HAK ANAK ATAS NAFKAH TERHUTANG AYAH DALAM...

82
HAK ANAK ATAS NAFKAH TERHUTANG AYAH DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM POSITIF (STUDI PUTUSAN MA NO. 608 K/AG/2003) SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MEMPEROLEH GELAR STARA SATU DALAM HUKUM ISLAM OLEH : ACHMAD HABIBUL ALIM MAPPIASSE 11360053 DOSEN PEMBIMBING: Dr. SRI WAHYUNI, M.Ag, M.Hum NIP. 19770107 200604 2 002 JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015

Transcript of HAK ANAK ATAS NAFKAH TERHUTANG AYAH DALAM...

HAK ANAK ATAS NAFKAH TERHUTANG AYAH DALAM

PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM POSITIF

(STUDI PUTUSAN MA NO. 608 K/AG/2003)

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MEMPEROLEH GELAR

STARA SATU DALAM HUKUM ISLAM

OLEH :

ACHMAD HABIBUL ALIM MAPPIASSE

11360053

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. SRI WAHYUNI, M.Ag, M.Hum

NIP. 19770107 200604 2 002

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2015

ii

ABSTRAK

Kelalaian seorang ayah dalam menunaikan kewajiban memberikan nafkah

kepada anaknya merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab sebagai kepala

rumah tangga. Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat dan tentunya

memberikan konsekuensi karena telah meninggalkan salah satu akibat hukum dari

pernikahan. Hukum telah mengatur dan memberikan perlindungan terhadap anak

bagi ayah yang melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

Penyelewengan ayah terhadap nafkah anak, anak yang diwakili oleh ibu atau

walinya dapat meminta nafkah yang belum terpenuhi melalui pengadilan.

Tuntutan dari ibu atau para wali yang mewakili anak terhadap ayah yang

telah melalaikan kewajiban nafkah merupakan persoalan yang membutuhkan

ketelitian hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara di

pengadilan, baik di tingkat Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, sampai

di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Selain aturan-aturan mengenai nafkah

lampau yang dirumuskan perundang-undangan, dibutuhkan pula ijtihad hakim

dalam memutuskan perkara.

Penelitian ini merupakan studi putusan dengan penelitian kepustakaan

(Library Research) yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan

menelusuri berbagai literatur yang relevan dengan pokok pembahasan, seperti

buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu yang

mengacu ketentuan fiqh dan hukum Positif Indonesia. Penelitian ini bersifat

deskriptif, analitik, dan komparatif. Deskriptif yaitu memusatkan diri dengan

memaparkan dan mendeskripsikan objek penelitian secara sistematis. Dalam

skripsi ini penelitian mendiskripsikan dan menganalisis Putusan Mahkamah

Agung bahwa pihak ayah telah melalaikan kewajibannya untuk menafkahi anak

kandungnya.

Hasil penelitian skripsi ini adalah pertimbangan MA dalam putusannya yang

menolak gugatan nafkah lampau untuk anak yaitu bahwa kewajiban ayah

memberikan nafkah terhadap anaknya merupakan lī intifā’ bukan lī tamlīk.

Berdasarkan ketentuan fiqh, seorang ayah dibebani oleh hukum untuk

memberikan nafkah kepada anaknya. Bagi seorang anak, nafkah tersebut menjadi

haknya untuk dimilikinya demi pemenuhan hidup. Nafkah anak tidak

berkedudukan sebagai sesuatu yang hanya untuk dimanfaatkan tetapi sekaligus

menjadikan anak sebagai pemilik dari nafkah tersebut. Hak nafkah atas seorang

anak dari ayahnya berhenti untuk sementara karena ketidakmampuan ayah dalam

usaha. Namun setelah ayah mempunyai penghasilan dan mampu untuk menafkahi

anaknya, maka ayah diwajibkan kembali untuk menafkahi anaknya dan melunasi

nafkah lampau yang tidak terpenuhi dan apabila ayah tidak memenuhinya maka

hak nafkah dituntut melalui pengadilan.

Berdasarkan ketentuan hukum positif, nafkah anak merupakan akibat

hukum yang harus dipenuhi oleh ayah. Apabila seorang ayah tidak memenuhi

nafkah yang merupakan hak anak tersebut maka telah dianggap melakukan

perbuatan melawan hukum karena telah meninggalkan kewajibannya.

!#g{h*t#&ftpss{H"$+l*5{

,ffi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta FM-UINSK-BM-05-07IRO

SURAT PERSATUJUAN SKRIPSI

Hal : Skripsi Achmad Habibul Alim Mappiasse

Lampiran : 3 (Tiga) Eksemplar Skripsi

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Di Yogyakarta

As salamu' al aikum w arahmatul I ah w ab arakatuh

Setelah membaca, meneliti, memberikan p€tunjuk dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan

seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi Saudara:

Nama : Achmad Habibul Alim Mappiasse

NIM : 11360053

Judul Skripsi : "Hak Anak Atas Nafkah Terhutang Ayah dalam Perspektif Fiqh dan Hukum

Positif (Studi Putusan MA No. 608 MG/2003)".

Sudah dapat diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Jurusan Perbandingan Mazhab tlINSunan Kal4agaYogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam

Ilmu Hukum Islam.

Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan.

Atas perhatiannya kami ucapkanterima kasih.

Was salamu' alaikum warahmatullahi wabarakatult

Y ogy akarta, 02 Sya' ban I 436 H20 Mei 2015 M

' Pembimbinst.2t\ \r\\l\\\\l\

Dr. Sri Wahvqni. S.Ag.. M.As.. M.Hum}\IIP. 19770107 204604 2 042

tll

itr*K1€l/"!g't?fl

e ilrtry# I

Lffi Universitas Islam Negeri Sunan Kahjaga Yogyakarta FM.UINSK.BM.O5-O7IRO

PENGESAHAN SKRIPSINomor: UIN. 021K. PM-SKR/PP.O 0 .9 I 081201 5

Skripsi/Tugas Akhir dengan judul :

o'Hak Anak Atas Nafhah Terhutang Ayah dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif (StudiPutusan MA No. 608 I{/AG/2003)'.

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

Nama

Nim

Telah dimunaqasyahkan pada

Nilai Munaqasyah

dan dinyatakan telah diterima oleh Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syari'ah dan Hukum UINSunan Kald aga Yogyakarta.

Universitas Islam Negeri Sunan KahjagaFakultas Syari'ah dan Hukum

: Achmad Habibul Alim Mappiasse

:11360053

: Kamis,04 Juni 2015

:A

lv

TIM MUNAQASYAH

19770107 200604 2 002

tr24 2001t2 2 002

Yogyakarta, 08 Juni 201

ffidilrril:" !E$x'l 'z\?

70518 199703

:: ,'::_1. i :,1- :

{,.::r'l,ll.L.-::

"l

,li'b Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakana FM-UINSK-BM-05-07/RO

SURAT PERNYATAAI{ KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Achmad Habibul Alim Mappiasse

NIM : 11360053

Jurusan : Perbandin gan Mazhab

Judul : ..HAK ANAK ATAS NAFKAH TERHUTANG AYAH DALAM PERSPEKTIF

FIQH DAII HUKUM POSITIF (STUDT PUTUSAN MA NO. 608 IUAG{2003)"

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini adalah benar asli hasil karya atau laporan

penelitian yang saya lakukan sendiri dan bukan plagiasi dari hasil karya orang lain, kecuali yang secara

tertulis diacu dalam penelitian ini dan disebutkan dalam acuan daftar pustaka.

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta,20 Rajab 1436 H08 Mei 2015 M

Penyusun

Achmad Habibul Alim Mappiasse1 1360053

vi

HALAMAN MOTTO

Tantangan adalah sesuatu yang harus dihadapi bukan dihindari. Oleh karena

itu, kita harus siap menghadapi rintangan meskipun dalam waktu dan tempat yang

berbeda.

المشقة تجلة التيسير

Kesulitan menarik kemudahan

Orang yang berbahagian bukanlah orang yang hebat dalam segala hal, tapi

orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap syukur

atas apa yang dimilikinya.

Bukanlah yang menjadi pemimpin yang diakui oleh masyarakat. Akan tetapi

yang diakui oleh masyarakat yang pantas menjadi pemimpin. (Uciha Itachi)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan Ridho Allah SWT, skripsi ini saya persembahkan kepada kedua

orang tuaku: Puang Mappiasse, Mama Adirah yang telah tulus

membimbing dan mendidik dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan

yang terbaik untuk anak-anaknya.

Kakak-kakakku yang selalu menjadi panutanku dan penyemangatku untuk

menuntut ilmu: Sulaiman Mappiasse, M.Ed., Ph.D., Sudarman

Mappiasse, S.T., Ali Akbarul Falah Mappiasse, S.H.I., dan adikku:

Mahmud Fadil Mappiasse.

Semoga kelak Allah SWT mempersatukan kita semua di surga-Nya,

Aamiin.

