General Anestesi pada Pyelolitotomi by Reisa Maulidya, S.Ked

90
ABSTRAK Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolitotomi). Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Cara pemberian anestesi umum dapat diberikan dengan cara parenteral, perektal maupun inhalasi. Ny. M usia 26 tahun datang ke Poli Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 7 April 2014. Os datang dengan keluhan utama nyeri pinggang sebelah kiri ± 1 hari SMRS. ± Sejak 2 tahun terakhir Os sudah sering merasakan nyeri pinggang kiri hilang timbul. Diakukan tindakan nefrostomi pada tanggal 08/04/2015. Pada pasien ini dilakukan extended pyelolitotomi dengan anastesi umum karena berdasarkan pertimbangan durasi operasi yang kemungkinan memakan waktu lama serta untuk 1

description

General Anestesi pada Pyelolitotomi

Transcript of General Anestesi pada Pyelolitotomi by Reisa Maulidya, S.Ked

ABSTRAK

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolitotomi).Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Cara pemberian anestesi umum dapat diberikan dengan cara parenteral, perektal maupun inhalasi.Ny. M usia 26 tahun datang ke Poli Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 7 April 2014. Os datang dengan keluhan utama nyeri pinggang sebelah kiri 1 hari SMRS. Sejak 2 tahun terakhir Os sudah sering merasakan nyeri pinggang kiri hilang timbul. Diakukan tindakan nefrostomi pada tanggal 08/04/2015. Pada pasien ini dilakukan extended pyelolitotomi dengan anastesi umum karena berdasarkan pertimbangan durasi operasi yang kemungkinan memakan waktu lama serta untuk memudahkan mengatur posisi pasien (lumbotomy) selama operasi.Keyword : Nefrolitiasis, General Anastesi, Extended Pyelolitotomi

BAB I PENDAHULUAN

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis)Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolitotomi).Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Tujuan anestesi yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Cara pemberian anestesi umum dapat diberikan dengan cara parenteral, perektal maupun inhalasi. Sebagian besar obat-obat yang diberikan selama anestesi diekresikan di ginjal. Untuk itu, perlu pertimbangan khusus dalam memilih obat-obat yang akan diberikan selama anestesi terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

BAB IILAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIENTanggal: 19 April 2015Nama: Ny.MJenis Kelamin: PerempuanUmur: 26 tahun TB/BB/IMT : 165 cm/59 kg/21,67Alamat: Jl. Nanas Beringin Gol Darah : ANo Reg : 794192Ruangan : Bangsal Bedah Kelas IIIDiagnosis : Nefrolitiasis Sinistra Tindakan: Extended PyelolitotomiMRS: 07 April 2015

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI2.2.1 ANAMNESISa. Keluhan Utama: Os datang dengan keluhan nyeri pinggang sebelah kiri 1 hari SMRS. b. Riwayat Perjalanan Penyakit : Sejak 2 tahun terakhir Os sudah sering merasakan nyeri pinggang kiri hilang timbul. Sejak 2 bulan terakhir keluhan nyeri pinggang semakin sering os rasakan sehingga aktivitas sehari-hari terganggu. BAK nyeri (+), sedikit (-), keruh (-), berpasir (+) dalam 1 tahun ini, berwarna seperti teh pekat (-), berdarah (-), bernanah (-), BAB biasa. Mual (+), muntah (-), demam (+) hilang timbul, sesak nafas (-), batuk pilek (-). Os masuk RS Raden Mattaher melalui poli, dokter menyatakan terdapat batu di ginjal sebelah kiri os, direncanakan tindakan nefrostomi keesokan harinya (08/04/2015), selanjutnya os direncanakan dilakukan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu pada tanggal 20/04/15.c. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Hipertensi : (-) disangkal Riwayat DM: (-) disangkal Riwayat Asma : (+) sejak remaja Riwayat Batuk lama : (-) disangkal Riwayat Operasi : (+) 12 hari yang lalu dilakukan nefrostomi Riwayat sakit jantung: (-) disangkal Riwayat stroke: (-) disangkal Riwayat alergi obat : (-) disangka Riwayat minum obat rutin : (-) disangkald. Riwayat Kebiasaan: Merokok : (-) Minum Alkohol: (-) Minum jamu-jamuan: (-) Riwayat alergi makanan : (-)c. Tidak menggunakan gigi palsu2.2.2 PEMERIKSAAN FISIK UMUMa. Vital Sign Keadaan umum: Tampak sakit sedang Kesadaran: Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5) TD: 130/70 mmHg Respirasi: 20 x/ menit Nadi: 80 x/ menit, isi dan tegangan cukup Suhu: 36,5 Cb. Kepala: Normocephal, jejas (-), benjolan (-), nyeri tekan (-)c. Mata: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokor, Reflek Cahaya (+/+)d. THT: Perdarahan (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, Mallampati 1e. Leher: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)f. Thorax: Paru : Inspeksi: Simetris kanan kiri, retraksi (-) Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama Perkusi: Sonor di kedua lapangan paru Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)Jantung : Inspeksi: Ictus Cordis tidak terlihat Palpasi: Ictus cordis ICS V linea midclavikula sinistra, Thrill tidak teraba Perkusi : Batas jantung normal Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)g. Abdomen : Inspeksi: Datar, sikatriks (-) Auskultasi: Bising usus (+) normal Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien tidak teraba, Nyeri Ketok CVA +/- Perkusi: Timpanih. Ekstremitas: Superior: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-) Inferior: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

2.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANGLABORATORIUMa. Darah rutin (13-04-2015)WBC : 8,1 x 103/mm3RBC: 4,3 x 106/mm3HB: 12,0 g/dl HT: 36,4 %PLT: 294 x 103/mm3CT: 4 menitBT: 2 menitGDS: 97 mg/dlb. Fungsi Hepar: (13-04-2015)Bilirubin total: 1,0 mg/dlBilirubin direk: 0,5 mg/dlBilirubin indirek: 0,5 mg/dlSGOT: 14 U/LSGPT: 11 U/Lc. Fungsi Ginjal (09-04-2015)Ureum: 18,1 mg/dlKreatinin: 0,7 mg/dld. Elektrolit (03-03-2015)Natrium: 135,2 mmol/LKalium: 3,82 mmol/LChlorida : 109,07 mmol/LCalsium : 1,14 mmol/L

