gepeng
-
Upload
dewa-bracika-damma-prasada -
Category
Documents
-
view
151 -
download
2
Transcript of gepeng
Senin, 09-October-2006, 10:44:45
Kisah lain ada di kawasan Kertha Wijaya Jalan Diponegoro Denpasar. Seorang lelaki
berusia lebih kurang 30 tahun mendekati ’sasaran’ dengan menawarkan pisau. Jika tak
membeli, mereka juga tak malu minta uang. “Tiang konden makan, Bu,” pintanya.
Anis, karyawati sebuah bank kerap didatangi laki-laki seperti itu. “Bukan karena
melasnya, tapi takut kalau nggak dikasih uang, nanti saya malah di-apa-apain, kan dia
bawa pisau,” tuturnya.
Pemandangan berbeda dapat ditemui di Pasar Kumbasari. Senin (9/10), wartawati
Koran Tokoh mencoba “berburu” gepeng (gelandangan dan pengemis ) di pasar grosir
itu. “Jam segini mereka sudah banyak yang pulang,” ujar seorang tukang suun
(junjung barang) di sana.
Jarum jam menunjukkan pukul 19.10. Padahal, dari informasi yang dihimpun,
pengemis anak-anak itu biasanya berkumpul pukul 20.00 untuk menyetorkan hasil
“kerja” mereka kepada koordinator gepeng. Kata ibu itu, biasanya mereka pulang
pukul 18.00. Meski begitu, tak terlalu sulit menemukan pengemis anak-anak di sana.
Di salah satu tangga gedung, ada sekelompok anak-anak tengah bercanda. “Yang kulit
dan pakaiannya bersih anak pedagang. Kalau kotor, pengemis,” jelas tukang suun itu.
Di antaranya, Komang, anak laki-laki yang tak tahu tahun berapa ia lahir. Asalnya
Dusun Pedahan, Desa Tianyar Tengah, Kecamatan Kubu, Karangasem. Sejak tiga
tahun lalu, ia mengemis di Denpasar.
Ibunya dulu juga pengemis. Tetapi, banyak pedagang menyuruh ia bekerja ketimbang
meminta-minta. Apalagi, badannya masih segar. Akhirnya, ibunya bekerja sebagai
tukang junjung di pasar itu. Komang, disuruh meneruskan “pekerjaan” tersebut.
Sejak pagi, Komang belum mandi. Hidungnya penuh ingus. Kakinya dekil tak
1
GEPENG di Denpasar mengemis dengan berbagai cara. Di depan kompleks penjual emas
di Jalan Hasanudin, anak-anak menawarkan jasa membersihkan kendaraan. Meski
ditolak, mereka tetap meminta uang. Naifnya, anak yang ”menggepeng” umumnya
menjadi korban kekerasan fisik orang dewasa.
bersandal. Begitu pula kulit tubuh dan wajahnya. Tapi cukuran rambutnya rapi,
dipotong cepak. Di Denpasar, ia tinggal bersama ayah dan ibunya, dekat Monang
Maning. Ayahnya tak bekerja. “Saya pengen sekolah,” harapnya.
Ia juga mengaku tak terlalu suka mengemis. Ketika diajak berhitung oleh anak-anak
pedagang di pasar, ia cepat menjawab. “35!” jawabnya cepat ketika mereka berlomba
menghitung 18 + 17. Begitu pula saat bermain perkalian 3. Usai itu, ia langsung
menunggangi anjing yang lewat di hadapannya. Ditunggu-tunggu, Komang tak mau
mendekat. Kadek, pengemis anak-anak lainnya mendekat. Seorang petugas keamanan
pasar menganjurkan untuk memancing mereka mendekat, gunakan uang. “Kuda ne?”
tanya Kadek saat wartawati koran ini memberikan beberapa uang receh.
Kadek mengaku, dalam sehari ia diwajibkan dapat Rp 25 ribu oleh ibunya. “Kalau
nggak memenuhi target, saya nggak dikasi makan,” katanya.
Tak hanya puasa makan, Kadek juga harus siap dipukul atau ditendang. “Kadek
pernah nggak dapat uang segitu. Malamnya, Kadek nggak makan, juga dipukulin,”
kisahnya. Itu sebabnya, ia rajin mengemis sejak pagi.
