GRATIFIKASI DOKTER

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi di Indonesia sudah terjadi di hampir setiap sektor, termasuk sektor kesehatan. Korupsi di sektor kesehatan termasuk diantaranya terjadi pada profesi dokter, yaitu terdapatnya kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi yang terkait dengan gratifikasi. Gratifikasi pada profesi dokter selain merupakan pelanggaran hokum juga merupakan pelanggaran etik kedokteran. Pencegahan terhadap hal terjadinya gratifikasi dapat dilakukan dengan menghilangkan faktor penyebab terjadinya gratifikasi tersebut. IPK (index Persepsi Korupsi) Indonesia tahun 2013 tidak beranjak dari skor tahun 2012 yaitu 32, namun Indonesia meningkat 4 peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara. Yang akhir-akhir ini disorot oleh komisi pemberantasan korupsi mengenai korupsi pada profesi medis adalah adanya dugaan pemberian komisi oleh perusahaan farmasi kepada dokter untuk menggunakan obat dan jumlah yang sudh di targetkan dari perusahaan tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemasaran obat yang diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah. Obat yang harus diberikan dengan resep dokter dipasarkan secara langsung kepada dokter oleh medical representative (MR). Hal ini terjadi bukan hanya keinginan dari perusahaan farmasi tersebut, tetapi keinginan dari dokter itu sendiri. Komisi diberikan jika dokter sudah memenuhi target yang di inginkan oleh perusahaan farmasi tersebut. Komisinya dapat berupa apa saja, seperti : Uang, tiket perjalanan, mengikuti seminar, atau kongres dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh KPK sebagai salah satu sebab buruknya pelayanan kesehatan, harga obat 1

description

Medikolegal Indonesia

Transcript of GRATIFIKASI DOKTER

Page 1: GRATIFIKASI DOKTER

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi di Indonesia sudah terjadi di hampir setiap sektor, termasuk sektor kesehatan. Korupsi di sektor kesehatan termasuk diantaranya terjadi pada profesi dokter, yaitu terdapatnya kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi yang terkait dengan gratifikasi. Gratifikasi pada profesi dokter selain merupakan pelanggaran hokum juga merupakan pelanggaran etik kedokteran. Pencegahan terhadap hal terjadinya gratifikasi dapat dilakukan dengan menghilangkan faktor penyebab terjadinya gratifikasi tersebut. IPK (index Persepsi Korupsi) Indonesia tahun 2013 tidak beranjak dari skor tahun 2012 yaitu 32, namun Indonesia meningkat 4 peringkat. Tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara dan di tahun 2013 peringkat Indonesia menjadi 114 dari 177 negara.

Yang akhir-akhir ini disorot oleh komisi pemberantasan korupsi mengenai korupsi pada profesi medis adalah adanya dugaan pemberian komisi oleh perusahaan farmasi kepada dokter untuk menggunakan obat dan jumlah yang sudh di targetkan dari perusahaan tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemasaran obat yang diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah. Obat yang harus diberikan dengan resep dokter dipasarkan secara langsung kepada dokter oleh medical representative (MR). Hal ini terjadi bukan hanya keinginan dari perusahaan farmasi tersebut, tetapi keinginan dari dokter itu sendiri. Komisi diberikan jika dokter sudah memenuhi target yang di inginkan oleh perusahaan farmasi tersebut. Komisinya dapat berupa apa saja, seperti : Uang, tiket perjalanan, mengikuti seminar, atau kongres dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh KPK sebagai salah satu sebab buruknya pelayanan kesehatan, harga obat menjadi mahal dan tidak menguntungkan pasien karena 100% biaya komisi untuk dokter tersebut menjadi tanggungan pasiennya.

Jika hal ini benar-benar terjadi, maka dokter tersebut sudah melanggar kode etik dan disiplin profesi, karena pemberian atau peresepan obat kepada pasien bukan hanya berdasarkan indikasi medis tetapi berdasarkan pemenuhan target dari perusahaan untuk memperoleh komisi. Dan saat ini, hal itu dapat dianggap sebagai gratifikasi yang berarti termasuk tindak pidana korupsi. Tidak semua dokter melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi dan untuk membuktikan itu tidak mudah. Dokter memiliki kewenangan mutlak dalam hal pemberian terapi kepada pasiennya, karena dalam hal ini yang mengetahui keadaan fisik pasien, patofosiologi penyakit, farmakodinamik dan farmakokinetik obat adalah dokter.

1

Page 2: GRATIFIKASI DOKTER

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah tindakan pemberian sesuatu dari perusahaan farmasi kepada dokter termasuk gratifikasi?

b. Bagaimana mencegah kolusi pemberian gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter?

2

Page 3: GRATIFIKASI DOKTER

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Gratifikasi

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) tersebut, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan padal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria pada unsur 12B saja.

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya."

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.

Gratifikasi dapat bersifat baik dan buruk. Bersifat baik jika pemberian tersebut diberikan secara tulus, ikhlas tidak mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang yang menerima gratifikasi tersebut. Gratifikasi bersifat buruk jika pemberian tersebut bertujuan pamrih, mempengaruhi keputusan seseorang yang berkaitan degan jabatan dan profesinya.

Dalam Pasal 4, gratifikasi yang dianggap suap yaitu, penerimaan yang tidak terbatas: a) marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional dan terkait dengan pemasaran suatu produk; b) cashback yang diterima instansi digunakan untuk kepentingan pribadi; c) gratifikasi yang terkait pelayanan barang dan jasa, pelayanan publik dan lainnya; d) sponsorship yang terkait pemasaran dan penelitian suatu produk.

3

Page 4: GRATIFIKASI DOKTER

Sementara itu, gratifikasi yang tidak dianggap suap sebagaimana tertulis dalam pasal 5 yaitu, pemberian secara resmi dari aparatur kementerian sebagai wakil resmi instansi dalam suatu kegiatan dinas sebagai bentuk penghargaan, atas keikutsertaan kontribusi dalam kegiatan tersebut. Misalnya, pemberian berupa cindera mata dalam kegiatan resmi, Kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis.

2.2 Identifikasi Gratifikasi Yang Dilarang

Bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang ingin mengidentifikasi dan menilai apakah suatu pemberian yang diterimanya cenderung ke arah gratifikasi ilegal/suap atau legal, dan berpedoman pada beberapa pertanyaan yang sifatnya reflektif sebagai berikut:

No Pertanyaan Reflektif (pertanyaan kepada diri

sendiri)

Jawaban(Apakah pemberian cenderung ke arah

gratifikasi ilegal/suap atau legal)

1 Apakah motif dari pemberian hadiah yang diberikan oleh pihak pemberi kepada Anda?

Jika motifnya menurut dugaan Anda adalah ditujukan untuk mempengaruhi keputusan Anda sebagai pejabat publik, maka pemberian tersebut dapat dikatakan cenderung ke arah gratifikasi ilegal dan sebaiknya Anda tolak.

Seandainya 'karena terpaksa oleh keadaan' gratifikasi diterima, sebaiknya segera laporkan ke KPK atau jika ternyata instansi tempat Anda bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannnya melalui instansi Anda untuk kemudian dilaporkan ke KPK.

2 a. Apakah pemberian tersebut diberikan oleh pemberi yang memiliki hubungan kekuasaan/posisi setara dengan Anda atau tidak? Misalnya pemberian tersebut diberikan oleh bawahan, atasan atau pihak lain yang tidak setara secara kedudukan/posisi baik dalam lingkup hubungan kerja atau konteks sosial yang terkait kerja

Jika jawabannya adalah ya (memiliki posisi setara), maka bisa jadi kemungkinan pemberian tersebut diberikan atas dasar pertemanan atau kekerabatan (sosial), meski demikian untuk berjaga-jaga ada baiknya Anda mencoba menjawab pertanyaan 2b.

Jika jawabannya tidak (memiliki posisi tidak setara) maka Anda perlu mulai meningkatkan kewaspadaan Anda mengenai motif pemberian dan menanyakan pertanyaan 2b untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut.

b. Apakah terdapat hubungan Jika jawabannya ya, maka pemberian tersebut patut

4

Page 5: GRATIFIKASI DOKTER

relasi kuasa yang bersifat strategis? Artinya terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang Anda miliki akibat posisi Anda saat ini seperti misalnya sebagai panitia pengadaan barang dan jasa atau lainnya.

Anda duga dan waspadai sebagai pemberian yang cenderung ke arah gratifikasi ilegal.

3 Apakah pemberian tersebut memiliki potensi menimbulkan konflik kepentingan saat ini maupun di masa mendatang?

Jika jawabannya ya, maka sebaiknya pemberian tersebut Anda tolak dengan cara yang baik dan sedapat mungkin tidak menyinggung. Jika pemberian tersebut tidak dapat ditolak karena keadaan tertentu maka pemberian tersebut sebaiknya dilaporkan dan dikonsultasikan ke KPK untuk menghindari fitnah atau memberikan kepastian jawaban mengenai status pemberian tersebut.

4 Bagaimana metode pemberian dilakukan? Terbuka atau rahasia?

Anda patut mewaspadai gratifikasi yang diberikan secara tidak langsung, apalagi dengan cara yang bersifat sembunyi-sembunyi (rahasia). Adanya metode pemberian ini mengindikasikan bahwa pemberian tersebut cenderung ke arah gratifikasi ilegal.

5 Bagaimana kepantasan/kewajaran nilai dan frekuensi pemberian yang diterima (secara sosial)?

Jika pemberian tersebut di atas nilai kewajaran yang berlaku di masyarakat ataupun frekuensi pemberian yang terlalu sering sehingga membuat orang yang berakal sehat menduga ada sesuatu di balik pemberian tersebut, maka pemberian tersebut sebaiknya Anda laporkan ke KPK atau sedapat mungkin Anda tolak.

Jika ragu hal ayng diterima merupakan gratifikasi atau tidak maka sebaiknya dilaporkan ke KPK dalam kurun waktu paling lambat 30 hari setelah penerimaan. Jika gratifikasi bernilai suap maka disita, namun jika tidak bernilai suap makan akan dikembalikan.

5

Page 6: GRATIFIKASI DOKTER

2.3 Penyebab Terjadi Korupsi Dalam Profesi Dokter

Yang menjadi penyebab terjadinya gratifikasi yang merupakan salah satu tindak pidana korupsi pada profesi dokter dapat dipergunakan GONE TEORI dari Jack Bologna sebagai berikut:

a. GreedKoruptor adalah orang yang tidak puas pada keadaan dirinya. Punya satu gunung

emas, berhasrat punya gunung emas yang lain. Punya harta segudang, ingin pulau pribadi. Hal ini terkait sikap dan perilaku dokter sendiri, ada yang merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang sudah dimilikinya dan ada juga yang selalu merasa kurang puas dengan apa yang sudah ada.

b. OpportunityTerkait dengan system yang memberi celah terhadap terjadinya tindak pidana

korupsi. Terdapat kesempatan antara perusahaan farmasi dengan dokter unutk melakukan kolusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak tetapi merugikan pasien. Sistem pengawasan terhadap kolusipun tidak ketat dan sulitnya pembuktian terhadap terjadinya kolusi tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan kewenangan yang diberikan dokter dalam pemberian terapi terhadap pasiennya.

c. NeedDalam profesi dokter, hal ini berkaitan dengan rendahnya gaji dokter pegawai

negri sipil yang tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya yang sedemikian besar yaitu sebagai Agent Of Change di bidang kesehatan ( bagi dokter yang bekerja di puskesmas) dan sebagai penyembuh ( bagi dokter yang bekerja di puskesmas dan rumah sakit). Seperti dilketahui bahwa gaji dokter pegawai negri sipil hanya berkisar antara 2-3 juta rupian perbulan. Gaji tersebut sangat tidak manusiawi, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena dokter bekerja dari pagi sampai sore. Bagi dokter yang bekerja di daerah banyak yang tidak mempunyai penghasilan lain selain dari gaji. Menurut ketua umum IDI, dr.Zainal MH, gaji dokter idealnya adalah 20 juta perbulan.

d. ExposesBerkaitan dengan rendahnya supremasi hokum di Negara ini yang membuat

tidak jeranya para pelaku tindak pidana korupsi.

Gratifikasi akan tumbuh subur jika faktor-faktor GONE ini sangat kondusif. Dengan kata lain jika ada dokter yang tidak puas dengan keadaan dirinya, kemudian terdapat kesempatan untuk melakukan kolusi, dipengaruhi oleh rendahnya gaji dan supremasi hokum yang lemah maka akan sangat menyuburkan terjadinya gratifikasi pada profesi dokter.

6

Page 7: GRATIFIKASI DOKTER

2.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia

Pasal 3 : Kemandirian Profesi

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Cakupan Pasal:

(1) Setiap dokter memiliki moral dan tanggung jawab untuk mencegah keinginan pasien atau pihak manapun yang sengaja atau tidak sengaja bermaksud menyimpangi atau melanggar hukum dan/atau etika melalui praktek/pekerjaan kedokteran.

(2) Setiap dokter dilarang melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, antara lain:

a. memberikan obat, alat/produk kesehatan, anjuran/nasehat atau tindakan kedokteran, prototipe/cara/perangkat/sistem manajemen klinis pelayanan langsung pasien dan/atau penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan/kiat kedokteran yang belum berdasarkan bukti ilmiah (evidence) dan/atau diakui di bidang kedokteran yang mengakibatkan hilangnya integritas moral dan keilmuannya

b. membuat ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahaan farmasi/obat/vaksin/makanan/suplemen/alat kesehatan/alat kedokteran/bahan/produk atau jasa kesehatan/terkait kesehatan dan/atau berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan apapun dan dari manapun dan/atau berasal dari pengusaha, perorangan atau badan lain yang akan menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat terhadap dan menurunkan martabat profesi kedokteran

c. melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung dalam segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan atau mengiklankan dirinya, barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud Pasal 3, cakupan pasal butir 1 dan 2 di atas guna kepentingan dan keuntungan pribadinya, sejawat/pihak lain kelompoknya

d. melakukan upaya diagnostik, pengobatan atau tindakan medis apapun pada pasien secara menyimpang dari atau tanpa indikasi medik yang mengakibatkan turunnya martabat profesi kedokteran dan kemungkinan terganggunya keselamatan pasien

e. menerima pemberian imbalan jasa apapun untuk pengiriman/rujukan pasien ke dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, di dalam maupun di luar negeri

(3) Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan kapasitas profesionalnya dalam meresepkan obat/alat/produk/barang industri kesehatan tertentu dan anjuran penggunaan jasa kesehatan ter tentu, termasuk berniat mempengaruhi kehendak pasien/keluarganya untuk membeli atau mengkonsumsi obat/alat/produk/barang/jasa tertentu karena ia telah menerima atau dijanjikan akan menerima komisi/keuntungan dari perusahaan farmasi/alat/produk/jasa kesehatan tersebut.

7

Page 8: GRATIFIKASI DOKTER

(4) Dokter yang bekerja penuh dan/atau paruh waktu untuk industry farmasi/alat/produk kesehatan dan/atau barang/produk terkait lainnya wajib menjelaskan posisi/status pekerjaannya bila ia memberi ceramah atau informasi tentang atau berkaitan dengan barang/produk tersebut kepada dokter atau masyarakat awam. Demikian pula setiap dokter pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk jasa pelayanan.

(5) Dalam kehadirannya pada temu ilmiah, setiap dokter dilarang mengikatkan diri untuk mempromosikan/meresepkan barang/produk dan jasa tertentu, apapun bentuk bantuan sponsorshipnya.

(6) Dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keperluan keikutsertaan dalam temu ilmiah mencakup pendaftaran, akomodasi dan transportasi sewajarnya sesuai kode etik masing-masing.

(7) Dokter dilarang menyalahgunakan hubungan profesionalnya dengan/terhadap pasien dan/atau keluarganya demi keuntungan pribadi dan dilarang melibatkan diri dalam kolusi, kong kalikong, berbagi imbalan/komisi/diskon, termasuk pola pemasaran beragam jenjang (multi-level marketing) dan penarikan imbalan jasa secara paket yang dibayarkan di muka.

(8) Dokter dilarang menerima bantuan apapun dari perusahaan atau badan yang produk barang/jasanya bertentangan dengan prinsip kesehatan, seperti rokok, minuman beralkohol dan sejenisnya.

(9) Dokter yang menyandang jabatan resmi kepemerintahan, lembaga negara lainnya dan organisasi profesi dalam sosialisasi program kemitraan bersama seyogyanya secara sendiri-sendiri tidak mengiklankan produk/barang/jasa tertentu serta dilarang mengkaitkannya dengan identitas keahlian/spesialisasi profesi tertentu.

(10) Setiap dokter dilarang menyalahgunakan secara tidak sah dan tidak etis forum/wahana peningkatan ilmu dan ketrampilan kedokteran beserta berbagai bentuk temu ilmiah pengembangan profesionalisme kedokteran.

(11) Pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah dibatasi pada kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat kegiatan ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada pimpinan organisasi profesi setempat untuk diteruskan ke pimpinan nasional Ikatan Dokter Indonesia.

(12) Setiap dokter dilarang menerima pembayaran untuk kompensasi praktek atau biaya tambahan lainnya sehubungan dengan partisipasinya dalam temu ilmiah.

(13) Pemberian beasiswa/bantuan nansial dari sponsor untuk peserta didik kedokteran wajib disalurkan melalui institusi pendidikan kedokterannya dan pimpinan institusi pendidikan tersebut seyogyanya melaporkan nama pemberi dan penerima kepada organisasi profesi setempat.

