FUNDAMENTALISME ISLAM ANALISIS PEMIKIRAN POLITIK...
-
Upload
trinhtuyen -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of FUNDAMENTALISME ISLAM ANALISIS PEMIKIRAN POLITIK...
FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI
Oleh :
I D R I S NIM: 100033218835
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
I D R I S NIM: 100033218835
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”FUNDAMENTALISME ISLAM: ANALISIS
PEMIKIRAN POLITIK BASSAM TIBI” ini telah diujikan dalam sidang
munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada hari Kamis, tanggal 31 Mei 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran
Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Mei 2007
Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Masri Mansoer, MA. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA. Nip. 150 244493 Nip. 150 270808
Penguji I Penguji II Dr. Sirojuddin Aly, MA. Idris Thaha, M.Si Nip.150 318684 Nip. 150 317723
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Chaider S. Bamualim, MA NIP. 150 240 483 NIP. 150 295 313
FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
I D R I S NIM: 100033218835
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Chaider S. Bamualim, MA NIP. 150 240 483 NIP. 150 295 313
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1428 H./2007 M
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam,
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta.
Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis
dengan judul “Fundamentalisme Islam: Analisis Pemikiran Politik
Bassam Tibi ”.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak
kesalahan, kekurangan dan kekhilafan didalam penulisan skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai
pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan
AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai
sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar
di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. dan Chaider S. Bamualim, MA. Selaku
pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan bijak terus membimbing,
menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik
yang penulis miliki.
3. Ayahanda dan Ibunda Hepni dan Mayriyah, terimakasih atas kasih
sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari mereka
berdua. sebagai wujud terimakasih, penulis persembahkan skripsi ini
untuk mereka berdua. Do’a mereka senantiasa penulis harapkan dalam
mengarungi bahtera kehidupan ini.
4. Terima kasih pada teman-teman Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pak Chaider sosok
yang terus menjadi inspirasi bagi penulis, Pak Irfan yang selalu memberi
motivasi tiada henti, Pak Sukron dan Mas Ridwan yang selalu
menggelitik penulis dengan pertanyaan ”dah selesai belum skripsimu”,
Ibu Lina dan Ibu Diana yang selalu memberikan motivasi untuk
menyelesaikan studi, makasih Gus Sholah, Dirin, Sajad, Chayne Scott,
Aang, Efri, Sylfi yang telah memberikan kehangatan tersendiri untuk
selesainya skripsi ini.
5. Terima kasih kepada Nia Trisniawati, SS. atas dorongan, doa dan
bantuannya, dan telah bersedia menemani “kegelisahan”(ku), selama
penulisan skripsi ini...kau adalah segalanya, dan (aku) akan menjadi
manusia tangguh seperti yang kau harapkan.
6. Terima kasih kepada kawan-kawan dari Madura terutama Bang Katib
yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dan selalu mengajak
diskusi tetang skripsi ini. Adam makasih ya atas dorongan dan
motivasimu yang luar biasa, Sabran, Om Bedus, Suli, Bang Yon, Atif,
Habib, Starji, terimakasih atas dorongannya dalam menyelesaikan
skripsi ini. Buat Bang Mahmudi ditunggu skripsimu. Adi Priyitno, aku
selalu menunggu senyum lebarmu untuk membuktikan siapa yang lebih
awal selesai studi. Tidak lupa aku ucapkan terimakasih buat kawan-
kawan FORMAD yang saya tidak bisa sebutkan satu-persatu.
7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman keluarga
Bintang-Bintang, Ida, Fifi, Nana, Subur, Meta, Ijal, dan Opik. Tanpa
motivasimu skripsi ini tidak akan selesai.
Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang dapat penulis
mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa membimbing langkah kita
menuju masa depan yang lebih baik. Amin.
