GGK.doc
-
Upload
renaldazwari -
Category
Documents
-
view
26 -
download
1
description
Transcript of GGK.doc
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL GINJAL KRONIK
1. Konsep Teori
a. Pengertian
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang menahun yang
umumnya tidak riversibel dan cukup lanjut. Gagal ginjal kronik merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung
dalam beberapa tahun.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan
peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA). Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan
fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan
laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat.
Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila
konsentrasi ureum plasma meningkat.
b. Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan irreversible dari berbagai penyebab. Sebab-sebab gagal ginjal
kronik yang sering ditemukan dapat dibagi menjadi delapan kelas, yaitu:
1. Infeksi: Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis.
3. Penyakit vascular hipertensi: Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung: Lupus eritematosus sistemik,
Poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
1
5. Gangguan kongerital dan hereditas: Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolic: Diabetes militus, gout, hiperpara tiroidisme,
amiloidosis.
7. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale
8. Nefropati obstruktif: Saluran kemih bagian atas kalkuli, neoplasma,
fibrosisretroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi
prostate, struktur urea, anomaly kongetal pada leher kandung kemih dan
uretra.
c. Gambaran Klinis
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik
mengenai dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
1. Gangguan pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan
terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme
protein yang terganggu oleh bakteri usus. Sering pula faktor
uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul
stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya.
Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90% kasus Gagal Ginjal Kronik,
bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
2. Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik
hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
3. Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampir selalu ada pada Gagal Ginjal
Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai
anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal
Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai
polistemi. Hemolisis merupakan penyebab sering timbulnya anemia,
selain anemia pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan
2
akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai
trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal
Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
4. Sistem Saraf dan Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak,
kadang terasa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang
sampai penurunan kesadaran atau koma.
5. Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme
terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena
penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron
(RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat
kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai
efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat
gangguan elektrolit.
6. Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, pada wanita dapat pula
terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering
tergangu pada Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin
D.
7. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi,
gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti
asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia.
d. Klasifikasi
Secara umum gagal ginjal kronik dapat menjadi 3 stadium, yaitu:
1. Stadium 1 (Penurunan Cadangan Ginjal)
3
Selama stadium ini, kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan
penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
2. Stadium II (Insufiensi Ginjal)
Pada stadium ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak.
GFr meningkat dari nilai normal. Kadar BUN dan kreatinin serum
mulai meningkat juga. Gejala-gejala nokturia sering berkemih
dimalam hari bisa sampai 700 ml dan poliuria (akibat kegagalan dari
pemekatan mulai timbul)
3. Stadium III (Gagal Ginjal Stadium Akhir atau Uremia)
Sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak atau hanya
sekitar 200.000 nefron saja yang utuh. Nilai GFR hanya 10% dari
normal. Kenaikan yang signifikan dari nilai BUN dan kreatinin serum.
Oliguri dan sindrom uremik yang menggambarkan dari tanda gejala
pada stadium ini.
e. Patofisiologis
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolism
protein normalnya diekresikan kedalam urine tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia yang mepengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrate rate (GFR)
mngakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolism protein dalam usus yang
mengakibatkan anoreksia, nausea, maupun vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin
sampai keotak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada
syaraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN)
biasanya juga meningkat.
4
Pada penyakit ginjal tahap akhir urine tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung
kongestif. Penderita dapat terjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan
suplai oksigen dengan kebutuhan. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya.
Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosi metabolic akibat ginjal
mengekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan
eritropoetin yang mengekibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita
dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan
tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan
fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parat hormone dari kelenjar paratiroid. Laju
penurunan fungsi ginjal perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguan yang medasari, ekresi protein dalam urine dan adanya hipertensi.
5
6
Pathway Renin-Angiotensin-Aldosterone System
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin
bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin
yang disebut bahan renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan
peptida asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat
vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan
fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah
selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan
angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut.
Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua
asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk
angiotensin II peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi
selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada
paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang
terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin
Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang
sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi
sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit
7
karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim
darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase.
Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai
dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh
yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi
terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi
pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan
meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan
meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa
jantung untuk melawan kenaikan tekanan.
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika
tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-
kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin
mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut
angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin
II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan
volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II
menaikan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran
darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang
tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal
tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam
urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah.
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu
organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron.
Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula
tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta
meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat
kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian
meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek
jangka panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler,
8
bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya
mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.
f. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua
factor yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.
Adapun penatalaksanaannya yaitu penatalaksanaan konservatif yang
meliputi pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis,
pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi komplikasi. Dan
penatalaksanaan pengganti diantaranya dialysis (hemodialisis, peritoneal
dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut:
1. Dialisis.
Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein,
dan natrium dapat dikonsumsi sevara bebas, menghilangkan
kecenderungan pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.
2. Koreksi Hiperkalemia.
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG.
Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan
mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian
infuse glukosa.
3. Koreksi Anemia.
9
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan
Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat,
missal pada adanya insufisiensi koroner.
4. Koreksi Asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral.
Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5. Pengendalian Hipertensi.
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator
dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi
harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi
natrium.
6. Tranplantasi Ginjal.
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
g. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik
Komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendekatan
kolaboratif dalam perawatan, mencakup:
1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
2. Perikarditis: efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin, angiotensin, aldosteron.
4. Anemia: akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastro intestinal.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes Laboratorium
10
Laboratorium Darah
BUN, Kreatinin, Elektrolit, (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb,
trombosit, Ht, leukosit), Protein antibody (kehilangan protein dan
imunoglobulin).
Pemeriksaan Urine
Warna, pH, BJ, Kekeruhan, Volume, Glukosa, Protein, Sedimen,
Klirens keratin.
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda perikarditis,
aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia).
3. Pemeriksaan USG
Menilai berat dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih, serta prostat.
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenosus, Pyelography, Retrograde Pyelography,
Renal Arteriografi, dan Venografi, CT scan, MRI, Renal Biopsi,
Pemeriksaan Rontgen Dada, Pemeriksaan Rotgen Tulang, Foto Polos
Abdomen.
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan
penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,
observasi, psikal assessment.
Pengkajian pada klien dengan gagal ginjal kronik meliputi:
1. Identitas klien.
2. Keluhan utama.
3. Riwayat penyakit (Riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga)
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum dan TTV
11
Klien tampak lemah dan terlihat sakit berat, tingkat kesadaran
menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapaat mempengaruhi
sistem saraf pusat, sering didapatkan adanya perubahan RR
meningkat, tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan
sampai berat.
b. Sistem pernafasan
Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon uremia
didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam
merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida
yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sistem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial.
Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat,
akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan sesak nafas,
gangguan irama jantung, edema penurunan perfusiperifer sekunder
dari penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan gangguan
kondisi elektrikal otot ventikel.
Pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan
kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskular
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan
adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome,
restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskular
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas system rennin- angiostensin- aldosteron. Nyeri dada dan
12
sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung
koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu.
Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai
amenorea.
Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15
ml/menit) terjadi penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan
waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat
menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan
berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism
vitamin D.
g. Sistem perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi
penurunan libido berat.
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder
dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus
saluran cerna sehingga sering di dapatkan penurunan intake nutrisi
dari kebutuhan.
i. Sistem muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri
kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya
infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis
pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan
lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya
13
kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipertensi.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran
urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan
membrane mukosa mulut.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status
metabolic, sirkulasi,sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan
aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur.
5. Risiko infeksi dengan faktor gangguan respon imun.
c. Perencanaan
Diagnosa 1
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine,
diet berlebih dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil:
Klien tidak sesak nafas, edema ekstermitas berkurang, piting edema (-),
produksi urine > 600ml/hr.
Intervensi:
Kaji status cairan (timbang BB, output dan input yang seimbang, turgor
kulit dan edema, TD, nadi), mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, kolaborasi pemberian diuretik dan lakukan dialisis.
14
Diagnosa 2.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan
membrane mukosa mulut.
Tujuan:
Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil:
Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan
oleh situasi individu, bebas edema.
Intervensi:
Kaji status nutrisi dan pola diet klien, kaji faktor yang mempengaruhi
masukan nutrisi, tingkatkan masukan tingi protein dan tinggi kalori,
ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan, timbang
BB.
Diagnosa 3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi,sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi
ureum dalam kulit.
Tujuan:
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil:
Kulit tidak kering, hiperpigmentasi berkurang, memar pada kulit
berkurang.
Intervensi:
Kaji terhadap kekeringan kulit, pruritis, ekskoriasi, dan infeksi, kaji
terhadap adanya petekie dan purpura, monitor lipatan kulit dan area yang
edema, berkolaborasi berikan pengobatan antipruritis.
15
Diagnosa 4.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur.
Tujuan:
Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil:
Meningkatkan rasa sejahtera, dan dapat berpartisipasi dalam aktivitas
perawatan mandiri yang dipilih.
Intervensi:
Kaji faktor yang menimbulkan keletihan, tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi,
anjurkan aktivitas alternative sambil istirahat, anjurkan istirahat setelah
dialisis.
Diagnosa 5.
Risiko infeksi dengan faktor gangguan respon imun.
Tujuan:
Infeksi tidak terjadi/terkontrol.
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi (seperti kalor, rubor, dolor, tumor, dan
gangguan fungsi), kulit bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda
vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi:
Pantau tanda-tanda vital, lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
kalau ada luka, lakukan perawatan terhadap prosedur invasif (seperti infus,
kateter, drainase luka), kolaborasi untuk pemeriksaan lab (Hb, Ht,
leukosit) dan pemberian antibiotik.
d. Kriteria Evaluasi
1. Volume cairan menjadi seimbang.
2. Masukan nutrisi yang adekuat.
16
3. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
4. Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
5. Infeksi tidak terjadi/terkontrol.
Daftar Pustaka
1. Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Ed.8 Vol.3. Jakarta: EGC.
2. Carpenito, L.J. 2006. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed.
2. Jakarata: EGC
3. Dongoes. 2000. Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta: EGC
4. NANDA International. 2011. NANDA-I: Nursing Diagnoses Definitions &
Classification 2012-2014. USA: Willey Blackwell Publication.
5. Moorhead, Sue, Meridean Maas, Marion Johnson. 2004. Nursing
Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier.
6. Bulechek, Gloria M, Joanne C. McCloskey. 2008. Nursing Intervention
Classification (NIC) Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier.
17