Gerd
description
Transcript of Gerd
Gastroesofageal Refluks DiseaseLisa Sari
102012129
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esofagus
akibat masuknya isi lambung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus disebabkan jika ada
gangguan pada katup di ujung esophagus sehingga terjadi refluk, yakni asam lambung
mengalir kembali ke pipa makanan ini. Asam lambung inilah yang menyebabkan rasa
terbakar, iritasi suara, dan memicu batuk kronis.
Beberapa pasien dengan refluks gastroesofagus abnormal memproduksi asam dalam
jumlah besar, tetapi hal ini jarang dan bukan faktor di sebagian besar pasien. Faktor-faktor
yang berkontribusi ke refluks gastroesofagus yaitu Lower Esophageal Sphincter (LES),
Hiatal Hernias, Esophageal Contractions, dan endapan dari perut.
AnamnesisAnamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya guna
memperoleh data-data pasien yang diperlukan untuk proses pengobatannya. Salah satu
masalah yang dialami oleh para dokter adalah sulitnya memperoleh riwayat penyakit dengan
baik. Hal ini disebabkan karena pasien seringkali sudah beradaptasi dengan masalah atau
penyakit yang dialami. Pada kondisi tersebut pada umumnya pasien beradaptasi dengan
penyakitnya malalui mekanisme penyangkalan, pengabaian, atau adaptif.
a. Identitas.
Data identitas sangat penting untuk membantu dokter dalam memberikan penanganan
kepada pasien. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia, pekerjaan,
keturunan, lingkungan tempat tinggal dan lain-lain.
b. Sumber data.
Dapat didapatkan dari pasien sendiri (auto anamnese) maupun dari keluarga/orang
yang mengantar pasien (allo anamnese).
1
c. Keluhan utama.
Merupakan keluhan yang dirasakan pasien yang menjadi alasan ia datang ke dokter.
Penting sekali bagi dokter untuk mendengarkan secara aktif apa yang diungkapkan
pasien, menelusurinya sehingga didapatkan data yang akurat mengenai masalah utama
pasien. Data hendaknya dirangkum secara jelas menyangkut kronologis yagn mencakup
awitan masalah, keadaan di mana hal tersebut terjadi, manifestasinya, serta semua
pengobatannya.
Data yang bisa didapat dari hasil anamnesis pada pasien :
Perut terasa penuh/sebah
Rasa panas di gastroesofagus yang disebabkan oleh kontak isi refluks dengan radang
mukosa esophagus dan disertai batuk
Terasa asam dimulut yang dirasa naik dari lambungnya
d. Keluhan tambahan.
Keluhan yang menyertai keluhan utama. Setiap perubahan dan masalah/gangguan
kesehatan yagn dialami oleh usia lanjut akan disertai gejala – gejala yang khas.
e. Riwayat keluarga, psikososial, orang – orang terdekat.
f. Status kesehatan terakhir, penggunaan obat - obatan tradisional, obat – obat tanpa
resep, suplemen / vitamin.
g. Ada atau tidaknya alergi pada pasien, baik terhadap makanan maupun obat – obat
tertentu
Penggunaan obat untuk penyakit yang dideritanya maupun untuk penyakit lain
Pemeriksaan fisik
Pada kasus GERD pemeriksaan fisik tidak terlalu banyak membantu.
Pemeriksaan Penunjang1
Pemantauan pH esofagus
Pemantauan pH esophagus memegang peranan penting dalam diagnosis
refluks gastroesofagus, terutama pada pasien yang sulit untuk diobati. Sampai saat ini
pemantauan pH merupakan standar baku untuk mendiagnosis refluks gastroesofagus
dan untuk menentukan hubungan episode refluks dengan gejala klinis. Dalam keadaan
normal pH esophagus antara 6 sampai 7, dengan ditemukannya penurunan pH di
2
bawah 4 merupakan petanda terjadinya episode refluks. Pemantauan pH esophagus
yang paling baik dengan hasil yang dapat dipercaya adalah selama 24 jam. Episode
refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkan dengan menetapkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap
diagnostic untuk refluks gastroesofageal.
