Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum...

14
1 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami, Laporan Briefing Oxfam, November 2006 Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami 30 November 2006 PENDAHULUAN Aceh, provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra di Indonesia menjadi wilayah yang paling parah dilanda tsunami Desember 2004. Gelombang laut menyapu 800 km garis pantai dan menewaskan 169.000 orang serta mengakibatkan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Di beberapa wilayah tidak ada bangunan, jalan maupun pepohonan yang tersisa. Sebagian wilayah hilang secara permanen. Kemudian Sumatra dilanda gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005, yang menewaskan hampir 1.000 orang di pulau Nias. Setelah bencana, dunia merespon dengan bantuan yang begitu besar dan tujuan organisasi-organisasi kemanusiaan yang bekerja untuk membuat kehidupan di pantai Aceh menjadi lebih baik, tanpa memandang kekayaan maupun gender. Di wilayah yang terkena dampak kemiskinan dan konflik ini, respon tersebut merepresentasikan sebuah kesempatan untuk pembangunan kembali yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Transcript of Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum...

Page 1: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

1 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun

Tsunami 30 November 2006

PENDAHULUAN Aceh, provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra di Indonesia menjadi wilayah yang paling parah dilanda tsunami Desember 2004. Gelombang laut menyapu 800 km garis pantai dan menewaskan 169.000 orang serta mengakibatkan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Di beberapa wilayah tidak ada bangunan, jalan maupun pepohonan yang tersisa. Sebagian wilayah hilang secara permanen. Kemudian Sumatra dilanda gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005, yang menewaskan hampir 1.000 orang di pulau Nias. Setelah bencana, dunia merespon dengan bantuan yang begitu besar dan tujuan organisasi-organisasi kemanusiaan yang bekerja untuk membuat kehidupan di pantai Aceh menjadi lebih baik, tanpa memandang kekayaan maupun gender. Di wilayah yang terkena dampak kemiskinan dan konflik ini, respon tersebut merepresentasikan sebuah kesempatan untuk pembangunan kembali yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Page 2: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

2 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Studi Kasus: Mon Ikeun Hanya sebongkah beton yang tersisa dari rumah Ruslaidi di desa Mon Ikeun. Tsunami telah mengambil nyawa istri, anak laki-lakinya yang berusia lima tahun, orangtua serta saudara-saudara kandungnya selain juga menghancurkan rumahnya. Kini pria berusia 38 tahun ini tinggal bersama dengan anak laki-lakinya yang berusia 12 tahun di barak. Rumahnya dulu memiliki dua kamar tidur, disewa dari seorang tetangga yang tewas dalam tsunami. Rumah tersebut belum dibangun kembali karena kepemilikannya jatuh ke tangan seorang kerabat yang agak jauh yang tinggal di desa lain. “Ia tidak pernah datang kemari,” kata Ruslaidi. “Tidak ada yang tahu apa yang akan ia lakukan di tanah ini. Tampaknya ia kurang tertarik dengan tanah ini.” Sementara ilalang mulai tumbuh di bekas rumah Ruslaidi, rumah-rumah lain sedang sibuk dibangun. Seorang penduduk desa yang menolak menyebutkan namanya berkata: “Beberapa keluarga hingga memiliki tiga rumah sementara keluarga-keluarga yang lain masih menunggu rumah permanen mereka. Orang-orang kembali dari Jakarta, mendapat rumah dan pergi lagi. Para kontraktor dari Medan meninggalkan rumah setengah jadi. “Desa ini dipenuhi dengan perasaan ketidakadilan dan kemarahan.” Hingga November 2006, 48.000 rumahi telah dibangun di provinsi tersebut, tetapi masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai target 128.000 rumah. Dua tahun setelah tsunami, membangun kembali rumah yang hancur dan mencari solusi perumahan bagi warga yang tidak memiliki tanah adalah dua tugas paling penting yang dihadapi Aceh. Isu hak atas tanah – pertanyaan siapa yang memiliki tanah mana – harus diselesaikan bila masyarakat Aceh akan dibangun kembali di atas pondasi yang kuat. Tanpa hak atas tanah yang jelas, orang-orang yang sedang membangun rumah kembali menghadapi resiko bahwa ada pihak ke tiga yang datang dan mengklaim hak kepemilikan sebidang tanah tersebut. Enam tahun setelah gempa bumi yang melanda kota di Jepang, Kobe, pada tahun 1995 beberapa orang masih hidup dalam tempat tinggal sementara karena hak keperdataan belum disepakati. Namun masalah-masalah yang dihadapi Aceh dalam upaya mengesahkan kembali hak atas tanah bermacam-macam. Seperti hancurnya dokumen-dokumen yang pernah dimiliki. Namun, Lima belas ton dokumen telah dikapalkan ke Jakarta untuk diperbaiki.ii Banyak bidang tanah di sepanjang pantai ditandai dengan pohon atau jalan setapak, namun setelah disapu gelombang penanda batas ini hilang. Di wilayah-wilayah lain tanah berubah menjadi lautan atau tersapu habis oleh air laut. Institusi berbasis masyarakat tradisional menghadapi tekanan yang berat. Korban tsunami yang sebelum bencana berstatus sebagai penyewa dan penggarap tanah pada masa sesudah tsunami masih berada dalam barak-barak – bangunan satu lantai yang panjang di mana banyak keluarga hidup berdesak-desakan. Para penghuni barak menghadapi kondisi fisik yang tidak layak dan masa depan yang tidak menentu.

