Gedung Gereja yang Ramah Bagi Insan Dengan Disabilitas: Kajian … · 2019. 7. 2. · keluarga saya...
Transcript of Gedung Gereja yang Ramah Bagi Insan Dengan Disabilitas: Kajian … · 2019. 7. 2. · keluarga saya...
i
Gedung Gereja yang Ramah Bagi Insan Dengan Disabilitas:
Kajian Teologis Disabilitas Terhadap Gedung GKJ Baki, Sukoharjo, Solo, Jawa
Tengah
Oleh :
Sophia Bernadetta Evanti
712013065
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu: Teologi, Fakultas: Teologi
Guna Memenuhi Sebagian dari prasyaratan mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi
( S.Si-Teol )
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
YANG MENABUR DENGAN MENCUCURKAN AIR MATA PASTI AKAN MENUAI
DENGAN SORAK-SORAI
vi
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya mengucapkan segala terimakasih dan rasa ungkapan syukur
saya kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mempermudah segala urusan menuju
sarjana Teologi dan pertolongan serta mujizatnya yang begitu dahsyat dan hebat
mengalir dalam setiap proses kehidupan saya. Saya juga berterimakasih kepada
keluarga saya baik Keluarga Malinso dan Keluarga besar Trah Resodiharjo yang tanpa
hentinya mendukung saya dalam baik dalam doa maupun dalam materi. Saya juga
berterimakasih kepada Bapak Yusak Setyawan dan Bapak Simon Julianto yang dengan
sangat sabar membimbing saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.Saya
berterimakasih juga kepada Fakultas Teologi yang telah membantu saya dalam
mengurus tugas akhir, kiranya berkat Tuhan selalu berlimpah.
Salatiga, 01 Juni 2018
Sophia Bernadetta Evanti
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan................................................................................................................. ii
Pernyataan Tidak Plagiat...................................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................................. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis ............. v
Motto ........................................................................................................................................ vi
Kata Pengantar ..................................................................................................................... vii
Daftar Isi …………………………………………………… …………………………… vii
Abstrak ……………………………………………………………………………………… 1
Pendahuluann ………………………………………………………………………………. 2
TeoriArsitekturGereja Yang Ramah Bagi IDD ………………………………………… 5
HasilPenelitian …………………………………………………………………………….. 9
KajianKritisdariPrespektifTeologiDisabilitasTerhadapArsitekturGKJ Baki ………. 24
Penutup ……………………………………………………………………………………. 28
DaftarPustaka …………………………………………………………………………….. 29
viii
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci kajian terhadap arsitektur
bangunan Gereja Kristen Jawa- Baki, Sukoharjo melalui kacamata Teologi Disabilitas.
Teologi Disabilitas adalah sebuah usaha bagi umat Kristen baik itu non disabilitas atau
disabilitas untuk lebih perduli terhadap kebutuhan IDD (Insan Dengan Disabilitas). Arsitektur
gereja adalah sebuah banguan gereja yang dibangun dengan kokoh dan didalamnya terdiri
dari sekumpulam orang yang ingin merasakan lawatan Tuhan. Arsitektur gereja yang ramah
bagi IDD adalah sebuah arsitektur yang membuat IDD merasakan lawatan Tuhan dengan
akses memadai untuk IDD beribadah.Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian observasi dengan pendekatan kualitatif.Hasil penelitian menyatakan bahwa
beberapa bangun di Gereja Kristen Jawa-Baki belum memenuhi standrat bangunan bagi
IDD,hal ini dikarenakan GKJ Baki belum mengetahui secara jelas adanya peraturan
pembangunan untuk kaum IDD.
Kata Kunci : Teologi Disabilitas,arsitektur gereja dan GKJ-Baki, Sukoharjo
1
Gedung Gereja yang Ramah Bagi Insan Dengan Disabilitas:
Kajian Teologis Disabilitas Terhadap Gedung GKJ Baki, Sukoharjo, Solo, Jawa
Tengah
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Setiap warga jemaat berhak untuk mendapatkan aksesbilitas atau penyediaan fasilitas
yang layak didalam gerejanya. Penyediaan fasilitas di dalam gereja ini penting bagi warga
gereja, tidak hanya bagi orang bukan disabilitas tetapi juga bagi Insan Dengan Disabilitas
(IDD).1Dewasa ini, beberapa gereja belum memperhatikan secara detail setiap bangunan dan
akses bagi IDD. Pengamatan ini juga berdasarkan pengalaman dari ibu penulis. Ibu penulis
adalah seorang penderita stroke ringan,ketika beliau ingin menuju gedung gereja untuk
beribadah,beliau harus menaiki anak tangga yang cukup tinggi. Tidak hanya itu,ketika beliau
ingin ke kamar mandi,beliau sangat kesusahan karena kamar mandi yang tidak rancang untuk
IDD,bahkan ketika gereja sedang mengadakan suatu acara beliau mengalami kesulitan untuk
menaiki anak tangga ke lantai 2 (dua). Berdasarkan pengalaman yang dialami, penulis
memberi pendapat bahwa gereja tersebut belum ramah terhadap IDD.
Pemerintah telah mengatur hak-hak IDD dalam undang-undang,tetapi beberapa gereja
belum mengetahui tentang undang-undang ini. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual,mental,dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak.2Penyandang disabilitas juga memiliki hak keagaaman dan diatur dalam pasal ke 14
tentang hak keagamaan untuk penyandang disabilitas meliputi hak. Pertama memeluk agama
dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Keduamemperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan.
Ketigamendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses
1Untuk selanjutnya penulis menggunakan istilah IDD sebagai singkatan dari Insan Dengan Disabilitas. 2Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas”, Pasal I, Ayat 1, Bab 1,
2.
2
berdasarkan kebutuhannya. Keempat mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada
saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Kelimaberperan aktif dalam
organisasi keagamaan.3
Undang-undang tentang penyandang disabilitas dibuat dengan maksud agar
masyarakatIndonesia mulai membangun kepedulian terhadap IDD,dengan mewajibkan setiap
provinsi untuk melaksanakan pengawasan mekanisme terhadap hak-hak disabilitas dan
membentuk Komisi Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas agar setiap IDD yang
berada disetiap provinsi dapat memperjuangkan hak-haknya seperti yang telah diatur dalam
Undang-Undang tentang Hak Penyandang Disabilitas.
Menurut survey yang dilakukan oleh SUSENAS 2012 mendapatkan penduduk
Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%.Berdasarkan data ini penyandang
disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis
keterbatasan,yaitu sebesar 39,97%,diikuti keterbatasan melihat,dan berjalan atau naik
tangga.4Data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) dan kementerian/lembaga lain yang berkepentingan,antara lain Kementerian
Sosial,Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan. Data yang dihasilkan dapat
berbeda karena konsep dan definisi yang berbeda tergantung tujuan dan kebutuhan masing-
masing. BPS mengumpulkan data penyandang disabilitas sejak tahun 1980 melalui kegiatan
sensus dan survei berikut. PertamaSensus Penduduk tahun 1980 dan 2010. KeduaSurvei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1998, 2000, 2002, 2003, 2006, 2009 dan 2012.
KetigaSurvei Potensi Desa tahun 2002 (penyandang disabilitas di panti dan di rumah tangga).
KeempatPendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan 2011.5
Secara umum apa yang dialami oleh IDD dalam masyarakat terjadi juga dalam gereja.
Ignorisasi,marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap IDD yang berada di dalam gereja-gereja di
Indonesia. Bahkan dapat dikatakan gereja adalah salah satu tempat yang selama ini tidak
ramah pada IDD. Dalam sebagian besar komunitas Kristen,IDD adalah orang yang
mengalami bahwa dirinya diasingkan berhubungan dengan ketidaksempurnaan fisik.6Hal ini
menunjukkan bahwa gereja sendiri sudah tidak ramah terhadap IDD. Gereja yang seharusnya
merangkul IDD untuk merasakan hadirat Tuhan dalam kehidupan mereka. Pada
3Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilita”. Pasal 14 , Bab 10 ,14. 4 Kementerian Kesehatan RI, “Situasi Penyandang Disabilitas”, Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan, semester II. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2014, 1. 5 Kementerian Kesehatan RI,“Situasi Penyandang Disabilitas”, 5. 6Yusak B. Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out,(Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2017), 13-14.
