Gagal jantung

download Gagal jantung

of 17

Transcript of Gagal jantung

GAGAL JANTUNG

Marcella Pradita Natalia Endah Utami Prisma Andini Mukti Fransischa Soembarwati Febriwany Silvi M.

(088114012) (088114022) (088114035) (088114054) (088114067)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011

A. Definisi Gagal jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan karena ketidakmampuan jantung dalam memompa darah pada jumlah yang cukup bagi kebutuhan metabolisme tubuh. gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan/atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik) (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, Kusnandar, 2008). Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang menyebabkan ketidakmampuan ventrikel untuk memasukkan dan mengeluarkan darah, sehingga menyebabkan jantung tidak dapat memompa darah. Gagal jantung merupakan jalur akhir dari beberapa gangguan kardiak termasuk yang mempengaruhi perikardium, katup jantung, dan miokardium (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 2008). B. Etiologi Gagal jantung diakibatkan gangguan kemampuan jantung untuk berkontraksi (fungsi sistolik) dan/ atau berelaksasi (fungsi diastolic). Gagal jantung dengan gangguan fungsi sistolik merupakan hal yang klasik, suatu bukti terbaru menunjukkan lebih dari 50 % pasien dengan gagal jantung mempertahankan gungsi sistolik ventricular kiri dengan disfungsi diastolik (Dipiro, et al., 2008).

Tabel 1. Penyebab gagal jantung (Dipiro, et al., 2008)

C. Patofisiologi Secara klinis, penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori (Dumitru, 2011): a. Penyebab utama/underlying cause Penyebab utama gagal jantung meliputi abnormalitas struktural yang

mempengaruhi sirkulasi perifer dan arteri, perikardium, miokardium atau katup jantung, yang meningkatkan beban hemodinamik. Penyebab utama gagal jantung antara lain coronary artery disease (CAD), hipertensi, penyakit jantung valvular, penyakit jantung kongenital, aritmia. b. Penyebab dasar/fundamental cause Penyebab dasar melibatkan mekanisme fisiologis atau biokimiawi, misalnya berkurangnya suplai oksigen ke miokardium menyebabkan kontraksi miokardium melemah. c. Penyebab pencetus/precipitating cause Gagal jantung dapat dipicu oleh beberapa kondisi, antara lain tirotoksikosis, cor pulmonale, polisitemia vera, kehamilan dan obesitas.

Gagal jantung dapat diakibatkan kelainan pada kemampuan jantung untuk kontraksi (fungsi sistolik) dan/atau relaksasi (fungsi diastolik). Disfungsi sistolik maupun diastolik dapat menurunkan nilai cardiac output (CO) dan menimbulkan gejala gagal jantung. Manifestasi disfungsi sistolik yang paling banyak terjadi adalah kerusakan fungsi ventrikel kiri, yang menyebabkan sebagian besar kasus gagal jantung. Disfungsi diastolik disebabkan terutama oleh hipertensi dan menyertai dua-per-tiga kasus gagal jantung akibat disfungsi sistolik (Chisholm-Burns, 2008; Dipiro et al., 2008). Berdasarkan penyebab utamanya, gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung iskemik dan non-iskemik, namun sebesar 70% merupakan gagal jantung iskemik. Penyebab iskemik, CAD, menyebabkan akut infark miokardial dan penurunan fungsi ventrikel. Hipertensi, infeksi virus, penyakit tiroid, konsumsi alkohol berlebih, penyakit congenital dan kelainan valvular, seperti regurgitasi katup mitral atau stenosis termasuk penyebab non-iskemik (Chisholm-Burns, 2008).

Tabel 1 Penyebab Gagal Jantung (Chisholm-Burns, 2008)

Disfungsi sistolik (penurunan kontraksi) Pengurangan massa otot (seperti infark miokardium) Kardiomiopati dilatasi Hipertropi ventrikular Overload tekanan Overload volume

Disfungsi diastolic (restriksi pengisian ventrikel) Peningkatan kekakuan ventrikel Hipertropi ventrikular Penyakit miokardial infiltratif Iskemia dan infark miokardial Stenosis katup mitral atau trikuspidal Penyakit perikardial (seperti perikarditis)

A. Klasifikasi dan PatofisiologiGagal jantung sangat dipengaruhi oleh cardiac output (CO), yaitu volume darah yang dipompa dari jantung per satuan waktu (liter per menit). Besarnya CO dipengaruhi oleh denyut jantung/heart rate dan stroke volume, yaitu volume darah yang dipompa pada setiap sistolik, dimana CO = HR x SV. Denyut jantung dikontrol oleh sistem saraf autonom. Stimulasi pada reseptor -adrenergik meningkatkan denyut jantung, dengan demikian menyebabkan peningkatan CO (Chisholm-Burns, 2008). Stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraksi otot jantung. Preload ditentukan oleh volume darah yang kembali ke ventrikel kiri, maka peningkatan volume darah tersebut menyebabkan peregangan otot jantung, meningkatkan kontraksi jantung sehingga SV meningkat. Peningkatan tekanan aorta dan sistemik meningkatkan afterload dan mengurangi SV. Kontraksi otot jantung dipengaruhi oleh aktifitas saraf adrenergik dan ketekolamin (Chisholm-Burns, 2008). Ketika otot jantung tidak lagi mampu bekerja secara normal, sejumlah mekanisme membantu kerja jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh, yaitu:

1. Mekanisme Frank-Starling Ketika terjadi penurunan CO secara tiba-tiba, tubuh merespon dengan mengurangi aliran darah yang menuju perifer untuk menjaga perfusi darah ke organ vital, seperti jantung dan otak. Akibatnya perfusi renal terganggu, mengakibatkan aktifasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) (Chisholm-Burns, 2008). Perfusi renal yang berkurang memicu ginjal mensekresi renin, yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memicu sintesis aldosteron, yang menstimulasi retensi natrium dan air, meningkatkan volume intravaskular dan preload sehingga CO meningkat. Akan tetapi pada penderita gagal jantung, perubahan filamen kontraktil mengurangi kemampuan karidiomiosit untuk merespon perubahan preload, maka pada penderita gagal jantung, peningkatan preload mengganggu fungsi kontraksi jantung dan semakin menurunkan CO (Chisholm-Burns, 2008; Dipiro et al., 2008).

Gambar 1 Fisiologi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (Dipiro et al., 2008)

2. Takikardia dan peningkatan afterload Peningkatan denyut jantung dapat meningkatkan CO, yang dapat dicapai melalui aktifasi sistem saraf simpatis dan efek agonis norepinefrin dengan reseptor adrenergik. Mekanisme ini meningkatkan CO, namun aktifasi saraf simpatis memicu respon kronotropik dan inotropik yang menyebabkan peningkatan kebutuhan

miokardium akan oksigen dan dapat memperburuk iskemia, memicu proaritmia serta memperburuk disfungsi sistolik dan diastolic (Chisholm-Burns, 2008). 3. Vasokonstriksi Pada gagal jantung, vasokonstriksi terjadi untuk redistribusi aliran darah dari organ nonesensial ke organ esensial, seperti jantung dan otak. Beberapa neurohormon yang terlibat dalam vasokonstriksi adalah norepinefrin (NE), endotelin-1, angiotensin II dan vasopresin arginin (AVP). Vasokonstriksi menghalangi pompa darah dari ventrikel, sehingga semakin mengurangi CO dan meningkatkan respon kompensasi (Dipiro et al., 2008). 4. Hipertropi kardial dan cardiac remodeling Hipertropi ventrikel adalah peningkatan massa otot ventrikel akibat pertumbuhan aktif miosit, yang terjadi karena peningkatan beban hemodinamik. Hipertropi dapat bersifat konsentrik atau eksentrik. Konsentrik terjadi ketika tekanan berlebih, seperti pada hipertensi atau hipertensi pulmonar, sedangkan eksentrik terjadi setelah infark miokardial (Chisholm-Burns, 2008).

Neurohormonal model Kejadian gagal jantung meliputi aktivasi jalur neurohormonal termasuk sistem saraf simpatis (SNS) dan sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS). Model ini dimulai dengan terjadinya presipitasi atau gangguan miokardial yang menyebabkan penurunan kardiak output. Hal ini termasuk aktivasi jalur neurohormonal termasuk RAAS, SNS, endotelin dan vasopressin. a. Angiotensin II Angiotensin II merupakan neurohormon utama yang berperan dalam patofisiologi gagal jantung. Efek vasokonstriksi angiotensin II menyebabkan peningkatam resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah. Di ginjal, angiotensin II meningkatkan fungsi ginjal dengan meningkatkan tekanan intraglomerular melalui konstriksi arteriol efferent. Peningkatan tekanan filtrasi glomerular diimbangi dengan penurunan perfusi renal akibat dari pengaruh angiotensin II yang melepaskan neurohormon vasoaktif seperti vasopressin dan endotelin 1 (ET1). Angiotensin II juga merangsang pelepasan aldosteron dari kelenjar adrenal dan norepinefrin dari saraf adrenergik. Angiotensin II menginduksi hipertrofi vaskuler dan pembentukan kembali sel-sel pada jantung dan renal. Studi klinis menunjukkan bahwa pemblokan RAAS pada gagal jatung berkaitan dengan

peningkatan fungsi jantung. Oleh karena itu, inhibitor ACE dan ARBs merupakan dasar pengobatan gagal jantung (Chisholm-Burns, Wells, Schwinghammer, Malone, Kolesar, Rotschafer, et al., 2008).

b. Aldosteron Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air sehingga meningkatkan volume intravaskuler dan kardiak output. Aldosteron juga berkontribusi dalam abnormalitas elektrolit yang terlihat pada pasien gagal jantung. Hipokalemia dan hipomagnesemia berkontribusi pada peningkatan risiko aritmia. Suatu bukti menunjukkan fungsi aldosteron sebagai faktor etiologi fibrosis miokardial. Peningkatan konsentrasi aldosteron berkaitan dengan penyakit jantung yang lebih parah dan prognosis gagal jantung. Antagonis aldosteron merupakan target terapi pada perkembangan prognosis jangka panjang (Chisholm-Burns, et al., 2008).

c. Norepinefrin Norepinefrin merupakan suatu penanda aktivasi sistem saraf simpatis. Norepinefrin berperan dalam menstimulasi denyut jantung dan kontraktilitas miokardial untuk memperbesar kardiak output dan vasokontriksi. Aktivasi saraf simpatis meningkatkan risiko aritmia, iskemia dan kematian sel miosit melalui beban kerja miokardial dan apotosis (kematian sel yang terprogram). Ventrikuler hipertrofi dan pembentukan kembali dipengaruhi oleh norepinefrin. Konsentrasi plasma ventrikuler ditingkatkan seiring dengan keparahan gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008). Efek merugikan dari aktivasi sistem saraf simpatis diperlihatkan pada uji klinis dengan agonis, fosfodiesterase inhibitor dan obat-obatan yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis. Sebaliknya, -agonis, ACE inhibitor, dan digoksin menurunkan aktivasi sistem saraf simpatis melalui beberapa mekanisme dan berperan dalam gagal jantung (Dipiro, et al., 2008).

d. Endotelin Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor yang paling poten. Endotelin-1 berikatan dengan reseptor 2 G-protein yaitu endotelin A dan endotelin B. Reseptor endotelin A berperan dalam vasokonstriksi. Reseptor endotelin B diekspresikan

pada endothelium dan otot polos vaskuler, dan stimulasi reseptor menyebabkan vasodilatasi (Chisholm-Burns, et al., 2008).

e. Vasopressin arginin Konsentrasi vasopressin yang lebih tinggi berkaitan dengan dilusi hiponatremia dan prognosis gagal jantung. Reseptor vasopressin ada 2 tipe yaitu reseptor vasopressin tipe 1a dan tipe 2. Stimulasi vasopressin tipe 1a akan menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan vasopressin tipe 2 menyebabkan retensi bebas air melalui kanal aquaporin dan oksigen miokardial pada gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008).

f. Counterregulatory hormone (peptide natriuretik, bradikinin dan nitrat oksida) Atrial natriuetic peptide (ANP) dan B-type natriuetic peptide (BNP) merupakan neurohormon yang berperan dalam keseimbangan natrium dan air. Peptida natriuetik menurunkan reabsorpsi natrium pada duktus kolektivus dan menyebabkan vasodilatasi melalui jalur siklik guanosin monofosfat. ANP disintesis dan disimpan pada atrium, sedangkan BNP diproduksi di ventrikel. Pelepasan ANP dan BNP distimulasi oleh peningkatan kelenturan dinding jantung yang biasanya mengindikasikan volume load. Konsentrasi peptida natriuetik yang tinggi berkorelasi dengan klasifikasi gagal jantung yang lebih parah. BNP sensitif terhadap status volume, sehingga konsentrasi plasma dapat digunakan sebagai penanda diagnosis gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008). Bradikinin merupakan bagian dari sistem kallikrein-kini yang berkaitan dengan RAAS melalui ACE. Bradikinin merupakan peptida vasodilator yang dilepaskan pada respon stimulus termasuk neurohormonal dan mediator inflamasi. Nitrat oksida merupakan hormon vasodilator yang dilepaskan oleh endothelium. Nitrat oksida memberikan 2 manfaat utama pada gagal jantung yaitu vasodilatasi dan antagonis endotelin. Produksi nitrat oksidan dipengaruhi oleh enzim inducible nitric oxide synthetase (iNOS), yang menyebabkan peningkatan jumlah angiotensin II, norepinefrin dan sitokin. Pada gagal jantung, respon fisiologis nitrat oksida berkontribusi pada kketidakseimbangan vasokonstriksi dan vasodilatasi (Chisholm-Burns, et al., 2008).

Kardiorenal model Ada bukti yang menunjukkan hubungan antara penyakit renal dengan gagal jantung. Insufisiensi renal terdapat pada satu dari 3 pasien gagal jantung. Pada pasien yang berada di rumah sakit, adanya insufisiensi renal berkaitan dengan lamanya tinggal, peningkatan morbiditas dan mortalitas dan peningkatan neurohormonal. Disfungsi renal merupakan komplikasi gagal jantung. Gagal ginjal merupakan penyebab umum dari dekompensasi gagal jantung (ChisholmBurns, et al., 2008).

D. Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan gagal jantung menurut New York Heart Association dan American College of Cardiology (Chisholm-Burns, et al., 2008) NHYA functional class N/A A Pasien dengan risiko gagal jantung yang besar namun tidak mengalami gejala gagal I B jantung Pasien dengan penyakit jantung, namun masih bisa beraktifitas dengan normal II C (aktifitas tersebut tidak menimbulkan palpitasi, fatigue dan dyspnea Pasien dengan penyakit jantung, namun III C sedikit tidak mampu beraktiitas (aktifitas tersebut menimbukan palpitasi, dyspnea dan fatigue) Psaien peyakit jantung yang tidak bisa IV C, D melakukan aktifitas fisik. Pasien harus beritirahat total karena adnayna aktifitas fisik akan memicu timbulnya gejala Pasien gagal jantung yang tidak mampu untuk beraktifitas. Pada saat istirahat gejala ACC stage Keterangan

dapat timbul.

E. Gejala dan tanda

Gambar 1. Rangkaian gagal jantung (Porth, 2004)

Gejala : Dispnea Ortopnea Nafas pendek Paroksimal nocturnal dispnea Intoleransi latihan Tachypnea Batuk

Lelah Nokturia dan/atau poliuria Hemoptysis Kembung Ascites Anoreksia Mual Perubahan status mental Kelemahan Letargi (Chisholm-Burns, et al., 2008)

Tanda Pulmonary rales Pulmonary edema Pleural effusion Respirasi Cheyne-Stokes Takikardi Kardiomegali Edema perifer Jugular venous distension (JVD) Hepatojugular reflex (HJR) Hepatomegali Sianosis Kepucatan pada bagian ektremitas (Chisholm-Burns, et al., 2008)

F. Terapi 1. Terapi nonfarmakologis 1) Mengurangi asupan garam dengan menghindari makanan olahan dan tidak menambahkan garam untuk makanan (pasien dengan gagal jantung harus mengambil < garam 6gm / hari) 2) Membatasi asupan alkohol untuk 1-2 unit per hari pada gagal jantung dan alkohol disarankan pada pasien dengan alkohol-induced cardiomyopathy 3) Mengurangi berat badan jika obesitas pada tingkat sekitar 2 per minggu

4) Advising berhenti merokok karena merokok menyebabkan vasokonstriksi perifer, yang memperburuk gagal jantung. 5) Membatasi asupan cairan pasien mungkin bermanfaat dan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu. Batas yang direkomendasikan biasanya antara 1,5 2litres / 24 jam. 6) Pemantauan berat badan setiap hari. Setiap kenaikan berat badan 2-3 selama 2-3 hari karena hal ini dapat menunjukkan mereka mempertahankan cairan dan memerlukan peningkatan diuretik. 7) Menghindari makanan tertentu, obat-obatan dan selama perawatan kontra karena interaksi obat yang potensial (Mowat, 2007).

2. Terapi farmakologis

Tabel 2. Terapi farmakologis gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008)

Tujuan pengobatan gagal jantung yaitu menghilangakan gejala dan meningkatakan kualitas hidup pasien dan tujuan jangka panjangnya yaitu mengurangi disfungsi jantung. Treatment untuk heart failure termasuk penyebab-penyebab terjadinya gagal jantung seperti pengobatan terhadap anemia atau tirotoksikosis, pembedahan untuk perbaikan ventrikular, mengontrol stress afterload baik secara farmakologis maupun nonfarmakologis, modifikasi lifestyle, dan penggunaan obat untuk meningkatkan fungsi jantung. Restriksi terhadap garam dan terapi diuretic akan memfasilitasi ekskresi cairan edema. Konseling, health teaching, dan evaluasi program bagi penderita gagal jantung berfungsi agar pasien tetap taat terhadap pengobatan (Porth, 2004).

Apabila gagal jantung tergolong sedang hingga parah, treatment polifarmasi menjadi standard dan biasanya pengobatan berupa diuretic, digoksin, ACE inhibitor, dan -adrenergic blocking agent (Porth, 2004).

1. Diuretik digunakan untuk meningkatkan ekskresi sodium dan air. Obat golongan ini mengeliminasi kelebihan cairan yang terakumulasi dan dapat menyebabkan edema atau penurunan fungsi miokardial (Vander, 2001). Diuretik akan meningkatkan ekskresi cairan edema dan membantu mempertahankan cardiac output dan perfusi jaringan dengan mengurangi preload dan membuat kerja jantung lebih optimal menurut kurva Frank-Starling. Dalam keadaan emergency pasien dapat diberikan diuretik dalam bentuk IV sehingga obat dengan cepat akan mengurangi volume darah balik karena vasodilatasi sehingga mengurangi tekanan ventrikular kanan dan pembuluh darah pulmonary (Porth, 2004). 2. Cardiac Inotropic drugs akan meningkatkan kontraktilitas ventricular dengan meningkatkan konsentrasi kalsium sitosolik dalam sel miokardial. Transport aktif kalsium, pompa Ca-ATPase dan counter transport sekunder kalsium dengan sodium akan memindahkan ion kalsium ke dalam sitosol. Kalsium channel akan membiarkan difusi kalsium terjadi dari cairan ekstraselular dan organel sel. Cardiac Inotropic drugs berperan meningkatkan konsentrasi kalsiun pada otot kardiak sehingga terjadi peningkatan force of contraction. Peningkatan kalsium merupakan proses yang tidak langsung. Digoksin mengeblok pompa aktif sodium potassium pada membrane sel kardiak dengan memperebutkan tempat K+. Peningkatan sodium pada sel akan menghasilkan pengeblokan pompa dan menurunkan gradient konsentrasi sodium yang akan memasuki sel. Ion kalsium keluar melalui pertukaran pasif dan konsentrasi kalsium di dalam sel akan meningkat (Silbernagl and Lang, 2000).

Digitalis telah digunakan sebagai treatmen HF selama lebih dari 200 tahun. Cardiac glicosides akan meningkatkan fungsi jantung dengan meningkatkan tekanan dan kekuatan kontraksi ventikular. Digitalis menyebabkan penurunan aktivitas sinoatrial node dan pengurangan konduksi nodus antrioventrikular, cardiac glycosides juga dapat menurunkan kecepatan detak jantung dan meningkatkan diastolic filling time. Meskipun bukan sebagai diuretic, digitalis mampu meningkatkan pengeluaran urin dengan meningkatkan CO dan renal blood flow. Digitalis bertindak dengan mengikat ATPase pada membrane sel dan menginhibisi pompa sodium-potasium. Ketika sodium intraselular meningkat karena adanya inhibisi pompa sodium potassium, pertukaran kalsium intraselular dengan sodium juga dihambar dan menghasilkan kalsium berlebih untuk mengaktivasi myocardial actin-myosin contractile apparatus (Porth, 2004). Rekomendasi dosis harian penggunaan digoksin yaitu 0,125 mg hingga 0,25mg apabila serum kreatinin (SCr) dalam kondisi normal. Range terapeutik serum level yaitu 0,5-0,8 ng/mL. Dosis yang lebih rendah ditujukan bagi pasien berusia lebih dari 70 tahun. Efek samping utama yaitu aritmia jantung, anoreksia, nausea, gangguan fungsi penglihatan (Linn, Wofford, OKeefe, and Posey, 2009). 3. Vasodilator Obat ini bekerja dengan menurunkan total peripheral resistance dan arterial blood pressure (afterload) (Wedmeiner, Raff, Srang, 2001). Nitrat merupakan venodilator utama yang berfungsi mengurangi preload dan hidralazine merupakan arterial vasodilator yang beraksi dengan mengurangi systemic vascular resistance (SVR). Kombinasi isosirbit dinitrat dan hidralazine terbukti meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi rawat inap pada NYHA-FC III/IV HF (Porth, 2004). Dosis harian isosorbit dinitrat dan hidralazine yaitu 160mg dan 300mg. Efek samping yang ditimbulkan berupa sakit kepala dan hipotensi (Porth, 2004). 4. ACE Inhibitor ACE inhibitor akan mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Pada gagal jantung, aktivitas renin akan meningkat karena berkurangnya renal blood flow. Hal tersebut menyebabkan peningkatan angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan produksi aldosteron dan peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal. Mekanisme tersebut akan meningkatkan bebean kerja jantung. Obat yang bekerja sebagai blocker reseptor angiotensin II (ARB) terbukti tidak

menyebabkan batuk yang merupakan side effect ACE inhibitor pada beberapa pasien (Porth, 2004). 5. Angiotensin II Receptor Blocker ARB menginhibisi angiotensin II reseptor subtipe AT1 yang akan mengurangi efek renin-angiotensin sistem. ACE inhibitor tetap dijadikan sebagai terapi first choice untuk inhibisi renin-angiotensin sistem pada gagal jantung kronis. ARB digunakan apabila pasien mengalami intolerasi dengan ACEI karena efek samping ACEI batuk atau angidema. Risiko penggunaan ARB diantaranya disfungsi renal, hipotensi, dan hiperkalemia (Porth, 2004). 6. Beta-adrenergic receptor antagonists Obat golongan ini menginhibisi aktivasi efek kardio-stimulatori oleh saraf simpatetik. Aktivasi oleh SNS terjadi menyebabkan pengurangan CO. pada gagal jantung kronis, aktivasi SNS memiliki efek yang tidak diinginkan yaitu peningkatan myocardial oxygen demand, aritmia ventricular, apoptosis myocyte. -blocker digunakan bagi pasien pada stage B hingga D (Porth, 2004). 7. Aldosterone Antagonist Dosis awal yang direkomendasikan bagi spirolactone yaitu 12,5mg atau eplerenone 25mg per hari dan apabila cocok bagi pasien dapat ditingkatkan menjadi 25 dan 50mg (Porth, 2004). 8. Nesiritide Nesiritide (Natrecor) merupakan bentuk sintetik dari BNP (B-type natriuretic peptide) dan diindikasikan bagi pasien dengan acute decompensation heart failure (ADHF) yang menderita dispnea pada kondisi istirahat atau beraktivitas minimal. Nesiritide merupakan vasodilator yang mampu mendilatasi sistem vena maupun arteria sehingga terjadi penurunan preload dan afterload. Nesiritide meningkatan ekskresi sodium tanpa mengaktivasi RAA sistem. Nesiritide diadministrasikan secara continuous IV infusion selama kurang dari 48jam (Porth, 2004).

Daftar Pustaka

Chisholm-Burns, M.A.,Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C. et al., 2008, Pharmacotherapy Principles & Practice, Mc Graw Hills Medical, pp. 37. Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 7th Edition, McGraw Hill, USA, pp. 173-175. Linn, W. D., Wofford, M. R., OKeefe, M. E., and Posey, L. M., 2009, Pharmacotherapy in Primary Care, McGraw-Hill, USA, pp. 22, 25-26. Mowat, K., 2007, Non-Pharmacological Management of Cardiac Failure,diakses

http://www.nes.scot.nhs.uk/prescribing/topics/HeartFailure/page6.htm,tanggal 4 Oktober 2011.

Porth, C. M., 2004, Pathophysiology - Concepts of Altered Health States 7th edition, Lippincot William-Wilkins, US, pp. 606. Silbernagl, S., and Lang, F., 2000, Color Atlas of Pathophysiology, Thieme, New York, pp. 130-133. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I. K., Setiadi, A.A.P., Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 92. Wedmeiner, E., Raff, H., Srang, K., 2001, Vanders Human Physiology: The Mechanism of Body Function 8th edition, Mc-Graw Hill, USA, pp. 612.