Page 3: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

3 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Tugas untuk membangun kembali Aceh adalah proyek rekonstruksi paling besar di dunia berkembang.iii Bila ingin berhasil maka sangat penting jika hak atas tanah, harta milik dan sumber daya dilindungi. Tulisan ini melihat latar belakang historis hak atas tanah di Aceh dan dampak tsunami serta mengusulkan bagaimana bentuk pembangunan yang dapat dijalankan secara setara. Aceh Pra-Tsunami Aceh adalah sebuah provinsi pedesaan dan tradisional dengan sistem hak atas tanah yang kompleks. Kepemilikan dan penggunaan tanah diatur oleh adat kebiasaan dan hukum yang diperkenalkan pada masa feodal, kolonialiv, dan akhirnya periode pasca kemerdekaan dalam sejarah Indonesia. Sebelum tsunami, terjadi konflik berkepanjangan selama 29 tahun antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Walaupun identitas Aceh secara jelas lebih Islam daripada sebagian besar wilayah Indonesia lainnya, perjuangan GAM lebih bersifat nasionalis daripada religius, dan mereka berusaha untuk memenangkan kontrol politik di provinsi tersebut. Minyak dan gas ditemukan di Aceh pada tahun 1971 dan wilayah itu menjadi bagian yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia. Sumberdaya alami provinsi tersebut – termasuk kayu dan perkebunan kelapa sawit – dieksploitasi oleh kepentingan bisnis yang dimiliki luar daerah atau perusahaan-perusahan yang dilindungi oleh pemerintah. Tujuh puluh lima persen tanah diambil untuk penebangan kayu atau konsesi perkebunan. Rasa permusuhan terhadap pemerintah pusat meningkat saat orang-orang Aceh sendiri secara nyata semakin dilarang untuk mengeksploitasi sumberdaya mereka sendiri. Saat GDP Aceh meningkat, sementara rakyat Aceh justru makin miskin: antara tahun 1980 hingga 2002 kemiskinan di provinsi ini naik sebanyak 239 persen. Di wilayah Indonesia yang lain angka kemiskinan turun 47 persen dalam periode yang sama.v

Konflik antara pemerintah dan GAM telah menyebabkan banyak warga mengungsi untuk menghindari peperangan. Situasi hak atas tanah semakin rumit ketika pemerintah memberikan tanah kepada para migran dari Pulau Jawa. Bidang tanah yang diberikan bagi imigran asal Jawa tampaknya lebih luas daripada tanah yang diterima oleh orang Aceh sendiri sehingga semakin memicu ketegangan.vi Hak Atas Tanah di Aceh Pra-Tsunami Ada dua sistem hukum Indonesia yang melingkupi masalah pertanahan di Aceh:

• Adat – hukum lokal dan tradisional dan kode sosial yang bervariasi di kepulauan Indonesia. Hukum adat masih sangat kuat di Aceh.

Page 4: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

4 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

• Hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang mengatur tentang hak milik tanah dan pendaftaran tanah.

Hukum Syariah (Hukum Islam) juga berlaku, meliputi masalah warisan dan perwalian para yatim piatu. Di Aceh sendiri sekitar 25 persen tanah di wilayah yang terkena tsunami adalah tanah di mana hak milik disahkan dan dicatat dalam daftar pemerintah dengan penerbitan sertifikat tanah yang dipegang oleh para pemilik dan di kantor-kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sementara itu 75 persen lainnya tidak didaftarkan di BPN melainkan diatur menurut hukum adat. Di wilayah pedesaan, hukum adat tradisional masih kental. Walaupun tanah biasanya dimiliki perseorangan, masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam mengatur bagaimana tanah dapat dialihkan atau bagaimana anggota masyarakat dapat menerima hak atas sebidang tanah baru. Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, mereka seringkali tidak memperbaharuinya ketika tanah dibeli atau dijual. Banyak warga Aceh yang tinggal jauh dari kantor-kantor BPN – hanya ada satu kantor utama dan sepuluh kantor pembantu di wilayah yang hampir dua kali luas Belgia – dan mungkin ada yang tidak tahu bagaimana cara mendaftarkan tanah atau hanya tidak ingin membuang waktu dan uang untuk berurusan dengan BPN. Hal ini berarti dokumen resmi tidak seluruhnya merefleksikan realitas penggunaan tanah di lapangan. Dampak Tsunami Dari seluruh wilayah di sekeliling Samudera Hindia yang terkena dampak tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, Aceh adalah wilayah yang paling parah. Hanya dalam waktu beberapa jam 169.000 orang tewas.vii Dan saat air mengering, para korban menghadapi pemandangan yang mengerikan. Wilayah padat penduduk tersebut berubah menjadi tanah tak berpenghuni di mana setiap batas tanah telah tersapu bersih. Lebih dari 600.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 141.000 rumah hancur di Aceh dan Nias.viii