3
kenyataannya gereja sendiri yang sudah membuat mereka termarginalisasikan dan
tersingkirkan secara halus. Gereja sudah seharusnya membuka mata mereka untuk
memperhatikan jemaat mereka yang disabilitas. Gereja yang sudah mempelajari tentang
teologi gereja,seharusnya dapat memperhatikan IDD,memenuhi kebutuhan dan
fasilitasnya,ramah terhadap mereka dan juga tidak ada marginalisasi dalam kehidupan
bergereja. Gereja juga harus menyamakan hak untuk beribadah antara jemaat dengan
disabilitas dan jemaat yang normal. Oleh karena itu, gereja yang belum membuktikan
perhatian yang jelas, maka gereja belum dapat memahami arti gereja secara teologis.
IDD adalah manusia ciptaan Tuhan yang seharusnya mempunyai hak yang sama baik
dalam fasilitas publik maupun fasilitas beribadah. Seiring dengan perkembangan waktu dan
berbagai isu baru bermunculan,gereja seharusnya dapat membuka pikiran mereka. Gereja
memberikan wawasan secara luas tentang disabilitas dan mulai memperhatikan secara detail
setiap bangunan dan fasilitas yang ada,terkhususnya bagi IDD.Gereja memberikan hak untuk
beribadah yang nyaman,bukan membuat mereka tersingkirkan,tertolak,termarginalisasikan
secara halus oleh gereja.Hal inilah yang belum penulis lihat di GKJ Baki,khususnya beberapa
arsitektur bangunan. GKJ Baki belum memiliki arsitektur yang ramah terhadap IDD. Penulis
juga melihat bahwa sebagian besar jemaat GKJ Baki adalah lansia maka penulis
menyarankan gereja tersebut dapat membuat bangunan yang lebih ramah terhadap
IDD,sehingga mereka merasa nyaman saat beribadah. Alasan inilah yang membuat penulis
memilih GKJ Baki sebagai tempat penelitan untuk menciptakan arsitektur bangunan gereja
yang ramah bagi IDD. Melalui tulisan ini,penulis ingin melakukan kajian kritis terhadap
aristektur GKJ Baki karena penulis merasa bahwa beberapa arsitektur bangunan GKJ Baki
belum mampu memenuhi akses terhadap IDD. Hal inilah yang menjadi keprihatinan penulis,
sehingga penulis tertarik untuk menuliskan judul:Gedung Gereja yang Ramah Bagi Insan
Dengan Disabilitas:Kajian Teologi Disabilitas terhadap Gedung Gereja GKJ Baki,
Sukoharjo,Jawa Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
Di tengah isu-isu yang beredar dimasyarakat terkhusunya isu tentang
disabilitas,penulis melihat bahwa ada beberapa gereja khususnya di GKJ Baki mempunyai
arsitektur gereja yang belum ramah terhadap IDD. Arsitektur merupakan salah satu
pendukung bagi gereja untuk memberirasa nyaman bagi jemaatnya saat beribadah,termasuk
IDD yang seharusnya merasakan kenyaman saat beribadah. Dalam penelitian ini penulis
4
berfokus kepada arsitektur GKJ Baki. Berdasarkan uraian diatas, penulis bermaksud untuk
mengkaji arsitektur GKJ Bakimelalui kacamata Teologi Disabilitas.
1.3 Tujuan Peneltian, Manfaat Penelitian dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikankajian terhadap arsitektur bangunan GKJ-
Baki melalui kacamata Teologi Disabilitas agar GKJ Baki mampu menjawab kebutuhan IDD
dari segi akses dan juga mampu membuat jemaat lebih peduli terhadap IDD. Penelitian ini
dilakukan dengan harapan bahwa GKJ Baki dapat mengetahui kajian teori teologi disabilitas
secara terperinci dan dapat menciptakan arsitektur gereja yang ramah bagi IDD, mengingat
bahwa IDD juga mempunyai persamaan hak beribadah yang sama dengan mereka yang
bukan IDD.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dan observasi lapangan dan juga menggunakan pendekatan kepustakaan.Dengan
metode ini penulis berusaha untuk menyajikan di lapangan yang akurat dan juga berusaha
untuk menggunakan teori-teori yang sudah ada dari berbagai macam buku dan jurnal .
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari lima bagian, yaitu: bagian pertama berisikan tentang
pendahuluan berupa latar belakang,rumusan masalah,tujuan penelitian,manfaat
penelitian,metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua, kajian teori disabilitas
dan arsitektur gereja. Bagian ketiga, analisa terhadap arsitektur gereja GKJ Baki.Bagian
keempat, kajian teori disabilitas terhadap GKJ Baki. Bagian kelima,penutup berupa
kesimpulan dan saran.
2. Teori Arsitektur Gereja yang Ramah Bagi Insan Dengan Disabilitas (IDD)
Gereja merupakan sebuah bangunan ibadat bagi umat kristiani yang mendukung
kegiatan spritualitas jemaatnya. Berbagai bentuk dan arsitektur gereja dibangun untuk
membuat jemaatnya menjadi nyaman saat beribadah. Seiring dengan perkembangan zaman
banyak sekali isu-isu yang harus dilihat oleh gereja dengan kacamata teologis termasuk isu
tentang disabilitas. Berdasarkan latarbelakang yang telah disebutkan,maka dalam bagian dua
ini penulis menjabarkannya sebagai berikut Pengertian Disabilitas,Teori Teologi
Disabilitas,Pengertian Arsitektur Gereja,Bentuk-Bentuk Arsitektur Gereja, dan Teori
Arsitektur Gereja yang Ramah Bagi IDD.
5
2.1 Disabilitas
Tidak semua manusia diciptakan Tuhan dengan keadaan fisik atau mental yang utuh
dan lengkap. Istilah yang berhubungan dengan keadaan ini disebut difabel,tuna rungu,tuna
daksa,tuna grahita,tuna wicara, cacat keterbelakangan mental. Beberapa contoh istilah ini
diperdebatkan dalam studi-studi disabilitas. Dari beberapa istilah tersebut, kata difabel masih
sering dipergunakan di Indonesia untuk menyebut mereka yang mempunyai fisik yang
berbeda dengan kita. Namun, istilah difabel sendiri sudah tidak dipergunakan dalam studi-
studi disabilitas. Istilah difabel hanya sekedar menunjukkan kepada orang-orang yang
mempunyai “keistimewaan” dibandingkan orang-orang normal. Oleh karena itu, istilah
difabel diganti dengan istilah disabilitas.7
Menurut Cremer, disabilitas merupakan konsekuensi kecacatan, perusakan/pelemahan
yang memungkinkan suatu ketidakmampuan untuk melakukan beberapa tugas atau aktivitas.
(Deborah beth creamer). Kekurangan tersebut menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan
dalam menjalani kehidupan secara pribadi atau bermasyarakat. Hal ini menyebabkan
sebagian dari mereka menjadi rendah diri dalam pergaulan. Pendapat ini juga sama dengan
Hukum Disabilitas di Indonesia mengartikan penyandang disabilitas adalah mereka yang
mempunyai hambatan baik secara fisik, intelektual, mental dan sensorik sehingga mereka
membutuhkan waktu yang lama agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,
sehingga dapat menghalangi keaktifan mereka dalam masyarakat.
Dari berbagai macam isu yang muncul di Indonesia, isu tentang disabilitas adalah
kurang diperhatikan oleh pemerintah. Undang-undang telah dibuat oleh pemerintah agaknya
belum terealisasikan dengan baik sehingga masih banyak IDD yang tidak mendapatkan
kesetaraan terkhusus dalam bidang pekerjaan yang sama dengan mereka yang normal.
Keterbatasan fisik, inteltual, dan juga mental yang membuat IDD belum mendapat perlakuan
yang normal.
2.1.1 Teologi Disabiltas
Salah satu ajaran kekristenan tentang manusia adalah bahwamanusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. Hal ini tentusaja berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi,
pada kenyataannya,manusia cenderung menciptakan kategori dan definisi yang dianggap
berlaku untuk semua. Jika dilihat kembali dalam kitab Kejadian,semua manusia pada
7 Yusak B. Setyawan, Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas: Menuju Hermeneutik Disabilitas, prosiding UKSW, 2.
