G09rhb.pdf

41
DETEKSI DAN UJI TOKSISITAS LC50 SENYAWA AFLATOKSIN B1, B2, 6 1 , 6 2 PADA KACANG TANAH (Arachis hypogwea LIL) R. HARY 0 BJMO SETIARTO DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Transcript of G09rhb.pdf

  • DETEKSI DAN UJI TOKSISITAS LC50 SENYAWA AFLATOKSIN B1, B2, 61 , 6 2

    PADA KACANG TANAH (Arachis hypogwea LIL)

    R. HARY 0 BJMO SETIARTO

    DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

    2009

  • ABSTRAK

    R. HARYO BIMO SETIARTO. Deteksi dan Uji Toksisitas LC50 Senyawa Aflatoksin B1, B2, GI, G2 pada Kacang Tanah (AracJzis lvpogaea L). Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan EMAN KUSTAMAN.

    Aflatoksin ialah suatu senyawa hasil proses metabolisme kapang Aspergillusflavus yang tumbuh pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dengan baik. Aflatoksin jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan jumlah yang banyak bisa menyebabkan kanker hati, sirosis hati, karsinoma, hepatitis kronik, jaundice, gangguan penyerapan makanan, gangguan pencemaan dam imunosupresif. Penelitian ini bertujuan mendeteksi kandungan senyawa aflatoksin B1, B2, GI dan G2 pada sepuluh sampel kacang tanah yang tersebar di beberapa pasar kawasan Bogor, Tangerang dan Depok dengan metode kromatografi lapis tipis, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji toksisitas LC50 pada ekstrak kasar kacang tanah yang mengandung aflatoksin. Hasil penelitian menunjukkan ada tiga buah sampel kacang tanah yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe B1 yaitu sampel C (pasar Ciampea) dengan kadar 57.40 ppb, sampel E Opasar Parung) dengan kadar 18.95 ppb, sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) dengan kadar 32.07 ppb. Berdasarkan nilai batas aman (15 ppb) oleh WHO dan FDA, disimpulkan bahwa ketiga sampel kacang tanah (sampel C, sanpel E, sampel J) yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 bersifat toksik karena melebihi nilai batas aman. Dari hasil uji toksisitas LC50 dengan menggunakan Artemia salina diketahui nilai LC50 dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah C (pasar Ciampea) adalah sebesar 296.82 ppm, nilai LC50 dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah E (pasar P m g ) adalah sebesar 366.28 ppm, dan nilai LCSo dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah J (pasar Cikokol, Tangerang) adalah sebesar 251.55 ppm. Dapat disimpulkan bahwa sampel kacang tanah J memiliki efek toksisitas yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan sampel lain karena dapat mematikan sebanyak 50 % populasi Artcmia salina pada konsentrasi terkecil.

  • ABSTRACT

    R. I-IARYO BIMO SETIARTO. Detection and LCSo Toxicity Test of Aflatoxin B1, B2, G1 and G2 from Peanut (Arachis hypogcren L). Under the direction of MARIA BINTANG and EMAN KUSTAMAN.

    Aflatoxin is a compound produced from Aspergi1lu.s jlavus metabolism process which grows in moist peanut. When consuming aflatoxin in a long term and over dose amount of quantity, it can caused liver cancer, cirrhosis, carsinoma, chronic hepatitis, jaundice, food absorption disturbance, digestion disturbance and immunos~~ppressive. This research have focused on the detection of aflatoxin Bl , B2, G1 and G2 from ten peanut cluster samples originated from the widespread areas of market around Bogor, Tangerang and Depok by using Thin Layer Chromatography (TLC) methods. Furthe~more the detection process has been continued by using LC50 toxicity test in peanut crude extract which containing aflatoxin. The result of this research has shown that the three peanut samples from various area contained aflatoxin B1 type, with specific description as follows: sample C (Ciampea market) contained 57.40 ppb, sample E (Parung market) contained 18.95 ppb, sampel J (Cikokol market, Tangerang) contained 32.07 ppb. Based on the safety threshold of aflatoxin value as high as 15 ppb (from WHO, FDA), it was concluded that the three peanut samples (sanlple C, sample E, sample J) which contained aflatoxin B1 were very toxic. On the other hand, from the result of toxicity test by using Artemia salir?a, it was knowingly detected that LCjo value from crude extract of aflatoxin peanut C (Ciampea market) was 296.82 ppm, LCjo value from crude extract of aflatoxin peanut E (Parung market) was 366.28 ppm, and LCso value from crude extract of aflatoxin peanut J (Cikokol market, Tangerang) was 251.55 ppm. Finally it was concluded that peanut sample J had the most dangerous toxicity effect than other peanut samples, due to lethal 50 % Artemia salina population in smallest concentration.

  • DETEKSI DAN UJI TOKSISITAS LCs0 SENYAWA AFLATOKSIN B1, B2,G1, G2

    PADA KACANG TANAH (Arackis Itjpogaen L)

    k. HAkYO BIMO SET-TO

    Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

    Sarjana Saihs pada Departemen Biokimia

    DEPARTEMEN BIOKIMIA PAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAEIUAN ALAM

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

    2009

  • Judul Skripsi : Deteksi dan Uji Toksisitas LC50 Senyawa Aflatoksin B1, B2, GI, G2 pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L)

    Nama : R. Haryo Bimo Setiarto NIM : G84051231

    ~ o n i i s i ='isemf Pem imbing

    Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Ketua

    Ir. H. Eman Kustarhan Anggota

    '. ''o;b\ Diketahui

    mGrna t ika dan Ilmu Pengetahuan AILm

    Tanggal Lulus: 2 1 MAY 2009

  • PRAKATA

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat rnenyelesaikan karya ilrniall ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksilnakan dari bulan Oktober 2008 sampai Febrllari 2009 di Laboratoriurn Makman olahan, Balai Besar Industri Agro dan Laboratorium ~kuat ik , SEAMEO Biotrop dehgan judul Deteksi dan Uji Toksisitas LCso Senyawa Aflatoksin B1, B2, GI., G2 ~ a d a Kacang Tanah (Arachis hyl)ogaea L].

    Terima kdsih penulis uciifikan atas segala bimbingan dan arahan dad ibu Prof. Dr. drb. hddda Bidtang, M.S selaku pernbiI?lbing pertama dan Bapak It. H. Etlian Kttstaman selaku gembimbitt$ kedua selama penelitian ini dilaksanakan. Uca@an terima kasih yahg talc terfiib kepada ~ ~ a h a n d a drh. Sokdwo (alrN), ~btiiida Sri Gading Setiiiwati, BA, R. Haryo Tadhid Sulaiman, s e l ~ h sahdara serta keluarga besar Abortus alumnus FKH 17 IPB atas segda bantuan, motivasi, dan doanya kd$ada pen~fis. Penulis menghaturkah tetirfia kasih ydng si?besardbesarnya kepadrl bihak YLkI (Yayasdn Lembaga K ~ n s M k n 11tldoll6Sia) sebagai sponsor yang methbiayai terlaksananya penelitian ini.

    benulis juga mehgucapkan terima kasih kepada Ibu Oky Setiawati, bajiak Suuisno Sukimin, t b ~ Tien, Ibu Hafi, Bapak Yusnizar, Kak Fimall, seluruh staf labordtorium Akudtik SEAMEO Bidtrop dan laboratorium Makwan Olahan BBIA, sefta ternan-tefnan Departehen Biokiinia khususnya ;ui&atan 42, atas ke rjasama dan persahabatannya selama ini. Sernoga karya ilmiab ini bermanfaat bagi perkernbangan ilmu pehgetahuan.

    Bogot, Mei 2bO9 1

    R. Hnvyo Bimo Setinrto 1

  • RIWAYAT HIBUP

    Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Januari 1988 dari ayah drh. Soedarto(a1m) dan ibu Sri Gading Setiawati, BA. Penulis mempakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2005 penuiis lulus dari SMA Negeri 1 Banjarnegara dan pada tahun yang sarna diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan ~ e ~ e k s i Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006, setelah melalui masa Tingkat Persiapan Bersama penulis berhasil diterima di Departeman Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

    Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi internal maupun ekstemal karnpus diantaranya sebagai ketua divisi lnfokom untuk Organistisi Mahasiswa Daerah Banyurnas pada periode 2006-2007 dan aktif pula sebagai ketua divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia di organisasi Karang Taruna Ciampea pada periode 2006-2008. Penulis mengikuti P&P dari DIKTI dengan judul Teknologi Pengolahan Tepung Ceker Ayam Sebagai Sehyawa Anti (Isteoporosis pada tahun 2008. Penulis aktif menjadi asisten praktikurn dtuk mata kuliah Metabolisme, Biokimia Umum dan Pengantat Penelitian Biokimia untuk periode akademik tahun 200812009. Penulis juga melaksanakan Praktik Lapangan @L) di Laboratorium l\/fakanan Olahan, Balai Besar Indhstri Ago, Bogor, selama periode Juli sampai Agustus 2008 dan menulis laporan ilmiah yang berjudul Analisis Kadar Mineral ma, K, Ca, Mg dan Fe) Pada Sari Temulawak Instant dengan Metode Spektroskopi Serapan Atom.

  • DAFTAR IS1

    Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ix ............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN x

    .................................................................................................... PENDAHULUAN 1 TINJAUAN PUSTAKA

    Aflatoksin ..................................................................................................... 2

    Aspergillus flavlrs ......................................................................................... 3 ........................................................... Kacang Tanah (Arachis hypogaea L) 4

    Cemaran Aflatoksin Kacang Tanah dan Produk Olahannya ........................ 4 ................................................................... Larva Udang (Arthemia salina) 5

    .......................................................................... Metode Deteksi Aflatoksin 6 Uji Toksisitas LC50 Aflatoksin Analisis Probit ............................................ 7

    . . .

    ............................................................................. Kromatografi Lap~s TIPIS 7 Penanggulangan Kontarninasi Aflatoksin .................................................... 9

    BAHAN DAN METODE

    Alat dan Bahan ........................................................................................ 1 Metode Deteksi Aflatoksin ........................................................................ 1 Metode Uji Toksisitas LC50 Aflatoksin ...................................................... 12

    HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Deteksi Aflatoksin Pada Kacang Tanah dengan TLC ...................... 13 Hasil Uji Toksisitas LC50 dari Ekstrak Kasar Aflatoksin ........................... 15

    SIMPULAN DAN SARAN

    simpulan .................................................................................................... 18 Saran .......................................................................................................... 19

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 19 LAMPIRAN ................................................................................. 22

  • DAFTARTABEL

    Halaman

    1 I-Iasil deteksi kadar 'aflatoksin B1, B2, GI, G2 pada kacang tanah .................... 14 2 Hasil pengamatan uji toksisitas LC50 aflatoksin pada kacang tanah sampel C...16 3 Hasil pengamatan uji toksisitas LC50 aflatoksin pada kacang tanah sampel E...16 4 Hasil pengamatan uji toksisitas LC50 aflatoksin pada kacang tnnah sampel J...17

    DAFTAR GAMBAR I Halaman

    1 Struktur kimia aflatoksin ...................................................................................... 3 2 Siklus hidup Artemia salina ................................................................................. 5 3 Struktur kimia fase d i m silika ............................................................................ 8 4 Skema kromatografi lapis tipis ............................................................................ 9 5 Proses visualisasi dan identifikasi kromatogram pada TLC ................ ................ 9 6 Kromatogram TLC hasil analisis aflatoksin pada kacang tanah ........................ 14 7 Deteksi aflatoksin dengan TLC dalam detektor UV fluoresens 366 nm............14 8 Ekstrak kasar kacang tanah dengan pelarut kloroform ....................................... 16 9 Pengamatan Artemia salina setelah masa inkubasi 24 jam ................................ 17 10 Pengujian toksisitas LCso senyawa aflatoksin dengan Artemia salina .............. 17

  • DAFTAR LAMPZRAN

    Halaman

    1 Perhitungan deteksi kadar aflatoksin dengan metode TLC ............................... 23 2 Data biomarker pemaparan aflatoksin terhadap manusia .................................. 24 3 Identifikasi bahaya aflatoksin ............................................................................ 25 4 Karakterisasi resiko aflatoksin ........................................................................... 26 5 Grafik regresi linear LC30 pada ekstrak kasar aflatoksin sampel C dengan probit

    analisis melalui program SPSS .......................................................................... 26 6 Grafik regresi linear LC50 pada ekstrak kasar aflatoksin sampel E dengan probit

    analisis melalui program SPSS .......................................................................... 27

    7 Grafik regresi linear LC50 pada ekstrak kasar aflatoksin sampel J dengan probit . .

    anahs~s melalui program SPSS .......................................................................... 27 8 Dokumentasi deteksi dan uji toksisitas LC50 aflatoksin pada kacang tanah ...... 28 9 Tabel perhitungan LC50 pendugaan hubungan logaritma probit untuk analisis

    data hipotetik eksttak kasat aflatoksin sarnpel C .............................................. 29 10 Tabel perhitungan LC50 pendugaan hubungan logaritma Probit untuk analisis

    data hiPotetik ekstrak kasar aflatoksin s ~ p e l E .............................................. 30 11 Tabel perhitungan LCsopendugaan hubungan logaritma probit untuk arlalisis

    data hieotetik ekstrak kas& aflatoksin sarhpel J ............................................... 31

  • PENDAHULUAN

    Biji-bijian seperti kacang tanah, kedelai, jagung mengandung hanyak kandungan gizi. Namun cara pengolahan pascapanen yang kurang tepat ternyata dapat berdampak buruk. Bila dikonsumsi dalam jangka panjang dan dalam jumlah banyak bisa membahayakan tubuh. Di antaranya menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit hati (Allen 1992). Aflatoksin ialah suatu zat hasil proses metabolisme kapang (jamur) Aspergillus j7avus yang tumbuh pada kacang tanah, terutama pada kacang tanah yang tidak dikehgkan dengan baik. Aflatoksin jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan jumlah yang banyak bisa menyebabkan kanker hati. Aflatoksin yang terakumulasi akan memberikan pengaruh yang cepat bagi tubuh yaitu daya tahan tubuh menjadi lemah, sehingga lebih mudah terserang penyakit (Cutlcn 1993). Penelitian terbaru (Williams et a1 2004) menunjukkan bahwa aflatoksin tidak hanya bersifat karsinogenik dan mutagenik tetapi juga inzmunologic suppression dan nutritional interference.

    Aflatoksikosis akut bersifat mematikan karena diketahui menyerang hati dan empedu secara langsung. Hal ini dapat terjadi terutama pada anak-anak (Amla 1971). Sistem regulasi pangan termasuk pengendalian kontaminasi cemaran aflatoksin di Indonesia masih belum memadai. Berdasarkan pertemuan Food Agricultural Organization, World Healthy Organization dan Codex Alimentarius Comision (1995-2000), diputuskan bahwa untuk standar keamanan pangan perlu dilakukan risk analysis yang mencakup tiga komponen, yaitu: risk assessment, risk management, dan risk communication.

    Penyebab timbulnya cemaran aflatoksin berdasarkan penelitian di Indonesia adalah proses pengeringan dan penyimpanan kacang tanah yang kondisi suhu dan kelembabannya tidak dikontrol dengan baik. Pada masa penyimpanan itu akan tumbuh Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin. Selama penyimpanan 28 minggu, kandungan aflatoksin mencapai 300 kali dari jumlah yang diperkenankan. Seharusnya kadar air dalam komoditi kacang tanah di bawah 10 persen agar tidak ditumhuhi asp erg ill^!^ f[avlis. Komoditi kacang tanah dengan kadar air sebesar 14 persen dapat menyebabkan tumbuhnya jamur Aspergilzis flavus yang memproduksi aflatoksin. Keadaan lingkungan dan iklim Indonesia sangat menunjang

    perkembangan jamur Aspergillzis j7mlis dan biosintesis aflatoksin (Ginting 2005).

    Untuk mendeteksi seberapa besar cemaran jamur AspergiNzis j7avus dan kadar aflatoksin serta tingkat toksisitasnya pada komoditi kacang tanah maka perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian dilakukan terhadap komoditi kacang tanah yang diambil secara acak dari berbagai lokasi di Bogor, Depolc dan Tangerang. Pemeriksaan kapang dan jamur Aspergill~s flavus ditetapkan secara mikrobiologi. Penetapan aflatoksin dilakukan secara KLT (kromatografi lapis tipis). Uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah dilakukan dengan analisis probit Finney LCSo menggunakan larva udang Artemia salina.

    Pengembangan metode untuk mendeteksi dan menganalisis tingkb toksisitas cemaran aflatoksin pada kacang tanah merupakau ha1 yang sangat penting dalam memperbaiki sistem standar keamanan pangan dan risk analysis yang mencakup tiga komponen, yaitu: risk assessment, risk management, dan risk communication. Saat ini diperlukan metode untuk analisis kandungan dan tingkat toksisitas aflatoksin pada sampel komoditi kacang tanah yang relatif mudah, sederhana, efisien dan sesuai kebutuhan. Dari beberapa metode seperti analisis I-IPLC, KIT ECISA dan kromatografi lapis tipis dipilih mstode kromatografi lapis tipis. Metode kromatografi lapis tipis adalah metode yang paling mudah, etisien, sederhana, ekonomis serta bersifat semi kuantitatif dibandingkan dengan beberapa metode lain. Peiigujian tingkat toksisitas dari senyawa cemaran atlatoksin menggunakan metode arialisis probit Finney LC50 pada larva udang Artemia salina yang lebih sederhana, cepat, murah dan mudah.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa aflatoksin dan mendeteksi kadar senyawa tersebut pada sampel kacang tanah dari beberapa pasar di kawasan Bogor, Depok, Tangerang melalui metocle kromatografi lapis tipis. Penelitian ini juga nienguji tingkat toksisitas aflatoksin yang terdeteksi pada sampel kacang tanah dengan pengujian toksisitas LC50 pada larva udang Artemia salina menggunakan analisis probit Finney.

    Penelitian ini diharapkan dapat memherikan informasi baru kepada masyarakat konsume~l ~nengenai keamanan pangan wood safely) aflatoksin pada kacang tanah secara umum yang ditunjukkan dengan kadar cemaran aflatoksin dan tingkat toksisitas aflatoksin tersebut pada kacang tanah. Selain itu bertindak sebagai stimulan

  • kepada pemerintah dalam membuat food standard pada sistem regulasi pangan, khususnya bahan pangan berbahan dasar kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan distributor kacang tanah diharapkan dapat mengendalikan proses produksi, pengolahan pasca panen, penyimpanan, transportasi dengan baik dan melakukan evaluasi melalui proses pengawasan mutu (qualily cotltrol) sehingga cemaran aflatoksin dapat diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut mendukung peningkatan ketahanan dan keamanan pangan dalam negeri.

    Hipotesis penelitian ini adalah ekshak kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2 (berfluoresens b h muda pudar), GI (berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens hijau muda pndar) pada lempeng TLC. Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit) pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Aflatoksin

    Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan pertama kali dari toksin h i . Di dalam perkemhangan selanjutnya, aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is, Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab (Cullen 1993).

    Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1, 82 , GI, G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna bim (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G (Winarno 1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe

    aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1 > G1 >. B2 > G2 (Frank 1995).

    Seperti tampak pada Gambar I , struktur aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya yang memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengknntarnir~asi produk dari susu seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya, kacang dan produk olahannya, biji kapas, susu, kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh karena itu disimpulkan manusia pun akan terkena efek yang sama (Cullen 1993).

    Aflatoksin B1 mempakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1 A) pada banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek bumk terhadap paru-paw, miokardium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencemaan dan rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsennasi rendah secara terus menems. Aflatoksin juga be~peran dalam menyebahkan penyakit seperti sindrom Reye's dan busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada manusia dan hewan (Hollstein 1993).

    Aflatoksin ini di hati akan direaksikan menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9 oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawa- senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga :250 c tidak efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini.

  • Diambil dari Cullen JM dan Newbeme PM (1993). 1 Gambar 1 Struktur kimia Aflatoksin.

    Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (minimum 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis rnerupakan tempat berkembang biak paling ideal bagi kapang tersebut (Dwidjoseputro 198 1).

    Kontaminasi aflatoksin sering terjadi di negara-negara beriklim tropis dan lembab seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Kasus kontaminasi aflatoksin diketahui terjadi pada awal tahun 1960-an dengan adanya kematian lebih dari 100.000 ekor ayam kalkun muda di peternakan lnggris karena pakan kacang brazil impor yang digunakan mengandung kadar aflatoksin yang tinggi. Peristiwa tersebut dikenal dengan Turkey X disease. Pada tahun 1967 tiga orang warga Taiwan meninggal akibat mengkonsumsi

    beras terkontaminasi aflatoksin, dan pada tahun 1974 lebih dari 100 orang warga India meninggal akibat mengkonsumsi jagung terkontaminasi aflatoksin (Maxwell 2001).

    Aspergillus flavus

    Aspergill~rs jlavus mempakan kapang saprofit, koloni yang sudab menghasilkan spora benvama coklat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula benvarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981). Bila asp erg ill^ jlavus telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa yang makin pahit pula. lnfeksi Aspergillus @us dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang-kacangan mempakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. lnfeksi Aspergill~rs flnvus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang- kacangan melibatkan tiga faklor agar terjadi

  • kolonisasi Aspergillusflavzrs dan kontaminasi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas tanaman kacang-kacangan yang peka, Aspergillzrs Javus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan produksi aflatoksin (Dharmaputra OS et a1 1989). AspergiNus jlavus dan Aspergillus parasiticus memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82-85 % dan suhu 30-32"C, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adatah pada suhu 25-30C dengan kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15-30 % (Dwidjoseputro 1981).

    Kacang Tanah

    Kacang tanah (Arochis hypogaea L.) mempakan tanaman polong-polongan atau legum kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim hopis atau subhopis. Republk Rakyat Cina mempakan penghasil kacang tanah terbesar di dunia, disusul India sebagai penghasil terbesar kedua. Sebagai tanaman budidaya, kacang tanah terutama dipanen bijinya yang kaya protein dan lemak. Biji ini dapat dimakan mentah, direbus (di dalam polongnya), digoreng, atau disangrai. Di Amerika Serikat, biji kacang tanah diproses menjadi semacam selai dan mempakan industri pangan yang menguntungkan.

    Produksi minyak kacang tanah mencapai sekitar 10% pasaran minyak masak dunia pada tahun 2003 menurut FAO. Selain dipanen biji atau polongnya, kacang tanah juga dipanen hijauannya (daun dan batang) untuk makanan temak atau mempakan pupuk hijau. Kacang tanah budidaya dibagi menjadi dua tipe: tipe tegak dan tipe menjalar. Tipe menjalar lebih disukai karena memiliki potensi hasil lebih tinggi. Tanaman ini adalah satu di antara dua jenis tanaman budidaya, tanaman budidaya yang lainnya adalah kacang bogor (Voandziea subterranea) yang buahnya mengalami pemasakan di bawah permukaan tanah. Jika buah yang masih muda terkena cahaya, proses pemasakan biji terganggu.

    Cemaran Aflatoksin Pada Kacang Tanah

    Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya.

    Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi menjadi persyaratan utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kepedulian terhadap kesehatan masyarakat telvs meningkat seiring dengan banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan nabati terkontaminasi oleh cemaran yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada kenyataamya, cemaran tersebut dapat tejadi di sepanjang mata rantai panganfrom farm to table dan mungkin ada sebagai akibat dari berbagai tahapau sejak dari bahan baku, proses produksi, pengemasan, hansportasi sampai pemasaran. Kerusakan bahan pangan oleh jasad renik dapat menyebabkan makanan atau minuman tidak layak dikonsumsi akibat penurunan mutu atau karena makanan tersebut telah mengandung racun (Ginting 2005). Sumber-sumber karbohidrat seperti serealia dan bebijian cenderung dicemari oleh berbagai jenis kapang (Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Rhizopus, Monilia).

    Maraknya kasus keracunan makanan nabati akhir-akhir ini menuntut kita untuk lebih waspada dalam memilih makanan yang benar-benar layak unh~k dikonsumsi. Kita perlu tahu bahwa segala macam bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Akibat mikroorganisme, bahan makanan membusuk dan mengalami kemsakan sehingga mempengaruhi kandungan nutrisi makanan tersebut. Keracunan karena mikroorganisme dapat bempa keracunan makanan wood intoxication) dan infeksi (bod infection) karena makanan yang terkontaminasi oleh parasit atau bakteri patogen. Keracunan makanan wood intoxication) dapat tejadi karena makanan tercemar toksin. Toksin bisa bempa eksotoksin yaitu toksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme yang ~nasih hidup, enterotoksin yaitu toksin yang spesifik bagi lapisan lendir usus seperti tahan terhadap enzim hipsin dan stabil terhadap panas; aflatoksin maupun toksoflavin seperti pada kasus keracunan tempe bongkrek (Cullen 1993).

    Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong segar, 1 polong kering, biji serta produk olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) dan olahan modem (kacang atom, pasta kacang, mentega kacang) umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B1

  • dalam kadar di atas batas toleransi yang dinyatakan aman (Adenan ef a1 1985, Dharmaputra el a1 1989, Bahri 2001). Menurut Bahri (2001) kacang tanah merupakan substrat yang cocok untuk perkembangan berbagai macam kapang. Kesadaran penduduk dunia tentang keamanan pangan diwujudkan dengan penetapan standar mutu produk (IS0 9000) dan mutu lingkungan (IS0 14000) serta ekolabel sebagai inshumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai bambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri perlu ddiembangkan (Ginting 2005). Selama penyimpanan, bahan pangan kacang-kacangan dapat mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas mikroba seperti tumbuhnya jamur. Beberapa faktor yang dapat mempengarubi pertumbuhan Aspergilus f[avus pada kacang tanah antara lain adalab : 1) aktivitas air, yang dinyatakan dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, 2) konsentrasi ion hidrogen, 3) temperatur, 4) konsistensi cair dan padat, 5) status nutrien, dan 6) adanya bahan pengawet (Pitt dan Hocking 1991).

    Kadar air dalam bahan pangan kacang- kacangan serta kelembaban relatif sangat berpengamh pada pertumbuhan Aspergillzrs flmus penghasil aflatoksin. Kenaikan kadar air selama penyimpanan akibat komoditi kacang menyerap uap air dari udara menyebabkan pertumbuhan kapang semakin meningkat karena bertambah banyak spora kapang dari udara terbawa masuk (Goldblatt 1969). Kadar aflatoksin dalam komoditi kacang tanah meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air kacang tanah selama penyimpanan (Kasno 2004).

    Kapang Aspergillus jlavus tumbuh dimana-mana baik di udara, air, tanah, bahan pangan (kacang-kacangan) maupun pakan seperti jagung, betas dan biji kapas (Dwidjoseputro 1981). Species Aspergillus dan Penicillium sangat cepat tumbuh pada biji-bijian, kacang-kacangan dan produk lainnya selama proses penyimpanan terutama jika kandungan air bahan cukup tinggi (Kasno 2004).

    Lawa Udang (Arthemin snlina Leaclr)

    Artemiu merupakan kelompok udang- udangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton

    lain seperti Copepode dan Dflphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam. Secara ala~niah salinitas danau dimana mereka hidup sangat hewariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 % telw Artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas. Hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam danau di musim penghujan. Jika kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersusvensi. sehineea daoat menetas dengan normai (~u&akusu&h 2607):

    Gambar 2 Siklus hidup Arlemia salina Leach (0-Fish 2007).

    Seperti tampak pada Ga~nbar 2 , siklus hidup Arternia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telor. Setelah 15-20 jam pada suhu 25C kista aka1 menetas manjadi embrio. Dalam waktu 20-24 jam embrio ini masih menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio tersebut akan menyelesaikan perkembangannya kemuclian berubah menjadi naupli yang sudah bisa berenang bebas. Variabel yang menentukan siklus hidup artemia adalah pH, cahaya, suhu, kadar garam, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat rnembunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow- lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia. Melalui

  • asupan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Saat kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat, sehingga suplai Arlemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terns berlanjut secara kontinu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik atau jika salintas meningkat, Arlemia akan memakan bakteri, plankton, dan sel-sel khamir (yeast). Pada kondisi ini Artemia akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak benvarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terns berlanjut Artemia mulai memproduksi kista (Punvakusumah 2007).

    Pada saat inkubasi selama 24 jam di dalam media tumbuh (vial), larva udang mengalami proses aerasi menggunakan aerator. Aerasi mempakan proses terjadinya kontak antara air dengan udara, sehingga tejadi perpindahan senyawa yang bersifat volatil. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah oksigen ke dalam air, menghilangkan COz dan &S, serta menghilangkan rasa dan ban yang disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan menurunkan panas air laut. Aerasi dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama dengan memompakan udara luar atau oksigen murni ke dalam air sehiigga diiasilkan gelembung- gelembung udara yang berkontak dengan air. Cara kedua dilakukan dengan menekan air ke atas untuk berkontak dengan oksigen melalui pemutaran baling-baling yang diletakkan pada permukaan air, sehingga air terangkat dan berkontak langsung dengan udara sekitamya (Moss 1990).

    Metode Deteksi Aflatoksin

    Kadar aflatoksin pada bahan makanan nabati ditentukan dengan metode kromatografi lapis tipis (thin l qer chromulography) sesuai dengan panduan Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 451 49. 2. 09. 2005 yang mengacu ketentuan SNI. Walaupun memerlukan waktu yang relatif lama dalam melakukan analisis, metode kromatografi lapis tipis lebih sederhana dan mudah dikerjakan bila dibandingkan dengan metode HPLC. Secara umum metode ini digunakan untuk mengukur kadar aflatoksin pada prodnk kacang tanah secara semi kuantitatif. Hasil akhir analisis dihitung dengan menggunakan rumus berikut,

    dimana kandungan aflatoksin dalam contoh dinyatakan sebagai ppb (pait per billion) dihitung sampai dua angka desimal.

    Keterangan: C = Kandungan masing-masiog aflatoksin

    dalam contoh (dalam ppb). S =Volume stmdar yang ditotolkan yang

    intensitasnya sama dengan intensitas contoh (dalam PI).

    Y = Konsentrasi masing-masing standar (dalam pgfml).

    W = Bobot contoh (dalam gram). Z = Volume ekstrak contoh yang ditotolkan

    yang memberikan intensitas yang sama dengan standar (dalam PI).

    V = Volume pelamt kloroform yang dipakai untuk melamtkan eks'ak (dalam PI).

    f = Faktor pengenceran.

    Saat ini sed'ang dikembangkan metode lain agar pendeteksian kadar aflatoksin dari sampel kacang tanah lebih bersifat kuantitatif, akurat serta lebih sensitif. Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa deteksi kadar aflatoksin BI, B2, GI, G2 maupun MI tclah dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis HPLC (kromatografi cair kinerja tinggi) yang memiliki sensilifitas dnn keakuratan yang sangat tinggi lnaupun KIT ELISA. Demi memenuhi standar kelayakan uji bertaraf internasional saat ini beberapa balai penelitian seperti BBIA dan Balitvet sedang melakukan riset penggunaan HPLC sebagai metode barn standardisasi SNI dalam proses pendeteksian aflatoksin, meskipun memerlukan biaya yang cendernng sangat mahal.

    Prinsip kerja dari KIT ELISA ini adalah pertama-tama antibodi dilapis pada plat mikro dan ditambahkan enzim konjugat serta lamtan sampel, lalu terjadi kompetisi antara aflatoksin B1, 82, GI, G2 dan konjugat. Setelah itu dilakukan pencucian, sehingga terjadi pembentukan warna setelah penambahan subsirat. Komponen pereaksi KIT ELISA antara lain standar aflatoksin (blank0 standar, aflatoksi~i B1 30, 10, 3.3, 1.1, 0.37, 0.12 ppb), enzim konjugat (Aflatoksin B1-Morse Radish Peroksidase), substrat A (Nidrogen peroksida), substrat B (Tetra methyl benzidin), larntan penghenti (asam sulfat), antibodi coaled plate, plat pencampuran polystyrena, serta software

  • pengolahan data (biosensor). Sementara itu keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan KIT ELISA ini adalah ekstrasi sampel sederhana, analisis lebih cepat (15 menit), sensitif dan spesifik, akurat (hasil konsisten dengan metoda HPLC) dan reprodusibel, kisaran analisis (0.3-30 ppb), kros reaktifitas (AFBI loo%, AFB2 0.9%, AFGl 3.1%, AFG2 11.2%), dapat menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus, serta ekonomis.

    Uji Toksisitas LCSo Atlatoksin dengan Analisis Probit (Finney)

    Lethal concentration (LCso) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan setengah dari populasi (50%) yang ada (Frank 1995). Nilai LCSo tidak konstan, artinya nilainya berbeda antara spesies yang satu dengan spesies yang lain karena adanya variasi antar spesies. Nilai LC,, merupakan bentuk statistika yang didesain untuk menggambarkan respon yang mematikan komponen dalam beberapa populasi dari suatu percobaan (Balazs 1970). Banyak faktor yang berpengamh di dalamnya antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Fmney 1971).

    Salah satu metode analisis statistika yang digunakan untuk menghitung besarnya LCso adalah dengan menggunakan analisis probit. Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney tahun 1971. Metode regresi linear digunakan untuk mendapatkan grafik garis lums apabila probit kematian ditransformasikan pada log konsentrasi. Konsentrasi yang dapat mengakibatkan kematian 50% populasi hewan diperoleh dengan menarii garis dari 50% probit kematian (Finney 1971).

    Perbedaan konsentrasi pada setiap perlakuan secara jelas mempennudah dalam menentukan konsentrasi letal pada suatu hewan yang diujikan. Kontrol dalam percobaan sangat penting dalam suatu perhitungan mortalitas alami. Jika terjadi kematian dari suatu konhol, perlu dilakukan koreksi terhadap analisis dengan persen kematian terkoreksi. Setiap makhluk hidup mempunyai tingkat toleransi terhadap suatu rangsangan, respon tidak akan terjadi apabila berada di bawah tingkat toleransi tersebut (Finney 1971).

    Berbagai macam pengujian dilakukan untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa cemaran aflatoksin pada kacang tanah sehingga dapat diketahui ambang batas toleransi keberadaan senyawa tersebut pada

    makanan. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah dengan menggunakan larva udang (Artemia salino). Meyer et a1 (1982) telah nlengembnngkal~ metode ini supaya dapat digunakan dalanr menemukan senyawa bioaktif baru dari tumbuhan tingkat tinggi. Metode ini telah banyak digunakan untuk uji hayati dalam analisis residu pestisida, anestetika dan zat pencemar air. Keuntungan metode ini adalah cepat, tidak mahal, mudah dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan yang mmit. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki komponen bioaktif dan memiliki efek fmakologi. Data yang diperolell dari hasil pengujian dengan larva udang kemudian dianalisis dengan menggunakan program probit untuk menentukan LCso dan LC, ( F i ~ e y 1971). Data dapat dianalisis apabila mortalitas pada kontrol< 20% (Abbott 1925). Uji beda nyata antar nilai LCSo atau LC9o dilakukan dengan membandingkan nilai 95% selang kepercayaamya. Dua nilai LC5, atau LC, akan berbeda nyata kalau nilai selang kepercayaamya tidak tumpang tindih (Savin ef a[. 1977, Marqon et al. 1999). Senyawa dengan nilai LCSo < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktlvitas (Mc Laughlin et a1 1991).

    Kromatografi Lapis Tipis

    Kromatografi pertalna kali diberikan oleh Michael Tswelt, seorarlg ahli botani Rusia pada tahun 1906. Kromatografi berasal dari bahasa Yunani Kromaros yang berarti warna dan Graphos yang berarti menulis. Kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusun cupliltan antara dua fasa. Satu fasa tinggal pada sistem dan dinan~akan fasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak, memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusun cuplikan (Harjadi 1994). Kromatografi lapis tipis yaitu kromatografi yang menggunakan lempeng gelas atau alumunium yang tlilapisi dengan lapisan tipis alumina, silika gel, atau bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode pilihan pertama pada pemisaharl dengan kromatografi (Underwood 2002).

    Pelaksaanan k r ~ ~ i t o g r a f i lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam.

  • Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga menganduug substansi yang beduoresensi dalam sinar ultra violet. Fase gerak mempakan pelarut atau campuran pelamt yang sesuai. Gel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam shuktur kovalen yang besar, sepeti tampak pada Gambar 3. Pada permukaan gel silika, atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si- 0-H selain Si-0-Si. Permukaan jel silika sangat polar sehingga gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa- senyawa yang sesnai di sekitarnya sebagaimana gaya van der Waals. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah alumina- aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan memiliki gugus -OH (Underwood 2002).

    Pelaksanaan kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut yaitu sebuah garis digambar menggunakan pinsil di dekat bagian bawah lempengan kemudian dilakukan penotolan campuran pada garis itu. Diberikan penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan. Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada (Underwood 2002).

    Struktur Ikatan K i i a Silika Gel

    Gambar 3 Struktur kimia fase diam silika.

    Alasan untuk menutup bejana kimia adalah untuk meyakinkan bawah kondisi dalam bejana kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Kondisi jenuh dalam bejana kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak wama. Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-

    senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut (Underwood 2002).

    Tingkat kecepatan senyawa-senyawa bergerak ke atas Iempengan tergantung pada dua ha1 yaitu: a) kelarutan senyawa dalam pelarut (ha1 ini bergautung pada bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut, b) kemampuan senyawa meiekat pada fase diam misalnya jel silika (ha1 ini tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa deugan jel silika). Jika dianggap bercak awal mengandung dua senyawa yaitu senyawa yang satu dapat membentuk ikatan hidrogen, dan senyawa yang lainnya hanya dapat mengambil interaksi van der Waals yang lemah. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada jel silika lebih kuat dibanding senyawa laimya. Dapat dikatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya (Undenvood 2002).

    Penjerapan adalah pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan yang bersifat tidak pemianen. Pada proses ini terdapat pergenkan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan jel silika dan yang kembali pada lamtan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. I

  • pengembang

    campuran sampel yang diiololkan (fase gerak)

    Gambar 4 Skema kromatografi lapis tipis.

    Ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf yaitu antara lain: a) Pelarut (disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan pembahan-pembahan barga Rf), b) Suhu (pembahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran), c) Ukuran dari bejana (volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi mempengamhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelamt dari kertas; jika bejana besar digunakan maka ada tendensi perambatan lebih lama seperti pembahan komposisi pelarut sepanjang kertas sehingga koefisien partisi akan bembah juga; di samping itu dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi juga mempengamhi harga Rf), d) Lempeng kromatografi (pengaruh utama lempeng pada harga Rf timbul dari pembahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam- macam lempeng; selain itu lempeng kromatografi juga mempengamhi kecepatan aliran dan mempengamhi kesetimbangan partisi), e) Sifat dari campuran (berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume- volume yang sama dari fasa tetap dan bergerak, mereka selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf mereka) (Harjadi 1994).

    Cara untuk mendeteksi sampel yang tidak berwarna dengan analisis kromatograti lapis tipis seperti pada analisis aflatoksin yaitu dengan menggunakan fluoresensi UV. Telah disebutkan bahwa fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditarnbahkan kedalamnya, supaya sampei dapat berpendar ketika

    diherikan sinar ultraviolet (UV). Jika sampel yang telah dielusi disinari dengan sinar UV, maka sampel yang terdeteksi akan berpendar. Pendaran ini ditutupi pada posisi bercak kromatogram berada, meskipun bercak-bercak itu tidak tampak benvarna jika dilihat dengan mata. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika menyinarkan sinar UV pada lempengan, akan timbul pendaran dari posisi yang berbeda dengan posisi bercak-bercak. Bercak tampak sebagai bidang kecil yang gelap. Sementara UV tetap diiinarkan pada lempengan, maka hams menandai posisi-posisi dari bercak- bercak dengan menggunakan pinsil dan melingkari daerah bercak-bercak itu. Seketika jika sinar UV dimatikan, bercak-bercak tersebut tidak tampak kembali (tampak pada gambar 5) (Underwood 2002).

    sinar UV

    .. ~ . ,

    Gambar 5 Proses visualisasi dan identitikasi kromatogram pada TLC.

    Penanggulangan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah I

    Pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dengan baik senyawa aflatoksin hasil metabolit sekunder Aspergillus p m u s cenderung lebih cepat tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan SEAMEO Biotrop, Balai Penelitian Veteriner, dan Badan POM RI pada ploduk olahan kacang tanah, ditemukan cemnran aflatoksin B1. Bumbu pecel maupun gatlo-gad0 mengandung aflatoksin BI cukup Linggi. Kandungan aflatoksin berada di kisaran 22-345 ppb @art per billion). Cemaran aflatoksin B1 pada kacang tanah tanpa kulit lebih tinggi. Penemuan pada sampel, di Bandung menunjukkan kandungan aflatoksin mencapai 2341 pbb, di Pekanban~ 1781 ppb, di Bandar Lampung 401 ppb, di Yogyakarta 330 ppb, dan di Makassar 48 ppb. Di Jawa Barat, jagung di pabrik pakan tenlak ditemukan terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar rata-rata 125.65 ppb. I'akan ayam untuk starter maupun gyower diternukan terkontaminasi aflatoksin dengen kisaran 11.5 ppb. Batas aman yang diperkenankan untuk

  • makanan hanya mencapai 15 ppb, sedangkan pakan ternak sebesar 20 ppb (Ginting 2005).

    Cara-cara pengolahan bam atau pengolahan fisik tertentu kacang tanah bisa efektif menumnkan kadar aflatoksin yang terkandung pada bahan. Perlakuan dan teknik pengolahan itu perlu dilakukan dengan cara semestinya agar produk olahan bisa benar- benar aman dikonsumsi. Perebusan kacang tanah dengan garam selama 15 menit bisa menurunkan kadar aflatoksin sebesar 33%. Kombinasi perebusan dengan garam, pengeringan dan penyangraian seperti pada pengolahan kacang garing bisa menekan kadar aflatoksin sampai bawah 5 ppb, asalkan bahan bakunya cukup baik. Penyangraian pada suhu 1 5 0 ' ~ selama 5 menit bisa mengurangi kadar aflatoksin 75%. Penggorengan dengan minyak pada suhu 1 5 0 ' ~ selama dua menit bisa menurunkan sebesar 73 % (Ginting 2005). Sinar ultraviolet dan radiasi juga dapat mendegradasi mikotoksin, antara lain menurunkan kandungan Aflatoksin MI dalam susu (Yousef dan Marth 1985). Namun, sinar ultraviolet dan radiasi dapat memsak senyawa-senyawa nutrisi pada bahan panganlpakan tersebut (Mobiuddin 2000). Radiasi dan pemanasan kacang tanah dalam microwave selama 3 menit dan 5 menit dapat mengurangi kandungan senyawa aflatoksin masing-masing sebesar 25% dan 49,25% (Chinaphuti 1999).

    Pencegahan penyebaran dan akumulasi kapang toksigenik pada kacang tanah dapat pula dilakukan melalui pengendalian secara biologis dengan menebarkan Aspergillus spp. non toksigenik yang akan berkompetisi dengan Aspergillus *us dan Aspergillz~s parasiticzrs yang bersifat toksigenik, sehingga perkembangan kapang tersebut akan terhambat. Cara ini memperlihatkan hasil yang memuaskan pada tanaman kacang tanah, dimana kontaminasi aflatoksin dapat ditekan hingga 90% (Cole dan Domer 1999). Menurut Pitt (1999), keberhasilan akan diperoleh jika penggunaan Aspergillus f[avus dan Aspergillus parasiticus non toksigenik ditebarkan pada tanah dengan perbandingan 100 : I dari AspergiNzrsflavus dan Aspergillz~s

    parasiticus toksigenik. Pencegahan produksi aflatoksin,

    dilakukan dengan mengeringkan kacang tanah sesegera mungkin dalam waktu tidak lebih dari 24 - 28 jam setelah panen. Pengeringan dapat dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari, digantung di

    udara terhuka atau dalam ruangan dengan sedikit pemanasan dan pengasapan, terutama untuk produk yang mudah terinfeksi kapang, dan dengan menggun:tkan mesin pengering. Pada kacang tanah cemaran kapang Aspergill~rs Jlj~av~is dan Aspergillzis parasiticus dapat dikurangi juga dengan pencucian yang diikuti dengan pengeringan. Jumlah kapang dapat dikurangi tetapi tidak menghilangkan ataupun mengurangi toksin yang telah terbentuk. Upaya mcngurangi konsentrasi mikotoksin dapat pula dilakukan pengenceran (dilution), yaitu dengan menambahkan bahan yang masih baik sehingga kandungan cemaran tersebut menjadi sangat rendah.

    Bahan kimia dan bahan pengikat umumnya digunakan unhlk pengendalian mikotoksin pada produk pertanian sebagai bahan pangan atau pakan selama masa penyimpanan. Amonia sangat efektif untuk menekan perlumbuhan kapang Aspergillus dan cemaran aflatoksin pada kacang tanah dan jagung. Penggunaan amonia 2% pada temperatur 20 - 50 OC selama 6 minggu dapat mengurangi kandungan aflatoksin lebih dari 90% (Chelkowski et a1 1981), begitu pula penggunaan sodium bisulfit 1% pada kelembaban 15% (Ghosh et a1 1996). Bahan kimia lain yang umumnya banyak digunakan antara lain seperti hidrogen peroksida, kalsium hidroksida, mono metilenamin, amonium hidroksida, arang aktif, polyvinil polypyolidone.

    Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun samhiloto efektif menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegttb aflatoksikosis pada unggas (Maryam et a1 1995, Sengngeng 1996, Rachmawati et a1 1999). Begitu pula senyawa-senyawa yang terdapat dalam kopi, strawberi, teh, lada, anggur, kunyit, bawang putih, kol, dan bawang diketahui dapat lnencegah efek negatif aflatoksin (Galvano et a1 2001). Zat gizi, seperti metionin dapat mempertahankan penanlpilan ternak yang pakamya tercernar aflatoksin. Hal ini terjadi karena proses detoksitikasi aflatoksin di dalam tubuh terutama organ hati memerlukan glutation, dimana metioilin diperlukan untuk pembentukan glutation tersebut (Mobiuddin 2000). Vitamin C (1000 mglkg diet) mempunyai daya proteksi terhadap efek hepatotoksin aflatoksin pada marmut (Galvano er a1 2001).

    Pencegahan kontaminasi aflatoksin lebih lanjut, kacang tanah yang akan disimpan hams dalam keadaan kering dengan kadar air yang sesuai untuk penyimpanan. Di negara-

  • negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah kurang dari 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Departement of Crop Sciences University of Illinois 1997). Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal berkisar antara 7 - 9% temtama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan (Kasno 2004).

    Bahan baku kacang tanah sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara mtin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 hingga 3 "C dapat menunjukkan adanya infestasi kapang atau serangga (Codex Alimentarins Comisi6n 2003). Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan). Alat transportasi yang digunakan untuk mengangknt kacang tanah hendaknya dipastikan bersih dari kontaminasi kapang Aspergillus f lavfrs dan serangga. Selama transportasi sedapat mungkin dihindari peningkatan kelembaban dan fluktuasi suhu sehingga kondusif untuk pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Serangan serangga, bumng dan tikus juga sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya kontaminasi aflatoksin selama transportasi. Hal ini dapat dicegah dengan menutupi produk sehingga terhindar dari gangguan-gangguan tersebut.

    BAHAN DAN METODE

    Alat dan Bahan

    Alat-alat yang dipakai adalah explosion proof blender I liter, gelas ukur (kapasitas 250 ml dan 25 ml), pipet 25 ml terkalibrasi, labu pemisah 250 ml, gelas piala (50 ml, lOOml dan 400 ml), labu Erlenmeyer 500 mi, neraca analitik dengan kemampuan penimbangan yang memiliki ketelitian 0.0001 gram, pemanas listrik, labn distilasi, mistar, lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate), pipet mikro, syringe (ukuran 5 pl dan 1000 PI), detektor lampu UV fluoresens, pipet volumetrik 5 ml, 25 ml, pipet tetes, pipet mikro, kaca pembesar, aerator dan media tumbuh larva udang.

    Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel kacang tanah yang diambil secara acak pada tanggal 18 Oktober 2008 dari 10 pasar

    yaitu sampel A (pasar Bojong Cede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D @asar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel 1 (pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang), larva udang (/lrtemiu sulina), air lant, akuades, lamtan klorofbnn, larutan heksana, larutan aseton, larutan metanol, aliran gas nitrogen, NaCI, larutan campuran standar aflatoksin yang mengandung (Bl: 2.01 + 0.04 pg/mI; B2: 0.50050.025 pg/ml; GI: 2.01 + 0.04 pgtml; G2: 0.500 rt 0.025 pglml) setelah sebelumnya larutan campuran standar aflatoksin tersebut disimpan dalarn lemari pendingin.

    Metnde Deteksi Aflatoksin dengan Cora Kromatografi Lapis Tipis

    Metode ini melipuri cara uji penetapan aflatoksin dalam produk kacang-kacangan, sereal dan produk hasii olahan secara semi kuantitatif menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode penetapan aflatoksin ini sesuai dengan dokumen acuan SNI yaitu Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 45/49. 2.09. 2005. Prinsip sederhana dari metode ini adalah senyawa aflatoksin yang terdapat dalam sampel makanan nabati dieks!rak dalam pelarut organik yang sesuai, kemudian dipisahkan dengan kromatoyafi lapis tipis dan diidentifikasi di bawah sinar tampaw UV. Metode analisis ini dibagi menjadi dua tahap yaitu taliap pertama persiapan analat (contoli) dan tahap kedua adalah penetapan kadar aflatoksin dengan kromatografi lapis tipis serta identifikasi fluoresensi di bawah lampu UV.

    Penyiapan Contoh

    Sampel kacang tanah dilumatkan dalam blender laln diaduk sampai homogen, serta disimpan dalam botol bertutup rapat.

    Identifikasi dan Deteksi Aflatoksin dengan Kromatografi Lapis Tipis

    Sebanyak 25 gram contoh yang telah dipreparasi ditimbang de~igan neraca analitik dan dimasukkan Ice dalam blender explosion proof 1 liter. Setelall itu baru ditambahkan 250 ml metanol (55:45 vlv), 100 ml heksnna dan 2 gram NaCI, sampel dilu~natkan dengan blender berkecepatan tinggi selama 1 menit. Campuran sampel tersehut dipindahkan ke

  • dalam tabung sentrifus dan diputarkan pada kecepatan 2000 rpmtmenit (500 g) selama 5 menit. Namun apabila alat sentrifus tidak ada perlakuannya dapat digantikan dengan memindahkan campuran tersebut ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml dan dibiarkan selama 30 menit agar terjadi pemisahan endapan dan cairan. Setelah itu sebanyak 25 ml lapisan metanol dipipet dan dimasukkan ke dalam labu pemisab 250 ml, lalu ditambahkan sebanyak 25 ml kloroform dan diekstrak dengan cara mengocoknya selama 1 sampai 2 menit. Selanjutnya kedua lapisan dibiarkan terpisah dan lapisan kloroform (lapisan bawah) dialirkan ke dalam labu Erlenmeyer 50 ml, perlu diperhatikan pula agar padatan tidak terbawa ke dalam kloroform. Kemudian diuapkan di atas pemanas listrik sampai hampir kering dan ekstrak dipindahkan ke dalam labu distilasi, lalu diuapkan sampai kering dengan menggunakan aliran nitrogen. Setelah itu ekstrak dilarutkan dengan 200 p1 kloroform dan pada lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate) dibuat dua garis lurus pada kedudukan 2 cm dan 12 cm dari salah satu sisi lempeng kromatografi. Selanjutnya larutan standar campuran aflatoksin (Bl, B2, G1 dan G2) ditotolkan masing-masing 0.5 p1, 1 p1, 2 yl, 3 p1 dan 5 pl serta cuplikan sampel ditotolkan sebanyak 5 p1 dan 10 1 1 dengan bantuan pipet mikro pada garis yang terletak dibagian bawah lempeng kromatografi dengan jarak penotolan masing- masing 1.5 cm. Setelah itu lempeng kromatografi dimasukkan ke dalam tangki pengembang yang berisi 100 mi campnran kloroform:aseton (9:l vlv) jenuh, lalu ditutup dan pelamt dibiarkan bergerak sampai batas yang ditentukan. Selanjutnya lempeng kromatografi dikeluarkan dari tangki pengembang dan dibiarkan kering, kemudian diamati fluoresensi yang terbentuk di bawah lampu maupnn detektor UV dengan panjang gelombang 366 nm.

    Setelah itu apabila ada fluoresens contoh yang jarak Rf (retardation factor) sesuai dengan fluoresens standar segera diberi tanda. Apabila intensitas fluoresens terlalu rendah untuk diamati, larutan eksh.ak perlu segera dipekatkan dengan menguapkan larutan ekstrak sampai kering menggunakan aliran nitrogen dan penotolan pada lempeng kromatografi hendaknya segera diulangi dengan jumlah yang lebih besar. Selanjutnya kandungan aflatoksin BI, B2, GI dan G2 dalam sampel dapat dihitung (rumus perhitungan lihat tinjauan pustaka tentang metode deteksi aflatoksin).

    Metode Uji Toksisitas LCSo Senyawa Aflatoksin rlalan~ Kacang Tanah

    Metode ini dilakukan dengan cara membuat beberapa konsentrasi dari suatu ekstrak kacang tanah yang telah terdeteksi mengandung aflatoksin yang diujikan terhadap sejumlah larva udang Artenlia salina berumur satu hari dan setelah 24 jam kemudian dihitung junilah larva udang Artemia salina yang masih hidup untuk menentukan nilai LCw dengan derajat kepercayaan mencapai 95% (Mc Laughlin et a1 1991). Pengujian toksisitas senyawa cemaran aflatoksin yang terdapat di dalam kesepuluh sampel kacang tanah dan diekstrak menggunakan pelarut kloroform dilakukan terhadap larva udang (Arteniia salina) yang berumur kurang lebih 24 jam. Uji ini dilakukan terhadap sembilan variasi konsentnsi aflatoksin pada kacang tanah (10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm), masing-masing konsenhasi terdiri dari triplo dan kontrol (0 ppm) yang juga dilakukan secara triplo. Nasil dilihat setelah 24 jam, kemudian % mortalitas dihitung dan nilai LC30 ditetapkan dengan metode analisis probit. Ekstrak kasar dianggap toksik bila mempunyai LCso < 1000 ppm dan senyawa murni toksik apabila LC3, < 200 ppm (Mc Laughlin ef a1 1991).

    Analisis Probit Toksisitas LCSo Aflatoksin pada Kacang Tanah

    Kacang tanali yarlg telah terdeteksi mengandung cemaran aflatoksin dilumatkan sampai balus, lalu diekstraksi (solid-liquid) dengan menggunakan pelamt kloroform sampai kondisi homogen. Setelah itu filtrat yang diperoleh diuapkan pelarnt kloroformnya sampai habis sehingga diperoleh ekstrak kasar kacang tanah. Kemudian ekstrak kasar ditimbang sebanyak 5 mg dan dilarutkan dalam 5 mL air laut sehingga diperoleh lamtan stok 1000 ppm. Dari larutan stok tersebut dibuat larutan dengan berbagai variasi konsentrasi yang digunakan untuk uji bioaktivitas yaitu 0 ppm, 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm clan 1000 ppm. Larva udang yang telah tersedia dimasukkan ke dalam media tumbuh sebanyak 20 ekor di setiap lubang. Banyaknya tetes air laut yang dimasukkan ke dalam media dicukupkan hingga volumenya 10 mL atau sebanyak 200 tetes. Dimasukkan sejumlah ekstrak kacang

  • tanah yang mengandung aflatoksin ke dalam media menggunakan pipet mikro. Media tumbuh larva udang kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, dihitung banyaknya larva udang yang mati dan dibuat grafik regresi linear hubungan antara log konsentrasi ekstrak aflatoksin pada kacang tanah dengan probit kematian larva udang, sehingga dapat dihitung nilai LCSo melalui metode analisis probit dengan software SPSS (Mc Laughlin et a1 1991).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Deteksi Aflatoksin Pada Kacang Tanah dengan TLC

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah yang diambil secara acak (random) dari sepuluh pasar yang berbeda yaitu sampel A (pasar Bojong Gede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel I (pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) maka diketahui bahwa hanya tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe 9 1 dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (tampak pada Gambar 6 dan 7). Senyawa aflatoksin lain seperti aflatoksin 92, GI, G2 tidak terdeteksi.

    Sampel kacang tanah yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 (Tabel 1) adalah sampel C (pasar Ciampea) dengan kadar 51.02 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 63.77 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1, sampel E (pasar Parung) dengan kadar 12.63 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 25.26 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 pl, sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) dengan kadar 25.65 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 pl dan 38.48 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1. Setelah dikonversi maka diperoleh hasil yaitu kadar senyawa aflatoksin B1 yang terdeteksi pada sampel C (Pasay Ciampea) adalah sebesar 57.40 ppb, kadar senyawa aflatoksin BI yang terdeteksi pada sampel E (Pasar Parung) adalah sebesar 18.95 ppb, kadar senyawa aflatoksin 9 1 yang terdeteksi pada sampel J (Pasar Cikokol, Tangerang) adalah sebesar 32.07 ppb (contoh perbitungan deteksi kadar aflatoksin lihat lampiran I). Ketujuh sampel kacang tanah lainnya yaitu sampel A (pasar Bojong Gede),

    sampel B (pasar Cipntat), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel I (pasar Depok) tidak terdeteksi mengandung aflatoksin baik tipe 81, 82, GI, G2. Ketujuh sampel kacang tanah tersebut diduga kandungan senyawa aflatoksinnya berada di bawah limit deteksi.

    Ketiga sampel kacang tanah tersebut hanya mengandung kontaminan aflatoksin 91 saja disebabkan karena jenis aflatoksin tersebut men~pakan tipe aflatoksin yang secara umuni dihasilkan oleh kapang Aspergilus jlavus yang banyak menyerang tanaman kacang tanah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pendahulnan sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dhmaputra (1989). Nilai batas aman dari senyawa aflatoksin yang dapat ditoleransi oleh tubuh menurut FDA dan WHO adalah 15 ppb untuk bahan pangan manusia dan 20 ppb untuk pakan ternak. Berdasndtan nilai batas aman tersebut maka ketiga sampel kacang tanah (sampel C, sampel E, sampel J) yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 telah melebihi nilai batas aman dan dinyatakan bersifat toksik untuk h~huh. Tipe aflatoksin lainnya seperti B2, GI, G2 tidak banyak menyerang kacang tanah, akan tetapi dapat menyerang famili kacang-kacangan yang lain.

    Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode untuk mendeteksi keberadaan suatu senyawa aflatoksin dalam kacang tanah berdasarkan perbedaan warna b i ~ dan hijau yang timbul setelah pr:notolan (pembuatan spot) cuplikan standar dan sampel pada lempeng kromatografi mengalami elusi dengan campuran pelarut k1orofon:aseton (9:l vlv). Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan praktis untuk mengukur dan mendeteksi kadar aflatoksin pada kacang tanah karena hanya bersifat semi kuantitatif. Pengukuran dan deteksi kadar aflatoksin dilakukan dengan mengamati secara visual dan membandingkan jarak Rf (retardation faktar) standar aflatoksin dengan sampel yang diuji. Jenis aflatoksin yang dapat dideteksi dengan metode kromatograti lapis tipis ini adalah aflatoksin B1, B2, GI dan G2, sedangkan aflatoksin jenis MI yang banyak terdapat pada produk hasil temak seperti susu dan keju masih belum dapat dianalisis dengan menggunakan metode tersebut. Penggunaan metode kromatografi lapis tipis untuk mendeteksi kadar aflatoksin pada kacang tanah secara umum memiliki keterbatasan limit deteksi.

  • Gambar 6 Kromatogram TLC hasil analisis Gambar 7 Deteksi aflatoksin dengan KLT di aflatoksin kacang tanah pada lampu dalam detektor UV fluoresens 366 UV fluoresens 366 nrn. (I) Sampel nm. (1) San~pel B 5 p1, (2) Standar C, (2) Standar aflatoksin G1, (3) aflatoksin B1, (3) Sampel C 5 p1, Standar aflatoksin B1,(4) Sampel E, (4) Sampel C 10 p1, (5) Sampel D (5) Sampel J . 5 p1, (6) Sampel 1? 5 p1, (7) Sampel

    E 10 p1, (8) Sampel J 5 p1, (9) Sampel J 10 pl.

    l'abel I Hasil deteksi kadar aflatoksin B 1, B2, GI, G2 (dalam ppb) pada sampel kacang tanah dari 10 pasar yang berbeda dengan kromatografi lapis tipis

    Sampel Bobot Vol Hasil analisis kadar aflatoksin (ppb) sampel (g) sampel (pi) B1 B2 GI G2

    A 25.3542 5 .O

  • standar aflatoksin BI konsentrasi 2.01 f 0.04 pg/ml, standar aflatoksin B2 konsentrasi 0.500k 0.025 pglml, standar aflatoksin GI konsentrasi 2.01 f 0.04 pg/ml, standar aflatoksin G2 konsentrasi 0.500 i 0.025 pg/ml kurang dari 0.5 PI. Secara semi kuantitatif diketahui bahwa limit deteksi standar aflatoksin B1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin B2 kurang dari 1.35 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G2 kurang dari 1.35 ppb. Nilai tersebut diperoleh dengan bantuan jasa analisis dari laboratorium analisis kalibrasi Balai Besar Industri Agro (BBIA) menggunakan instrumen HPLC. Limit deteksi mempakan koreksi alat untuk menentukan nilai akhir suatu penetapan.

    Pendeteksian aflatoksin pada kacang tanah dengan pemberian metanol sebagai pelamt aflatoksin pada sampel sehingga dapat terpisah dari berbagai komponen yang lain, sedangkan pemberian garam NaCl sebagai pelarut fisiologis bemjuan agar kondisi sampel lebih stabil. Penambahan larutan heksana yang benifat non polar akan membantu melarutkan biomolekul lemak (lipid) yang terkandung dalam sampel kacang- kacangan maupun produk olahannya. Perlakuan sentrifus pada kecepatan 2000 rpm (500 g) selama 5 menit akan membantu memisahkan endapan pelet yang larut dalam heksana @erisi lemak) dengan supernatan yang larut dalam metanol (berisi senyawa aflatoksin yang akan dianalisis). Penambahan larutan kloroform pada lapisan metanol (supernatan) dimaksudkan untuk mengekstrak senyawa aflatoksin yang masih tercampur dengan senyawa lain pada sampel sehingga diperoleh aflatoksin dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Klorofonn sebagai pelarut utama dari ekstrak sampel berisi senyawa aflatoksin yang akan ditotolkan pada lempeng kromatografi silika (precoated kieselgel G plate).

    Penguapan sampel sampai kering menggunakan aliran gas nitrogen dimaksudkan untuk memekatkan ekstrak sehingga diperoleh kadar yang dapat dideteksi oleh kromatograti lapis tipis. Campuran pelarut organik k1oroform:aseton dengan perbandingan ( 9 1 vlv jenuh) digunakan sebagai eluen yang sangat optimum untuk analisis kadar senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2. Larutan eluen tersebut dijenuhkan terlebih dahuln sehari semalam agar hasil pemisahan menjadi lebih baik.

    Detektor UV fluoresens dapat membantu proses visualisasi senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2 berdasarkan perbedaan pendaran warna. Aflatoksin Dl dideteksi dengan munculnya walna iluoresens bim tua, aflatoksin 8 2 dideteksi dengan munculnya warna fluoresens biru muda pudar. Aflatoksin G1 dideteksi dengat1 munculnya warna fluoresens hijau tua, sedangkan aflatoksin G2 dideteksi dengati munculnya warna hijau muda pudar. Jika pada sampel yang telah dielusi tidak muncul warns fluoresensi yang sesuai dengau jarak Rf pada standar maka dapat diietahui bahwa kadar aflatoksin dalam komoditi kacang dan produk olahannya sangat rendah yaitu di bnwah limit deteksi. Munculnya warna fluoresensi lain yang berbeda dari standar aflatoksin, serta jarak Rf yang tidak sama dengan standar aflatoksin menunjukkan bahwa terdapat senyawa pengotor lain di dalam sampel produk kacang- kacangan tersebut di luar senyawa aflatoksin B1, B2, GI dan G2.

    Kekurangan metode kromatografi lapis tipis yang digunakan untuk menganafisis kadar aflatoksin pada sampel kacang tanah dan produk olahannya antara lain adalah preparasi sampel untuk analisis memerlukan waktu yang relatif lama, waklu penjenuhan eluen (fase gerak) yang lnemerlukan waktu sehari semalam (24 jam). I-Iasil analisis kromatografi lapis tipis masih bersifat semi kuantitatif, sensitivitas rcndah, tingkat kesalahan analis~s dengan menggunakan detektor UV fluoresens cukup tinggi karena sering terjadi kesalalian paralaks yang disebabkan oleh pengamatan wama fluoresens yang timbul dan jarak Rf yang dibandingkan berbeda antam standar aflatoksin dengan sampel. Kelebihan dari metode ini adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan analisis jauh lebih murah serta tidak memerlukan keahlian yang terlalu rumit dalam mengoperasika~l instrumen bila dibandingkan dengan tnetode lain seperti analisis dengan HPLC maupun menggunakan KIT ELISA.

    Hasil Uji Toksisitas LCso dengan Analisis Probit dari Ekstrak Kasar Aflatoksin

    pada Kacang Taliah

    Sebagai kelanjlitat~ dari penelitian pendahuluan deteksi aflatoksin pada sampel kacang tanah apabila ingin diketahui efek toksisitasnya maka dilakukan uji Brine Shrimp Lethality Test (Uji BST). Proses pengujian toksisitas LCSQ menggunakan

  • Artemia salina untuk ekstrak kasar aflatoksin dalam kacang tanah didasarkan pada prinsip sederhana bahwa kematian organisme zoologik secara in vivo merupakan metode dasar monitoring yang mudah untuk penapisan dan kaksinasi senyawa bioaktif aflatoksin tersebut (Mc Laughlin ei a1 1991). Metode pengujian BST dengan menggunakan Artemia salina dianggap berkorelasi dengan daya sitotoksik. Uji toksisitas LC5, dengan menggunakan Artemia salina dilakukan pada sampel kacang tanah yang telah terdeteksi mengandnng aflatoksin B 1 (sampel kacang tanab C dari pasar Ciampea, sampel kacang tanah E dari pasar Pamng, sampel kacang tanah J dari pasar Cikokol, Tangerang) berdasarkan uji pendahuluan dengan kromatografi lapis tipis.

    Terdapat beberapa tingkatan dalam analisis suatu senyawa kimia yang memiliki efek toksisitas. Pada tingkatan letal atau subletal dari pencampuran (asimilasi) zat kimia, tubuh makhluk hidup dapal menginduksi serangkaian pengaruh biologis (Rosenthal dan Alderdice 1976). Secara kualitatif, p e n g a ~ h letal dapat didefinisikan sebagai tanggapan yang tejadi pada saat zat-

    zat kilnia mengganggu proses dalam tubuh sampai suatu batas kematian. Pengaruh subletal adalah pengaruh yang memsak kegiatan fisiologis atau perilaku tetapi tidak menyebabkan kematian langsung meskipun kematian dapat terjadi (Morianly 1983).

    Gambar 8 Ekstrak kasar kaca& tanah yang mengandung aflatoksin B 1 dengan menggunakan pelarut kloroform.

    Tabel 2 Hasil pengamatan LC5o untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel C (pasar

    10 20 ekor 1 0 I 0.67 3.35 % 50 20 ekor 3 2 2 2.33 11.65 %

    100 20 ekor 5 3 4 4 20 % 150 20 ekor 7 5 6 6 30 % 200 20 ekor 8 7 7 7.33 36.65 % 250 20 ekor 9 8 9 8.67 43.35 % 500 20 ekor 13 12 13 12.67 63.35 % 750 20 ekor I6 14 15 15 75 % 1000 20 ekor 18 16 17 17 85 %

    Tabel 3 Hasil pengamatan LCsII untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel E (pasar Parung) dengan menggunakan larva udang (Arthenzia salina) Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang yang rnati rata-rata % kematian

    (ppm) udang awal 1 2 3 kematian 0 20 ekor 0 0 0 0 0 % 10 20 ekor 0 0 1 0.33 1.65 % 50 20 ekor 1 1 2 1.33 6.65 %

    100 20 ekor 2 3 4 3 15 % 150 20 ekor 4 4 6 4.67 23.35 % 200 20 ekor 6 7 7 6.67 33.35 % 250 20 ekor 8 9 9 8.67 43.35 % 500 20 ekor 10 11 12 I1 55 % 750 20 ekor 13 13 14 13.33 66.67 % 1000 20 ekor 15 16 16 15.67 78.35 %

  • 'Tabel 4 Hasil pengamatan LCSo untuk uji Loksisitas aflatoksin pttda kacang tanah sampel J (pasar Cikoko1,Tangerang) dengan menggunakan larva udang (Arthernia sulina) Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang vmg mati rata-rata % kematian

    (ppm) udang awal 1 2 3 kenlatian 0 20 ekor 0 0 0 0 0 % 1 10 20 ekor 0 1 0 0.67 1.65 % 50 20 ekor 1 3 1 1.67 8.35 %

    100 20 ekor 3 5 4 4 20 % 150 20 ekor 6 7 6 6.33 31.65% 200 20 ekor 8 9 8 8.33 41.65 % 250 20 ekor 10 11 10 10.33 51.65 % 500 20 ekor 13 1.5 14 14 70 % 750 20 ekor 15 17 16 16 80 % 1000 20 ekor 18 19 18 18.33 91.65 %

    Berdasarkan hasil nji toksisitas LC,, yang yaitu 12.067 (lihat lampiran 11). Berdasarkan dilakukan pada sampel kacang tanah C (pasar pengujian hipotesis statistik tersebut dapat Ciampea), sampel kacang tanah E (pasar disimpukan bahwa hasil percobaan LC,, Parung), sampel kacang tanah J (pasar untuk ketiga sampel ekstrak kasar kacang Cikokol, Tangerang) seperti tampak pada tanah C, E dan J yang pada masing-masing Tabel 2, 3 dan 4 dengan bantuan program sampel dilakukan secara hiplo bersifat software statistik SPSS dapat diperoleh grafik homogen dan validitas nilai LCso dari sampel hubungan linearitas antara log konsentrasi C, E dan J tersebut masih dapat diterima eksfxak kasar aflatoksin pada kacang tanah dengan selang kepercayaan 95 % ( a =0.05). dengan probit kematian dari larva udang. Pada sampel kacang tanah C diperoleh nilai persamaan linear y = 1.5668 x + 1.1261 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 5). Untuk sampel kacang tanah E diperoleh nilai persamaan linier y = 1.778 x + 0.44197 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 6), sedangkan pada sampel kacang tanah J diperoleh nilai persamaan linier y = 1.89295 x + 0.45574 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 7). Dari persamaan linear tersebut diketahui bahwa nilai LC,, dari ekstrak kasar Gambar 9 Pengamatan Artemia salina setelah

    -"

    aflatoksin kacane, tanah C dennan masa inkubasi 24 jam. 1 - -

    menggunakan analisis probit adalah sebesar 296.82 ppm. Sementara itu nilai LCso dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah E adalah 366.28 ppm dan nilai LC,, dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah J adalah 251.55 ppm.

    Pendugaan hipotesis secara statistik untuk analisis probit pada sampel kacang tanah C menunjukkan bahwa nilai x2 hitung yaitu 1.34198 lebih kecil daripada nilai X2 tabel (7, 0.05) yaitu 12.067 (lihat lampiran 9). Sampel kacang tanah E menunjukka~ nilai x2 hitung yaitu 8.1661 lebih kecil daripada ni la ix2 tabel (7, 0.05) yaitu 12.067 (lihat lampiran 10). Sampel kacang tanah J menunjukkan nilai ,y2 hitung yaitu 0.9172 lebih kecil daripada nilaiX2 tabel (I, 0.05)

    -- .

    aflatoksin patla ekstrak kasar kacang tanah dengan Artenzia salina.

    I Berdasarkan nilai LCSo dari ketiga sampel

    kacang tanah yang rnengandung aflatoksin dinyatakan bahwa sampel kacang tanah J 1

  • (pasar Cikokol, Tangerang) memiliki efek toksisitas yang paling berbahaya dibandingkan dengan kedua sampel kacang tanah yang lain karena dapat mematikan sebanyak 50 % populasi Artemia salina pada konsenhasi yang paling kecil yaitu 251.55 ppm. Sampel kacang tanah C (pasar Ciampea) memiliki tingkat toksisitas yang juga herbahaya karena nilai LCso nya yaitu sebesar 296.82 ppm lebih kecil jika dibandingkan dengan sampel kacang tanah E (pasar Parung) yang memiliki nilai LCsa sebesar 366.28 ppm. Secara umum ketiga sampel kacang tanah yang mengandung aflatoksin tersebut dapat dinyatakan memilii tingkat toksisitas yang tinggi (akut) karena ketiga sampel ekshak kasar kacang tanah tersebut memiliki nilai LCsa jauh dibawah 1000 ppm. Semakin kecil nilai LCso dari suatu senyawa bioaktif maka akan semakin toksik (berbahaya) keberadaan senyawa tersebut dalam tubuh (McLaughlin 1991).

    Ada dua prinsip utama yang hams terdapat dalam pemilihan hewan uji. Faktor yang pertama adalah efek toksisitas yang diujikan kepada hewan dapat diterapkan pada manusia. Efek toksik yang diiasilkan pada hewan uji umumnya berada dalam rentang konsenhasi yang sama efeknya apabila dikonsumsi oleh manusia. Faktor kedua yang hams diperhatikan adalah pemberian senyawa toksik pada hewan uji dalam dosis yang tinggi didasarkan pada suatu kepentingan percobaan dan menggunakan metode yang akurat agar dapat memperkirakan efek toksiknya terhadap manusia (Rosenthal dan Alderdice 1976).

    Analisis probit yang digunakan sebagai metode statistik dalam menghitung besarnya nilai LC,, mengacu pada dua ha1 yaitu perbandingan konsenhasi dari senyawa aflatoksin yang hendak diuji dan kuantitas jumlah larva udang yang diberikan pada setiap perlakuan. Besarnya tingkat toksisitas senyawa aflatoksin yang terdapat pada kacang tanah diketahui berdasarkan jumlah kematian larva udang (Artenria salina) akibat pemberian ekshak kasar kacang tanah yang mengandung senyawa aflatoksin. Ekstrak kasar aflatoksin bersifat toksik bila memiliki nilai LCSO < 1000 ppm, sedangkan untuk senyawa murni aflatoksin dikatakan toksik bila LCSO < 200 ppm (Meyer el a1 1982). Metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain, waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, pengerjaan sederhana, tidak memerlukan teknik aseptik, tidak memerlukan peralatan khusus, menggunakan sampel dalam jumlah relatif sedikit dan tidak memerlukan

    serum hewan seperti patla uji sitotoksik (Meyer el a1 1982). Alasan digunakannya larva udang dalam pengujian ini disebabkan karena telur naupli tetap dapat hidup dalam kondisi kering selama beberapa tahun. Di samping itu jika ditempatkan dalam air laut selama 48 jam telur mudah menetas sehingga menghasilkan naupli dalam jumlah besar yg siap unhtk diuji (Carballo er a1 2002).

    Kematian yang terjadi pada Arten~ia salina post larva 1 hari setelah diinkubasi dengan menggunakan larutan sampel yang mengandung ekshak kasar aflatoksin disebabkan karena Artemia salina tersebut mengalami keracunan (toxicity) akibat senyawa bioaktif yang terkandung dalam aflatoksin. Larva udang b e m w 1 hari tersebut masih sangat sensitif (peka) terhadap adanya senyawa bioaktif toksik yang masuk dalam tubuhnya. Faktor lain yaitu sistem pertahanan (imun) tubuh yang dibentuk larva udang masih belum dapat menghambat dan mentoleransi kemcunan oleh senyawa aflatoksin B1 yang terpapar pada media hidupnya. Larva udang yang dinyatakan mati berdasarkan pengamatan menggunakan kaca pen~besar ditunjukkan dengan tidak adanya pergerakan (motilitas). Akibatnya dalam waktu inkubasi yang relatif cepat yaitu 24 jam dapat dihitung tingkat toksisitas LCSo menggunakan parameter analisis probit.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Simpulan

    Berdasarkan penelilian yang dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah secara acak (random) dari beberapa pasar di kawasan Bogor, Tangerang dan Depok pada tanggal 18 Oktober 2008 diketahui bahwa terdapat tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe B1 yaitu sampel C (pasar Ciampea), sampel E (pasar Parung), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) menggunakan kromatografi lapis tipis. Berdasarkan nilai batas aman yang telah ditetapkan (15 ppb) oleh FDA dan WHO maka ketiga sampel kacang tanah (sampel C, sampel E, sampel J) dinyatakan bersifat toksik untuk tubuh karena melebihi nilai batas aman.

    Uji toksisitas LCSO dengan menggunakan Arternia salina dilakukan pada sampel kacang tanah C, sampel kacang tanah E, sampel kacang tanah J yang telah terdeteksi mengandung aflatoksin BI. Dari hasil uji toksisitas dengan menggunakan Artemia

  • salina diketahui nilai LC50 dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah C (pasar Ciampea), kacang tanah E @as= Parung) dan kacang tanah J (pasar Cikokol, Tangerang) memiliki tingkat toksisitas yang akut karena memiliki nilai LCsO< 1000 ppm. Sampel kacang tanah J (pasar Cikokol, Tangerang) memiliki efek toksisitas yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan sampel yang lain karena dapat mematikan sebanyak 50 % populasi Artemia salina pada konsentrasi terkecil.

    Saran

    Perlu dicoba metode yang lain dalam proses deteksi aflatoksin B1, B2, GI dan G2 pada kacang tanah yaitu dengan menggunakan KIT ELISA dan HPLC sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih akurat dan kuantitatif. Perlu diiakukan penelitian lanjutan mengenai toksisitas LDso senyawa m m i aflatoksin hasil isolasi dari kacang tanah secara in vivo dengan menggunakan tikus maupun mencit.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abbot WS. 1925. Method of computing the effectiveness of an insecticide. Journal Econ Entomol18: 265 - 267.

    Allen SJ, Wild CP, Wheeler JG. 1992. Aflatoxin exposure, malaria, and hepatitis B infection in rural Gambian children. J Trans Rsoc Trop Hyg 86: 426- 430.

    Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    Amla I, Kamala, Gopala K. 1971. Cirrhosis in children from peanut meal contaminated by aflatoxin. American Jo~zrnal of Clinical Nutrition 24: 606 - 614.

    Auonim. 1980. Laboratory Decontamination and Destruction of Aflatoxins BI, BZ, GI, G2 in Laboratory Wastes (ed Castegnaro et al). International Agency for Research on Cancer (IARC) Publication No. 37.

    Bahri S, Zahari P, Hamid H. 1990. Penggunaan arang aktif untuk mencegah aflatoksikosis pada itik. Jurnal Penyukit Hewan 40: 122 -127.

    Balazs T. 1870. Measzirement of Anrte Toxicity. Dalam GE Paget (penyunting). Methods in Toxicology. Edinburg: Blackwell Scientific.

    Carballo et al. 2002. A co~nparison between two brine shrimp assays to detect in vitro toxicity in marine natural products. BMC Biotechnoloey 2: 17.

    Celik M, O g w 0, Demet, Donmez HH, Boydak M and Sur E. 2000. Efficacy of polyvinyl poly pyrrolidone in reducing the immunotoxicity aflatoxin in growing broilers. J Britania Poultv Science 41: 430 - 439.

    Chelkowski J et al. 1981. Mycotoxins in cereal grain. Inactivation of ochratoxin A and other ~nycotoxins during ammoniation. JNahrung 2: 63 1- 637.

    Chinaphuti A. 1999. Decontamination of aflatoxin in .food using microwave oven. In : Mycotoxin contamination: Health Risk and Prevention Project. Proc. International Symposium on mycology, Chiba, Japan. September 9 - 10 1999. 272-276.

    Codex Alimentarius Commision. 2003. Prevention and red~rction of contamination by tricothecenes in cereal grains: Recommendedprctices based on good agricultural practices (GAP) and good man~facluring practices (GMP). CACIRCP 51-2003. Annex 4.

    Cullen JM, Newberne PM. 1993. Acute Hepatotoxicify of Ajlatoxin, dalam Eaton et al, The Toxicology of Aflatoxins: Human Health,Veterinary, and agricultural significance. London: Academic Press.

    Dalvi R, Ademoyero A. 1984 . Toxic effect on aflatoxin B1 in chickens given feed contaminated with Aspergillus jlavus and reduction of the toxicity by activated charcoal and some chemical agents. JAvian Dis 28: 61 - 69.

    Department of Crop Sciences University of Illinois. 1997. Mycotoxins and mycotoxicoses. Report on Plant Dis 1-6.

    Dhamaputra OS e! al. 1989. Aspergillus f laws and aflatoxin in peanut collected

  • from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Journal SEAMEO Biolrop 5: 11 1-1 15.

    Diallo MS, Sylla A, Sidibe K, Sylla. 1995. Pravalence of exposure to aflatoxin and hepatitis B and C viruses in Guinea, West Africa. JNat Toxins 3: 6-9.

    Dwidjoseputro. 1981. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Jambatan.

    Finney DJ. 1971. Probit Analysis 3" ed. England : Cambridge University Press.

    Frank CL. 1995. Toksikologi Dasar. Edi, penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari Basic of Toxicology.

    Galvano et al. 2001. Dietary strategies to counteract the effects of mycotoxins : A review. Journal Food Protect 64: 120- 131.

    Ghosh MK et al. 1996 . Effect of treating with propionic acid, sodium bisulfite and sodium hydroxide on the bisynthesis of aflatoxin in groundnut cake. JAnimal Feed Science Technology 60: 43 - 49.

    Ginting E, Rahmianna AA, Yusnawan E. 2005. Pengendalian Kontaminasi Aflutohin pada Produk Olahun Kacang Tanah melalui Penanganan Pra dan Pasca Panen. htt~://www.bptu-iatim- deptan.~o.id.

    Gong YY, Cardwell K, Hounsa A. 2002. Dietary aflatoxin exposure and impaired growth in young children &om Benin and Togo: cross sectional study. British Medical Journal 325: 20-2 1.

    Groopman JD. 1993. Molecular Dosimetry Methods for Assessing Human Aflaroxin Exposures, dalam Eaton et al, The Toxicology of Aflaloxins: Human Health, Veterinary, and agriculttiral signlj7cance. London: Academic Press.

    Harjadi W. 1994. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Hendrickse RG, Maxwell SM. 2001. Aflatoxins and child health in the

    tropics. Journal Toxicology Toxin Rev 8:31-41.

    Hollstein MC, Wild CP, Bleicher F. 1993. P53 mutations and aflatoxin B1 exposure in hepatocellular carcinoma patients from Thailand. International Journal Cancer 53:Sl-55.

    Kasno A. 2004. Pencegahan infeksi Aspergillus flaws dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. Jurnal Litbang Perlanian 23: 75 - 81.

    Latifah. 2000. Pengaruh perbedaan konsentrasi Timbal (Pb) terhadap nilai LD 50 Ikan Mas (Cyprinus carpio). [skripsi]. Bogor : FMlPA IPB.

    Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 111. Thenewijaya M, penerjemah. Jakarta: Erlangga Terjemahan dari: Principles of Biocltemistry. London: Worth Publisher.

    Makarananda K, Pensan U, Srisakulthong. 1998. Monitoring of aflatoxin exposure by biomarkers. .lournu1 Toxicology Science 23:155-159.

    Marin DE, Taranu I, Bunaciu RP. 2002. Changes in performance, blood parameters, humoral and cellular immune responses in weanling piglets exposed to low doses of aflatoxin. Journal Animal Science 80: 1250- 1257.

    Maryam R et al. 2003 . Efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum linn.) dalam penanggulangan aflatoksikosis pada ayam petelur. JITV 8:239- 246.

    McLaughlin el 01. 1991. "Bench-Top" bioassay for the discovery of bioactive natural product: an update. Di dalam Atta-ur-Rahman (Ed). Studies in Natural Product Cl~enzist~y. Elsevier: Amsterdam.

    McLaughlin JL. 1991. Crown gall tumours on potato disc ;md brine shrimp lethality: Two Simple Bioassay for Higher Plant Screening and Fractination. Methods in plant biochemistry 6: 1-30.

  • Meyer BN, Ferrigni NR, Putman JE, Jacobson LB, Nichol DE, McLaughlin JL. 1982. Brine shrimps: a convenient general bioassay for active plant constituent. Planta Med. 45:3 1-34.

    Mobiuddin SM. 2000. Handling mycotoxin in contaminated feedstuffs. Poultry International 6: 46 - 52.

    Mocchegianni E, Conadi A, Santarelli L. 2001. Zinc, thymic endocrine activity and mitogen responsiveness (PHA) in piglets exposed to maternal aflatoxicosis BI and GI. Veterinary Immunology Imm~rnopatholagy Jotirnal 62: 245-260.

    Morianty F. 1983. Ecotoxicology. The Study of Pollutants in Ecosystem. New York: Academic Press.

    M