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini

berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 157/1987 dan

0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf latin Keterangan

Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا

Bā‟ B Be ة

Tā‟ T Te ث

Ṡā‟ Ṡ Es dengan titik di atas ث

Jim J Je ج

Ḥā‟ Ḥ Ha dengan titik di bawah ح

Khā‟ Kh Ka dan Ha خ

Dal D De د

Żal Ż Zet dengan titik di atas ذ

Rā‟ R Er ر

ix

Zai Z Zet ز

Sîn S Es ش

Syîn Sy Es dan Ye ش

Ṣād Ṣ Es dengan titik di bawah ص

Ḍād Ḍ De dengan titik di bawah ض

Ṭā‟ Ṭ Te dengan titik di bawah ط

Ẓā‟ Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ

Ain ...ʻ... Koma terbalik di atas„ ع

Gain G Ge غ

Fā‟ F Ef ف

Qāf Q Qi ق

Kāf K Ka ك

Lām L El ل

Mîm M Em و

Nūn N En

Waw W We و

Hā‟ H Ha

Hamzah ...‟... Apostrof ء

Yā‟ Y Ye ي

x

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap

يتعقدي

عدة

Ditulis

Ditulis

Muta‘Aqqidīn

‘Iddah

C. Tā’ Marbūtah di Akhir Kata

1. Bila dimatikan, ditulis h:

هبت

جسيت

Ditulis

Ditulis

Hibah

Jizyah

(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah

terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya,

kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al serta bacaan kedua itu terpisah, maka

ditulis dengan h:

’Ditulis Karāmah al-auliyā كرايت األونيبء

3. Bila tā’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah

ditulis:

Ditulis Zakāh al-fiṭri زكبة انفطر

D. Vokal Pendek

xi

____

__ـ__

____

Kasrah

Fatḥah

Dammah

Ditulis

Ditulis

Ditulis

I

A

U

E. Vokal Panjang

1

2

3

4

Fathah + Alif

جبههيت

Fathah + Ya‟ Mati

يسعى

Kasrah + Ya‟ Mati

كريى

Dammah + Wawu Mati

فروض

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ā

Jāhiliyyah

ā

Yas‘ā

ī

Karīm

ū

Furūḍ

F. Vokal Rangkap

1

2

Fathah + Ya‟ Mati

بيكى

Fathah + Wawumati

قول

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ai

Bainakum

Au

Qaulun

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof

xii

أأتى

أعدث

نئ شكرتى

Ditulis

Ditulis

Ditulis

A’antum

U’iddat

Lai’nsyakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti Huruf Qamariyyah

انقرآ

انقيب ش

Ditulis

Ditulis

al-Qur’ ān

al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el) nya.

انسآء

انشص

Ditulis

Ditulis

as-Samā’

asy-Syams

I. Huruf Besar

Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD).

J. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya.

Ditulis Żawī al-furūḍ ذوي انفروض

xiii

Ditulis Ahl as-sunnah أهم انست

xiv

KATA PENGANTAR

تسم هللا الرحمه الرحيم

الحمد هللا رب العالميه, اشهد ان ال إل إال هللا و حدي ال شريك ل و اشهد ان محمدا عثدي و

سيدوا و مىلىا محمد و على ال و صحث أجمعيه, اما تعدي.رسىل اللهم صل و سلم على

Al-hamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah dan rahmatnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi

ini yang berjudul “Hak Anak Atas Nafkah Terhutang Ayah dalam Perspektif

Fiqh dan Hukum Positif (Studi Putusan Ma No. 608 K/AG/2003)”. Shalawat

dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad

SAW, figur manusia sempurna yang mesti dijadikan teladan dalam mengarungi

hidup dan kehidupan ini.

Karya tulis ini merupakan skripsi yang diajukan kepada Fakultas Syari‟ah

dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I). Selama penyusunan skripsi ini,

dan selama penyusun belajar di Fakultas Syari‟ah dan Hukum, penyusun telah

banyak mendapat bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penyusun akan menyampaikan rasa terima kasih

yang sebasar-besarnya kepada:

1. Prrof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;

2. Dr. H. Syafiq Mahmadah Hanafi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;

xv

3. Bapak Dr. Fathorrahman, S.Ag., M.Si., selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta;

4. Bapak Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta;

5. Ibu Dr. Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik

yang telah membimbing penulis selama ini dan sekaligus sebagai pembimbing

skripsi yang penuh ketelitian mengoreksi, kesabaran, dan kesediaan memberi

arahan dengan tulus kepada penyusun dalam penulisan sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini, di tengah-tengah kesibukannya mengajar di

Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta;

6. Seluruh dosen, staf dan civitas akademika Program Studi Perbandingan

Mazhab yang telah memberikan ilmu pengetahuan setulus hati selama masa

kuliah, semoga ilmu yang diberikan kepada penyusun dapat bermanfaat;

7. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta;

8. Kepada kedua orang tua, Puangku Mappiasse dan mamaku Adirah, yang dalam

situasi apapun tidak jenuh menasihati dan memberikan motivasi untuk selalu

menjadi lebih baik, serta penuh ketulusan dan keikhlasan mengalirkan rasa

cinta dan kasih sayang dalam membesarkan, membimbing, mendidik, dan

selalu mendoakan yang terbaik bagi penyusun;

xvi

9. Kakak yang selalu mendukungku dalam hal apapun, Sulaiman Mappiasse,

M.Ed., Ph.D., Sudarman Mappiasse, S.T., Ali Akbarul Falah Mappiasse,

S.H.I., dan adikku Mahmud Fadil Mappiasse, atas dukungan moril maupun

materiil yang selama ini kakak adik berikan untukku.

10. Kepada sahabat-sahabat terbaikku selama ini selalu mendukungku dari

belakang, Irsam, Aziz, Fatih, Enal, Wandi, Immi, Jalil, Raja, Alex, Iwan,

Fadhil, Fajar, Nafed. Warna yang kalian beri, sangat berharga dan akan selalu

ku kenang;

11. Untuk semua teman-teman Jurusan Perbandingan Mazhab 2011, atas segala

kebaikannya, saya sangat bersyukur berada dan menjadi bagian dari kalian.

Meskipun kebersamaan ini hanya sementara, tetapi akan kukenang selalu untuk

selamanya;

12. Sahabat-sahabat KKN UIN SUKA 2013/2014 Angkatan ke 83 terkhusus yang

lokasinya di Pundung, Girikarto, Gunung Kidul, yaitu Feri, Yudit, Oril, Alin,

Fradia, Meli, Dica, berkat kalian KKN ku jadi lebih bermakna. Tak lupa pula

kepada keluarga Bapak Sutarto dan Ibu Murniasih selaku dukuh yang telah

menerima saya dan teman-teman untuk tinggal di rumah bapak ibu selama

KKN.

13. Kepada semua yang tidak bisa saya ungkapkan di sini, saya mengucapkan

terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan imbalan yang berlipat ganda

dan meridhoi semua amal baik yang telah diberikan. Penyusun menyadari

sepenuhnya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini, maka

berbagai saran dan kritik demi perbaikan sangat diharapkan. Sernoga skripsi ini

menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi sernua pihak. Aamiin.

Yogyakarta, 20 Rajab 1436 H08 Mei 2015 M

Penyusun

Achmad Habibul Alim MapniasseI I 3600s3

xv.l1

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

ABSTRAK ............................................................................................................... ii

SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI ...................................................................... iii

PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................. v

HALAMAN MOTTO ............................................................................................. vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN .................................................. viii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. xiv

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Pokok Masalah .............................................................................. 12

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 12

D. Telaah Pustaka .............................................................................. 13

E. Kerangka Teori ............................................................................. 17

F. Metode Penelitian ......................................................................... 25

G. Sistematika Pembahasan ............................................................... 28

xix

BAB II NAFKAH DALAM FIQH DAN HUKUM POSITIF

A. Konsep Nafkah dalam Fiqh .......................................................... 30

1. Pengertian Nafkah ...................................................................... 30

2. Dasar Hukum dan Tanggung Jawab Nafkah ............................... 31

3. Syarat Wajibnya Nafkah ............................................................ 45

4. Kadar dan Ukuran Nafkah .......................................................... 47

5. Gugurnya Nafkah ....................................................................... 48

B. Konsep Nafkah dalam Hukum Positif .......................................... 49

1. Kewajiban Suami Terhadap Istri ................................................ 50

2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak ....................................... 52

3. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua dan Kerabat .................. 61

BAB III NAFKAH TERUTANG AYAH TERHADAP ANAK

A. Menurut Fiqh .............................................................................. 64

1. Pengertian Nafkah Terutang ....................................................... 64

2. Hukum Nafkah Terutang ............................................................ 65

3. Syarat Wajibnya Nafkah Terutang ............................................. 69

4. Kadar atau Banyaknya Nafkah terutang ..................................... 70

B. Menurut Hukum Positif ............................................................. 71

1. Pengertian Nafkah Terutang ....................................................... 71

2. Hukum Nafkah Terutang ............................................................ 73

3. Syarat Wajibnya Nafkah Terutang ............................................. 82

4. Kadar atau Banyaknya Nafkah Terutang ................................... 84

xx

BAB VI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MA PADA PERKARA

NO. 608 K/AG/2003 TENTANG PENOLAKAN GUGATAN

NAFKAH TERHUTANG AYAH TERHADAP ANAK

A. Kasus Posisi .................................................................................. 86

B. Putusan Hakim .............................................................................. 92

C. Analisis Fiqh ................................................................................. 95

D. Analisis Hukum Positif ................................................................. 99

E. Perbandingan Analisis Fiqh dan Hukum Positif ........................... 109

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................... 111

B. Saran ............................................................................................. 113

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 115

LAMPIRAN

LAMPIRAN I : TERJEMAHAN ......................................................................... I

LAMPIRAN II : SALINAN PUTUSAN MA ........................................................ IV

LAMPIRAN III : CURRICULUM VITAE ............................................................ XVII

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan hubungan yang erat dalam hidup dan kehidupan

manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua

keluarga. Dari baiknya pergaulan antara si suami dengan istrinya, kasih mengasih,

akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah

pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan, seperti tolong

menolong dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain

itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa

nafsunya.1

Di dalam KHI Pasal 2 dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam

adalah akad yang sangat kuat atau miṡāqān galīẓān untuk menaati perintah Allah

SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Jumhur ulama menetapkan empat

rukun utama yang harus ada dalam proses akad nikah akar akad yang kuat tersebut

dianggap sah menurut syara’, yaitu: (1) dua mempelai calon suami dan istri, (2)

1 Sulaiman Rasyid, Fikih Islam: Hukum Fikih Lengkap, (Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 1994), hlm. 374.

