Geriatri2

21
Vertigo dan Diabetes Melitus pada Manula FERDINAN SIBARANI 102013451 KELOMPOK F9 [email protected] FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731 [email protected] Latar belakang Pasien Geriatri atau lansia adalah penderita dengan usia 60 tahun ke atas dan memiliki karakteristik khusus, antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial. Semuanya akan menyebabkan kemunduran, keterbatasan dan ketergantungan serta diberikan banyak obat-obatan yang sering malah akan berakibat merugikan. Berada dengan pasien usia muda, stres fisik seperti infeksi atau stres psikososial, yang relatif ringan, dapat memicu timbulnya 1

description

qe

Transcript of Geriatri2

Vertigo dan Diabetes Melitus pada Manula FERDINAN SIBARANI102013451KELOMPOK [email protected] KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAJln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) [email protected] belakangPasien Geriatri atau lansia adalah penderita dengan usia 60 tahun ke atas dan memiliki karakteristik khusus, antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial.Semuanya akan menyebabkan kemunduran, keterbatasan dan ketergantungan serta diberikan banyak obat-obatan yang sering malah akan berakibat merugikan. Berada dengan pasien usia muda, stres fisik seperti infeksi atau stres psikososial, yang relatif ringan, dapat memicu timbulnya penyakit serius pada usia lanjut. Karenamya dibutuhkan perawatan khusus yang bermutu tinggi untuk pengelolaan pasien geriatri.TujuanTujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menginformasikan tentang penyakit-penyakit multiorgan yang biasanya diderita lansia, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, penatalaksanaan, komplikasi, preventif, dan prognosisnya.

VERTIGOVertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo bukan gejala pusing saja, tetapi merupakan kumpulan gejala atau satu sindroma yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, keringat dingin, mual, muntah), dan pusing.1AnamnesisDari anamnesis, penderita mengalami vertigo kronis paroksismal jika memiliki gejala memberat dengan perubahan posisi kepala serta keluhan telinga. Beberapa penyebab yang mungkin pada pasien ini adalah vertigo servikalis, hipotensi orthostatik atau vertigo posisional paroksismal benigna. Pada kasus ini didapatkan keluhan pusing berputar jika penderita terlalu cepat menggerakkan kepala, disertai mual dan muntah. Keluhan ini timbul secara paroksismal.2Pemeriksaan fisik dan penunjangPemeriksaan fisik dasar dan neurologis sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis vertigo. Pemeriksaan fisik dasar yang terutama adalah menilai perbedaan besar tekanan darah pada perubahan posisi. Secara garis besar, pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai fungsi vestibular, saraf kranial, dan motorik-sensorik.

Sistem vestibular dapat dinilai dengan tes Romberg, tandem gait test, uji jalan di tempat (fukuda test) atau berdiri dengan satu atau dua kaki. Uji-uji ini biasanya berguna untuk menilai stabilitas postural jika mata ditutup atau dibuka. Sensitivitas uji-uji ini dapat ditingkatkan dengan teknik-teknik tertentu seperti melakukan tes Romberg dengan berdiri di alas foam yang liat.

Pemeriksaan saraf kranial I dapat dibantu dengan funduskopi untuk melihat ada tidaknya papiledema atau atrofi optik. Saraf kranial III, IV dan VI ditujukan untuk menilai pergerakan bola mata. Saraf kranial V untuk refleks kornea dan VII untuk pergerakan wajah. Fungsi serebelum tidak boleh luput dari pemeriksaan. Untuk menguji fungsi serebelum dapat dilakukan past pointing dan diadokokinesia.

Pergerakan (range of motion) leher perlu diperhatikan untuk menilai rigiditas atau spasme dari otot leher. Pemeriksaan telinga ditekankan pada pencarian adanya proses infeksi atau inflamasi pada telinga luar atau tengah. Sementara itu, uji pendengaran diperiksa dengan garputala dan tes berbisik.

Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai pergerakan mata seperti adakah nistagmus spontan atau gaze-evoked nystagmus dan atau pergerakan abnormal bola mata. Penting untuk membedakan apakah nistagmus yang terjadi perifer atau sentral. Nistagmus sentral biasanya hanya vertikal atau horizontal saja dan dapat terlihat dengan fiksasi visual. Nistagmus perifer dapat berputar atau rotasional dan dapat terlihat dengan memindahkan fiksasi visual. Timbulnya nistagmus dan gejala lain setelah pergerakan kepala yang cepat, menandakan adanya input vestibular yang asimetris, biasanya sekunder akibat neuronitis vestibular yang tidak terkompensasi atau penyakit Meniere.

Uji fungsi motorik juga harus dilakukan antara lalin dengan cara pasien menekuk lengannya di depan dada lalu pemeriksa menariknya dan tahan hingga hitungan ke sepuluh lalu pemeriksa melepasnya dengan tiba-tiba dan lihat apakah pasien dapat menahan lengannya atau tidak. Pasien dengan gangguan perifer dan sentral tidak dapat menghentikan lengannya dengan cepat. Tetapi uji ini kualitatif dan tergantung pada subjektifitas pemeriksa, kondisi muskuloskeletal pasien dan kerjasama pasien itu sendiri.

Pemeriksaan khusus neuro-otologi yang umum dilakukan adalah uji Dix-Hallpike dan electronystagmography (ENG). Uji ENG terdiri dari gerak sakadik, nistagmus posisional, nistagmus akibat gerakan kepala, positioning nystagmus, dan uji kalori.

Pada dasarnya pemeriksaan penunjang tidak menjadi hal mutlak pada vertigo. Namun pada beberapa kasus memang diperlukan. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap dapat memberitahu ada tidaknya proses infeksi. Profil lipid dan hemostasis dapat membantu kita untuk menduga iskemia. Foto rontgen, CT-scan, atau MRI dapat digunakan untuk mendeteksi kehadiran neoplasma/tumor. Arteriografi untuk menilai sirkulasi vertebrobasilar.3

EtiologiAsal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]).2PatofisiologiSistem vestibular sentral terletak pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya, sistem vestibular perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. Labirin tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus dan utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan, serta koklea sebagai reseptor sensori pendengaran. Sementara itu, krista pada kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear.

Segala input yang diterima oleh sistem vestibular akan diolah. Kemudian, diteruskan ke sistem visual dan somatokinetik untuk merespon informasi tersebut. Gejala yang timbul akibat gangguan pada komponen sistem keseimbangan tubuh itu berbeda-beda.2

Tabel 1. Perbedaan vertigo vestibular dan non vestibular GejalaVertigo VestibularVertigo Non Vestibular

Sifat vertigoSeranganMual/muntahGangguan pendengaranGerakan pencetusSituasi pencetusrasa berputarepisodik++/-gerakan kepala-melayang, hilang keseimbangankontinu--gerakan obyek visualkeramaian, lalu lintas

Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibular perifer dan sentralGejalaVertigo Vestibular PeriferVertigo Vestibular Sentral

Bangkitan vertigoDerajat vertigoPengaruh gerakan kepalaGejala otonom (mual, muntah, keringat)Gangguan pendengaran (tinitus, tuli)Tanda fokal otaklebih mendadakberat+++++-lebih lambatringan+/-+-+

Berdasarkan awitan serangan, vertigo dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu paroksismal, kronik, dan akut. Serangan pada vertigo paroksismal terjadi mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, lalu menghilang sempurna. Suatu saat serangan itu dapat muncul lagi. Namun diantara serangan, pasien sama sekali tidak merasakan gejala. Lain halnya dengan vertigo kronis. Dikatakan kronis karena serangannya menetap lama dan intensitasnya konstan. Pada vertigo akut, serangannya mendadak, intensitasnya perlahan berkurang namun pasien tidak pernah mengalami periode bebas sempurna dari keluhan.

