GRATIFIKASI BIAYA NIKAH

download GRATIFIKASI BIAYA NIKAH

of 8

Transcript of GRATIFIKASI BIAYA NIKAH

GRATIFIKASI BIAYA NIKAH

hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu yang menempatkan Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup.Salah satu item survei KPK terhadap Kementerian Agama adalah tentang gratifikasi dan pungli biaya nikah. Biaya resmi hanya tigapuluh ribu tetapi prakteknya dapat mencapai duaratus tigapuluh ribu bahkan mungkin lebih. Bila dikomulatifkan, misalnya setiap pencatatan nikah ada grafitikasi 200 ribu maka dalam satu tahun se Indonesia terkumpul 400 M. Angka ini diasumsikan ada dua juta peristiwa nikah yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Sejarah biaya nikah

Kantor Urusan Agama sudah ada jauh sebelum negara Indonesia ada. Hal ini dapat dibuktikan adanya register buku nikah di KUA era Hindia Belanda. Untuk KUA yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur buku induk tersebut ditulis dengan huruf jawa, sedangkan di wilayah Sumatra ditulis memakai huruf arab melayu. Keberadaan KUA di zaman Belanda diatur dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 Jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnatie Buitengewesten S. 1932 No. 482 . Pada masa tersebut pegawai pencatat nikah memperoleh gaji dari masyarakat yang mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang dicatat bukan hanya nikah tetapi juga talak dan rujuk (NTR). Semakin banyak yang mencatatkan NTR di KUA semakin besar pula pendapatan pegawai pencatat nikah. Setelah Indonesia merdeka peraturan zaman Belanda tersebut diganti oleh pemerintah baru, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sejak terbitnya undang-undang ini gaji pegawai KUA dibayar oleh negara. Akan tetapi dengan adanya pergolakan revolusi akibat Belanda yang ingin kembali menjajah sehingga perubahan tersebut tidak berjalan mulus. Undang-undang ini sepenuhnya baru dapat dilaksanakan di seluruh wilayah RI pada tahun 1951.

Pada pasal satu ayat empat undang-undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat wajib membayar biaya pencatatan dan masuk kas negara. Ini berbeda dengan peraturan zaman Belanda di mana pembayaran pencatatan NTR menjadi milik petugas. Tetapi peraturan ini masih menyisakan satu masalah, yaitu adanya pelayanan pencatatan di luar kantor dan transport untuk petugas dibebankan kepada masyarakat. Ketentuan ini tidak berubah tatkala UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan menggantikan, bahkan berlangsung hingga tahun 2006. Peraturan Menteri Agama mengatur masalah ini sedangkan besarnya biaya transport ditetapkan gubernur. Masyarakat menyebut transport petugas untuk pencatatan nikah di luar kantor ini dengan istilah biaya bedolan.

Pada era reformasi terbit UU No. 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Biaya bedolan ini menjadi masalah, sebab ia hanya berdasarkan SK Gubernur dan peraturan menteri. Dalam kaca mata undang-undang tersebut, uang seperti itu termasuk kategori gratifikasi. Karena terancam undang-undang anti korupsi maka sejumlah pimpinan kementerian Agama memberi instruksi agar ketentuan biaya bedolan ditiadakan. KUA hanya boleh menerima biaya nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu 30 ribu. Pada praktiknya instruksi tersebut sulit dilaksanakan di lapangan. Inilah modus gratifikasi yang massif dilakukan oleh semua pegawai KUA di seluruh Indonesia. Fenomena ini terjadi disebabkan adanya missing link antar peraturan. Di satu sisi penghulu tidak diperkenankan menerima transport bila melakukan pencatatan nikah di luar KUA, tetapi pada saat yang sama praktek pencatatan pernikahan di luar KUA masih ditoleransi. Bahkan 90 persen lebih akad nikah dilakukan di luar KUA.

Jalan keluar

Landasan hukum bolehnya pencatatan nikah di luar KUA adalah pasal 21 Peraturan Menteri Agama no. 11/2007. Ayat satu mengatakan, akad nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama, ayat dua, Atas permintaan kedua mempelai dan persetujuan petugas akad nikah boleh dilakukan di luar KUA. Inilah pasal karet yang menjebak semua pegawai KUA untuk menerima uang transport.

