Hasbullah Thabrany - smara.id · Kesehatan Nasional (JKN). Selain merekonstruksi berbagai usulan...
Transcript of Hasbullah Thabrany - smara.id · Kesehatan Nasional (JKN). Selain merekonstruksi berbagai usulan...
Hasbullah ThabranyAgenda Jaminan Sosial
Majalah Digital | https://smara.id | Edisi 1 November 2018
JKN dalam Bahaya?
Aneka Usulan Atasi Kurang Dana BPJS
Sudah seberapa berhasilkah kita diet kantong kresek?
1Smara.id|No 1 Tahun 2018
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini dikenal luas sebagai salah satu penggagas dan konseptor UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Baru-baru ini ia mengambil langkah penting dalam per-jalanan hidupnya : menjadi calon legislatif. Ia terdaf-tar sebagai caleg PDI Perjuangan di Dapil VI Jabar nomor urut 5. Kami mewancarainya seputar “kurang dana” yang dialami BPJS dan juga tentunya bebera-pa rencananya terkait implementasi jaminan sosial.
Lebih Dekat dengan Prof. Hasbullah Thabrany
JKN Jangan Karam
Seturut kehebohan kurang dana yang dialami BPJS, tak ada salahnya kita mengingat kembali ten-tang prinsip, nilai dan konsesus tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain merekonstruksi berbagai usulan untuk mengatasi kurang dana BPJS, dalam ulasan ini Smara juga menyajikan simulasi sederhana seandainya pada awal 2017 dilakukan kenaikan iuran. Sebagai informasi, ula-san khusus tidak selalu disajikan pada tiap edisi.
TILIKAN30-50
ULASAN KHUSUS
8 - 29
MENU UTAMA
Pernak-PernikInfografis | Jendala | Rintisan
Smara, nama majalah ini. Dicomot dari kata dalam bahasa sanseker-ta. Artinya: mengingat. Majalah ini didedikasikan untuk menjadi ruang presentasi bagi individu dengan gagasan atau aktivitasnya. Menu utama Smara adalah Tilikan, yakni wawancara dengan individu-indi-vidu dari berbagai kalangan. Selamat membaca.
Boy S. Alamsyah, Kepala Penyunting
Alamat Redaksi: Jl Bumi Pratama IX Blok N Nomor 14, BHP, Jaktim Tlp: 021-8403253. [email protected] htpps://smara.id
DARI REDAKSI
Smara.id | No 1 Tahun 20182
Halau Galau via Konseling Daring
Mendapat teman curhat yang profesional. Be-
gitu janji riliv.co, sebuah aplikasi layanan konseling
psikologi yang digawangi Maxi (CEO) dan Audi (COO).
Idenya bernas. Menjawab celah kultural berupa
keengganan sebagian kalangan untuk menemui
psikolog dan kebutuhan personal un-
tuk mendapat layanan konseling yang
profesional.
Sebagaimana kekuatan banyak
starup lainnya, riliv.co menawarkan solu-
si dari sisi waktu (fleksibel) dan ekonomi (paket harga
yang lebih murah). Model layanan dapat diakses den-
gan cara membeli paket layanan. Paket dasarnya Rp
100.000 (1x sesi @ 1 jam) hingga Rp 77.000 (12x sesi,
berlaku selama 4 bulan, dibayar sekaligus di awal Rp
924.000,-).
Layanan ini menjanjikan Anda akan mendapat
psikolog yang cocok dan juga teknik konseling yang
paling efektif sesuai kepribadian dan karakter Anda.
Rintisan
3Smara.id|No 1 Tahun 2018
Smara.id | No 1 Tahun 20184
Menjalani dengan hati ketika dunia di
luar sana terobsesi pada yang serba
cepat, serba praktis, serba murah.
Sabu, NTT
5Smara.id|No 1 Tahun 2018
Smara.id | No 1 Tahun 20186
aminan Keseha-
tan Nasional ( JKN)
namanya. Usianya
baru 4 tahun. Meski
masih belia, cobaan-
nya sudah bejibun.
Yang ramai di permukaan
soal kurang dana. Defisit,
istilah yang lebih sering di-
pakai. Kurang dana ini sebe-
narnya bukan sama sekali tak
diprediksi. Dan, sumbernya
juga sudah sama diketahui:
besaran iuran yang tak men-
cukupi karena di bawah per-
hitungan aktuarianya.
Tapi, selain besaran iuran,
ada juga pekerjaan rumah
lainnya: tingkat kepatuhan
peserta membayar iuran.
Dari kalangan kementerian
keuangan, narasinya selalu
sama: efisiensi dan fraud.
Juga soal kompensasi yang
diterima dokter dan tenaga
perawat.
Itu semua bukan soal yang
maha pelik. Selama semua
nya melihatnya sebagai se-
buah sistem sosial yang dia-
manatkan konstitusi, niscaya
berbagai masalah bisa di-
urai.
Yang super pelik itu ada-
lah ketika melihat JKN de
ngan logika pasar industri
kesehatan konvensional. Nis
caya JKN dianggap absurd.
Dianggap sistem yang tak
logis.
Ketika BPJS selaku pelak-
sananya didera berbagai
kesulitan dan kerumitan,
persis di situlah narasi un-
tuk membonsai JKN diam-
diam disemai.
Ya, JKN saat ini jelas masih
butuh perbaikan dari ber-
bagai sisi. BPJS perlu ber-
strategi di tengah berbagai
keterbatasannya. Tapi, men-
gubur JKN harusnya bukan
pilihan.
Alasannya sederhana sa-
ja: JKN merupakan ladang
menyemai ulang kegotong
royongan. Gotong royong,
kata Bung Karno, adalah
saripati Pancasila.
Gotong royong ala JKN
telah mendisrupsi logika
pasar kesehatan nasional.
Kini, semua bisa berobat,
semua ikut urunan biayan-
ya. Banyak yang senang,
ada pula yang meradang.
Bagaimana dengan Anda?
(*)
J
7Ulasan Khusus: BPJS
Ketika berbicara ten-
tang BPJS Keseha-
tan, ada baiknya kembali
mengingat semangat pokok Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Ini penting un-
tuk memilah usulan yang ingin memperkuat JKN
dan usulan yang ingin membonsainnya.
Bagaimanapun, jaminan sosial ini meru-
pakan amanat konstitusi. Lantas,
apa sih maunya JKN?
Smara.id | No 1 Tahun 20188
MENGINGAT LAGI
JKN merupakan amanat konstitusi.
UUD 45 Pasal 28 (H) ayat 3 menyatakan, “Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkin-
kan pengembangan dirinya secara utuh sebagai ma-
nusia yang bermartabat”.
JKN juga merupakan manifestasi negara kese
jahteraan sebagaimana diamanatkan pembukaan
UUD 45 yang menyatakan salah satu tujuan negara
Indonesia adalah, “untuk melindungi segenap bang-
sa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”
JKN bagian dari Jaminan Sosial Nasional
Jaminan sosial terhadap warga diatur lebih lanjut
dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional N0 40 Ta-
hun 2004. Agar jaminan sosial ini dinikmati seluruh
warga maka program jaminan sosial bersifat wajib
agar bisa mencakup seluruh penduduk yang pen-
capaiannya dilakukan secara bertahap.
Selain kesehatan, UU SJSN juga mengamanatkan
jaminan sosial hari tua, kematian, pensiun dan ke-
celakan kerja.
Jaminan sosial dilaksanakan dengan prinsip-prin-
sip sebagai berikut: (a) kegotongroyongan; (2) nirla-
ba; (3)kehati-hatian; (4)portabilitas; (5) peserta wajib;
(6) dana amanat; (7) hasil dana pengolahan diguna-
kan untuk pengembangan program dan untuk sebe-
sar-besarnya kepentingan peserta.
Penduduk Wajib Jadi Peserta
Seluruh penduduk bersifat wajib menjadi peserta
JKN. Konsesusnya, pekerja penerima upah yang kini
telah menikmati jaminan kesehatan melalui pem-
beri kerjanya atau membeli asuransi kesehatan ko
mersial diberi kesempatan bermigrasi setiap waktu
sampai dengan bulan September 2019.
9Ulasan Khusus: BPJS
Perkembangan Jumlah Peserta BPJS
0
50
100
150
200
250
Th 2018*Th 2017Th 2016Th 2015Th 2014
133,3156,8
187,9171,9
203,3
juta
*Per 1 Oktober 2018 | Sumber: BPJS Kesehatan
Prinsip pembiayaannya: asuransi sosial
Semua peserta wajib membayar iuran. Ini meru-
pakan wujud kegotongroyongan di mana yang kaya
membantu yang miskin, yang sehat membantu yang
sakit.
Meski demikian, untuk penduduk miskin, iuran-
nya akan dibayari oleh pemerintah. Iuran ditentukan
berdasarkan upah/penghasian.
Untuk pekerja upahan, iuran ditarik oleh pemberi
kerja dan sebagian diantaranya juga ditanggung
oleh pemberi kerja. Untuk pekerja bukan penerima
upah, besarannya ditentukan berdasarkan nominal
tertentu.
Prinsip layanannya: Ekuitas
Layanan kesehatan perorangan yang dijamin ada-
lah semua layanan atas indikasi medis mencakup
upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitasi.
Maknanya: (1) pencakupan layanan meliputi se-
mua penyakit, termasuk pengobatan penyakit berat
yang biaya layanannya mahal dan; (2) Layanan me-
dis diberikan secara setara tidak membedakan be-
sar iuran yang dibayarkan peserta.
Smara.id | No 1 Tahun 201810
Semua peserta wajib membayar
iuran. Ini merupakan wujud kego-
tongroyongan di mana yang kaya
membantu yang miskin, yang sehat
membantu yang sakit.
Pelaksananya BPJSK
Pelayanan kesehatan terintegrasi dalam BPJS
Kesehatan secara nasional, tidak lagi terpisah-pisah
menurut tempat tinggal atau tempat bekerja. BPJS
bersifat nirlaba dan bertanggung jawab langsung
kepada presiden.
Providernya Faskes Pemerintah & Swasta
BPJS selaku pelaksana JKN membeli layanan kese
hatan yang diproduksi fasilitas kesehatan milik
pemerintah maupun swasta.
Konsensus Pembayaran Manfaat: Prospektif
Pembayaran manfaat layanan kesehatan dilaku-
kan berdasarkan prinsip prospektif, yakni model
kapitasi (berdasarkan jumlah peserta untuk FKTP)
dan kelompok diagnosa penyakit (INA-CBGs) untuk
FKTL. Besaran nominalnya dinegoisasikan dengan
asosiasi terkait dan paling lama tiap dua tahun di-
lakukan penyesuaian.
Konsesus Iuran: Berimbang
Besaran iuran dihitung dengan memperhatikan kese
imbangan dengan pengeluaran untuk pembayaran
layanan. Karena itu kalkulasi besaran iuran harus: (1)
cukup untuk membayar layanan kesehatan; (2) cukup
membiayai dana operasional BPJS secara baik; (3)
ketersediaan dana cadangan untuk mengatasi situ-
asi ketika terjadi lonjakan klaim yang tinggi; (4) keter
sediaan dana pengembangan
program dan peningkatan man-
faat; (5) mampu memupuk dana
amanat agar BPJS dapat mem-
bayar layanan kesehatan sesuai
harga keekonomian. Yang ter
akhir ini penting karena menjadi
stimulus agar ada pemerataan
faskes yang diinisiasi swasta.
11Ulasan Khusus: BPJS
Konsekuensi
Dari paparan di atas ada empat pesan kunci: pen-
cakupan seluruh penduduk, pendanaan utama ber-
sumber dari iuran, pencakupan layanan sesuai indi-
kasi medis dan pembayaran manfaat berdasarkan
harga keekonomian.
Penentuan iuran dan cakupan manfaat merupakan
domain pemerintah. Ketika pemerintah belum mau
menetapkan iuran yang sesuai dengan perhitungan
manfaat maka menjadi kewajiban pemerintah untuk
menyiapkan sumber dana penggantinya (suntikan
dana dari APBN). (*)
FKTP: Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaFKTL: Fasilitas Kesehatan Tingkat LanjutINA-CBGs: Indonesia Case Base Groups.Faskes: fasilitas kesehatanNakes: tenaga kesehatan
daftar singkatan
Disarikan dari Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 dan sumber lainnya
Smara.id | No 1 Tahun 201812
Kategori Peserta dan Besaran Iuran
PesertaIuran Saat Ini Nilai Aktuaria (2015)
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
PBI APBN 25.500 36.000
PPU 5% dari upah
PBPU 80.000 51.000 25.500 80.000 63.000 53.000
BP 80.000 51.000 25.500 80.000 63.000 53.000
PBI APBD 25.500 36.000
• Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran), iurannya dibayar oleh pemerintah;
• Peserta Pekerja 0Penerima Upah (PPU) pegawai negeri/pemerin-tah, pembagian bebannya: 3% pemberi kerja dan 2% oleh peserta; untuk PPU pegawai swasta proporsinya: 4%-1%.Untuk kelas 1 mak-simal patokan upah tertinggi (Rp 8 juta), untuk kelas 2 (Rp 4 juta);
• Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) & Bukan PeKerja (BP) ditetap-kan menurut nominal tertentu;
Dalam skema JKN, iuran merupakan sumber
utama pendanaan. Besaran iuran diten-
tukan secara berkala maksimal dua tahun
sekali. Terakhir, kenaikkan iuran terjadi pada 2016.
Hanya saja, ketika itu besarannya dinilai tak sesuai
nilai aktuaria.
Sumber: Perpres 19 /2016, Perpres 28/2016 dan BPJS
13Ulasan Khusus: BPJS
Pilah-PilihNaikkan Iuran
Menaikkan Iuran PBPU
Peserta kategori ini dianggap pantas dinaik-
kan iurannya karena, pertama, banyak peserta
dari kate gori ini teridentifikasi sebagai peserta
berpenyakit berat. Akibatnya, klaim dari kelom-
pok ini sangat tinggi, melebihi klaim dari peserta
PBI yang secara nominal jauh lebih banyak jum-
Peserta*Jumlah
(juta)RKAT 2017
(triliun)
Pendapatan iuran (triliun)
Kepatuhan mem-bayar iuran (%)**
PBI APBN 92,38 25,50 25,36 99.45
PBI APBD 20,31 4,64 5,21 112.24
PPU - PN 16,67 14,66 13,82 94.28
PPU - BU 28,22 28,71 21,49 74.96
PBPU 25,40 10,38 6,72 64.69
BP 5,00 1,80 1,65 91.73Jumlah 187,98 85,69 74,25 86.85
* PBI (penerima bantuan iuran); PPU-PN (pekerja penerima upah - penyelenggara negara); PPU-BU (PPU badan usaha); PBPU (peserta bukan penerima upah), BP (bukan pekerja).
** Berdasarkan persentase antara RKAT 2017 dengan re-alisasi pendapatan yang diterima BPJS Kesehatan.
Sumber: Laporan BPJS Kesehatan 2017Keterangan
Pendapatan Iuran 2017 Menurut Kategori Peserta
Usulan umumnya, iuran untuk semua kategori pe-
serta dinaikkan sesuai nilai akturia terbarunya. Tapi,
lantaran opsi ini dinilai tak realistis di tahun pemilu,
muncul beberapa alternatif usulan yang dirangkum
dari berbagai sumber berikut ini.
Menaikkan Iuran Peserta PBI
Iuran PBI diusulkan dinaikkan sesuai nilai akturianya
(Rp36.000,-). Tapi, ini adalah perhitungan tahun 2015
lalu. Jadi sangat mungkin nilainya kini lebih besar
dari angka tersebut.
Smara.id | No 1 Tahun 201814
lah pesertanya.
Kedua, sebagian peserta di kategori ini merupa-
kan pekerja profesional seperti akuntan, konsultan,
pengacara yang diasumsikan memiliki pendapatan
tinggi.
Meski demikian, sebagian peserta kategori ini ter
identifikasi dari keluarga miskin atau pekerja infor-
mal yang pendapatannya tak menentu atau ditentu-
kan musim tanam (petani, misalnya).
Karena itu, perlu ada pendataan ulang untuk me-
mastikan peserta yang berhak migrasi menjadi pe-
serta PBI.
Menaikkan Iuran PPU
Peserta kategori ini membayar iuran sebesar 5%
dari dari upah/gaji mereka dengan batasan patokan
upah tertingginya sebesar Rp 8 juta. Usulannya yang
menyeruak adalah menaikkan patokan upah ini, ka-
takanlah hingga Rp 30 juta.
Kenaikan ini diperlukan agar mencerminkan sema
ngat kegotongroyongan dan keadilan. Dengan pato-
kan saat ini, beban iuran peserta yang upahnya Rp
8 juta sama besarnya dengan mereka yang upahnya
Rp 30 juta. (*)
Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu ren-dah), kalau kita bicara dalam konteks jangka pan-jang .
Semakin bertambah peserta, namun iurannya ja-raknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat.
Fami Idris, Direktur BPJS, pada RDP Komisi IX DPR-17 September 2018
15Ulasan Khusus: BPJS
A B C D balai/klinik
14,71 65,05 74,86 13,70 2,23juta juta juta juta juta
juta
150,23 20,29juta juta
Rawat InapRawat Jalan
Menurut Kelas Rumah Sakit
Jumlah Klaim Sejak 26 Oktober 2016*
*Diakses dari inacbgs.kemkes.go.id pada 3 November Pkl 08.45 WIB
170,52Menurut data daring INA-CBGs, sejak 26 Oktober 2016 lalu ada 165,9 juta klaim pero-rangan peserta untuk rawat jalan dan rawat inap di 2.449 faskes.
.
Keluhan terhadap layanan JKN seperti sudah jadi cerita sehari-hari. Tapi, nyatanya, tak sedikit juga yang merasa terbantu dan
tertolong berkat adanya JKN.
Jika mengacu pada semangat JKN, tantangan ke depannya ada-lah meningkatkan kualitas layanan, bukannya mengutak-atik agar
layanan dikurangi atau peserta dibatasi.
0
50
100
150
200
250
Rawat Inap Poli Rawat Jalan RS FKTP
Th 2017Th 2016Th 2015 Th 2014
66,8 100,6 120,9 150,3
49,3
39,8
64,4
21,3
8,7
7,6
6,3
4,2
juta
640,2juta
Jumlah kunjungan
di FKTP dan poli RS
dan kasus rawat inap
di RS selama pe-
riode 2014-2017
Pemanfaatan Layanan Kesehatan BPJS
Sumber: BPJS
Yang Sudah Tertolong, Banyak Loh ...
Smara.id | No 1 Tahun 201816
Suntikan Dana APBN
Ini dianggap usulan yang ideal. Logikanya, jika pemerintah enggan mem-beratkan peserta dan tetap mengharapkan BPJS tidak mengurangi manfaat laya nan yang diterima peser-ta maka wajar pemerintah yang turun tangan.
Modelnya sederhana: alokasi dana APBN se-cara pasti dalam kisaran Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun dalam beberapa ta-hun mendatang. Targetnya, keuangan BJS kuat hingga tak mengikis kepercayaan publik terhadap JKN.
Jadi, tak perlu ada heboh-heboh lagi ketika BPJS alami kekurangan dana. Ini, tentu saja, dibarengi de ngan me-
naikan pembayaran manfaat kepada faskes dan atau na-kes.
Sin Tax
Usulan ini merupakan va-riasi dari kebijakan talangan pemerintah yang menutup kekurangan dana BPJS dari pajak rokok. Usulan ekstrim nya, mengubah alokasi pajak rokok 100% untuk kesehatan (dengan kata lain hak pemda diambil dan mengalokasikan keseluruhannya untuk BPJS saja.
Pilihan lainnya, mengge-ber cukai rokok sehingga tak menganggu jatah pemda. Mengikuti logika pajak rokok sebagai pajak hukuman ka-rena menimbulkan penyakit, ada usulan agar pajak serupa
Selain menaikan iuran, juga menyeruak se-
jumlah usulan lain. Intinya, menggali sum-
ber dana dari pemerintah (APBN) dan juga pe-
serta.
17Ulasan Khusus: BPJS
diterapkan pada kelompok makanan lain yang diang-gap pemicu penyakit de-generatif.
Misal saja makanan ber-natrium tinggi atau men-gandung kadar gula tinggi, makanan bernatrium ting-gi dan kadar gula tinggi. Kedua jenis makanan ini menjadi salah satu pemicu makin besarnya penyakit katastropik seperti jantung, ginjal, diabetes dan lainnya.
Urun Biaya
Usulan ini lebih menga-rah pada penambahan be-ban kepada peserta jika
mendapat layanan tertentu. BPJS, misalnya, pernah me-wacanakan kemungkinan ini dengan sasaran peserta yang menderita penyakit berat seperti jantung, ginjal, kanker dan lainnya.
Jika diaplikasikan me-mang seperti “mengkhi-anati” semangat JKN yang menginginkan layanan pen-gobatan semesta (semua warga dilayani, semua indi-kasi medis ditanggung).
Urun biaya ini secara regu lasi dimungkinkan pada pe-layanan medis yang diduga memiliki peluang terjadinya moral hazzard.(**)
Smara.id | No 1 Tahun 201818
Pesan dasarnya begini:
Pemerintah harus realis-
tis. Jika tak mau menaik-
kan iuran (secara berkala)
dan atau menunjukkan ke-
mauan politiknya dalam
bentuk suntikan dana pasti
dari APBN maka jangan juga
berharap adanya layanan
semesta. Karena itu, risiko
nya harus diterima. Salah
satunya, banyaknya warga
menjadi miskin ketika diri
nya atau keluarganya harus
menjalani pengobatan pen-
yakit-penyakit berat.
Pemangkasan layanan
dapat dilakukan melalui
satu dari dua pendekatan
berikut ini atau mengkom-
binasikannya.
Memangkas Peserta
Layanan kesehatan JKN
dibatasi untuk peserta dari
kalangan keluarga tidak
Argumen dasar dari usulan-usulan pe-
mangkasan layanan sederhana saja: Jangan
besar pasak dari tiang.
mampu. Dengan kata lain,
JKN direduksi menjadi KIS.
Konsekuensinya, warga
yang dinilai mampu harus
mengakses layanan ke se-
hatan dari pembiayaan
sendiri (out of pocket), ter-
masuk membeli dari asur-
ansi komersial.
Memangkas Manfaat
Layanan kesehatan tetap
mencakup semua warga.
Namun, tak semua pengo-
batan sesuai indikasi medis
ditanggung JKN.
Yang eks trim, JKN tidak
menanggung pengobatan
untuk penyakit berat atau
peserta melakukan urun
biaya. Yang lebih moderat,
pengobatan penyakit be-
rat ditanggung sampai taraf
tertentu. Misalnya hanya
kemotrapi pada tingkat per-
tama.(*)
19Ulasan Khusus: BPJS
JKN (Mau)Dibonsai?
Untuk menutup kekurangan dana yang dialami BPJS
pada tahun 2018 ini, pemerintah memilih mengeluarkan
bauran kebijakan selain tetap mengucurkan suntikan
dana sebesar Rp 4,9 triliun.
Mantra baurannya menyasar pada efisiensi, perbai-
kan mekanisme keuangan dan mengurangi fraud (ke-
curangan):
• Mengalokasikan dana dari pajak rokok sebesar 75%
dari 50% dana pajak rokok yang diterima daerah.
• Melaksanakan kebijakan pembelian strategis dalam
melakukan pembayaran ke FKTL atau RS rujukan dan
memperbaiki manajemen kapitasi faskes primer.
• Mitigasi fraud yang di lakukan faskes dalam menga-
jukan klaim.
• Perbaikan sistem rujuk balik.
• Optimasi PMK 209/2017 terkait dana opersional BPJS.
• Optimasi PMK 217/2017 tentang penyelesaian tung-
gakan Jamkesda oleh pemda melalui pemotongan
dana bagi hasil.
• Sinergitas dengan penyelenggara jaminan sosial lain-
nya seperti BPJS kesehatan, Asabri dan Jasa Raharja.
Smara.id | No 1 Tahun 201820
Bauran KebijakanPemerintah
Tarif borongan. Ini
istilah informal
yang merujuk pada
pembayaran layanan ber-
basis kapitasi di FKTP dan
Indonesia Case Base Groups
(INA-CBGs) di FKTL. Ka-
pitasi dan INA-CBGs meru-
pakan model pembayaran
yang bersifat prospektif.
Dalam kasus kapitasi,
misalnya, pembayaran di-
dasarkan jumlah peserta
yang terdaftar di FKTP,
tanpa memandang tinda-
kan medis yang dilaku-
kan. Menurut Permenkes
No 52/2017, besarannya
dipengaruhi jumlah dok-
ter dan dokter gigi yang
dimiliki FKTP, rentangnya
antara Rp 3000 sd Rp 8.000
(puskesmas), Rp 8.000 – Rp
10.000 (klinik pratama) dan
Rp 10.000 (RS tipe D).
Untuk INA-CBGs, besar
tarif didasarkan pengelom-
pokan diagnosis penyakit
dan prosedur. Besarannya
dipengaruhi tipe dan klaster
rumah sakit dan juga pen-
gelompokkan faskes menu-
rut wilayah.
Sebagai ilustrasi (men-
gacu pada PMK No52/2017),
pencangkokan hati (berat)
di RS kelas A pemerintah,
tarifnya untuk kelas 3 Rp
127,439,300. Sementara un-
tuk kasus yang sama di RS
swasta kelas A di regional
yang sama (regional 1), tar-
ifnya sedikit lebih mahal (Rp
131,262,500).
