Gaya Bahasa

11
Kalo udh kirim di [email protected] Charlotte Huck, dkk. mendefinisikan apresiasi sastra sebagai berikut. Apresiasi dapat dijelaskan sebagai kapasitas untuk memahami, belajar dari, dan di atas segalanya adalah menikmati karya sastra. Apresiasi ini meliputi kemampuan untuk membaca dan memberikan respon secara kreatif, memahami peranan pengarang dengan cara mencerna sesuai imajinasi dan pengalamannya sendiri. Naskah tersebut akan meresap ke dalam diri pembaca sebagaimana halnya pembaca masuk ke dalam naskah tersebut. Dunia mereka kemudian bergabung menjadi satu kesatuan. Appreciation may be explained as the capacity to understand, learn from, and above all enjoy literary works It involves the ability to read and respond creatively, sharing the author's role by drawing on one's own imagination and experience The text enters the reader as the reader enters the text. Their worlds are joined. 1 Mayer dan Salovey mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai berikut: Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosi, dan kemampuan untuk mengatur emosi untuk meningkatkan pertumbuhan emosional dan intelektual Emotional intelligence involves the ability to perceive accurately, appraise, and express emotion; the ability to understand emotion and emotional knowledge; and ability to regulate emotions to promote emotional and intellectual growth.” 2 1 Charlotte Huck; Helper, Susan; and Hickman, Janet. Children's Literature in the Elementary School, 4th Ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1987), hlm. 1. 2 Peter Salovey & D.J. Sulyster, Emotional Develompment and Emotional Inteligence (New York: Basic Books, 1997), hlm. 10.

description

Gaya bahasa menunjukkan karakter dan intensi penulis dalam menyampaikan gagasannya melalui karya sastra

Transcript of Gaya Bahasa

Page 1: Gaya Bahasa

Kalo udh kirim di [email protected]

Charlotte Huck, dkk. mendefinisikan apresiasi sastra sebagai berikut.

Apresiasi dapat dijelaskan sebagai kapasitas untuk memahami, belajar dari, dan di atas segalanya adalah menikmati karya sastra. Apresiasi ini meliputi kemampuan untuk membaca dan memberikan respon secara kreatif, memahami peranan pengarang dengan cara mencerna sesuai imajinasi dan pengalamannya sendiri. Naskah tersebut akan meresap ke dalam diri pembaca sebagaimana halnya pembaca masuk ke dalam naskah tersebut. Dunia mereka kemudian bergabung menjadi satu kesatuan.

Appreciation may be explained as the capacity to understand, learn from, and above all enjoy literary works It involves the ability to read and respond creatively, sharing the author's role by drawing on one's own imagination and experience The text enters the reader as the reader enters the text. Their worlds are joined.1

Mayer dan Salovey mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai berikut:

Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosi, dan kemampuan untuk mengatur emosi untuk meningkatkan pertumbuhan emosional dan intelektual

Emotional intelligence involves the ability to perceive accurately, appraise, and express emotion; the ability to understand emotion and emotional knowledge; and ability to regulate emotions to promote emotional and intellectual growth.”2

Peter Salovey and David Sluyter mengatakan bahwa kecerdasan emosional ada empat ciri-ciri sebagai berikut.

1) Perception Appraisal and Expression of Emotion

Persepsi Penilaian dan Ekspresi Emosi

2) Emotional Facilitation of Thinking

Memfasilitasi emosi pemikiran

3) Understanding and Analyzing Emotions; Employing Emotional Knowledge

Memahami dan menganalisis emosi; menggunakan pengetahuan emosional

1 Charlotte Huck; Helper, Susan; and Hickman, Janet. Children's Literature in the Elementary School, 4th Ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1987), hlm. 1.2 Peter Salovey & D.J. Sulyster, Emotional Develompment and Emotional Inteligence (New York: Basic Books, 1997), hlm. 10.

Page 2: Gaya Bahasa

4) Reflective Regulation of Emotions to Promote Emotional and Intellectual Growth.3

Pengaturan emosi yang bersifat reflektif untuk mendukung pertumbuhan emosional dan intelektual

James M. McCrimon mengatakan bahwa :

Gaya kata memiliki banyak makna, mulai dari "gaya hidup" seseorang hingga gaya busana terbaru. Bahkan ketika terbatas pada tulisan, gaya dapat merujuk pada apa pun dari filosofi penulis atas pilihan kata-kata atau struktur kalimat yang digunakannya. Gaya ini merupakan kata yang bermanfaat, tetapi dapat digunakan dengan presisi hanya bila konteksnya jelas menyiratkan maknanya

The word style has many meanings, ranging from one's "lifestyle" to the latest fashion in clothes. Even when limited to writing, it can refer to anything from a writer's philosophy to his or her choice of words or sentence structure. It is useful word, but it can be used with precision only when the context clearly implies its meaning.4

The American Heritage Dictionary mendefinisikan gaya sebagai

Kamus The American Heritage mendefinisikan gaya sebagai "cara dengan mana sesuatu dikatakan atau dilakukan, yang dibedakan dari substansinya" Dalam penulisan, substansi mengandung arti "apa yang dikatakan" - pesan atau kandungan. Definisi tersebut menganggap bahwa apa yang dikatakan dapat diuji secara terpisah dari cara bagaimana kata tersebut diucapkan/ dituliskan.

The American Heritage Dictionary defines style as “the way in with something is said or done, as distinguished from its substance.” In writing, substance means “what is said” – the message or content. The definition assumes that what is said can be examined apart from how it is said.5

Janet Allen dkk., mengatakan “Style refers to the way a work of literature is written—not what is said, but how it is said. The “how” depends on many elements, including a writer’s tone, sentence structures, and language.”6 (Gaya mengacu pada cara bagaimana karya sastra tersebut ditulis, bukan pada apa yang dikatakan, tapi bagaimana karya

3 What is Emotional Intelligence, by John Mayer and Peter Salovey. Chapter 1, pp. 10,11 in (Emotional Development and Emotional Intelligence: Educational Implications , by Peter Salovey and David Sluyter, 1997), hlm. 10-13.4 James M. McCrimon, Writing Wiht a Purpose (Boston Dallas Geneva: Hoghton Mifflin Company, 1984), hlm. 309.5 Ibid., hlm. 309.6 McDougal Littell, Literature (Evanston, Illinois, Boston, Dalas: Houghton Mifflin Company, 2008), hlm. 764.

Page 3: Gaya Bahasa

tersebut dituliskan. "Bagaimana" tersebut tergantung pada banyak unsur, termasuk nada penulis, struktur kalimat, dan bahasa)

Lukens mengatakan gaya sebagai berikut.

Gaya pada dasarnya adalah kata-kata, bagaimana seorang penulis mengatakan sesuatu, yang bertentangan dengan apa yang ia katakan. Dari kata-kata yang tersedia yang jumlahnya tak terbatas, penulis memilih dan mengatur kata-kata untuk membuat cerita tertentu, yaitu kata-kata dan pengaturan yang terbaik untuk cerita tersebut.

Style is basically words, how an author says something, as opposed to what he or she says. From infinite numbers of words available, the writer chooses and arranges words to create a particular story, the words and arrangement best for that story.7

Lukens mengatakan sebagai berikut.

Dalam fiksi, gaya yang terbaik dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap realitas yang dihadapi tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Kita dapat mengenal mereka melalui kata-kata yang mereka katakan, melalui kata-kata yang menggambarkan bagaimana mereka melihat dan bagaimana mereka bertindak. Kita sangat meyakini pengalaman yang dialami tokoh-tokoh tersebut, mengikuti alur dan dapat memvisualisasikan tindakan yang dijelaskan dalam kata-kata tertentu. Melalui kata-kata, kita dapat melihat, mendengar, dan bahkan membaui latar cerita dan di saat yang sama kita dapat menyadari dampaknya terhadap karakter dan konflik dalam cerita tersebut. Gaya adalah produk dari semua pilihan yang dibuat oleh penulis.

In fiction, style at its best increases our belief in the characters' reality. We come to know them trough the words they say, trough the words that describe how they look and how they act. We are eager to believe in the characters' experiences, following plot and visualizing the action described in the chosen words. Trough words. we she, hear, and even smell the setting while we realize its effect upon characters and conflict. Style is the product of all the choices the writer makes.8

7 Rebecca J. Lukens, A critical Handbook of Children’s Literature, Fifth Edition (United States of America: Harper Collins College Publishers, 1995), hlm. 151.8 Ibid., hlm. 152.

Page 4: Gaya Bahasa

Lukens mengatakan sebagai sebagai berikut.Pilihan-pilihan tersebut , tentu saja, merupakan suatu hal yang sepenuhnya bersifat

pribadi, karena gaya dan penulis tidak dapat dipisahkan .... Seorang penulis menuliskan tentang sifat realitas atau fantasi dalam satu cara; penulis yang lain mengekspresikan visi nya dengan cara yang lain. Penulis, tentu saja memiliki gaya yang berbeda-beda satu sama lain. Hal ini dikarenakan satu cerita berbeda dari yang lain, gaya akan berbeda begitu penulis menyesuaikan gayanya ke dalam cerita tersebut.

These choices are, of courses, an entirely personal matter, since style and writer are inextricable .... One writer deals with the nature of reality or fantasy in one way; another expresses his or her vision in quite another way. The writer does, of course, vary her or his own style. Since one story differs from another, styles will differ as the writer suits style to story.9

Henry James mengatakan bahwa setiap kata dan setiap tanda baca secara langsung berkontribusi terhadap makna, isi cerita dan bagaimana cerita tersebut diceritakan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Nada, pilihan kata, struktur tata bahasa, perangkat perbandingan, suara, dan irama adalah gaya. Semua elemen ini bervariasi sesuai dengan tujuan penulis, karena gagasan, kejadian, dan karakter itu sendiri berbeda-beda. Gaya memberikan perbedaan terhadap keseluruhan karya dan membuat cerita tersebut dapat dikenang.

Henry James says that each word and every punctuation mark directly contribute to meaning; the content of the story and how it is told are inseparable. Tone, word choice, grammatical structure, devices of comparison, sound, and rhythm are style. All of these elements vary with the author’s purpose, as the idea, the incidents, and the characters vary. Style gives the whole work its distinction and makes the story memorable.10

Lukens mengatakan bahwa :

Setiap cerita yang baik adalah berwujud kata-kata, banyak kata, dipilih dan disusun dengan cara yang terbaik yang dapat menciptakan karakter terbaik, membuat latar, menceritakan konflik, membangun ketegangan hingga mencapai suatu klimaks, dan mengikat keseluruhan aspek-aspek yang ada bersama-sama dengan penuh makna.

Any good story is words, many words, selected and arranged in a manner that best creates character, draws setting, recounts conflict, builds suspense to a climax, and ties it all together with some significance.

Gaya meliputi penggunaan perbandingan atau bahasa kiasan yang tepat untuk cerita tersebut, citra yang menggambarkan bagi indra mengenai apa yang terjadi atau bagaimana hal-hal tersebut terlihat, melebih-lebihkan atau pernyataan yang merendahkan untuk menghibur atau untuk meningkatkan perasaan, kiasan kepada orang-orang atau peristiwa yang sudah dikenal dengan permainan kata dengan puns atau gema, dan perangkat suara untuk memberikan kesenangan dan untuk meningkatkan makna.

9 Rebecca J. Lukens. op.cit., 152.10 Ibid., hlm. 152.

Page 5: Gaya Bahasa

Style involves the use of comparison or figurative language appropriate to the story, imagery that describes for the senses what is happening or how things look, exaggeration or understatement to entertain or to heighten feelings, allusion to people or events already known wordplay with puns or echoes, and sound devices to give pleasure and to heighten meaning.11

Hal ini dijelaskan Lukens dalam cerita sebagai berikut.

Charlotte, menekankan, "tentang ukuran sebuah gula permen karet." Sekarang ada perbandingan yang memastikan bagi seekor laba-laba yang haus darah. Perut rakus tidak bulat, atau membesar, atau bahkan seperti bola. Sebaliknya, "hanya sebesar ukuran tabung jelly" mengungkapkan perbandingan ukuran dan bentuk, tetapi menambahkan konotasi menyenangkan. Tidak ada kantung telur laba-laba pernah memiliki daya tarik Charlotte, baik itu yang berwarna oranye atau pink, namun berwarna peach dan gula permen karet, yaitu yang menjadi favorit anak-anak; masing-masing perbandingan tersebut menggambarkan ukuran, warna, dan bentuk, tetapi menambahkan makna emosional yang menyenangkan dan positif.

Charlotte is, instead, “about the size of a gumdrop.” Now there’s a reassuring comparison for a bloodthirsty spider. The stomach of gluttonous templeton is not bulbous, nor enlarged, nor even like a ball. Instead, “as big around as a jelly jar” expresses comparative size and shape, but adds pleasant connotations. No spider egg sac ever had the appeal of charlotte’s; it is neither orange nor pink, but peach-colored and gumdrop are all favorites with children; each of these comparisons describes size, color, and shape, but adds pleasant and positive emotional meaning.12

Lukens menyatakan bahwa imagery adalah:

Sejauh ini perangkat yang paling sering digunakan, dan yang paling penting, adalah citra (imajeri). Citra (imajeri) adalah daya tarik ke salah satu dari indera, citra membantu menciptakan latar, membangun suasana, atau menampilkan suatu karakter. Kita menggunakan citra (imajeri) dalam percakapan sehari-hari untuk menggambarkan suara, bau, dan pemandangan. Kita mengatakan langit biru safir, karpet hijau seledri, jaket merah api mesin; kita menjelaskan sifat suara sebagai berdentang, mendengung, bersenandung, atau bergemuruh. Kita mengatakan bahwa rasa adalah pahit, manis, atau asin, bahwa bau itu menyengat atau pengap, dan tekstur itu bersisik atau berlendir

By far the most frequently used device, and the most essential, is imagery. Imagery is the appeal to any of the senses; it helps create setting, establish a mood, or show a character. We use imagery in our everyday conversations to describe

11 Ibid., hlm 169-170.12 Ibid., hlm. 153.

Page 6: Gaya Bahasa

sounds, smells, and sights. We say the sky is sapphire blue, the carpet is celery green, a jacket is fire engine red; we describe the nature of a sound as clanging, buzzing, humming, or thundering. We say that tastes are bitter, sweet, or salty, that smells are acrid or musty, and that texture is scaly or slimy.13

Penulis juga, bergantung pada citra (imajeri) untuk memberikan kesan kepada pembaca tentang apa yang ingin digambarkan oleh penulis. Akan tetapi kesamaan, atau deskripsi untuk menduplikasikan realitas, bukan satu-satunya tujuan penulis; saran dan pelepasan imajinasi adalah hal yang penting. Penulis, berdasarkan detil pilihan dan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan detail tersebut, menggerakkan imajinasi pembaca; yang dampaknya mungkin berupa pengakuan atau kesukaan

The writer, too, relies on imagery to give the reader impressions of what the writer wishes to depict. But verisimilitude, or description to duplicate reality, is not the writer’s only goal; suggestion and release of the imagination are important. The writer, by the choice of details and of the words used to describe the detail, stirs the reader’s imagination; the impact may be recognition or delight.14

Mc Dougal Littel mennyatakan bahwa “Imagery occurs wherever there is a comparison between something which is actually there in the story, and something else”. .... (Imajeri terjadi di mana pun ada perbandingan antara sesuatu yang sebenarnya ada di dalam cerita itu sendiri dengan sesuatu yang lain)

.... “ Each comparison is called an image or a figure, so the words which make the comparison are figurative language”.15 (Setiap perbandingan disebut sebagai suatu imej atau kiasan, sehingga kata-kata yang membuat perbandingan tersebut disebut sebagai bahasa kiasan)

Perangkat lain dari gaya adalah bahasa kiasan. Penulis menggunakan kata-kata dengan suatu cara yang bersifat nonliteral, memberikan arti di luar arti yang biasanya, definisi sehari-hari, dan dengan demikian menambah suatu dimensi tambahan terhadap makna. Personifikasi, simile, dan metafora adalah jenis yang paling umum dari bahasa kiasan yang ada dalam cerita-cerita untuk anak-anak

Another device of style is figurative language. The writer uses words in a nonliteral way, giving them meaning beyond their usual, everyday definitions, and thereby adding an extra dimention to meaning. Personification, simile, and metaphor are the most common kinds of figurative language in stories for children.16

13 Ibid., hlm. 15314 Ibid., hlm. 153.15 McDougal Littell, op. cit., hlm. 764.16 Rebecca J. Lukens. op.cit., hlm. 155.

Page 7: Gaya Bahasa

Cerita-cerita anak-anak sering menggunakan personifikasi, sebagai pemberian sifat-sifat manusia dengan makhluk yang bukan manusia atau benda mati .... Kualitas manusia diberikan untuk segala sesuatunya

“Children`s stories often make use of personification, the giving of human traits to nonhuman beings or inanimate objects.... Human qualities are given to everything.”17

Kombinasi citra (imajeri) dan perbandingan-perbandingan membuat mereka jadi berbeda untuk mengaduk-aduk imajinasi pembaca. Perbandingan yang tersirat disebut sebagai metafora, misalnya langit biru safir dan karpet hijau seledri seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

“Their combination of imagery and comparison make them distinctive enough to stir the reader`s imagination. Implied comparisons are called metaphors such as the sapphire sky and the celery green carpet mentioned earlier.”18

Kita begitu terbiasa dengan hal-hal yang melebih-lebihkan dan menganggapnya sebagai humor bahkan kita hampir menganggapnya sebagai suatu kiasan; kita sering merentangkan suatu perbandingan untuk menciptakan hiperbola

“We are so accustomed to exaggeration as humor that we scarcely recognize it as a figure of speech; we often stretch a comparison to create hyperbole

Mengecilkan persoalan (understatement); Lukens menyatakan:

Kebalikan dari kata-kata berlebihan adalah pernyataan merendahkan, atau menurunkan. Seperti halnya hiperbola, hal ini mungkin digunakan untuk menciptakan suatu efek komik. Ketika Fern menggigit raspberry dengan cara-sembunyi-sembunyi seperti "serangga yang rasanya busuk" dan merasa "putus asa", kekecewaaannya tampak mulai menurun. Ketika Avery bergerak dari sakunya, katak yang melakukan perjalanan bolak-balik di lumbung ayunan sepanjang pagi, meringkuk dan mengering dalam saku celana ketat, kita membaca bahwa katak tampaknya sudah lelah setelah dari pagi tadi terus bergerak. Benar-benar lelah.Symbol

The reverse of exaggeration is understatement, or playing down. Like hyperbole, it may be used for comic effect. When Fern bites into a raspberry with a concealed “bad-tasting bug,” and gets “discouraged,” discouragement seem minimal. When Avery removes from his pocket the frog that has traveled back and forth on the barn swing all morning, scrunched and dried in a tight pants pocket, we read that the frog seems tired from a morning of swinging. Merely tired.

Salah satu kiasan, perumpamaan, mungkin memiliki arti hanya untuk pembaca dewasa, karena hal ini bergantung pada pengenalan acuan terhadap sesuatu yang ada dalam pemahaman kita bersama, masa lalu kita, atau literatur kita. Tidak ada orang dewasa yang tidak mengetahui suatu perumpamaan, misalnya, untuk bencana yang dialami, atau barangkali suatu ujian, ketika disebut kata "Waterloo saya".

One figure of speech, allusion, probably has meaning only to the mature reader, since it relies on recognition of reference to something in our common understanding, our past, or our literature. No adult will miss an allusion, for example, to a disastrous experience, an exam perhaps, when it is called "my Waterloo".

17 Ibid., hlm 155.18 Ibid., hlm. 155.

Page 8: Gaya Bahasa

Lukens menyatakan bahwa:

Suatu simbol adalah orang, objek, situasi, atau tindakan yang bekerja pada dua tingkatan makna, makna literal dan makna kiasan atau makna sugestif. Simbol tertentu bersifat universal: burung merpati adalah simbol untuk perdamaian, bendera melambangkan negara tertentu. Simbol lain bersifat khusus terhadap suatu cerita. Kalung dari kerang Karana yang diberikan untuk Tutok di Pulau Lumba-lumba Biru adalah simbol dari persahabatan

A symbol is a person, object, situation, or action that operates on two levels of meaning, the literal and the figurative or suggestive. Certain symbols are universal: the dove is the symbol for peace, a flag symbolizes a certain country. Other symbols a particular to a story. Clearly, the necklace of shells Karana gives to Tutok in Island of Blue Dolphins is symbol of friendship.

Dalam sebuah buku gambar, simbol dapat membantu kita memahami tentang suatu titik tematik. Suatu simbol memiliki makna di luar makna literernya. Kadang-kadang kita mungkin berpikir bahwa pemandangan yang berulang terhadap suatu benda atau objek adalah simbol, tetapi karena penulis tidak menghubungkannya dengan ide, mood, atau beberapa makna lain, maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai simbol

In a picture book, too, symbol can help us understand a thematic point. A symbol, than, has significance beyond its literal self. At times we may think that a repeated sight or object is a symbol, but because the writer does connect it with idea, a mood, or some other meaning, it fails as a symbol.19

Seorang penulis imajinatif yang menikmati kesenangan dari kata-kata tergoda untuk menggemakan kata-kata karya sastra lainnya. Ketika putih mengatakan bahwa Templeton tidak memiliki "susu kebaikan tikus," kita dapat mengenali gema dari Machbeth

An imaginative writer who enjoys the pleasure of words is tempted to echo words of other literary works. When white says that Templeton has no "milk of rodent kindness, "we may recognize an echo from Machbeth.20

19 Lukens, op.cit., hlm. 157.20 Ibid., hlm. 158.