Kerugian untuk ekonomi jangka panjang, diperkirakan lebih dari 4,5 milyar dolar AS. Di provinsi tersebut 2.240 sekolah dan 2.676 jembatan hancur dan lebih dari 100.000 sumur terkontaminasi oleh air asin ataupun rusak parah.ix

Seperempat penduduk Aceh kehilangan mata pencaharian mereka dan angka pengangguran meningkat dari 6,8 persen menjadi sekitar 30 persen.x

Usaha kecil, para buruh, dan petani kecil serta masyarakat nelayan adalah mereka yang paling parah terkena dampaknya. Sekitar 70 persen perahu penangkap ikan skala kecil hancur. Lebih dari 150.000 hektar (1.500 km persegi) tanah pertanianxi tidak dapat ditanami setelah terkontaminasi air asin dan lumpur. Dalam waktu tiga

Page 5: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

5 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

minggu padi di sawah langsung menguning dan menurut FAO hingga 12 persen tanah pertanian Aceh mungkin hilang secara permanen.xii

Pengadaan tempat tinggal adalah tugas paling mendesak yang dihadapi Aceh, namun dalam jangka waktu yang lebih lama provinsi ini harus merelokasi dan merumahkan kembali sejumlah besar pengungsi. Sekitar 25.000 keluarga harus direlokasi ke tanah yang baru karena tanah mereka kini telah tenggelam, atau sudah tidak layak untuk pembangunan kembali atau karena mereka tidak memiliki tanah atau rumah sendiri sebelum tsunami.xiii

Bencana tersebut telah membawa Pemerintah Indonesia dan GAM ke meja perundingan. Pada bulan Agustus 2005 kedua pihak menandatangani Memorandum of Understanding di Finlandia, yang ditindaklanjuti dengan penarikan mundur pasukan dan penonaktifan senjata, reintegrasi pejuang GAM dan pembebasan tahanan politik serta implementasi perjanjian damai yang baru. Respons Oxfam Oxfam adalah salah satu organisasi kemanusiaan internasional pertama yang tiba di Aceh dan Nias dan sejauh ini telah membantu 474.000 orang. Organisasi kemanusiaan ini telah menyuplai lebih dari 40 juta liter air, memberikan pekerjaan bagi 100.000 orang melalui berbagai program mata pencaharian dan membangun lebih dari 800 rumah, dengan 200 lainnya tengah dibangun. Oxfam juga telah membangun lebih dari 30 jembatan dan memperbaiki 100 km jalan. Hingga September 2006, Organisasi kemanusiaan ini telah menghabiskan dana sebesar 67 juta dolar AS dan memiliki target untuk menghabiskan dana sebesar 104 juta dolar di Aceh dan Nias dalam waktu empat tahun. Hak Atas Tanah di Aceh Pasca Tsunami Para korban selamat harus secara jelas mengesahkan hak atas tanah dan harta milik untuk meminimalisasikan persengketaan dan menyediakan sebuah basis sosial dan legal yang kuat untuk pembangunan kembali masyarakat Aceh. Namun hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Sebagian besar orang kehilangan dokumen identifikasi serta duplikatnya, yang disimpan di kantor. Di lapangan banyak penanda batas tanah alami juga hilang. Para pemilik tanah tewas dan wilayah tersebut menghadapi klaim warisan besar-besaran. Kantor-kantor pemerintah lokal lumpuh akibat tsunami – kerusakannya sangat besar sehingga banyak otoritas lokal tidak dapat bekerja normal hingga Agustus 2005. Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Banda Aceh rusak parah dan 30 persen staf – sebanyak 41 orang – meninggal dunia. Seluruh catatan kepemilikan publik hancur atau hilang, demikian juga catatan hak atas tanah adat yang ada. Di wilayah-wilayah di mana tidak ada surat tanah, jaringan sosial yang mengatur penggunaan tanah telah rusak akibat kematian para pemimpin masyarakat atau, dalam beberapa kasus, tewasnya seluruh komunitas.

Page 6: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

6 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Banyak pria muda yang selamat, sementara lebih banyak para perempuan dan orang-orang lanjut usia yang hilang, dan hal ini mengubah dinamika penduduk. Sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberikan bantuan darurat, Oxfam menyadari bahwa hak atas tanah dan harta milik bagi komunitas yang sebelum tsunami pun telah miskin makin terancam dengan hilangnya tanah, mata pencaharian serta dokumen pribadi penting, seperti KTP dan surat tanah. Masalah-masalah lain yang dihadapi oleh Aceh adalah:xiv

• Kebutuhan untuk membantu mereka yang tanahnya menjadi laut atau yang tanahnya tidak bisa ditempati lagi.

• Pentingnya perlindungan khusus untuk para perempuan, janda, anak yatim dan komunitas-komunitas yang rentan.

• Pentingnya mengkombinasikan perencanaan dan pembangunan kembali, yang diorganisasikan di tingkat desa dengan skema pengatasnamaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah.