Meski demikian, juga ada
tarif non-kapitasi seperti
penggunaan ambulans atau
layanan rujuk balikmisalnya.
Juga ada tarif non-INA CBGs
untuk layanan seperti obat
kemoterapi, petscan atau
CAPD, misalnya.
21Ulasan Khusus: BPJS
MenyoalTarif Borongan
Sejak awal, tarif borongan ini
sudah jadi polemik. Model pem-
bayaran prospektif memang ung-
gul dalam mengontrol kendali
biaya dan mutu, termasuk untuk
meminimalisasi fraud. Tapi, di sisi
lain, dianggap membatasi ruang
dokter dalam menetapkan tinda-
kan medis, termasuk dalam pe-
nentuan obat yang diberikan.
Dari sisi ekonomi, kapitasi dan
INA-CBGs dianggap merugikan
faskes dan tenaga medis karena
nilai tarifnya di bawah tarif rumah
sakit. Meski begitu, beberapa
studi menunjukkan ada variasi
soal ini.
Dumaris (2005), misalnya,
dalam penelitiannya di RS Budi
Asih Jakarta menemukan, 72,9%
kasus rawat jalan yang diteliti me-
miliki selisih positif yang berarti
tarif RS lebih kecil dari tarif yang
ditetapkan INA-CBGs. Tarif hemo-
dialisa, misalnya, 100% selisihnya
positif, sementara untuk kasus
klinik gigi 92% diantaranya ber-
selisih negatif.
Sebaliknya, temuan Muslimah
dkk (2017) dalam penelitiannya di
RS Bethesda Yogyakarta menun-
jukkan tarif INA-CBGs tidak men-
cukupi untuk biaya perawatan
pasien stroke iskemik baik yang
rawat inap maupun rawat jalan.
Para pendukung tarif boro
Smara.id | No 1 Tahun 201822
ngan menyebutkan, pola pem-
bayaran ini menuntut peruba-
han cara pandang. Perbandingan
harus dilakukan secara agregat
(pendapatan operasional RS se-
cara keseluruhan) dengan jum-
lah klaim yang diajukan. Sebab,
tarif INA-CBGs masih menerap-
kan sistem subsidi silang antar
kelompok diagnosis penyakit.
Kunci bagi faskes untuk dapat
laba adalah efisiensi. Misal saja
penggunaan obat generik dan
atau penanganan pasien yang
tepat. Sebab dalam sistem tarif
borongan, kalkulasi biaya dian-
daikan untuk jangka waktu ter
tentu.
Jika faskes mampu memu-
langkan pasien di bawah batas
waktu yang ditetapkan, misalnya,
faskes akan mendapat untung.
Ini salah satu celah yang me-
mungkinkan terjadinya fraud.
Dalam kasus lain, sering ter-
dengar pasien tidak mendapat
obat dalam jumlah memadai
hingga jadwal kontrol berikutnya
atau terpaksa membeli sendiri.
Ini utamanya pada obat-obat
yang tak masuk dalam fornas
dan karenanya tak bisa diklaim
oleh faskes.
Masalanya, meski faskes bisa
untung, belum tentu itu meng
alir ke tenaga kesehatan. Dus,
ini soal tentang penetapan ke-
layakan renumerasi bagi dokter,
perawat, staf dan manajemen di
faskes. Selain itu, juga ada isu
soal penetapan tarif INA-CBGs
yang dianggap kurang setara
antar kelompok spesialis.
Merespon masukan dari para
dokter, Kemenkes terus men-
gevaluasi dan mengubah pene
tapan tarif borongan ini agar
sesuai/mendekati harga keeko-
nomian.
Tapi, jangan abaikan pula
adanya dorongan dari sebagian
kalangan untuk kembali pada
sistem retrospeksi, pembayaran
berdasarkan jasa medis yang di-
lakukan (fee for service).
Seperti disebut di atas, ala-
sannya tak sekadar ekonomis,
tapi juga klinis. Dokter merasa
terkekang untuk memberi pen-
gobatan yang optimal karena
ada berbagai pembatasan dari
mulai obat hingga peralatan.
Karena posisi pemerintah
tetap akan tetap mempertahan-
kan pola tarif borongan, maka
perbaikan formula (besaran tarif
dan atau pengelompokan diag-
nosa) jadi penting. Bagaimana-
pun, aspirasi faskes dan tenaga
medis harus di dengar karena
mereka pilar penting dalam me-
nentukan keberhasilan JKN (*)
23Ulasan Khusus: BPJS
Kenaikan (Penurunan) Aset Neto DJS (triliun)
2014 2015 2016 2017
Pendapatan Iuran 40.72 52.78 67.40 74.24
Beban Jamkes 41.29 56.31 67.25 84.44
Selisih -0.57 -3.53 0.15 -10.2
Pendapatan Iuran dan Beban Jamkes (triliun)
Sumber: Laporan BPJS Kesehatan
Seberapa besar kurang dana yang dialami BPJS se-
laku pelaksana JKN?
Jika mengacu pada laporan Pendapatan dan Be-
ban Dana Jaminan Sosial, pendapatan iuran selalu lebih
rendah dari pengeluaran untuk membayar layanan, kecuali
pada 2016.
Sumber: Laporan BPJS Kesehatan
2014 2015 2016 2017
Pendapatan Total 41.51 53.04 67.58 74.62
Beban Total 44.82 61.41 73.0 92.82
Selisih -3,31 -8.37 -6.32 -10.2
Kumulatif -3.31 -11.68 -17.99 -36.20
Kurang Dana, Seberapa banyak?
Secara kumulatif, selisih aset neto DJS negatif sebesar
Rp Rp 36,2 triliun. (suntikan dana dari pemerintah tidak hi-
tung dalam pos pendapatan di luar iuran). Total suntikan
dana pemerintah 2014-2016 ke BPJS yang diteruskan ke
DJS sebesar Rp12,3 triliun, jelas jauh dari cukup.
Smara.id | No 1 Tahun 201824
25Ulasan Khusus: BPJS
Seperti kata pepatah, nasi sudah jadi bubur. Dana
Jaminan Sosial alami kurang dana. Tapi, tetap tak
ada salahnya untuk membuat simulasi pendapatan
dan beban BPJS seandainya pada tahun 2017 diber-
lakukan kenaikkan iuran peserta dengan besaran/
formula yang mengikuti usulan sejumlah kalangan.
Utak-Atik Iuran BPJS
Smara membuat simu-
lasi sederhana terhadap
pendapatan dan beban
Dana Jaminan Sosial (DJS) tahun
2017 jika besaran iuran dinaik-
kan. Dalam hal ini, penerimaan
yang berasal dana suntikan dari
pemerintah yang tercatat dalam
laporan keuangan tidak diserta-
kan.
Kondisi pertamanya diandai-
kan seluruh iuran BPJS naik ser-
turut nilai aktuaria (Kondisi 1).
Hasilnya, DJS masih meng ala-
mi kurang dana sebesar Rp 2,4
triliun. Nilai ini jauh di bawah pe-
nurunan aset neto riil yang men-
capai Rp 18,2 triliun (total peneri-
maan – total beban).
Dengan semangat keadilan,
iuran PBPU disesuaikan dari
perhitungan nominal menjadi
persentase dari upah/pendapa-
tan sepertinya hal PPU. Hasilnya,
kurang dana yang dialami lebih
rendah sedikit dari kondisi 1. Per-
sisnya menjadi Rp 2,1 triliun.
Kondisi 1 dan 2 bisa lebih baik
Smara.id | No 1 Tahun 201826
(berimbang atau surplus) jika
tingkat kepatuhan peserta bisa
ditingkatkan. Terutama sekali
untuk kategori PBPU (“tingkat
kepatuhan”-nya 64%) dan PPU
Badan usaha (74%).
Kondisi yang mencukupi
terjadi kalau prinsip “yang
kaya bantu yang miskin,
yang sehat bantu yang sakit”
diimplementasikan dengan
menyesuaikan batas pato-
27Ulasan Khusus: BPJS
kan upah tertinggi baik di PBPU
maupun PPU (Kondisi 3). Jika ini
dilakukan, akan ada kelebihan
dana sebesar Rp 15,64 triliun.
Secara rerata, nominal iuran
sebesar Rp 300 ribu (kelas 1) dan
Rp 150 ribu (kelas 2) untuk PPU/
PBPU tetap jauh lebih rendah
dan lebih berdaya jamin (men-
dapat pengobatan penuh sesuai
indikasi medis) dibandingkan
jika membeli asuransi komersial.
Nilai plusnya, bisa membantu
orang lain, entah itu tetangga,
kerabat atau warga lainnya tak
dikenalnya.
