Gallstone Complications SCNA

33
Komplikasi dari Batu Empedu : Mirizzi Syndrome, Gallstone Ileus, Gallstone Pancreatitis, komplikasi dari lostgallstone Mirizzi Syndrome Mirizzi syndrome (MS) adalah bentuk dari obstruktif jaundis, yang dijelaskan pertama kali oleh Mirizzi pada tahun 1948 yang disebabkan oleh batu atau beberapa batu yang mengenai dari leher kantung empedu atau juga mengenai cystic duct, seperti common hepatic duct yang memendek. Berdasarkan dari tingkat timpaan dan lamanya kondisi kronis dari batu empedu, akan mungkin membentuk cholecysto-choledochal fistula. Komplikasi langka dari batu empedu ini terjadi sekitar 0,1% sampai 0,7% dari pasien yang memiliki batu empedu. Juga adanya resiko yang besar dari kanker kantung empedu yang di temukan pada pasien ini hingga 25%. Kondisi ini di klasifikasikan oleh McSherry dan kolega menjadi tipe 1 dan tipe 2 pada tahun 1982, dan di klasifikasi ulang oleh Csendes dan kolega pada tahun 1989 menjadi 4 kelas. Komponen yang harus ada untuk terjadinya sindrom ini yaitu : 1. Anatomi cysttic duct sejajar dengan common hepatic duct 2. Dampak akibat batu terletak pada cystic duct atau leher dari kantung empedu 3. penyumbatan dari common hepatic duct oleh batu itu sendiri, atau bentuk dari respon inflamasi 4. jaundis yang intermiten atau konstan kadang-kadang menyebabkan cholangitis, dan dengan obstruksi yang lama, terjadi sirosis empedu. Klasifikasi McSherry dari Mirizzi syndrome berdasarkan dari endoscopic retrograde cholagiopancreatography (ERCP) dibagi menjadi 2 yaitu :

description

komplikasi batu empedu

Transcript of Gallstone Complications SCNA

Komplikasi dari Batu Empedu : Mirizzi Syndrome, Gallstone Ileus, Gallstone Pancreatitis, komplikasi dari lost gallstoneMirizzi Syndrome

Mirizzi syndrome (MS) adalah bentuk dari obstruktif jaundis, yang dijelaskan pertama kali oleh Mirizzi pada tahun 1948 yang disebabkan oleh batu atau beberapa batu yang mengenai dari leher kantung empedu atau juga mengenai cystic duct, seperti common hepatic duct yang memendek. Berdasarkan dari tingkat timpaan dan lamanya kondisi kronis dari batu empedu, akan mungkin membentuk cholecysto-choledochal fistula. Komplikasi langka dari batu empedu ini terjadi sekitar 0,1% sampai 0,7% dari pasien yang memiliki batu empedu. Juga adanya resiko yang besar dari kanker kantung empedu yang di temukan pada pasien ini hingga 25%. Kondisi ini di klasifikasikan oleh McSherry dan kolega menjadi tipe 1 dan tipe 2 pada tahun 1982, dan di klasifikasi ulang oleh Csendes dan kolega pada tahun 1989 menjadi 4 kelas. Komponen yang harus ada untuk terjadinya sindrom ini yaitu :1. Anatomi cysttic duct sejajar dengan common hepatic duct2. Dampak akibat batu terletak pada cystic duct atau leher dari kantung empedu

3. penyumbatan dari common hepatic duct oleh batu itu sendiri, atau bentuk dari respon inflamasi

4. jaundis yang intermiten atau konstan kadang-kadang menyebabkan cholangitis, dan dengan obstruksi yang lama, terjadi sirosis empedu.

Klasifikasi McSherry dari Mirizzi syndrome berdasarkan dari endoscopic retrograde cholagiopancreatography (ERCP) dibagi menjadi 2 yaitu :

Tipe 1 : tekanan eksternal dari common hepatic duct oleh kalkuli pada cystic duct atau hartmanns pouchTipe 2 : adanya cholecysto-choledochal fistula, yang disebabkan oleh kalkuli yang mengerosi saluran empedu sebagian atau seluruhnya.Klasifikasi Csendes dari Mirizzi syndrome dibagi menjadi 4 yaitu

Tipe 1: tekanan ekstrnal pada common bile ductTipe 2: adanya cholescystobilliary fistula yang melingkupi kurang dari sepertiga diameter dari saluran empedu

Tipe 3: adanya fistula yang melingkupi hingga 2/3 diameter dari saluran empedu

Tipe 4: adanya fistula dengan destruksi komplit dari dinding saluran empedu

Gambar 1. Klasiifkasi dari Mirizzis syndrome (gambar atas). Rekontruksi saluran empedu (gambar bawah)

Diagnosis dari Mirizzi Syndrome

Gejala penting dari MS adalah adanya cholecystitis atau choledocholithiasis. Sebagian besar pasien terdapat nyeri pada epigastrium atau pada kuadran kanan atas, jaundis, dan peningkatan hasil tes fungsi hati. Pasien juga dapat merasakan nyeri episodik seperti kolik bilier, atau manifestasi gejala sistemik seperti demam, meriang, takikardi dan berkurangnya nafsu makan. Kondisi ini dapat intermiten dan berulang, atau fulminan, terjadi sebagai cholangitis. Dengan demikian, penting untuk melakukan diagnosis preoperatif, dan pada pencarian literatur, diagnosis yang tepat telah dibuat pada 8% sampai 62% dari pasien hingga ERCP digunakan secara reguler. Sebagian besar pasien yang dicurigai memiliki penyakit saluran empedu dilakukan ultrasound sebagai tes pertama, dan biasanya diikuti dengan MRI atau CT. Cholangiography, yang melalui percutaneous atau endoskopi dilakukan jika tes fungsi hati cukup abnormal. Tes yang paling sensitif untuk MS adalah ERCP, yang telah menghasilkan 100% diagnosis preoperatif yang tepat pada Yehs group.

Sebagai tambahan untuk menegakan diagnosis, ahli endoskopi juga secara paliatif menanamkan stent pada pasien dengan jaundis untuk merencanakan eksplorasi pada pasien yang lebih stabil. Penulis mempercayai pada pasien dengan batu empedu dan peningkatan tes fungsi hati seharusnya dilakukan pemeriksaan foto dari saluran empedu sebelum eksplorasi.