6
dasarnya sudah memiliki keindahan sejakdiciptakan.Semua yang diciptakan berasal dari
hakikat keindahan, yaitu Allah. Allah melihat bahwa semua yang diciptakan sungguh amat
baik. Keindahan tersebut bukan hasil dari apa yang dilakukan oleh manusia,melainkan
pemberian Allah secara cuma-cuma.Sayangnya manusia jarang memerhatikan keindahan
yangsejati.8Prespektif kekristenan ini sudah sangat dibuktikan di dalam beberapa Injil dan
cerita-cerita alkitab yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Gambaran tersebut berasal dari
Yesus sendiri yang melakukan pengajaran terhadap orang-orang yang termarginalisasi pada
waktu itu.9
Berbagai macam studi telah menjadikan disabilitas sebagai pokok pembahasan yang
harus diketahui oleh orang banyak, khususnya dalam ilmu teologi. Teologi disabilitas
merupakan usaha yang dilakukan orang Kristen disabel (dan non-disabel) terhadap tafsirkan
teks-teks Alkitab dan memahami Allah dengan melihat latar belakang sejarah serta
pengalaman manusia terhadap disabilitas. Dengan demikian, teologi disabilitas memberikan
pandangan baru terhadap makna teologis.10
Teologi disabiltas hadir karena adanya pengalaman manusia dengan IDD. Teologi
disabilitas mengakui bahwa IDD adalah kelompok minoritas, dalam perkembangan ilmu
teologi dan praktIknya bahkan kemungkinan terburuk, yang tidak diperdulikan dalam
pembicaraan teolog-teolog dunia. Teologi disabilitas hadir untuk melampaui ilmu teologia
dengan menghubungkan dengan disabilitas. Oleh karena itu,teologi disabilitas hadir untuk
menjawab permasalahan yang dialami oleh IDD dan lebih melihat dari pengalaman
kekristenan mereka terhadap IDD.
Teologi disabilitas tidak hanya membahas bagaimana pendangan teologi terhadap isu
disabilitas yang berkembang dimasyarakat saat ini, tetapi dalam teologi disabilitas juga dapat
dihubungkan bagunan yang ramah bagi Insan Dengan Disabilitas (IDD). Pentingnya
arsitekture gereja bagi kaum disabilitas adalah salah satu perhatian khusus gereja terhadap
kaum disabilitas. Arsitektur gereja tidak hanya terdiri dari bagunan saja tetapi juga tata liturgi
dari gereja tersebut. Perlunya diperhatikan aristektur gereja bagi IDD berguna untuk
membuat IDD dapat merasakan beribadah yang nyaman pada saat bergereja .
8 Issabella N Sinulingga, “Keindahan Dalam Disablitas”, Indonesian Journal of Theology, (July 2015), 40. 9Hans S. Reinders, “Theology and Disability : What is the question”, dalam Julie Claassens, Leslie Swartz, dan Len Hansen (eds),Searching
for Dignity: Conversations on Human Dignity, Theology and Disability, (Afrika Selatan: Sun Media Stellenbosch,2013),33. 10 Setyawan, Teologi Disabilitas, 28.
7
2.2 Arsitektur Gereja
Arsitektur gereja adalah salah satu hal yang sangat penting dalam membuat bangunan
sebuah gereja indah dan juga melambangkan kenyaman dalam beribadah tanpa adanya sekat
pembeda antara jemaat yang normal dan IDD.
2.2.1 Pengertian Arsitektur Gereja
Seorang arsitek membangun sebuah bangunan, baik itu fasilitas publik maupun
tempat ibadah, membangun dengan menggunakan rancangan bangunan dan menggunakan
cara-cara yang khas dalam mengatur tata ruang dan bentuk bangunan. Bangunan juga
merupakan salah satu bentuk kesenian suatu kebudayaan yang dapat menggambarkan suatu
sistem sosial dalam masyarakat tertentu. Arsitektur dan kebudayaan asal masyarakat tertentu
dapat menjadi alat dalam mengkomunikasikan makna dari setiap arsitektur bangunan yang
bersangkutan dengan nilai-nilai budaya masyarakat tertentu.
Berdasar teori arsitektur, bangunan (building) diartikan sebagai objek yang
menegaskan dan menyertakan ruang. Bentuk, ukuran, ciri, dan lokasi bangunan dipandang
sebagai penanda yang mengacu pada sebuah lingkup makna yang spesifik pada suatu budaya.
Bangunan yang dibuat oleh seorang arsitek akan dipahami maknanya dengan cara
berkomunikasi sehingga diperlukan semiotika untuk menghubungkan sign dengan meaning.11
Arsitektur datang dari bahasa Yunani: archedan tektoon. Arche berarti asli, yang utama, yang
awal, sedangkan tektoon menunjukkan pada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil,
dan sebagainya.12
Arsitektur tidak hanya berbicara mengenai fasilitas publik saja, tetapi
tempat ibadah seperti gereja. Gereja dibangun juga berdasarkan rancangan-rancangan arsitek
dengan mengacu kepada tata letak ruangan dan bangunan agar dapat memberikan makna bagi
setiap jemaat yang beribadah.
“Gereja” berasal dari kata igreja (bahasa Portugis),yang berarti „kumpulan‟ atau
„pertemuan‟,„rapat‟. Namun, kumpulan yang dimaksud bukan sembarang kumpulan,
melainkan kumpulan atau kelompok orang yang sangat khusus. Kata igreja adalah kata yang
dipakai untuk menerjemahkan kata bahasa latin, ecclesia, atau bahasa Yunani, ekklesia.
Dalam nuansa pengertian Yunani, ekklesia,mengandung arti „memanggil‟, Jadi Gereja adalah
11 Trifena Wijaya, “Representasi Spiritualitas Kristen Pada Arsitektur Gereja Krsiten Indonesia Pregolan Bunder Surabaya”, Commoline
Departement Komunikasi Vol. 3/ No. 02, 2014, 332. 12 Trifena,“Representasi Spiritualitas Kristen”, 328.
8
kumpulan yang dipanggil oleh Tuhan secara khusus.13
Dari penjelasan tentang pengertian
arsitektur dan pengertian gereja, arsitektur gereja adalah sebuah bangunan yang kokoh yang
didalamnya terdapat sekumpulan orang-orang percaya yang dipanggil Tuhan secara khusus
untuk merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu
rancangan dari arsitektur gereja harus melihat aspek teologis dan fisiknya.
2.2.2 Bentuk-Bentuk arsitektur Gereja
Pertama adalah bentuk Basilika yaitu gedung pengadilan, rapat dan pasar dianggap
cocok sebagai gereja (Gereja Lateran, Roma abad ke-4).Altar ditempatkan di apsis.Kedua
adalah bentuk Romanik (Sejak abad ke- 6).Kekhasan gaya ini adalah lengkungan dan langit-
langit seperti tong yang dipotong panjang untuk menggantikan langit-langit datar dari kayu
yang sering kebakaran. Gereja romanik tampak kokoh–kuat dan kadang dengan menara-
menara massif bagaikan benteng. Denah dasarnya berbentuk salib.Ketiga adalah bentuk
Gotik yang lebih ringan dan tinggi.Unsur-unsur khasnya adalah lengkungan lancip,arched
and flying buttresses,ribted vaults,rossete,tembok luar tinggi namun ringan dengan jendela
besar yang berkaca pateri.Keempat adalah bentuk re-naissance (kelahiran kembali;1420-
1530). Kekhususan gaya ini adalah tekanan pada simetri dan proporsi,yang di tampakan
adalah dalam dereta sejumlah pilar sejenis,menggunakan bentuk dasar lingkaran,persegi
empat,bola dan silinder. Tembok,pilar dan langit-langit disusun secara simetris. Tampak
muka (fasade) biasanya sangat dekoratif bahkan mewah dan menampakkan kekhasan arsitek-
arsitek termasyur.14
Bentuk-bentuk arsitektur gereja yang beragam di zaman dahulu membuat setiap
bangunan dan detail bagunan gereja mempunyai makna dan ciri khasnya masing-masing dan
gereja sendiri tidak lupa akan makna gereja itu sendiri.