2 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

(Perbandingan Fikih dan Hukum Positif), cet. 1, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 34.

2

wali dari pihak mempelai putri, (3) dua orang saksi yang adil, dan (4) sigat (ijab

dan qobul).3

Dengan selesai dan sahnya suatu akad pernikahan, maka timbul amanat dan

kewajiban yang suci dan mulia di pundak suami istri secara bersama dan

seimbang, yaitu bersama-sama bertanggungjawab untuk menyelenggarakan

kebutuhan hidup bersama, membina rumah tangga yang sejahtera dan bahagia,

mendidik putra putri kesayangannya, serta melindungi dan memelihara kelestarian

kehidupan rumah tangga dan keturunannya.4

Berketurunan merupakan tujuan pokok di antara pernikahan. Hal ini

merupakan kecintaan laki-laki sebagai akar rumah tangga, begitu juga perempuan.

Karena setiap manusia ingin agar namanya tetap ada dan berlanjut pengaruhnya.

Islam melihat keturunan bagian dari nikmat-nikmat yang menyenangkan

kehidupan dan mencapai kebahagiaan. Ia merupakan nikmat yang menuntut

pujian. Keinginan yang mengharuskan kekuasaan. Oleh karena itu, al-Qur’an

mengancam bagi orang yang memintanya kemudian mengingkari rezekinya dan

tidak bersyukur.

Ketika orang tua merasakan kelelahan dan kesulitan dalam menanggung

anak-anaknya, dan berbagi dengan mereka, jiwa-jiwa mereka tidak kering dengan

kecintaan dan kerinduan mereka.5 Oleh karena itu, Islam telah menjadikan orang

3 Dahlan Thamrin, Filsafat Hukum Islam: Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam,

(Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 151.

4 Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan

di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), hlm. 66.

5 Ali Yusuf as-Subki, Fikih Keluarga, terj. Nur Khozin, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010),

hlm. 252.

3

tua bertanggungjawab pada anak dan mempersiapkan perlengkapan baginya demi

kelangsungan hidup dan perkembangannya, dengan dasar bahwa anak adalah

titipan yang dipercayakan Allah SWT untuk dipelihara dan harus

dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.6

Cinta orang tua terhadap anak bagian dari sifat naluriahnya, dibalik rasa

cinta terhadap anak, orang tua mempunyai pengharapan, semoga mereka menjadi

anak yang saleh dan sholeha berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, nusa, dan

bangsa.

Harapan seperti ini bisa saja sirna begitu saja ketika tidak didasari dengan

pembentukan dan pembinaan rumah tangga yang baik dan Islami, sementara

keluarga yang seperti itu hanya bisa terbentuk dengan adanya ikatan kuat yang

bisa menjalin kasih sayang antara anggota keluarga. Dalam rangka mengikat dan

menjalin kasih sayang antar anggota keluarga ini, Allah SWT menjadikan nasab

sebagai sarana utamanya. Bahkan nasab merupakan karunia dan nikmat paling

besar yang diturunkan oleh Allah SWT. Nasab juga merupakan hak yang paling

pertama yang harus diterima oleh seorang bayi agar terhindar dari kehinaan dan

ketelantaran, sebagaimana adanya kewajiban bagi orang tua untuk memelihara

anaknya agar tidak diambil oleh orang lain yang bukan nasab atau kerabatnya.

Berkaitan dengan status nasab yang merupakan hak pertama bagi seorang

anak, pada tahapan berikutnya anak yang lahir dari rahim seorang ibu akan

memperoleh beberapa hak yang lain, yaitu hak memperoleh beberapa hak yang

6 Dewan Ulama al-Azhar, Ajaran Islam Tentang Perawatan Anak, terj. Alwiyah

Abdurrahman, Cet. 9, (Bandung: al-Bayan, 1994), hlm. 32.

4

lain, yaitu memperoleh air susu ibu (ASI), hak mendapatkan perawatan dan

nafkah secara layak, hak waris, dan perwalian.7 Seperti firman Allah SWT dalam

Surah al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

ال سعب ال تضبس إال تنيف فس ببىعشف مست عيى اىىد ى سصق

ىذة بىذب الىدى بىذ8

Nafkah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami setelah

dilangsungkannya pernikahan. Hal ini diwajibkan karena dengan terpenuhinya

nafkah maka keberlangsungan kehidupan membina rumah tangga dapat terjaga.

Dalam syariat Islam nafkah haruslah diberikan sejak awal setelah akad nikah

diucapkan.

Dalam KUH Perdata juga disebutkan dalam Pasal 104 bahwa: “Suami dan

istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itu pun,

terikatlah mereka dalam suatu perjanjian timbal balik, akan memelihara dan

mendidik sekalian anak mereka”.

Dalam ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dinyatakan kewajiban kedua orang tua pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) bahwa:

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-

baiknya, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku

7 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta: Amzah,

2012), hlm. 14-15.

8 Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 233.

5

sampai anak ini kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban yang mana berlaku

terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Dicantumkan hak-hak seorang anak dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun

1979 sebagai upaya untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, yaitu suatu

tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial,

terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.9

Sedangkan kewajiban suami menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal

80 disebutkan secara terperinci dalam ayat (4), yaitu: Sesuai dengan

penghasilannya:

1. Nafkah, kiswah10

dan tempat kediaman istri;

2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan

anak;

3. Biaya pendidikan bagi anak.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam

Pasal 52 menyebutkan ayat (1) setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang

tua, keluarga, masyarakat dan negara. Ayat (2) hak anak adalah hak asasi manusia

dan untuk kepentingan hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum, bahkan

sejak dalam kandungan.

9 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

cet. 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 352.

10 Kiswah artinya pakaian.

6

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 14

yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya

sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan

bahwa pemisahan itu merupakan demi kepentingan anak terbaik bagi anak dan

merupakan pertimbangan terakhir.

Namun apabila suami melalaikan tugasnya, termasuk berkaitan dengan

nafkah maka istri berhak untuk mengajukan gugatan di Pengadilan. Hal ini sesuai

dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 34

disebutkan, ayat (1) “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Ayat (2)

“Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Ayat (3), “Jika suami

atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan

kepada Pengadilan.

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak hukumnya wajib,

sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan pernikahan.

Adapun dasar hukumnya mengikuti perintah Allah SWT untuk membiayai anak

dan istri dalam firman-Nya pada Surah al-Baqarah ayat 233.

Pemeliharaan anak ini wajib dilakukan oleh orang tua, dan menjadi hak

anak, karena dalam Islam sangat ditekankan adanya keturunan dan generasi

penerus yang baik dan kuat. Untuk mempersiapkan keturunan dan generasi

penerus yang kuat dibutuhkan persiapan bahkan sebelum kehamilan sampai

7

dengan mendidik anak dengan baik sehingga menjadi orang dewasa yang cerdas,

sehat, dan berakhlak mulia.

Adanya kasih sayang antara orang tua dan anak pada dasarnya fitrah

manusia, bahkan fitrah dari seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Apabila ada

hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak yang putus, maka hal itu

disebabkan oleh hawa nafsu yang seharusnya dihindari. Perbedaan apapun

seharusnya tidak menghilangkan rasa kasih sayang di antara mereka, karena inilah

yang sesuai dengan fitrah manusia yang murni. Untuk menghindari dan

mengekang hawa nafsu itu, maka Islam mengatur hak dan kewajiban antara orang

tua dan anak.11

Dalam fiqh ada pemisahan kewajiban kedua orang tua terhadap anak.

Seorang ibu berkewajiban untuk memberi air susu ibu (ASI), merawat,

menyiapkan segala keperluan anak. Maka yang paling berhak mengasuh anak

adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan

dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih

sayang. Kewajiban ibu terhadap anaknya tidak akan terpenuhi semuanya tanpa

ada biaya. Sehingga ayah diberikan kewajiban untuk memenuhi semua keperluan

biaya dari perawatan dan pemeliharaan anak yang dilakukan oleh ibu.

Pemeliharaan tersebut tidak mungkin berjalan secara baik tanpa adanya

nafkah untuk menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sarana

penunjang lainnya supaya anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan

11

M. Nur Kholis Setiawan, Tafsir Mazhab Indonesia, cet. 1, (Yogyakarta: Pesantren

Nawesea Press, 2007), hlm. 81.

8

dapat dikatakan bahwa kewajiban nafkah bagi anak itu masih merupakan bagian

dari ḥaḍānah (pemeliharaan), karena ḥaḍānah merupakan pemeliharaan anak

baik menyangkut kesehatan fisik, mental, maupun perkembangan

pengetahuannya.12

Pada dasarnya pernikahan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai

meninggalnya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki

agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki

putusnya pernikahan itu dalam arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan,

maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya

pernikahan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.

Putusnya perkawinan dengan begitu adalah jalan keluar yang baik.

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama

ayah dan ibu masih terikat dalam tali pernikahan saja, namun juga berlanjut

setelah terjadinya perceraian.13

Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam KHI

Pasal 156 bagian (d) mengenai akibat dari putusnya pernikahan, yaitu: “Semua

biaya ḥaḍānah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat

mengurus diri sendiri (21 tahun)”.

Tentang akibat hukum sebab berakhirnya pernikahan, Undang-undang

Perkawinan mengaturnya secara garis besar, dengan bertitik berat pada

12

Ibid., hlm. 82.

13 Ibid., hlm. 328.

9

terjaminnya kelestarian serta kepentingan hidup anak-anak dan penyelesaian harta

pernikahan dengan cara yang sebaik-baiknya. Kemudian tentang pengurusan,

pengasuhan dan pemeliharaan anak diatur dalam Pasal 41 yang memuat ketentuan

sebagai berikut:14

1. Baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak, maka Pengadilan berwenang

memberikan Keputusannya.

