GUGURNYA KOMANDAN PGI

8
Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di bawah pimpinan Abdul Rahman atau Tatsuo Ichiki telah berhasil mengadakan serangan ke pos Belanda di Pajaran, Poncokusumo, dan Tumpang walaupun serangan tersebut dilakukan pada suasana gencatan senjata. Di samping itu, terdapat usaha-usaha untuk menambah senjata-senjata dan peluru-peluru serta merakit sendiri bom-bom untuk menangkis tank dan panser serta untuk merusak berbagai jembatan dan bangunan yang dipergunakan Belanda. Selain itu, PGI juga memberikan bantuan terhadap kompi tetangga, yaitu Kompi Sabar Sutopo dalam bentuk latihan tehnik berperang. Semuanya dilakukan di kampung Magurosari, Wajak, di lereng Gunung Semeru. Lokasi kampung di lereng gunung ini sangat strategis, baik untuk pertahanan maupun penyerangan musuh dari jurusan Wajak, Ampelgading maupun Dampit. Saat itu situasi di sekitar Magurosari hanya terdapat sedikit rumah, tetapi daerah itu merupakan lereng bukit yang semakin ke atas berupa rimba raya. Pagi-pagi benar, pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 4.30 terdengar bunyi pesawat terbang. Rupanya pesawat tersebut dari jurusan Turen. Suaranya yang bergemuruh menyebabkan semua anggota PGI terbangun untuk mencari dari mana datangnya pesawat terbang tadi. Memang, pada saat itu, daerah Turen dan Sedayu merupakan markas Brigade IV atau markas besar daerah Karesidenan Malang dan markas Resimen 36 untuk sementara waktu. Kemudian terdengar lagi serangan. Kali ini bunyi Juuki kanjue (senapan mesin berat) dan meriam ditambah dengan bunyi karaben dan mortir. Dari bunyi-bunyi senjata tersebut dapat diketahui dengan jelas sekali bahwa Belanda mulai menyerang kami. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian gencatan senjata. PGI kemudian bersiap-siap dengan senjata lengkap. Mereka berkumpul di tempat komandan Abdul Rahman. Pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 8.30, tentara kami berdatangan. Kami mendapat informasi bahwa pagi-pagi sekali, Belanda sudah mengawali penyerangan dengan mempergunakan pesawat-pesawat terbang dari daerah Malang menuju selatan, dengan menyerang Turen dan Sedayu. Sedangkan di pihak lain, tentara kami pada saat itu akan memulai Wingite Action untuk memasuki daerah-daerah kantong Lumajang dan Jember dengan cara perang gerilya.

description

KISAH GUGURNYA TATSUO ICHIKI DI DAMPIT

Transcript of GUGURNYA KOMANDAN PGI

Page 1: GUGURNYA KOMANDAN PGI

Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di bawah pimpinan Abdul Rahman atau Tatsuo Ichiki telah berhasil mengadakan serangan ke pos Belanda di Pajaran, Poncokusumo, dan Tumpang walaupun serangan tersebut dilakukan pada suasana gencatan senjata. Di samping itu, terdapat usaha-usaha untuk menambah senjata-senjata dan peluru-peluru serta merakit sendiri bom-bom untuk menangkis tank dan panser serta untuk merusak berbagai jembatan dan bangunan yang dipergunakan Belanda.

Selain itu, PGI juga memberikan bantuan terhadap kompi tetangga, yaitu Kompi Sabar Sutopo dalam bentuk latihan tehnik berperang. Semuanya dilakukan di kampung Magurosari, Wajak, di lereng Gunung Semeru. Lokasi kampung di lereng gunung ini sangat strategis, baik untuk pertahanan maupun penyerangan musuh dari jurusan Wajak, Ampelgading maupun Dampit.

Saat itu situasi di sekitar Magurosari hanya terdapat sedikit rumah, tetapi daerah itu merupakan lereng bukit yang semakin ke atas berupa rimba raya. Pagi-pagi benar, pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 4.30 terdengar bunyi pesawat terbang. Rupanya pesawat tersebut dari jurusan Turen. Suaranya yang bergemuruh menyebabkan semua anggota PGI terbangun untuk mencari dari mana datangnya pesawat terbang tadi. Memang, pada saat itu, daerah Turen dan Sedayu merupakan markas Brigade IV atau markas besar daerah Karesidenan Malang dan markas Resimen 36 untuk sementara waktu.