Tapi, harus diakui, kondisi 2
dan 3 cukup kompleks untuk di-
implementasikan. Faktor akurasi
data untuk mengetahui besa-
ran pendapatan peserta PBPU
dan juga keberatan dari pemberi
kerja (khususnya dari badan us-
aha untuk PPU) maupun peserta
mandiri (PBPU).
Selain itu, peningkatan pato-
kan upah tertinggi untuk me-
nentukan besaran iuran juga
akan mendorong korporasi yang
masih menerapkan kebijakan
asuransi ganda (BPJS dan swas-
ta) akan beralih sepenuhnya ke
BPJS saja. Ini tentu saja kondisi
yang tak diharapkan bagi pelaku
asuransi komersial.
Yang paling ‘realistis’ adalah
pemerintah memberikan sunti-
kan dana (kondisi 4) jika merasa
kenaikan iuran bakal memberat-
kan peserta. Besaran Rp 30 triliun
per tahun akan memberi ruang
bagi BPJS dan sekaligus memas-
tikan tidak ada pemangkasan
layanan sebagaimana dimaui
Presiden Jokowi.
Kondisi 4 dan lebih-lebih
kondisi 3 memungkinkan adanya
perbaikan tarif borongan (kapi-
tasi dan INA CBGs) yang sesuai
atau mendekati nilai keekono-
mian. Dengan begitu, keberlang-
sungan JKN juga terjaga (*)
Smara.id | No 1 Tahun 201828
” kalimat ini selalu diselip-
kan Ustad Asep menjelang
akhir ceramahnya. Pesan dia
sederhana.
Ia mengajak jamaahnya
menjadi peserta BPJS dan
rajin bayar iuran. Karena hal
itu bisa dianggap sebagai
bentuk sedekah, membantu
orang lain. Termasuk mem-
bantu dirinya yang didiagno-
sa dokter mengalami pem-
bengkakan jantung.
Narasi Ustad Asep mere-
fleksikan prinsip dasar JKN:
yang kaya bantu yang miskin,
yang sehat bantu yang sa
kit. Ia menyentuh jamaahnya
dengan bahasa yang dipaha-
mi bersama: sedekah. Untuk
audiens lainnya, tentu perlu
disesuaikan lagi pesannya.
JKN sebenarnya berada
dalam momen yang tepat.
Lebih dari sebelumnya, kini
semangat berbagi/meno-
long orang lain menjadi hal
diinginkan. Meski tak bermak-
sud riya, ada perasaan bangga
ketika seseorang ikut berdo-
nasi. Misal saja melalui akubisa.
com atau layanan luring lain-
nya.
Dan, inilah yang menja-
di tantangan BPJS ke depan:
bagaimana membuat orang
merasa bangga menjadi pe-
serta JKN; bagaimana peserta
merasa bangga karena rajin
membayar iuran.
Saat ini harus diakui, asosiasi
yang melekat pada JKN relatif
minor: layanan gratisan dan la
yanan bermutu rendah. Sebagai
pasien, peserta JKN tak pelak
merasa infrerior. Asuransi sosial
harusnya bisa jadi modal untuk
menbangun asosiasi yang lebih
positif terhadap JKN.
Ini mungkin bukan soal
mendesak di tengah berbagai
persoalan terkait kurang dana.
Tapi, terlalu riskan untuk dia-
baikan. (*)
“Ibu-ibu, ngiringan BPJS. tong telat mayar
na. Etang-etang sedekah . Silih bantuan. Al-
hamdullilah pisan, ka angge ku abdi mah,”
Memoles Narasi JKN
29Ulasan Khusus: BPJS
LEBIH DEKAT DENGAN
Smara.id | No 1 Tahun 201830
Namanya sempat ramai diperbincangkan pub-
lik pada 2016 ketika merilis temuan survei ten-
tang rokok. Pokok kehebohannya berpangkal
dari temuan bahwa sebagian besar responden dalam
penelitiannya mengaku akan berhenti merokok jika
harga rokok sudah menyentuh Rp 50 ribu.
Dia adalah Hasbullah Thabrany, putera asli Betawi
kelahiran 1954 silam. Guru Besar Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI ini dikenal luas sebagai penggagas dan
pembela pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia.
Dari awal, ia telah mengusulkan model asuransi sosial
sebagai fondasinya sebagaimana diterapkan di ban-
yak negara Eropa Barat, dan bukannya mengacu pada
Amerika Serikat (sebelum adanya Obamacare) yang
bertumpu asuransi komersial.
Ia juga termasuk yang gigih mengusulkan agar Badan
Pelaksana Jaminan Sosial merupakan lembaga nirla-
ba dan bukan BUMN.
Terkait pencalonan, pilihannya berlabuh di PDIP seper-
ti meneruskan tali hubunaan yang pernah dilakoninya
ketika menyusun RUU SJSN ketika Megawati menjadi
presiden.
Di PDIP, dirinya ditempatkan di dapil 6 Jabar. Urutan
5. Dua teratasnya adalah petahana. “Ya, saya usaha
saja,” ujarnya mengomentari peluangnya terpiilih.
Di temui di kediamannya di bilangan Condet, Jakarta
Timur, Prof Hasbullah memaparkan sejumlah panda
ngannya tentang JKN dan juga jaminan sosial lainnya.
Hasil wawancara tersebut disajikan dalam tiga tulisan
terpisah.
31Wawancara:Hasbullah Thabrany
Menyusul ramainya pembicaraan soal kurang dana BPJS, muncul berbagai usulan untuk meng atasinya. Di antara berbagai usulan tersebut, ada yang bisa dianggap ingin mereduksi sema ngat sistem jaminan sosial, entah itu membatasi peserta JKN atau membatasi layanan kesehatan yang diberikan. Bagaimana tanggapan Prof?
Banyak orang yang modelnya hanya ngomong
berdasarkan sudut pandang masing-masing. Mere-
ka tidak melihat kepentingan jangka panjangnya
se perti apa, tak juga memahami konsekuensi (dari
usulannya). Banyak yang melihat sesuatu dari kepen
tingan jangka pendeknya saja. Bahkan, walaupun
tak paham duduk persoalannya, tapi tetap ngomong
saja. Celakanya, tak sedikit akademisi juga tak pa-
ham konteksnya, tapi tetap ngomong.
Jadi, tidak heran banyak omongan tidak berba-
sis pada masalah yang sebenarnya. Usulannya juga
tak berbasis pada sebuah konsep yang mendasa-
ri visi dan misi UUD kita. Nah, ini tantangan di ne-
gara yang baru berdemokrasi. Negara demokrasi
itu membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu dari
masyarakatnya. Tapi karena belum terpenuhi, ya
akhirnya seperti ini, he he he ...
JKN Perlu Diperkuat
Prof. Hasbullah Thabrany:
Smara.id | No 1 Tahun 201832
Jadi begini, masalah defisit itu bukan karena
cakupan (layanannya) terlalu luas, bukan masalah
karena semua orang dihimpun. Masalahnya, sejak
awal iuran yang ditetapkan tidak mencukupi. Dan,
masalah ini sudah di ketahui oleh sebagian pejabat
pemerintah di Kemenkes, Kemenkeu ataupun BPJS.
Cuma saja, ini jadi masalah politik. Tak heran kalau
banyak orang yang asal bicara saja, yang penting
bisa tersebar omongannya itu. Bisa jadi seperti Anda
bilang tadi, memang ada orang yang ingin meng-
hancurkan (JKN). Mungkin saja ada yang seperti itu.
Nggak suka. Tapi yang jelas, masalahnya dari awal
iurannya memang kurang.
Ilustrasinya seperti ini. Misal saja kita mau makan
di warung padang. Ada 10 orang yang mau ikutan.
Sudah kita hitung-hitung supaya pada kenyang tiap
orang patungan Rp 50 ribu. Tapi kemudian ada yang
bilang Rp 30 ribu saja. Sudah pasti nggak semuanya
kebagian. Sederhana saja, duitnya jadi tidak cukup.
Nah, masalahnya di situ saja sebenarnya.
Jadi, masalahnya ada di pemerintah ya?
Betul. Political will-nya pemerintah bukannya tidak
ada. Tapi menurut saya, sorry to say, pemerintah
kurang objektif. Political will-nya tinggi karena ingin
seluruh rakyat dijamin, tapi harusnya objektif juga
berapa dana yang dibutuhkan untuk itu. Dengan duit
yang cuman segitu tapi mau semua, ya jelas tidak
bisa. Ini nggak realistis.