• Ketegangan antara komunitas lokal dan pemerintah pusat. • Ketidakpercayaan antara organisasi masyarakat sipil dan badan-

badan pemerintah.

Area Rekonstruksi Terbesar Di Dunia Berkembang Situasi mengenai hak atas tanah di Aceh sangat berbeda dengan di wilayah-wilayah lain pasca bencana atau pasca konflik. Di bekas negara Yugoslavia, area yang mengalami pembersihan etnis dihuni oleh para pendatang baru, namun di Aceh tidak ada hal yang disebut sebagai “penghunian sekunder”, sehingga tidak perlu dilakukannya pengusiran sebelum komunitas pengungsi dapat kembali. Tidak seperti Rwanda, Timor Timur dan Afghanistan ada sejarah ketegangan antar masyarakat di wilayah yang dilanda tsunami – konflik yang terjadi adalah antara GAM dan pemerintah Indonesia, bukan antar kelompok etnis. Di Aceh situasi hak atas tanah adalah pengungsian besar-besaran dan pentingnya bagi mereka untuk memiliki tempat kembali. Tugas untuk membangun kembali Aceh adalah proyek rekonstruksi paling besar di negara berkembang dan tantangan utamanya adalah skala masalah, bukan kompleksitasnya. Pembangunan Kembali Aceh Ketika pemerintah Indonesia memperkenalkan rencana utama rekonstruksi resmi pada bulan Maret 2005, pemerintah merekomendasikan sebuah audit mengenai kondisi fisik tanah, penggantian dokumen yang hilang dan penerbitan dokumen baru bagi mereka yang tidak pernah memilikinya sebelumnya. Pemerintah juga mendirikan sebuah badan untuk membangun kembali Aceh, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR).

Page 7: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

7 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Multi-Donor Fund, yang dikelola oleh Bank Dunia, menyetujui bantuan sekitar 28,5 juta dolar untuk proyek RALAS (Reconstruction of Aceh’s Land Administration System atau Rekonstruksi Sistem Administrasi Tanah Aceh). Mulai Agustus 2005, hal ini melibatkan sebuah proses ‘ajudikasi yang didorong komunitas’ dan sertifikasi tanah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) di provinsi ini. RALAS bertujuan untuk sertifikasi sekitar 600.000 bidang tanah hingga Desember 2008. Para korban selamat di masing-masing desa dikumpulkan untuk membahas lokasi tanah dan batas-batasnya. Sebuah peta digambar berdasarkan diskusi mereka dan para korban serta para pemimpin masyarakat mengkonfirmasi peta dan mengisi formulir BPN untuk mengidentifikasikan lokasi tanah yang dimiliki. Para surveyor/petugas BPN (tim ajudikasi kemudian melakukan pengukuran dan pemetaan terhadap seluruh bidang tanah yangaada di desa tersebut). Studi Kasus: Aceh Jaya dan Solusi Yang Dipimpin Komunitas Di Kecamatan Jaya di Aceh 1.130 orang di 14 desa kehilangan tanah mereka akibat tsunami. Mereka membutuhkan 44 hektar tanah untuk relokasi pemukiman baru. Para penduduk desa dan pejabat kecamatan menemukan tanah baru yang sesuai untuk masing-masing desa dan bernegosiasi dengan para pemilik tanah sebelum membawa kasus ini ke otoritas kabupaten, yang kemudian membawa masalah ini ke BRR dan pemerintah provinsi. Tim advokasi dan perumahan Oxfam bekerja dengan tokoh-tokoh desa dan pemerintah daerah dalam keseluruhan proses. Ini adalah contoh luar biasa keberhasilan proses yang dipimpin oleh komunitas yang menerima dukungan finansial dan legal dari pemerintah provinsi. Tanah yang baru kini secara efektif dibebaskan oleh pemerintah dan kini sedang dalam program pengatasnamaan gabungan untuk memastikan hak kepemilikan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Oxfam sedang bekerja dengan patner LSM di Aceh untuk menilai dan mengevaluasi kerja RALAS. Hingga pertengahan 2006, RALAS telah mensurvei sekitar 53.000 bidang tanah namun baru mengeluarkan 2.608 sertifikat tanahxv akibat penundaan administratif di Jakarta. LSM patner khawatir bila RALAS ditekan oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses maka sistem dapat disalahgunakan. Warisan menjadi isu penting yang harus dihadapi ketika membuat hak atas tanah. Banyaknya angka kematian berarti juga banyaknya redistribusi hak milik melalui warisan yang harus dilakukan sebelum rumah-rumah dapat dibangun kembali. Situasi mengenai hak-hak janda juga menimbulkan keprihatinan. Walaupun menurut adat dan hukum Syariah perempuan dapat menjadi ahli waris, ada kekhawatiran bahwa dalam prakteknya para perempuan ini tidak diberi pengakuan setara dalam proses pewarisan.

