g Sebelum membahas mengenai grosse akta, terlebih dahulu...

22
Sebelum membahas mengenai grosse akta, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian akta. Istilah akta yang dalam bahasa Belanda disebut “acta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed”. Menurut R. Subekti dan Gitrosudibio dalam bukunya “Kamus Hukum”, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin dan berarti perbuatan-perbuatan. 1 A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut ”Surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”. 2 Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini kita jumpai misalnya dalam pasal 108 KUH Perdata yang berbunyi : Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahkantangankannya, atau memperolehnya, 1 R. Subekti dan R.Tjitro Soedibio, Kamus Hukum, Jakarta : PT. Pradaya Paramita, 1980, hlm. 9. 2 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Terjemahan oleh M. Isa Arif, Jakarta : PT. Intermasa, 1978, hlm. 52.

Transcript of g Sebelum membahas mengenai grosse akta, terlebih dahulu...

g

Sebelum membahas mengenai grosse akta, terlebih dahulu dijelaskan

mengenai pengertian akta. Istilah akta yang dalam bahasa Belanda disebut “acta”

dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed”. Menurut R. Subekti dan

Gitrosudibio dalam bukunya “Kamus Hukum”, bahwa kata “acta” merupakan

bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin dan berarti

perbuatan-perbuatan.1

A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut ”Surat-surat yang

ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh

orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.2

Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk

dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering kita

jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan

perbuatan. Hal ini kita jumpai misalnya dalam pasal 108 KUH Perdata yang

berbunyi :

Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahkantangankannya, atau memperolehnya,

1 R. Subekti dan R.Tjitro Soedibio, Kamus Hukum, Jakarta : PT. Pradaya Paramita, 1980, hlm. 9.

2 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Terjemahan oleh M. Isa Arif, Jakarta : PT. Intermasa, 1978, hlm. 52.

surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti.3

Menurut R. Subekti, dalam bukunya “Pokok Pokok Hukum Perdata”, kata

akta dalam Pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas bukanlah berarti surat,

melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata”acta” yang

dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.

Jadi dapat disampaikan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah :

1. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum (rechtsandeling) itulah pengertian

yang luas.

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti perbuatan hukum

tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian akta ini dalam peraturan

perundang-undangan, maka yang dimaksudkan dengan akta dalam pembahasan

ini adalah akta dalam pengertian surat yang sengaja dibuat dan diperuntukkan

sebagai alat bukti.

Sedangkan pengertian dari grosse akta, jika ditinjau dari etimologi

bahasa, kata “grosse akta” itu berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua suku

kata, yakni “grosse” dan “akta”. Menurut kamus hukum karangan H. Van Der

Tas, arti dari grosse sebagai berkut “Oorspronkelijk : Een net of schrift in grose

3 R. Subekti, Pokok—Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 1980, hlm.29.

g, p

kutipan, dengan memuat di atasnya kata-kata : ”Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan

sebagai grosse pertama”, dengan menyebut nama dari orang, yang atas

permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.5

Mengenai pengertian akta telah penulis uraikan terdahulu, yaitu akta

adalah surat yang diberikan tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk alat pembuktian.

Dengan demikian grosse akta adalah suatu salinan atau turunan dari akta

autentik, yang memakai kepala di atasnya kata-kata : “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan pada bagian bawahnya harus

dicantumkan sebagai grosse pertama dengan menyebutkan nama orang yang atas

permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberian grosse itu, di mana

salinan tersebut mempunyai kekuatan eksekusi yang sama dengan suatu putusan

pengadilan yang tetap.6

4 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan

Eksekusi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Cet. I, 1993, hlm. 38. 5 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : PT. Erlangga, 1980, hlm.228. 6 Victor M. Situmorang, dan Cormentyna Sitanggang, Loc.Cit.

p g y , , p (

de akten, dezelverorm van de minuten, atschiften en repertoria), sub. 1860-3, di

simpulkan sebagai berikut:7

1. Grosse akta adalah salinan atau kutipan (secara pengecualian) yang pertama

dari minuta akta (naskah asli), yang di atasnya memuat irah-irah : Atas nama

Raja (sekarang baca : Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa) dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : Diberikan sebagai grosse

pertama oleh saya …………notaris/pejabat di ………… kepada dan atas

permintaan ……… pada hari ini ……….tanggal ………..

2. Kepada yang berkepentingan, para ahli waris, atau para penerima hak.

Mereka itu hanya diberikan grosse pertama saja, sedangkan pemberian grosse

kedua dan seterusnya, harus berdasarkan ketetapan pengadilan di daerah

hukum penyimpanan minuta akta yang bersangkutan berkedudukan.

3. Perbedaan antara : turunan, petikan dan grosse akta antara lain bahwa yang

mempunyai executorial Krachts hanya grosse pertama saja, sedangkan

turunan dan petikan tidak mempunyai kekutan eksekutorial.

7 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Cet. I, 1995, hlm. 233.

, y g g

berarti akta-akta di bawah tangan tidak dapat dikeluarkan grossenya.

2. Orang/pejabat yang dapat mengeluarkan /memberikan grosse akta tersebut

hanyalah notaris. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Jabatan

Notaris yang berbunyi :

“ Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditegaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.

3. Notaris yang dapat mengeluarkan /memberikan grosse suatu akta hanya

notaris penggantinya yang secara sah memegang minuta akta tersebut. Hal in

sebagaimana yang diatur oleh pasal 38 Peraturan Jabatan Notaris yang

berbunyi “Hanya notaris yang dihadapkannya dibuat suatu akta,

penggantinya sementara, atau pemegang sah dari minuta akta yang

berwenang untuk memberikan dari padanya grosse, salinan dan kutipan”.

4. Notaris hanya diperbolehkan memberikan grosse suatu akta kepada yang

berkepentingan sebagaimana yang diatur oleh pasal 40 Peraturan Jabatan

Notaris yang berbunyi “Dengan pengecualian dalam hal-hal yang diatur

8 Ibid., hlm. 234.

y g g g p g , p p

5. Grosse akta yang diberikan hanyalah grosse pertama, sedangkan grosse

kedua dan seterusnya atas penetapan pengadilan. Mengenai hal ini

pengaturannya dapat dilihat dalam pasal 41 Peraturan Jabatan Notaris yang

berbunyi :

“Kepada setiap orang yang berlangsung berkepentingan pada suatu akta notaris. Para ahli waris atau penerimanya hanya dapat diberikan satu grosse dari akta itu”. Kemudian dalam pasal 42 Peraturan Jabatan Notaris tersebut menyatakan bahwa “Pemberian grosse kedua atau seterusnya kepada yang berkepentingan yang sama tidak dapat dilakukan selain menurut cara yang ditentukan dalam reglement acara perdata …… “.

6. Bahwa antara grosse akta dengan turunan dan petikan terdapat perbedaan-

perbedaan yang terletak pada titel eksekutorialnya, yang “executorial

kracht”nya tidak diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris.

B. Bentuk-Bentuk Grosse Akta

Pasal 224 HIR berbunyi sebagai berikut :

“Surat asli dari surat hipotik dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di Indonesia dan kepalanya memakai perkataan ‘Atas nama Undang-undang’ berkekuatan sama dengan keputusan hakim, jika surat yang demikian itu, tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan jika sudah diijinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu

p y y g p p p

adalah sebagai berikut :

1. Surat hutang memakai hipotik

2. Surat hutang yang dilakukan dihadapan notaris (akta notaris) yang kepalanya

memakai perkataan-perkataan dahulu “Atas Nama Raja”. Kemudian berturut-

turut diubah menjadi “Atas Nama Republik Indonesia”, “Atas Nama Undang-

Undang” dan sekarang berdasarkan pasal 4 UU Pokok Kehakiman

No. 14/170 menjadi “Demikian Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha

Esa”.

Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati dengan jalan

damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa yaitu dilangsungkan

dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah

hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih sebagai

tempat tinggalnya. Akan tetapi mengenai paksaan badan hanya dapat dilakukan

apabila diizinkan dengan keputusan pengadilan negeri.10

9R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995, hlm.160.

10 Ibid., hlm. 161.

g g

2. Masing-masing akta tersebut “murni” berdiri sendiri dan tidak boleh

dicampuradukkan.

3. Pada masing-masing bentuk grosse akta tersebut, dengan sendirinya menurut

hukum telah melekat kekuatan hukum eksekusi.

Begitulah bentuk grosse akta yang diatur dalam pasal 224 HIR, yang

antara kedua bentuk tersebut tidak boleh dicampur aduk atau saling tindih dalam

satu objek hutang yang sama.

Para pihak yang mengadakan perjanjian kredit hanya boleh memilih

bentuk hipotik atau grosse akta pengakuan hutang. Kalau sudah jatuh pilihan

kepada bentuk grosse akta pengakuan hutang, perjanjian kredit yang bersangkutan

tidak boleh ditimpali dengan bentuk perjanjian hipotik. Begitu juga kalau

bentuknya telah mereka pilih hipotik, tidak dibolehkan menimpalinya dengan

grosse akta pengekuan hutang.11

Jika sekitarnya suatu perjanjian hutang telah diikat dengan bentuk grosse

akta pengakuan hutang, dan bentuk ini oleh pihak kreditur dianggap kurang

menjamin kepentingannya, mereka dapat mengalihkan kepada bentuk grosse akta

11 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT.

Gramedia, Cet I, 1988, hlm. 199.

p , p g g p g g y g

dahulu, maka menurut hukum dianggap terdapat kekacauan bentuk ikatan yang

saling bertindih. Begitu pula sebaliknya, kalau bentuk ikatan grosse akta hipotik

akan diubah menjadi grosse akta pengakuan hutang, maka harus melalui

pembaharuan perjanjian yang menegaskan pembatalan ikatan grosse akta hipotik.

Dari pembatalan grosse akta hipotik itu baru dilahirkan bentuk ikatan grosse akta

pengakuan hutang.

Bentuk grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang yang diatur

dalam pasal 224 HIR adalah dua macam jenis bentuk grosse. Jenisnya memang

sama-sama grosse akta, akan tetapi walaupun jenisnya sama, namun spesiesnya

mempunyai spesifikasi yang berbeda. Perbedaan spesifikasinya terutama terletak

pada dokumen yang mengiringi sifat assesornya, segi prosedur dan hak yang

melekat pada benda jaminan12.

C. Ciri-Ciri Grosse Akta

Untuk lebih jelasnya maka akan diuraikan tentang ciri-ciri dari grosse

akta sebagai berikut :

1. Grosse akta merupakan suatu salinan atau turunan dari suatu akta notaris. Hal

12 Ibid., 200.

g p

suatu ciri yang dapat membedakan antara grosse akta dengan suatu salinan

biasa yang tidak ada titel eksekutorialnya “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

3. Suatu grosse akta itu mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

suatu putusan pengadilan yang tetap, maksudnya apabila suatu grosse akta itu

akan dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri, maka tidak perlu melalui

prosedur gugatan yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu, biaya dan

tenaga. Tetapi hanya cukup dengan minta penetapan saja dari Ketua

Pengadilan Negeri agar grosse akta tersebut dapat dilaksanakan eksekusinya.

4. Pada bagian akhir dari grosse akta selalu tercantum kalimat: “Diberikan

sebagai grosse pertama oleh saya …. notaris di ….. kepada dan atas perintah

dari ……. (nama kreditur) pada hari ini …….tanggal …..

Ciri ini dapat membedakan antara grosse akta dengan salinan akta biasa,

sebab pada salinan akta biasa tidak memuat kalimat seperti di atas, tetapi

hanya tercantum kata-kata sebagai berikut : “Diberikan sebagai salinan yang

sama bunyinya.”

5. Grosse akta bersifat assesor.

Grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik merupakan dampingan

yang melihat pada perjanjian pokok. Oleh karena itu tanpa adanya perjanjian

g p j j g y g

mendahuluinya, artinya untuk mewujudkan ikatan grosse akta diperlukan :

a. Tindakan lain berupa persetujuan atau pernyataan pengakuan sebagai

ikatan tambahan yang melengkapi kelahiran grosse akta, yakni dokumen

tambahan. Ikatan tambahan tersebut dalam bentuk perikatan tertulis

berupa akta notaris maupun akta PPAT. Akta inilah dinamakan dokumen

tambahan. Perikatan grosse sebagai perikatan tambahan terhadap

perjanjian pokok harus berbentuk tertulis, yaitu berupa akta notaris atau

akta PPAT, sebagai dokumen tambahan yang mendukung kebenaran dan

pembuktian akan adanya ikatan grosse akta.

6. Hanyalah notaris yang bewenang untuk membuat /mengeluarkan grosse akta.

Sebenarnya apabila ditinjau dalam pasal 38 Peraturan Jabatan Notaris, maka

notaris itu tidak saja berwenang untuk mengeluarkan grosse akta, tetapi juga

wajib untuk memberikan grosse akta kepada pihak yang berkepentingan.13

D. Tata Cara Pemberian Grosse Akta

Selanjutnya yang berhak menerbitkan atau mengeluarkan grosse akta

adalah sebagai berikut :

1. Notaris yang membuat akta.

13 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 50.

p y g g g

1. Orang-orang yang disebutkan menjadi pihak dalam akta.

2. Para ahli waris dari orang-orang yang tersebut di atas.

3. Orang-orang yang mendapatkan hak dari orang yang tersebut di atas.14

Adapun cara membuat grosse akta yaitu seorang kreditur dan seorang

debitur menghadap ke notaris dan mengemukakan apa maksudnya. Kemudian

notaris membuat akta, akta aslinya setelah dibacakan oleh notaris kepada para

pihak yang menghadap itu dan diketahui para saksi, kemudian akta itu

ditandatangani oleh para pihak yang menghadap, saksi-saksi dan notaris. Akta

yang asli itu disimpan di notaris, yang untuk selanjutnya notaris membuat salinan

akta untuk diberikan kepada masing-masing pihak yang menghadap.

Bila di kemudian hari kreditur memandang perlu untuk meminta grosse

akta, maka kreditur harus menghadap kepada notaris yang bersangkutan itu lagi,

dan menyatakan kehendaknya yaitu meminta grosse akta. Atas pemintaan tersebut

notaris membuat sekali lagi salinan akta. Namun salinan itu kini diberi judul

dengan kalimat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang

diletakkan pada awal kalimat atau awal aktanya. Sedangkan pada akhir grosse

akta ditutup dengan kalimat “Diberikan sebagai Grosse Pertama oleh saya ………

14 Kurdiyanto, Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Surabaya:

PT. Usaha Nasional, 1991, hlm. 101.

p p y g y p

Tetapi jika ternyata eksemplar itu hilang, maka notaris yang bersangkutan hanya

diperbolehkan mengeluarkan sekali lagi bila telah ada perintah dari Pengadilan

Negeri setempat. Jadi pemegang grosse akta yang hilang itu harus mengajukan

permohonan terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri setempat agar notaris yang

bersangkutan mengeluarkan grosse akta selanjutnya. Untuk itu yang bersangkutan

harus dapat membuktikan atas hilangnya grosse akta pertama tersebut kepada

Pengadilan Negeri setempat.15

Adapun dokumen yang melengkapi grosse akta, yang pertama penulis

kemukakan terlebih dahulu adalah dokumen yang melengkapi grosse akta

pengakuan hutang yaitu :

1. Dokumen perjanjian pokok berupa perjanjian hutang atau perjanjian kredit

(akta kredit). Perjanjian pokok ini sebagai dokumen pertama dalam grosse

akta pengakuan hutang, dapat berwujud:

a. Bentuk tertulis baik berupa akta di bawah tangan maupun berupa otentik.

b Bentuk perjanjian lisan.

15 Ibid., hlm. 102.

g y g g p g p

sebagai berikut :

1. Dokumen perjanjian hutang sebagai dokumen pokok tanpa ada perjanjian

pokok tidak dapat diwujudkan. Ikatan perjanjian hipotik adalah perjanjian

yang assesor dengan perjanjian hutang yang ada terlebih dahulu. Perjanjian

pokoknya adalah sama dengan perjanjian pokok yang terdapat pada grosse

akta pengakuan hutang.

2. Dokumen kuasa memasang hipotik merupakan lanjutan perjanjian

hutang/kredit yang dibuat setelah perjanjian tersebut disetujui dan

ditandantangi debitur dan kreditur. Kuasa memasang hipotik ini

pemasangannya di hadapkan notaris (PPAT).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan akta

perjanjian kuasa memasang hipotik adalah sebagai berikut :

a. Kuasa memasang hipotik dapat disatukan sekaligus dalam akta

perjanjian hutang/kredit jika perjanjian tersebut berbentuk akta otentik

(akta notaris).

16 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 206.

p g p y g

permintaan pihak kreditur maupun kedua belah pihak.

4. Dokumen ke empat yang melengkapi keabsahan perikatan kekuatan hukum

eksekutional proses untuk mewujudkan dokumen sertifikat hipotik, yaitu :

a. Akta hipotik

b. Sertifikat hak tanah

c. Dokumen lain yang diperlukan (akta perjanjian hutang, kuasa memasang

hipotik atau surat lain).

Di sampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (Kantor Sub

Direktorat Agraria Kabupaten/Kota Madya) yang bersangkutan untuk didaftarkan

dan pendaftarannya dalam buku tanah.

Jadi pemasangan hipotik dilakukan di hadapan PPAT yang melahirkan

dokumen akta hipotik, sedang pendaftaran akta hipotik diajukan kepada Kepala

Kantor Pendaftaran Tanah yang mengeluarkan sertifikat hipotik sebagaimana

diatur dalam pasal 22 ayat 4 PP No. 10/1961.17

Pada dasarnya grosse akta merupakan suatu turunan atau salinan dari akta

notaris yang dibuat berdasarkan minuta yang disimpan oleh notaris di kantornya.

Perbedaannya ialah terletak pada adanya irah-irah “Demi Keadian Berdasarkan

17 Ibid., hlm. 216.

, y g g y

akta-akta di bawah tangan tidak dapat dikeluarkan grosse-nya. Kemudian notaris

atau notaris penggantinya atau yang secara sah memegang minuta akta tersebut

dapat memberikan grossenya.

Dari uraian tersebut dapatlah dikemukakan urutan-urutan dan tata cara

pemberian /pengeluaran suatu grosse akta sebagai berikut :

1. Antara deitur dan kreditur mengadakan perjanjian hutang piutang oleh dan di

hadapan notaris, dalam kesempatan itu dibuat akta pengakuan hutang.

2. Kreditur meminta kepada notaris yang membuat akta pengakuan hutang

tersebut atau penggantinya, untuk mengeluarkan/memberikan grosse akta

atas pengakuan hutang tersebut. Permintaan ini dilakukan, baik pada saat

diadakan perjanjian hutang piutang tersebut ataupun beberapa waktu setelah

diadakannya perjanjian itu.

3. Atas dasar permintaan dari kreditur, maka notaris yang sebelumnya membuat

atas pengakuan hutang tersebut, atau penggantinya dapat memberikan grosse

akta pengakuan hutang berdasarkan minuta yang disimpannya. Grosse akta

pengakuan hutang tersebut dikeluarkan dengan irah-irah pada bagian kepala

akta”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

4. Grosse akta pengakuan ini, diberikan dengan nama grosse pertama diterima

dan disimpan oleh kreditur untuk keperluan kemudahan eksekusinya.

g j p p g g p

mana notaris yang membuat dan menyimpan minuta akta tersebut bertempat

tinggal.

2. Apabila permohonan tersebut dapat dikabulkan, Pengadilan Negeri akan

membuat/mengeluarkan surat perintah kepada notaris yang bersangkutan

untuk mengeluarkan grosse keuda atau selanjutnya.

E. Beberapa Ketentuan Yang Mengatur Tentang Grosse Akta

Adapun landasan hukum dari grosse akta dapat dijumpai dalam pasal 224

HIR. Selanjutnya ketentuan tentang grosse akta ini dapat juga dilihat Peraturan

Jabatan Notaris dan beberapa komentar yang penulis kutip dari buku Peraturan

Jabatan Notaris yang merupakan landasan hukum grosse akta, yakni :

1. Pasal 224 HIR

Kepada grosse akta hipotik dan surat-surat pengakuan hutang yang

dibuat dihadapan notaris di Indonesia dan berkepala “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” diberikan kekuatan hukum yang

sama seperti kepada surat-surat keputusan. Dalam hal ini pelaksanaan tidak

dapat dilakukan secara damai, maka dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua

18 Hasanuddin Rahman, Op.Cit., hlm. 234.

y g p p

harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan yang diperintahkan oleh

ketua, diberlakukan ketentuan-ketentuan menurut pasal 195 ayat 2 dan

seterusnya.19

2. Pasal 38 Peraturan Jabatan Notaris

Hanya notaris yang dihadapannya dibuat suatu akta, penggantinya

sementara atau pemegang sah dari minut yang berhak mengeluarkan grosse

salinan dan kutipan dari padanya. Tiap-tiap notaris berhak mengeluarkan

salinan dan kutipan dari akta yang diletakkan pada akta lainnya yang

disimpan dalam kantornya.

Notaris juga boleh membuat salinan dan kutipan dari akta-akta dan

surat-surat yang ditujukan kepadanya sesudah dicocokkan dengan salinan

atau kutipannya diserahkan kembali kepada yang berkepentingan. Selain

dalam perkecualian-perkecualian yang ditetapkan dalam perundang-

undangan umum, maka kutipan harus sama mengenai nama, jabatan dan

kedudukan orang –orang yang bertindak.

Pada penutupannya harus disebutkan : ”Dikeluarkan sebagaimana

kutipan yang sama bunyinya sekata demi sekata”. Atas kelainan mana

19 R. Soesilo, Op.Cit., hlm. 160

p g

Pada pasal dalam ayat pertama ini menyebutkan, bahwa hanya notaris

yang membuat minuta dari sesuatu akta yang berhak mengeluarkan grosse,

salinan atau kutipan dari akta itu. Jadi jika seandainya akta tersebut dibuat

oleh notaris A, maka notaris B tidak berhak mengeluarkan grosse, salinan

atau kutipannya.20

3. Pasal 41 Peraturan Jabatan Notaris

Kepada setiap orang yang berkepentingan langsung pada suatu akta

notaris, para ahli waris atau penerima haknya dapat diberikan satu grosse dari

akta itu.

Grosse ini, seperti halnya dengan arrest dan putusan hakim, harus

memuat di atasnya kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” dan sebagai penutup, “Diberikan sebagai grosse pertama” dengan

menyebut nama dari orang yang atas permintaannya dilakukan pemberian itu.

Kutipan atau bagian dari akta tidak boleh dikeluarkan sebagai grosse

kecuali dalam hal pembagian warisan dan berita acara mengenai penjualan,

sewa menyewa, pengupahan, pemborongan pekerjaan di pelelangan. Di mana

diperbolehkan bahwa untuk tiap-tiap bagian pembelian, persewaan,

20 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hhlm. 250

g j g

sebabnya mengenai tidak dapatnya menandatangani, syarat-syarat penjualan,

persewaan, pengupahan atau pemborongan pekerjaan. Seluruh ha-hal tersebut

dimasukkan dalam kutipan.

4. Pasal 42 Peraturan Jabatan Notaris

Pemberian grosse kedua atau selanjutnya kepada orang yang sama

yang berkepentingan tidak boleh dilakukan dengan cara lain selain yang

ditentukan dalam Burgerlijke Reslusordering dengan ancaman hukuman

pemberhentian sementara dari jabatan selama tiga sampai enam bulan atau

denda sebanyak 500 sampai 1000 golden.

Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 856 Rechtsvordering yang

berbunyi sebagai berikut :

“Pihak (partij) yang menghendaki grosse kedua atau selanjutnya harus mengajukan permohonan kepada pengadilan (Raad van justite) yang di dalam wilayahnya penyimpanan dari minutanya bertempat tinggal, pengadilan itu dengan surat permintaan kepada penyimpan, memerintahkan untuk mengeluarkan grosse pada hari dan jam yang ditentukan, dan kepada pihak yang bersangkutan untuk hadir pada waktu pengeluaran itu, pada penghabisan grosse kedua atau selanjutnya harus disebutkan tentang surat perintah itu, dan jumlah uang yang ditagih untuk mana grosse itu dapat dilaksanakan, jika tagihan itu sebagian telah lunas dan dibayar”.21

21 Ibid., hlm. 283

y y g y p y g

bersangkutan berdomisili. Pengadilan akan memeriksa permohonan itu dan

apabila dikabulkan, maka pengadilan mengeluarkan surat perintah kepada

notaris yang bersangkutan untuk mengeluarkan grosse kedua atau

selanjutnya pada hari dan jam yang ditentukan. Kepada pihak-pihak yang

berkepentingan pengadilan memerintahkan pula untuk hadir pada waktu

pengeluaran grosse kedua atau selanjutnya itu. Kemudian ditentukan pula

bahwa pada bagian akhir grosse yang dikeluarkan itu disebutkan perintah

pengeluaran grosse akta itu dan jumlah yang ditagih. Apabila jumlah

pinjamannya sebagian sudah dibayar, sehingga jumlah yang dicantumkan itu

merupakan sisa yang harus dibayar harus dicantumkan juga.

5. Pasal 43 Peraturan Jabatan Notaris

Semua akta, grosse, kutipan yang dibuat oleh notaris dibubuhi cap

dari segel yang dimaksud dalam pasal 19 Preaturan Jabatan Notaris.

Sedangkan semua surat yang diletakkan pada akta harus diberi segel tersebut,

semuanya itu dengan ancaman hukuman denda sebanyak 25 gulden untuk

tiap-tiap pelanggaran.

6. Pasal 45 Peraturan Jabatan Notaris

Notaris wajib mengadakan register tentang berlakunya dan

pemindahan kepada perundang-undangan baru, dan dalam pasal-pasal 143 C

g g g y g g g , g

nomor yang berjalan terus, dengan menyebutkan tanggal, sifat dan nama-

nama dari orang-orang yang menghadap dalam rangka itu dan tentang nomor

dari masing-masing minut dalam bendel minut tersebut.

Akta-akta yang dikeluarkan sebagai asli yang pada waktu sama

dikeluarkan dalam rangkap dua, tiga atau lebih, dicatat dalam repertorium ini

di bawah satu nomor. Halaman dari reportusi harus diberi nomor dan diparaf

oleh ketua Pengadilan Negeri atau salah satu anggota pengadilan yang di

dalam wilayahnya notaris tersebut menjalankan jabatannya.22

22 Ibid., hlm. 287.