2.3 Arsitektur Gereja yang ramah bagi IDD dari prespektif Teologi Disabilitas
Gereja merupakan sebuah simbol jemaat atau umat kristiani yang berhimpun menjadi
satu bagian untuk mencari hadirat Tuhan dalam kehidupan mereka masing-masing. Gereja
dibangun dengan berbagai gaya atau bentuk arsitektur yang dapat mendukung berjalannya
ibadah dan membuat rasa nyaman bagi jemaatnya. Gereja merupakan bagian dari umat
13 W.R.F. Browning, Kamus Alkitab,(Jakarta: BPK Gunung Mulia,2013),118. 14 A. Heuken, “Arsitektur Gereja dan Liturgi”, dalam Yusak Soleiman, H. Ongirwalu, dan Danang Kurniawan (eds), Prosiding Studi
Institusi : Arsitektur dan Liturgi Gereja, (Jakarta: PERSETIA, 2015), 134-136.
9
kristiani yang tidak dapat dipisahkan dan satu tempat dimana orang kristiani bertumbuh di
dalam iman serta mengenal ajaran Kristus.
Di dalam gereja tidak hanya jemaat atau pendetanyasaja yang dapat diteliti,tetapi
bangunan itu sendiri. Bangunan yang nyaman dan baik akan menimbulkan kenyamanan bagi
jemaat sendiri. Jemaat juga termasuk unsur penting dalam kehidupan bergereja,tanpa adanya
jemaat,gereja tidak dapat berkembang dan menjalankan misi tugas dan panggilan
pelayanannya keluar gereja. Oleh karena itu, gereja dibangun untuk menumbuhkan iman dari
jemaat kristiani di mana pun mereka berada. Gereja dibangun, di tengah masyarakat
Indonesia, agar masyarakat Indonesia dapat merasakan kemuliaan Tuhan dan merasakan
hadirat Tuhan tanpa membedakan status sosial maupun segi fisik seseorang.
Gereja hadir untuk menyatakan kasih dan kemuliaan Tuhan sehingga bagi orang
yang beribadah di gereja dapat merasakan imannya bertumbuh di dalam gereja tanpa adanya
sebuah pengecualian. Gereja yang hidup ditengah-tengah jemaat tanpa adanya pengecualian
harus memberikan kenyaman yang dihadirkan oleh gereja. Oleh karena itu, gereja harus
memperhatikan arsitektur gereja yang ramah IDD. Dalam Undang-Undang No.8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas sudah tertulis dengan jelas bahwa fasilitas publik harus
memenuhi strandrat untuk IDD yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sama halnya dengan
fasilitas publik, gereja juga menyadari akan hal tersebut baik secara arsitekturnya. Mengacu
kepada pemikiran Rahner, gereja seharusnya memberikan kenyamanan bagi semua jemaat,
sehingga tidak ada pembanding atau marginalisasi dalam kehidupan berjemaat dan bergereja.
Penting bagi gereja untuk memperhatikan arsitektur bangunannya sehingga akses IDD
menuju gereja dan kenyaman beribadah dapat mereka rasakan.
Arsitektur gereja yang ramah bagi IDD sangat dibutuhkan agar mereka merasa
kenyamanan dalam mengikuti ibadah di dalam gereja. Tidak hanya arsitektur saja, tetapi
juga tata liturgi didalam gereja juga harus diperhatikan oleh gereja. Melihat dan mengacu
kepada teori diatas,arsitektur gereja yang ramah bagi IDD harus membuat bangunan yang
mudah di akses. Seperti contohnya adalah ketika memasuki gedung utama gereja dapat
dibuat seperti layaknya prosotan dan juga anak tangga sehingga apabila ada jemaat yang
menggunakan kursi roda dapat menuju tempat utama gereja dengan nyaman. Gereja juga
harus memperhatikan bagian-bagian kecil di gereja, misalnya adalah kamar kecil. Kamar
kecil yang baik bagi para IDD adalah di tembok kamar kecil dibuatkan pegangan yang
terbuat dari besi untuk membantu mereka duduk pada saat merasa ingin buang air kecil
10
sehingga kenyamanan tersebut dapat di perhatikan dan menjauhkan IDD dari kecelakaan
kecil yang tidak diinginkan. Tangga menuju ruang ibadah utama dapat dibangun tangga
seluncur atau ramp untuk mempermudah akses bagi jemaat yang menggunkan kursi roda
atau tongkat. Tempat duduk jemaat juga dapat diatur sedemikian rupa agar IDD dapat duduk
dengan nyaman.
Kenyamanan beribadah adalah salah satu nilai tambah bagi sebuah gereja, ketika
gereja tersebut dapat menghadirkan bangunan ramah bagi semua kalangan baik mereka
yang normal dan bagi mereka yang IDD. Mengacu kepada pemikiran Rahner, yang
mengatakan konsep gereja adalah setara, sebagai poros untuk gereja pada saat ini. Gereja
yang setara adalah gereja yang tidak memberikan sekat kepada jemaatnya, terlebih
bangunannya. Gereja yang tanpa sekat membuat jemaat khususnya IDD merasa bahwa
mereka dilayani gereja untuk masuk merasakan lawatan dan kasih Tuhan. Gereja yang
seperti itu sangat dibutuhkan dewasa ini, sekat-sekat pembeda yang dapat memarginalkan
IDD, mau pun secara halus, seharusnya dapat disingkirkan, dan tidak hanya itu saja gereja
juga harus membuang presepsi bahwa IDD adalah orang yang berdosa atau akibat dari dosa,
karena IDD sama seperti manusia normal lain yang diciptakan Allah.
Gereja dewasa ini juga harus mengetahui bahwa panggilan utama gereja adalah
mendampingi dan membangun kembali semangat serta harga diri mereka,bukan menganggap
mereka (IDD) sebagai beban yang merepotkan.Barangkali gereja dapat melakukannya secara
tidak langsung dengan membangun iklim kekeluargaan di lingkungan gedung gereja. Hal ini
hanya dapat berjalan kalau memang kita bersedia mempertimbangkan kembali arsitektur
gereja. Arsitektur gereja harus memberi kesan terbuka bukan memalingkan diri serta menutup
diri dari dunia.15
Arsitektur gereja tidak hanya merefleksikancara orang-orang Kristen
beribadah,namunarsitektur membentuk kenyamanan saat beribadah. Arsitektur merefleksikan
ibadah Kristen dengan memberikan tata ruang dan naungan yang diperlukan suatu komunitas
untuk melaksanakan ibadahnya bersama-sama.16
Marjinalisasi IDD dalam akses pelayanan publik termasuk di dalamnya
fasilitassekolah, lalu lintas,rumah sakit,keagamaan,dan hiburan.Seluruh bangunan yang
dibuatpada fasilitas publik secara sadar atau tidak sadar meng-exclude IDD bahkan ketika
dalamtahap rancang bangun arsitektural. Manusia membangun bangunan-bangunan,tetapi
setelah itu bangunan membentuk manusia,dan itu benar,maka bangunan-bangunan yang telah
15 E. Gerrit Singgih, Mengatasi Masa Depan : Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),69. 16 James F. White, Pengatar Ibadah Krsiten, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2009),78.
11
diciptakan untuk kepentingan orang “normal”telah membentuk “kenormalan” dan sekaligus
memarjinalisasikan mereka dengan disabilitas. Bahkan bangunan-bangunantempat yang
paling suci telah mejadi tempat yang paling memarjinalisasikan danmendiskriminasikan
IDD.17
Teologi Disabilitas merupakan ajaran yang sangat penting bagi kekristenan di zaman
sekarang. Disabilitas yang selalu dihubungkan dengan dosa adalah salah satu paradigma yang
harus dipatahkan oleh gereja zaman sekarang. Tubuh kristus yang hadir sebagai IDD ketika
mati diatas kayu salib adalah salah satu bentuk pandangan yang bisa dilihat secara kasat mata
tentang disabilitas. Teologi disabilitas tidak hanya berhubungan dengan tubuh dan dosa tetapi
juga dapat berhubungan dengan gereja. Gereja dewasa ini seharusnya dapat melihat isu
tentang disabilitas sebagai hal yang sangat penting bagi gereja. Gereja yang belum
memperhatikan isu tentang disabilitas atau bagunannya yang belum ramah dengan IDD,maka
gereja tersebut belum ramah terhadap IDD. Bangunan gereja yang ramah bagi IDD adalah
salah satu aksesbilitas yang harus dipikirkan oleh gereja matang-matang,sehingga warga
jemaat yang tergolong IDD dapat merasa nyaman beribadah di gereja. Gereja harus mulai
membuka mata lebar-lebar dan mengubah pemikiran yang masih kolot sehingga gereja
tersebut bisa menjadi gereja yang ramah bagi IDD dan tidak ada lagi sekat dan merginalisasi
yang sangat jelas,baik dari segi bangunannya maupun jemaatnya,sehingga IDD dapat
diterima dan merasakan kasih Tuhan dalam kehidupan mereka masing-masing.