Page 8: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

8 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Banyak yatim piatu yang berhak untuk mendapatkan rumah namun dihambat banyak masalah. Ketika rumah telah dibangun untuk mereka, siapa yang memilikinya? Bila seseorang menjadi wali mereka bagaimana pihak yang berwenang dapat menjamin bahwa rumah akan diserahterimakan kepada para anak yatim piatu tersebut ketika mereka berusia 18 tahun? Apa yang terjadi bila empat anak mewarisi sebuah rumah? Masalah warisan lebih mengikuti hukum Syariah daripada hukum adat, walaupun ada banyak variasi dari wilayah ke wilayah lain, terutama tentang perlakuan terhadap anak-anak perempuan. UNDP dan RALAS mendukung pembentukan tim pengadilan Syariah berjalan, yang langsung turun ke desa-desa di mana program RALAS akan dilaksanakan. Salah satu tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak anak yatim piatu, yang dapat saja kehilangan tanah hak milik mereka.xvi

Walaupun proses ini telah menunjukkan keberhasilan dalam beberapa hal, LSM Patner Oxfam juga telah mengidentifikasikan masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem pengadilan Syariah:

• Sistem ini cenderung baru dan warga tidak tahu bagaimana sistem ini bekerja.xvii

• Tidak proaktif dalam menemukan anak-anak yatim piatu. • Prosesnya lama karena membutuhkan banyak saksi.

Masalah Warga Tanpa Tanah Ada satu masalah besar yang tidak diurusi oleh RALAS – pemukiman kembali sekitar 25.000 KK yang tidak mempunyai tanah setelah tsunami.xviii

Para Pemilik Tanah Sekitar 10.000 KK sebelumnya adalah pemilik tanah dan kini membutuhkan pemukiman kembali karena tanah mereka kini telah tenggelam. Hingga Oktober 2006 BRR Aceh-Nias telah mengeluarkan dana sebesar 7,7 juta dolar dalam membeli 700 hektar tanah untuk pemukiman kembali,xix dan berencana untuk membeli sekitar 50 hektar lagi. Kemajuannya cukup lambat – sejauh ini baru sekitar 2.000 dari 10.000 rumah yang telah dibangun kembali namun hanya 700 yang telah dihuni.xx Jumlah mereka yang membutuhkan pemukiman baru selalu berubah. Contohnya, beberapa tanah yang tenggelam mulai muncul kembali ketika penahan ombak laut dibangun dan ombak tertahan. Pengumpulan data lambat dan adanya masalah koordinasi antara BRR dan pemerintah lokal.xxi

Untuk membeli sebidang tanah baru membutuhkan waktu hingga enam bulan, yang kemudian harus disiapkan sebelum dapat dibangun di atasnya. Tingginya tingkat air di Aceh berarti banyak wilayah yang

Page 9: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

9 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

berawa-rawa dan untuk menyiapkan sebidang tanah untuk bangunan dapat empat kali lipat biaya membeli tanah itu. Pemerintah Indonesia membuat sebuah langkah besar ke depan pada bulan September 206 ketika mengumumkan bahwa tanah harus didaftarkan dengan nama perempuan dan laki-laki di daerah-daerah yang dibebaskan oleh BRR atau pemerintah daerah untuk pemukiman baru.xxii

Penyewa dan Penggarap Banyak anggota komunitas pantai yang miskin di Aceh tidak memiliki tanah mereka sendiri sebelum tsunami, melainkan menyewanya dari orang Aceh yang lebih kaya atau “menggarap” tanah negara. Ada sekitar 15.000 KK penyewa dan penggarap yang tidak memiliki tempat untuk hidup dan harus dipindahkan ke pemukiman baru sebelum mereka diberi rumah-rumah.xxiii

Ketiga kelompok ini (penyewa, penggarap, dan mereka yang tanahnya musnah akibat tsunami) menjadi bagian besar dari 70.000 pendudukxxiv yang saat ini ditempatkan di sekitar 150 barak pemerintah yang menyebar di seluruh Aceh. Kurangnya kebijakan yang jelas untuk warga yang tidak memiliki tanah telah mengakibatkan ketidakjelasan dan penundaan serta mengapa masih banyak korban yang tidak memiliki tanah masih tetap menjadi tunawisma dan tanpa prospek mendapatkan sebuah rumah pada dua tahun setelah bencana. Pada akhir 2005, ketika Oxfam untuk pertama kalinya menyerukan kebijakan pertanahan yang jelas untuk para korban tsunami yang tidak mempunyai tanah, saat itu tidak ada program bantuan pemerintah yang khusus ditujukan untuk para penyewa dan penggarap tanah. Pada bulan Juni 2006 BRR mengeluarkan peraturan tentang pemukiman baru untuk pemilik tanah yang telah kehilangan tanah dan rumah mereka akibat tsunami dan bantuan untuk korban tsunami penyewa atau yang sebelum tsunami yang berstatus sebagai penggarap tanah. Peraturan-peraturan ini mendemonstrasikan bahwa pemerintah Indonesia memahami betapa pentingnya penyediaan bantuan untuk para korban yang tidak mempunyai tanah, termasuk mereka yang tidak memiliki rumah sendiri sebelum bencana dan Oxfam sangat menyetujui hal ini sebagai langkah pertama. Di bawah peraturan ini para pemilik rumah pra-tsunami berhak mendapatkan tanah gratis dan sebuah rumah 36 meter persegi, sementara para penyewa pra-tsunami akan menerima sekitar 2.800 dolar (sekitar 25 juta rupiah) dan penggarap 1.150 dolar (sekitar 10 juta rupiah). Namun demikian Oxfam yakin bahwa pendekatan pemerintah tidak sepenuhnya menanggulangi masalah, karena penundaan dalam skema dikombinasikan dengan inflasi di pasar penyewaan tanah (inflasi umum di