RADIOLOGIe. Rontgen-Thorax PA Kesan: Cor dan pulmo normalf. CT Scan Ginjal (21-03-2015)Kesan:Hidronefrosis kiri dengan penipisan korteks e.c batu di ureter-pelvis junctionGinjal kanan dan ureter kanan kiri normalNefrolithiasis kiri multipleSpina bifida S3-4,5g. BNO-IVP (17-3-2015)Kesan: Fungsi ginjal kanan baik Fungsi gunjal kiri menurun Nefrolithiasis kiri Urine post miksi masih banyak Neurogenic bladder Spina bifida Os. Sakrum 2,3,4

Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 Mallapati: IPersiapan Pra Anestesi:1. Informed Consent dan SIO1. Puasa 6 jam sebelum operasi1. Persiapan darah 2 kolf PRC

2.3 RENCANA TINDAKAN ANESTESI1. Diagnosis pra bedah : Nefrolitiasis Sinistra2. Tindakan Bedah : Extended Pyelolitotomi3. Status fisik ASA : 2 Non EMG4. Jenis tindakan anestesi: Anastesi Umum1. Metode: Anestesi Umum (Intubasi)1. Premedikasi: 1. Ondansentron (0,05-0,2 mg/kgBB) = 2,95 11,8 mg1. Ranitidin (1 mg/KgBB) = 59 mg1. Asam Traneksamat (20 mg/KgBB) = 1180 mg1. Dexametason 10 mg 1. Phentanyl (1-2 mcg/KgBB) = 59-118 mcg1. Induksi: Recofol (Propofol) (2-2,5 mg/KgBB) = 118-147.5 mg1. Persiapan alat :STATICSScope : Stetoskop dan Laringoskop dewasa Tube: ETT Non Kinking no 7Airway: Goodle No 3Tape: Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buahIntorducer: Mandrin 1 buah dilumurin dengan xylocain gelConnector: Penyambung Pipa Suction: Suction No 121. Relaksan: Atracurium (0,5-0,6 mg/KgBB) = 29,5-35,41. Intubasi: Insersi ETT no.71. Maintenance: Sevoflurans + N2O : O2 Kebutuhan Cairan Perioperatif Maintenance (M) M = 2 cc/KgBB/jam M = 2 x 59 ml 118 cc/jam Pengganti Puasa (P) P = M X Lama puasaP = 118 X 6 708 cc Stres operasi (O) O = BB X 8 (Operasi Besar) O = 59 X 8 472 ml EBV : 65 x BBEBV : 65 x 59 3835 cc EBL : 20% x EBVEBL : 20% x 3835 cc 767 ccKebutuhan cairan selama operasi : Jam I:1/2 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 944 ml Jam II: 1/4 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 767 ml Jam III: 1/4 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 767 ml Total cairan 2478 ml

BAB III LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 20 April 2015Ahli bedah : dr. Hendra Herman Sp.UAhli anestesi : dr. Panal HDS, Sp.AnAsisten anestesi : DP Anestesi

3.1 TINDAKAN ANESTESI 1. Metode : Anestesi umum (intubasi)1. Premedikasi : Ondansetron 4 mg Ranitidin 50 mg Asam Traneksamat 1000 mgDexametason 10 mgFentanyl 100 g1. Induksi : Recofol (propofol) 140 mg 1. Relaksasi : Atracurium 30 mg1. Insersi ETT ukuran 7 dengan balon1. Pemeliharaan : sevofluran 1-2 % + N2O 50% : O2 100%1. Pemulihan diberikan O21. Medikasi tambahan :0. Kaltrofen supp II0. Tramadol 100 + Ketorolac 30 mg + Ondansentron 4mg dalam RL 500 cc drip 30 tts/i1. Respirasi: nafas kendali 1. Ekstubasi : setelah pasien sadar

3.2 KEADAAN SELAMA OPERASI Keadaan selama operasi1) Posisi Penderita: Lumbotomy2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada3) Lama Anestesi : 2 jam 4) Jumlah CairanInput: RL 3 Kolf 1500 ml Fima HES 500 ml Total 2000 mlOutput: 200 ccPerdarahan: 500 cc

MONITORING TD awal: 130/70 mmHg, N: 80 x/I, RR: 18x/iJamTDNadiRR

09 : 30102/718218

09 : 45110/749819

10 : 0092/557118

10 : 15101/728017

10 : 30100/717819

10 : 45108/827018

11 : 00112/828818

11 : 15119/899022

11 : 30121/909218

11 : 45120/898019

3.3 RUANG PEMULIHAN 1. Masuk jam : 11 : 55 WIB1. Keadaan umum : Kesadaran : Compos Mentis, GCS : 15 Tekanan darah : 120/80mmHg Nadi : 82 x/mnt, isi dan tegangan cukup Respirasi : 18 x/mnt 1. Pernafasan : BaikSkoring alderette1. Aktifitas : 21. Pernafasan : 21. Warna kulit : 21. Sirkulasi : 21. Kesadaran : 2Jumlah : 10

Instruksi anestesi post operasi :1. Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit selama 24 jam 1. Tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam1. Puasa sampai sadar penuh, bising usus (+)1. Cek Hb post operasi, jika Hb 10 mg/dl tranfusi 1 kolf PRC1. Terapi selanjutnya disesuaikan dengan dr. Hendra Herman Sp.U0. Bed rest 24 jam0. IVFD RL: D5 = 2:1 (20 gtt/i)0. Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram 0. Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg0. Inj. Ranitidin 2 X 50 mg0. Inj. Ketorolac 3 X 30 mg0. Diet bertahap bila sadar penuh