Tapi, ini juga karena masyarakatnya kita tidak mau
membayar iuran yang realistis. Malah maunya gratis,
tak usah bayar. Karena (pejabat) pemerintah meng-
inginkan dukungan masyarakat atau tidak ingin
menimbulkan rekasi dari masyarkat, akhirnya diikuti
saja. Maunya populis, akhirnya ya begini. Political
will-nya ada, tapi tidak realistis.
Apa mungkin karena masukan ke presiden tak
Political will pemerintah tinggi tapi tidak realistis
Masalahnya, sejak awal iurannya tidak mencukupi
33Wawancara:Hasbullah Thabrany
memadai atau tidak tepat?
Kalau menurut saya, masukan yang diberikan
mungkin banyak. Tapi, mungkin juga ada yang mem-
belokkan, saya tidak tahu persisnya seperti apa.
Saya tidak tahu apa Presiden paham tentang (JKN)
ini. Dia punya pengalaman di Solo, mungkin dulu
cukup, tapi bisa jadi dia tak paham konteksnya saat
ini. Ini wajar saja sebenarnya karena dia bukan orang
ke sehatan.
Orang kesehatan pun belum tentu paham. Menkes
pun belum tentu menguasai seluruhnya. Ini bukan
cuma urusan kesehatan, tapi juga urusan ekonomi,
urusan sistem. Saya kira masalahnya ada di situ.
Masalah komunikasinya yang jadi problem besar.
Seandainya nanti terpilih jadi legislator, isu ke-bijakan apa yang mau diperjuangkan?
Karena masalahnya di komunikasi, ada ketidaksa-
maan pemahaman terhadap informasi, maka saya
akan mendorong pembuatan regulasi yang clear,
yang detil. Kita akan ramai dalam membuat dan
membahas RUU itu, tapi selepas itu, orang yang
melaksanakannya bisa jalan.
Seandainya terpilih, saya akan dorong revisi UU
agar urusan iuran menjadi jelas, tidak gampang di-
kutak-katik. Kita akan hitung dari awal kebutuhan-
nya berapa. Nah, kelirunya saat ini, besar iuran tak
masuk dalam UU, hanya di perpres. Masalahnya,
yang menyusun perpres bisa jadi tidak paham kon-
teksnya, tidak paham sejarahnya dan hanya melihat
kepentingan sesaat saja. Akibatnya, jadi begini terus.
Capek.
Kalau masuk dalam UU, besaran iuran bisa stag-nan atau nanti diatur dengan memperhatikan in-flasi?
Tentu saja dibuatnya tidak begitu. Ada skema. Mi
salnya, iuran 6% tanpa batas upah tertinggi. Seka-
Smara.id | No 1 Tahun 201834
rang kan masih ada batas. Dengan begitu bisa meng-
hasilkan dana yang cukup. Dan, tiap tahun disesuai-
kan minimal 10%-12% di atas inflasi karena laju biaya
kesehatan selalu lebih tinggi dari laju inflasi.
Jadi, Insya Allah, menjadi lebih jelas. Sekali kita
menetapkan iuran yang memadai, ke depannya
akan terus cukup. Tidak seperti sekarang ini, tiap ta-
hun (ribut) begini-begini melulu.
Dalam upaya mengejar harga keekonomian, di mana titik berhentinya?
Harga keekonomian itu dinamis, jadi tiap tahun
akan ada penyesuaian. Tapi, kita bisa pagari dalam
UU hingga fluktuasinya tidak membuat masalah
yang besar. Jika diandaikan, ya seperti tarif pener-
bangan. Ada batas bawah dan batas atasnya. Fluk-
tuasi iurannya ada dalam koridor tersebut.
Yang mengherankan sebenarnya, kalau untuk uru-
san subsidi BBM bisa tidak berdebat. Subsidi BBM,
listrik dan gas itu mencapai Rp 157 triliun. Setuju tuh
35Wawancara:Hasbullah Thabrany
DPR. Giliran untuk JKN/BPJS, ada defisit Rp 13 trili-
un saja tidak mau ambil dari cukai rokok. Aneh, kan?
Tapi, ya, ini karena sudah jadi masalah politik, bukan
masalah teknis lagi.
Di beberapa kesempatan, Prof menyebut dokter dan perawat sudah jadi korban politisasi JKN. Seandainya nanti terpilih, apa rencana isu-kebi-jakan yang mau diperjuangkan untuk menaikan posisi tawar mereka?
Saya sih sederhana saja. Kita buat sistem yang
adil. Pasien kita lindungi karena itu hak warga nega-
ra. Apapun yang kita lakukan dalam sebuah negara
selalu mengacu pada UUD dan UUD 45 menyatakan
warga negara berhak atas layanan kesehatan.
Tapi, untuk mendapatkan pelayanan yang keseha-
tan yang baik, para pelakunya – dokter, perawat –
harus juga dibayar dengan memadai. Kalau sudah
bayarannya memadai, ya, jangan ‘nakal-nakal’.
Dan, pasien juga harus diberi pemahaman, untuk
mendapat layanan yang memadai ya ada ongko-
snya. Pasien punya kewajiban yang harus dipenuhi
jangan hanya mau haknya saja. Untuk itu, saya akan
ajukan UU baru soal perlindungan pasien dan tena-
ga kesehatan.
Oh, itu digabung dalam satu UU?
Ya, kita akan ga-
bung, tidak bisa satu-
satu. Pasien terlindungi
kalau tenaga kesehatannya terjamin (kesejahteraan-
nya). Kalau nakes tidak terlindungi atau tidak bagus
kesejahteraannya, pasiennya pasti tidak terlindungi.
Nah, ini yang belum diatur rapih. Dengan cara ini, In-
sya Allah, akan jalan.
Tapi semua pihak harus paham, setiap usaha, se-
Saya akan ajukan UU baru soal perlindungan pasien
dan tenaga kesehatan.
Smara.id | No 1 Tahun 201836
tiap kualitas ada biayanya. Saya sudah hitung-hi-
tung, kita sanggup tanggung biaya itu sama-sama.
Hanya saja karena orang tidak melihat potensinya,
ya pikirannya jadi selalu merasa tidak bakal sang-
gup.
Beberapa waktu lalu Prof sempat mengusulkan suntikan dana sekitar Rp 20 triliun – Rp 30 triliun untuk menambal keuangan BPJS jika secara poli-tis menaikan iuran itu tak memungkinkan. Itu da-nanya berasal dari APBN semua?
Ya, full dari APBN. Persoalan APBN mengambill
dari mana, sumbernya banyak kok. Modelnya, ada
alokasi dana sepertinya untuk pendidikan.
Ilustrasi seperti ini. Subsidi untuk gas elpiji itu 70
triliun. Apa semuanya dipakai sama orang miskin itu
gas? Tidak, kan. Banyak juga sama pedagang. Jadi
kita harus pandai hitung-hitungan, dong.
Katakanlah, ternyata tidak ada sumber dana baru.
Kita tinggal lihat saja, mana (subsidi) yang perlu,
mana yang tidak (perlu).
Yang kedua, memangnya pajak kita sudah opti-
mal? Masih banyak tidak bayar pajak. Kalaupun ba-
yar, juga masih ada yang ngakalin mengisinya agar
bayar pajaknya tidak be-
sar.
Terkait pajak ini, di segmen PBPU kan ada kalangan profesional seperti pengacara, no-taris, konsultan atau lainnya. Ada usulan agar peserta kateogri ini tar-ifnya diubah dari nominal menjadi persentase dari pendapatan/upah.Tapi ini, mengandaikan ada lintas data dengan dirjen pajak.
kalau di-link ke pajak itu benar sekali. Di nega-
ra-negara sudah berjalan program seperti JKN, pu
Kalau dokter dan perawat tidak terlindungi atau tidak bagus
kesejahteraannya, pasien-nya pasti tidak terlindungi.
37Wawancara:Hasbullah Thabrany
ngutan iurannya dijadikan satu dengan pajak, jadi
pengkontrolan juga lebih mudah.
Saya sudah pernah sampaikan hal ini ke Dirjen
Pajak, tapi sepertinya masih susah. Masing-ma
sing pihak masih berkutat dengan kepentingannya
sendiri-sendiri, entah itu Dirjen Pajak, BPJS atau
juga dirjen di Kemenkes. Kita belum duduk bersama
membicarakan kepentingan bersama, kepentingan
negara. Antar BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga
kerjaan saja belum nyambung. Seperti saya bilang,
ini salah satu konsekuensi bernegara di negara yang
demokrasinya belum matang.
Kalau peserta PBPU memang ada yang kaya,
harusnya kita tetapkan tarif yang berani. Misal saja
Rp 250 ribu. Dengan harga seperti itu dan cakupan
layanan yang sangat luas akan tetap jauh lebih mu-
rah dibandingkan beli asuransi komersial. Tapi, nanti
takut ribut lagi. Ya, harusnya tidak apa-apa, kalau
untuk yang kaya.