Kemudian terdengar lagi serangan. Kali ini bunyi Juuki kanjue (senapan mesin berat) dan meriam ditambah dengan bunyi karaben dan mortir. Dari bunyi-bunyi senjata tersebut dapat diketahui dengan jelas sekali bahwa Belanda mulai menyerang kami. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian gencatan senjata.

PGI kemudian bersiap-siap dengan senjata lengkap. Mereka berkumpul di tempat komandan Abdul Rahman. Pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 8.30, tentara kami berdatangan. Kami mendapat informasi bahwa pagi-pagi sekali, Belanda sudah mengawali penyerangan dengan mempergunakan pesawat-pesawat terbang dari daerah Malang menuju selatan, dengan menyerang Turen dan Sedayu. Sedangkan di pihak lain, tentara kami pada saat itu akan memulai Wingite Action untuk memasuki daerah-daerah kantong Lumajang dan Jember dengan cara perang gerilya.

Komandan PGI Subejo (Hayashi) dan Sobana (T. Sakai) mencari kejelasan berita yang sesungguhnya di daerah selatan (Dampit). Dalam waktu yang singkat, sekitar pukul 10.00, keduanya sudah kembali dan melaporkan bahwa Belanda benar-benar mengadakan serangan dan telah menduduki Turen dan Sedayu. Sedangkan tentara kami beserta Brigade dan Resimen menurut rencana akan menangkis serangan udara Belanda lalu bergerak menuju ke jurusan timur laut.

Menyadari kemampuan yang dimiliki dan memprediksi kemampuan lawan, kemudian diatur siasat untuk menghancurkan pasukan Belanda yang sudah kami ketahui gerak-gerik dan kekuatannya. PGI menyusun kekuatan yang dipimpin Subejo dan Sobana ditambah 10 orang anggota untuk menghancurkan panser. Rencana penghancuran panser Belanda dilakukan dengan memasang bom tanah di jalan antara Wajak dan Turen. Sebab jalan tersebut setiap hari senantiasa dilewati pasukan Belanda. Selain petugas pemasang bom tanah, untuk melindungi mereka, pasukan senapan mesin pun telah berangkat menuju lokasi pertahanan yang sebelumnya diatur terlebih dahulu.

Page 2: GUGURNYA KOMANDAN PGI

Bersamaan dengan kegiatan tersebut, tersebar berita baru bahwa Belanda tiba-tiba menambah kekuatan pada pos yang berada di Wajak dengan satu kompi serdadu bersenjata lengkap. Ternyata berita itu sudah menyebar ke seluruh pelosok kampung dan akan dikirimkan pada tanggal 2 Januari 1949, keesokan harinya. Itu mungkin rencana Belanda untuk menghancurkan PGI karena mungkin pihak Belanda sudah mengetahui bahwa PGI juga memiliki pos di wilayah Wajak.

Komandan PGI merencanakan memasang dua buah bom dengan jarak sekitar 30 meter di jalan raya antara Turen dan Wajak. Hal ini dilakukan untuk menghancurkan pasukan Belanda yang mengadakan patroli dan melewati jalan tersebut. Pasukan kami tinggal di rumah asisten wedana sambil menunggu hasil pemasangan bom tersebut. Dari sini pasukan PGI mendengar ledakan yang pertama. Ternyata ledakan itu mengenai seorang petani yang memikul banyak kelapa dalam jumlah yang banyak dengan tandu. Sungguh tragis, ia menjadi korban dari perjuangan kemerdekaan.

Kemudian sekitar pukul 6.30, lagi-lagi terdengar ledakan. Kali ini lebih dahsyat karena jendela dan pintu-pintu, juga benda-benda yang bergantungan di rumah yang kami tempati semuanya bergoyang. Seorang prajurit datang melaporkan bahwa pemasangan ranjau tersebut berhasil menemukan sasarannya. Sesudah sebuah panser Belanda terkena, kemudian juga truk yang berada di belakangnya menabrak balik panser tersebut serta terlempar ke sawah sejauh lebih kurang 15 meter. Di samping itu, sebanyak 16 orang serdadu Belanda tewas. Pagi itu juga, Belanda dari posnya di Turen segera memberikan bantuan serta melakukan penembakan membabi buta di sekeliling tempat kejadian. Korban-korban yang hancur terkena ranjau tersebut dibawa kembali ke Turen.