Gambar 2. Csendes tipe 3 Mirizzi, anak panah menunjukan batu 2/3 lebih besar dari dinding saluran yang terkena

Gambar 3. Mirizzi tipe 4 dengan fistula cholecysto-choledochal komplit

Ketika diagnosis ditegakan, harus ada rencana untuk melakukan prosedur terbuka. Ketika kondisi ini ditemukan saat laparoscopic cholecystectomy, tantangan pada diseksi yang melekat dari calots triange dalam keadaan inflamasi, lapangan fibrotik membuka konversi pada sebagian besar kasus. Diagnosis dari cholectysto-choledocal fistula yang ditegakan secara intraoperatif juga dapat ditangani terbaik secara terbuka, kecuali dokter bedah yang ekspert dan berpengalaman ada.Ketika salah satu menggangap bahwa sindrom ini terjadi pada 0,1% sampai 0,7% dari pasien yang memiliki gelaja batu empedu yang simptomatis, rata-rata dokter bedah umum akan menemukan kasus MS hanya beberapa kali dalam karir mereka. Walaupun laporan berlajut ke permukaan dalam menangai MS secara laparoskopi, salah satu tidak bisa berspekulasi mengapa insiden dari cedera operasi besar bilier mencerminkan kejadian dari MS itu sendiri. ketika salah satu faktor pada insiden dari cedera bilier terjadi saat laparoskopi tetap masih menjadi dua kali kejadian yang terjadi selama operasi terbuka, tampaknya ada sedikit pembenaran dalam mengelola situasi secara laparoskopi. Seperti pada kasus laparoskopi yang sulit, konversi terbuka dalam menghadapi diseksi sulit antara common hepatic duct atau common bile duct disarankan dengan baik, sebagai ketidaknyamanan dari insisi pada kuadran kanan atas jauh lebih kecil daripada morbiditas dari cedera bilier yang besar yang disebabkan secara laparoskopi.

Gambar 4. (A). Mirizzi tipe 1 dengan batu yang mengenai dinding lateral saluran, (B) pasien yang sama dengan preoperative stent

Terapi

Pengobatan dari MS dapat berupa cholecystectomy, partial cholecystectomy dengan ekstrasi batu, penggunaan sisa dari kantung empedu untuk menutup cholescysto-choledochal fistula, atau Roux-Y hepaticojejunostomy pada tempat dekstrusi inflamasi di common hepatic duct. Untuk tipe 1 ( sesuai klasifikasi sebelumnya), cholecystectomy dilakukan pada fundus merupakan pengobatan terbaik. Jika phlegmon atau reaksi fibrous pada area calots triangle padat, partial cholecystectomy dengan ekstrasi batu dan penutupan dari sisa bagian cukup dilakukan dan aman. Pada semua kasus, frozen section dari dinding kantung empedu harus dilakukan untuk mencegah terbentuknya kanker. Untuk tipe 2 dan lainnya, perbaikan sederhana fistula diatas T-tube, atau pembentukan dari choledochoduodenal fistula tidak disarankan. Pengunaan sisa dari dinding kantung empedu untuk memperbaiki fistula dengan meletakkan T-tube secara distal pada common duct dapat digunakan jika jaringan tampak sehat. Rekontruksi Roux-Y merupakan teknik alternatif yang paling aman jika adanya jaringan duktus yang tertekan oleh pembuluh darah dari common duct pada arah pukul 9. Kelangsungan dari anastomosis bilio-enteric di terjamin aman dari perfusi retrograde dari proximal common hepatic duct dan dari pembuluh darai jejunum pada roux-en-Y loop.

Jika diagnosis dari MS dicurigai melalui pemeriksaan imaging saat perioperatif, dan kondisi pasien tidak segera untuk dioperasi, dokter bedah harus dapat memutuskan apakah ia cukup untuk dan nyamaun untuk dilakukan major billiary repair. Data dari Accreditation Council for Graduat Medical Education (ACGME) (resident case logs from 2006 to 2007) memperlihatkan bahwa chief residents rata-rata hanya sekali membuka eksplorasi common bile duct dan dua bilio-enteric anastomosis pada latihan mereka. Jika pengalaman kepuasan tidak ada, pertimbangan serius harus diberikan untuk merujuk pasien ke pusat pelayanan kesehatan tersier yang sudah terbiasa dengan bilio-enteric anastomosis. Ini sangat penting khususnya untuk Csendes tipe 2 hingga tipe 4, dimana luka pada hepatic duct kanan, common hepatic duct, right hepatic arteri, dan right hepatic arteri yang telahh diganti dapat terjadi kesulitan diseksi pada hepatocystic triangle.

Prognosis dari MS sangat baik pada lesi tipe 1, karena cholecystectomy sederhana yang penting untuk penyembuhan. Dalam menangani tipe yang lebih serius dengan destruksi fistula dari common duct, morbiditas post operatif meningkat, dengan 10% lebih biliari fistula, biliary stricture dibutuhkan dilatasi atau operasi ulang, atau abses hepar dibutuhkan drainase.

Gallstone IleusBartholin pertama menjelaskan cholecystoinstestinal fistula dengan batu empedu pada gastrointestinal (GI) tract pada tahun 1654. Courvoisier mempublikasikan seri pertama dari 131 kasus gallstone ileus pada tahun 1890. Gallstone ileus masih langka pada populasi umum, terhitung dari 1% sampai 3% dari semua obstruksi mekanik. Bagaimanapun ini secara umum merupakan penyakit geriatri dan wanita. Gallstone ileus terjadi 25% dari semua obstruksi usus kecil pada pasien berumur diatas 65 tahun. Karena umur yang lanjut pada grup ini, komorbid medis berkontribusi pada morbiditas dan mortalitas yang tinggi berhubungan dengan gallstone ileus. Data awal melaporkan kematian hingga 40% sampai 70%, yang berkurang pada tahun ini sekitar 15% sampai 18%. Karena ini merupakan proses yang letal, kecurigaan secara klinis pada kasus ini harus ada untuk menegakan diagnosis dan manajemen tepat waktu.Pathogenesis

Gallstone ileus adalah merupakan hasis dari pembetukan fistula dari traktus biliaris menuju intestinal. Ini biasanya merupakan konsekuensi dari episode kolesistisis, yang menyebabkan inflamasi dari kantung empedu, perlekatan dari usus, dengan tekanan yang cukup dan iskemik menyebabkan batu empedu mengerosi ke usus, yang menghasilkan pembentukan fistula. Sebagian besar fistula terjadi di duodenum, karena jaraknya antara kantung empedu. Bagaimanapun, fistula juga terjadi pada lambung, usus besar dan jejunum.

Sebagian besar batu empedu yang masuk ke area GI tract lewat tanpa masalah, tapi obstruksi dapat terjadi jika batu berukuran cukup besar, biasanya lebih bsar dari 2-2,5 cm. Inti dari obstuksi biasanya sering pada terminal ileum karena diameter yang lebih kecil, tapi juga dapat terjadi disepanjang sytem intestinal. Bouveret syndrome, yang dijelaskan pertama kali pada tahun 1896, adalah obtruksi gaster sekunder dari migrasi secara proximal dari batu empedu dari cholecystoduodenal fistula pada proximal duoenum.Gambaran klinis

Gallstone ileus merupakan obstuksi mekanis daripada ileus murni. Gejalanya sangat bergantung dari letak obstruksi. Bagaimanapun, gelajanya berupa mual, muntah, nyeri, dan konstipasi biasanya muncul. Gejala dapat terjadi secara intermitent alamiah, yang disebabkan oleh phenomena tumbling. Ini merupakan hasil dari batu yang secara intermiten mengobstruksi, lalu berjalan melewati GI tract hingga melewati dan menjadi terjepit pada intestinal. Pasien biasanya terdapat gejala yang tertunda, dan seringnya terdiagnosis pada 3 sampai 8 hari setelah onset dari gejala. Kira-kira setengah dari pasien yang terdapat gallstone ileus memiliki riwayat dari penyakit bilier. Bagaimanapun, gejala bilier yang secara langsung menjadi gallstone ileus termasuk langka.Diagnosis

Diagnosis dari gallstone ileus sulit ditegakan secara klinis karena gejala nonspesifik. Berdasarkan literatur, laporan dari diagnosis postoperatif yang tepat termasuk jarang, diantara 20% sampai 50%. Sebelumnya, foto abdomen polos merupakan gold standard diagnosis. Rigler, Borman, dan Noble pada thun 1941 menjelaskan penemuan klasik radiologi dari gallstone ileus, yang diketahui sebagai riglers triad : (1) sebagian atau obstruksi intestinal total, (2) pneumobilia, dan (3) penyimpangan batu empedu pada intestine. Adanya dari 3 dari semua penemuan diatas, bagaimanapun hanya dilaporkan antara 17% hingga 35% pada literatur. Beberapa studi menyarankan untuk penggunaan ultrasound (USG) dengan kombinasi foto abdomen untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis. Teknik ultrasound lebih sensitif dalam mendeteksi pneumobilia dan batu empedu ektopik. Kombinasi dari dua modalitas dapat meningkatkan sensitivitas diagnosis dari gallstone ileus hingga 74%.

Beberapa studi melaporkan penemuan secara CT dari gallstone ileus lebih sensitif daripada foto polos abdomen dan ultrasound. Riglers triad lebih sering terdeteksi pada pemeriksaan CT. Sensitivitas diagnosis dari gallstone ileus menggunakan pemeriksaan CT dilaporkan hingga 93%. Pemeriksaan CT dapat berguna untuk mendeteksi batu empedu ektopik dan adany apenumobilia, dan untuk membantu menegakan derajat dari infamasi disekitar tempat dari cholecystointestinal fistula. Walaupun gejala tidak sepesifik, satu harus memiliki indeks yang tinggi dalam mencurigai pada pasien tua tanpa adanya riwayat bedah atau lainnya disebabkan oleh obtruksi mekanis. Studi radiografi dapat menjelaskan penemuan klinis untuk menentukan diagnosis preoperatif dari gallstone ileus.

Pengobatan

Walaupun gallstone ileus telah dijelaskan sekitar 400 tahun yang lalu, kontroversi besar tetap ada pada managemen pembedahan yang tepat dari penyakit ini. Tujuan terapi utama dari pembedahan adalah untuk menghilangkan obstruksi intestinal.

Gambar 5. (A,B) obstruksi intestinal dan pneumobilia ditemukan pada foto polos abdomen

Secara preoperatif, usaha telah dibuat untuk menyadarkan pasien, yang sering memiliki gangguan metabolik dari obstruksi intestinal dan presentasi yang tertunda, juga adanya komorbid. Prosedur gold standar yang dilakukan yaitu laparotomi eksplorasi dan enterolithotomy. Insisi longitudinal dibuat pada sisi proximal dari tempat yang terjepit oleh batu empedu, lalu batu di keluarkan, dan enterotomy ditutup dengan dua lapis. Seluruh bagian dari usus lalu dievaluasi untuk potensi batu lainnya.

Gambar 6. Pneumobilia ditemukan pada CT scan abdomen

Tingginya angka mortalitas yang berhubungan dengan gallstone ileus, sering akibat komorbid sekunder yang mempengaruhi populasi, sejarahnya mendesak dokter bedah semata-mata mengeluarkan batu yang mengobstruksi. Tidak ada tindakan pada permulaan operasi untuk mengobati colecystoenteric fistula atau mengangkat kantung empedu. Holz pada tahun 1929 dan Welch pada tahun 1957, bagaimanapun menjelaskan one-stage prosedur dengan cholecystectomy, penutupan cholescystoenteric fistula dan enterolothotomy untuk mencegah kekambuhan selanjutnya. Ini telah menjadi topik depat pada literatur selama bertahun tahun.

Gambar 7. Batu empedu dan cholecystoenteric fistula pada CT scan abdominal

Pada review terbesar dari literatur oleh Reisner, mengutip dari 1000 kasus, one-stage prosedur memiliki angka mortalitas 16,9% dibandingkan dengan enterolothotomy sendiri sekitar 11,7%. Delapan puluh persen pasien ditangani dengan enterolithotomy. Penganjur dari one-stage prosedur beragumen bahwa itu akan mencegah komplikasi bilier, kekambuhan gallstone ileus, dan fistula persisten. Menariknya, kekambuhan dari mereka yang ditangani hanya dengan enterolithotomy hanya kurang dari 5-9% pada literatur. Ditambah, hanya 10% pasien yang membutuhkan operasi kembali pada gejala bilier yang persisten. Itu juga terpikirkan bahwa sisa fistula dapat tertutup secara spontan ketika obstruksi telah ditangani, dan komplikasi yang berhubungan dengan fistula persisten langka.

Gambar 8. Obstruksi intestinal dan batu empedu intraluinal diilustrasikan pada CT scan abdomen

Studi terbaru yang dipublikasikan oleh Doko dan kolega yang membandingkan manajemen dari gallstone ileus yaitu enterolothotomy dengan one-stage prosedur yang terdiri dari enterolothotomy, dan cholecystectomy dengan perbaikan fistula. Review retrospektif ini tedapat 30 pasien dan memperlihatkan tidak ada perbedaan secara statistik diantara dua grup diatas yang dihubungkan dengan umur, America Society of Anasthesiology (ASA) score dan durasi dari gejala. Terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada waktu operasi, dengan durasi dari pembedahan 100 menit lebih lama pada grup one-stage. Mortalitas pada rumah sakit sampel 9% pada grup enterolithotomy dan 11% pada grup one-stage. Pada logistic regression analysis, grup one-stage prosedur memiliki angka komplikasi yang lebih tinggi. Penulis menyimpulkan dari data mereka bahwa one-stage prosedur harus dilakukan hanya pada pasien tertentu dengan kolesistisis akut, ganggrenous gallblader, atau residu batu empedu saat operasi.

Tan dan kolega juga mereview seri mereka dari 19 pasien yang dilakukan one-stage prosedur dan enterolithotomy. One stage prosedur dilakukan pada pasien dengan ASA yang lebih rendah, dan waktu operasi secara singnifikan lebih lama (100 menit lebih) pada grup one-stage. Tidak ada komplikasi pada grup yang dilakukan enterolithotomy pada periode follow-up mereka. Tidak ada perbedaan signifikan pada morbiditas diantara kedua grup, dan tidak ada mortalitas pada kedua grup. Review dari literatur hingga kini mempertahankan one-stage prosedure pada pasien ideal, bagaimanapun dengan potensial morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Untuk pasien dengan hemodinamik tidak stabil atau memiliki inflamasi signifikan atau perlekatan yang kuat, enterolithotomy harus dilakukan.

Gambar 9. Batu empedu intraluminal (A) dan enterotomy dengan ekstraksi batu (B) ditemukan saat laparotomi eksplorasi

Pilihan Pengobatan terakhir yaitu two-stage prosedur, dimana enterolithotomy dilakukan sebagai prosedur awal emergency, dan berikutnya cholecystectomy dan penutupan fistula dilakukan 4 hingga 6 minggu kemudian. Hasil dari literatur terbaru ini menunjukan rendahnya kekambuhan dari gallstone ileus dan rendahnya komplikasi pada pasien yang dimanajemen panjang setelah enterolithotomy. Oleh karena itu, two-stage prosedur dengan follow up berjadwal dari pembedahan bilier bukan keadaan yang biasa.

Evolusi dari laparoscopy telah mendesak beberapa dokter bedah untuk melakukan enterolithotomy secara laparoskopi. Beberapa penulis melaporkan beberapa seri, bagaimanapun, ini tidak harus menjadi gold standar dari pengobatan. Terdapat kesulitan dalam memeriksa keseluruhan dari usus kecil dan mengidentifikasi dari batu empedu, waktu operasi lama, dan melakukan pembedahan laparoskopi pada pasien dengan dilated bowel secara sekunder akibat obstruksi intestinal secara teknik sulit. Teknik ini hanya dilakukan oleh dokter bedah yang sangat berpengalaman pada pasien pasien khusus.Kesimpulan

Gallstone ileus harus dicurigai pada populasi tua, khususnya pada pasien wanita dengan tanda dari obstuksi usus tanpa penyebab lain obstruksi mekanik. Penemuan radiografi dapat menjadi bantuan pada diagnosis preoperatif yang termasuk pneumobilia, dilatasi intestinal dengan air/fluid leves, dan batu empedu intraluminal. Urgent laparotomi dibutuhkan, dan operasi standar yang dilakukan adalah enterolithotomy. One-stage prosedur termasuk choecystectomy dengan perbaikan fistula harus dilakukan untuk kasus tertentu, yaitu pasien yang sehat tanpa adanya phlegmonous yang serius pada kuadran kanan atas. One stage prosedur ini menambah waktu operasi dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Enterolithotomy sendiri cukup pada pasien dengan komorbid yang besar. Two-stage prosedur harus dilakukan pada pasien muda yang memiliki resiko komplikasi bilier kedepannya.

Gallstone pancreatitis

Pada tahun 1901, Opie mengusulkan teori untuk pancreatitis yang melibatkan migrasi dari batu empedu dan obstruksi dari distal common bile duct dengan akibat perusakan dari sekresi pankreas dan reflux dari empedu ke pankreatic duct. Pankreatitis akut menyebabkan lebih dari 200.000 kasus masuk rumah sakit per tahun di Amerika Serikat. Agen penyebab tersering dari pankreatitis adalah gallstone pancreatitis dan penyalahgunaan alkohol. Sekitar 80% dari kasus gallstone pancreatitis ringan dan dapat sembuh sendiri. 20% dari kasus, bagaimanapun, dapat menjadi berat dan menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mortalitasPatofisiologi

Mekanisme yang pasti dari pankreatitis masih kontroversial. Bagaimanapun, komponen penting termasuk elemen dari teori Opie dan teori refluks duodenal, dimana obstruksi dari pancreatic duct dan refluks dari isi duodenal ke pankreatic duct menyebabkan aktivasi dari trypsinogen to trypsin pada pankreas dan stimulasi terhadap mediator inflamasi, secara spesifik interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF-). Ditambah, permeabilitas dari sel endotel berkontribusi untuk destruksi kalenjar pankreas dan inflamasi.Diagnosis

Pankreatitis akut terdapat gejala nyeri epigastrium yang berat dan konstan, atau nyeri pada kuadran kanan atas yang menjalar ke belakang. Mual dan muntah sering sebagai gejala penyerta. Pada pasien dapat muncul gejala yang bervariasi dari gejala yang ringan hingga berat, dan dapat berhubungan dengan hipotensi, takikardi, dan distensi abdomen. Dua pemeriksaan klinis yang dapat mengarahkan diagnosis, walaupun tidak terlalu sering terlihat, yaitu cullens sign, yaitu perubahan warna biru disekitar umbilikus, dan Grey Turners sign, yaitu perubahan warna biru pada pinggang. Penemuan ini merupakan hasil dari perdarahan pankreatitis yang berat dengan perdarahan di sekitar area tersebut.

Penemuan laboratorium yang berhubungan dengan gallstone pancreatitis termasuk peningkatan amylase, biasanya tiga kali dari batas normal, peningkatan lipase, dan biasanya peningkatan alanine aminotransfrease (ALT). Studi menunjukan bahwa ketika ALT meingkat tiga kali dari batas normal, angka positive predictive value sekitar 95% untuk gallstone pancreatitis. Adanya peningkatan leukosit mengarahkan keadaan klinis yang berat yang melibatkan nekrosis pankreas atau cholangitis. Pemeriksaan radiologi awal dari pankreatitis termasuk pemeriksaan ultrasound untuk mengidentifikasi batu empedu sebagai penyebab potensial. Pemeriksaan CT abdomen dapat dipakai untuk pemeriksaan pankreas untuk mengetahui derajat dari inflamasi, perfusi dari kalenjar dan adanya abses atau pseudocyst. Secara alternatif, MRI dapat digunakan, yang dapat memberikan detail yang jelas dari pancreatic duct dan derajat dari inflamasinya.

Gambar 10. CT scan abdomen dari pankreatitis (A) dan pankreatitis dengan trombus vena superior mesenteric (B)

Terdapat beberapa kriteria untuk menggolongkan keparahan dari penyakit gallstone pancreatitis dan bertujuan untuk menentukan prognosis. Sistem yang dipergunakan secara luas adalah kriteria Ranson, yang mana membagi menjadi lima kriteria saat masuk rumah sakit, dan enam kriteria saat 48 jam setelah masuk rumah sakit. Kriteria Ranson secara lanjut dibagi menjadi non-bilier pankreatitis dan bilier pankreatitis (tabel 1). Adanya tiga kriteria adalah karakteristik dari penyakit yang ringan, lebih dari 3 kriteria dikatakan sebagai pankreatitis berat, dan adanya 5 kriteria adalah prediksi dari pankreatitis berat dengan angka mortalitas lebih dari 40%. Skala lain yang biasa digunakan untuk menentukan prognosis termasuk Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score, Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) score, dan Glasgow Scale. Gagal organ, insufisiensi pernafasan dan gagal ginjal merupakan tanda dari penyakit yang berat. Indikator prognosis ini, sayangnya, tidak dapat menentukan secara tepat bagaimana untuk memanajemen pancreatitis. Bagaimanapun, siapapun yang memiliki pankreatitis berat kemungkinan membutuhkan ICU untuk perawatanTabel 1.

Kriteria Ranson

Pankreatitis non-bilierPankreatitis bilier

Admission

Umur

WBC (mm3)

Glukosa (mg/dL)

Lactose dehydrogenase (IU/L)

Aspartate aminotransferase (IU/L)

Dalam 48 jam

Peningkatan serum urea nitrogen

PaO2 (mmHg)

Serum kalsium (mg/dL)

Penurunan hematokrit (points)

Base deficit (mEq/L)

Fluid sequestration (L)>55

>16.000

>200

>350

>250

>5

4

>6>70

>18.000

>220

>400

>250

>2

5

>4

Pengobatan

Penanaganan awal dari pankreatitis adalah suportif dengan pengistirahatan usus, resusitasi cairan intravena secara agresif, mengontrol nyeri, antiemetic, dan suplemen oksigen. Sebagian besar kasus pankreatitis termasuk ringan dan dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi. Pada kasus pankreatitis berat, monitor dan dukungan secara intensif sangat diperlukan. Bebrapa komplikasi yang spesifik pada pankreas yang dapat terjadi, termasuk pancraetic pseudocyst, necrosis, dan pembentukan abses. Management pembedahan dan endoskopi dari acute gallstone pancreatitis dan komplikasinya telah menjadi kontroversi dan menjadi topik untuk penelitian dan diskusi. Beberapa terapi yang sudah ada pada sebagian besar pemikiran adalah ERCP, cholecystectomy, dan pengobatan dari komplikasi pankreatitis.

Gambar 11. (A,B) CT scan abdomen dengan komplikasi pankreatitis dengan pembentukan pseudokista

Gambar 12. CT scan abdomen dari pankreatitis berat dengan nekrosis

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography

Peran dari ERCP dan endoscopic sphincterotomy pada penanganan gallstone pancreatitis telah berkembang dari tahun ke tahun. Indikasi absolut untuk melakukan ERCP dan shincterotomy secara dini adalah cholangitis dan obstructive jaundice. Nilai dari ERCP pada kasus lainnya dari gallstone pancreatitis telah menjadi topik pada review review yang signifikan. Terdapat variasi yang besar pada design penelitian dan kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian yang terpublikasi, membuat sulit untuk menentukan konsensus penganganan pankreatitis. Pedoman dari American Gastroenterology Association tahun 2007 mengakui bahwa data yang ada terlalu kontroversi untuk menyediakan rekomendasi definitif untuk penggunaan ERCP secara dini. Beberapa rekomendasi, bagaimanapun, telah ditujukan untuk penggunaan ERCP pada kasus gallstone pancreatitis di berbagai literatur review. Neoptolemos merupakan seseorang yang pertama kali meneliti tentang peran dari ERCP secara dini dibandingkan dengan konvensional terapi untuk gallstone pancratitis pada penelitannya secara randomized-control pada tahun 1988. Dirinya menemukan tak ada perbedaan dalam angka mortalitas. Bagaimanapun, sebagian besar komplikasi berkurang pada grup ERCP dibanding dengan terapi konvensional. Beberapa studi pada tahun 1990an juga menemukan penurunan komplikasi pada grup ERCP pada mereka yang memiliki penyakit berat. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan angka mortalitas. Rekomendasi saat itu mengatakan bahwa ERCP secara dini aman, mengurangi sepsis, dan mengurangi komplikasi dari pankreatitis berat. Bagaimanapun, ERCP tidak memiliki keuntukngan pada kasus pankreatits ringan.