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi dan Fisiologi GinjalTraktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih terdiri dari dua ginjal, dua ureter, satu kandung kemih (vesika urinaria) dan satu uretra. Sistem urinaria disebut juga sebagai sistem sekretori yaitu sistem organ yang memproduksi, menyimpan dan mengalirkan urine. Sistem urinaria berperan penting dalam memelihara homeostasis air dan konsentrasi elektrolit tubuh.Ginjal manusia berjumlah 2 buah, terletak dipinggang, retroperitoneal. Secara anatomi, ginjal dibagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta nefron sedangkan di dalam medulla terdapat banyak duktuli ginjal. Ginjal mempunyai nefron yang tiap tubulus dan glomerulusnya adalah satu unit. Ukuran ginjal ditentukan oleh sejumlah nefron yang dimilikinya. Kira kira terdapat 1,3 juta nefron dalam tiap ginjal manusia. Terdapat beberapa fungsi ginjal yaitu: a. Menyaring dan membersihkan darah dari zat-zat sisa metabolisme tubuh.b. Mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihanc. Reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian tubulus ginjald. Menjaga keseimbanganan asam basa dalam tubuhe. Menghasilkan zat hormon yang berperan membentuk dan mematangkan sel-sel darah merah (SDM) di sumsum tulangf. Hemostasis Ginjal, mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah. Gambar 4.1 Anatomi Ginjal dan NefronGinjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan percabangan dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena cava inferior. Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya merupakan 21% dari curah jantung, atau sekitar 1.200 liter/menit. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter dan vena renalis kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus. Persarafan ginjal terdiri dari saraf simpatis (setinggi T8-L1) dan parasimpatis (N.vagus), konduksi nyeri setinggi T10-L1.Di dalam glomerulus sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) di filtrasi untuk memulai pembentukan urin. Ujung distal kapiler dari setiap glomerulus bergabung membentuk arteriole eferen yang menuju jaringan kapiler kedua yaitu kapiler peritubuler yang mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh system vena yang berjalan secara parallel dengan pembuluh arteriol dan secara progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris dan vena renalis yang meninggalkan ginjal di samping arteri dan ureter. Ginjal memproduksi urine yang mengandung sisa metabolism, nitrogen dari urea dan asam urat, kelebihan ion dan beberapa obat-obatan. Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (96%) air dan sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses mikturisi Proses pembentukan urin, yaitu : a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring darah dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat bermolekul besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan garam-garam. b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi. c. Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke pelvis renalis.

4.2 Urolitiasis4.2.1 Definisi Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis)

4.2.2 Etiologi urolithiasisFaktor intrinsik itu antara lain adalah :a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan (4:1).Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air, diet, pekerjaan.

4.2.3 Patofisiologi urolithiasisSecara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan juga merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu1,6.Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks ginjal, pielum, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehinggga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis uteropelvik) akan mempermudah timbulnya batu ginjal. Beberapa teori pembentukan batu adalah:1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh (supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.3. Teori Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat-zat penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.

4.2.4 Diagnosis UrolithiasisGambaran klinis pasien dengan urolitiasi :a. Nyeri; Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal.b. Hematuria; Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).c. Infeksi; Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local.d. Demam; Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J) atau jika gagal dapat dilakukan nephrostomi.e. Nausea dan vomitus; Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk mengembalikan ke kondisi euvolemia5,6.

Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis : Darah rutin Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria, leukosituria, dan kristaluria. Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVP. Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :a. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih. b. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ), hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus.c. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. f. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.g. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.

4.2.5 Penatalaksanaan urolithiasisa. KonservatifBatu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan. Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif hanya diberikan selama 6 minggu. b. Relief of ObstructionPasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan pemasangan retrograde double J ureteral stent.5c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. d. OperatifBatu ginjal yang terletak di kaliks perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolithotomy).5

4.2.6 Extended PyelolithotomyMerupakan suatu tindakan operasi terbuka (selain nefrektomi dan anatrophic nephrolithotomy) yang dalam prosedurnya dilakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel. Insisi apek dilakukan langsung dekat dengan ureteropelvic junction dimana keuntungan dari tindakan ini adalah batu dapat terpajan secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-82% dan jumlah prosedur yang kecil yakni 1,4%. Namun, operasi terbuka ini memiliki risiko terjadinya komplikasi minor (demam, perdarahan yang membutuhkan transfusi, ekstravasasi, pneumonia/atelectasis, ileus paralitik, dll) maupun mayor (kematian, perdarahan yang memerlukan transfuse berkala, infeksi, cedera saluran kemih dll). Selain itu, tindakan operasi terbuka memiliki kerugian yakni, nyeri pascaoperasi, jaringan parut pascaoperasi, serta lama perawatan dan pemulihan di rumah sakit.. 4.3 Anestesi Umum(General Anesthesia)4.3.1 DefinisiAnestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.4.3.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia UmumTidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi anestesia umum. Keuntungan anestesia umum1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung.1. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis.1. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.1. Memudahkan kontril penuh ventilasi pasien.Kerugian anestesia umum1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul dibawah anestesia umum.1. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.1. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.1. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.1. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

4.3. 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umuma. Faktor RespirasiHal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial1. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsialb. Faktor SirkulasiSaat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.2. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.c. Faktor Jaringan1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan2. Koefisien partisi jaringan/darah3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD)d. Faktor Zat AnestetikaPotensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.e. Faktor Lain1. Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi1. Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman anestesia1. Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia semakin cepat.

4.3.4 Jenis Anestesi Umum1. Anestesi InhalasiAnestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran.Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.1. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida): Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit.1. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali sekitar 0,5 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.1. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.1. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.1. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter.Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran.Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.1. Anestesi IntravenaAnestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan memasukkan obat melalui intravena. Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi.Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum.Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol.Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.1. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).9 Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medula oblongata.Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.1. Propofol: Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat, lama kerja pendek.Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.10Efek hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-aminobutyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik.Efek negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan TIK.Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%.Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.1. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).1. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.1. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.1. Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.1. Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.9Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe.