Setelah semuanya berjalan lancar, seperti yang diperhitungkan, langkah PGI yang berikutnya mundur ke pangkalan Magurosari. Akan tetapi bertepatan dengan itu terdengar berita dari seorang pemuda yang datang dari arah Pandansari bahwa Belanda dari pos Wajak pagi-pagi benar telah berangkat melewati Pandansari lalu turun ke jurang menuju ke arah pangkalan kita di Magurosari. Kami sangat mempercayai pemuda tersebut karena ia pernah ikut berjuang di Poncokusumo.

Pasukan kemudian memperlambat gerakan ke Magurosari agar tidah berpapasan dengan pasukan Belanda sambil menyuruh seorang petugas ke lokasi yang lebih tinggi dari kemungkinan posisi lawan. Taktik perang di masa itu menempatkan kedudukan yang berada di atas senantiasa lebih menguntungkan daripada yang berada di bawahnya.

Pasukan kami kemudian naik lagi ke gunung lalu turun ke kampung. Pada waktu kami mendaki gunung yang agak tinggi, dari atas ada kampung yang mengatakan bahwa Belanda bersama-sama dengan Belanda Ambon (orang-orang Ambon yang menjadi pasukan Belanda) sedang bergerak menuju ke Magurosari. Di jalan, Belanda sering menanyakan kepada penduduk di mana kedudukan pasukan tentara yang dipimpin oleh orang-orang Jepang.

Dengan masuknya Belanda ke Magurosari, kedudukan Belanda di atas pasukan PGI. Oleh karena itu, seluruh pasukan PGI segera berpindah ke sebelah gunung dengan sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat oleh Belanda. Kami bergerak menuju kampung Bobon yang berada di sebelah gunung. Sampai di seberang gunung, kampung Bobon sudah gelap menjelang malam hari. Kampung Bobon letaknya bersebelahan dengan kampung Magurosari serta posisnya lebih tinggi daripada kampung Magurosari.

Page 3: GUGURNYA KOMANDAN PGI

Malam itu Belanda menginap di Magurosari, sehingga komandan PGI memerintahkan agar kami bermalam di Bobon. Esoknya dalam keadaan gelap gulita kami berangkat ke atas, tetapi harus tetap dilakukan dengan cara patroli karena dikhawatirkan ada serangan dari pihak Belanda.

Pada tanggal 3 Januari 1949 sekitar pukul 4.30, pasukan telah siap diberangkatkan kembali dengan kekuatan sebanyak 36 orang. Kami melewati jurang menuju kampung Arjosari. Dari sini dengan bergerak cepat, kami akan dapat menempatkan diri di sebelah timur kampung Arjosari. Ternyata perhitungan PGI sangat tepat. Kami sampai terlebih dahulu di bagian timur Arjosari. Di daerah itu terdapat banyak kebun jagung yang tingginya baru rata-rata satu meter, dan di sana sini masih terlihat tanahnya.

Pada waktu PGI akan menaiki gunung saat pendakian itu, seorang prajurit berteriak. Ada musuh! Memang benar, setelah kami melihat ke atas, tampak pasukan Belanda sedang turun sambil melebarkan pasukannya. Kedudukan ujung pasukan musuh hanya berjarak sekitar 20 meter dari atas barisan karaben kami.

Kejadian itu sama sekali tidak diduga kedua belah pihak, yaitu berpapasan dalam jarak yang sangat dekat. Memang di antara kami dengan pasukan musuh terdapat gundukan tanah, tetapi tidaklah begitu banyak. Umar memegang senapan mesin melihat ada musuh dalam jarak 40 meter, ia segera siap menembak sambil menyelidiki keadaan musuh yang sebenarnya. Sedangkan di bagian belakang Sukardi yang memegang Juuki Kanjue (senapan mesin berat) juga sudah siap.

Keadaan tanah di daerah itu bertingkat-tingkat (bergelombang). Oleh karena itu, kami selalu dalam posisi tiarap sehingga jika musuh ingin mengetahui posisi kita pasti melongok terlebih dahulu. Dari bawah, posisi kami kelihatan setinggi setengah badan. Pada saat sekitar 4-5 orang musuh melongok itulah yang selalu dijadikan kesempatan untuk segera menembak. dalam hal ini, Umar terlebih dahulu menembak disusul dengan tembakan juuki Sukardi ke arah lawan. Kejadian yang seperti ini memaksa musuh berhati-hati. Mereka penuh keragu-raguan tentang kekuatan PGI.