3. Hasil Penelitian Terhadap Arsitektur GKJ – Baki , Solo
Bagian 3 (tiga) berisikan hasil penelitian terhadap arsitektur GKJ Baki,Solo.Penulis
jabarkan sebagai berikut tinjauan historis GKJ Baki, hasil penelitian terhadap arsitektur GKJ
Baki, dan evaluasi terhadap arsitektur GKJ Baki bagi IDD.
3.1 Tinjaun Historis GKJ –Baki, Sukoharjo
Sebelum tahun 1925 di wiliayah kecamatan Baki sudah ada keluarga Kristen
kerasulan kurang lebih 10 KK. Hasil pekabaran injil Kyai Sadrach Sura Pranata, yang
berpusat di Desa Karang Jasa, Kutoarjo, Purworejo. Kyai Sadrach menerima baptisan kurang
lebih tahun 1860. Oleh karena itu,keaktifannya memberitakan Injil di desanya dibangun
sebuah gereja yang menjadi pusat gereja kerasulan di wilayah Jawa Tengah pada waktu itu.
Perkembangan Kristen kerasulan sampai di wilayah Baki,di Desa Teplok dan Ngluyu daerah
17 Yusak, Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas,15.
12
Kelurahan Mancasan, Kecamatan Baki dan pada saat itu sudah dapat diadakan kebaktian
sendiri bertempat didaerah Teplok, Kel. Mancasan-Baki.
Pada tahun 1925 seorang guru sekolah rakyat Kristen pindahan dari daerah
Karangdowo, Pedam, Klaten yang bernama S. Reksowiyoto, kepala Standrad Kristen Subsidi
Kalitengah Karangdowo datang ke Baki. Pada tanggal 6 Januari 1925 mulai membuka
sekolah rakyat Kristen di wilayah Kec. Baki yang pada waktu di menggunakan gedung kecil
di Baki yang sekarang menjadi ruang Elisabet. Pada tahun 1926 dan tahun 1927 wilayah Baki
menerima baptisan untuk pertama kalinya. Ada 2 orang yang menerima baptisan di wilayah
Baki pada saat itu bernama Wongsotaruno dan orang Tiong Hwa yang bernama Tan Kiem
Sien.
Pada tahun 1936, sepuluh kepala keluarga Kristen kerasulan sebagian
menggabungkan diri dengan warga Gereja Kristen Jawa, yang induknya pada saat itu di GKJ
Joyodiningratan. Karena berkat Tuhan, Injil yang terbesar di wilayah Baki melalui sekolah
Kristen, ternyata tumbuh kelompok orang-orang Kristen. Tahun 1937 di Baki adanya ibadah
minggu yang bertempat di gedung sekolah rakyat Kristen di Baki. Pada tahun 1953 GKJ
Joyodiningratan menerima tenaga guru injil bernama Supomo Notosoedarmo yang
ditempatkan mengasuh pepanthan di Baki.Pada akhirnya, tahun 1957 pepanthan di Baki
dengan usaha dari semua warga sudah dapat membangun gereja berukuran lebar 7 meter dan
panjang 14 meter diatas tanah bekas Sekolah Kristen di Baki (yang sekarang menjadi ruang
Elisabet). Pada tanggal 9 April 1963 pepanthan Baki di dewasakan oleh gereja induk
Joyodiningratan menjadi gereja dewasa bernama Gereja Kristen Jawa-Baki,Sukoharjo.Pada
saat ini GKJ – Baki,Sukoharjo sudah membagi 2 pepanthan yaitu pepanthan Daleman dan
pepanthan Kingkang.
Gedung yang lama di GKJ Baki yang sekarang bernama gedung Magdalena
digunakan sebagai gedung serbaguna oleh GKJ Baki. Gedung Magdalena (gereja lama) di
bangun tahun 1957, seiring dengan perkembangan jemaat yang semakin banyak akhirnya
GKJ Baki membangun gedung gereja yang baru untuk menampung jemaat lebih banyak lagi.
Gedung Gereja yang baru dibangun pada tahun 1985. Gedung gereja baru di bangun 2
tingkat. Tingkat yang pertama berisikan tempat duduk jemaat, mimbar, tempat pemain musik
dan juga tempat duduk majelis. Sedangkan tingkat 2 berisikan beberapa temapat duduk
jemaat dan juga control panel dari setiap soundsystem music yang ada.
13
Sejarah berdiri GKJ Baki ini tidak dalam masa perkembangan teologi disabilitas.
Inilah yang menyebabkan arsitektur GKJ Baki belum memperhatikan arsitektur gereja yang
ramah IDD. Pembangunan gereja awal belum memperhatikan jemaat yang disabilitas.
Bangunan awal ini memberikan kesulitan bagi GKJ Baki untuk merubah arsitektur bangunan
yang ramah IDD. Renovasi arsitektur beberapa bangunan dapat memberi akibat, yaitu
mengurangi nilai sejarah dari GKJ Baki tersebut. Selain itu juga, gereja memerlukan biaya
yang cukup besar untuk mendirikan bangunan baru yang ramah dengan IDD.
3.2 Hasil Penelitian Terhadap Arsitektur GKJ Bakiyang Ramah Bagi IDD18
Disabilitas adalah orang-orang yang membutuhkan bantuin orang lain.IDD adalah
ciptaan Tuhan yang seharusnya mempunyai hak yang sama dengan mereka yang normal.
Kesetaraan itu seharusnya ada di setiap gereja tanpa adanya sekat pembeda.GKJ Baki
nampaknya belum menerapkan kesetaraan tersebut dalam hal bergereja dan belum peka
terhadap isu-isu terbaru yang berkembang masyarakat,termasuk isu tentang disabilitas. Hal
ini disebabkan karena pada saat GKJ Baki dibangun belum berkembang isu tentang
disabilitas. Isu disabilitas sendiri baru masuk ke Indonesia tahun 1996, sedangkan bangunan
GKJ Baki dibangun sebelum tahun 1996, sehingga ada beberapa hal yang GKJ Baki belum
terapkan dan belum memahami dengan baik tentang isu disabilitas. Seiring dengan
berjalannya waktu GKJ Baki mencoba untuk merenovasi beberapa bangunannya agar
menjadi gereja yang ramah bagi IDD.
GKJ Baki belum mengetahui tentang adanya kententuan bangunan untuk
disabilitas,sehingga arsitektur bangunan GKJ Baki belum terlalu ramah,meskipun beberapa
waktu belakangan ini sudah di bangun jalur untuk kursi roda,tetapi ada beberapa bangunan
yang belum ramah bagi IDD. Pemikiran yang belum terbuka dengan isu-isu terbaru yang
berkembang di masyarakat pada saat ini termasuk isu tentang disabilitas,membuat GKJ Baki
dapat dikatakan belum terlalu peka sehingga bentuk bangunan atau fasilitas untuk disabilitas
belum tersedia secara lengkap. Bangunan seperti kamar kecil,marka atau tanda untuk mereka
yang tunanetra dan sarana lain bagi IDD belum terlihat dengan jelas.
Penyuluhan atau seminar kecil yang dilakukan oleh beberapa lembaga setempat yang
menanganni disabilitas juga diperlukan oleh GKJ- Baki yang jemaatnya kebanyakan adalah
lansia sehingga pikiran yang masih kolot agaknya dapat diubah menjadi peka terhadap isu
18 Berdasarkan hasil wawancara dengan Mbak Ann tanggal 07 Oktober 2017, Bapak Totok Sumakno tanggal 15 Oktober 2017,dan Pdt.
Lukas Prihantoko tanggal 16 Oktober 2017.
14
yang berkembang di masyarakat. Dilihat dari segi keuangan gereja,GKJ Baki mampu untuk
merombak bangunan sesuai standratisasi untuk disabilitas,tetapi belum banyak jemaat IDD
sehingga gereja belum terlalu perlu untuk merombak bangunan tersebut.