Nah, yang harus dipastikan juga, jangan sampai
mereka yang bekerja tapi daftarnya sebagai PBPU.
Ngakalin. Gini, Anda bujangan dan gajinya Rp 8 juta.
Kalau bayar iuran kan kenanya Rp 400 ribu. Yang
nggak jujur kayak gini, ada juga, loh.
Bagaimana dengan usulan untuk membuka pos lain berupa iuran sukarela di samping iuran wajib, utamanya untuk segmen PBPU jika iurann-ya masih berbasis nominal tertentu seperti seka-rang?
Kalau saya bilang, itu tidak bisa dihitung sebagai
iuran. Di Indonesia ini, sorry to say, yang namanya
iuran sukarela nggak pernah jalan.
Kan, kalau di tingkat RT kita juga bayar iuran su-karela seperti itu?
Hm, memangnya di RT pada bayar semua? Ayolah,
Smara.id | No 1 Tahun 201838
nggak jalan juga itu (iurannya). Jangankan itu. Zakat
saja yang sifatnya wajib dan ada ancamannya di
akhirat nanti, nggak jalan juga. Saya tadi baca, dana
zakat, infaq dan sedekah yang dikumpukan Baznas
tahun lalu hanya Rp 6 triliun.
Banyak organisasi privat yang mengumpulkan ZIS juga...
Coba saja dikumpulkan
semua. Saya yakin nggak
akan sampai Rp 20 triliun.
Instrumen yang namanya
sumbangan tidak akan
memadai.
Bagaimana dengan usulan agar UU tentang ke sehatan yang saat ini tersebar di kodifikasi?
Problemnya, jika dilakukan kodifikasi maka akan
menjadi UU profesi yang kompleks. Dalam 10 ke
depan tidak akan kelar-kelar. KUHP saja tidak beres-
beres.
Jadi, kalau menurut saya, tidak perlu ada kodifika-
si, yang dibutuhkan hanya merevisi beberapa pasal
di sejumlah UU seperti UU Praktek Kedokteran, UU
Kesehatan dan juga UU BPJS.
Revisi perlu dilakukan karena pada waktu penyu-
sunan tak diiringi dengan kajian yang cukup anta-
ra satu UU dengan UU lainnya. Jadi, itu saja perlu
dibereskan.
Terkait UU BPJS, ada yang prioritas perlu direvisi?
Yang pertama terkait pemisahan antara aset Dana
Jaminan Sosial dengan aset BPJS. Menurut saya ini
hal tidak benar. Saat ini, kan dipisah. Jadi, ada uang
BPJS. Kesannya itu haknya pegawai BPJS dan ada
uang DJS. Itu semua uangnya kita (baca:peserta). Ini
juga menunjukkan adanya ketidaksinkronan.
Dalam UU SJSN, DJS itu merupakan dana ama
Dengan iuran Rp 250 ribu dan dengan cakupan layanan
yang jauh lebih luas, tetap akan lebih murah ketim-
bang beli asuransi komersial
39Wawancara:Hasbullah Thabrany
nat, tetapi di UU BPJS diganti namanya DJS. Sebab
waktu itu ada orang yang masih memaksakan visi
BUMN. Mereka belum legowo BPJS itu nggak boleh
jadi BUMN. Tapi, ini masalah teknislah.
Juga soal akal-akalan aturan. Misalnya, soal pem-
batasan umur untuk jadi dewan pengawas atau di-
reksi hanya maksimal 60 tahun. Akibatnya, orang-
orang yang berpengalaman malah tidak bisa masuk.
Ini hanya contoh saja. Lah, wapres saja bisa 78 ta-
hun, masa untuk mengawasi direksi BPJS tidak bisa
(di atas 60 tahun)? (*)
Nama Lengkap:
Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DR.PH.
Tempat, Tanggal Lahir
Jakarta, 1954
Pendidikan:
• Master (1990) dan Doktor (1995) pada bidang Administrasi dan Kebi-
jakan Kesehatan, University of California, Berkeley, 1995
• Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980
Beberapa Posisi yang pernah dijabat:
• Guru Besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
• Peneliti pada Center for Health Economics and Policy Studies.
• ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Asuransi Kesehatan.
• Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia.
• Anggota Majelis Pakar Kesehatan Masyarakat Ikatan Ahli Keseha-
tan Masyarakat (2016-2019).
• Anggota Dewan Pakar IDI (2015-2018).
• Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI (2004 – 2008).
• Ketua dan Pendiri Perhimpunan Ahli Manajamen Jaminan dan Asu
ransi Kesehatan Indonesia (1998 – 2010).
Smara.id | No 1 Tahun 201840
Tak sedikit dokter mengeluhkan model pemba-yaran INA-CGBs. Fokus keluhannya pada dua hal: tarifnya terlalu rendah dan juga mengambil oto-nomi klinis. Dokter jadi terbatas dalam melaku-kan tindakan medis. Menurut Prof?
Sebenarnya hal ini terjadi karena masing-ma
sing pihak melihat dari sudut pandang kepenting
an sendiri-sendiri. Kalau kita mau objektif, pangkal
soalnya karena iurannya memang tidak cukup se
hingga mau berdampak pada tak tercapainya harga
keekonomian pada tarif INA-CBGs.
Kalau ditelisik lebih lanjut, sebenarnya ada juga
tarif di INA-CBGs yang sudah bagus. Tapi, yang su-
dah dapat yang bagus ini biasanya diam saja. Yang
mempersoalkan ini adalah (mereka) yang tarifnya
tidak bagus. Tapi secara keseluruhan memang ba
nyak yang masih kurang besaran tarifnya, bahkan
Tarif Borongan Harusnya Tak Bermasalah
Prof. Hasbullah Thabrany:
41Wawancara:Hasbullah Thabrany
amat kurang.
Sebenarnya cara lihatnya begini. Berapa uang
yang terkumpul untuk bayar dokter dan rumah sakit,
berapa sebelumnya dibayarkan untuk orang yang
sama. Ini namanya total harga manajemen keseha-
tan yang sudah kita kumpulkan dari survei dan data
lainnya. Ternyata, uang yang ada di JKN saat ini
cuma seperempat dari
yang dibutuhkan.
Jadi, kesalahannya ka-
rena iurannya terlalu ke-
cil. Dan, ini salah satunya
juga karena cara pemo-
tongan iurannya yang
tidak tepat. Pemerintah,
misalnya, hanya mene tapkan iuran pegawai negeri
dari gaji pokok, tidak memperhitungkan renumerasi
sacara keseluruhan.
Akibatnya, filosofi gotong royong di mana yang
berpenghasilan tinggi mensubsidi mereka yang
berpenghasilan rendah tidak terjadi. Ini terjadi ka-
rena ada intervensi politik, entah dari penguasa atau
pengusaha. Yang jadi korbannya rakyat.
Kalau dokter tidak dibayar memadai, sudah pasti
pelayanannya tidak akan benar. Dokter pasti akan
terbelenggu dengan jumlah uang itu, dia tak bisa
memberi semua yang diperlukan pasien. Itu sudah
pasti. Dan, ini yang tidak dipahami banyak kalangan.
Usulan yang mengemuka, kembali ke model fee for service. Bagaimana tanggapannya?
Kalau fee for service itu (hitungan) secara ekonomi.
(Model) ini justru lebih mudah diakalin akhirnya jus
tru dana JKN-nya (akan) makin tidak cukup. Ini bu-
kan sekadar berdasarkan teori ekonomi kesehatan
tetapi juga berdasarkan pengalaman.
Kalau model pembayarannya fee for service, tidak
Secara keseluruhan me-mang banyak tarif INA-
CBGs yang masih kurang, bahkan amat kurang
Smara.id | No 1 Tahun 201842
bakal efisien. Akan terjadi macam-macam. Defisitnya
juga akan lebih dalam.
Bagaimana dengan komentar ketua IDI di DPR beberapa waktu lalu yang menyebutkan INA-CB-Gs itu model yang didesain konsultan untuk JKN-nya Malaysia, tapi akhirnya bahkan tak dipakai.
Iya, betul. tapi jangan dilihat INA-CBGs-nya Ma-
laysia tak dipakai. Tetapi mesti lihat konsep besar
nya. INA-CBGs itu bayar borongan. yang harusnya
tidak ada masalah. Di Jerman diterapkan, Di Amerika
Serikat diterapkan, di Australia diterapkan. Kuncinya
ada pada cara menghitung (tarifnya).
Nah, masalah
di Indonesia kan
menghitungnya
yang tidak benar.