Kemudian pihak Belanda balas menembak dengan juuki mesin dan mortir, juga lemparan-lemparan granat. Suasana menjadi ramai dengan adanya suara tembakan. Terkadang terdengar gelegarnya ledakan granat yang tersesat ke arah jurang. Selain itu juga terdengar ledakan lebih keras seperti ledakan bom. Sayang sekali senapan mesin Umar sering macet. Pada waktu dipakai, tiba-tiba berhenti karena panas. Akan tetapi Sukardi sangat tangkas dan cekatan untuk menyambung tembakan Umar yang tiba-tiba macet itu. Dengan juuki, Sukardi melancarkan tembakan gencar sehingga musuh tak dapat bergerak.

Tembak-menembak tersebut ternyata tidak banyak menemui sasarannya karena sukarnya posisi sasaran perang yang terjadi seakan-akan hanya perang bunyi sebab peluru berserakan dan jarang mengenai sasaran. Hal itu disebabkan oleh lokasi pertempuran yang berbukit-bukit kecil. Belanda dari atas yang menembaki kami yang berada di celah-celah tanah. Mereka sama halnya membidik sasaran yang berada dalam lubang atau dalam jurang.

Sementara itu, seorang prajurit yang memegang karaben Abdul Rahman meminta karaben itu. Kemudian ia menggantikannya dengan pedang yang dipakai lalu menggabungkan diri pada bagian karaben. Selanjutnya Sukardi memanggil Abdul Rahman untuk merundingkannya. Keadaan yang demikian makin lama menjadi makin serius sebab tidak ada

Page 4: GUGURNYA KOMANDAN PGI

jawaban dari Abdul Rahman. Sementara itu musuh sedikit demi sedikit terus maju, mengepung juuki Sukardi. Peluru-peluru musuh yang ditembakkan ke arah Sukardi makin dekat, padahal persediaan peluru kami makin sedikit. Kami mengkhawatirkan akan kehabisan peluru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengunduran atau pemindahan tempat.

Sukardi memutuskan untuk mengumpulkan seluruh pasukan dan harus segera memindahkannya ke sebelah timur jurang karena bila pasukan kami menerobos ke arah timur jurang tidak akan terlihat atau tidak mudah diketahui musuh. Karena juuki Sukardi yang paling dekat dengan musuh maka ia diperintahkan untuk mundur terlebih dahulu. Sementara Umar terus melindungi Sukardi dan pasukan yang lainnya dengan tembakan-tembakan ke arah musuh hingga semua pasukan mundur.

Sukardi dan Hidayat bersama dengan juukinya telah turun ke jurang, kemudian disusul Tekidanto Subejo. Terakhir, Umar menaikkan senapan mesinnya ke kaki kiri untuk menembak. Ia sedikit demi sedikit turun ke jurang. Ternyata jurang itu merupakan jurang yang paling dalam di wilayah Semeru Selatan, kira-kira 50-60 meter dari bidang datarnya. Di bawah jurang, terdapat sungai yang airnya sangat jernih dan dingin.

Juki Sukardi telah naik dari jurang pada bidang seberang dan segera mencari tempat yang strategis untuk memulai penembakan kembali. Umar dan saleh segera menyusul. Setelah semuanya sampai di atas, mulai terasa adanya pepohonan yang rindang. Pada waktu itu juga terdengar kapal terbang Belanda. Untunglah kami semua sudah terlindung oleh pohon-pohon yang rindang sehingga tidak mudah diketahui dari atas.

Pasukan PGI meneruskan perjalanan melampaui dua jurang sebelah timur untuk menjauhi musuh sehingga sampai di kampung Sumberagung. Di sana, pasukan hanya tidur-tiduran dan beristirahat melepaskan lelah. Selang beberapa waktu kemudian, tiga orang pasukan bagian karaben tiba dalam keadaan sangat payah. Mereka datang tanpa Abdul Rahman dan Abdul Majit. Akan tetapi berita tentang komandan PGI itu belum diketahui. Sekitar pukul 13.30 Abdul Majit datang dari jurusan Dampit.