Page 10: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

10 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Aceh sekitar 40% pada tahun 2005xxv) berarti para penyewa dan penggarap tanah akan tetap tidak memiliki rumah dan tinggal di barak-barak entah hingga kapan. Juga ada potensi kecurangan dan pengeluaran yang sia-sia. Kebijakan pembayaran tunai tidak akan bisa memberikan akses bagi para penyewa dan penggarap atas perumahan dan akibatnya kelompok ini akan tetap terpaksa tinggal di barak. Peraturan BRR kini hanya memperbolehkan pemukiman baru di atas tanah-tanah yang dibeli oleh pemerintah, yang seringkali tidak sesuai untuk mencari kehidupan. Reintegrasi penyewa dan penggarap yang berbasis masyarakat dikombinasikan dengan perencanaan dalam tingkat desa lebih efisien, berkesinambungan dan adil. Kebingungan dan ketidakadilan peraturan berkontribusi pada mendidihnya krisis di barak. Pada bulan September 2006, rasa frustrasi masyarakat tersebut menghasilkan sebuah demonstrasi oleh para penghuni barak besar-besaran di kantor BRR. Kesimpulan dan Rekomendasi Perlindungan hak atas tanah, hak milik dan sumberdaya adalah hal yang sangat penting dalam proses pembangunan kembali dan pemulihan Aceh. Akses yang tidak adil atas tanah dan sumberdaya menjadi jantung dalam pembangunan provinsi. Dua tahun setelah tsunami melanda, kelompok-kelompok yang paling miskin dan terpinggirkan dalam masyarakat Aceh – para penggarap, keluarga yang dikepalai oleh perempuan dan anak yatim piatu – masih menghadapi sebuah krisis tentang di mana dan kapan mereka akan dipindahkan dan diberikan rumah yang baru. Sangat mendesak untuk segera menemukan solusi masalah ini dan mengeluarkan orang-orang dari barak-barak secepat mungkin. Studi Kasus: Oxfam Membantu Para Penduduk Desa Lhokseudu Untuk Mandiri Lima puluh keluarga di tiga desa di Lhokseudu, di kawasan pantai kecamatan Aceh Besar, kehilangan tanah dan rumah-rumah mereka. Hanya beberapa bulan setelah bencana, keluarga-keluarga itu mulai bernegosiasi mengenai tanah baru dengan para pemilik tanah di desa tersebut. Pada pertengahan Mei 38 KK setuju untuk membeli 5.000 meter persegi tanah dengan pinjaman selama dua tahun. Bersama para penduduk desa Oxfam melakukan survei dan memetakan tanah ini, membaginya menjadi bidang-bidang dan memulai perencanaan desa. Keberhasilan proyek ini mendorong 12 keluarga lainnya untuk pindah ke tempat yang baru dan berintegrasi kembali dengan komunitas mereka. Badan-badan PBB dan BRR sedang mengerjakan rencana aksi untuk barak-barak, termasuk pendaftaran para pengungsi dan pergerakan mereka, memperbaiki kondisi di barak-barak dan membantu mereka untuk pindah ke rumah-rumah baru ketika telah dibangun.

Page 11: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

11 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Oxfam menyerukan koordinasi dan komitmen yang lebih kuat dari Pemerintah di jajaran semua tingkat serta komunitas internasional di Aceh untuk menemukan solusi jangka panjang dan memastikan proses penanganan pusat penampungan sementara yang efektif. Oxfam meningkatkan bantuannya untuk para penghuni barak, dengan insinyur dan pekerja kesehatan untuk memberikan bantuan pada mereka yang paling membutuhkan. Mereka akan memonitor sanitasi dan kesehatan masyarakat di barak-barak di Aceh Besar dan Banda Aceh. Namun demikian hal ini bukanlah solusi jangka panjang. Penyesuaian kebijakan-kebijakan terhadap para penyewa dan penggarap, juga bagi mereka yang membutuhkan pemukiman baru, sangat dibutuhkan. BRR seharusnya mengklarifikasi kebijakan-kebijakannya terhadap para penyewa dan penggarap sesegera mungkin dengan membuat amandemen legal yang formal daripada hanya perubahan kebijakan ad hoc (tidak resmi). Seharusnya ada kerjasama yang lebih baik antara pemerintah Indonesia dan LSM-LSM untuk menyediakan serangkaian pilihan bagi para penyewa dan penggarap, termasuk juga bantuan untuk memperbaharui kesepakatan sewa. Namun demikian Oxfam tidak mengadvokasikan bahwa para penyewa dan penggarap harus secara otomatis menerima perlakuan yang sama seperti para pemilik tanah pra-tsunami; hal tersebut akan menimbulkan masalah sosial. Oxfam percaya bahwa perbaikan dalam kesepakatan sewa – bila memungkinkan – akan menjadi bagian dari keberhasilan kebijakan pertanahan. Oxfam percaya bahwa bahwa pemukiman kembali dan reintegrasi harus dilakukan desa demi desa bila memungkinkan. Pembatas tanah dan bidang dalam sebuah wilayah desa harus disesuaikan, dengan persetujuan dari seluruh anggota desa, sehingga membuat tanah itu tersedia untuk orang-orang yang tidak memiliki tanah. Oxfam telah berpartisipasi dalam proses serupa di Aceh Besar. Terserah pada masing-masing komunitas apakah mereka akan meyediakan tanah untuk disewa atau apakah mereka akan menghibahkan atau menjual tanah tersebut dan mengubah para penyewa dan penggarap menjadi pemilik. Dengan cara apapun, kelompok-kelompok rentan akan ditempatkan kembali di dekat mata pencaharian mereka sebelum tsunami. Alternatifnya – proses pemukiman baru di tanah negara – beresiko melemparkan rakyat Aceh yang paling miskin ke tempat-tempat yang tidak layak dan menciptakan daerah kumuh di masa depan. Bila hal ini terjadi maka janji untuk membuat kehidupan lebih baik bagi seluruh rakyat Aceh akan diingkari dengan kejam.