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan oleh anaknya itu. Bilamana dalam kenyataan bapak tidak bisa

memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan yang berwenang dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan yang berwenang dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi

bekas istri.

Berdasarkan bunyi Pasal di atas, maka jika terdapat perselisihan mengenai

pengawasan dan biaya pemeliharaan anak-anak, maka Pengadilanlah yang

menentukan dengan Keputusannya.

Kewajiban tersebut telah disebutkan dalam al-Qur’an, dengan adanya

ketentuan kewajiban tersebut, maka nafkah menjadi hak anak yang harus

diberikan kepadanya. Sebab dalam teori tentang hak menyebutkan bahwa salah

satu sumber dari adanya hak yaitu dalil-dalil syara’ mengenai perintah untuk

14

Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan..., hlm. 98.

10

memberi nafkah kepada kerabat dekat yang melahirkan hak secara langsung.

lain.15

Dalam pengertian umum hak dapat diartikan kekuasaan mengenai sesuatu

atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya. Hak juga merupakan

suatu tuntutan yang ditetapkan oleh syara’ dari seseorang terhadap orang lain atau

ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau

suatu beban hukum.16

Dalam kasus gugatan nafkah anak yang tidak dipenuhi oleh suami selama

ikatan pernikahan masih berlangsung termasuk penyelesaian sengketa

perkawinan. Walaupun kedua belah pihak telah terputus ikatan pernikahannya,

istri sebagai Termohon berhak untuk melakukan gugatan atas nafkah anak yang

tidak dibayarkan oleh Pemohon. Sesuai riwayat bahwa Nabi SAW. memutuskan

bagi Hindun istri Abu Sufyan untuk mengambil haknya meskipun tidak diketahui

oleh suaminya melalui sabdanya:

حذثب حذ ب مثش أخبشب سفب ع شب ع أب عبئشت سض هللا عب أ ذا

به خزي قبىت ىيب صيى هللا عي سي إ أبب سفب سجو شحح فأحتبج أ اخز بى ق

نفل ىذك ببىعشف ب17

15

Wahbah Az-zuhaili, Fikih Islam Wa adillatuhu Jilid 4..., hlm. 838.

16 Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, cet. 8, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 33.

17 Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 26: Shahih Bukhari, terj.

Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 563.

11

Dalam kasus yang akan dibahas ini, gugatan nafkah lampau anak termasuk

bagian dari proses cerai talak yang telah diajukan oleh Pemohon sebagai suami

dari termohon di Pengadilan Agama Buntok. Dalam proses persidangan tersebut

Termohon mengajukan beberapa gugatan rekonvensi18

terhadap Pemohon

(Tergugat Rekonvensi) salah satunya ialah menghukum Tergugat Rekonvensi

untuk membayar nafkah anak kepada Penggugat Rekonvensi (Termohon).

Menurut Penggugat Rekonvensi, Tergugat Rekonvensi sebagai seorang ayah dari

anaknya telah melalaikan kewajibannya untuk menafkahi anak yang merupakan

hasil pernikahan mereka. Penggugat Rekonvensi dalam gugatannya menyebutkan:

“Bahwa sejak Januari 2000 sampai sekarang Tergugat Rekonvensi tidak pernah

memberi nafkah kepada anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi

yang bernama Ariyanto berumur 14 tahun.

Perkara ini, telah diputuskan di Pengadilan Agama Buntok yang putusannya

menolak semua gugatan rekonvensi Termohon. Termohon mengajukan banding

ke Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya dan telah diputuskan, dalam putusan

menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima. Kemudian

Pembanding mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Memori kasasi yang

diajukan oleh Penggugat Rekonvensi tersebut ditolak oleh MA dengan perbaikan

amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya untuk mengabulkan

18

Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap

gugatan yang diajukan penggugat kepadanya pada saat proses pemeriksaan gugatan yang diajukan

penggugat. (Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.

468).

12

sebagian dari gugatan rekonvensi, namun gugatan Penggugat rekonvensi berkaitan

dengan nafkah lampau anak tetap tidak dikabulkan.

Sehubungan dengan hal ini, penyusun merasa tertarik untuk membahas

lebih lanjut putusan Mahkamah Agung hak nafkah anak yang terutang dengan

penyusun skripsi yang berjudul “Hak anak atas nafkah terutang ayah dalam

perspektif fiqh dan hukum positif dengan melakukan studi Putusan Mahkamah

Agung No. 608 K/AG/2003.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa rumusan masalah yang

kemudian penyusun angkat dalam tulisan ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan nafkah terutang ayah terhadap anak dalam perspektif

fiqh dan hukum positif?

2. Pertimbangan apa yang digunakan Hakim Mahkamah Agung dalam

memberikan Keputusan penolakan gugatan nafkah terutang ayah terhadap

anak?

3. Bagaimana perbandingan antara fiqh dan hukum positif mengenai Keputusan

penolakan gugatan nafkah terutang ayah terhadap anak?

C. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan yang dikehendaki penyusun adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketentuan dan gambaran umum

yang jelas mengenai nafkah terutang ayah terhadap anak dalam perspektif fiqh

dan hukum positif.

13

2. Untuk menjelaskan alasan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan

Keputusan penolakan gugatan nafkah terutang ayah terhadap anak.

3. Untuk perbandingan antara fiqh dan hukum positif mengenai Keputusan

penolakan gugatan nafkah terutang ayah terhadap anak

Setelah selesainya penyusunan ini diharapkan hasilnya akan memberikan

manfaat secara teoretis , dan praktis. Secara teoretis:

1. Dengan penelitian ini diharapkan akan berguna bagi pengembangan pemikiran

di bidang hukum, dan juga sebagai kontribusi penyusun dalam bidang hukum

Islam terutama mengenai nafkah terutang ayah terhadap anak.

2. Ikut serta memberikan kontribusi wawasan seputar permasalahan nafkah

terutang ayah terhadap anak yang ada dalam fiqh dan hukum positif.

Secara praktis, dengan penelitian ini diharapkan akan berguna bagi para

praktisi di bidang hukum terkait dengan konsep nafkah terutang ayah terhadap

anak.

D. Telaah Pustaka

Sejauh yang penyusun ketahui, belum ada buku yang membahas secara

khusus dan detil tentang nafkah terutang ayah terhadap anak dalam perspektif fiqh

dan hukum positif, namun ada beberapa ulasan yang berkaitan dengan nafkah

terutang ayah terhadap anak. Umpamanya karya Sulaiman Rasyid dalam bukunya

Fiqh Islam, disebutkan bahwa apabila hubungan pernikahan putus antara suami

14

dan istri dalam segala bentuknya, maka akan memunculkan dua akibat, yaitu

iddah dan ḥaḍānah.19

Selanjutnya dalam buku yang berjudul Fiqh Tujuh Madzhab, karya

Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, dalam bab Nikah tidak menyebutkan nafkah

anak, pada sub bab ini yang berkaitan dengan nafkah hanya nafkah atas istri yang

ditalak ba’in.20

Dan dalam buku yang berjudul Fiqh Lima Mazhab, karya Muhammad

Jawad Mughniyah, dalam bab Nikah dan pada sub babnya hanya menyebutkan

hak atas nafkah, mengasuh anak, perkiraan nafkah, nafkah untuk kaum kerabat.21

Skripsi yang disusun oleh Yusuf Effendi yang berjudul Pemberian Hak

Ḥaḍānah Anak kepada Mantan Suami Akibat Perceraian. Skripsi ini

menggunakan pendekatan normatif dan yuridis, yaitu dengan melihat apakah

putusan Hakim PA Yogyakarta ini telah sesuai atau tidak dengan kaidah hukum

Islam dan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan penetapan hak

ḥaḍānah kepada sang suami. Kesimpulan dari skripsi tersebut yaitu fakta yang

diajukan oleh penggugat (suami), seperti tergugat (istri) pergi mencari nafkah

tanpa pamit kepada si suami, buruknya moral dan akhlak tergugat yang

menjadikan anak tidak terurus yang kemudian hal ini penjadi pertimbangan hakim

untuk memberikan putusan bahwa hak ḥaḍānah anak kepada suami.

19

Sulaiman Rasyid, Fikih Islam: Hukum Fikih Lengkap..., hlm. 414-428.

20 Muhammad Syalthut dan Ali As-Sayis, Fikih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-

Kaaf, cet. 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 223-244.

21 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B., dkk, cet. 7,

(Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 400-430.

15

Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut semata-mata untuk kepentingan dan

kebaikan masa depan anak, terlepas dari ibu ataupun bapak yang berhak

mendapatkan hak ḥaḍānah anak.22

Skripsi yang disusun Mohamad Mufid Adiansyah yang berjudul Pelaksanaan

Pemberian Nafkah dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian (Studi di

Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2003). Skripsi ini

menggunakan pendekatan normatif-yuridis yaitu suatu pendekatan yang

digunakan untuk menilai benar atau salah menurut norma dan hukum yang ada

terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan penelitian pelaksanaan pemberian

nafkah dan pemeliharaan anak akibat perceraian di Kecamatan Cilongok

Kabupaten Banyumas tahun 2002-2003. Disimpulkan bahwa setelah terjadinya

perceraian, pelaksanaan pemberian nafkah dan pemeliharaan akibat perceraian di

Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas tahun 2002-2003 hanya dilaksanakan

oleh pihak ibu, nenek dari ibu dan dari seluruh sampel pihak laki-laki hanya

terdapat 4 suami yang melaksanakan dengan cara rutin, 6 kadang-kadang dan

selebihnya tidak pernah memenuhi kewajibannya. Dalam pelaksanaan pemberian

nafkah dan pemeliharaan anak akibat perceraian terdapat faktor yang menjadi

penghambat yaitu: faktor ekonomi, faktor kesadaran hukum, faktor gaibnya suami

22

Yusuf Effendi, Pemberian Hak Ḥaḍānah Anak kepada Mantan Suami Akibat

Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2004-2005), Skripsi pada

Jurusan Al-ahwal Asy-syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2007.