4.3.5 Macam-Macam Obat Keseimbangan AnestesiI. Efek AnalgesiaMetoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). 1. OpioidOpioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).1. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).1. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih ringan.5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa, Morfin tidak.6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.1. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.1. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.1. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil.Insiden mual-muntahnya sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.1. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

II. Efek Relaksasi OtotRelaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot.Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya.Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot.Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot.Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockadeneuro-muskular.Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf.Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.a) Pelumpuh Otot DepolarisasiPelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. Dampak samping suksini ialah (1) nyeri otot pasca pemberian, dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya.Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria, (2) peningkatan tekanan intraocular akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot, (3) Penigkatan tekanan intracranial, (4) peningkatan tekanan intragastrik, (5) peningkatan kadar kalium plasma, (6) aritmia jantung berupa bradikardi atau ventricular premature beat, (7) Salivasi akibat efek muskarinik, (8) alergi, anafilaksis akibat efek muskarinik.

b) Pelumpuh Otot Non-DepolarisasiPelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi :1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium.1. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.1. Eter-fenolik: gallamin.1. Nortoksiferin : alkuronium.Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai panjang yang lainnya kerja sedang.Pilihan pelumpuh otot:1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium2. Gangguan faal hati : atrakurium3. Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallaminTanda-tanda kekurangan pelumpuh otot1. Cegukan (hiccup).2. Dinding perut kaku.3. Ada tahanan pada inflasi paru.

Penawar Pelumpuh OtotPenawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan edrophonium.Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

4.3.6 Rumatan AnestesiaRumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat.Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau N20+O2.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

4.3.7 Stadium-Stadium Anestesia2Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat volatil yang poten dan digunakn luas pada jamannya. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi:1. Stadium 1Disebut juga stadium induksi, merupakan periode sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.1. Stadium 2Disbut stadium eksitasi.Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium.Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involunter, seringkali spastik.Pasien juga dapat muntah dan dapat membahayakan jalan nafas.Pada stadium ini aritmia jantung dapat terjadi.Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis.1. Stadium 3Disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas: 1. Plana 1: mata berputar, kemudian terfiksasi1. Plana 2: refleks kornea dan refleks laring hilang1. Plana 3: dilatasi pupil, refleks chaya hilang1. Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasn abdominal dan dangkal1. Stadium 4Merupakan stadium overdosis obat anestetik.Anestesia menjadi terlalu dalam.Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.Stadium ini letal.

4.3.8 Prosedur Anestesi Umum a. Persiapan pra anestesi umumPasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.Tujuan kunjungan pra anestesi:1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.1. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.1. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.b. Persiapan pasienAnamnesisAnamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis:1. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.1. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.1. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.1. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.1. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.

Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan.

Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien > 50 tahun anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan digunakan.

1. Masukan oralRefleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.1. Klasifikasi status fisikBerdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.1. Klasifikasi MallapatiKesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

Gambar 4.2 Mallampati Classification and Cormack-Lehanne Classification

1. PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya -Meredakan kecemasan dan ketakutan-Memperlancar induksi anesthesia-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus-Meminimalkan jumlah obat anestetik-Mengurangi mual muntah pasca bedah-Menciptakan amnesia-Mengurangi isi cairan lambung-Mengurangi refleks yang membahayakanKecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

1. Persiapan peralatan anestesiTindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman. Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:1. Scope :Laringoscope dan Stetoscope

1. Tubes :Pipa trakea yang dipilih sesuai usia

1. Airway:Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.

1. Tape :Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.

1. Introducer:Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea mudah untuk dimasukkan

1. Conector :Penyambung antara pipa dan alat anesthesia

1. Suction :Penyedot lendir.

k. Teknik Anestesi Umum1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontanIndikasi :1. Tindakan singkat ( - 1 jam)1. Keadaan umum baik (ASA I II)1. Lambung harus kosongProsedur :1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik1. Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)1. Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll1. Induksi1. Pemeliharaan2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontanIntubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:1. Operasi lama1. Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)Prosedur :1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat)1. Intubasi setelah induksi dan suksinil1. Pemeliharaan3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. Indikasi: Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun; kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas, dan lainnya. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi; saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.1. Teknik sama dengan diatas1. Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)1. Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

1. Pemantauan dan PencatatanSelama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien. Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi.Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian.Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga dicatat.Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi urin pun diamati dan dicatat.

4.3.9 Mempertahankan Anestesi Dan Pengakhiran AnestesiI. Mempertahankan Anestesi1. Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG, pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.1. Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol.1. Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).1. Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :1. Peningkatan tekanan darah.1. Peningkatan frekuensi denyut jantung.1. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.1. Terdapat pergerakan.1. Berkeringat.

4.3.10 Pengakhiran Anestesia1. Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).1. FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.1. Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.1. Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).1. Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam ruangan pasca-bedah.

4.4 Anestesia untuk Pembedahan Ginjala. Intra OperatifAnestesi umum biasanya digunakan untuk operasi ginjal terbuka atau laparoskopi. Karena posisi pasien dan peningkatan tekanan intra-abdominal yang terkait dengan operasi laparoskopi, intubasi endotrakeal dianjurkan. Induksi anestesi mungkin dengan agen intravena atau inhalasi, dan induksi cepat harus dilakukan pada mereka yang memiliki neuropati otonom. Pemeliharaan harus dengan agen inhalasi, sebaiknya halotan, isofluran atau desfluran. Atracurium adalah relaksan otot non-depolarisasi pilihan pada mereka dengan gangguan fungsi ginjal. Akses intravena dengan ukuran aboccath besar adalah wajib karena risiko perdarahan.