GKJ Baki yang dibangun pada tahun 80-an dan juga jemaat yang lansia dan berfikiran
masih terlalun keras,membuatGKJ Baki agak susah untuk membuat bangunan atau aristektur
yang ramah bagi IDD. Pihak Sinode GKJ sendiri belum melakukan penyuluhan tentang
strandratisasi di GKJ Baki dan juga banyak jemaat yang belum mengetahui arti disabilitas
sebernarnya. Jemaat GKJ Baki belum terlalu banyak yang mengalami disabilitas dan juga
belum banyak yang membutuhkan aristektur gereja yang ramah bagi IDD,sehingga belum
diperlukan asritektur gereja yang ramah bagi IDD.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis,penulis mencoba
menyimpulkan bahwa GKJ Baki belum memerlukan bangunan gereja yang ramah bagi
IDD,karena belum adanya kebutuhan yang mecolok terhadap IDD. GKJ Baki juga masih
mempunyai program lain yang lebih terlihat secara jelas kebutuhannya,penulis juga perlu
menyadari bahwa, pada saat GKJ Baki dibangun, isu tentang disabilitas belum terdengar di
Indonesia bahkan belum terdengar di dunia, hal inilah yang menyebabkan bangunan GKJ
Bakibelum terlalu ramah terhadap IDD.Penulis juga menyimpulkan bahwa GKJ Baki belum
dapat membuka dengan luas pemikiran mereka terkait isu tentang disabilitas dan belum
merasa perlu untuk merenovasi beberapa bangunan gedung gereja agar terlihat lebuh ramah
terhadap IDD karena kebutuhan akses bagi IDD di GKJ Baki belum terlihat dengan jelas.
GKJ Baki belum sepenuhnya mengetahui apa yang dibenar-benar dibutuhkan oleh
jemaat terkhusus bagi IDD. Berdasarkan hasil observasi,penulis melihat bahwa banyak lansia
yang sudah menggunakan tongkat sehingga mereka agak kesulitan untuk menaiki anak
tangga dan membutuhkan bantuan orang lain,termasuk ibu dari penulis yang menderita stroke
ringan. Melihat sebagian besar jemaat GKJ Baki adalah lansia dan sudah lemah secara
fisik,akan sulit bagi mereka untuk mengakses baik itu kamar kecil ataupun tangga jika gereja
tidak segara merahamahkan bangunannya bagi IDD,pada akhirnya banyak jemaat yang
sangat rajin menghilang satu persatu dikarenakan akses yang ada di GKJ Baki belum
mendukung, juga fasilitas yang ada belum memadai.19
Tidak hanya itu saja penulis juga
melihat bagaimana hubungan relasi yang terjalin antara jemaat dan pendeta yang berakibat
19 Berdasarkan oberservasi penulis tanggal 22 Oktober 2017 pukul 18.00-21.00 WIB.
15
pendeta belum mengetahui secara keseluruhan kebutuhan jemaat di GKJ Baki,termasuk
jemaat IDD.
3.3 Evaluasi Terhadap Arsitektur GKJ Baki Yang Ramah Bagi IDD
Berdasarkan Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tentang
Persyaratan Teknis Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, ada 4 asas
aksesbilitas pada bangunan yang ramah bagi insan dengan disabilitas. Pertama kemudahan
yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam
suatu lingkungan.Kedua kegunaan yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua
tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.Ketiga keselamatan,
yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus
memperhatikan keselamatan bagi semua orang.Keempat kemandirian, yaitu setiap orang
harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat
umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Setelah melakukan penelitian lapangan dengan pengumpulan data melalui
wawancara, penulis memberikan evaluasi terhadap arsitektur GKJ Baki dapat menyesuaikan
dengan 4 asas aksesbilitas dan Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468
Tahun 1998 Tentang Persyaratan Teknis Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan
Lingkungan, sebagai berikut:
3.3.1 Tangga
Fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan
ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai.20
Standratisasi ini dapat digunakan oleh GKJ Baki dalam membangun tangga untuk
menuju lantai 2 pada gedung gereja baru,denganukuran penerapan dan detail standart
sebagai berikut :
20
Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan,47.
16
21
3.3.2 Akses menuju tempat duduk jemaat
Akses menuju tempat duduk jemaat dapat menggunakan tekstur ubin pemandu
sesuai dengan Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun
1998 Tentang Persyaratan Teknis Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan
21
Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan,47-50.
17
Lingkungan. GKJ Baki dapat memanfaatkan ubin bermotif garis-garis dan juga ubin
peringatan untuk membantu jemaat dalam keadaan tuna netra dapat sampai di tempat
duduk jemaat, yang diatur sebagai berikut :
22 23
3.3.3 Akses menuju mibar
Bangun gereja yang ramah untuk IDD juga harus dapat mempehatikan akses
menuju mimbar.Akses harus diperhatikan oleh gereja yang ramah bagi IDD. Akses ini
dibutuhkan agar mereka pelayan Tuhan yang bertugas dapat merasa nyaman dan
aman. Akses menuju mimbar ini dapat dibuatkan Ramp. Ramp adalah jalur sirkulasi
yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang
tidak dapat menggunakan tangga. Ramp ini dapat menjadi rekomendasi pembuatan
akses yang ramah menuju mibar di GKJ Baki,dengan kemiringan sebagai berikut:
22
Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan,30. 23
18
24
3.3.4 Akses menuju Konsistori dan kantor gereja
Konsistori adalah sebuah ruangan tempat majelis jemaat berkumpul ataupun
rapat untuk mengambil sebuah keputusan.25
Akses menuju konsistori bagi IDD
sangatlah penting untuk membangun arsitektur gereja yang ramah bagi IDD. GKJ
Baki dapat menggunakan Ramp dalam membuat akses menuju konsistori, dengan
ketentuan sebagai berikut :
24
Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan ,43. 25 F.D.Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),127.
19
26
3.3.5 Akses menuju Gedung Magdalena (gedung gereja lama)
Gedung Magdalena adalah gedung gereja lama yang berada di GKJ Baki. Gedung
ini beralih fungsi sebagai gedung serbaguna yang biasanya digunakan persekutuan setiap
komisi yang ada di GKJ Baki. Akses yang mau penulis utarakan untuk gedung ini sama
halnya dengan akses menuju konsistori. Dimana anak tangga yang menuju Gedung
Magdalena dapat menggunakan ramp sebagai alternatif agar IDD dapat dengan mudah
menuju gedung tersebut.
26 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan ,44-45.
20
27
3.3.6 Kamar Kecil
Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa terkecuali penyandang
cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya,dengan
ketentuan sebagai berikut:
27 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan ,42.
21
28
29
3.3.7 Area Parkir
Area parkir adalah tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh penyandang
cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda,
daripada tempat parkir yang biasa. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan
penumpang (Passenger Loading Zones) adalah tempat bagi semua penumpang,
termasuk penyandang cacat, untuk naik atau turun dari kendaraan,dengan ketentuan
sebagai berikut 30
:
28 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan ,58-59. 29 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan Gedung dan Linkungan ,60. 30 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan
Gedung dan Linkungan ,31.
22
31
Menurut penulis yang dikuatkan dengan hasil observasi,bagunan tangga,area parkir,
kamar kecil, akses menuju tempat duduk jemaat ,akses menuju mimbar, akses menuju
gedung utama gereja, akses menuju ruang konsistori dan kantor, dan akses menuju ruang
Magdalena di GKJ Baki disarankan dapat dibangun atau di renovasi sesuai dengan Keputusan
Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no.468 Tahun 1998 Tentang Persyaratan Teknis
Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan.GKJ Baki seharusnya tidak perlu
menunggu pihak sinode GKJ,pemerintah terkhusunya bagian HAM, dan lembaga-lembaga
sosial setempat untuk melakukan penyuluhan tentang disabilitas,tetapi GKJ Baki seharusnya
memiliki kesadaran terhadap kebutuha jemaat, terkhusus bagi IDD mengingat bahwa
31 Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tahun 1998Tentang Pedoman Teknis dan Aksesbilitas Pada Bangunan Gedung dan Linkungan 8,34.
23
sebagaian besar jemaat GKJ Baki adalah lansia, sehingga bangunan gedung GKJ Baki dapat
dikatakan ramah terhadap IDD.