Esofagografi dengan barium
Berfungsi untuk mencari perubahan bentuk kerongkongan dan mungkin
melihat abnormalitas dalam lapisan dari kerongkongan. Bentuk perutnya juga dapat
dilihat dengan menggunakan tes ini. Pasien meminum cairan yang mengandung
mengandung barium. Dari pemeriksaan berikut dokter dapat melihat garis besar
kerongkongan dan lambung di x-ray.
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak
sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1). Stenosis esophagus derajat
ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, 2). Hiatus hernia.
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya
mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Dengan melakukan pemeriksaan
endoskopi dapat menilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika
tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive
reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan
3
endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsy), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh
GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, dysplasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan
esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los
Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
Klasifikasi Los Angeles
Derajat
kerusakan
Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling
berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh
lumen esophagus)
Tes Bernstein
Tes penuangan asam (Bernstein) digunakan untuk menentukan apakah nyeri
dada disebabkan oleh refluks asam. Untuk tes ini, tabung kecil dimasukan melalui
satu lubang hidung, menuruni belakang tenggorokan, dan kedalam bagian tengah dari
esofagus. Larutan asam yang diencerkan dan larutan garam normal dituangkan secara
bergantian melalui kateter dan kedalam esofagus. Pasien tidak sadar larutan mana
yang sedang di-infuskan. Jika penuangan dengan asam membangkitkan nyeri pasien
yang biasa dan penuangan dari larutan garam tidak menghasilkan nyeri, kemungkinan
adalah bahwa nyeri pasien disebabkan oleh refluks asam.1
Diagnosis Kerja
Karena ditemukan regurgitasi pada bayi setelah minum susu, maka ditetapkan
bahwa diagnosisnya adalah Gastroesophageal Refluks Disease.
Diagnosis Banding
4
Akalasia
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses
menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.
Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh
substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. Obstruksi pada sambungan esofagus dan
lambung akibat peningkatan sfingter esofagus bawah (LES) istirahat jauh di atas normal dan
gagalnya LES untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan
antara kenaikan LES dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia
adalah 3-5 cm sedangkan tekanan LES basal normal rata-rata 20 mmHg. Paa akalasia tekanan
SEB meningkat sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.2
Gagalnya relaksasi LES ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang
dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak
dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman
di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual,
makanan dapat masuk ke dalam lambung.
Stenosis pilorus
Stenosis Pylorus adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan penyempitan dari
sfingter pylorus. Sfingter pylorus adalah bagian otot yang ada di bagian bawah lambung,
yang mencegah makanan masuk kedalam usus halus. Kondisi ini juga dikenal sebagai
stenosis pylorus hipertrofik infantil. Hal ini merupakan penyebab penyumbatan usus yang
paling umum pada bayi. Hal ini terjadi ketika otot-otot pylorus menebal, yang dapat
disebabkan oleh pengguanaan eritromisin, suatu antibiotik. Hal ini mencegah makanan masuk
ke usus halus. Bayi dapat muntah, mengalami dehidrasi, dan kehilangan berat badan. Stenosis
Pylorus memerlukan perawatan medis secepatnya untuk mencegah dehidrasi yang
mengancam jiwa dan ketidakseimbangan elektrolit.2
Manifestasi Klinik
5
Gejala dan tanda klinis yang khas beberapa diantaranya yaitu :
Ketika asam refluks (mengalir balik) kedalam esofagus pada pasien dengan
PRGE/GERD, serat syaraf pada esofagus distimulasi. Stimulasi syaraf ini berakibat
paling umum pada rasa panas/nyeri di dada (heartburn). Nyeri adalah karakteristik dari
PRGE/GERD. Heartburn biasanya digambarkan sebagai nyeri yang membakar ditengah
dada. Ia mungkin mulai tinggi diatas perut dan mungkin meluas naik kedalam leher. Pada
beberapa pasien, nyerinya mungkin tajam atau seperti tekanan, daripada rasa terbakar.
Nyeri jenis ini dapat meniru nyeri jantung (angina). Pada pasien lain, nyerinya mungkin
meluas ke belakang (punggung). Karena refluks asam lebih umum setelah makan,
heartburn adalah lebih umum setelah makan.3
Disfagia (kesulitan menelan makanan) mungkin terjadi karena striktura atau keganasan
yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinorfagia (rasa sakit waktu menelan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus
yang berat.
Peradangan di kerongkongan (esophagitis) dapat menyebabkan perdarahan yang biasanya
sedikit dapat menjadi besar.
Esophageal ulcers, luka pada lapisan dari kerongkongan. Ulcers dapat menimbulkan rasa
sakit yang biasanya terletak di belakang tulang dada atau di bawahnya, mirip dengan
lokasi mulas.
Narrowing (penyempitan) dari kerongkongan dari surutnya swallowing solid membuat
makan semakin lebih sulit. Narrowing saluran udara yang dapat menyebabkan sesak nafas
dan wheezing.
GERD juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan
sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara
serak, mual, regurgitasi, rasa pahit dilidah, hoarseness, keluar air liur berlebihan, sebuah rasa
benjol di tenggorokan (globus sensasi), laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma.3
EtiologiPenyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh
karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus
dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah
6
yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,
terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.
Epidemiologi
Gastroesophageal reflux disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di negara
barat namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Asia-Afrika. Pada bayi mengalami
refluks ringan sekitar 1 : 300 sampai 1 : 1000. Gastrorefluksesofagus pada bayi banyak
terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, pada umur 6 sampai
7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21% . Hanya 5 % bayi berumur 12 bulan yang
mengalami GERD.
Patogenesis4
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini
pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial
esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan
daya pilorik.
Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
7
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada
kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses
refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan
dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya
sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta
menurunkan tonus LES.
Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung
dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir
oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya
esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang
normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang
minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus
yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
8
membran sel
batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan
alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud
dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang
menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim
pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam. Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori
dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus
dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada
pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant
antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori
dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan
sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala
GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi
9
asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori
dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.
pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux
turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid
reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam
keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
Penatalaksanaan5
Non MedikamentosaModifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi
frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam sebelum
tidur.
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan yang dimakan
karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES
seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta
adrenergic, progesterone.
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan
GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau
10
termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada
pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal
diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan
antacid.5
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD
adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah
rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya
sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih
condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
11
bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui
sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih
jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun
efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala
serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H,
K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.
12
PencegahanBeberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan gastroesophageal
reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci mencegah asam mengalir dari
kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanan dan obat-obatan yang menjadi
penyebab harus dihindari, sama seperti merokok. Pemberian obat bethanechol atau
metoclopramide juga biasa digunakan untuk membuat sphincter bagian bawah lebih ketat.
Makanan dan minuman yang secara kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau
yang menghambat pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.
Prognosis
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas
80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy)
yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan
sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya
respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis
bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD
Kesimpulan
Gastroesofageal refluks disease ( GERD ) merupakan keadaan patologis yang
diakibatkan refluks kandungan lambung ke dalam esofagus. GERD dapat menyerang segala
jenis usia dari bayi hingga orang tua. Pada GERD ditemukan keluhan seperti adanya rasa
nyeri di bagian epigastrium, regurgitasi, heartburn, disfagia dan odinofagia. Diagnosis GERD
dapat dicapai berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan. Salah satu
penatalaksaan untuk GERD adalah dengan modifikasi gaya hidup.
13
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. 4 th ed. Jakarta: FKUI;
2006
2. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2006.
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Dalam: Brahm U. Pendit, alih bahasa; Huriawati
Hartanto, Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari, editor edisi bahasa Indonesia. Buku
ajar patologi. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2007.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Dalam: A. Aziz Rani,
Sidartawan Soegondo, Anna Uyainah Z. Nasir, Ika Prasetya Wijaya, Nafrialdi, Arif
Mansjoer. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
5. Gunawan Gan S, et al. Farmako dan terapi. 5th ed. Jakarta: EGC; 2007
14