Gagal Ginjal Kronis

23
Gagal Ginjal Kronis 1. Definisi Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. 4 Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik. 1 Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal 6,9 . Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain 4 : 1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,

description

Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Transcript of Gagal Ginjal Kronis

Page 1: Gagal Ginjal Kronis

Gagal Ginjal Kronis

1. Definisi

Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada

suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.4 Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan

penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan

disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan

praktek program penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus

dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik.1 Uremia adalah

suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan

fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan gejala

uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak

sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan

hilangnya fungsi ginjal 6,9.

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain4 :

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG), dengan manifestasi :

o kelainan patologis

o terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan

dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau

lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2. Klasifikasi 9

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat

(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit

Page 2: Gagal Ginjal Kronis

dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault

sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 1:

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)

1

2

3

4

5

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑

Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan

Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang

Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat

Gagal ginjal

> 90

60-89

30-59

15- 29

< 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2 :

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun,

infeksi sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vascular (penyakit pembuluh

darah besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis

kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin /

takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

3. Epidemiologi 6,9

Page 3: Gagal Ginjal Kronis

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit

ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini

meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta

diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara

berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk

pertahun 6.

4. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara

struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini

akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan

aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh

proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

iikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya

sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron

intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan

progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron,

sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß.

Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit

ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat

variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun

tubulointerstitial.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau

malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai

pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan

lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di

bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti

anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,

Page 4: Gagal Ginjal Kronis

pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti

infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan

terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan

keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan

terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi

ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

5. Pendekatan Diagnosis

Gambaran Klinis 7,8,9,10

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus

Sistemik (LES),dll.

b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia,

kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

khlorida).

Gambaran Laboratorium 7,8,9,10

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar

kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria

Gambaran Radiologis 7,8,9,10

Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

Page 5: Gagal Ginjal Kronis

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

6. Penatalaksanaan Medis

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya, dapat

dilihat pada tabel 3 9.

Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya

Derajat LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana tatalaksana

1 > 90 terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,

evaluasi pemburukan (progession)

fungsi ginjal, memperkecil resiko

kardiovaskuler

2 60-89 menghambat pemburukan (progession)

fungsi ginjal

3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 terapi pengganti ginjal

Terapi Nonfarmakologis:9,10

a. Pengaturan asupan protein:

Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK

LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari

>60 tidak dianjurkan

25-60 0,6-0,8/kg/hari

5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g

asam amino esensial atau asam keton

<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria

atau 0,3 g/kg tambahan asam amino

Page 6: Gagal Ginjal Kronis

(sindrom nefrotik)

esensial atau asam keton.

b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari

c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang

sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari

f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari

g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari

h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari

i. Besi: 10-18mg/hari

j. Magnesium: 200-300 mg/hari

k. Asam folat pasien HD: 5mg

l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis 6,7,8,9:

a. Kontrol tekanan darah

- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan

kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%

atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.

- Penghambat kalsium

- Diuretik

b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat

sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas

nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%

c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl

d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol

e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l

f. Koreksi hiperkalemia

g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin

h. Terapi ginjal pengganti.

Page 7: Gagal Ginjal Kronis

MANIFESTASI ORAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi ginjal

hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi dari berbagai

produk buangan sistemik akan memberikan gambaran penyakit ginjal kronis pada rongga

mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi

penyakit ginjal kronis pada rongga mulut, yaitu :

(a). Oral Malodor / Bau Mulut Tak Sedap

Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal

berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi sensasi

pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi

ini sering dialami oleh penderita yang menjalani hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal

odor ini terjadi karena konsentrasi urea yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi

ammonia pada penderita dengan gejala uremia. 11

(b). Serostomia

Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan penderita

yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini sering terjadi

sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia, dehidrasi, pernafasan

melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius,

restriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat.11

Serostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi

gusi, kandidiasis, serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan retensi gigi palsu,

kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman. 11

(c). Plak, Kalkulus dan Karies.

Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit ginjal

kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu penelitian, serostomia akan

meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi produk urea serta

pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat memperburukkan kondisi

rongga mulut di mana jumlah kalkulus meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi karies.

Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari hemodialisis. 11

Page 8: Gagal Ginjal Kronis

Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan konsentrasi

ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita penyakit ginjal

kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya

kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh

peneliti, di mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat

peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada

anak-anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga

mulut, risiko karies tetap rendah dan terkontrol. 11

Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan

homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang

buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia,

dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi

urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan pembentukan kalkulus

terutama pada penderita yang menjalani hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani

hemodialisis memiliki jumlah magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita

yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut

menyebabkan retensi oksalat. 11

(d). Pembesaran Gusi

Pembesaran gusi skunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral pada

penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh cyclosporin

dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papila interdental labia,

walaupun kadang dapat menjali lebih luas, yaitu dengan melibatkan tepi gusi dan lidah serta

permukaan palatum. 11

(i) Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin

Prevalensi pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin masih belum

jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 sampai 85%. Hal ini dapat terlihat

pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan. Anak-anak dan remaja mungkin lebih rentan

terkena pembesaran gusi akibat cyclosporin dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas

mulut jelek, orang yang lebih tua juga rentan terkena pembesaran gusi. 11

Perbaikan pada higienitas mulut dan pembersihan secara profesional menghasilkan

pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan cyclosporin. Akan tetapi, ini mungkin

Page 9: Gagal Ginjal Kronis

dikarenakan berkurangnya peradangan yang berhubungan dengan plak bukan karena

pembesaran gusi yang berhubungan dengan obat. 11

Gambar 1: Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin. 11 (Sumber : Periodontology for the Dental Hygienist

3rd ed. 2007. Missouri:112)

(ii) Pembesaran Gusi akibat Calcium Channel-blocker

Prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan nifedipin bervariasi

dan terjadi pada 10 sampai 83% pada yang mengkonsumi obat ini. Tidak ada data penelitian

mengenai frekuensi pembesaran gusi yang diakibatkan oleh calcium channel-blocker lainnya.

Keberadaan plak gigi mungkin merupakan predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat

nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh dalam perkembangannya. Dosis dan durasi

pengobatan tidak berkaitan dengn prevalensi terjadinya pembesaran gusi. Beberapa penelitian

telah melaporkan penurunan pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin dengan calcium

channel-bocker lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat menyebabkan pembesaran

gusi. 11

(e). Lesi Mukosa

Spektrum lesi mukosa yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih

cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada penderita yang

menjalani transplantasi dan hemodialisis (Tabel 1). Plak ini disebut uremic frost (Gambar.2),

dan terjadi apabila sisa kristal urea terdeposit pada permukaan epitel dari evaporasi respirasi,

juga karena aliran saliva yang berkurang. Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek

Page 10: Gagal Ginjal Kronis

dari terapi obat, dan oral hairy leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi sekunder dari efek

imunosupresi obat. 11

Tabel 1. Laporan lesi mukosa oral pada penyakit ginjal kronis.11

Stomatitis uremik perlu diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah berpigmentasi

putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremik tipe eritematous,

suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu

menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan

yang pultaceous. Secara umumnya, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan

tidak paralel secara klinis. Manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen

yang membentuk trauma kimia secara langsung akibat gagal ginjal. 11

Page 11: Gagal Ginjal Kronis

Gambar 2 : Uremic Frost pada penderita penyakit ginjal kronis pada sublingual. 11 (Sumber : Burket’s

Oral Medicine 11th ed. 2008. Hamilton:374)

(f). Perubahan Warna Mukosa

Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini

disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut pallor.

Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-

karotin. 11

(g). Keganasan Rongga Mulut

Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima hemodialisis

adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun telah ada laporan yang

menunjukkan bahwa terapi yang menyertai tranplantasi ginjal merupakan predisposisi

kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir. Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat

muncul pada mulut resipien transplantasi ginjal yang mengalami imunosupresi. Ada beberapa

laporan kejadian karsinoma sel skuamosa di daerah pembengkakan gusi yang disebabkan

penggunaan siklosporin. Tiap peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien gagal ginjal

kronis mungkin menunjukkan efek imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian

tumor yang berhubungan dengan virus seperti sarkoma Kaposi atau limfoma Non Hodgkin.

Perkembangan tumor juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita

penyakit ginjal kronis, sebagai faktor risiko primer maupun sekunder. 11

(h). Infeksi Rongga Mulut

Infeksi rongga mulut pada penyakit ginjal kronis biasa lebih banyak terjadi pada

pasien yang menjalani transplantasi ginjal akibat menurunnya imunitas tubuh oleh obat-

obatan imunosupresan, juga pada beberapa pasien hemodialisis. Infeksi yang sering terjadi

adalah infeksi jamur dan virus. Angular cheilitis merupakan salah satu manifestasi infeksi

jamur dan terjadi 4% pada pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan hemodialisis

yang dilaporkan pada suatu penelitian, dan juga lesi jamur lainnya pada rongga mulut, seperi

pseudomembranous (1.9%), erythemoatous (3.8%), dan chronic atrophic candidiosis (3.8%).

Sedangkan Infeksi virus pada penyakit ginjal kronis biasannya berupa infeksi hepres yang

pernah dilaporkan pada pasien yang menerima transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini

penggunaan rejimen anti herpes telah mengurangi frekwensi kejadian tersebut. 11

Page 12: Gagal Ginjal Kronis

Gambar 3 : a. Angular chelitis. b. Pseudomembranous. c. Erythematous. d. Chronic atrophic

candidosis. 11 (Sumber :Medscape)

(i). Kelainan Gigi

Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi, peningkatan

mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis. Gigi lambat

tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis. Hipoplasi enamel pada gigi

susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi coklat juga dapat

timbut akibat dari perubahan metabolisme kalsium dan fosfor. Selain itu, pada gigi penderita

tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut

merupakan hasil mual dan muntah setelah menjalani perawatan dialisis.11

Page 13: Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan

lunak. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan kantung periodontal

yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada ligamen periodontal.

Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi maloklusi. 11

(j). Lesi Tulang Alveolar

Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini

menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolisme kalsium, termasuk hidroksilasi dari 1-

hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan ekskresi ion hidrogen (dan 7

Gambar 3 : a. Angular chelitis. b. Pseudomembranous. c. Erythematous d. Chronic atrophic

candidosis. (Sumber :Medscape) asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia,

hipokalsemia,dan hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir gangguan

biokimiawi pospat oleh proses dialisis. Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92%

pasien yang menerima hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi

tumor coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas gigi.

Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi tulang, fraktur

rahang, lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedang

pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain, terlambat tumbuh, hipoplasi enamel,

kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain.11

PENATALAKSANAAN GIGI PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang

khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi karena

efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan agar tidak

menambah beban dan rasa sakit pada penderita.11

Perawatan secara klinis yang teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari

komplikasi rongga mulut dari penyakit ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah

perawatan periodontal yang teratur, dan non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat

kebutuhan untuk perawtan gigi yang tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak

lebih baik dibandingkan mereka yang tanpa penyakit ginjal. 11

Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam, terutama

konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status penyakit, jenis

pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun mengenai komplikasi

Page 14: Gagal Ginjal Kronis

kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan yang digunakan oleh pasien

atau aspek lain dari pengobatan mereka harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan

nefrologis. 11

Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan yang

berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes hematologi

seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif dilakukan. Infeksi

rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila

risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia

meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan bedah. Demi

mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis

supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai,

tekanan darah penderita harus diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas

pada penderita dengan sedasi. 11

Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan dengan

penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit pembesaran gusi yang

diakibatkan oleh obat. Penatalaksanakan pembesaran gusi akibat efek obat idealnya adalah

dengan mengganti dengan obat lain, tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan, satu

penelitian melaporkan penggunakan obat kumur antimikrobial seperti metronidazole untuk

mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat meningkatkan konsentrasi

siklosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekurensi sering terjadi sehingga disarankan

agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin

glukonat topikal atau triklosan. 11

Daftar Pustaka :

1. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspect of

chronic renal failure. Journal of Dental Research.2005; 84(3): 199-208.

4. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of periodontal health status in patients

undergoing renal dialysis: a descriptive, cross-sectional study. Journal of Indian

Society of Periodontology.2012; 16(1): 41

6. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi

13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

Page 15: Gagal Ginjal Kronis

7. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.

Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.

8. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.

9. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi

IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.581-

584.

10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi

KedokteranPenyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.

11. Ginting, Andi Raga. 2010. Manifestasi Oral pada Penyakit Ginjal Kronis. Divisi

Nefrologi & Hipertensi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU.