HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...

28
16 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Tapa merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bone Bolango. Kecamatan ini terletak pada garis lintang 1,10 derajat Lintang Utara 0,20 derajat Lintang Selatan, 123 derajat 40 derajat Bujur Timur, 120 derajat 20 derajat Bujur Barat dan terdiri atas 7 Desa. Luas wilayah kecamatan Tapa sebesar 64,41 km persegi atau sebesar 3.25 % dari luas wilayah kabupaten Bone Bolango. Kecamatan Tapa terdiri dari 7 Desa yaitu Talulobutu, Talumopatu, Dunggala, Langge, Talulobutu Selatan, Kramat, Meranti. Menurut bagian pemerintah kecamatan Tapa, status pemerintah desa-desa di Tapa adalah swakarya dan swasembada. Jumlah penduduk Kecamatan Tapa pada tahun 2011 adalah 7.447 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk 116 jiwa/Km2. Penduduk Kecamatan Tapa tersebar pada 7 Desa dengan jumlah rumah tangga yakni 1779. Sex ratio atau angka perbandingan antar jenis kelamin penduduk Kecamatan Tapa sebesar 98,38, berarti jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Sebagian besar penduduk di kecamatan Tapa mempunyai kegiatan utama di bagian sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja ini dapat dilihat dari berbagai aspek yakni menurut angkatan kerja dan non angkatan kerja.

Transcript of HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...

16

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Tapa merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di

Kabupaten Bone Bolango. Kecamatan ini terletak pada garis lintang 1,10 derajat

Lintang Utara 0,20 derajat Lintang Selatan, 123 derajat 40 derajat Bujur Timur,

120 derajat 20 derajat Bujur Barat dan terdiri atas 7 Desa. Luas wilayah

kecamatan Tapa sebesar 64,41 km persegi atau sebesar 3.25 % dari luas wilayah

kabupaten Bone Bolango.

Kecamatan Tapa terdiri dari 7 Desa yaitu Talulobutu, Talumopatu,

Dunggala, Langge, Talulobutu Selatan, Kramat, Meranti. Menurut bagian

pemerintah kecamatan Tapa, status pemerintah desa-desa di Tapa adalah

swakarya dan swasembada.

Jumlah penduduk Kecamatan Tapa pada tahun 2011 adalah 7.447 jiwa.

Rata-rata kepadatan penduduk 116 jiwa/Km2. Penduduk Kecamatan Tapa tersebar

pada 7 Desa dengan jumlah rumah tangga yakni 1779. Sex ratio atau angka

perbandingan antar jenis kelamin penduduk Kecamatan Tapa sebesar 98,38,

berarti jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Sebagian besar

penduduk di kecamatan Tapa mempunyai kegiatan utama di bagian sektor

pertanian. Jumlah tenaga kerja ini dapat dilihat dari berbagai aspek yakni menurut

angkatan kerja dan non angkatan kerja.

17

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Sejarah Turunani.

Masyarakat Gorontalo terutama di desa Talulobutu kecamatan Tapa

dulunya sangat sulit untuk menyebut Turunani melainkan kata Sulunani yang

sering diucapkan. Karena dulunya masyarakat Gorontalo masih peka dengan

bahasa Gorontalo asli, sehingga sulit untuk menyebutkan kata Turunani

melainkan yang sering diucapkan hanyalah Sulunani. Pada waktu itu Turunani ini

juga sering digunakan oleh masyarakat setempat untuk melangsungkan upacara-

upacara yang sesuai. Namun dengan adanya perkembangan zaman maka tatanan

bahasa berubah dan Turunani ini sudah jarang digunakan. Ini diakibatkan

pengaruh modern yang masuk di tiap-tiap daerah (wawancara, Yamin H: 31

agustus 2013).

Masyarakat Tapa terutama desa Talulobutu tidak terpengaruh dengan

adanya perkembangan tersebut karena masyarakat Tapa sangat berantusias untuk

mempertahankan keberadaan Turunani tersebut. Hal ini terbukti bahwa

masayarakat Tapa khususnya Desa Talulobutu, masih melangsungkan atau

menggunakan kesenian Turunani ditiap-tiap upacara yang akan dilaksanakan.

Dalam hal ini, Turunani merupakan kesenian tradisi yang diwariskan dari

generasi ke generasi secara turun temurun sehingga kelestariannya tetap terjaga.

Kesenian Turunani ini juga adalah kesenian tradisi yang didalamnya memiliki

instrumen-instrumen, lagu yang nantinya akan dimainkan dalam acara-acara atau

upacara-upacara yang sedang berlangsung sesuai acara yang ditentukan.

Menariknya pada kesenian ini yaitu dilihat dari bentuk pertunjukannya, cara

18

memainkannya, dan suara yang dikeluarkan oleh orang yang melantunkan syair-

syair serta memiliki ciri khas tersendiri baik itu dari segi penyajiannya serta

orang-orang yang terkait pada pertunjukan Turunani tersebut. Pertunjukan ini pun

dapat dipertontonkan dengan secara gratis oleh siapapun, karena pertunjukan ini

merupakan suatu hiburan bagi masyarakat dalam suatu acara-acara atau upacara-

upacara yang akan ditentukan.

Kesenian ini diharapkan menjadi suatu kebanggaan masyarakat daerah

Gorontalo khususnya di Desa Talulobutu dan akan bisa menjadi suatu kebudayaan

yang dapat dilestarikan pada saat ini serta pada generasi-generasi muda yang akan

datang. Karena kesenian ini memiliki esensi sangat dalam yang ada hubungannya

dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kesenian ini pula sudah menjadi suatu

ciri khas daerah Gorontalo. Dengan mengenal secara mendalam kesenian ini, kita

akan memacu pada pengembangan dan peningkatan pembangunan. Namun bukan

berarti akan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Akan tetapi ini semua

menjadi suatu budaya daerah tersebut sebagai alat pengembangan dan

peningkatan pembangunan suatu daerah (wawancara, Yamin Yahya: 8 sept 2013).

Kesenian tradisional ini, khususnya Turunani yaitu memiliki hubungan

yang erat dengan seni musik, karena didalamnya terdapat syair yang akan di

lagukan dan beberapa instrument Rebana yang memiliki pukulan-pukulan sendiri.

4.2.2 Prosesi Upacara Adat Pernikahan Gorontalo

Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama

Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam.

Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu,

19

‘Adati hula hula Sareati – Sareati hula hula to Kitabullah’ yang artinya, Adat

Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi

hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan

masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk tata upacara adat pernikahan

daerah Gorontalo yang sangat bernuansa Islami.

Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai

dengan tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo

Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang

wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya

menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan Tolobalango atau

peminangan. Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh

pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga

pria “Lundthu Dulango Layio” dan juru bicara utusan keluarga wanita “Lundthu

Dulango Walato”. Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui

pantun-pantun yang indah.

Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan

(Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting

mengungkapkan Mahar (Maharu) dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan

selanjutnya. Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka

prosesi selanjutnya adalah Depito Dutu (antar mahar) maupun antar harta yang

terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo

dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, sirih

Kutannya, serta bermacam buah-buahan dan dilonggato atau bumbu dapur.

20

Semua hantaran ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai

perahu yang disebut Kola-Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah

Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya

pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi

tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun

temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup

berumah tangga dunia dan akhirat.

Pada malam sehari sebelum akad nikah digelar serangkaian acara

Mopotilandthu (malam pertunangan). Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an,

proses ini bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan/

menyelesaikan ngajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai surat Lahab.

Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon

mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai

selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya,

sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari

kamar. Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana Molile Huwali (menengok

atau mengintip calon istrinya), dengan tarian ini calon mempelai pria mencuri-curi

pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan

rebana yang diiringi dengan lagu Turunani dan disusun syair-syairnya dalam

bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.

Kemudian sang calon mempelai wanita ditemani pendamping menampilkan tarian

tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya. Tarian ini menggambarkan keberanian

dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak bila berumah tangga.

21

Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan

dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali

ke rumahnya.

Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai

acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalan ikatan pernikahan

yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria

dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati

kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai

tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.

Dari prosesi upacara adat pernikahan di atas, kesenian Turunani ini

terdapat pada tata upacara adat Moponika yang tercantum pada acara

Mopotilanthahu (mempertunangkan) dengan tujuan untuk mengiringi Molapi

Saronde.

4.2.3 Bentuk Pertunjukan Turunani Dalam Upacara Adat Pernikahan

Bentuk seni pertunjukan secara umum bukan hanya dilihat dari satu sisi

tetapi harus keseluruhan sisi yang terkait di dalam seni yang dipertontonkan

tersebut. Keberadaan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat tentunya

memiliki tingkat kedudukan serta fungsi yang berbeda. Maka dari itu untuk

mempertahankan eksistensinya yang memiliki fungsi disetiap kesenian yang ada,

mampu berperan secara kolektif dan aktif dalam peraturan kehidupan yang

terdapat pada kelompok masyarakat tersebut. Artinya jika kesenian tersebut tidak

diberlakukan atau sudah tidak dipertunjukan maka kehidupan masyarakat tidak

22

berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu

kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.

Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat

tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk

yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita

dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan

terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan

pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang

akan dibutuhkan pada pertunjukan.

Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang

sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik

rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o

mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara

Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di

Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di

depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan

karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang

menyelenggarakan acara Turunani).

Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan

alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :

pukulan 3,

22

berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu

kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.

Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat

tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk

yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita

dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan

terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan

pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang

akan dibutuhkan pada pertunjukan.

Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang

sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik

rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o

mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara

Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di

Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di

depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan

karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang

menyelenggarakan acara Turunani).

Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan

alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :

pukulan 3,

22

berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu

kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.

Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat

tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk

yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita

dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan

terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan

pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang

akan dibutuhkan pada pertunjukan.

Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang

sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik

rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o

mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara

Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di

Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di

depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan

karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang

menyelenggarakan acara Turunani).

Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan

alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :

pukulan 3,

23

pukulan 5,

dan pukulan 7

Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi

musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7

yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :

KET : Tak :

Dung :

23

pukulan 5,

dan pukulan 7

Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi

musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7

yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :

KET : Tak :

Dung :

23

pukulan 5,

dan pukulan 7

Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi

musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7

yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :

KET : Tak :

Dung :

24

25

Beberapa menit kemudian salah seorang Bubato berdiri serta melakukan

gerakan jalan di tempat ketika pada bar ke 36 dengan ketukan “tak”. Kemudian

seorang bubato melakukan gerakan melangkah kedepan yang diawali dengan kaki

kanan dan dilanjutkan dengan kaki kiri seolah-olah berjalan menuju ke pengantin

putra. Namun sebelum itu, ketika pada bar 41 seorang bubato berputar-putar

kesana-kemari dengan membawa Tapahula yang berisi selendang dan diletakan

didepan calon pengantin putra disaat ketukan “dung” pada bar 43.

26

Pada bar 45 bubato tersebut langsung berdiri menghadap kekanan dan

langsung berjalan dengan posisi tangan kanan di pinggang sedangkan tangan kiri

di depan dada yang berjarak 30 cm ketika di waktu pada bar 46 sampai pada bar

49. Pada bar 50 bubato masih melakukan tarian dengan bergerak kesana kemari

hinggan sampai pada bar 57.

Pada bar 58 bubato lainnya berdiri dan membuka tapahula tersebut dan

mengeluarkan selendang untuk di gunakan pada tarian. Kemudian bubato tersebut

menari kesana kemari dengan posisi tangan kanan dipinggang sedangkan tangan

kiri didepan dada begitu seterusnya hingga pada bar 69. Namun sebelum itu

bubato tersebut melakukan penghormatan kepada pengantin putra.

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

Dari bar 70 masih tetap melakukan gerakan tarian baik itu dari para bubato

maupun pengantin putra. Namun pada bar 75 2 orang bubato turun langsung

untuk menari sampai pada bar 86. Ini terus dilakukan hingga sampai pada bar 319,

dengan secara bersamaan pula lagu Saronde pun selesai ketika pada bar yang

sama yaitu bar 319 .

Dari bentuk transkip diatas yang memiliki pukulan-pukulan tersebut

adalah bentuk pukulan yang di gunakan pada Turunani. Upacara Molapi Saronde

pun dimulai yang diawali dengan istilah momangu rabana dan secara bersamaan

Turunani pun dimulai dengan pukulan 3 dan syair lagu dengan judul Suluta dan

Saronde. Turunani ini juga didalamnya bukan hanya terdapat pukulan-pukulan

rebana saja, tetapi didalam Turunani ini juga terdapat syair-syair lagu yang bentuk

transkipnya sebagai berikut :

Kemudian masuk pada pukulan 5 dan 7 yang menandakan bahwa Salah

seorang Bubato akan menari didepan calon pengantin putra dan akan

menyerahkan selendang kuning pada pengantin putra dengan menyangkutkan

40

selendang kebahunya setelah Bubato tersebut selesai menari. Pengantin putra

melepaskan selendang tersebut dan memberikan penghormatan dengan

mengumpulkan kedua ujung selandang di depan dadanya pertanda pengantin

tersebut akan memulai menari Saronde. Pada waktu menari, pengantin laki-laki

dapat menari kemana-mana bahkan dapat menari sampai di depan pintu kamar

pengantin wanita sambil melirik pengantin wanita yang duduk di pinggiran

ranjang. Begitu seterusnya hingga lagu Saronde selesai. Pada saat Molapi Saronde

selesai maka, Utoliya Luntu Dulungo Layi’o mopomaklumu (memberi tahu)

bahwa Molapi saronde telah selesai dan akan dilanjutkan dengan mohatamu dan

mopotidi.

Dari bentuk pertunjukan Turunani di atas terdapat instrument-instrument

rebana yang memiliki pukulan-pukulan tersendiri seperti pukulan 3, pukulan 5,

dan pukulan 7. Di sini penulis menyimpulkan bahwa dari ketiga pukulan rebana

tersebut terdapat komposisi-komposisi yang bervariasi sehingga enak untuk

dinikmati bagi pelaku dan penikmat serta menimbulkan suasana yang meriah bagi

kedua belah pihak. Ditambah dengan beberapa orang yang melantunkan syair

dengan judul Suluta dan Saronde yang sering digunakan pada upacara adat

pernikahan khususnya pada acara Hui Mopotilanthahu.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Fungsi Turunani

Berbicara masalah fungsi, berarti kita harus mengetahui dulu jenis serta

kedudukan kesenian tersebut. Turunani merupakan jenis kesenian tradisi yang

lahir dan berkembang dilingkungan masyarakat Gorontalo khususnya masyarakat

41

Tapa. Turunani menggambarkan hubungan kekeluargaan antara bermasyarakat

dalam menjalin suatu ikatan silaturrahmi. Seperti halnya yang dikatakan oleh

seorang ahli bahwa tradisi adalah hal yang tersedia dimasyarakat sebelumnya dan

telah mengalami penerusan turunan-turunan antargenerasi (Caturwati, 2008:1).

Sebuah seni pertunjukan yang tergabung dalam kehidupan manusia

tentunya memiliki keterkaitan dengan manusia itu sendiri. Keterkaitan tersebut

biasanya memiliki konsep tradisi dalam eksistensinya. Seni tradisi yang tumbuh

dan berkembang dalam tatanan masyarakat akan mampu bertahan jika seni

tersebut memilki manfaat dan fungsi bagi masyarakat tersebut. Seperti halnya

kesenian Turunani yang merupakan kesenian yang berfungsi sebagai hiburan,

sebagai iringan dan sebagai sarana ritual yang dalam hal ini untuk memperoleh

keberkahan serta do’a dari yang Kuasa.

Dari bentuk pertunjukan Turunani yang terdapat pada hasil penelitian,

maka peneliti dapat menyimpulkan dengan secara ringkas peranan fungsi

Turunani sebagai bentuk iringan dalam Molapi Saronde yang dalam hal ini dapat

dikategorikan sebagai berikut :

a. Dapat membantu menguatkan suasana dari setiap peradegan yang dilakukan

oleh penari. Karena ini dilihat dari penari yang mengikuti tabuhan-tabuhan

rebana tersebut.

b. Memperjelas dinamika yang definisinya sebagai volume bunyi yang kuat atau

lembut dan perubahan yang berangsur-angsur dari kuat ke lemah atau

sebaliknya. Dinamika tersebut sangat mendukung bagi para penari karena

kalau ditinjau dari tabuhan yang kuat, maka para penari akan terlihat tegas

42

dalam melakukan setiap gerakan. Apalagi ditinjau dari tabuhan yang

berangsur-angsur berubah dari kuat ke lemah ataupun sebaliknya. Ini juga

sangat berpengaruh pada setiap penari melakukan gerakan. Karena dilihat dari

tabuhan yang kuat ke lemah, maka otomatis penari tersebut melakukan gerakan

yang kelihatan tegas ke lembut dan begitupun sebaliknya.

c. Menuntun rasa, perasaan, dan pengungkapan seorang penari.

d. Memperjelas irama, karena dengan adanya terjadinya irama maka mengalir

ketukan-ketukan dasar yang teratur dalam mengikuti beragamnya variasi

tabuhan rebana. Pola irama pada musik memberikan perasaan tertentu pada

setiap insan yang mendengarkan terutama penari, karena pada hakekatnya

irama adalah gerak yang menggerakkan perasaan.

e. Harmonisasi yang merupakan kesesuaian dan keselarasan bunyi dari setiap

instrumen dalam permainan musik kelompok, yang tampil sebagai bentuk yang

utuh, enak didengar dan memenuhi syarat sebagai suatu karya musik. Ini juga

sangat berpengaruh pada setiap penari, karena dari keselarasan bunyi tersebut

maka penari tidak akan terlihat kaku dalam melakukan tarian.

f. Memperjelas daya emosional bagi para pemusik dan penari.

g. Memperjelas intensitas atau tekanan gerak lincah dari calon pengantin putra

sebagai lambang untuk mempertanggung jawabkan rumah tangganya secara

lahir dan batin.

4.3.2 Fungsi Turunani sebagai sarana Ritual dan Hiburan

Fungsi ritual dalam sebuah karya seni sudah tidak asing lagi dibicarakan,

karena seni bersifat secara universal. Tetapi dalam ruang lingkup kesenian tradisi

43

seperti kesenian Turunani yang dilihat dari lantunan syair-syairnya memililki

fungsi ritual bagi kedua belah pihak karena dianggap dapat mendatangkan

keberkahan pada pernikahan serta merupakan do’a bagi kedua belah pihak.

Seni pertunjukan pada umumnya baik pertunjukan seni tari, seni musik,

maupun seni drama pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana hiburan. Hiburan

tersebut bisa berupa hiburan untuk pribadi maupun hiburan untuk masyarakat

secara umum. Seni pertunjukan yang memiliki fungsi hiburan, secara umum

memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan ciri seni yang berfungsi sebagai

sarana ritual ataupun untuk presentasi estetis. Ciri kesenian yang berfungsi

sebagai sarana hiburan tersebut dapat kita jumpai pada kesenian Turunani dimana

dalam proses upacara adat Hui Mopotilanthahu yang berlangsung meriah serta

kedua belah pihak yang terlibat secara langsung dalam pertunjukan tersebut.

Pertunjukan Turunani dalam masyarakat Tapa memberikan dampak positif

terhadap para pelaku, karena pelaksanaan Turunani di tiap-tiap upacara tersebut

berlangsung meriah. Pada dasarnya dengan adanya kesenian Turunani tersebut

adalah berfungsi sebagai sarana hiburan bagi tuan rumah atau bisa jadi dari

keluarga kedua belah pihak, karena tuan rumah atau kedua belah pihak

memanfaatkan kesenian tersebut sebagai sarana untuk meluapkan rasa gembira

setelah melaksanakan Hui Mopotilanthahu. Seperti yang dikatakan seorang ahli

bahwa fungsi hiburan adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa suka ria

rasa gembira dan pergaulan, (Supartha dan Suparjan, 1982:136)