EpidemiologiBerdasarkan survey neurologus dari populasi umum, prevalesnsi dalam satu tahun pada penderita vertigo adalah 4,9%, pada penderita vertigo migrain adalah 0,89%, dan Benign Proxymal Positional Vertigo adalah 1,6 %.4PenatalaksanaanTerapi vertigo meliputi:1. Terapi kausatif Kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, walaupun demikian jika penyebabnya dapat diketemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama.2. Terapi simptomatikDitujukan untuk 2 hal utama, yaitu rasa vertigo dan gejala otonom (mual, muntah). Berkat adanya mekanisme kompensasi sentral, maka gejala akan berkurang, namun pada fase akut terapi simptomatis sangat diperlukan untuk kenyamanan, ketenangan pasien dan segera dapat memobilisasi pasien dalam rangka rehabilitasi. Terapi simptomatis hendaknya tidak berlebihan agar mekanisme kompensasi tidak terhalang. Pemilihan obat vertigo tergantung dari titik tangkap kerja obat, berat vertigo, fase dan tipe vertigo.3. Terapi RehabilitatifTujuan adalah untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibuler. Mekanisme kerja melalui: Substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensori untuk fungsi vestibuler yang terganggu. Mengaktifkan kendali tonus n. Vestibularis oleh serebelum, sistem visual dan somatosensori. Menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimuli sensorik yang berulang-ulang.2PreventifAda beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah vertigo, misalnya : Biasakan untuk tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh. Ketika bangun tidur, bangkitlah secara perlahan-lahan. Baiknya jangan langsung berdiri, melainkan gunakan beberapa menit untuk duduk dulu. Jangan mengangkat barang dengan posisi membungkuk. Gerakkan kepala secara hati-hati, terutama ketika sedang mendongak. Konsumsi obat dengan teratur untuk memperkuat kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri atau virus yang mampu mengganggu organ pendengaran.5

Prognosisdeath : dubia ad bonamdisease : dubia ad bonamdisability : dubia ad bonamdiscomfort : dubia ad bonamdissatisfaction : dubia ad bonamdistitution : dubia ad bonam

DIABETES MELLITUSDiabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan gula darah tinggi (glukosa) yang dihasilkan dari kerusakan sekresi insulin, atau gangguan kerja insulin, atau keduanya.

Anamnesis

Pada anamnesis untuk mendiagnosis diabetes mellitus, beberapa hal yang penting untuk ditanyakan adalah :1. Riwayat penyakit keluargaAdanya riwayat penyakit hipertensi pada kedua orang tua memperbesar dugaan ke arah diabetes. 2. Usia penderita:Gejala-gejala diabetes tipe 1 biasanya akan dirasakan penderita di usia dini (anak-anak hingga remaja hingga usia 30 tahun), sementara diabetes tipe 2 seringkali muncul pada penderita di usia 40 tahun ke atas. 3. Data-data penunjangData-data penunjang lain berupa faktor resiko lain seperti gaya hidup, pola makan dan berat badan. Untuk memperkuat diagnosis yang mengarah pada tahap komplikasi diperlukan pemeriksaan tekanan darah, kadar kolesterol, fungsi ginjal, foto dada dan rekam jantung.12

Pemeriksaan fisik dan penunjang

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.

Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.13

Etiologi

Etiologi diabetes mellitus tipe II (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) bahkan kurang jelas dipahami. Namun ada dua faktor telah diidentifikasi :

1. Gangguan sekresi insulin basal. Pelepasan insulin seringkali normal, tapi cepatnya pelepasan insulin tidak sesuai dengan makanan yang masuk, mengakibatkan kegagalan penanganan normal beban karbohidrat. 2. Resistensi insulin. Kecacatan respon jaringan terhadap insulin diyakini memainkan peran utama. Fenomena ini disebut resistensi insulin dan disebabkan oleh reseptor insulin cacat pada sel target atau tidak mampu mengenali sel target. Resistensi insulin terjadi pada pasien dengan obesitas dan kehamilan. Pada individu normal yang menjadi gemuk atau hamil, sel B akan meningkatkan jumlah insulinnya untuk mengimbangi kondisi tersebut. Pasien yang mempunyai kerentanan genetik untuk diabetes tidak dapat mengkompensasi karena cacat pada sekresi insulin.14

PatofisiologiPada pasien paruh baya dan tua, terdapat predisposisi genetik yang kuat untuk diabetes tipe 2. Gen tertentu yang bertanggung jawab dalam munculnya diabetes mellitus tipe 2 belum ditemukan. Pasien dengan riwayat keluarga diabetes memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan penyakit ini dengan bertambahnya usia mereka. Pasien lansia dengan resistensi insulin perifer dan glukosa, pelepasan insulin akan berkurang dan berisiko mengembangkan diabetes tipe 2 dibandingkan yang tidak resisten.

Fisiologis dan faktor lingkungan menyebabkan predisposisi genetik majemuk. Kadar testosteron rendah pada pria dan kadar testosteron yang lebih tinggi pada wanita merupakan faktor risiko untuk pengembangan diabetes. Lansia individu yang memiliki asupan tinggi lemak dan gula dan asupan rendah karbohidrat kompleks lebih mungkin untuk mengembangkan diabetes.

Aktivitas fisik dan distribusi lemak pusat menyebabkan predisposisi diabetes pada lansia. Tidak seperti pasien yang lebih muda, saat puasa produksi glukosa hepatik menunjukkan hasil normal. Lansia penderita diabetes tipe 2 mengalami perubahan spesifik pada metabolisme karbohidrat. Cacat metabolik utama pada subyek lansia kurus adalah penurunan nilai glukosa karena pelepasan insulin, sedangkan kelainan utama pada subyek lansia gemuk resistensi terhadap pembuangan glukosa insulin-mediated.

Penyerapan glukosa terjadi dengan mekanisme insulin-mediated dan noninsulin-dimediasi. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bahwa penyerapan glukosa nonmediated (efektivitas glukosa) yang mencolok terganggu pada pasien usia lanjut dengan diabetes tipe 2. Mekanisme cacat ini tidak jelas, tetapi efektivitas glukosa merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kadar glukosa yang meningkat pada pasien diabetes usia lanjut. Mengingat bahwa beberapa intervensi, termasuk peptida glukagon 1 (GLP-1), telah menunjukkan peningkatan efektivitas glukosa pada pasien yang lebih muda, temuan ini mungkin memiliki relevansi terapi penting untuk pasien tua dengan diabetes.

Beberapa penelitian kelainan biologis molekuler pada pasien usia lanjut dengan diabetes masih perlu dievaluasi. Gen glukokinase adalah sensor glukosa untuk sel -. Beberapa studi telah menemukan bahwa gen ini bertindak sebagai penanda untuk toleransi glukosa abnormal pada orang tua, tetapi yang lain tidak. Jumlah insulin dan afinitas reseptor adalah normal pada pasien lanjut usia, tetapi reseptor insulin tirosin kinase di otot rangka malah berkurang.15

Epidemiologi

Prevalensi diabetes mellitus akan meningkat dengan pertambahan usia. Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survei (NHANES III) menunjukkan bahwa, pada populasi lebih dari 65 tahun, hampir 18% sampai 20% mengidap diabetes. Satu-setengah dari mereka dengan diabetes mellitus tidak sadar mereka memiliki penyakit ini. Pasien dengan kelainan metabolisme karbohidrat yang telah diamati termasuk pasien lansia 20% menjadi 25% yang memenuhi kriteria untuk toleransi glukosa.

Insiden diabetes mellitus adalah sekitar 2 per 1.000 di antara mereka yang lebih tua dari 45 dan meningkat bagi individu lebih dari 75 tahun. Prevalensi jauh lebih tinggi di Hispanik yang lebih tua, Afrika Amerika, penduduk asli Amerika (Indian), Skandinavia, Jepang, dan Mikronesia.

Individu dengan diabetes mellitus yang lebih tua dari 65 biasanya memiliki diabetes noninsulin-dependent diabetes (NIDDM). Insulin dependent diabetes (IDDM) hanya 5% sampai 10% baru didiagnosa diabetes mellitus dalam kehidupan akhir. 15

PenatalaksanaanTujuan utama pengolahan pasien DM :1.Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2.Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM. 3.Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. 4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.Pilar utama pengelolaan DM :1. Edukasi 2. Perencanaan makan 3. Latihan jasmani4. Obat-obatanPada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.13

Komplikasi

Pada penderita DM, komplikasi yang biasanya terjadi adalah :1. Mata2. Kaki3. Kulit4. Jantung5. Tekanan darah tinggi6. Kesehatan mental7. Pendengaran

Preventif

Diabetes mellitus mempengaruhi lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia dan, karena faktor-faktor risiko yang diketahui dapat dimanipulasi, misalnya pengembangan diabetes tipe 2 berpotensi dapat dimodifikasi. Sejumlah uji klinis telah membahas hipotesis ini melalui modifikasi diet, aktivitas fisik, dan terapi obat. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan perlindungan terhadap pengembangan diabetes, kesimpulan tetap terbatas karena alasan masalah desain penelitian dengan pengacakan, pemilihan subjek, atau intensitas intervensi.

Dalam subkelompok pasien lebih dari 60 tahun, pengurangan resiko diabetes melalui perubahan gaya hidup, setidaknya sama besar seperti yang diamati dalam populasi penelitian secara keseluruhan. Dengan demikian, pengurangan substansial dalam kejadian diabetes diproduksi oleh gaya hidup (58%) atau metformin (31%).15

PrognosisTerapi intensif dan agresif berpotensi menguntungkan. Baru-baru ini, dua penelitian besar telah memberikan pembenaran dan klarifikasi untuk kontrol diabetes mellitus dengan cara ini. 15KesimpulanDari gejala gejala yang dirsakan oleh laki laki tersebut maka dapat dikataakan ia menderita vertigo vestibular perifer dikarenakan pusing yang diderita sang apsien berputar putar serta mendadak dalam jangka waktu yang lama.pasien tersebut juga memiliki riwayat dari diabetes mellitus tipe 2 dikarenakan diabetes ini biasanya menyerang pasien dengan usia lanjut.

Daftar pustaka1. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis Ed 6. Jakarta: Erlangga; 2006. h.184.2. Dewanto George, Suwono Wita J, Riyanto Budi, Turana Yuda. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.1115.3. Probosuseno, Husni NA, Rochmah W. Dizzines pada lanjut usia, dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.826-36.4. Pemeriksaan vertigo [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [updated 2007 January ; cited 2011 January 17]. Available from: http://www.majalah-farmacia.com5. Rahayu RA, Penyakit parkinson dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.851-8.6. Lanywati E. Diabetes mellitus penyakit kencing manis. Jakarta: Kanisius; 2011.hal.7-10.7. Gibney MJ, dkk. Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC; 2008.h.407-8.8. Hipotensi orthostatik. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2011 January 17]. Available from: http://www.kalbe.co.id9. Prognosis hipotensi orthostatik. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2011 January 17]. Available from: http://www.mentorhealthcare.com10. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC; 2011. h. 195-7.11. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.12. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1880-82.13. Tjarta Achmad, Himawan Sutisna, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:EGC, 2004.h.557- 558.14. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.h.456-8.15. Probosuseno, Husni NA, Rochmah W. Dizzines pada lanjut usia, dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.826-36.

1