Page 12: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

12 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

© Oxfam Internasional November 2006

Paper ini ditulis oleh Sean Kenny bersama Lilianne Fan dan Robin Palmer. Oxfam mengakuibantuan Ian Bray dan Dr. Daniel Fitzpatrick dalam pengerjaannya. Ini adalah bagian dariserangkaian paper yang ditulis untuk menginformasikan perdebatan publik mengenai isu-isukebijakan pembangunan dan kebijakan kemanusiaan.

Teks ini dapat digunakan dengan bebas biaya untuk tujuan advokasi, kampanye, pendidikan danriset dengan catatan harus menyabutkan sumber secara lengkap. Pemegang hak cipta memintaagar penggunaan semacam itu didaftarkan pada mereka untuk tujuan penilaian peran. Untukmeyalin dengan cara yang lain atau untuk menggunakan kembali, atau untuk penerjemahan danadaptasi, izin harus disetujui dan biaya mungkin dikenakan. E-mail [email protected].

Untuk informasi lebih lanjut mengenai isu yang ada dalam paper ini mohon mengirim e-mail ke:[email protected].

Page 13: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

13 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Oxfam International adalah gabungan dari tiga organisasi yang bekerjasama di lebih dari 100 negara untuk menemukan solusi berkesinambungan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan: Oxfam Amerika, Oxfam Australia, Oxfam-di-Belgia, Oxfam Kanada, Oxfam Perancis - Agir ici, Oxfam Jerman, Oxfam Inggris Raya, Oxfam Hong Kong, Intermón Oxfam (Spanyol), Oxfam Irlandia, Oxfam Selandia Baru, Oxfam Novib (Belanda), dan Oxfam Québec. Hubungi atau kontak agensi-agensi tersebut di atas untuk informasi lebih lanjut atau kunjungi www.oxfam.org. Oxfam America 226 Causeway Street, Floor 5, Boston, MA 02114-2206, USA Tel: +1.617.482.1211 E-mail: [email protected]

Oxfam Hong Kong 17/fl., China United Centre, 28 Marble Road, North Point, Hong Kong Tel: +852.2520.2525 E-mail: [email protected]

Oxfam Australia 156 George St., Fitzroy, Victoria 3065, Australia Tel: +61.3.9289.9444 E-mail: [email protected]

Intermón Oxfam (Spain) Roger de Llúria 15, 08010, Barcelona, Spain Tel: +34.902.330.331 E-mail: [email protected]

Oxfam-in-Belgium Rue des Quatre Vents 60, 1080 Brussels, Belgium Tel: +32.2.501.6700 E-mail: [email protected]

Oxfam Ireland Dublin Office, 9 Burgh Quay, Dublin 2, Ireland Tel: +353.1.672.7662 Belfast Office, 115 North St, Belfast BT1 1ND, UK Tel: +44.28.9023.0220 E-mail: [email protected]

Oxfam Canada 250 City Centre Ave, Suite 400, Ottawa, Ontario, K1R 6K7, Canada Tel: +1.613.237.5236 E-mail: [email protected]

Oxfam New Zealand PO Box 68357, Auckland 1032, New Zealand Tel: +64.9.355.6500 (Toll-free 0800 400 666) E-mail: [email protected]

Oxfam France - Agir ici 104 rue Oberkampf, 75011 Paris, France Tel: + 33 1 56 98 24 40. E-mail: [email protected]

Oxfam Novib (Netherlands) Mauritskade 9, Postbus 30919, 2500 GX, The Hague, The Netherlands Tel: +31.70.342.1621 E-mail: [email protected]

Oxfam Germany Greifswalder Str. 33a, 10405 Berlin, Germany Tel: +49.30.428.50621 E-mail: [email protected]

Oxfam Québec 2330 rue Notre Dame Ouest, bureau 200, Montréal, Quebec, H3J 2Y2, Canada Tel: +1.514.937.1614 E-mail: [email protected]

Oxfam GB Oxfam House, John Smith Drive, Cowley, Oxford, OX4 2JY, UK Tel: +44 (0)1865.473727 E-mail: [email protected]

Sekretariat Oxfam International:Suite 20, 266 Banbury Road, Oxford, OX2 7DL, UK Tel: +44.(0)1865.339100. Email: [email protected]. Web site: www.oxfam.org Kantor-kantor advokasi Oxfam International: E-mail: [email protected]: 1112 16th St., NW, Ste. 600, Washington, DC 20036, USA Tel: +1.202.496.1170. Brussels: 22 rue de Commerce, 1000 Brussels, Belgium Tel: +322.502.0391. Geneva: 15 rue des Savoises, 1205 Geneva, Switzerland Tel: +41.22.321.2371. New York: 355 Lexington Avenue, 3rd Floor, New York, NY 10017, USA Tel: +1.212.687.2091. Organisasi yang berhubungan dengan Oxfam. Organisasi-organisasi berikut ini berhubungan dengan Oxfam International: Oxfam Japan Maruko bldg. 2F, 1-20-6, Higashi-Ueno, Taito-ku, Tokyo 110-0015, Japan Tel: + 81.3.3834.1556. E-mail: [email protected] site: www.oxfam.jpOxfam India B55, First Floor, Shivalik, New Delhi, 1100-17, India Tel: + 91.11.26693 763. E-mail: [email protected] Web site: www.oxfamint.org.in Anggota observer Oxfam. Organisasi-organisasi berikut ini saat ini adalah anggota observer Oxfam International, yang bekerjasama dengan afiliasi penuh: Fundación Rostros y Voces (México) Alabama No. 105 (esquina con Missouri), Col. Nápoles, C.P. 03810 México, D.F. Tel/Fax: + 52 55 687 3002. E-mail: [email protected] _

Page 14: Hak atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami · PDF fileKorban tsunami yang sebelum bencana ... Namun demikian bahkan ketika para pemilik tanah memiliki surat tanah, ... sebanyak

14 Hak Atas Tanah di Aceh Setelah Dua Tahun Tsunami,

Laporan Briefing Oxfam, November 2006

Notes i Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana BRR NAD-Nias, dikutip dari keterangan pers ReliefWeb, 21 November 2006. ii Dr. Hasanudin Abidin, “Post-Tsunami Land Parcel Reconstruction in Aceh: Aspect, Status and Problems”. Paper diberikan pada kongres FIG Internasional XXIII, Munich, Oktober 2006. iii Aceh Public Expenditure Assessment, September 2006, World Bank. iv Belanda menjajah seluruh atau sebagian besar Indonesia sejak tahun 1602 hingga 1945. v Graham Brown, “Horizontal Inequalities, Ethnic Separatism and Violent Conflict: The Case of Aceh”, UNDP Human Development Report, Occasional Paper no. 28, 2005. vi Ibid. vii UN Office of the Special Envoy for Tsunami Recovery, dari http://www.tsunamispecialenvoy.org/country/humantoll. viii UN Office of the Special Envoy for Tsunami Recovery, dari http://www.tsunamispecialenvoy.org/country/indonesia.asp. ix Ibid. x OCHA Indonesia, 20 Juni, 2005 xi Bagian II – 5 Rencana Utama untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Rakyat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias di Provinsi Sumatra Utara. Dapat diakses di www.bappenas.go.id xii “Agricultural Recovery swift in some areas, slower in others, depending on the regional recovery capacities” UN FAO, http://www.fao.org/ag/tsunami/assessment/assess-damage.html xiii “The Struggle for Land Rights in Post-Tsunami and Post-Conflict Aceh, Indonesia” oleh Lilianne Fan, koordinator kebijakan Oxfam. Paper ini dipresentasikan kepada Bank Dunia November 2006. xiv Analisis ini dibuat oleh Dr Daniel Fitzpatrick dalam laporan UNDP/Oxfam, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-affected Aceh”, hal. 5, Juli 2005. xv “First Year of the Multi Donor Fund Progress Report II”, Juni 2006. xvi Lihat hal. 2, http://www.tsunamispecialenvoy.org/pdf/UNDP_ERTR_newsletter.pdf xvii Walaupun Aceh mempunyai peradilan yang mengurusi masalah keagamaan selama beberapa tahun, baru tahun 2001 dan 2003 sistem peradilan tersebut diberlakukan secara sah. xviii Angka dari unit pemukiman kembali BRR, Okt 2006, seperti yang dilaporkan oleh Lilianne Fan, ibid. xix Menurut wawancara dengan direktur pertanahan BRR, Nov 2006. xx Ibid. xxi Ibid. xxii “Pengatasnamaan Gabungan atas Tanah dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi”, keterangan pers BRR, 19 September 2006. xxiii Perkiraan Pemerintah Indonesia, melalui Badan Khusus BRR Urusan Barak, September 2006. xxiv Badan Khusus BRR Urusan Barak, September 2006. xxv Badan Pusat Statistik (BPS) Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 2005, Katalog BPS: 4701.11