4. Kajian Kritis dari Prespektif Teologi Disabilitas Terhadap Arsitektur GKJ Baki
Disabilitas merupakan kondisi dimana seseorang mempunyai keterbatasan dalam
melakukan aktifitas. Disabilitas bukan merupakan kecacatan semata namun merupakan hasil
interaksi dari keterbatasan yang dialami seseorang dengan lingkungannya, bukan hanya fisik
atau jiwa, namun merupakan fenomena multi dimensi yang terdiri dari fungsi tubuh,
keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi dan faktor lingkungan. Disabilitas tidak hanya
sekedear isu yang harus di perhatikan oleh lapisan masyarakat dan pemerintah, tetapi ranah
pendidikan sudah mulai menyinggung tentang disabilitas salah satunya adalah teologi.
Teologi Disabilitas mencoba hadir di tengah-tengah kehidupan bergereja bertujuan untuk
membuat gereja-gereja lebih memperdulikan IDD.
Seiring dengan perkembangan zaman,gereja seharusnya dapat melihat isu-isu kecil
seperti contohnya tentang disabilitas sebagai bentuk keperdulian mereka terhadap IDD.Gereja
yang hidup dengan berbagai ras,sifat dan sikap seharusnya dapat menunjukkan kepada jemaat
bagaimana gereja sudah perduli terhadap IDD,meskipun jemaatnya banyak yang belum
tergolong IDD. Dalam hal ini teologi disabilitas berperang penting untuk dapat memberikan
pemahaman tentang bagaimana kekristenan memandang disablitas tidak hanya dari injil
saja,tetapi melihat pengalaman orang yang non-disabilitas bersama dengan IDD. Teologi
disabilitas juga mencoba menawarkan usaha untuk membangun sebuah gereja yang ramah
bagi IDD.
GKJ Baki adalah salah satu gereja di klasis Sukoharjo yang belum melihat isu
disabilitas sebagai salah satu isu yang penting untuk dibahas di gereja. Hal ini terlihat dari
beberapa bangunan GKJ Baki yang belum ramah terhadap IDD. Apabila menilik dari konsep
gereja menurut Rahner yang mengatakan gereja tidak boleh memiliki sekat atau perbedaan
yang jelas di dalamnya, GKJ Baki belum memperlihatkan hal tersebut. Sekat-sekat kecil
tersebut masih terlihat, tidak hanya beberapa bentuk bangunannya yang tidak ramah dengan
IDD, tetapi juga keperdulian jemaat khususnya pendeta dan majelis terhadap kebutuhan
jemaat yang masih sangat kurang. Esensi kebutuhan terhadap IDD belum dibutuhkan di GKJ
Baki, sehingga beberapa bangunan belum ramah terhadap IDD.
24
Arsitektur yang ramah bagi IDD adalah sebuah arsitektur yang dapat membuat IDD
nyaman beribadah dan juga membuat IDD merasa tidak termarginalisasi dengan halus.
Merenovasi beberapa bangunan di GKJ Baki adalah salah satu cara agar GKJ Baki dapat
memaknai pengalaman kemanusiaan yang beragam terhadap disabilitas. Dewasa ini gereja
tidak hanya menganggap batas kenormalan yang terletak pada non-IDD saja yang dapat
mengikuti ibadah atau kegiatan bergereja lainnya, tetapi gereja juga harus menyentuh batas
“ketidaknormalan” tersebut menjadi suatu hal yang dapat membuat IDD menjadi merasa
nyaman saat bergereja dan beribadah. Kenyamaan beribadah dan bergereja itu ada, ketika
gereja benar-benar mengetahui secara jelas apa yang dibutuhkan oleh jemaatnya dan hal-hal
seperti ini yang sering dianggap remeh oleh gereja. Esensi kebutuhan terhadap IDD di gereja
terkadang menjadi hambatan gereja tersebut dalam menyediakan fasilitas dan akses yang
ramah bagi IDD. Pemahaman jemaat tentang disabilitas yang sering di hubungkan dengan
dosa adalah salah satu paradigma yang harus di ubah oleh GKJ Baki, budaya yang kuat
mempengeruhi pemikiran yang sempit dan tidak dapat berkembang.
GKJ-Baki belum melihat arsitektur gereja yang mereka bangun dari kacamata teologi
disabilitas. Jemaat yang notabene adalah lansia, membuat GKJ Baki harus dapat memikirkan
atau mulai merombak beberapa bangunan dan menyediakan aksesbilitas bagi IDD sehingga
sekat pembeda di dalam gereja sudah tidak ada lagi. GKJ Baki seharusnya lebih dapat
membuka pikiran mereka terhadap isu disabilitas. Esensi kebutuhan yang katanya dianggap
belum dibutuhkan membuat GKJ Baki seolah-olah tidak memperdulikan mereka yang IDD
dan seolah-olah tidak mau membuka mata mereka untuk melihat sekeliling mereka bahwa
para lansia butuh aksesbilitas tersebut. Standratisasi yang sudah diatur dalam Keputusan
Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tentang Persyaratan Teknis Aksesbilitas
Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, seharusnya dapat menyadarkan mereka betapa
pentingnya arsitektur yang ramah terhadap IDD.
Esensi kebutuhan yang selalu menjadi tolak ukur GKJ Baki, membuat IDD yang
sangat rajin dahulu beribadah, kini jarang mengikuti ibadah karena keluhan akses yang susah.
Tidak hanya soal kebutuhan saja, tetapi relasi juga menjadi permasalahn di GKJ Baki. Relasi
yang terjalin antara pendeta dengan jemaat sangatlah kurang. Relasi adalah salah satu kunci
bagaimana sebuah gereja bisa hidup tanpa ada perbedaan yang signifikan didalamnya. Hal
inilah membuat GKJ Baki belum dapat menjawab kebutuhan jemaat, khususnya IDD.
25
Penulis juga melihat faktor lain yang membuat gedung GKJ-Baki belum ramah
terhadap IDD. Faktor itu adalah relasi. Relasi adalah salah satu pondasi yang sangat penting
dalam kehidupan bergereja. Relasi juga membuat hubungan antar jemaat menjadi lebih baik.
Pada realitas yang ada, penulis melihat belum adanya kekuatan relasi yang dibangun oleh
GKJ-Baki. Relasi yang terjalin antara jemaat dengan jemaat,dengan pendeta dan majelis
belum terlalu baik. Relasi yang kurang baik ini menimbulkan kehidupan bergereja yang tidak
baik. Contohnya adalah relasi jemaat dengan pendeta. Pendeta yang kurang aktif
mengunjungi jemaat, membuat relasi tersebut agak regang. Pendeta seharusnya dapat lebih
dekat dengan jemaat untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan, khususnya bagi IDD.
Inilah yang salah satu faktor lain yang membuat arsitektur GKJ-Baki belum ramah terhadap
IDD dan program-program lain yang direncanakan oleh gereja.
Faktor yang lain adalah faktor pembangunan gereja,yang penulis akui bahwa GKJ-
Baki dibangun sebelum isu tentang disabilitas,maka dari itu arsitektur GKJ-Baki belum
terlalu ramah terhadap IDD. Seiring dengan perkembangan waktu,seharusnya GKJ-Baki
dapat meresakan kebutuhan jemaat lebih dalam lagi,khusunya bagi IDD. Arsitektur gereja
yang belum mendukung bagi IDD membuat GKJ Baki belum dapat memaknai tujuan utama
dari teologi disabilitas itu.Pendeta dan majelis yang sudah mengetahui tentang disabilitas dan
belajar hakikat gereja, seharusnya dapat membuka mata dan pikiran mereka untuk dapat lebih
ramah dengan IDD ataupun GKJ Baki dapat melihat standratisasi yang sudah ditetapkan
dalam di Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia no. 468 Tentang Persyaratan
Teknis Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, sehingga GKJ Baki dapat
membuat sekat pembeda yang selama ini tumbuh dan berkembang didalam gereja dan pada
akhirnya GKJ Baki dapat membangun sebuah arsitektur gereja yang ramah bagi IDD dengan
pondasi iman kristiani yang kuat yang membuang konotasi ketidaknormalan menjadi
kesempurnaan didalam Tuhan.
Penulis juga melihat faktor lain yang membuat GKJ-Baki agak kesulitan untuk
membangun arsitektur gereja yang ramah bagi IDD yaitu dari pemerintah. Undang-Undang
dan peraturan tentang pedoman teknis untuk kemudahan akses IDD yang telah pemerintah
buat agaknya belum dapat direalisasikan dengan baik. Petunjuk pelaksana dan teknis yang
tertera dalam undang-undang belum dipublikasikan secara langsung oleh pemerintah baik
secara lisan maupun secara tulisan. Hal inilah yang membuat beberapa provinsi kesulitan
untuk mejalankan peraturan yang sudah pemerintah buat tentang disabilitas. Dinas Sosial
didaerah setempat khusunya di daerah solo belum bergerak memperjuangkan hak-hak
26
disabilitas. Penganggaran dari pemerintah untuk IDD juga belum terlaksana dengan baik,
sehingga membuat GKJ-Baki khususnya agak kesulitan untuk membangun arsitektur gereja
yang ramah bagi IDD.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Setelah melalui proses penelitian dan kajian kritis terhadap arsitektur GKJ-Baki yang
ramah terhadap IDD, penulis menyimpulkan bahwa arsitektur GKJ-Baki belum ramah
terhadap IDD. Beberapa alasan yang penulis lihat pertama, esensi kebutuhan yang menurut
GKJ-Baki terhadap arsitektur yang ramah bagi IDD belum terlalu dibutuhkan. GKJ-Baki
belum benar-benar mengetahui apa yang dibutuhkan jemaat, melihat notabene jemaat adalah
lansia, sehingga esensi kebutuhan tersebut dapat terwujud melalui arsitektur yang ramah bagi
IDD, jika GKJ-Baki benar-benar memahami kebutuhan jemaat. Kedua adalah GKJ-Baki
belum mengetahui secara jelas tentang adanya Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik
Indonesia no. 468 Tahun 1998 Tentang Persyaratan Teknis Aksesbilitas Pada Bangunan
Umum dan Lingkungan, dan juga belum adanya penyuluhan secara lisan dari pemerintah
terhadap bangunan yang ramah bagi IDD. Ketiga pola pikir baik jemaat,pendeta dan majelis
yang belum terbuka dengan IDD dan masih berfikiran secara kolot, membuat isu-isu yang
baru termasuk disabilitas belum terlalu dilihat secara jelas oleh GKJ-Baki. Pola pikir tersebut
dapat diubah ketika seluruh jemaat, majelis dan pendeta berusaha untuk dapat bekerjasama
dan berkomunikasi dengan baik dan melihat dengan jelas bahwa IDD di GKJ-Baki lumayan
banyak dan mereka membutuhkan akses yang memadai sehingga dalam mengikuti ibadah
mereka dapat merasakan hadirat Tuhan dalam kehidupan mereka masing-masing. Keempat
relasi yang terjalin antara jemaat dengan pendeta tidak begitu baik.Relasi ini adalah salah satu
kunci utama dalam kehidupan beregereja. Tanpa adanya relasi maka pendeta tidak dapat
mengetahui secara jelas kebutuhan jemaat khususnya IDD. Relasi yang seperti inilah yang
harus diperbaiki antara pendeta dengan jemaat.
5.2 Saran
Pada akhirnya setelah proses penelitian dan melakukan kajian kritis, penulis
memberikan saran. Pertama kepada GKJ-Baki penulis mengusulkan dua saran. GKJ-Baki
27
harus benar-benar mau dan sadar terhadap isu tentang disabilitas, yang bisa diadakan
dengan cara memberikan penyuluhan tentang Disabilitas sehingga dapat memberikan
pemahaman yang mendalam tentang disabilitas dan membangun komunikasi yang erat
dengan jemaat sehinga GKJ-Baki dapat dikategorikan gereja yang ramah bagi IDD. GKJ-
Baki juga dapat membuat proposal yang ditujukan kepada PERDA (Pemerintah Daerah)
untuk meminta bantuan dana dalam membangun arsitektur gereja yang ramah bagi IDD.
Kedua kepada Sinode GKJ penulis mencoba memberikan saran untuk lebih aktif
memberikan penyuluhan terkhususnya tentang disabilitas agar GKJ yang ada diseluruh
jawa baik yang dipelosok ataupun dikota dapat memahami tentang disabilitas dan dapat
membangun gereja mereka lebih ramah lagi terhadap IDD. Ketiga Kepada Pemerintah
khusunya bagian HAM penulis mencoba memberikan saran untuk lebih aktif lagi
menyuarakan Hak Asasi Manusia bagi mereka IDD (Insan Dengan Disabilitas) sehingga
lapisan masyarakat dapat saling menghargai Hak yang sama tanpa adanya perbedaan
yang jelas. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan banyak penyuluhan di berbagai
wilayah baik Kota, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Tidak hanya penyuluhan saja,
tetapi juga penganggaran negera terhadap IDD juga harus dilakukan dengan sematang-
matangnya dan di realisasikan ke daerah-daerah, hal ini dilakukan agar membuat setiap
daerh mempunyai anggaran yang khusus IDD dan membuat fasilitas publik dan tempat
ibadah agar lebih ramah terhadap IDD. Keempat kepada Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana penulis mencoba memberikan saran agar mata kuliah Teologi
Disabilitas dapat direalisasikan dalam kehidupan bergereja dan berkontribusi, sehingga
gereja dapat melihat dari kacamata Teologi Disabilitas dan dapat menciptakan Arsitektur
Gereja yang ramah bagi IDD.
28
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 8 Tahun 2016. TLN
No. 5871.
Keputusan Mentri Pekerja Umum Republik Indonesia Tentang Persyaratan Teknis
Aksesbilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, Keputusan Mentri Pekerjaan
Umum Nomor. 48 tahun 1998.
B. Buku
Christiani, Tabita Kartika. Disability and Public Issues: Health, Proverty, Education, Gender
and Unemployment. Dalam Doing Theology from Disability Perspective, diedit oleh
Wati Longchar & Gordon Cowans. Manila : ATESEA, 2011.
Nursyamsi, Fajri, Estu Dyah Arifianti, dkk. Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia:
Menuju Indonesia Ramah Disabilitas”. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia, 2015.
Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra : Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi
Filsafatnya Berserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Gramedia, 2009.
Reinders, S.Hans. “Theology and Disability : What is Question”, dalam Julie Claassens,
Leslie Swartz, dan Len Hansen (eds), Searching For Dignity : Conversation On
Human Dignity,Theology and Disability. Afrika Selatan: Sun Media Stellenbosch,
2013.
Setyawan, Yusak B. Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas:Menuju Hermeneutik
Disabilitas. Prosiding UKSW, 2013.
_________. Buku Ajar Eklesiologi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2003.
_________. Teologi Disabilitas Hand-Out. Salatiga :Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana, 2015.
_________. Teologi Disabilitas Hand-Out.Salatiga. Salatiga :Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana, 2017.
29
Singgih, E. Gerrit. Mengatasi Masa Depan : Berteologi Dalam Konteks di Awal Millenium
III. Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2004.
Heuken, A. “Arsitektur Gereja dan Liturgi‟‟, dalam Yusak Soleiman, H. Ongirwalu, dan
Danang Kurniawan (eds), Prosiding Studi Institusi : Arsitektur dan Liturgi Gereja.
Jakarta: PERSETIA, 2015.
Krispurwana, Cahyadi. Pastoral Gereja : Paroki Dalam Upaya Membangun Gereja Yang
Hidup. Yogyakarta : Kanisius,2009.
Verkuyl, J.Dr. Aku Percaya : Uraian Tentang Injil dan Seruan Untuk Percaya. Jakarta : Bpk.
Gunung Mulia, 2001.
White, F. James. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta : Bpk. Gunung Mulia, 2009.
C. BULETIN/ARTIKEL ILMIAH/JURNAL
Harahap, Repindowaty Rahayu dan Bustanudin.“Perlindungan Terhadap Penyandang
Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Person With Disabilities
(CRPD)’’. Jakarta :Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015.
Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyandang Disabilitas.Buletin Jendela Data Dan
Informasi Kesehatan, semester II. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2014.
Sinulingga, Issabella N.. “Keindahan Dalam Disabilitas: Sebuah Konstruksi Teologi
Disabilitas Intelektual”. Indonesian Journal Of Theology 3/1 July 2015.
Wijaya, Trifena. “Representasi Spritualitas Kristen Pada Arsitektur Gereja Kristen Indonesia
Pergolan Bunder Surabaya”. Commoline Departemen Komunikasi Vol. 3/ No. 2,
Tahun 2014.
D. KAMUS
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2013.