Geologi Mitigasi Kbijakan

26
Indonesia adalah negeri yang rawan bencana geologis gempabumi, tanah longsor, erupsi gunungapi, dan tsunami. Sebagai konsekuensi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya maka pemerintah diharapkan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko dan mempunyai rencana keadaan darurat untuk meminimalkan dampak bencana. Undang-undang tentang penanggulangan bencana nasional yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 berfungsi sebagai pedoman dasar yang mengatur wewenang, hak, kewajiban dan sanksi bagi segenap penyelenggara dan pemangku kepentingan di bidang penanggulangan bencana. MITIGASI BENCANA

description

Bahan Kuliah

Transcript of Geologi Mitigasi Kbijakan

Indonesia adalah negeri yang rawan bencana geologis gempabumi, tanah longsor, erupsi gunungapi, dan tsunami. Sebagai konsekuensi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya maka pemerintah diharapkan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko dan mempunyai rencana keadaan darurat untuk meminimalkan dampak bencana.

Undang-undang tentang penanggulangan bencana nasional yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 berfungsi sebagai pedoman dasar yang mengatur wewenang, hak, kewajiban dan sanksi bagi segenap penyelenggara dan pemangku kepentingan di bidang penanggulangan bencana.

MITIGASI BENCANA

Menurut UU No.24 2007 tersebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: (a) kesiapsiagaan (b) peringatan dini dan (c) mitigasi bencana.

Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana yang dapat dilakukan melalui :

(a) penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana (b) pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian system peringatan dini (c) penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar (d) pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme

tanggap darurat (e) penyiapan lokasi evakuasi (f) penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap

tanggap darurat bencana dan (g) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan

pemulihan prasarana dan sarana.Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.

Peringatan dini sebagaimana dimaksud pd ayat (1) dilakukan melalui : (a) pengamatan gejala bencana (b) analisis hasil pengamatan gejala bencana (c) pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang (d) penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana dan (e) pengambilan tindakan oleh masyarakat.

Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang dapat dilakukan melalui berbagai cara termasuk pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan tak kalah penting adalah penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Siklus Bencana, Prediksi Geologi dan Strategi Mitigasi

• Usaha Pengurangan Risiko Bencana == > pengetahuan siklus dan potensi bencana biasanya cenderung hanya memboroskan dana, dan tidak tepat sasaran.

• Paradigma responsif terhadap bencana yang sudah terjadi harus dirubah menjadi budaya preventif terhadap potensi bencana yang akan datang.

• Siklus bencana besar mempunya rentang waktu sangat panjang sedangkan siklus bencana kecil lebih sering terjadi sehingga orang banyak mengabaikan ancaman bencana besar atau katastrofi.

• Tugas ahli geologi kebencanaan adalah meneliti potensi sumber-sumber bencana dan menggali data kejadian bencana di masa lalu untuk dijadikan pelajaran. Misal : Bencana yang terjadi di Aceh, Padang, Jogyakarta dan serta daerah lainnya mengindikasikan bahwa ‘kearifan lokal’ sudah banyak dilupakan. Oleh karena itu perlu digali dan dibangkitkan lagi dengan program penelitian dan pendidikan yang serius dan komprehensif.

LATAR BELAKANG• Mitigasi bencana alam membutuhkan

manajemen dan strategi yang spesifik untuk setiap wilayah. Mitigasi bencana dapat dikatagorikan untuk dua hal, yaitu:

1.Usaha pengurangan risiko pra-kejadian dan 2.Usaha mempersiapkan penanggulangan pasca

kejadian.

Dua hal ini harus dilakukan secara paralel dalam mitigasi bencana. Namun persiapan pasca kejadian sebaiknya dipandu oleh pengetahuan yang cukup tentang potensi bencana diberbagai wilayah, khususnya untuk melakukan prioritas.

• Manajemen bencana tidak akan terlepas dari keharusan mengidentifikasi sumber-sumber ancaman/bencana terlebih dahulu. Identifikasi sumber bahaya adalah hal mendasar yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Tanpa mengetahui sumber bahaya serta tingkat ancaman dan risikonya terhadap manusia maka akan sukar untuk melakukan mitigasi dan manajemen bencana dengan tepat dan efisien. Contoh nyata dari peran penelitian geologi kebencanaan untuk mitigasi contoh kasus Padang - Sumatra Barat. Tanpa didahului penelitian sumber bencana (gempa) dan diseminasi hasil penelitiannya ke masyarakat maka mustahil terjadi berbagai usaha mitigasi bencana seperti sekarang ini.

• Hasil identifikasi potensi bencana yang baik dan rinci serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah adalah modal utama untuk meyakinkan masyarakat dan para pemangku kepentingan bergerak bersama-sama dalam mengantisipasi ancaman bencana tersebut. Karena walaupun potensi bencana ini sudah diidentifikasi dan diprediksi dengan namun tetap membutuhkan usaha dan proses yang cukup panjang untuk menggulirkan tindakan nyata dari pengurangan risiko bencana. Masih perlu waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk menterjemahkan hasil identifikasi dan prediksi sumber bencana tersebut menjadi berbagai keperluan praktis, seperti peta kebencanaan untuk masyarakat, usaha menyiapkan jalur evakuasi dan pelatihan-pelatihan, rencana menyiapkan shelter-shelter, dan modul-modul pendidikan masyarakat. Jadi, akan lebih sulit lagi untuk melakukan mitigasi bencana apabila potensi sumber bencananya saja belum diteliti dengan baik.

• Bencana alam ada yang berskala sangat besar (katastrofi), besar, sedang, dan kecil. Semuanya mempunyai siklusnya masing-masing. Hal ini berlaku umum untuk semua jenis sumber bencana, termasuk: gempabumi, gunung api, banjir dan longsor. Bencana dengan magnitudo/skala besar biasanya mempunyai siklus perulangan yang panjang atau frekuensi kejadian yang jarang, sebaliknya bencana berskala kecil akan lebih sering terjadi. Sering orang ‘tertipu’ dengan hanya mengantisipasi prediksi bencana yang berskala kecil, karena hal ini yang biasanya diketahui dengan baik, tapi melupakan bencana besar yang belum pernah terjadi atau sudah ‘terlupakan’ karena kejadian terakhirnya sudah lama sekali sehingga hilang atau tidak tercatat dalam sejarah. Oleh karena itu diperlukan usaha penelitian yang serius untuk dapat mendapatkan fakta-fakta tentang kejadian bencana katastropik di masa lalu tersebut sehingga ancaman besar ini dapat dimasukkan dalam agenda mitigasi bencana.

• Hal yang perlu dikaji tidak hanya proses dan kejadian alamnya saja tapi akan lebih baik lagi apabila dapat diketahui juga tentang dampak dari kejadian-kejadian bencana besar itu terhadap masyarakat pada waktu itu sehingga dapat mengambil manfaat dari aspek ‘kearifan lokal’ dari pengalaman masa lalu itu.

KEARIFAN LOKAL’ YANG TERABAIKAN

• Bencana besar tsunami di wilayah Aceh-Andaman pada bulan Desember 2004 adalah contoh nyata bagaimana orang, termasuk para ahli gempa dan tsunami, mengabaikan potensi mega-tsunami ini. Hal ini terutama disebabkan karena dalam sejarah memang tidak pernah terjadi gempa-tsunami yang mencapai skala 9 (Meltzner, K.Sieh et al. 2005; Subarya, Chlieh et al. 2006; Chlieh, Avouac et al. 2007). Potensi bencana yang diabaikan ini divalidasi oleh konsep gempa yang diyakini oleh banyak ahli pra-gempa Aceh 2004 bahwa kondisi tektonik di wilayah ini dianggap tidak berpotensi menghasilkan gempa berskala sangat besar. Kejadian bencana gempa-tsunami Aceh tahun 2004 kemudian merubah drastis paradigma konsep potensi gempa ini dan juga menyadarkan orang akan perlunya penelitian yang lebih mendalam serta persiapan yang lebih serius untuk mencegah hal serupa terjadi lagi di masa datang,

• termasuk maraknya pembangunan sistem peringatan dini tsunami. Walaupun setelah itu, kejadian bencana tsunami dahsyat di Sendai, Jepang tahun 2011, di negara adijaya yang punya banyak ahli gempa-tsunami, kembali mengguncang dunia.

• Kali ini telak menampar para ahli gempa dan tsunami di sana. Sebenarnya bukan tidak ada penelitian tentang potensi tsunami yang ekstrim ini namun pemangku kepentingan kebetulan lebih condong kepada skenario bencana gempa-tsunami yang moderat dan sudah sering terjadi untuk diimplementasikan kepada persiapan mitigasinya.

• Selamatnya masyarakat di Pulau Simelue adalah bukti nyata bagaimana kearifan lokal dari masa lalu dapat sangat berperan. Namun orang harus paham bahwa kearifan lokal tentang “SMONG”, istilah tsunami untuk orang Simelue, masih hidup di masyarakat karena kejadian bencana tsunami besar terakhir di wilayah ini belum begitu lama, yaitu tahun 1907 sehingga belum terlupakan meskipun tidak ada usaha untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal ini. Banyak orang tidak tahu bahwa tinggi tsunami pada tahun 1907 di pesisir barat Simelue dua kali lebih besar dari yang terjadi tahun 2004 (Natawidjaja, Latief et al. 2007), sehingga menurut penuturan penduduk setempat apabila besar tsunami tahun 2004 sama dengan yang tahun 1907 besar kemungkinan akan tetap banyak makan korban. Masyarakat Banda Aceh tidak seberuntung Simelue karena mereka sama sekali tidak menyadari ancaman tsunami ini. Hal ini diperparah lagi oleh peta bahaya tsunami yang dipublikasi menunjukan potensi tsunami di Banda Aceh tidak lebih dari dua meter. Padahal sebenarnya ada ingatan masyarakat tentang IEU BEUNA yang mengindikasikan tentang bencana ‘banjir besar’ di masa lalu tapi orang sudah tidak tahu lagi maknanya karena kejadiannya sudah sangat lama. Andaikan saja ada penelitian yang menggali tentang kearifan dari pengalaman di masa lalu tersebut maka boleh jadi

PREDIKSI BENCANA GEOLOGI

• Mitigasi bencana seyogyanya dimulai dengan prediksi potensi bencana. Prediksi bencana ada dua macam: Prediksi Jangka Panjang dan Prediksi Jangka pendek. Metoda dan obyek penelitian dari dua jenis prediksi ini adalah dua disiplin keilmuan yang berbeda. Prediksi jangka panjang meneliti karakteristik dan siklus dari sumber bencana sedangkan prediksi jangka pendek fokus kepada fenomena “precursor” kejadian atau tanda-tanda atau anomali-anomali alam yang terjadi sebelum bencana besar datang. Prediksi jangka panjang memperkirakan kemungkinan terjadinya bencana di masa datang dengan meneliti karakteristik dan perioda ulang siklusnya serta bukti tentang kejadian-kejadian bencana di masa lalu, terutama kapan kejadian terakhir dari bencana besarnya. Jadi prinsipnya sederhana: dengan memahami karakter, pola dan selang waktu siklus serta mengetahui kejadian terakhirnya maka orang dapat membuat prediksi tentang kemungkinan terjadi bencana besar berikutnya.

• Prediksi bencana jangka pendek, yaitu perkiraan hari ‘H’ dari bencana besar, masih sulit untuk dilakukan, terutama untuk gempa, dan juga masih sedikit yang sudah dapat diaplikasikan kedalam tindakan mitigasi praktis.

• Selain itu penelitian prediksi jangka pendek hanya dapat dilakukan apabila orang sudah paham terlebih prediksi jangka panjang (atau siklusnya) dari sumber bencana yang bersangkutan. Yang biasa diaplikasikan dalam mitigasi bencana diseluruh dunia adalah prediksi jangka panjang. Peta-peta bahaya dan risiko bencana dibuat berdasarkan hasil prediksi bencana jangka panjang ini.

SIKLUS BENCANA

• Gempa, letusan gunung api, banjir dan lainnya mempunyai siklus. Ada siklus kecil dan ada siklus besar. Siklus bencana alam diketahui dengan meneliti ‘jejak’ kejadiannya di masa lalu. Umumnya siklus bencana besar sangat panjang, ratusan bahkan ribuan sampai puluhan atau ratusan ribu tahun. Sehingga datanya harus dicari dari bukti-bukti rekaman alam, tidak hanya bersandar pada catatan sejarah atau rekaman peralatan monitoring yang terbatas saja. Indonesia, catatan tentang kejadian bencana, hanya sampai seratus hingga tiga ratus tahun ke belakang. Sejarah dan catatan sebelum tahun 1700 Masehi sangat langka dan biasanya sangat sedikit informasinya. Sejarah kejadian bencana sebelum tahun 1500 M hampir tidak ada, padahal wilayah Nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber bencana alam, khususnya gempabumi dan letusan gunung api (Latief 2007).

• Contoh dari hasil penelitian siklus bencana adalah siklus gempa bumi besar dari rekaman terumbu karang mikroatol di pantai barat Sumatra dan pulau-pulau di busur luarnya, termasuk Mentawai, Batu, Nias, dan Simelue (Natawidjaja, K.Sieh et al. 2004; Natawidjaja, K.Sieh et al. 2006; Natawidjaja, K. Sieh et al. 2007; Sieh, Natawidjaja et al. 2008 in press).

• Studi ini berhasil mengungkapkan siklus gempa besar yang terjadi dalam 700 hingga 1000 tahun terakhir di megathrust segmen Mentawai (Gbr. 1). Data menunjukkan bahwa telah terjadi (perioda) gempa besar pada tahun 1000-an Masehi, Tahun 1300-an, tahun 1600-an dan tahun 1800-an Masehi (Gbr.2). Yang masih tercatat dalam sejarah adalah gempa tahun 1800-an, yang terjadi dua kali, yaitu tahun 1797 (Mw 8.7) dan 1833 (Mw 8.9) walaupun catatannya sangat sedikit (Natawidjaja, K.Sieh et al. 2006). Hal ini disebabkan karena pada waktu tahun 1797 populasi penduduk di Kota Padang tidak lebih dari 10 ribu orang dan pada waktu tahun 1833 masih belum lebih dari 15.000 orang, sehingga korbannya tidak banyak. Jadi dapat dipahami kenapa pengalaman ini tidak berbekas dalam ingatan masyarakat, terlebih lagi karena masyarakat yang sekarang kebanyakan adalah penduduk yang datang kemudian.

Gambar 1. Gempa – gempa “megathrust” di wilayah Sumatra-Andaman (Natawidjaja, Latief et al. 2007)

• Siklus gempa untuk masing-masing segmen patahan berbeda satu sama lainnya, bahkan bisa sangat kontras seperti di Pulau Simelue dimana bagian selatannya berada di atas segmen Megathrust Nias-Simelue yang mempunyai karakteristik gempa besar (M8+) dengan perioda ulang sekitar 200 tahunan, sedangkan bagian utara Pulau Simelue termasuk wilayah dari Segmen megathrust Aceh-Andaman yang mempunya siklus gempa sangat besar (M9+) dengan perioda ulang sekitar 500-600 tahunan (Gbr.3). Dari catatan sejarah kita tahu bahwa gempa yang setara dengan gempa besar tahun 2005 (Mw 8.6) di Nias-Simelue pernah juga terjadi pada tahun 1861. Tidak ada catatan sejarah gempa besar yang setara gempa tahun 2004 untuk segmen Aceh-Andaman. Tapi, hasil penelitian paleogeodesi-koral mikroatol menunjukkan bahwa ternyata pernah terjadi gempa-tsunami besar pada tahun 1390 M dan 1450 M.

• Pengangkatan yang terjadi di utara Pulau Simelue pada waktu gempa tahun 1450 bahkan dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada waktu gempa tahun 2004. Jadi selang waktu antara gempa terdahulu dengan gempa 2004 adalah sekitar 550 tahunan. Fakta geologi ini sesuai dengan perhitungan model elastik dislokasi (akumualsi dan pelepasan energi regangan) dari studi GPS bahwa perioda gempa setara Mw 9.2 di wilayah ini adalah sekitar 550 – 600 tahunan (Chlieh, Avouac et al. 2007). Beberapa data pengangkatan koral mikroatol juga mengindikasikan terjadinya gempa besar sebelumnya sekitar tahun 960 M (Meltzner 2012) . Tentu menarik untuk dikaji apa dampak dari bencana gempa-tsunami purba ini terhadap masyarakat Aceh pada masa lalu itu. Apakah istilah IEU BEUNA berasal dari peristiwa bencana tsunami lalu pada Abad 15 atau sejak Abad 10?

• ---

Berkenalan Dengan Tsunami

• Masyarakat Indonesia dalam tahun-tahun belakangan ini menjadi semakin akrab dengan istilah tsunami, terutama pasca peristiwa bencana tsunami Aceh dan Sumatera Utara di akhir tahun 2004. Meski sesungguhnya peristiwa hantaman tsunami tersebut bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, namun dahsyatnya dampak yang ditimbulkan bencana alam tersebut (korban jiwa mencapai lebih dari 250.000 jiwa belum lagi kerugian materil dan psikis yang tak terhitung lagi jumlahnya) telah menorehkan trauma yang begitu mendalam bukan saja bagi masyarakat Aceh dan Sumut yang pada saat itu mengalami secara langsung, namun juga seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.

• Bagaimanapun juga harus diakui, Indonesia yang dikenal memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ternyata menyimpan potensi bencana alam yang “melimpah” pula. Terkait dengan tsunami, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, setidaknya ada 21 wilayah rawan terkena bencana tersebut di Indonesia, antara lain: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, Kendari.

• Apakah Tsunami Itu? • Tsunami adalah serangkaian gelombang atau ombak yang

ditimbulkan oleh perpindahan massa air dalam skala yang relatif sangat besar. Tsunami umumnya terjadi di laut atau samudera, di mana gelombang dapat bergerak dalam kecepatan mencapai 500 km/jam bahkan lebih dengan tinggi gelombang yang dapat mencapai hingga puluhan meter.

• Istilah tsunami sendiri berasal dari Bahasa Jepang “tsu” yang berarti pelabuhan dan “nami” yang artinya gelombang. Istilah ini diberikan oleh kaum nelayan di Jepang. Ketika pulang melaut seringkali mereka menjumpai keadaan pelabuhan dan area di sekitarnya telah porak-poranda akibat terjangan gelombang laut, padahal mereka sendiri tidak pernah menyadarinya saat sedang berada di tengah laut. Oleh karena itu mereka berasumsi bahwa gelombang besar tersebut hanya terjadi di pelabuhan, sehingga dinamakan “tsunami” atau ombak pelabuhan.

• Penyebab Tsunami • Mulanya tsunami diasosiasikan dengan gelombang pasang (tidal

waves), padahal meski besar kecilnya dampak tsunami terhadap wilayah di sepanjang garis pantai dipengaruhi oleh ketinggian pasang surut muka air laut, namun mekanisme terjadinya tsunami tidak memiliki kaitan sama sekali dengan peristiwa pasang surutnya air laut. Beberapa ilmuwan sempat pula menamai tsunami dengan istilah “gelombang seismik lautan” (seismic sea waves), akan tetapi istilah tersebut juga dapat dikatakan kurang tepat, mengingat tsunami tidak selalu berkaitan dengan mekanisme seismik atau kegempaan, melainkan dapat pula dihasilkan oleh penyebab yang bersifat non-seismik, seperti tanah longsor (baik di bawah maupun di atas permukaan laut), vulkanisme dan jatuhan meteorit, meski keduanya dapat dikatakan sangat jarang terjadi.

• Secara umum, ada 4 (empat) penyebab utama yang dapat mencetuskan gelombang tsunami, di antaranya:

• Tektonisme bawah laut• Erupsi gunungapi bawah laut • Tanah longsor di bawah atau di atas permukaan laut • Jatuhan material luar angkasa (meteor) • Dari keempat poin di atas, gempa bumi merupakan yang paling sering menyebabkan tsunami. Di

mana 90% tsunami yang pernah terjadi di muka bumi ini dipicu oleh aktivitas tektonisme bawah laut ini. Tektonisme bawah laut dapat menghasilkan pergerakan kerak bumi di bawah laut secara tiba-tiba –dapat berupa pengangkatan (uplift) atau penurunan (subsidence) lantai samudera— yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi kesetimbangan air yang berada di atasnya. Akibatnya terbentuklah gelombang sebagai akibat dari perpindahan massa air dalam skala yang sangat besar, yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi dengan tujuan akhir untuk mencapai kondisi kesetimbangannya kembali.

• Untuk tsunami yang dicetuskan oleh tektonisme, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya:• Pusat gempa (hiposentrum) berada di dasar laut dengan kedalaman kurang dari 60 km. • Magnitudo gempa harus melebihi batas minimal sesuai dengan Persamaan Iida, M = 6.42 + 0.01

H, di mana H = kedalaman hiposenter. Dengan demikian paling tidak magnitude gempa harus sedikit di atas 6.42 skala Richter.

Gambar 1. Mekanisme pembentukan tsunami oleh tektonisme di bawah muka laut

Deformasi yang mengakibatkan gempa di dasar laut, mekanisme pergerakannya vertikal (dip-slip), seperti patahan naik (thrust fault) atau patahan normal (normal fault).

• Letusan gunungapi bawah laut dapat menciptakan gaya yang mengakibatkan pengangkatan kolom air sehingga menghasilkan tsunami. Pada tahun 1883 letusan gunungapi Krakatau di Selat Sunda menciptakan gelombang tsunami yang dahsyat. Mengakibatkan 36.000 korban jiwa, ribuan kapal tenggelam dan beberapa pula kecil hilang.

• Longsoran di bawah laut yang biasanya merupakan dampak ikutan dari gempa bumi sebagaimana pula jatuhan material erupsi gunungapi di bawah laut dapat mencetuskan gelombang tsunami akibat terganggunya kesetimbangan posisi air.

• Jatuhan material luar angkasa juga dapat menyebabkan tsunami, seperti halnya longsoran tebing di atas permukaan laut. Agak berbeda dengan penyebab lainnya, terbentuknya tsunami dalam hal ini disebabkan oleh tabrakan dari atas permukaan yang mengganggu kesetimbangan air. Sebagai gambaran, film produksi Hollywood yang berjudul “Deep Impact” kurang lebih memperlihatkan mekanisme terjadinya tsunami akibat hantaman asteroid ke dalam samudera.