8

Page 9: GRATIFIKASI DOKTER

(14) Setiap dokter dilarang bertindak memenangkan persaingan bisnis apapun secara melanggar hukum.

(15) Setiap dokter wajib mendukung program anti korupsi, kolusi, dan nepotisme dari pemerintah, organisasi profesi atau pihak manapun juga.

(16) Setiap dokter memiliki yang kepentingan nansial terhadap suatu institusi/perusahaan/badan usaha seharusnya bertindak patut, teliti dan hati-hati agar jangan sampai mempengaruhi dirinya dalam menangani pasien.

(17) Setiap dokter seyogyanya tidak menarik honorarium sejumlah yang tidak pantas dan bertentangan dengan rasa perikemanusiaan.

(18) Setiap dokter wajib mengkomunikasikan secara jujur honorarium dan/atau jasa mediknya kepada pasien agar tidak terjadi aduan menerapkan honorarium di luar kemampuan pasien atau keluarganya.

(19) Seorang dokter dalam berbisnis / bekerjasama dengan perusahaan di luar bidang kedokteran wajib untuk :

a. Tidak berniaga yang tidak cocok atau bertentangan dengan profesi kedokteran atau membawa pengabdian atau profesinya menjadi tidak layak dihormati

b. Memisahkan barang dan jasa yang dihasilkan dari praktek kedokterannya dan keahliannya sehingga tidak dirancukan masyarakat sebagai jasa kedokteran atau diakui oleh profesi kedokteran

c. Tidak mempromosikan nama, jenis keahlian dan pelayanan praktek pribadinya.

Penjelasan pasal.

Walaupun hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat kesehatan dan pelbagai jasa ikutannya sudah dirasakan tak dapat dipisahkan, namun hubungan yang menyimpangi kode etik kedua pihak harus diakhiri, karena ibarat lereng yang licin (the slippery slope), dokter tergelincir menjadi pedagang yang menganggap sah komisi, diskon dll, padahal itu semua pasti memberatkan pasien/keluarganya yang tengah menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya. Dokter memiliki kekuasaan besar untuk menentukan pilihan produk/barang/jasa tersebut, sehingga sepantasnya etika kedokteranlah yang menjadi rem kekuasaan ini. Pada diri dokter terlebih dahulu muncul tanggungjawab daripada kebebasannya. Uraian tersebut menggambarkan bahwa pasal ini merupakan salah satu cirri profesi luhur.

9

Page 10: GRATIFIKASI DOKTER

2.5 Pencegahan Gratifikasi Profesi Dokter

a. Memperbaiki sikap dan perilaku para dokter agar lebih professionalb. Memperkecil celah untuk melakukan kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi

dengan cara membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan farmasi lebih banyak memproduksi obat generik

c. Memberikan gaji dokter pegawai negeri sipil yang manusiawi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sehingga kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan baik

d. Meningkatkan supremasi hukum dan memberikan sanksi yang tegas bagi pemberi dan penerima gratifikasi, sehingga menimbulkan efek jera dan membuat orang di masa yang akan dating tidak mau melakukan tindak pidana korupsi.

10

Page 11: GRATIFIKASI DOKTER

BAB III

KESIMPULAN

Korupsi di Indonesia sudah mencapai pada tahap yang menghawatirkan, karena terjadi hampir di setiap sektor termasuk sektor kesehatan. Gratifikasi yang terjadi antara dokter dengan perusahaan farmasi dapat dianggap sebagai pemberian suap, apabila bertujuan untuk mempengaruhi dokter supaya memakai obat dari perusahaan tersebut kepada pasiennya. Penyebab terjadinya gratifikasi yang merupakan tindak pidana korupsi pada profesi dokter dapat dipakai teori GONE (Greed, Oppurtunity, Need, Exposes). Pencegahan terhadap gratifikasi dapat dilakukan dengan menghilangkan berbagai macam factor penyebabnya.

11

Page 12: GRATIFIKASI DOKTER

DAFTAR PUSTAKA

Buku Saku Memahami Gratifikasi Ed.1 hal : 9.2010. Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi

Purwadianto, Agus, Soetedjo,dkk.2012.Kode Etik Kedokteran.Jakarta

Roeshanny.2009.Pengetahuan,gone theory.from :roeshanny.wordpress.com/2009/02/04/gone-theory/

http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/informasi-gratifikasi/tanya-jawab-gratifikasi. Diakses pada tanggal 5 November 2015

http://www.boyyendratamin.com/2014/06/korupsi-gratifikasi-pada-profesi-dokter.html. Diakses pada tanggal 5 November 2015

12