Ibarat bikin baju,
tidak masalah kan
kalau kainnya dari
India atau Ameri-
ka Serikat. Yang
penting kan diukurnya pas sesuai ukuran badan kita.
Nah, ini yang jadi persoalan di kita. (*)
Akibatnya, filosofi gotong royong, di mana
yang berpenghasilan tinggi memsubsidi
mereka yang berpenghasilan rendah, tidak
terjadi. Ini terjadi karena ada intervensi
politik, entah dari penguasa atau pen-
gusaha. Yang jadi korbannya rakyat.
Saya ingin mengembangkan jaminan untuk orang-orang yang kena PHK, jaminan pendapatannya, namanya JPPHK (Jaminan Pendapatan Pe-mutusan Hubungan Kerja) itu bisa
digulirkan, bisa dikembangkan.
Hasbullah Thabrany
43Wawancara:Hasbullah Thabrany
Dalam UU SJSN, tak hanya ada JKN, juga ada Ja-minan Hari Tua, misalnya. Mengapa yang lebih banyak diatur itu kelompok pekerja penerima upah. Bagaimana dengan pekerja bukan pene rima upah?
Ini soal pentahapan saja. Pekerja penerima upah
kita didahulukan karena paling mudah dikondisikan.
Kita paksa majikannya harus bayar. Kalau tidak mau
bayar, kita cabut ijin usahanya. Penerima upah juga
sudah mengerti (hak-haknya). Ada serikat pekerjan-
nya. Mereka bisa tuntut hak-hak nya.
Nah, kalau pekerja informal atau bukan penerima
upah bagaimana kita memaksa mereka? Memungut
iurannya juga susah karena mereka sendiri-sendiri.
Kalau perusahaan yang punya 1000 pekerja, mis-
alnya, gampang mengawasinya. Jadi, soal teknis
saja sebetulnya.
Nah, kalau untuk pekerja bukan penerima upah, adakah bayangan pengimplemetnasiannya?
Kalau menurut saya, JHT itu sifatnya tabungan
wajib. Jadi, cukup pemerintah memberi insentif.
Atau intensif itu diatur dalam UU. Dan, jangan lupa
Jaminan Sosial untuk Semua
Prof. Hasbullah Thabrany:
Smara.id | No 1 Tahun 201844
beri penjelasan ke masyarakat. Nah, masalahnya
sekarang, komunikasinya lemah. BPJS Ketenagaker-
jaan juga kurang sosialisasi.
Penjelasannya kan bisa begini, misalnya. Jika Anda
menabung di BPJS untuk masa depan Anda, Anda
akan dapat nilai tambah. Mi
salnya, bunganya lebih ting-
gi dari bunga bank. Jika mau
uangnya diiventasikan di sya-
riah, nanti kita sediakan dan
bagi hasilnya lebih tinggi.
Mungkin nanti ada yang bilang, untuk perorangan
kan bisa cara lain, misalnya melalui reksadana?
Kalau yang seperti itu sifatnya tambahan saja,
silahkan saja. Kalau jaminan sosial sifatnya wajib
ikut. Lagi pula, kalau ikut reksadana, belum cukup
duitnya cukup untuk hari tua? Belum lagi risiko dana
hilang karena dibawa kabur manajemen atau salah
kelola.
Nah, kalau BPJS kan punya negara. Mungkin akan
ada yang korup, tapi duitnya tidak akan hilang dan
ada di situ terus. Lagi pula, yang mengawasinya
banyak.
Prof akan mengusulkan hal ini agar dijalankan juga ya?
Ya, karena manusia cenderung mikirnya jangka
pendek, nggak mikir bagaimana nanti hari tuanya.
Kalau tidak diberi insentif, JHT untuk pekerja bukan
penerima upah bakal sulit jalan.
Jaminan sosial lainnya juga ada, Seperti jaminan kematian. Itu akan seperti apa?
Sebenarnya ini asuransi jiwa. jadi, kalau seseorang
meninggal, kan butuh uang untuk proses pen-
guburan atau keperluan-keperluan lain. Jadi, ada
uang dukanya. Tidak banyak tapi cukuplah.
Tapi, di samping itu, juga ada yang namanya jami-
Saya akan mengusulkan diberlakukannya Jaminan Hari Tua untuk pekerja bu-
kan penerima upah
45Wawancara:Hasbullah Thabrany
nan kecelakaan kerja. Jika seorang pekerja mening-
gal di tempat kerja maka dia akan mendapat dana
kecelakaan kerja. Lokusnya di tempat kerja. Nilainya
bisa sangat besar tergantung besar gaji dan keraji-
nannya membayar iuran.
Bagaimana untuk warga senior?Nah, itu yang salah satu ingin saya perjuangkan
juga. Misi saya mengamalkan surat Al Maun. Jangan
sampai ada orang kelaparan. Jangan sampai ada
orang tidak terpenuhi kebutuh an dasarnya, tidak
terkecuali mereka yang sudah lanjut usia.
Zaman dulu kebutuhan dasar memang hanya ma-
kan. Tapi, zaman sekarang, makanan, pakaian, kese
hatan itu kebutuhan dasar. Jadi, negara bisa mem-
beri jaminan kepada lansia, pertama, jatah bulanan.
Umurnya bisa disesuaikan, 75 tahun, 70 tahun atau
65 tahun, terserah. Tergantung (kesediaan) uangnya.
Kalau lansia sakit, kan sudah ada JKN.
Tapi, masih ada yang belum. Sungguhpun seorang
lansia tak sakit, bisa saja dia tak mampu mengurus
dirinya sendiri. Anaknya tak
ada, sanak familinya tidak
ada. Ya harus diurus dong
sama negara. Ini namanya
jaminan long term care,
Perawatan jangka panjang,
entah di rumah atau di
suatu tempat atau panti jompo, apalah namanya. Ini
memang langkah berikutnya.
Tapi, untuk sampai ke sana, JKN-nya harus beres
dulu. Mungkin 5 – 10 ke depan kita sudah bisa mem-
beri long term care ini.
Bisa juga karena situasi seperti ini. lansia yang
habis kena stroke, menjalani pengobatan lanjutan
di rumah. Mau makan susah, mau pakai baju susah,
anaknya nggak ada. Dia perlu disuapin, memakai-
kan baju, memandikan. Nah, untuk orang membantu
Saya akan memperjuangkan jaminan
sosial bagi lansia, baik dalam bentuk
pemberian uang bulanan dan nantinya
juga yang berbentuk long term care
Smara.id | No 1 Tahun 201846
lansia ini, (biayanya) dijamin oleh sistem jaminan so-
sial. Dengan begitu, orang-orang tua kita –- bukan
hanya ayah dan ibu kita -– bisa kita manusiakan.
Sekarang kan banyak yang tak terurus. Masa di ne-
gara Pancasila hal seperti ini dibiarkan saja? Ini yang
bikin saya gregetan, (**)
47Wawancara:Hasbullah Thabrany
Agar Advokasi Kebijakan Jaminan Sosial Lebih Efektif
Mulanya Hasbullah Thabrany
mengaku tak tertarik terjun ke
politik praktis. Tapi pengala-
man menunjukkan, advokasi
akan lebih efektif jika punya
posisi politik.
Isu-kebijakan yang mau
diperjuangkannya tetap sama
seperti selama ini ia lakoni:
mengembangkan jaminan so-
sial, dan tentunya membenahi
implementasi JKN. “Ini isu ke-
bijakan yang sifatnya lintas
batas dapil,” katanya.
Bagaimana yang spesifik un-
tuk Dapil Jabar 6 (Kota Depok
dan Kota Bekasi)? Berikut pa-
paran singkatnya.
Saya inginnya Depok dan
Bekasi mempunyai lingkungan
tempat tinggal yang nyaman.
Polusinya sedikit. Alhamdul-
lilah sudah akan tersambung
dengan LRT. Itu akan mengu-
rangi polusinya. Lahan hijaunya
harus lebih banyak. tempat-
tempat publik harus lebih ban-
yak. Lingkungannya bagus. Ada
tempat olahraga di tiap RW dan
seterusnya. Karena Depok dan
Bekasi sebagai daerah pen-
yangga Jakarta ini, duitnya lebih
banyak dibandingkan banyak
daerah lainnya. Jadi, mungkin-
lah mewujudkannya.
Ya, memang ini wewenang
pemda, sebagai DPR tidak bisa
sampai ke situ. Jadi, yang akan
saya lakukan sebagai wakil
rakyat adalah melakukan ad-
vokasi, konsultasi dan memberi
masukan ke pemdanya agar
bisa menciptakan lingkungan
yang aman, nyaman dan sen-
tosa itu.(**)
Smara.id | No 1 Tahun 201848
https://smara.idMajalah Digital