gramatika politik pemuda

5
Telah menjadi hukum besi sejarah, bahwa setiap angkatan hidup dalam zaman yang berbeda, termasuk angkatan muda Indonesia. Penggalan-penggalan sejarah yang terpisah pada setiap fase generasi tak berarti keterputusan mata rantai (diskontinuitas) sejarah, melainkan bahwa setiap generasi masing-masing punya tanggung jawab sejarah. Artinya, setiap generasi punya jawaban berbeda atau gramatika politik yang khas atas problem yang dihadapi bangsanya. Menyitir Prof Taufik Abdullah, per definisi, nomenklatur "pemuda" atau "generasi muda" memang kerap digunakan tak hanya sebatas konsep akademis, namun juga konsep politis untuk memaknai atau memberi generalisasi pada sekelompok masyarakat yang berada pada usia paling produktif dan dinamis—yang membedakannya dari kelompok umur anak-anak atau golongan tua (Pemuda dan Perubahan Sosial, 1987). Dalam konteks sejarah modern Indonesia, gramatika politik pemuda kerap dibagi secara periodikal ke dalam angkatan 08’, 28’, 45’, 66’, 74’, 80’-an, hingga 90’-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan kritis (minoritas kreatif), yang berani meretas ide baru bagi bangsanya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami pembentukan identitas dan pematangan kesadaran sebagai aktor penting perubahan. Jika gramatika politik pemuda 08’ adalah kecerdasan dalam memupuk bibit nasionalisme, pemuda 28’ sukses menggalang persatuan nasional, dan pemuda 45’ berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan, maka gramatika politik pemuda angkatan 66’, 74’, 80’, hingga 90’-an baru sebatas memerankan fungsinya sebagai kekuatan korektif yang anti-status quo. Catatan atas kiprah anak muda memang nyaris minus malum (sedikit cacat). Sebab, sejarah tak melulu melahirkan pahlawan, tapi juga pecundang. Namun, berangkat dari referensi sejarah, setiap inci geliat peradaban yang melahirkan pembebasan, pencerahan, kemerdekaan, dan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan selalu menampilkan anak muda sebagai ikon, inisiator, bahkan aktor penting pembuat sejarah (history maker). Lihat saja sejarah yang

Transcript of gramatika politik pemuda

Page 1: gramatika politik pemuda

Telah menjadi hukum besi sejarah, bahwa setiap angkatan hidup dalam zaman yang berbeda, termasuk angkatan muda Indonesia.

Penggalan-penggalan sejarah yang terpisah pada setiap fase generasi tak berarti keterputusan mata rantai (diskontinuitas) sejarah, melainkan bahwa setiap generasi masing-masing punya tanggung jawab sejarah. Artinya, setiap generasi punya jawaban berbeda atau gramatika politik yang khas atas problem yang dihadapi bangsanya.

Menyitir Prof Taufik Abdullah, per definisi, nomenklatur "pemuda" atau "generasi muda" memang kerap digunakan tak hanya sebatas konsep akademis, namun juga konsep politis untuk memaknai atau memberi generalisasi pada sekelompok masyarakat yang berada pada usia paling produktif dan dinamis—yang membedakannya dari kelompok umur anak-anak atau golongan tua (Pemuda dan Perubahan Sosial, 1987).

Dalam konteks sejarah modern Indonesia, gramatika politik pemuda kerap dibagi secara periodikal ke dalam angkatan 08’, 28’, 45’, 66’, 74’, 80’-an, hingga 90’-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan kritis (minoritas kreatif), yang berani meretas ide baru bagi bangsanya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami pembentukan identitas dan pematangan kesadaran sebagai aktor penting perubahan.

Jika gramatika politik pemuda 08’ adalah kecerdasan dalam memupuk bibit nasionalisme, pemuda 28’ sukses menggalang persatuan nasional, dan pemuda 45’ berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan, maka gramatika politik pemuda angkatan 66’, 74’, 80’, hingga 90’-an baru sebatas memerankan fungsinya sebagai kekuatan korektif yang anti-status quo.

Catatan atas kiprah anak muda memang nyaris minus malum (sedikit cacat). Sebab, sejarah tak melulu melahirkan pahlawan, tapi juga pecundang. Namun, berangkat dari referensi sejarah, setiap inci geliat peradaban yang melahirkan pembebasan, pencerahan, kemerdekaan, dan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan selalu menampilkan anak muda sebagai ikon, inisiator, bahkan aktor penting pembuat sejarah (history maker). Lihat saja sejarah yang diukir para nabi, pemikir kemanusiaan, pejuang kemerdekaan, dan tokoh-tokoh pembebasan, selalu disesaki oleh catatan anak muda pemberani.

Di negeri ini, kita pernah memiliki generasi pertama kepemimpinan nasional pascaproklamasi yang dipenuhi para pemimpin muda berusia 20-40 tahunan yang brilian, energik, dan progresif. Sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Muhammad Natsir, Amir Sjarifoeddin, Abdul Halim, Wilopo, Burhanuddin Harahap, Djuanda Kartawidjaja, Adam Malik, Soedirman, atau AH Nasution.

Faktual, dalam setiap etape transisi politik, peran pemuda secara alamiah hadir dan melekat kuat dalam noktah sejarah. Mereka umumnya adalah generasi terpelajar yang berwatak keras, pemberani, dan pemberontak seperti mahasiswa, profesional, akademisi, pemikir bebas, dan para aktivis pada umumnya yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota, memiliki kepekaan sosial, serta empati dan kesadaran politik yang tinggi.