Kadek mengaku pernah bersekolah di desanya. “Sampai kelas 3. Bosan karena
sekolah nggak dapat uang,” katanya enteng. Bersama keluarganya, Kadek indekos di
Denpasar. Berangkat ke pasar naik bemo ramai-ramai. Sama seperti Komang,
ayahnya juga tak bekerja.
Tiba-tiba, ibunya melintas. Kadek tak mau bertutur lagi. Pukul 20.35 saat itu, mereka
makin sulit didekati. “Datang lebih sore aja, pasti nemu banyak pengemis di sini,”
saran tukang junjung tadi. Petugas keamanan yang sedari awal menemani pun
mengiyakan. “Sebagian dari mereka ada yang dikoordinir. Pagi-pagi diturunkan di
perempatan jalan, pukul 18.00 dijemput pakai mobil pick up. Mungkin petugas
tramtib sudah bosan. Dirazia berkali-kali, mereka balik lagi,” katanya. —rat
2
Gepeng Enggan Kerja Keras
BERBAGAI cara diterapkan agar gepeng (gelandangan dan pengemis) tak lagi
beredar di Denpasar dan Badung. Sayangnya, beragam cara yang ditempuh belum
mampu menghilangkan keberadaan gepeng. Masalah kemiskinan bukan menjadi
alasan utama mereka menggepeng, tapi juga mental. Selain itu, juga akibat tekanan
dari suami yang “memerintahkan” istri dan anak-anaknya menggepeng. Juga disebut-
sebut, ada gepeng yang dikoordinir oknum tertentu.
“Jangan hanya pemerintah yang dipojokkan,” sergah Kepala Sub-Dinas Rehabilitasi
Sosial, Ir. I Gede Ardhana, M.Si. kepada wartawati Koran Tokoh Ratna Hidayati.
Hasil pantauan Dinas Kesejehateraan Sosial Provinsi Bali, penggepeng terbanyak
berasal dari Dusun Muntigunung, Desa Tianyar Barat dan Dusun Pedahan, Desa
Tianyar Tengah, Kubu, Karangasem, masing-masing 83 KK dan 10 KK. “Bisa
dibayangkan, berapa jumlah mereka jika satu KK terdiri atas ibu, dan dua anak?” ujar
Ardhana. Padahal, katanya, mereka umumnya memiliki lebih dari dua anak. Kalau
hanya dua anak yang diajak, berarti 279 orang yang menggepeng.
Jika dibandingkan hasil penelitian Unud bekerja sama dengan Departemen Sosial
Provinsi Bali tahun 1994, jumlah ini terhitung merangkak naik. Dari hasil survai
tersebut, tahun 1994 ditemukan 26 keluarga gepeng, 11 asal Muntigunung dan 15 asal
Pedahan.
Sejak 2002, peningkatan gepeng terhitung sangat tajam. Hal itu terlihat dari jumlah
gepeng yang dipulangkan Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, yaitu 300 orang
(2002), 300 orang (2003), 400 orang (2004), dan 1.595 orang (2005).
Dulu, perilaku gepeng dimulai dengan sistem maurup-urup (barter) menjelang
upacara. Misalnya, mereka menukar kacang dengan beras. “Hanya saat-saat tertentu.
Sekarang terus-menerus,” ungkapnya. Namun, ketika masyarakat kota menolak
melakukan barter dan memilih memberi uang, sikap ini turut mendorong mereka
menjadi peminta-minta.
“Ini semata-mata bukan masalah kemiskinan, tapi mental,” katanya. Menurutnya,
3
Kecamatan Kubu diprioritaskan dalam pembangunan di Karangasem. Drs. A.A. Gde
Alit, Kepala Dinas Kesejahteraan Provinsi Bali mengungkapkan, selama ini
pemerintah telah berupaya memberdayakan orangtua gepeng. Karena tanah di daerah
mereka tandus, dan hanya bisa ditanami saat musim hujan, pemerintah memberikan
bantuan 100 ekor bibit unggul sapi. Pemerintah juga memberikan empat unit mesin
produksi gula aren karena daerah mereka memiliki bahan baku gula aren yang
berlimpah.
Keberadaan anak jalanan sudah lazim kelihatan pada kota-kota besar di Indonesia.
Kepekaan masyarakat kepada mereka nampaknya tidak begitu tajam. Padahal Anak
merupakan karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, UU No.39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the right of the child ( Konvensi
tentang Hak-hak Anak).
Untuk memahami anak jalanan secara utuh, kita harus mengetahui definisi anak
jalanan. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang
sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di
jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who
have abandoned their homes, school and immediate communities before they are
sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan
merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan
yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan,
melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu.
Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita
semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum
mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama
4
mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh
negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini
berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang
ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh
sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat
onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan.
Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan
alienatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet,
cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa
mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.
Anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak
dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak
jalanan berada dijalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan, pelarian,
tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri.
Himpunan mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota ( HIMMATA)
mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan
anak jalanan murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Sedangkan anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya
(Asmawati, 2001 : 28 ).
Sedangkan menurut tata Sudrajat ( 1999 : 5 ) anak jalanan dapat dikelompokan
menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu : Pertama,
Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan
( anak yang hidup dijalanan / children the street ). Kedua, anak yang berhubungan
tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu
sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang
bekerja di jalanan ( Children on the street ) Ketiga, Anak yang masih sekolah atau
sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak
jalanan ( vulnerable to be street children ).
5
RUMAH SINGGAH SEBAGAI TEMPAT ALTERNATIF PEMBERDAYAAN
ANAK JALANAN
Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah
singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli
1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang
bersifat non formal, dimana anakanak bertemu untuk memperoleh informasi dan
pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut.
Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan sebagai
perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah
singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana pusat realisasi anak
jalanan terhadap system nilai dan norma di masyarakat.
Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan
mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah :
a. Membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak-anak kembali kerumah jika memungkinkan atau ke panti dan
lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan
menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat
penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain :
a. Sebagai tempat pertemuan ( meeting point) pekerja social dan anak jalanan. Dalam
hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak
jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas
pembinaan.
6
b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagi tempat
melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan
rujukan pelayanan social bagi anak jalanan.
c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga
pengganti, dan lembaga lainnya.
d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai
bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku
penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
e. Pusat informasi tentang anak jalanan
f. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi
social anak.
g. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan
sekaligus akses kepada berbagai pelayanan social.
h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat
merupakan salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan
bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung
jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan.
Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga
dilakukan melalui program-program :
a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat
tidak permanen.
b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak
jalanan berada atau langsung ke jalanan.
c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya
anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.
.Dalam kaitannya dengan model pembinaan anak jalanan di rumah Singgah, ada
berbagai hal yang ingin di ketahui. Misalnya tahap-tahap pemberdayaan anak jalan.
7
Apakah pembinaan tersebut dilakukan dengan cara model penjangkauan kunjungan
pendahuluan dan persahabatan dengan mereka ?. Apakah dilakukan dengan cara
identifikasi masalah (problem assessment) sebagi langkah dalam menginventarisir
identitas anak jalanan. Ataukah dilakukan dengan cara memberikan pendidikan
alternatif ( Pendidikan luar sekolah) sebagai kegiatan untuk mencegah munculnya
masalah social anak jalanan, seperti pelatihan dan peningkatan keterampilan.
8
KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK DAN STABILITAS
Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, karena itu
pembinaan dan pengembangannya (pemberdayaan) dimulai sedini mungkin agar
dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.
Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk
didalamnya anak jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan khususnya anak yang diwarnai dengan
upaya pendalaman di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, budaya yang mampu
meningkatkan kreativitas keimanan, intelektualitas, disiplin, etos kerja dan
keterampilan kerja.
Di sisi lain stabilitas nasional adalah gambaran tentang keaadan yang mantap, stabil
dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan
ditanganinya dengan baik masalah anak jalanan akan memperkuat sendi-sendi
kesejahteraan social serta stabilitas nasional kita di masa yang akan datang.
9