b. Obat-obat AnestesiPremedikasi4. Barbiturat: Kini barbiturat jarang digunakan, kecuali phenobarbital yang masih dipakai pada pasien epilepsi anak dan dewasa, 24% phenobarbital dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan.4. Belladonna Alkaloids: 20-50% dosis atrofin ditemukan tanpa mengalami perubahan di urin atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat. Sehingga dapat terjadi akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal, pada dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya 1/10 yang ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin. Sebagai premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal.4. Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin: Phenothiazin dan derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum dieksresi. Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum daripada efek spesifik obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin adalah blokade alpha adrenergik, sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan kardiovaskular pada pasien yang baru menjalani dialisa yaitu terjadi hipovolemi.4. Opioid: Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu glukoronida, yang diekstresikan lewat urin. Sehingga pemberian pada pasien dengan gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang. Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein dan eksresi meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi tanpa mengalami perubahan di urine. Ikatan dengan protein plasma moderat (fraksi bebas, 19%) dan volume distribusinya besar. Sehingga fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal.Induksi3. Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut. Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menajadi nephrotoksik florida inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis.Desfluran dan sevofluran, berbeda dalam stabilitas molekular dan biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minmal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal.Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran. Terdapat laporan konsentrasi inorganik plama mencapai kadar nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran. Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal manusia. Anastesi inhalasi menyebabkan depresi reversibel pada fungsi ginjal. GFR, aliran darah ginjal, keluaran urin dan eskresi sodium di urin menurun. Mekanisme dalam pengurangan aliran darah ginjal, mungkin karena faktor neurohormonal (hormon antidiuretik, vasopressin, renin) atau respon neuroendrokrin. Meskipun sebagian besar anastesi inhalasi mengurangi GFE dan eksresi sodium urin, efek pada aliran darah ginjal masih merupakan kontroversi. Hal ini dapat dijelaskan karena perbedaan dari metodologi eksperimental. Data menyatakan bahwa aliran darah ginjal dipelihara oleh halotan, isofluran dan desfluran tetapi diturunkan oleh enfluran dan sevofluran. Pasien dengan penyakit ginjal berat kadar hemoglobinnya 6-8 g/ 100mL. Meskipun kapasitas pengangkutan oksigen adekuat pada keadaan tidak teranastesi, shunt intrapulmonal dan pengurangan cardiac output dapat terjadi pada anastesi umum. Sehingga untuk menghidari hipoksemia intra anastesi, di sarankan tidak memberikan konsentrasi tinggi N2O.3. Obat-obat anastesi intravena: Efek reversibel terhadap sistem saraf pusat setelah pemberian ultrashort-acting barbiturat, seperti thiopental dan methohexital, terjadi sebagai akibat redististribusi, metabolisme hepar merupakan jalur eliminasi obat-obat tersebut. Thiopental 75-85% terikat albumin, konsentrasi tersebut berkurang pada uremia. Karena ikatannya tinggi, pengurangan ikatan dapat menyebabkan pemberian dosis thiopental yang tinggi untuk dapat mencapai reseptor. Thiopental merupakan asam lemah dengan nilai pKa pada nilai fisiologis, asidosis akan terjadi pada keadaan tidak terionisasi, tidak terikat, thiopental aktif. Pada kombinasi bentuk tersebut dapat meningkatkan fraksi bebas thiopental dari 15 persen pada pasien normal menjadi 28 persen pada pasien gagal ginjal. Karena metabolime thiopental tidak mengalami perubahan pada gangguan ginjal, jumlah thiopental untuk anastesi dikurangi.Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila dibandingkan dengan thiopental dan tampaknya gagal ginjal berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya. Redistribusi dan metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan di urin.11Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80% midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada gagal ginjal.Obat pelumpuh otot dan antogonisnyaAnastesi umum dengan musle relaksan biasa digunakan pada pembedahan ginjal terbuka. Suksinilkolon dimetabolisme dengan bantuan pseudokolinesterase menghasilkan produk non toksik yaitu asam suksinik dan kolin. Prekusor metabolik dari dua senyawa tersebut adalah suksinilmonokolin dieksresi oleh ginjal. Sehingga pemberian dosis tinggi suksinilkolin karena pemberian panjang perinfus sebaiknya dihindari pada pasien gagal ginjal. Terdapat laporan bahwa pseudokolinesterase dikurangi pada keadaan uremia. Akan tetapi nilainya jarang rendah untuk memperpanjang waktu pemblokan. Hemodialisis dilaporkan tidak mempunyai efek terhadap kadar kolinesterase. Pemberian suksinilkolin menyebabkan peningkatan cepat dari konsentrasi potasium serum 0.5 mEq/ L. Peningkatan serum potasium berbahaya pada pasien uremia dengan peningkatan kadar potasium, sehingga penggunaan suksinilkolin adalah tidak dianjurkan kecuali pasien menjalani dialisis dalam 24 jam sebelum operasi. Apabila pasien telah menjalani dialisis penggunaan suksinil kolin dilaporkan aman.Disposisi pelumpuh otot non depolasisasi telah dipelajari akhir-akhir ini. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, fraksi ekresi dosis tinggi d-tubokurarun (dTc) ditemukan diurin, eksresi dTc terlambat pada pasien gagal ginjal, kliren dikurangi dan distribusi volume tidak berubah. Karena ikatan protein dan sensitivitas neuromuskular juntion terhadap dTc sehingga tetap pada pasien dengan gagal ginjal. Konsekuensi dari keterlambatan eksresi adalah memanjangnya aksi durasi. Tetapi tidak nyata pada pemberian dosis tunggal rendah.Farmakokinetik dari metocurin dan gallamin berbeda secara kuantititif daripada kulaitatif dengan dTc. Lebih dari 90 persen dosis injeksi gallamin dieliminasi tanpa mengalami perubahan diurin dalam 24 jam. Sedangkan hanya 43 persen dosisi metocurin dieksresi tanpa mengalami perubahan dalam waktu yang sama. Dosis gallamin ditemukan dalam dosis yang kecil karena redistribusi sehingga secara teori dapat dipakai pada penderita dengan pengurangan fungsi ginjal. Sekitar 40 50% pancuronum dieksresi diurin. Pancurinium memiliki waktu paruh eliminasi akhir panjang pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal, sehingga dalam pemberian harus hati-haru terutama ketika beberapa dosis dibutuhkan.Dua pelumpuh otot nondepolarisasi yaitu atracurium dan vecuronium dikenalkan pada praktek klinik tahun 1980-an. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal. Atracurium dan cisatracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya. Dapat diprediksi waktu paruh eliminasi akhir dan tanda blok neuromuskular (onset, durasi dan recovery) sama pada pasien normal dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal Farmakokinetik dan farmakodinamik vecuronium pada pasien normal dan ganguan ginjal adalah sekitar 30% dosis vecurium dieksresi oleh ginjal sehingga pada pasien dengan gagal ginjal durasi blokade muskular pada pemberian vecurium dapat lebih lama. Doxacurium durasi aksinya lebih panjang pada pasien gagal ginjal. Aksi durasi pelumpuh otot lainnya seperti pipecuronium bervariasi pada pasien gagal ginjal. Mivacurium bersifat short acting dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Efeknya memanjang sekitar 10 sampai 15 menit pada pasien stadium akhir penyakit ginjal.Inhibitor kolinesterase yaitu neostigmin, pyridostigmin dan edrophium. Tidak ada perbedaan menonjol diantara ketiga obat tersebut. Eksresi ginjal adalah penting dalam mengeliminasi ketiga obat tersebut. Sekitar 50% neostigmin dan 70% pyridostigmin dan edrophonium dieksresi dalam urin. Eksresi semua inhibittor kolin esterase lebih lambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Digoksin merupakan digitalis glikosida yang digunakan pada pasien uremia dan non uremia. Sekitar 72% dosis parenteral dieksresi dalam bentuk yang tetap diurin. Sehingga pemberian pada gangguan fungsi ginjal potensial berbahaya dan dosis pemeliharaan harus dikurangi pada penyakit ginjal.