Abdul Majit menyampaikan bahwa dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung, ketika Abdul Rahman akan mengambil karaben karena tiba-tiba bergabung dengan pasukan karaben, tidak mengetahui musuh sudah ada di hadapannya dengan karaben otomatis yang sudah mengarah ke sasaran Abdul Rahman. Sehingga beliau terkena tembakan tersebut. Abdul Majit tahu persis peristiwa tersebut, karena itu ia memerintahkan dua orang prajurit untuk membawanya mundur. Sambil melindungi prajurit itu, Abdul Majit melemparkan bom tank yang kekuatannya sangat besar.

Setelah ledakan bom tidak terdengar, Abdul Majit melihat sekelilingnya dan ia tidak melihat seorang pun. Ia mengira semua prajurit sudah mundur, termasuk dua orang prajurit yang membawa komandannya karena prajurit itu sudah tak terlihat lagi. Ia berusaha mendaki jurang ke arah seberang tempat pengunduran tetapi tidak menemukan seorang pun, termasuk tidak berhasil menemukan Abdul Rahman dengan dua orang prajurit yang mendampinginya.

Kemudian tanggal 6 januari 1949 beberapa anggota PGI dengan pimpinan Sukardi, pagi-pagi sekali berangkat untuk mencari komandan PGI di lokasi pertempuran yaitu di Arjosari. Di Arjosari, pasukan PGI mampir di rumah pamong desa dalam waktu yang cukup lama. Saat itu banyak masyarakat yang berdatangan. Mereka menceritakan bahwa setelah pasukan PGI meninggalkan Arjosari, datang pesawat terbang Belanda dan menembaki rumah-rumah

Page 5: GUGURNYA KOMANDAN PGI

penduduk sehingga banyak rakyat yang meninggal dan luka-luka akibat serangan tersebut. Sampai sejauh ini rakyat tidak mengetahui di mana Abdul Rahman berada.

Subejo yang masih mencari di lokasi pertempuran, tiba-tiba berlari dan berteriak. Ia mengatakan bahwa mayat komandannya telah ditemukan di bawah jurang sebelah timur. Rakyat tidak segera mengetahui hal tersebut karena mereka takut untuk pergi ke ladang pada saat masih dalam suasana pertempuran. Daerah tersebut dari ujung kampung berjarak sekitar 400 meter ke arah utara dan timur kampung. Situasi wilayah itu sukar dijangkau pandangan mata dengan jelas karena merupakan jurang-jurang yang dalam dan tajam, ditambah di sekelilingnya terdapat padang rumput di bawah sebatang pohon besar, mayat Abdul Rahman seolah-olah disembunyikan.

Pada waktu Subejo lewat di atasnya terasa ada bau mayat, kemudian ia menengok ke bawah. Rupanya di tempat tersebutlah mayat Abdul Rahman berada. Walaupun sudah menjadi mayat, posisinya masih seperti orang duduk yang bersandar pada pohon. Rupanya Abdul Rahman sudah gugur pada saat hari pertempuran yang lalu apabila dilihat dari luka tembak yang diderita. Sebuah peluru tepat di mata kanan, peluru kedua di atas telinga kiri dan peluru ketiga di bahu kiri, semuanya tembus. Adapun kedua prajurit yang diperintahkan untuk membawa mundur komandan itu tidak pernah ditemukan lagi. Kemungkinan besar Abdul Rahman ditinggalkan oleh mereka karena berat.

Pada waktu ditemukan, kondisi tubuh Abdul Rahman mulai rusak dan banyak dikerumuni lalat. Dengan kondisi ini sukar dilakukan pemindahan, sehingga mayat Abdul Rahman kemudian dimasukkan dalam tikar. Selanjutnya rakyat membuat lubang di situ juga. Di jurang itulah komandan Abdul Rahman beristirahat selamanya. Beliau gugur sebagai pejuang bangsa. Pada waktu itu tidak ada batu nisan. Oleh karena itu, di atas makamnya ditancapkan sebuah bambu besar sebagai pengganti nisan. Sementara itu, Mohamad Saleh menulis dengan pensil berwarna merah: Mayor Abdul Rahman Tatsuo Ichiki Umur: 43 tahun, gugur tanggal 3-1-1949, pukul 07.30 pertempuran Arjosari, Sumberputih, wajak, Malang. Setelah dikubur secara Islam dan didoakan oleh modin setempat, pada malam itu juga diadakan selamatan di rumah kepala kampung. Demikianlah, Abdul Rahman telah gugur membela Republik Indonesia.