Gambar 13. (A, B) CT scan abdomen memperlihatkan pankreatitis dengan nekrosis terinfeksi/abses

Penggunaan ERCP postoperatif, setelah identifikasi dari batu pada common bile duct pada cholangiogram intraoperatif, telah dievaluasi. Chang dan kolega melakukan prospecctive randomized trial yang membandingkan penggunaan ERCP preopertif dan postoperatif untuk menentukan jika ERCP harus digunakan preoperatif secara rutin. Hasilnya bahwa ERCP postoperatif selektif berhubungan dengan berkurangnya hari dirawat di rumah sakit, biaya lebih sedikit dan tidak ada peningkatan komplikasi.

Oria, pada tahun 2007, melakukan penelitian randomized-control yang secara spesifik memasukan pasien yang memiliki obstruksi bilier tetapi menghilangkan itu dengan cholangitis. Pasien ini secara acak mendapatkan ERCP dini atau terapi konservatif. Penelitian ini menunjukan tidak adanya perbedaan dari angka mortalitas, morbiditas, atau komplikasi dari kedua grup. Sebuah meta-analysis telah dilakukan oleh Petrov dan kolega dan review oleh Behrns dan kolega, keduanya pada taun 2008, menyimpulkan bahwa ERCP secara dini tidak meningkatkan mortalitas atau kompliasi, khususnya pada kasus yang ringan yang tidak terlalu dibutuhkan prosedur untuk acute gallstone pancreatitis. Oleh karena itu penggunaan ERCP harus dibatasi pada pasien yang memiliki cholangitis, obstruksi bilier yang tidak membaik dengan terapi konservatif, dan pada pasien tua atau mereka dengan resiko pembedahan yang besar.

Cholecystectomy

Karena penyebab yang mungkin dari pancreatitis dengan adanya batu empedu adalah adanya batu empedu pada common bile duct, sehingga cholecystectomy merupakan kunci untuk pencegahan kekambuhan. Waktu melakukan cholecystectomy berhubungan dengan derajat dari pankreatitis, kesehatan pasien dan saran dari dokter bedah. Pada grup pasien dngan pankreatitis ringan, dapat diterima bahwa cholecystectomy dengan cholangiogram intraoperatif harus dilakukan saat masuk rumah sakit pertama untuk mencegah dari kekambuhan pankreatitis. Angka kekambuhan dari gallstone pancreatitis jika masih adanya kantung empedu dilaporkan sekitar 50% sampai 90%. Sebagian besar dokter bedah menunda pembedahan hingga nilai amilase dan lipase telah normal atau mendekati batas normal. Studi prospektif telah dilakukan oleh Rosing dan kolega untuk mengevaluasi cholecystectomy secara dini (dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit) pada pasien dengan gallstone pancreatitis ringan hingga sedang. Penelitian ini menerangkan bahwa tidak adanya peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada grup dini, dan adanya hari dirawat dirumah sakit lebih singkat pada cholecystectomy secara dini.Waktu untuk melakukan cholecystectomy pada pankreatitis berat masih kontroversial. Pada grup pasien sering memiliki komplikasi dari pankreatitis termasuk acute pseudocyst formation atau nekrosis pankreas, yang dapat membuat operasi lebih sulit. Beberapa penulis telah memeriksa waktu untuk cholecystectomy pada pancreatitis berat, dan itu terlihat bahwa cholecystectomy secara dini tidak diindikasikan dan dapat meningkatkan morbiditas. Rekomendasi diberikan untuk penundaan cholecystectomy untuk 4 sampai 6 minggu setelah serangan pankreatitis akut. Pada titik ini, jika ada sisa pseudocyst, ini mungkin sudah dapat ditangani secara bedah pada waktu cholecystectomy. Selain itu, inflamasi dari serangan akut keungkinan telah tertangani. Untuk melindungi dari resiko potensial kekambuhan pankreatitis, sebagian mengadvokasi penggunaan ERCP dengan sphincterotomy pada saat awal masuk rumah sakit. Sanjay dan kolega mendemonstrasikan bahwa sphincterotomy dini dengan cholecystectomy interval pada pasien dengan pankreatitis berat memiliki angka morbiditas minimal dan rendahnya angka dirawat lagi. Pada pasien dengan komorbid signifikan dimana cholecsystecomy terlalu berisiko tinggi, ERCP dengan sphincterotomy telah memperlihatkan sebagai pilihan yang baik. Sphincterotomy telah bertoleransi secara baik, dengan rendahnya angka kekambuhan dari pankreatitis.

Managemen pembedahan dari komplikasi pankreatitis

Ruang lingkup dari manajemen operatif acute gallstone pancreatitis terbatas pada penanganan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ini. Pembedahan diindikasipkan pada pasien yang memiliki nekrosis yang terinfeksi, perdarahan pada pseudoaneurysms dari pankreas, dan perforasi viscus dari nekrosis iskemik. Pada pasien dengan nekrosis steril yang memiliki kegagalan multiorgan progresif yang tidak berespon dengan manajemen medis harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan operasi. Bagaimanapun tidak ada konsensus yang memuat tentang ini. Pada fase awal dari pankreatitis, pelepasan mediator proinflamasi menstimulasi respon inflamasi sistemik dan berkembang menjadi SIRS (systemic inflammatory response syndrome). Ini dapat terjadi tanpa adanya infeksi aktif. Operasi pada saat periode ini dapat meningkatkan progresivitas dari respon inflamasi dan dapat menjadi lebih buruk daripada keuntungan untuk pasien. Angka mortalitas meningkat hingga 65% telah dilaporkan pada pasien yang dioperasi lebih awal pada kasus pankreatitis berat.

Saat adanya nekrosis yang terinfeksi pada pankreatitis akut, angka mortalitas mendekati 100% tanpa intervensi operatif. Perbedaan antara nekrosis steril dan terinfeksi adalah manajemen yang tepat. Ini ditentukan dengan fine neddle aspiration (FNA), yang mana dapat dilakukan dengan bantuan CT atau USG. FNA harus dilakukan pada pasien dengan gagal organ yang memburuk, leukositosis, atau status klinis yang memburuk, yang sering terjadi pada hari ke-10 dan ke-14 setelah munculnya penyakit. Walaupn dengan pembedahan yang tepat dan pengobatan antibiotik, angka mortalitas pada nekrosis yang terinfeksi mendekati 50%.

Terdapat beberapa pilihan pembedahan untuk menangani pasien dengan nekrosis pankreas, setiap pembedahan dengan tujuan mengontrol fokus infeksi dan membatasi jumlah dari jaringan pankreas yang hilang. Pilihan pembedahan termasuk necrosectomy, yang dikombinasi dengan open packing, planned staged relaparotomy dengan repeated lavage, atau close continuous lavage menggunakan drainase. Angka mortalitas dilaporkan sekitar 15% hingga 25%. Seringnya, teknik invasif minimal telah dilakukan untuk debridement, termasuk video-assisted retroperitoneal drainage, laparoscopic transfperitoneal necrosectomy, dan endoscopic drainage. Bukti pada literatur masih kurang, sehingga tidak ada rekomendasi dapat dibuat untuk mendukung atau menolak penggunaannya hingga saat ini. Ini harus dilakukan pada dokter bedah yang memiliki pengalaman dan profisien dalam melakukan laparoskopi.

Pembentukan pseudocyst merupakan hasil dari gangguan pancreatic duct secara sekunder dan peningkatan tekanan dan ekstravavasi dari cairan pankreas. Pseudokista ini ditutup oleh kapsul dinding fibosis reaktif, yang menjadi matang pada 4 hingga 6 minggu menuju kekuatan yang maksimal. Pseudocyst yang kurang dari 6 cm menyebabkan komplikasi yang kecil dan dapat diobservasi. Mereka dengan kista 6 cm atau lebih, bagaimanapun, mungkin membutuhkan drainase operatif. Pseudokista yang besar dan tidak ditangani dapat menyebabkan nyeri abdomen, obstruksi bilier atau gastroduodenal, atau perdarahan dari pseudoaneurysm pada dinding kista. Oleh karena itu, setelah dalam periode 6 minggu, yang membiarkan dinding kista menjadi matang, tidakan operasi dapat dilakukan. Penanganan dapat dikakukan melalui endoscopic transgastric drainage jika pseudokista simpel, kecil, dan tanpa debris. Pembedahan yang membentuk drainase enteric disarankan pada pseudokista yang besar atau berhubungan dengan nekrosis pankreas, lokulasi multipel, atau dipertimbangkan debris. Pilihan operasi termasuk cystgatrostomy, cystduodenostomy, Roux-en-Y cystjejunostomy, atau lateral pancreaticojejunostomy, tergantung letak dari pseudokista. Drainase bedah berhubungan dengan angka morbiditas hingga 20-30% dan mortalitas sekitar 2% hingga 6%. Kekambuhan dikatakan langka, terjadi sekitar 5% pada pasien.

Kesimpulan

Acute gallstone pancreatitis lebih sering ringan dan dapat sembuh sendiri. pada jumlah pasien yang signifikan, bagaimanapun, kasus ini dapat menjadi berat dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Data yang terdapat pada literatur mengilustrasikan kontroversi dari manajemen dan evolusi konstan dari tindakan. Terdapat beberapa kesimpulan, bagaimanapun, itu dapat dibuat dengan dukungan dari literatur dalam penanganan gallstone pancreatitis. Pertama, untuk gallstone pancratitis ringan, tidak adanya indikasi untuk ERCP secara dini. Penanganan harus dilakukan temasuk laparoscopic cholecystectomy dengan intraoperatif choangiogram pada saat masuk rumah sakit, dan berikutnya ERCP dan sphinterotomy dilakukan jika adanya obstruksi oleh batu. Kedua, pada kasus pankreatitis berat, intervensi pembedahan diindikasikan untuk nekrosis pankreas yang terinfeksi, perdarahan atau perforasi intestinal. Penanganan dari komplikasi lambat pankreatitis harus ditunda hingga pasien stabil secara klinis. Beberapa intervensi, seperti drainase pseudokista, harus ditunda hingga 4 sampai 6 minggu untuk membiarkan dinding kista matang. Cholecystectomy dapat dilakukan secara bersamaan. Ketiga, pada pasien dengan klinis memburuk, dan pada pasien yang memiliki disfungsi organ secara progresif yang tidak dapat membaik dengan manajeen medis, pembedahan mungkin dapat diindikasikan. FNA dan kulturs harus dilakukan dengan tanda dari sepsis atau penurunan klinis. Pembedahan diindikasikan pada pasien yang berkembang menjadi nekrosis terinfeksi dan abses pankreas yang lambat. Terakhir, pada pasien dengan pankreatitis berat, atau memiliki resiko tinggi pembedahan atau memiliki komorbid yang banyak, ERCP dan sphincterotomy dapat dilakukan untuk mengurangi dari episode rekuren pankreatitis dan untuk menangani obstruksi bilier.

Lost Gallstones

Ketika cholecystectomy hanya sebagai pilihan yang tersedia untuk pasien, sasaran terbaik adalah untuk menyelesaikan cholecystectomy tanpa membuka kantung empedu dan meluberkan batu. Untuk dokter bedah, hal itu merupakan penghargaan baik untuk dapat melakukan operasi ini. Kenyataannya, tidak ada konsekuensi serius untuk meluberkan batu dan empedu seperti mereka menggirigasi dan mendapatkan sangat mudah. Dalam tindakan open cholecystectomy, kuadran kanan atas dikemas secara rutin dan Morrisons pouch disumbat dengan pad laparotomi, sehingga tumpahan dari kantung empedu tidak dapat pindah ke area tersebut. Selama laparoskopi, tumpahan dari empedu masih relatif ringan, bagaimanapn, hilangnya batu empedu dapat berakibat morbiditas. Batu dapat secara cepat menjadi tersebar luas pada kavitas abdomen, meskipun sebagian besar diselesaikan dengan cepat dengan irigasi dan gravitasi menuju retrohepatic recess (Morrisons pouch) atau diatas dan lateral dari hati. Batu tersebut lalu dapat menjadi sarang untuk inflamasi, dan menghadapi empedu yang terinfeksi, dan fokus dari pembentukan fistula dan abses.

Gambar 14. Cholecysto-cholocutaneus fistula

Perforasi dari kantung empedu dan tumpahnya empedu dan batu merupakan komplikasi yang sering terjadi dari laparoscopic cholecystectomy. Review dari literatur memperlihatkan insiden dari perforasi 20% hingga 40%. Faktor resiko untuk perforasi termasuk kolesistisis akut, umur pasien, adanya batu pigmentasi, jumlah dari batu empedu (>15), dan perfroma dari operator. Hilangnya batu empedu dapat terjadi pada diseksi yang sulit, atau saat ekstrasi dari kantung empedu tidak termasuk dalam pengambilan kantung.

Gambaran komplikasi yang berhubungan dengan hilangnya batu empedu termasuk, infeksi luka, fibrosis, obstruksi usus halus, pembentukan abses intraabdomen, demam, fistula, kehilangan berat badat dan sinus kutaneus. Fistula dapat terjadi sebagai bilio-kutaneus, colocutaneus, bilio colocutaneus, dan bilio-enteric secara alamiah. Batu empedu yang menetap pada Morrisons pouch mungkin dapat berkembang menjadi abses kronis yang dapat memaksa secara posterior dan ada secara eksternal keluar dari area lumbal dan panggul. Batu yang menetap pada omentum gastrocolic dapat menghasilkan nyeri yang berat, masa fibrosis yang sangat memerlukan eksplorasi. Iritasi kronik dari batu pada usus dapat menghasilkan fistula usus dan gallstone ileus.

Gambar 15. Abses pada retrohepatic recess

Komplikasi ini secara lanjut dapat dibagi menjadi komplikasi segera dan komplikasi lambat berdasarkan waktu kejadiannya. Masalah yang segera sangat mudah untuk didiagnosis. Pasien akan terdapat segera setelah pembedahan dengan adanya infeksi lokal yang berhubungan dengan debris batu. Beberapa akan menjadi demam pada awal postoperatif tanpa adanya bukti infeksi pada area lainnya.

Komplikasi lambat dilaporkan dapat terjadi hingga 8 tahun antara cholecystectomy dan munculnya gejala baru. Karena dari keterlambatan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dari munculnya abses atau fistula, terkadang masalah baru ini tidak dihubungkan dengan sebelumnya. mobilitas dari populasi dan perubahan dari penyedia layanan kesehatan dan rumah sakit membuat jarak temporal dan geografis antara cholecystectomy dan munculnya gejala baru. Pencatatan mungkin buruk, walaupun ketika pasien masih pada satu sistem pelayanan kesehatan, sejak dokter bedan mungkin enggan untuk menyediakan bukti pada catatan operasi bahwa kantung empedu telah perforasi, atau batu telah tumpah.

Workup diagnostik pada pasien ini dapat melibatkan CT scan, endoskopi, barium, dan USG. Pilihan terakhir mungkin yang paling membantu untuk menentukan penyebab, sebagai itu hal terbaik dalam menggambarkan batu. CT scan akan mendiagnosis abses dan beberapa fistula. Studi kontras dapat mendiagnosis fistula enterocutaneus, dan enterocolonic. ERCP mungkin dapat digunakan untuk menemukan fistula bilio-enteric, walaupun barium retrograde dapat juga memperlihatkan hal tersebut.

Gambar 16. Massa omentum dengan batu empedu

Penanganan dari komplikasi hilangnya batu empedu dapat semudah membuka sisi sakit dan evakuasi debris. Untuk kasus dengan abses kronis intraabdomen dengan fistula subkutan, penanganan membutuhkan membuka pendekatan anterior untuk membuka dan debridement, dengan pengangkatan semua debris batu. Untuk abses kronis posterior, drainase posterior pada rusuk ke 12 dapat menghindar dari sulitnya eksposur anteiru untuk debridement dibelakang hati. Penanganan dari fistula bilio-cutaneus, bilio-enteric, dan bilio-colonic adalah mengangkat dari debris batu dan penutupan dari fistula bilier dan reseksi dari usus yang terlibat. Gallstone ileus membutuhkan enterotomy dan pengangkatan dari batu empedu.

Gambar 17. CT scan dari batu empedu yang menyebabkan obstruksi, gallstone ileus

Konsekuensi dari hilangnya batu empedu saat laparoskopi cholecystectomy dapat mencapai jauh dari operasi sebenarnya. Mungkin kesulitan terbesar dalam mendiagnosis dan menangani kondisi ini adalah ketidakmampuan secara sering berhubungan dengan prosedur pasien rawat jalan dengan masalah intraabdomen kronis dan seringnya berat. Pencatatan absolut oleh dokter bedah bahwa kantung empedu telah rupture, batu tercecer, dan bagaimana mereka menerima, akan membantu mendiagnosis komplikasi lambat. Jumlah yang nyata dari komplikasi hilangnya batu empedu sangat tidak mungkin untuk dicatat, karena seringnya pasien datang dari institusi lain, yang mendapatkan pengetahuan tentang jumlah total dari kolesistektomi yang dilakukan sangat sulit. Memon dan kolega, mendokumentasikan dari pengalaman dokter bedah selama 7 tahun dengan 856 pasien, berharap memberikan wawasan yang terbaik. Dirinya melaporkan 106 kasus perforasi kantung empedu dengan 4 komplikasi segera dan satu komplikasi lambat. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah hilangnya batu empedu? Berhadapan dengan kantung empedu yang inflamasi secara akut, dokter bedah harus melakukan dekompresi dini dengan alat penghisap besar, dan menjahit atau klip pada dinding kantung empedu yang terbuka. Pada saat diseksi yang sulit, diharapkan dokter bedah yang datang harus mengambil bagian pada operasi. Dan jika kantung empedu robek, peletakan awal dari kantung dibawah kantung empedu dapat memberikan dokter bedah untuk mengeluarkan batu dari kantung empedu kedalam kantung. Apa yang lalu dilakukan dokter, ketika perforasi dan luberan batu terjadi? Berdasarkan semua ketersediaan data, pilihan terbaik untuk memastikan mendapatkan semua batu empedu yang ilang, irigasi secara ektensif, dipertimbangkan menggunakan antibiotik jangka pendek, dan mendokumentasikan perforasi pada catatan operasi. Hilangnya batu tidak sebagai mandat untuk perubahan terbuka, walaupun kontaminasi masif dengan batu pigmen dapat menjadi jaminan.

Gambar 18. Lost gallstone yang ditemkan saat laparotomi