Pemeliharaan Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis.3. PosisiPosisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended pyelolithotomy umumnya adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih rendah sementara regio lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar 4.3). Posisi lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan tindakan pembedahan (extended pyelolithotomi).

Gambar 4.3 Posisi Lumbotomy

Gambar 4.4 Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.

Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan efek hemodinamik pada perubahan posisi darisupineke posisi lateral. Perubahan akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisirest kidney, dimana vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah (gravitasi) akan menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous return)dan curah jantung (cardiac output). Perambahan hati pada vena kava dan pergeseran mediastinum dapat menurunkan aliran balik vena lebih lanjut. Dekatnya vena kava inferior ke bagian kanan memudahkan penekanan oleh ginjal. Hal tersebut menyebabkan penurunan tekanan darah. Venous return dipengaruhi oleh; kontraksi otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi vena cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy berisiko untuk hipotensi. Penelitian echocardiografi mencatat adanya peningkatan diameterend diastolicventrikel kanan pada posisi kiri dan penurunan diameter pada posisi kanan. Preload dan fungsi jantung yang lebih baik pada posisi dekubitus kiri ditunjang oleh adanya peningkatan level peptide natriuretik atrium, bila dibandingkan dengan posisisupine. Volumeend diastolicventrikel kanan menurun hampir 10% pada posisi dekubitus kanan, dan dihubungkan dengan penurunan jumlah peptide natriuretik atrium meskipuncardiac indexcenderung tidak berubah.Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem pernapasan. Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru. Ventilasi paru menurun sementara perfusi meningkat mengakibatkan ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi yang besar. Terdapat juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal, kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya. Kesulitan dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau menerapkan sejumlah kecil positive end expiratory pressure (PEEP). Atelektasis pasca operasi tidak jarang terjadi.Neuropati pleksus servikal, pleksus brakialis dan saraf peroneal komunis dapat terjadi pada posisi lateral akibat peregangan atau kompresi saraf ini. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari peregangan leher yang berlebihan pada posisi ini dan kedua bahu harus dalam posisi netral. Lengan atas biasanya ditempatkan pada penyangga lengan. Semua titik-titik tekanan harus diposisikan dengan baik. Setiap fistula arteriovenosa yang ada harus dibungkus untuk mencegah kerusakan yang tidak disengaja. Sebuah bantal biasanya ditempatkan di antara kaki dan kaki bagian bawah ditekuk.3. MonitoringPemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien. Pemantauan invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi pra-operasi pasien dan risiko operasi.Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat dari pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan cairan. Namun, akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang sebelumnya pernah dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam pembuluh darah leher. Panduan USG harus digunakan pada pasien ini jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat mengakibatkan perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan. Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu pasien harus diperhatikan.3. Keseimbangan CairanPuasa dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi terutama pasien orang tua. Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal yang menjalani dialisis juga kekurangan cairan sebelum operasi. Resusitasi cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tanda-tanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Selain itu penggantian cairan untuk mengkompensasi puasa preoperasi harus diberikan sebelum pembedahanPada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan cairan selama operasi menjadi tinggi.Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan. Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan. Pasien dapat mengalami anemia sebelum operasi sehingga mereka dapat mentoleransi kehilangan darah yang sedikit daripada pada pasien dengan kadar hemoglobin yang tinggi. Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang massif.Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada fungsi ginjal normal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai masalah dengan keseimbangan cairan. Pasien anuria hanya kehilangan dan pemeliharaan yang digantikan cairannya, dialisis digunakan pada post operasi jika terdapat elemen cairan yang belebihan3. Agen Vasopressor dan AntihipertensiPasien dengan penyakit ginjal sering hipertensi, dan memiliki risiko ketidakstabilan kardiovaskular intra-operatif. Pengobatan hipotensi pertama harus diarahkan pada penyebab apapun yang jelas, seperti perdarahan. Jika penggunaan vasopressor diperlukan, obat direct a-adrenergic stimulating, seperti phenylephrine, dapat digunakan. Sayangnya obat ini menyebabkan penurunan hebat dalam perfusi ginjal. Namun obat -adrenergic stimulating, yang menjaga sirkulasi ginjal, menyebabkan iritabilitas miokard dan sebaiknya tidak digunakan. Infus dopamin juga dapat diberikan.Hipertensi dapat menjadi masalah, terutama jika nefrektomi bilateral sedang dilakukan untuk hipertensi yang tidak terkontrol. Sodium nitroprusside adalah kontra-indikasi pada pasien dengan kerusakan ginjal seperti tiosianat, produk akhir metabolismenya, akan terakumulasi dan berpotensi toksik. Trimethaphan dan nitrogliserin dengan cepat dimetabolisme dan cocok untuk digunakan dalam kasus ini. Hydralazine adalah agen bertindak lambat, tetapi dapat digunakan untuk control tekanan darah pasca operasi. Sekitar 15% dari obat diekskresikan tidak berubah dalam urin, sehingga perawatan harus diambil pada pasien dengan gagal ginjal tahap akhir. Labetolol dan esmolol secara ekstensif dimetabolisme dan umum digunakan.3. Proteksi GinjalPerhatian khusus harus diberikan untuk menghindari faktor-faktor yang dapat membahayakan fungsi ginjal, terutama pada mereka yang fungsinya sudah terganggu. Meskipun operasi adalah faktor risiko terbesar, faktor penyebab lainnya harus dihindari sejauh mungkin. Ini termasuk hipotensi, dehidrasi, sepsis dan obat-obatan nefrotoksik. Berbagai metode telah digunakan untuk mencoba untuk melindungi fungsi ginjal pada pasien yang menjalani operasi . Ini termasuk administrasi dopamin , diuretik , calcium channel blockers , angiotensin converting enzyme inhibitor dan cairan hidrasi . Namun, Cochrane Database ulasan baru-baru ini menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa intervensi tersebut melindungi ginjal dari kerusakan .3. Komplikasi PembedahanGinjal adalah organ yang sangat vaskular dan perdarahan adalah risiko nyata. Pendarahan dapat terjadi dari arteri renal, vena kava inferior, atau dari arteri lainnya. Teknik untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah seperti penyelamatan sel, hemodilusi normovolaemic akut dan obat anti-fibrinolitik dapat digunakan sesuai keperluan. Perdarahan sekunder pada periode pasca operasi jarang terjadi, tetapi mungkin memerlukan re-laparotomi untuk mengidentifikasi penyebabnya.Karsinoma sel ginjal dapat menyerang vena cava inferior (IVC), dan dapat mencapai atrium kanan. Oklusi lengkap dari IVC atau embolisasi tumor dapat terjadi intra-operatif. Tingkat yang tepat dari lesi harus diidentifikasi pra-operatif. Kerusakan dapat terjadi pada pleura atau diafragma dimana ginjal terletak di dekat paru-paru. Hal ini biasanya terlihat pada operasi terbuka dan perbaikan dapat dibuat. Setiap masalah mendadak yang berhubungan dengan ventilasi pasien harus sepenuhnya diselidiki dan ahli bedah diberitahu tentang keadaan tersebut. Setiap pneumotoraks dapat cepat berlanjut menjadi tension pneumothoraks dengan penggunaan IPPV dan dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Komplikasi pasca operasi utama adalah infeksi dada, ileus paralitik dan penurunan fungsi ginjal.3. Analgetik Post-operatifOperasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hari, pengurangan pada dosis dan intervak waktu diantara dua dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit).Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai. Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi relatif karena memiliki efek nephretoksik3. Efek Obat-obatan Anestesi pada Pasien Gangguan Fungsi GinjalBeberapa obat-obatan dieliminasi dalam bentuk tanpa mengalami perubahan dalam urin. Pada obat pelumpuh otot non depolarisasi sebagian besar dieksresi oleh ginjal. Terminasi aksi dari dosis tunggal kecil dari obat tersebut adalah dengan redistribusi daripada eksresi. Akan tetapi ketika dosis pemeliharaan digunakan, dosis harus lebih kecil pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal daripada pasien dengan ginjal normal dan interval dosis antara harus ditingkatkan. Kecuali atracurium dan cisatracurium yang dirusak oleh enzim ester hidrolisis dan oleh non enzim alkaline degradasi (eliminasi Hofmann) menjadi produk yang tidak aktif dan tidak tergantung eksresi ginjal. Suksinilkolin dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan meskipun tingkat enzim dikurangi pada uremia, nilai jarang rendah yang menyebabkan bloknya memanjang. Pemberian suksinilkolin tidak menyebabkan peningkatan serum potasium yang dapat berbahaya pada pasien dengan gangguan ginjal berat dengan peningkatan potasium. Eksresi ginjal berperan penting dalam eliminasi inhibitor kolinesterasi (misal neostigmin) dan eksresinya terlambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.Obat-obat lainnya yang dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan adalah atrofin dan glycopyrrolat, dosis tunggal tidak menyebabkan gangguan keadaan klinis. Dosis pemeliharaan digoksin harus dikurangi pada gangguan fungsi ginjal dan tingkat darah adalah pas untuk terapi. Obat-obat yang berikatan kuat dengan albumin, seperti obat-obat induksi akan dipengaruhi oleh pengurangan kadar albumin pada pasien uremia. Sehingga menghasilkan fraksi bebas dari obat tersebut dan mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek anastesi.Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi. Enflurane dan sevoflurane mengalami biotranformasi (proses perubahan struktur kimia obat dikatalisis oleh enzim, diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal, pada umumnya obat menjadi inaktif.) menjadi florida inorganic meskipun kadar dalam plasma yang dihasilkan dibawah kadar nephrotoksis. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme di hepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis. Opioid di metabolisme di hepar. Akan tetapi morpin dan meperidin (petidin) mempunyai metabolit aktif yang dieksresi lewat ginjal dan dapat diakumulasi pada gagal ginjal. Dosis dari kedua obat tersebut harus dikurangi atau dibatasi.BAB VANALISIS KASUS

