Hak Mepguasai Negara danHak Rakyat -...

2
o Senin o Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu @ 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OJan OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul • Ags OSep o Old OHov ODes Hak Mepguasai Negara danHak Rakyat BERNHARD LIMBONG K onflik pertanahan belakangan ini ki- an memprihatinkan. Selain jumlah- . nya tidak berkurang, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan sungguh luar bia- sa. Tahun 2012 saja, sudah puluhan nyawa melayang, ratusan orang luka-luka dan kehi- langan temp at tinggal. Fasilitas umum diba- kar, dirusak, termasuk kantor dan peralatan berat milik perusahaan. Hati kita miris kare- na konflik justru terjadi di antara sesama anak bangsa. Persoalannya ialah perebutan lahan per- kebunan, kawasan hutan, pertambangan, dan lahan pertanian. Setiap konflik memiliki akar masalah dan karakteristik berbeda. Ada konflik karena Hak Guna Usaha (HGU) ha- bis dan masyarakat menilai tanah yang su- dah habis masa HGU-nya dikembalikan ke- pada -mereka. Ada pula masyarakat yang me- rebut tanah Negara atau tanah yang berkuali- fikasi HGU karena menilai proses peralihan- nya terjadi secara paksa di masa lalu. Semua konflik itu berakar pada masalah ketimpangan agraria. Bagi masyarakat Indo- nesia, tanah memiliki arti dan makna sangat istimewa, yaitu sebagai wujud eksistensi, akar sosial budaya, alat produksi utama, dan --~-- --- simbol status sosial ekonorni. Tanah menjadi " sumber utama kehidupan masyarakat se- hingga mereka akan berjuang mempertahan- kannya hingga titik darah penghabisan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan menuntut Pemerintah membuka kesempatan kepada investor untuk menggali seluruh po- tensi agraria derni kepentingan Nasional. Se- lain menjalankan tugas pokok menggerak- kan pembangunan, Pemerintah mengacu pa- da kewenangan konstitusionalnya, yaitu hak menguasai Negara (HMN). Konflik terjadi karena kegagalan menye- imbangkan hak dan kewajiban kedua pihak: HMN dan hak rakyat pernilik tanah. Sebab, keduanya mengacu pada Konstitusi yang sa- ma: UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Amanat Pasal 33 Ayat (1) sangat jelas. Pasal 33 itu haruslah dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Ayat (3) di atas me- rupakan konsekuensi logis dari Ayat (1) ten- tang struktur perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan; Ayat (2) tentang peranan Negara (BUMN/BUMD) untuk mengelola kegiatan ekonomi yang terkait hajat hidup orang ban yak. Perintah Konstitusi ini sa- ngatlahjelas. Perintah pertama, Negara dibe- ri kewenangan untuk menguasai seluruh aset agraria di wilayah hukum NKRI. Perintah kedua, penguasaan oleh Negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat Pancasila itu pondasi dan jiwa Negara bangs a ini. Pancasila harus menjadi visi dan spirit yang menggerakkan perjuangan dan derap pembangunan. UUD 1945 menjadi pa- tokan dasar, kompas yang menuntun kekua- saan negara ke mana pembangunan nasional Kllplng Humas Unpad 2012

Transcript of Hak Mepguasai Negara danHak Rakyat -...

o Senin o Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu

@ 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1317 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31OJan OPeb oMar OApr OMei OJun OJul • Ags OSep oOld OHov ODes

Hak Mepguasai Negara danHak Rakyat

BERNHARD

LIMBONG

Konflik pertanahan belakangan ini ki-an memprihatinkan. Selain jumlah- .nya tidak berkurang, dampak sosial

ekonomi yang ditimbulkan sungguh luar bia-sa. Tahun 2012 saja, sudah puluhan nyawamelayang, ratusan orang luka-luka dan kehi-langan temp at tinggal. Fasilitas umum diba-kar, dirusak, termasuk kantor dan peralatanberat milik perusahaan. Hati kita miris kare-na konflik justru terjadi di antara sesamaanak bangsa.

Persoalannya ialah perebutan lahan per-kebunan, kawasan hutan, pertambangan, danlahan pertanian. Setiap konflik memilikiakar masalah dan karakteristik berbeda. Adakonflik karena Hak Guna Usaha (HGU) ha-bis dan masyarakat menilai tanah yang su-dah habis masa HGU-nya dikembalikan ke-pada -mereka. Ada pula masyarakat yang me-rebut tanah Negara atau tanah yang berkuali-fikasi HGU karena menilai proses peralihan-nya terjadi secara paksa di masa lalu.

Semua konflik itu berakar pada masalahketimpangan agraria. Bagi masyarakat Indo-nesia, tanah memiliki arti dan makna sangatistimewa, yaitu sebagai wujud eksistensi,akar sosial budaya, alat produksi utama, dan--~-- ---

simbol status sosial ekonorni. Tanah menjadi" sumber utama kehidupan masyarakat se-

hingga mereka akan berjuang mempertahan-kannya hingga titik darah penghabisan.

Di sisi lain, kebutuhan pembangunanmenuntut Pemerintah membuka kesempatankepada investor untuk menggali seluruh po-tensi agraria derni kepentingan Nasional. Se-lain menjalankan tugas pokok menggerak-kan pembangunan, Pemerintah mengacu pa-da kewenangan konstitusionalnya, yaitu hakmenguasai Negara (HMN).

Konflik terjadi karena kegagalan menye-imbangkan hak dan kewajiban kedua pihak:HMN dan hak rakyat pernilik tanah. Sebab,keduanya mengacu pada Konstitusi yang sa-ma: UUD 1945 dan Undang-Undang PokokAgraria (UUPA) Tahun 1960. Amanat Pasal33 Ayat (1) sangat jelas.

Pasal 33 itu haruslah dipahami sebagaisatu kesatuan yang utuh. Ayat (3) di atas me-rupakan konsekuensi logis dari Ayat (1) ten-tang struktur perekonomian berdasarkanasas kekeluargaan; Ayat (2) tentang perananNegara (BUMN/BUMD) untuk mengelolakegiatan ekonomi yang terkait hajat hiduporang ban yak. Perintah Konstitusi ini sa-ngatlahjelas. Perintah pertama, Negara dibe-ri kewenangan untuk menguasai seluruh asetagraria di wilayah hukum NKRI. Perintahkedua, penguasaan oleh Negara bertujuanuntuk kemakmuran rakyat

Pancasila itu pondasi dan jiwa Negarabangs a ini. Pancasila harus menjadi visi danspirit yang menggerakkan perjuangan danderap pembangunan. UUD 1945 menjadi pa-tokan dasar, kompas yang menuntun kekua-saan negara ke mana pembangunan nasional

Kllplng Humas Unpad 2012

diarahkan. Pasal 33 UUD 1945 menjadi lan-dasan negara menguasai dan mengatur pe-manfaatan tanah dan SDA yang disebut se-bagai HMN. Muaranya jelas: sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat. Dalam paham neegara integralistik yang dikemukakan R.Soe-pomo pada Sidang BPUPKI 31 Mei 1945,pembangunan ekonomi (termasuk tanah)memakai sistem 'Sosialisme Negara', yaitu

. kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.Namun, HMN tidak identik dengan hak

memiliki. Negara tidak memiliki tanah kare-na negara ada setelah rakyat ada. Yang me-miliki tanah itu rakyat yang sudah ada sebe-lum negara ada. Jadi, HMN adalah hak rak-yat pada tingkat negara sebagai 'organisasitertinggi'. Dengan demikian, negara tidakmemiliki kewenangan untuk menjual ataumenggadaikan tanah. Masalah agrarianmuncul ketika kewenangan HMN diperha-dapkan dengan hak milik individu dan hakkomunal (tanah ulayat).

Dalam konteks keagrariaan, HMN harusmemperhatikan sungguh-sungguh dua halsecara bersamaan dalam keseimbangan yangberkualitas: kepentingan pembangunan danhak-hak dasar (individual maupun komunal)rakyat. Di satu sisi, Pemerintah pusat mau-pun daerah berwenang memberi ijin kepadainvestor (swasta maupun BUMN/BUMD)untuk kepentingan nasional, termasuk untukkemakmuran rakyat banyak melalui meka-nisme pungutan pajak. Namun, pada saatbersamaan, pemerintah 'berkewajiban' men-junjung tinggi hak-hak dasar rakyat di bi-dang sosial, ekonomi, dan budaya (ulayat).

Kompensasi Adil BermutuDalam pelaksanaannya, itu tidak mudah

karena kompleksitas masalah yang melatarisetiap konflik, Karena itu, setiap konflik ha-rus diurai dan dicari penyelesaian sendiri.Namun, jika dicermati, akar masalah adalahsoal status kepemilikan atau hak atas tanah.Persoalan menjadi rumit karena banyak ta-nah, termasuk tanah ulayat, tidak memilikibukti hukum. Saat ini, baru sekitar 30 % ta-nah di Indonesia yang sudah disertifikasi.

Karena itu, penyelesaian konflik tidak bi-sa hanya memakai pendekatan hukum. Ma-syarakat akan tetap ngotot menuntut hak atastanah tertentu meski tidak memiliki buktihak yang sah. Mengapa? Karena, tanah satu-satunya yang dimiliki untuk menghidupkankeluarga dan diwariskan kepada anak cucu.Sehingga pendekatan yang paling efektifadalah pendekatan kesejahteraan denganmemberikan kompensasi yang adil dan ber-mutu kepada masyarakat pemegang hak atastanah maupun warga seputar lokasi proyekpembangunan.

Ada tiga bentuk kompensasi bermutuyang diyakini efektif untuk mencegah/meng-atasi konflik agraria antara masyarakat de-

. ngan perusahaan swasta maupunBUMN/BUMD. Pertama, menyediakankompensasi (ganti-rugi) berupa pemukimankembali yang layak huni dengan dilengkapiinfrastruktur dasar dan penunjang. Kedua,dana CSR. Lebih dari kewajiban atau 'budibaik' perusahaan, CSR adalah perintah Ayat(1) Pasal 33 UUD 1945. Asas kekeluargaandimaksud Pasal 33 itu bukan hanya koperasi,tetapi semua institusi ekonomi, baik swastamaupun BUMN/BUMD. Ketiga, masyara-kat sekitar perkebunan, pertambangan, dan

hutan industri diberi saham kepemilikan.Model ini pun merupakan perwujudan dari'asas kekeluargaan' yang diperintahkan olehAyat (1) Pasal33 UUD 1945. Dengan memi-liki saham, masyarakat sekitar mendapatjaminan masa depan yang pasti.

Pasal 68 UU Kehutanan Tahun 1999 me-negaskan bahwa masyarakat di dalam dansekitar hutan (tidak terbatas pada masyarakathukum adat saja) berhak memperoleh kom-pensasi karena hilangnya akses terhadap hu-tan sekitarnya sebagai lapangan kerja. Na-mun dalam penjelasannya agak kabur, bah-wa hilangnya akses itu selain meliputi hakuntuk mengambil hasil hutan, juga hak un-tuk membuka hutan ulayatnya.

Pada dunia pertambangan, tanah menjadisangat penting karena tidak terlepas hubung-annya dengan aktivitas mengelola dan me-mungut hasil sumber daya yang ada di tanah.Bagi pelaku usaha pertambangan (perorang-an atau badan hukum) hal mengenai statustanah menjadi penting yang nantinya me-nunjang proses pertambangan, misal hak mi-lik maka pelaku usaha pertambangan akanmemberikan ganti rugi, bukan hanya tanahtetapi juga benda-benda di atasnya.

Ketiga bentuk kompensasi itu memang'mahal'. Boleh jadi, lebih mahal dari hargapasar rrielalui mekanisme jual-beli. Namun,itulah konsekuensi ideologis dan konstitu-sional yang harus dilakukan. Berbagai kon-flik yang merebak selama ini telah terbuktibahwa ada yang tidak pas dalam menyeim-bangkan HMN di satu sisi, dan hak-hak da-sar sosial, ekonomi, dan budaya di sisi yanglain. Jika semua pihak terkait berpegang pa-da prinsip ini, yakinlah konflik tidak akanmemakan korban lagi.

Sebab, permintaan masyarakat peme-gang hak atas tanah sangatlah sederhana:hak-hak dasar mereka berpolitik (negosiasi),sosial, ekonomi, dan budaya dihormati dandipenuhi. Jika itu sudah terpenuhi, merekaakan melepas tanah dengan ikhlas oleh kare-na mereka pun memahami fungsi sosial ta-nah dan kewajiban mendukung pembangun-an nasional.

Hal itu sudah terbukti dalam kasus mega-proyek Marauke Integrated Food and EnergyEstate (MIFEE) di Kabupaten Merauke.Meski tidak menyelesaikan seluruh persoal-an, kesepakatan pemberian uang tali asiholeh PT Cendrawasih Jaya Mandiri sebesarRp 3,5 miliar, sebanyak 100 keluargadari empat marga rela melepaskan tanah adatKaliki seluas 10 ribu hektare selama 30tahun.

Atas nama Dasar Negara Pancasila danKonstitusi, Pemerintah sepatutnya tidak per-lu ragu apalagi takut mengeluarkan kebijak-an yang mengharuskan investor menyiapkanketiga bentuk kompensasi di atas ketikamembutuhkan lahan untuk investasi. Inves-tor pasti tidak keberatan asalkan ada kepasti-an hukum demi kepastian dan kelanggenganusaha mereka. Dengan adanya regulasi yangjelas, berarti mempersempit ruang bagi peja-bat di tingkat pusat maupun daerah untukkongkalikong dengan investor. Jika harusmemilih, investor pasti memilih 'kompensa-si untuk rakyat' pemilik tanah ketimbang'upeti' untuk pejabat.

PENULlS ADALAH DOKTOR HUKUM PERTANAHAN,

UI\PAD, BANDUNG