Tradisi masyarakat memang menghendaki akad nikah dilakukan di rumah mereka dan penghulu diminta datang ke acara perhelatannya. Seperti yang juga dilakukan presiden SBY tatkala menikahkan Ibas dengan Alya di istana Cipanas beberapa waktu lalu. Banyak kasus, petugas KUA itu diatur masyarakat baik jam pelaksanaan maupun tempat akad nikah. Padahal tidak ada anggaran negara untuk membiayai penghulu hadir ke tempat akad nikah di luar kantor. Bila akad nikah dilakukan di hari libur atau malam haripun negara juga tidak memberi anggaran untuk uang lembur penghulu. Akibatnya kalimat persetujuan petugas pada peraturan menteri agama di atas dimaknai dengan setuju bila ada uang transport. Beberapa kyai dan ustaz membolehkan penghulu menerima uang transport tersebut dengan catatan tidak boleh menentukan jumlahnya. Praktek semacam ini dianalogkan dengan seorang mubaligh yang menerima amplop usai melakukan tabligh. Di kalangan kyai uang seperti ini dikenal dengan bisyarah. Dalam hal ini terjadi paradok antara hukum fikih Islam dengan hukum negara. Secara fikih dinilai halal tetapi menurut undang-undang termasuk gratifikasi. Dan para penghulu nampaknya memilih hukum fikih Islam.

Agar pegawai KUA tidak terjebak praktek seperti tersebut di atas, ada dua opsi yang dapat dilakukan. Pertama, akad nikah hanya boleh dilaksanakan di KUA pada jam kerja. Pelayanan di kantor sebenarnya sudah menjadi kelaziman di semua instansi. Misalnya untuk mendapatkan KTP, KK, SIM, SKCK, Paspor, akta kelahiran dan akta cerai masyarakat harus datang ke kantor pemerintah pada jam kerja. Karena itu bila untuk memperoleh akta nikah masyarakat juga harus hadir ke KUA pada jam kerja, rasanya bukan sesuatu yang menyulitkan. Pesta perkawinan boleh di hari libur dan di gedung pertemuan tetapi akad nikah harus dilakukan di KUA pada jam kerja, tanpa kecuali. Bila opsi ini tidak memungkinkan disebabkan tradisi masyarakat yang tidak mungkin diubah, maka pemerintah harus memberikan fasilitas yang memadai bagi penghulu bila mereka menghadiri akad nikah di luar KUA. Bentuknya dapat berupa penerbitan peraturan pemerintah yang menaikkan PNBP biaya nikah atau pemberian anggaran perjalanan untuk menghadiri akad nikah di luar KUA. Dengan cara ini semoga gratifikasi biaya nikah dapat dihentikan. Dan sesuai amanah menteri Agama pada HAB kemenag ke 66, cara ini akan menutup peluang dan celah bagi munculnya penilaian rendah dari masyarakat terhadap institusi dan aparatur Kementerian Agama. Wallahualam

sumber:http://kuagemolong.wordpress.com/2012/08/03/gratifikasi-biaya-nikah/

Menteri Agama: Gratifikasi Penghulu Wajar karena Sudah Budaya

Penulis :

Sabrina Asril

Jumat, 13 Desember 2013 | 10:16 WIB

Suryadharma Ali, saat tiba di kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/10/2011). Presiden mengundang semua pemimpin parpol koalisi pendukung ke Cikeas untuk membahas tentang reshuffle atau perombakan kabinet | KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES

118

161

JAKARTA, KOMPAS.com Menteri Agama Suryadharma Ali menilai, tak ada masalah dengan pemberian "uang terima kasih" kepada penghulu Kantor Urusan Agama (KUA). Uang ini dianggap sebagai gratifikasi. Menurut Suryadharma, pada kenyataannya, penghulu harus melayani para calon pengantin yang menghendaki menikah di luar jam kerja dan di luar KUA. Padahal, tidak ada uang transportasi yang disediakan untuk para penghulu.

"Ucapan terima kasih menjadi tradisi budaya. Contoh di kampung saya, mantri sunat saja, itu selesai sunatan dia dikasih bekakak ayam, dodol, rengginang, pisang, untuk dibawa pulang. Demikian para pencatat nikah, begitu selesai pulang, dikasih oleh-oleh, termasuk amplop," ujar Suryadharma Ali, di Jakarta, Kamis (12/12/2013) malam.

Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan ini meminta publik melihat tugas penghulu dari berbagai sisi agar tak langsung menghakimi. Menurutnya, penghulu tak hanya bertugas dalam bidang administrasi. Tetapi, lanjut Suryadharma, penghulu punya tugas dan fungsi dari aspek aspek agama, budaya, tradisi, klenik, kehormatan, kekeluargaan, dan sakralnya.

"Hal itu (amplop) juga merupakan pesanan dari orang yang menikah kepada penghulu. Karena itu, wajar jika mereka memberikan ucapan terima kasih," ucap Suryadharma.

Dia menjelaskan, amplop itu memang berhak diterima para penghulu karena pelayanan pencatatan nikah lebih banyak dilakukan di luar hari kerja, jam kerja, dan di luar kantor. Kementerian Agama bahkan mencatat pencatatan pernikahan di luar kantor mencapai 94 persen.

"Yang paling harus diketahui masyarakat adalah ketika petugas KUA melakukan pelayanan di luar kantor dan pemerintah tidak sediakan uang transpor untuk mereka. Karena itu, supaya tugasnya berjalan dan si calon pengantin terlayani, maka pihak yang menikah tidak segan-segan untuk memberikan ucapan terima kasih," ujarnya.

Batasan gratifikasi

Adapun Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Agama sudah sepakat untuk mengatur batasan gratifikasi terkait upah dari masyarakat terkait pencatatan pernikahan oleh penghulu di luar jam kedinasan dan di luar balai Kantor Urusan Agama (KUA). Aturan gratifikasi khusus untuk penghulu ini nantinya akan dikoordinasikan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DPR juga sepakat untuk mengalokasikan anggaran transportasi bagi para penghulu. Nantinya, alokasi anggaran transportasi penghulu akan dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Sebelumnya, ratusan penghulu di Jawa Timur menolak menikahkan calon pengantin di luar balai nikah. Hal itu menyusul terjeratnya Kepala KUA Kecamatan Kota, Kediri, Jawa Timur, atas dugaan kasus korupsi biaya nikah. Kejaksaan negeri setempat menemukan fakta aliran dana gratifikasi biaya nikah sebesar Rp 10.000 untuk setiap peristiwa pernikahan di luar balai nikah, yang masuk ke kantong pribadi selain biaya nikah resmi senilai Rp 35.000.

Selama ini, biasanya pernikahan berlangsung di rumah pengantin atau di masjid yang dianggap sakral. Pemberian tambahan dana di luar biaya nikah untuk transportasi penghulu juga sudah biasa diberikan sebagai ucapan terima kasih pasangan pengantin kepada penghulu.

http://nasional.kompas.com/read/2013/12/13/1016046/Menteri.Agama.Gratifikasi.Penghulu.Wajar.karena.Sudah.Budaya.Wamen Agama Tak Tahu Jika Pungli KUA Gratifikasi

Ilustrasi Kantor Urusan Agama. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan Kementerian Agama tidak menyediakan anggaran untuk menikahkan pengantin di luar Kantor Urusan Agama. Selama ini biaya pencatatan nikah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2004, adalah Rp 30 ribu per peristiwa nikah.

Menurut Nasaruddin biaya Rp 30 ribu itu untuk pelayanan pernikahan di dalam kantor KUA. Tidak ada tambahan apapun kalau mau menikah di dalam kantor KUA pada hari dan jam kerja, ujar dia saat dihubungiTemp, Minggu, 23 Desember 2012.

Namun, menurut Nasaruddin, kebanyakan masyarakat menikah di luar KUA dan selalu di luar hari dan jam kerja. Menurut dia, masyarakat Indonesia banyak yang enggan menikah di kantor KUA karena sudah terlanjur menempel citra yang tidak baik jika menikah di kantor KUA. Pasti dipikirnya hamil duluan atau ada apa-apa, ujarnya.

Hasil riset Balai Penelitianan dan Pengembangan Agama Jakarta Kementerian Agama yang dilakukan pada 2010 menunjukkan biaya faktual yang yang dikeluarkan warga Jakarta saat mencatatkan nikah di KUA berkisar dari Rp 150 ribu-1 juta. Selain karena ada pemberian dari masyarakat, Pembengkakan ini terjadi karena petugas atau penghulu KUA membiarkan budaya menerima uang di luar biaya resmi, bunyi kesimpulan penelitian tersebut.

Nasaruddin menyalahkan kebiasaan masyarakat yang memberikan uang kepada penghulu sehingga melambungkan biaya pencatatan nikah. Dia menganggap biaya tambahan diterima sebagai penghargaan masyarakat kepada penghulu karena melayani di luar jam kerja dan di luar kantor. Saya enggak tahu itu masuk gratifikasi atau tidak, kata Nasarudin. Masalah ini memang masih dilematis.

Padahal, menurut Inspektur Jenderal Kementerian Agama M Jasin, meski diberikan secara ikhlas, uang tambahan atau pungutan liar itu dapat dikategorikan sebagai suap maupun gratifikasi (hadiah). Sebab, kata dia, para penghulu termasuk pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak boleh menerima hadiah apapun terkait dengan tugasnya. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama menemukan potensi korupsi dalam pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama di semua wilayah Indonesia mencapai Rp 1,2 triliun setiap tahun.

TRI ARTINING PUTRI

http://www.tempo.co/read/news/2012/12/29/083451062/Wamen-Agama-Tak-Tahu-Jika-Pungli-KUA-Gratifikasi