Pasien Ny.M umur 26 tahun datang ke RS Raden Mattaher (07 April 2015) dengan keluhan nyeri pinggang sebelah kiri 1 hari SMRS. Sejak 2 tahun terakhir Os sudah sering merasakan nyeri pinggang kiri hilang timbul. Sejak 2 bulan terakhir keluhan nyeri pinggang semakin sering os rasakan sehingga aktivitas sehari-hari terganggu. BAK nyeri (+), sedikit (-), keruh (-), berpasir (+) dalam 1 tahun ini, berwarna seperti teh pekat (-), berdarah (-), bernanah (-), BAB biasa. Mual (+), muntah (-), demam (+) hilang timbul, sesak nafas (-), batuk pilek (-). Os masuk RS Raden Mattaher melalui poli, dokter menyatakan terdapat batu di ginjal sebelah kiri os, direncanakan tindakan nefrostomi keesokan harinya (08/04/2015), selanjutnya os direncanakan dilakukan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu pada tanggal 20/04/15. Terdapat riwayat penyakit asma dan tidak ada masalah pada riwayat kebiasaan.Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan peningkatan frekuensi nafas maupun wheezing yang menandakan asma pasien tidak sedang kambuh. Ditemukan nyeri ketok CVA kiri. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke bidang anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA II, dengan malampati I. sebelum jadwal operasi dilaksanakan, pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan mempersiapkan darah 2 kantong PRC. Pembahasan: a. Pra AnestesiDi ketahui bahwa pasien usia 26 tahun mengalami Nefrolitiasis sinistra, penatalaksanaan yang dilakukakan adalah tindakan pembedahan Extended Pyelolitotomi yang telah dilakukan pada tanggal 20 April 2015. Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelumnya pada tanggal 19 April 2015 telah dilakukan kunjungan pra anestesi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didapatkan riwayat asma yang saat ini tidak sedang kambuh, riwayat nefrostomi, nefrolitiasis sinistra, dan neurogenic bladder maka pasien ini digolongkan ke dalam ASA II. b. Kebutuhan cairan Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan : Jam I:1/2 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 944 ml Jam II: 1/4 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 767 ml Jam III: 1/4 (708 ml) + 118 ml + 472 ml = 767 mlTotal kebutuhan cairan selama operasi 2 jam 1711 mlSelama operasi jumlah carian yang diberikan adalahInput: RL 3 Kolf 1500 ml Fima HES 500 ml Total 2000 mlOutput: 200 ccPerdarahan: 500 cc Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.

c. Indikasi GAAlasan pemilihan anestesi umum (GA) dibandingkan anestesi regional (spinal maupun epidural) pada pasien ini antara lain:a. Posisi dan Durasi: Diperlukan posisi lumbotomy selama operasi berlangsung agar operator dapat melakukan pembedahan, jika pasien dibius dengan regional anestesi (spinal atau epidural), kenyamanan pasien akan terganggu karena pasien yang dalam keadaan sadar harus berada dalam posisi lumbotomy dalam jangka waktu yang biasanya cukup lama untuk tindakan extended pyelolithotomy ini. Sementara bila pasien dibius dengan anestesi umum akan lebih mudah mengatur posisi pasien dan pasien tidak harus merasakan berada dalam posisi lumbotomy yang tidak nyaman dalam jangka waktu lama

b. Vasodilatasi PD: Pada regional anestesi (spinal atau epidural), akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah yang kemudian dapat menyebabkan hipotensi, pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, hipotensi akan memberi pengaruh yang cukup signifikan bila tidak teratasi dengan cepat karena renal blood flow akan menurun dan dapat terjadi gagal ginjal akut. Sementara pada GA, tidak terjadi vasodilatasi pembuluh darah.

d. Tindakan premedikasi Satu jam sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien diberikan obat ranitidine 50 mg, ondansentron 4 mg, dan asam traneksamat 1000 mg. Tujuan pemberian ranitidine adalah untuk mengurangi isi cairan lambung sehingga meminimalkan kejadian pneumositis asam. Ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah pasca bedah dengan dosis 2-4 mg. Asam traneksamat diberikan untuk membantu proses pembekuan darah karena akan terjadi perdarahan selama operasi. Selain itu, juga diberikan analgetik golongan opioid yaitu phentanyl 100 mcg. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan masalah ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar.Dosis obat pada pasien ini dapat dilihat pada tabel :Nama ObatDosisDosis yang seharusnya diberikanDosis yang diberikan

Ranitidin1 mg/KgBB59 mg50 mg

Ondansentron0,05-0,2 mg/kgBB2,95 11,8 mg4 mg

Asam Traneksamat20 mg/KgBB1180 mg1000 mg

Phentanyl1-2 mcg/KgBB59-118mcg100 mcg

c. Tindakan induksi anestesi Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur vena. Obat induksi yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik. Obat induksi yang dipakai yang menimbulkan efek induksi yang baik adalah propofol.Pada pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan propofol 140 mg. Dosis propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB. Dosis propofol yang seharusnya diberikan adalah 118-147.5 mg. Dosis propofol pada pasien ini sudah tepat.Propofol dipilih karena kelebihan profocol dari obat lain yaitu, pasien terlihat lebih segar pada periode pasca bedah segera setelah pemberian propofol dibanding anestesi intravena lainnya, muntah pasca operasi tidak ditenukan dan dapat bersifat antiemetik. Secara khusus, penderita dapat berjalan lebih cepat setelah pemberian propofol. Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal.

c. Rumatan anestesiRumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada kasus ini rumatan anestesi diberikan secara inhalasi dengan N2O dan O2 ditambah dengan sevofluran 1-2 %.Pada pasien dengan penyakit ginjal, obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut

e. Tindakan intubasi Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/iv pada pasien ini yaitu 29,5-35,4 mg. Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular secara bermakna. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal. Atracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya sehingga bisa digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal.Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara intubasi tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit a