusi, MK berpandangan
75
bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap
manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich,
melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan
HAM bagi setiap orang.
Aturan-aturan yang menajmin atas kebebasan beragama/berkeyakinan juga
tersebar di berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Misalnya, di dalam
konstitusi pasal 28 e ayat (1) UUD 1945 secara gamblang menjelasakan konsep
kebebasan/berkeyakinan bagi setiap warga negara, pasal tersebut sekaligus
memberikan jaminan terhadap warga negaranya. Selain itu aturan-aturan yang lain
juga muncul dalam peraturan perundang-undangan organiknya, meskipun dalam
aturan-aturan tersebut masih banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dan cenderung
mendiskriminasi kaum minoritas. Akan tetapi terlepas dari aturan-aturan derivasinya
yang bersifat kurang aspiratif dan kurang memihak, yang jelas negara dalam
kapasitasnya berusaha mewujudkan kedamaian dan toleransi antar sesama.
Ketiga, keterlibatan pemerintah terhadap berbagai urusan warga negaranya
terlihat di dalam berbagai aturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan, dan
putusan-putusan. Intervensi tersebut meliputi kegiatan lintas sektoral keagamaan,
pendidikan agama, kerukunan hidup beragama, pembinaan badan-badan peradilan
agama, pembinaan aparatur dan sarana fisik keagamaan.
Apabila dilihat dari isinya, maka bentuk intervensi tersebut terbatas pada
koridor penertiban terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang menjadi wewenang
negara, atau hanya terbatas pada hal yang bersifat administratif, hal itu dimaksudkan
agar berjalan secara teratur dan terkontrol. Seperti yang diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945, negara baru dapat mengintervensi aliran-aliran itu jika
76
terdapat ajaran yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengganggu ketentraman
dan keamanan masyarakat, atau dapat mengancam eksistensi pemerintahan dan
negara.
Kemudian juga intervensi lainnya ialah terkait dengan pengawasan dan
pembinaan pemerintah terhadap pengembangan agama, pertimbangan dikeluarkannya
aturan yang kemudian dikatakan sebagai bentuk intervensi negara adalah adanya tugas
negara (pemerintah) yang berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk
melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau
menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
B. Saran
1. Negara harus bersikap tegas dalam menjamin hak kebebasan
beragama/berkeyakinan bagi setiap warga negaranya. Hak fundamental yang
dimiliki oleh setiap individu untuk bebas memeluk keyakinan yang diyakini harus
terjamin secara utuh. Dalam menjalankan kewajibannya menjaga keamanan dan
ketertiban negara, negara harus besikap netral dan tidak boleh diskriminatif.
2. Aturan-aturan yang ada dan masih berlaku, dan sejauh ini yang dirasa berpotensi
menimbulkan konflik di masyarakat. Maka, kepada pihak yang berwenang
seharusnya kembali meninjau pengaturan itu. Pengaturan tentang eksistensi aliran-
aliran keagamaan tampaknya harus ditinjau ulang.
3. Restrukturisasi peran negara dalam konteks kapasitasnya sebagai ‘wasit’, yaitu
bahwa kewenangan negara itu terbatas pada urusan adminstasi keagamaan, seperti
dalam urusan pemenuhan fasilitas yang mendukung kelancaran ibadah bagi setiap
77
pemeluk agama. Adapun mengenai ajaran dari aliran-aliran keagamaan, negara
tidak dapat ikut mencampurinya, sebab masuk dalam wilayah personal. Bahkan,
jika terjadi perselisihan dalam hal ajaran, itu masih berada pada wilayah
masyarakat yang juga menghalangi negara ikut campur tangan di dalamnya.
negara baru dapat mengintervensi aliran-aliran itu jika terdapat ajaran yang
menimbulkan keresahan masyarakat, mengganggu ketentraman dan keamanan
masyarakat, atau dapat mengancam eksistensi pemerintahan dan Negara. Negara
sendiri tidak boleh menghakimi aliran-aliran itu hanya berdasarkan ajaran-
ajarannya saja, tanpa menganalisis kepada dampak sosial yang akan ditimbulkan.
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdullahi Ahmed An Na’im, Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,
Bandung: Mizan, 2007.
Amirudin Zainal, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta :
PT. Grafindo Persada, 2003.
Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003.
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama
dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan Pascasarjana IAIN Walisongo, 2006.
Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, terjemah oleh Farid Ma’ruf, Cet. I, dari judul asli al-
Akhlaq, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Cet. I, Jakarta, Rajawali Pers, 1990.
Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Lakbang Mediatama,
Yogyakarta, 2010.
Abdullah Ahmad Ana’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan
Syari’ah, 2001.
Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-
1967, Cet-Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
79
Bahtiar Effendy Islam dan Negara, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998.
Suryadi Radjab, Indonesia:Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia dan Transisi
Politik Indonesia, PBHI dan TAF, Jakarta, 2001.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,
Jakarta: Grasindo, 2004.
BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Carl Wellmen, Moral and Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1988.
C.S.T. Kansil, Ilmu Negara: Umum dan Indonesia, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2001.
Djoko Prakoso, Tugas-tugas Kejaksaan di bidang Non Yudisial, Jakarta, Bina Aksara,
1989.
Delliar Noor, Administrasi Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1983.
Daniel S. Lev, Badan-badan Peradilan Agama, Cet. Kedua, Jakarta: PT. Intermasa,
1986.
Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia: Malang, 2007.
Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, Jakarta: PBHI dan
European Union, 2004.
Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern dan Klasik,
Jakarta: Gramedia, 1986.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1973.
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California, California, 1970.
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
80
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Definitions of the term and pharses of
America and English Jurisprudence, Ancient an Modern, St. Paul. West Publishing Co,
Amerika, 1990.
Henry Hardy, Liberty In Law, Oxford University Press Inc, United Kingdom, 2001.
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001.
Ifdhal Kasim dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Bina Cipta, 1982.
Isaiah Berlin, Two Concept of Liberty, Oxford University Press, United Kingdom,
1991.
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, UII Press,
Yogyakarta, 2001.
Jacobsen dan Lipman. Political Science, dalam College Outline Series Barners and
Noble, New York, 1956.
Jay Newman, On Religion Freedom, University Of Ottawa Press, California, 1991.
Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornelly University
Press, Ithaca and London, 2003.
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali
Press, 2002.
81
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayu
Media, 2005.
Joel Feinberg, The Moral Limits of The Criminal law, Volume 4, New York: Oxford
University Press, 1990.
Leslie Lipson, The Great Issues of Politic, An Introduction to Political Science,
Prentice Hall, New York, tanpa tahun.
Masdar F. Mas’udi, “Agama dan Pluralitasnya”, Yogyakarta: Interfidei Institute, 1995.
_______________, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam
di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Manfred Nowak, United Nation Covenant on Civil and Political Rights, USA: N P
Engel Pub, 1993.
Martiman Prodjo H, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Cet-
1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1982.
Mirza Nasution, Negara Dan Konstitusi, USU Digital Library, Medan, 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan
Konsepsional), Jakarta: Penrbit Universitas Indonesia, 2007.
Niels Murder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural
Persistence and Change, Singapore: Sinagpore University Press, 1978.
82
Nicola Colbran, dkk, Freedom of Religion or Belief, The Netherlands: Martinus Nijhoff
Publishers, 2004.
Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World, Genewa: WCC Pubications,
1992.
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet-3, Jakarta: Erlangga,
1981.
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah
Proyeksi, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka
Caraka, 1981.
Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Mendidik Manusia Merdeka:, Yogyakarta:
Interfedei, 2000.
Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta:
Departemen P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK, 1985.
Saripudin HA, Negara Sekular \ Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa,
2000.
Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretarian Negara Republik Indonesia, 1998.
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bharata, 1973
Soehino, Ilmu Negara, Libeety, Yogyakarta, 1980.
83
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus Agama
Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang:RaSAIL Media Group, 2009.
Tonny P. Situmorang, Pandangan Rousseau Tentang Negara Sebagai Kehendak
Umum, USU digital library, Medan, 2004.
Van Dijk dan Van Hoof, Theory and Practice of The Eurpean Convention On Human
Right, Edisi ke-4, USA: Intersentia, tanpa tahun.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet-Ketujuh, Jakarta: Sinar
Harapan, 1990.
Makalah dan Jurnal
Abdul Aziz Dahlan, “Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi”
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993.
Ahmad Baso, “Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed
‘Abed al-Jabiri”, Jurnal Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.
Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran apa
yang bisa dipetik untuk membangun Indonesia? Makalah disampaikan pada Seminar
“Mengkaji Ulang Relevansi Welfare state dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di
Indonesia”, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan
Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli
2006.
Faiq Tobroni, Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965),
84
Jurnal Konstitusi Volume 7, No. 6, Desember 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderl dan
Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi, 2010.
Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama,
makalah disamapakan dlaam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan
oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies
UII, Yogyakarta 6 Februari 2011.
M. John Alexander, Capabilities, Human Rights and Moral Pluralisme, International
Journal of Human Rights, Vol. 8 No. 4.
Stacy Humes Schulz, Limiting Soverignity Immunity in the Age of Human Rights,
Harvard Human Rights Journal, Vol. 21.
Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama, Makalah di
sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP
diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007.
Media Massa
Abd A’la, “Kekerasan Atas Nama Agama”, Harian Kompas, 14 Oktober 1999
PaulaM.aJohnson,aAaGlossaryaofaPoliticalaEconomyaTerm,adalamahttp://www.aubur
n.edu/-johnson/gloss/civil_right_civil_liberties. diakses tanggal 16 Oktober 2010.
Robert D. Cooter, Liberty, Eficency, and Law, Law and Contemporary Problem, Vol.
50, no. 4, hlm.143, dlm http:/www.jstore.org
RelativismeadanaUniversalismeaHAM,ahttp://masahanief.blogspot.com/2010/09/relati
visme-dan-universalisme-ham.html, diakses tanggal 04 Februari 2011.
http://www.aasianst.org/Viewpoints/Nathan.htm, diakses tanggal 04 Februari 2011.
85
Moh.aSyafii,aDiskursusaUniversalismeadanaRelatifismeaKulturalaHAM,adalamahttp:/
/syafiie.blogspot.com/2010/07/diskursus-universalisme-dan-relatifisme.html, di akses tanggal
04 Februari 2011.
LembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaaksesadiahttp://www.mahkamahkon
stitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011.
Fadhil Sumadi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Februari 2011
Peraturan Perundangan, Konvensi Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Right.
UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk).
TAP MPR no. IV, tahun 1978 dan no. II tahun 1983 tentang GBHN, Agama dan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1987.
Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969.
Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-108/J.A/5/1984 tertanggal 15 Januari 1994.
Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pusat Pakem, Nomor 34/Pakem/S.E/61
tertanggal 7 April 1961, perihal instruksi Pembentukan Batasan Pakemdi tiap-tiap propinsi
86
dan di daerah-daerah. Surat ini ditujukan kepada semua Jaksa/Tinggi/Kordinator Kejaksaan
Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 atas Undang- Undang
Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
The European Convention For The Protection of Human Rights and Fubdamental
Freedom.
World Conference on Human Rights: The Viena Declaration and Programme of
Action, June 1993, New York, United Nation, 1993.
Resolusi Majelis Umum PBB 36/55 pada 25 November 1981 tentang penghapusan
Intoleransi dan Diskriminasi Agama.
General Comment Nomor 18: Non Discrimination: 10/11/1989. ICCPR.