Page 2: gramatika politik pemuda

Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah, proses, dan dimensi kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam pembentukan opini dan pengalihan isu. Pada gilirannya, kaum elite inilah yang akan mengontrol berbagai akses atas sumber daya sosial, ekonomi, dan politik negara.

Di era kepolitikan Orde Baru, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer. Pemuda 66’ yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas "penyuplai ide", sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berperan tak lebih sebagai "pengritik" otoriterisme negara. Di dalam kampus, mahasiswa terpenjara oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Nyaris Tak Ada Pembaruan Mendasar

Pascaruntuhnya kekuasaan despotik-otoriter Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan regenerasi politik adalah akibat sulitnya sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru.

Regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan (sunset generation)—seperti SBY, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Wiranto, atau Prabowo Subianto—ke depan dipastikan belum akan menguat. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga pemilu 2014 mendatang. Menurut Anies Baswedan (2007), kendati tengah mengalami pergeseran entitas (dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-enterprener), the rulling elite Indonesia pascareformasi secara umum masih akan didominasi kelompok mapan (the old establish group).

Faktual, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa yang mengalami booming pada dekade 1970-an, mengalami penguatan peran politik dan bertindak selaku pressure group. Realitas ini berpengaruh signifikan pada tampil dan menguatnya kembali sosok politik pemuda era 70’ dan 80’-an. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa ini aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis. Pergumulan pemikiran, pematangan organisasi, dan keterampilan politik yang mereka miliki membuat kelompok ini menjadi entitas yang paling siap dalam menyambut reformasi politik ‘98; yang keberadaanya juga diukir oleh para aktivis mahasiswa ’90-an.

Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa ini untuk terjun ke dunia politik praktis. Banyak di antara mereka—terutama mantan aktivis berlatar profesional-enterprener—duduk di lembaga legislatif, eksekutif, atau partai politik; di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan ini mengalami disorientasi visi; terjebak dalam arus pragmatisme politik.

Salah satu penyebabnya adalah, tren perpolitikan nasional diwarnai secara kental oleh ekonomi pasar berwatak transaksional. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) ini

Page 3: gramatika politik pemuda

tumbuh seiring dengan sikap elite politik yang kian arogan, parokial, dan partitokrat (suka mengangkangi kedaulatan rakyat).

Dalam The Rise of Capital (1986), Richard Robison menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas kepolitikan ini sesungguhnya adalah residu dari watak kekuasaan Orde Baru yang berciri nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business ini bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi altar judi para politisi pemburu rente.

Bagaimana Menjamin Proses Transisi?

Pertanyaan mendasar yang patut kita ajukan: bagaimana menjamin proses transisi politik dan regenerasi kepemimpinan nasional dapat berlangsung gradual (alamiah-rasional), bukan rejuvenasi dipaksakan model "kader jenggot" yang elitis-subjektif?

Pertama, kaum muda harus berani merombak watak banalisme dan budaya politik transaksional yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik, badan legislatif, dan institusi demokrasi lainnya sebagai arena pengabdian politik pada publik. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pelayanan.

Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kelima, menuntaskan agenda pemberantasan korupsi yang praktis telah menistakan dan memiskinkan bangsa. Keenam, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat. Harapannya, agar para politisi tak berlaku bak enterprener, dan para enterprener yang menjadi politisi tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses akumulasi kapital.

Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-enterprener—terutama yang telah memiliki modal sosial, politik, dan kapital—diprediksi akan makin banyak terserap ke pusat kekuasaan (lokal maupun nasional). Kekhawatiran publik atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan "uang dan kekuasaan" yang dilakoni para elite berwatak transaksional (atau berjenis kelamin "penguasa-pengusaha"), kini tengah menggejala kuat dalam praktik politik Indonesia mutakhir.

Mengutip Hegel, kepemimpinan pemuda adalah jiwa jaman (zeitgeist), yang dituntut sanggup membumikan visi besar bangsa: menegakkan keadilan, menyemai kesejahteraan, dan memperkuat pondasi demokrasi. Zeitgeist kepemimpinan pemuda juga harus beralas spirit untuk menyemai pribadi-pribadi unggul yang asketik, bermoral, memiliki integritas tinggi dan mampu mengatasi sikap-sikap picik, egois, eksklusif, dan primordial.

Bung Karno pernah berujar, "setiap generasi memikul natur dan kulturnya sendiri". Adam Malik juga berwasiat, "pemuda harus bisa memaknai sejarah sebagai politik masa lalu, dan politik sebagai sejarah masa kini". Ini berarti, kaum muda Indonesia harus menjawab tantangan jaman saat ini: menuntaskan agenda regenerasi kepemimpinan nasional yang terus tertunda.

Page 4: gramatika politik pemuda

Sosiolog kondang dunia, Max Weber, juga mewanti-wanti, pemuda tak boleh menjadi epigon sejarah, yang gagal menunaikan peran historiknya. Di setiap jaman dan keadaan, pemuda punya hak sejarah untuk tampil memimpin. Sebab, hukum besi sejarah telah me-nubuwat-kan mereka sebagai aktor penting perubahan: agent of social changes! ***

Penulis adalah Direktur Eksekutif Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (KPMI); dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Satya Negara Indonesia.