16

dan faktor kesadaran ibu sebagai wali anak terhadap hak-hak anak yang harus

dipenuhi oleh pihak suami.23

Kemudian skripsi yang disusun oleh Ahmad Darsuki yang berjudul

Tinjauan Hukum Islam terhadap Tuntutan Nafkah Terutang di Lingkungan

Pengadilan Agama. Dilakukan analisis secara kritis berdasarkan Undang-Undang

yang berlaku yang ada hubungannya dengan perkara nafkah terutang suami

terhadap istri. Skripsi ini berkesimpulan bahwa semua nafkah yang telah lampau

yang masih belum dipenuhi oleh suami harus dilunasi pada pihak istri sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal

24 ayat (2) huruf a jo. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 136 ayat (2) huruf a

yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus

ditanggung oleh suami. Sedangkan dalam hukum Islam mengenai ketentuan-

ketentuan nafkah terutang dari suami, apabila yang terjadi keengganan dari pihak

suami dengan melalaikan kewajibannya tanpa memberi nafkah terhadap istri

selama ikatan perkawinan berlangsung sedangkan sebab dan syarat istri untuk

mendapatkan nafkah sudah terpenuhi, maka nafkah yang tidak dibayar sewaktu

ikatan pernikahan tersebut secara langsung menjadi hutang harus

dipertanggungjawabkan kecuali kalau dilunasi dan dibebaskan oleh istri.24

23

Mohamad Mufid Adiansyah, Pelaksanaan Pemberian Nafkah dan Pemeliharaan Anak

Akibat Perceraian (Studi di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2003),

Skripsi pada Jurusan Al-ahwal Asy-syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2004.

24 Ahmad Darsuki, Tinjauan Hukum Islam terhadap Tuntutan Nafkah Terutang di

Lingkungan Pengadilan Agama, Skripsi pada Jurusan Al-ahwal Asy-syakhsiyyah Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

17

Skripsi yang pertama membahas tentang alasan hakim PA Yogyakarta

dalam memberikan putusan hak ḥaḍānah anak kepada bapak akibat perceraian.

Yang kedua membahas tentang pelaksanaan pemberian nafkah dan pemeliharaan

anak dan faktor apa saja yang menjadi penghambat terlaksananya pemberian

nafkah dan pemeliharaan anak akibat perceraian di Kecamatan Cilongok

Kabupaten Banyumas tahun 2002-2003. Yang terakhir, membahas tentang

tinjauan hukum Islam terhadap tuntutan nafkah terutang di lingkungan pengadilan

agama berdasarkan hukum Islam yang bersumber dari nas al-Qur’an, hadis,

kaidah fiqh dan lain-lain. Adapun yang membedakan penelitian penulis dengan

skripsi yang disebutkan di atas yaitu, penelitian ini dalam memecahkan persoalan

nafkah lampau anak dengan menggunakan kerangka teori yang berdasarkan pada

ketentuan fiqh mengenai hak dengan memaparkan pengertian, cara melaksanakan,

menjaga dan perlindungan terhadap pemegang hak. Selain itu, pandangan hukum

positif berkaitan dengan hak hak keperdataan seseorang meliputi hak kebendaan

dan hak perorangan digunakan untuk menguatkan kedudukan anak dalam

kekuasaan atas nafkah yang dibebankan kepada ayahnya.

E. Kerangka Teori

Fiqh merupakan kumpulan aturan yang meliputi berbagai hal perbuatan

manusia. Tidak hanya berupa aturan mengenai semua hubungan manusia dalam

urusan pribadinya sendiri, tetapi juga semua hubungan manusia dengan manusia

lain, bahkan dalam hubungannya sebagai umat dengan umat yang lain.25

25

A. Djazuli, Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, cet.

5, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 42.

18

Fiqh dihasilkan melalui usaha penggalian, pemahaman, dan perumusan

yang dilakukan oleh seseorang yang berkualitas mujtahid. Mujtahid dalam

usahanya menghasilkan fiqh itu merujuk kepada wahyu Ilahi yang terdapat dalam

al-Qur’an dan penjelasannya yang terdapat dalam hadis Nabi.26

Tujuan Allah SWT mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia

maupun di akhirat.

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu, berdasarkan penelitian para

ahli uṣul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan:

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Dalam hal memelihara keturunan pada peringkat darūriyyat, yaitu

memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia,

Allah SWT mensyariatkan nikah dan melarang zina. Bila hal ini diabaikan,

eksistensi keturunan akan terancam.27

Sebab-sebab seorang wajib memberi nafkah adalah satu dari tiga perkara,

yaitu:

a. Keturunan

Bapak atau ibu, jika bapak tidak ada, ibu wajib memberi nafkah kepada

anaknya. Begitu juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai bapak. Syarat

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4.

27 Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. 1,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 5.

19

wajibnya nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak ialah apabila si anak masih

kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula.

Begitu pula sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada kedua ibu bapaknya

apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta.

b. Pernikahan

Suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya yang taat, baik makanan,

pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di

tempat masing-masing dan menurut kemampuan suami.

c. Pemilikan

Seseorang yang memiliki binatang wajib memberi makan binatang itu, dan

dia wajib menjaganya jangan sampai diberi beban lebih dari semestinya.28

Ketiga perkara ini termasuk kewajiban ayah menafkahkan anak-anaknya,

atau anak menafkahkan ayahnya yang susah, suami menafkahkan istrinya, tuan

menafkahkan hamba sahayanya.29

Pernikahan merupakan salah satu sebab yang

mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan kekerabatan.30

Kewajiban

suami terhadap istri yang bersifat materiil dan kontinu atau terus menerus selama

tali ikatan pernikahan masih terbuhul, yaitu berupa nafkah untuk istri dan anak,

yakni belanja untuk keperluan hidup bagi istri dan anak dalam menjamin

28

Sulaiman Rasyid, Fikih Islam: Hukum Fikih Lengkap..., hlm. 422.

29 Muhammad Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah Buku 6, (Jakarta: Kompas Gramedia,

2010), hlm. 139.

30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B., dkk, hlm. 400.

20

kelestarian hidup secara layak.31

Adapun dasar hukumnya mengikuti perintah

Allah SWT untuk membiayai anak dan istri dalam firman-Nya dalam al-Qur’an

pada Surah al-Baqarah (2) ayat 233.

Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah

berpendapat bahwa alasan mengapa pihak suami diwajibkan menafkahi istrinya

adalah karena adanya hubungan timbal balik antara suami istri. Atau dengan kata

lain bahwa yang menjadi sebabnya posisi suami sebagai suami dan istri sebagai

sebagai istri, termasuk kewajiban istri untuk menyerahkan dirinya kepada suami

secara sukarela untuk diperlakukan sebagai istri.32

Konsekuensi lain dari adanya akad nikah yang sah adalah kewajiban

seorang ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan dalam perkawinan sah

tersebut. Seorang ayah kandung berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah

anak kandungnya, dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan hak

nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan

lainnya.

Dalam literatur fiqh, antara lain dalam buku al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh

oleh Wahbah az-Zuhaili, dijelaskan bahwa yang menjadi landasan atau sebab

kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak, selain disebabkan adanya

hubungan nasab antara ayah dengan anak, adalah kondisi anak yang sedang

membutuhkan pembelajaan. Anak yang masih belum mandiri dalam

31

Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan..., hlm. 56.

32 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:

Kencana, 2010), hlm. 155.

21

pembelanjaan hidup, hidupnya tergantung pada adanya pihak yang

bertanggungjawab untuk menjamin nafkah hidupnya. Dalam hal ini, orang yang

paling dengat seorang anak adalah ayah dan ibunya. Apabila sang ibu

bertanggungjawab atas pengasuhan anak di rumah tangga, maka sang ayah

bertanggungjawab untuk mencarikan nafkah anaknya.33

Kewajiban dan hak tidak bisa terpisahkan karena keduanya saling

melengkapi. Sehingga keduanya dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang.

Apabila salah satu dari kedua hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan

menimbulkan ketidakharmonisan dalam keberlangsungan rumah tangga. Yang

dimaksud dengan kewajiban di sini adalah apa yang mesti dilakukan seseorang

terhadap orang lain, sedangkan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang

dari orang lain. Hak anak merupakan kewajiban bagi ayah, sebaliknya kewajiban

anak merupakan hak bagi ayah.34

Dalam teori-teori fiqh terdapat pembahasan mengenai hak. Dalam bahasa

Arab hak memiliki makna yang berbeda-beda diantaranya diartikan sebagai: tetap

dan wajib, sesuatu yang ada dan kokoh, kewajiban terhadap mereka. Prof.

Musthafa Zarqa’ mengatakan, hak itu adalah kepemilikan yang ditetapkan oleh

syara’ baik dalam bentuk kewenangan maupun pembebanan.

Hak memiliki dua rukun yaitu si pemilik hak yang disebut dengan mustahiq

dan mahall (objek) hak yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hak itu. Objek

hak ini bisa berbentuk sesuatu yang jelas dan yang berhubungan dengan hak

33

Ibid., hlm. 158.

34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam..., hlm. 159.

22

seperti dalam hak benda atau utang. Pada hak-hak personal seperti hubungan

antara pemilik utang dan orang yang berutang di tambahkan rukun ketiga yaitu:

al-madin (orang yang berutang) yang dibebankan untuk menunaikan hak si

pemilik utang.35

Dampak atau efek yang ditimbulkan setelah hak itu berlaku untuk seseorang

yaitu pemenuhan dan menjaga hak. Pemenuhan terhadap hak manusia atau

seorang hamba, yaitu dengan cara mengambil hak tersebut dari mukallaf (pihak

yang dibebankan untuk menunaikan hak) dengan suka rela dan keridhaan.

Seandainya jika ia tidak mau menyerahkan hak tersebut, jika yang ada di dalam

kekuasaannya adalah hak itu sendiri (dalam bentuk benda) seperti barang yang

dirampas, dicuri atau dititipkan, atau jenis dari hak tersebut seperti barang-barang

yang sepadan dengan barang yang dirampas ketika barang asli rusak atau hilang,

di mana jika hak tersebut langsung diambil oleh si pemilik hak akan terjadi fitnah

atau kemudharatan; atau yang dalam kekuasaannya berbeda sama sekali dengan

jenis dari hak tersebut, maka si pemilik hak tidak berhak untuk mengambil hak itu

sendiri berdasarkan kesepakatan para fukaha, melainkan mesti melalui media

hukum.36

Adapun jika yang berada dalam genggaman atau kepemilikan orang yang

mengambil itu adalah harta dari jenis hak yang sesungguhnya, dan tidak akan

terjadi fitnah atau kemudharatan jika diambil dengan cara tertentu, pendapat yang

35

Wahbah Az-zuhaili, Fikih Islam Wa adillatuhu Jilid 4, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 362-364.

36 Ibid., hlm. 377.

23

mahsyur di kalangan Malikiyyah dan Hanabilah adalah pemilik hak dapat

mengambil haknya tersebut melalui pengadilan. Berdasarkan sabda Rasulullah

SAW.,

ب أب مشب حذثب طيق ب غب ع ششل قس ع أب حص ع أب صبىح حذث

تل ال تخ ائد األبت إىى ع أب ششة قبه قبه اىب صيى هللا عي سي إ

حذث حس غشب قذ رب بعض أو اىعي إىى زا اىحذث زاقبه أب عسى خبل

فزب ب فقع ى عذ شء فيس ى أ حبس ع قبىا إرا مب ىيشجو عيى اخش شء

بقذس ب رب ى عي سخص ف بعض أو اىعي اىتببع قه اىثسي قبه إ

مب ى عي دسا فقع ى عذ دبش فيس ى أ حبس بنب دسا إال أ قع عذ ى

يدسا في حئز أ حبس دسا بقذس ب ى ع37

Syariat telah menegaskan untuk menjaga hak seorang pemilik dari berbagai

tindak kezaliman dalam berbagai bentuk seperti tanggungjawab di hadapan Allah,

tanggungjawab sosial, dan pengakuan terhadap hak untuk mengajukan perkara di

pengadilan.38

Sedangkan dalam KUH Perdata pada buku kedua Pasal 499, menyebutkan

bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap

barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dan Pasal 500

menyebutkan bahwa Segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam

suatu kebendaan, seperti pun segala hasil karena pekerjaan orang, selama yang

37

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At-Tirmidzi, terj. Fachrurazi,

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 47.

38 Wahbah Az-zuhaili, Fikih Islam Wa adillatuhu Jilid 4..., hlm. 380.

24

akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu laksana dahan dan akar terpaut pada

tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi. Atas kebendaan

tersebut, seseorang dapat mempunyai kedudukan untuk menguasainya. Dalam

buku yang berjudul Cakap Hukum; Bidang Perkawinan dan Perjanjian disebutkan

bahwa hak kebendaan contohnya seperti nafkah.39

Yang dinamakan dengan kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang

yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan

perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku

orang yang memiliki kebendaan tersebut (Pasal 529).

Tentang bagaimana cara kedudukan berkuasa diperoleh, dipertahankan dan

berakhir diatur dalam KUH Perdata Pasal 538-548 diantaranya dinyatakan bahwa

kedudukan berkuasa atas suatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan

perbuatan menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya, dengan maksud

mempertahankannya untuk diri sendiri. Tiap-tiap anak belum dewasa, seperti

perempuan yang bersuami, dapat memperolehnya dengan cara melakukan

perbuatan tersebut di atas. Kedudukan demikian itu dapat diperoleh baik dengan

diri sendiri, atau dengan perantara orang lain.

Tiap-tiap pemegang kedudukan berkuasa atas suatu kebendaan, dianggap

mempertahankan kedudukannya, selama kebendaan itu tak beralih ke tangan

orang lain atau selama kebendaan tadi tidak nyata telah ditinggalkannya.

Kedudukan berkuasa seorang yang meninggal dunia, atas segala apa yang sewaktu

39

Dadan Muttaqien, Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. 1,

(Yogyakarta: Insania Cita Press, 2006), hlm. 36.

25

hidup dikuasainya, pada saat meninggalkannya beralih ke tangan para ahli

warisnya, dengan segala sifat dan aibnya. Atas kehendak si yang memangku

kedudukan sendiri, berakhirlah kedudukan itu baginya, apabila kebendaan

diserahkan olehnya kepada orang lain. Bahkan tanpa kehendak si yang

berkedudukan itu baginya, apabila kebendaan dikuasainya, nyata telah

ditinggalkannya.

F. Metode Penelitian

Untuk mencapai apa yang diharapkan dalam penelitian, penyusunan

menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi putusan dengan penelitian kepustakaan

(Library Research) yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan

menelusuri berbagai literatur yang relevan dengan pokok pembahasan, seperti

buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif40

, analitik, dan komparatif. Deskriptif yaitu

memusatkan diri dengan memaparkan dan mendeskripsikan objek penelitian

secara sistematis. Dalam skripsi ini penelitian mendiskripsikan dan menganalisis

Putusan Mahkamah Agung bahwa pihak ayah telah melalaikan kewajibannya

untuk menafkahi anak kandungnya. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa

pokok pikiran kemudian memaparkan data mengenai nafkah terutang,

40

Lely J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. 22, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2006), hlm. 11.

26

dimaksudkan agar penulis dapat memperoleh data yang akurat mengenai dasar

dan tinjauan umum terhadap putusan MA dan kemudian dianalisis menggunakan

perbandingan dalam fiqh maupun hukum positif.

3. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yaitu

dengan menggunakan pendekatan normatif-yuridis,41

dimana penulis melakukan

analisis yuridis terhadap putusan MA dalam perspektif hukum positif dan fiqh.

4. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni sumber data

primer, sekunder dan tersier yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, bahan yang memiliki kekuatan mengikat yang

berkaitan dengan objek penelitian, antara lain: Putusan Mahkamah Agung

No. 608 K/AG/2003, KUH Perdata, KUH Pidana, Undang-undang Nomor 4

Tahun tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

dan Kompilasi Hukum Islam, dan kitab-kitab fiqh.

b. Bahan Hukum Sekunder, bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, yaitu: buku, artikel, majalah, dan bahan informasi

lainnya yang berkaitan dengan nafkah terutang ayah terhadap anak dalam fiqh

dan hukum Positif.

41

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2006), hlm. 41

27

c. Bahan Hukum Tersier, bahan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan

hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan

internet yang dapat menjelaskan tentang arti, maksud, dan istilah yang terkait

dengan pembahasan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka maka pengumpulan data

dilakukan dengan mempelajari berkas perkara berupa putusan Mahkamah Agung

yang menyatakan bahwa nafkah terutang ayah terhadap anak tidak dapat digugat.

Dengan menelusuri naskah atau literatur yang berkaitan dan relevan dengan

permasalahan yang diteliti kemudian mengklasifikasikan data-data tersebut.

Untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui lembar kertas bantu.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang

mudah dibaca dan diinterpretasikan. Penyusunan menggunakan analisis deskriptif,

yakni usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan

analisis terhadap data tersebut. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisa dengan

menggunakan metode deskriptif-deduktif, artinya menggambarkan hasil penelitian

dengan diawali oleh dalil umum atau teori tentang nafkah terutang, putusan,

kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian

tentang Putusan Mahkamah Agung No. 608 K/AG/2003 yaitu penolakan nafkah

terutang ayah terhadap anak kandungnya.

28

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi agar lebih sistematis, maka disusun sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas secara singkat terkait

dengan judul skripsi yang dibahas penulis, meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua, merupakan deskripsi tentang tinjauan umum nafkah dalam fiqh

dan hukum positif. Menurut fiqh meliputi pengertian nafkah, dasar hukum dan

tanggungjawab nafkah, syarat wajibnya nafkah, kadar dan ukuran nafkah,

gugurnya nafkah. Sedangkan berdasarkan hukum positif meliputi kewajiban

suami terhadap istri, kewajiban suami terhadap anak dan kewajiban anak terhadap

orang tua dan kerabat.

Bab tiga, merupakan deskripsi tentang nafkah terutang ayah terhadap anak

dalam perspektif fiqh meliputi: pengertian nafkah terutang, hukum nafkah

terutang, syarat wajibnya nafkah terutang, kadar atau banyaknya nafkah terutang.

Nafkah terutang ayah terhadap anak dalam perspektif hukum positif yang

meliputi: pengertian nafkah terutang, nafkah terutang ayah terhadap anak dalam

perspektif hukum positif.

Bab empat, merupakan analisa terhadap Putusan MA pada perkara No. 608

K/AG/2003 tentang penolakan gugatan nafkah terutang ayah terhadap anak,

meliputi analisis fiqh nafkah terutang ayah terhadap anak, analisis hukum positif

nafkah terutang ayah terhadap anak, serta perbandingan analisis fiqh dan hukum

positif nafkah terutang ayah terhadap anak.

29

Bab lima, merupakan hasil akhir dari pembahasan yang telah dikemukakan

oleh penulis. Bab lima juga disebut penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

saran. Kesimpulan merupakan ide yang menjadi tujuan utama dari pokok

pembahasan sedangkan saran merupakan ucapan dari penulis sebagai permintaan

dalam penyempurnaan tulisan.

111

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam fiqh kewajiban ayah memberikan nafkah merupakan kepemilikan anak

atas nafkah untuk pemenuhan hidupnya. Kepemilikan disebabkan karena

nafkah adalah hak anak. Akibat-akibat hukum yang timbul karena

ditetapkannya suatu hak nafkah kepada pemiliknya yaitu menggunakan nafkah,

menjaga nafkah, menggunakan nafkah sesuai dengan ketentuan syara’. Anak

sebagai pemilik hak atas nafkah berhak untuk menggunakannya dengan

berbagai cara yang dibenarkan oleh syara’. Untuk melaksanakan hak nafkah

yang berada pada ayah, seorang anak dapat meminta atau mengambilnya dari

ayahnya dengan baik-baik dan sukarela. Apabila ayah menolak untuk

menyerahkannya, maka nafkah tidak diambil sendiri oleh anak, melainkan

dengan perantara pengadilan.

Dalam hukum positif nafkah mutlak sebagai hak perdata anak yang timbul

karena hak kepribadian dan juga hak yang terletak dalam hukum keluarga.

Tidak hanya hak perorangan yang mengikat anak pada kewajiban ayah tersebut

melainkan sekaligus sebagai hak kebendaan terhadap objek yaitu nafkah yang

harus diberikan ayah kepada anaknya. Nafkah anak merupakan akibat hukum

yang harus dipenuhi oleh ayah. Apabila seorang ayah tidak memenuhi nafkah

yang merupakan hak anak tersebut maka telah dianggap melakukan perbuatan

112

melawan hukum karena telah meninggalkan kewajibannya. Demikian

pentingnya, hingga nafkah yang tidak terbayarkan itu menjadi hutang.

Dalam fiqh dan hukum positif anak merupakan tanggungan ayah dan menjadi

tanggungjawab ayah untuk memberi nafkah. Dengan adanya tanggungan maka

terdapat ancaman bagi ayah yang tidak memberikan nafkah kepada anak yang

wajib dinafkahinya. Jika ayah menolak memberikan nafkah kepada menjadi

utang bagi sang ayah. Ayah menanggung beban seumur hidupnya atau sampai

ia mampu untuk membayar biaya kehidupan anaknya.

2. Adapun pertimbangan MA dalam putusannya yang menolak gugatan nafkah

lampau untuk anak yaitu bahwa kewajiban ayah memberikan nafkah terhadap

anaknya merupakan lī intifā’ bukan lī tamlīk, maka kelalaian seorang ayah

yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya (nafkah lampau) tidak bisa

digugat.

3. Apabila menelaah putusan MA terkait dengan nafkah maka pertimbangan

putusan tersebut berbeda dengan ketentuan fiqh dan hukum positif. Ayah

berkewajiban memberi nafkah dan anak berhak untuk mendapatkan nafkah dari

ayahnya Dengan adanya hak, anak dapat memiliki nafkah yang ada pada

ayahnya. Nafkah menjadi hak milik anak yang dapat digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak leluasa untuk menggunakan nafkah

tersebut dengan bimbingan dari ibunya yang berhak untuk merawatnya.

Dengan demikian, nafkah anak tidak berkedudukan sebagai sesuatu yang hanya

untuk dimanfaatkan tetapi sekaligus menjadikan anak sebagai pemilik dari

nafkah tersebut. Dengan demikian, nafkah anak tidak menjadi gugur jika

113

ternyata selama tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya dan pemenuhan

nafkah anak berasal dari keluarganya atau anak berutang untuk pembiayaan

dirinya. Dalam hal ini anak berhak menuntut ganti rugi atas nafkah masa

lampau yang belum diterima dari ayahnya. Berdasarkan hal itu, hak nafkah

anak tersebut dalam perkara ini menjadi gugur jika ternyata ia mampu untuk

memenuhi kebutuhannya sendiri atau punya harta untuk digunakan membiayai

hidupnya. Jika anak tidak punya dana sendiri sehingga mesti ada keluarga yang

menafkahinya yang dalam perkara ini ibunya yang menafkahinya, maka hak

nafkahnya tidak menjadi gugur setelah 34 bulan dari mulai dilalaikannya

nafkah.

B. Saran

1. Kajian yang membahas terkait nafkah terutang ayah terhadap anak secara

spesifik masih jarang ditemukan dalam kajian fiqh dan hukum positif. Hal ini

perlu menjadi perhatian para ahli hukum dan mahasiswa hukum, sebab kajian

yang ada hanya mengkaji nafkah secara umum.

2. Hasil penelitian ini perlu tindak lanjut untuk menunaikan hasil yang maksimal

agar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dengan maksud bahwa

dapat berkurangnya kondisi dimana maraknya kelalaian seorang ayah dalam

memenuhi nafkah anaknya.

3. Bagi calon suami istri, perlu perimbangan sebelum melangkah ke jenjang

pernikahan, sebab diperlukan kesiapan yang matang untuk mengemban

tanggung jawab agar tercipta tujuan dari pernikahan.

114

4. Kepada pemerintah dan pejabat pengadilan untuk lebih meningkatkan program

pembinaan bagi masyarakat luas terkait dengan pernikahan khususnya

kewajiban dan hak antara suami istri dan anak.

5. Para fukaha dan ahli hukum di Indonesia perlu mencari solusi terbaik jika

kasus serupa terjadi lagi dan menetapkan secara khusus ketentuan-ketentuan

mengenai nafkah terutang dalam lembaran negara.

6. Para hakim dalam memberikan putusan suatu perkara harus berdasarkan dasar

hukum yang mencerminkan nilai keadilan bagi kedua belah pihak dan tanpa

menghilangkan hak-hak orang lain.

115

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Tihami, M. 2010. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. cet. 2.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Abidin, Slamet, dan Aminudin. 1991. Fikih Munakahat 1. cet. 1. Bandung: CV.

Pustaka Setia.

Ahmad Al-Barry, Zakariya. 1977. Hukum Anak-anak dalam Islam. terj. Chadidjah

Nasution. cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang.

Ahtar Radhawi, Said. 1998. Mengarungi Samudra Kebahagiaan: Tata Cara

Berkeluarga Menurut Islam. terj. Alwiyah. cet. 1. Bandung: Penerbit Mizan.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam. 2008. Fathul Baari 26: Shahih

Bukhari. terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam.

al-Faqih Muhammad bin Abdur Rahman Asy-Syafi’iy ad-Damsyiqih, al-Allamah.

1993. Rahmatul Ummah: berbagai Masalah Hukum Islam. terj. Sarman

Syukur dan Luluk Rodliyah. cet. 1. Surabaya: al-Ikhlas.

Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fikih Sehari-hari. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. cet.

1. Jakarta: Gema Insani Press.

Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. cet. 2. Jakarta: Sinar

Grafika.

an-Nawawi, Imam. 2012. Syarah Riyadhush Shalihin 1. terj. Misbah. cet. 1.

Jakarta: Gema Insani.

Asmawi, Muhammad. 2004. Nikah: dalam Perbincangan dan Perbedaan.

Yogyakarta: Darussalam.

116

Az-zuhaili, Wahbah. 2011. Fikih Islam Wa adillatuhu 4. Penerjemah, Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk. cet. 1, Jakarta: Gema Insani.

Bakar Jabir El-Jazairi, Abu. 1991. Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim)

Muamalah. terj. Rachmat Djatnika, Ahmad Sumpeno. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Binti Abdul Aziz As-Suwailim, Wafa’. 2013. Fikih Ummahat: Himpunan Hukum

Islam Khusus Ibu. terj. Umar Mujtahid. cet. 1. Jakarta: Ummul Qura.

Dewan Ulama al-Azhar. 1994. Ajaran Islam Tentang Perawatan Anak. terj.

Alwiyah Abdurrahman. cet. 9. Bandung: al-Bayan.

Dib al-Buha, Musthafa, dkk, 2012. Fikih Manhaji Jilid 1: Kitab Fikih Lengkap

Imam Asy-Syafi’i. terj. Misran. Yogyakarta: Darul Uswah.

Djazuli, A. 2005. Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum

Islam. cet. 5. Jakarta: Kencana.

Effendi M. Zein, Satria. 2010. Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Fuady, Munir. 2014. Konsep Hukum Perdata. cet. 1. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Hadiati Soeroso, Moerti. 2010. Kekerasan dalam Rumah Tangga: dalam

Perspektif Yuridis-Viktimologis. cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamid, Zahri. 1976. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta.

Harahap, Yahya . 2006. Hukum Acara Perdata. cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika.

Hasan Ayyub, Syaikh. 2006. Fikih Keluarga. terj. M. Abdul Ghoffar. cet. 5.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

117

Humaedillah, Memed. 2002. Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan

Anaknya. cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press.

J. Moleong, Lely. 2006). Metode Penelitian Kualitatif. cet. 22. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Jawad Mughniyah, Muhammad. 2001. Fikih Lima Mazhab. terj. Masykur A.B.,

dkk. cet. 7. Jakarta: Lentera.

Komariah. 2010. Hukum Perdata. cet. 4. Malang: UMM Press.

Mohd. Fakhruddin, Fuad. 1991. Masalah Anak dalam Hukum Islam. cet. 2.

Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya.

Muslim, Imam. 1978. Terjemahan Hadis Sahih Muslim. terj. A. Razak dan Rais

Lathief. Jakarta: Pustaka al Husna.

Muttaqien, Dadan. 2006. Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian. cet.

1. Yogyakarta: Insania Cita Press.

Nashiruddin Al Albani, Muhammad. 2006. Shahih Sunan At-Tirmidzi. terj.

Fachrurazi. Jakarta: Pustaka Azzam.

Nasution, Khoiruddin. 2004. Hukum Perkawinan: Perbandingan UU Negara

Muslim Kontemporer. Bantul: Academia+Tazzafa.

Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata: Mengenai Hukum Perorangan

dan Hukum Benda. cet. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nur Kholis Setiawan, M. 2007. Tafsir Mazhab Indonesia. cet. 1. Yogyakarta:

Pesantren Nawesea Press.

118

Nuriyah Abdurrahman Wahid, Sinta, dkk. 2003. Wajah Baru Relasi Suami-Istri;

Telaah kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.

Nurul Irfan, M. 2012. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. cet. 1. Jakarta:

Amzah.

Prodjodikoro, Wirjono. 1960. Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda. cet.

2. Jakarta: Soeroengan.

Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal dan Haram. terj. Abu Sa’id al-Falahi. dkk. cet. 1.

Jakarta: Robbani Press.

Rahman Ghozali, Abdul. 2003. Fikih Munakahat. cet. 1. Jakarta: Kencana, Sayuti.

Rahman I Doi, Abdur. 1996. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. cet. 1.

terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rahman I. Doi, Abdur. 1992. Perkawinan dalam Syari’at Islam. terj. Basri Iba

Asghary, Wadi Masturi. cet. 1. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ramulyo, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. cet. 1. Jakarta:

Bumi Aksara.

Rasyid, Sulaiman. 1994. Fikih Islam: Hukum Fikih Lengkap. Bandung: Sinar

Baru Algensindo

Rifa’i, Moh. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: Karya Toha

Putra.

Salim, Hadiyah. 1995. Rumahku Mahligaiku. cet. 8. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Salim. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). cet. 4. Jakarta: Sinar

Grafika.

119

Sayyid Ahmad al-Musayyar, M. 2008. Fikih Cinta Kasih: Rahasia Kebahagiaan

Rumah Tangga. Jakarta: Erlangga.

Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum

Perdata/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.

Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata. cet. 20. Jakarta: PT Intermasa.

Subekti. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perdata. cet. 26. Jakarta: Intermasa.

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. cet. 3. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Suhendi, Hendi . 2013. Fikih Muamalah. cet. 8. Jakarta: Rajawali Pers.

Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Supriatna, dkk. 2008. Fikih Munakahat II: Dilengkapi dengan UU No. 1/1974 dan

Kompilasi Hukum Islam. cet. 1. Yogyakarta; Bidang Akademik UIN Sunan

Kalijaga.

Syafi’i Hadzami, Muhammad. 2010. Taudhihul Adillah Buku 6. Jakarta: Kompas

Gramedia.

Syalthut, Muhammad, Ali As-Sayis. 2000. Fikih Tujuh Madzhab. terj. Abdullah

Zakiy al-Kaaf. cet. 1. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 1. Jakarta: Kencana.

Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia: berlaku bagi umat Islam. cet. 5.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

120

Thamrin, Dahlan. 2007. Filsafat Hukum Islam: Filsafat Hukum Keluarga dalam

Islam. Malang: UIN-Malang Press.

Triwulan Tutik, Titik. 2010. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. cet.

2. Jakarta: Kencana.

Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia. cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika.

Wardi Muslich, Ahmad. 2010. Fikih Muamalat. cet. 1. Jakarta: Amzah.

Wasman, Wardah Nuroniyah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

(Perbandingan Fikih dan Hukum Positif. cet. 1.Yogyakarta: Teras.

Wiryono Projodikoro, R. 1995. Azas-azas Hukum Perdata. Yogyakarta: Yayasan

Pancasila.

Yusuf as-Subki, Ali. 2010. Fikih Keluarga. terj. Nur Khozin. cet. 1. Jakarta:

Amzah.

Zuhaili, Wahbah. 2011. Fikih Islam Wa adillatahu 10: Hak-hak Anak, Wasiat,

Wakaf, Warisan. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. cet. 1. Jakarta: Gema

Insani.

B. Kamus

Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

C. Skripsi

Darsuki, Ahmad. 2009. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tuntutan Nafkah

Terutang di Lingkungan Pengadilan Agama, Skripsi pada Jurusan Al-ahwal

Asy-syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Effendi, Yusuf. 2007. Pemberian Hak Ḥaḍānah Anak kepada Mantan Suami

Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun

121

2004-2005). Skripsi pada Jurusan Al-ahwal Asy-syakhsiyyah Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mufid Adiansyah, Mohamad. 2004. Pelaksanaan Pemberian Nafkah dan

Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian (Studi di Kecamatan Cilongok

Kabupaten Banyumas Tahun 2002-2003), Skripsi pada Jurusan Al-ahwal

Asy-syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

D. Undang-undang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.

E. Website

http://pabanjarbaru.ptabanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=15#

_ftn1\.

LAMPIRAN

I

LAMPIRAN I

TERJEMAHAN

No Hlm Footnote Terjemahan

BAB I

1 4 8 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

kepadanya dengan cara ma‟ruf. seseorang tidak dibebani

melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah

seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan

seorang ayah karena anaknya. (Q. S. Al-Baqarah (2) ayat

233)

2 10 17 Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir

Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Hisyam dari

ayahnya dari Aisyah radliallahu „anha, Hindun binti

Utbah berkata kepada Nabi shallallahu „alaihi wasallam;

“Abu Sufyan itu orangnya sangat pelit, maka aku perlu

mengambil hartanya (tanpa sepengetahuannya)! “Nabi

menjawab: “ambillah yang mencukupimu dan anak-

anakmu dengan cara yang ma‟ruf (wajar)!” (HR. Bukhari)

3 23 37 Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah

menceritakan kepada kami Thalq bin Ghannam dari

Syarik dan Qais dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari

Abu Hurairah ia berkata; Nabi Shlallahu „Alaihi

Wasallam bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada orang

yang memberi kepercayaan kepadamu dan janganlah

engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” Abu

Isa berkata; Hadis ini hasan gharib dan sebagian ulama

cenderung untuk berpedoman terhadap hadits ini; Mereka

mengatakan; Jika seseorang memiliki sesuatu pada orang

lain, lalu orang lain itu membawanya (menggunakannya)

kemudian ia (pemilik) mendapati sesuatu yang lain di

sisinya (orang lain), maka ia tidak boleh menahan

(mengambil) darinya (seuatu yang lain tersebut) sesuai

dengan kadar yang dibawa dari miliknya, Dan sebagian

ulama dari kalangan tabi‟in membolehkannya, ini adalah

pendapat Ats Tsauri, ia mengatakan; jika seseorang

memiliki beberapa dirham pada orang lain, lalu ia

mendapati berberapa dirham miliknya pada orang lain

tersebut berupa beberapa dinar maka ia tidak boleh

menahan (mengambil beberapa dinar yang ia dapati)

sebagai ganti beberapa dirhamnya, namun jika ia

mendapati beberapa dirhamnya pada orang lain itu masih

berupa beberapa dirham maka ia boleh menahan

(mengambilnya) menurut kadar miliknya yang terdapat

II

pada orang lain tersebut. (HR. Tirmidzi)

BAB II

4 31 5 Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,

oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka

(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena

mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta

mereka. (Q. S. an-Nisa (4) ayat 34)

5 33 11 Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka

mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan

cara yang ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara

yang ma‟ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk

memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu

menganiaya mereka. (Q. S. Al-Baqarah (2) ayat 231)

6 35 18 Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu

untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Q. S.

ath-Thalaq (65) ayat 6)

7 35 19 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

kepadanya dengan cara ma‟ruf. (Q. S. Al-Baqarah (2) ayat

233)

8 04 31 Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan

dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu

tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,

dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Q. S.

Luqman (31) ayat 15)

9 04 32 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik

pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Q. S. al-Isra

(17) ayat 23)

10 02 36 Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan

haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam

perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan

(hartamu) secara boros. (Q. S. al-Israa‟ (17) ayat 26)

11 03 38 Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu

mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah

kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil

kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan

kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan

keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara

patut. )Q. S. an-Nisa (4) ayat 19(

BAB III

12 66 7 Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena

takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki

kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya

membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S. al-

Isra (17) ayat 31)

13 68 12 Telah menceritakan kepada kami Sa„id bin Muhammad Al

III

Jarmi Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin

Abdul Malik bin Abjar Al Kinani dari bapaknya dari

Thalhah bin Musharrif dari Khaitsamah ia berkata; Ketika

kami sedang duduk (belajar) bersama Abdullah bin Amr,

tiba-tiba datang bendaharanya, lalu masuk dan Abdullah

pun bertanya padanya, “Apakah kamu telah memberikan

makan para hamba sahaya?” Sang bendahara menjawab,

“Belum tuanku.” Abdullah berkata, “Pergi, dan berilah

makan mereka segera.” Kemudian Ibnu Umar berkata;

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang

yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang

menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim)

IV

LAMPIRAN II

SALINAN PUTUSAN MA

V

VI

VII

VIII

IX

X

XI

XII

XIII

XIV

XV

XVI

XVII

LAMPIRAN III

CURRICULUM VITAE

Nama : Achmad Habibul Alim Mappiasse.

Tempat/Tanggal Lahir : Bukit Harapan, 18 Oktober 1992.

Alamat : Jl. Mandorakan, Kotagede, Bantul.

Alamat Asal : Kp. Tengah, Bukit Harapan, Kec. Gantarang,

Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Orang Tua

Ayah : Mappiasse

Ibu : Adirah

Riwayat Pendidikan Formal:

SD Negeri No. 206 Bontonyeleng : 1999-2005

Pesantren Pondok Madinah : 2005-2006

Pesantren Darul Istiqomah Puce‟e : 2006-2007

MTs. Guppi Bontonyeleng : 2007-2008

MAN 2 Model Makassar : 2008-2011

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : 2011-2015