Jakarta, 16 Mei 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 5
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 6
D. Metode Pembahasan ................................................................ 6
E. Sistematika Penulisan ............................................................. 8
BAB II BASSAM TIBI : RIWAYAT HIDUP , KARYA DAN PIKIRAN-
PIKIRANNYA
A. Riwayat Hidup ........................................................................ 10
B. Kaya-karya Bassam Tibi ......................................................... 13
C. Pokok-pokok Pikiran Bassam Tibi ......................................... 24
BAB III LANDASAN TEORITIS FUNDAMENTALISME ISLAM
A. Pengertian dan Asal Usul Istilah Fundamentalisme ............... 27
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme .......................... 30
C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam ............... 34
BAB IV PEMIKIRAN BASSAM TIBI TENTANG FUNDAMENTALISME
ISLAM
A. Fundamentalisme Islam: Gejala Ideologisasi Agama .............. 41
B. Fundamentalisme Islam & Miskonsepsi terhadap Doktrin Jihad ... 46
C. Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah 50
D. Fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban .................. 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 58
B. Saran ........................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 61
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini dunia dikejutkan dengan menyeruaknya fenomena teror dan
kekerasan atas nama agama yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia,
terutama di dunia Islam, dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah hingga
Indonesia. Di tengah fenomena kekerasan tersebut muncul kelompok-kelompok
Islam seperti Jihad Islam di Mesir, Hamas di Palestina, Jemah Islamiyah, dan Al-
Qaedah yang jaringannya kuat dan meluas dimana-mana. Pengeboman tragis atas
gedung World Trade Center dan Pentagon 11 September 2001 di Amerika Serikat,
adalah salah satu contoh bagaimana agama dan kekerasan terkait satu dengan
lainnya. Kelompok-kelompok yang seringkali menjustifikasi kekerasan atas nama
agama ini sering kali dikenal dengan kelompok fundamentalisme. Tidaklah heran
mengapa gerakan fundamentalisme agama acap kali dilihat sebagai faktor ataupun
aktor di balik munculnya aksi-aksi terorisme. Ini mudah dimengerti sebab di
banyak kalangan fundamentalisme Islam, semisal Fron Jihad dan Jamaah
Islamiyah di Mesir sejak lama telah secara ekstrem menjustifikasi kekerasan
dengan doktrin jihad sebagai rukun Islam yang ke enam.1
1 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSP,
Oktober 2004), Cet. I, h. 88.
Namun fundamentalisme bukan monopoli Islam semata. Pengamat agama
terkemuka, Karen Amstrong, misalnya, melihat fundamentalisme agama menjadi
fenomena global yang dapat terjadi kapanpun dan di manapun, serta mungkin
saja didukung oleh siapapun.2 Bahkan ketika dilihat dari kacamata agama-agama,
gerakan fundamentalisme tidak hanya terjadi dalam agama Islam, Yahudi,
Kristen, tetapi juga di seluruh agama-agama lainnya. Menurutnya,
fundamentalisme agama adalah ajaran yang secara kuat menekankan pentingnya
kembali ke ajaran fundamental agama, serta berupaya menegakkan kembali
kejayaan agama di masa lampau, agar dapat kembali diwujudkan di masa
sekarang. Lebih jauh Armstrong berpendapat, bahwa fundamentalisme tidak
hanya sebagai gerakan kembali ke akar agama sebagaimana dimaksud, tetapi juga
merupakan gerakan yang mencoba melawan modernisasi dan westernisasi.3 Itulah
sebabnya, mengapa kelompok fundamentalisme cenderung dipahami sebagai
kelompok yang anti-Barat dan modernitas. Karena aksi-aksinya yang ekstrem dan
nekat, oleh banyak kalangan pemerintahan di Barat, kelompok ini seringkali
dikaitkan dengan terorisme. Peristiwa dahsyat 11 September 2001 membuat
stigma ini menjadi tak terbantahkan.4
Sebagai gejala sosial-keagamaan, fundamentalisme sebenarnya pertama
kali muncul di kalangan penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat (AS),
sekitar tahun 1910-an. Istilah fundamentalisme digunakan kalangan ini untuk
2 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan
Yahudi (Bandung: Mizan, 2000) Cet. I, h.IX. dan lihat juga Zuhairi Misrawi, Fundametalisme; Memenjarakan Perempuan, Jurnal Perempuan No.31, 2003, h. 65.
3 Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. X. 4 Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, International Institute of Islamic Thought Indonesia
(September 2003), h.13.
membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan yang liberal yang oleh mereka
dituduh telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan
kembali dasar-dasar (fundamental) tradisi Kristen, yakni suatu tradisi yang oleh
mereka didefinisikan sebagai pemberlakuan panafsiran secara harfiah terhadap
kitab suci.
Banyak pengamat melihatnya secara berbeda-beda. Yang jelas,
fundamentalisme adalah kenyataan global yang muncul pada semua keyakinan
keagamaan. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di
berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Ada
yang melihatnya sebagai kritik dan protes terhadap berbagai masalah-masalah
sosial dan moral yang dimunculkan modernitas. Bagi kelompok fundamentalis,
arus modernisasi dinilai telah keluar jauh dari nilai-nilai agama sehingga
menimbulkan kemerosotan moral-sosial dalam masyarakat maupun pemerintahan.
Negara sekular juga dituduh gagal melindungi nilai-nilai luhur agama, bahkan
agama dipinggirkan dari percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya; suatu
domain publik yang telah dirampas dan dikuasai secara hegemonik agen-agen
modernitas.5 Dalam konteks Islam, fenomena muculnya gerakan
fundamentalisme Islam, secara umum, dapat dilihat sebagai respon terhadap krisis
modernitas, dominasi Barat, kemorosotan moral umat Islam dan kegagalan
negara-bangsa dalam mengintegrasikan program-program ekonomi, politik dan
5 Lihat Karen Armstrong, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2002) h.193. Lihat juga Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003), Cet. I, h. 2.
budaya dengan sistem nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.6 Oliver Roy,
pengamat politik Islam asal Perancis, melihat bahwa fundamentalisme Islam
mempunyai dua agenda besar yang berpusat pada syari’at dan bersifat
antikolonialisme, anti imperialisme, yang kini menjadi gerakan anti barat.7
Bagaimana Bassam Tibi memandang fenomena fundamentalisme Islam?
Menurutnya, fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global
yang baru dalam politik dunia. Gerakan ini merepresentasikan suatu ideologi
politik, dan bukan agama sebagai budaya, dan bahkan terjebak dalam perangkap
benturan antar peradaban dalam konteks sosial politik.8 Sejalan dengan Tibi, prof.
di bidang politik Islam Din Syamsuddin, menilai bahwa gerakan
fundamentalisme cenderung hendak menemukan kembali jati diri Islam dan
memasukkan asas-asas Islam ke dalam kehidupan nyata sosial-politik mutakhir.9
Dalam bahasa yang lebih tegas, Tibi mengatakan bahwa fundamentalisme
merupakan gejala ideologis dari ide clash of civilizations (benturan peradaban).10
Karenanya, bagi Tibi adalah penting untuk membedakan antara Islam sebagai
sebuah agama dan peradaban dan Islam sebagai ideologi politik
(fundamentalisme).11 Menurut Bassam Tibi, Islam merupakan sistem budaya, dan
karenanya penting untuk menganalisis bagaimana sistem budaya ini dipolitisasi
6 Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad, h. 21. 7 Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996) Cet. I,
h. 5. 8 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru, Penerjemah Imron Rosyidi dkk, (Yogyakarta: November 2000), Cet. I, h. 5. 9 Lihat Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. II, h. 190. 10 Dalam hal ini benturan peradaban yang dimaksud adalah benturan antara Islam dan
Barat, Barat melihat Islam sebagai musuh utama yang mengancam eksistensiya dalam perpolitiikan dunia, pernyataan ini bisa dilihat juga dalam, Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 26.
11 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 5.
untuk melakukan perubahan sosial (social change). Demikian halnya, penting
untuk mencermati bagaimana suatu ideologi politik dikembangkan dari sistem
budaya (Islam) melalui pendekatan gerakan fundamentalis yang cenderung
anarkis dengan mengatasnamakan Islam.12
Memperhatikan uniknya fenomena ‘manipulasi’ agama (sebagai sistem
budaya) dengan ideologi politik kaum fundamentalis atas nama Islam, adalah
penting bagi kita untuk mengkaji pemikiran Prof. Bassam Tibi. Penulis berharap,
pembahasan ini dapat memberi kontribusi bagi studi-studi fundamentalisme Islam
yang telah ada. Studi ini juga perlu mengingat pentingnya pengaruh dan reputasi
Prof. Bassam Tibi baik di kalangan sarjana Barat maupun sarjana Islam. Apalagi
hingga kini belum ada yang membahas secara mendalam pandangan-pandangan
Bassam Tibi menyangkut fundamentalisme Islam sebagai gerakan ideologi politik
di dunia Islam.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari pandangan di atas, maka penulis berusaha membatasi
penulisan skripsi ini pada pemikiran politik Bassam Tibi tentang fundamentalisme
Islam. Untuk tidak terlalu menyimpang dari tujuan pokok pembahasan dalam
penulisan skripsi ini, masalah yang hendak difokuskan hanyalah dalam ruang
lingkup seputar karya dan pemikiran Bassam Tibi mengenai fundamentalisme
Islam.
12 Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Penerjemah Misbah Zulfa
Ellizabet dkk, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999) Cet. I, h. 193.
Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini
adalah apa dan bagaimana konsep pemikiran politik Bassam Tibi mengenai
fundamentalisme Islam?
C. Tujuan Penulisan
Dalam tujuan penulisan skripsi ini, penulis berusaha memotret dan
mengkaji profil Bassam Tibi serta pemikirannya tentang fundamentalisme Islam,
terutama eksperimentasi metodologi dalam pemahaman politik Islam baik secara
teoritis maupun praktis dalam rangka kehidupan umat Islam dalam negara
modern. Dari kajian ini penulis berharap dapat memperoleh pemahaman lebih
baik dan mendalam mengenai gejala gerakan fundamentalisme Islam, kaitannya
dengan dunia politik, suatu fenomena yang belakangan menggeliat dalam pentas
kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia dewasa ini..
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan
praktis. Secara teoritis penulisan ini diharapkan memberi sumbangsih bagi
pengembangan studi politik Islam secara umum. Adapun secara praktis penulisan
skripsi ini diharapkan menambah khazanah kepustakaan, khususnya mengenai
pemikiran Bassam Tibi tentang fundamentalisme Islam.
D. Metode Pembahasan
Bertolak dari model penelitian yang bersifat literal maka sumber data
dalam penelitian skripsi ini sepenuhnya disandarkan pada riset kepustakaan
(library research). Artinya, data-datanya berasal dari sumber-sumber
kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, enseklopedi, majalah, surat kabar dan
sebagainya. Dalam pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya-karya
Bassam Tibi atau tulisan dan karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian
skripsi ini.
Dalam pembahasan tulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif,
komparatif dan analitis kritis. Metode deskriptif diarahkan untuk menggambarkan
keadaan obyek atau peristiwa di sekitarnya tanpa berpretensi membuat
kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Metode deskriptif ini adalah
langkah awal yang mempunyai signifikansi untuk mengkaji dan menelaah lebih
jauh.
Metode komparatif digunakan untuk membandingkan pokok-pokok
pemikiran Bassam Tibi guna mengetahui adanya persamaan dan perbedaannya
dengan tokoh-tokoh lain, mengingat bahwa sosok Bassam Tibi dalam konstelasi
pemikiran politik Islam tidak hadir begitu saja dalam ruang yang tanpa sejarah.
Adapun metode analisis kritis digunakan untuk berupaya untuk mencermati
kerangka pendekatan yang digunakannya serta corak pemikirannya terutama
dalam mendiskusikan fenomena fundamentalisme Islam yang menghebohkan
dunia dewasa ini.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku
panduan penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005/2006.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut
adalah sebagai berikut:
Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang yang membahas antara
lain latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penulisan, metode pembahasan dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan tentang riwayat hidup Bassam Tibi, yang
meliputi: riwayat hidup, karya-karya Bassam Tibi dan pokok-pokok pemikiran
tentang politik Islam.
Bab ketiga tentang landasan teoritis fundamentalisme Islam. Meliputi, apa
dan bagaimana definisi fundamentalisme, sejarah munculnya fundamentalisme,
ciri-ciri dan karakteristik fundamentalisme, dan bagaimana akar historis dan
definisi fundamentalisme Islam
Bab keempat adalah bab yang menguraikan tentang Pemikiran Bassam
Tibi Tentang fundamentalisme Islam. Yang meliputi, bagaimana
fundamentalisme Islam sebagai gejala ideologisasi Agama untuk mencapai
tujuan-tujuan politik, miskonsepsi terhadap doktrin jihad bagi kelompok
fundamentalis, bagaimana fundamentalisme Islam dalam berupaya mendirikan
Negara Islam dan mengaplikasikan Implimentasi Shari’ah, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dan diakhiri dengan pembahasan seputar
fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban.
BAB II
BASSAM TIBI : RIWAYAT HIDUP , KARYA
DAN PIKIRAN-PIKIRANNYA
A. Riwayat Hidup
Bassam Tibi adalah professor bidang hubungan Internasional di Universitas
Gottingen dan juga Guru besar di Universitas Cornel. Dia dilahirkan di Damaskus
pada 4 April 1944 keturunan dari keluarga Banu al-Tibi yang terkemuka di Damaskus.
Sebelum pindah ke Jerman pada 1962, dia menempuh pendidikan di sekolah model
Islam dan Barat. Dan juga menyelesaikan pendidikan menengah dengan gelar sarjana
muda bidang bahasa Perancis. Latar belakang akademisnya meliputi berbagai disiplin
ilmu termasuk ilmu sosial, filsafat, dan sejarah. Dia menerima gelar doktor pertamanya
pada tahun 1971 dari Universitas Goehte di Frankfrut. Di antara guru-gurunya semasa
studinya di Frankfrut adalah Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Jurgen
Habermas dan Iring Fetscher. Tibi menerima Dr. habilnya (Doktor luar biasa Jerman)
dari Universitas Hamburg pada 1981.13
Setelah mengajar di Univeristas Frankfrut dan Univeristas Heidelberg tahun
1973, Bassam Tibi diangkat menjadi professor di bidang Hubungan Internasional di
Univeristas Goettinggen. Pada 1988 dia diangkat sebagai Prof. bidang perbandingan
politik sebagai pengganti dari Stein Rokkan di Universitas Bergen/Norwegia.14
13 Lebih jelasnya lihat di website pribadi Prof. Bassam Tibi, diakses tanggal 26 Januari
2007 dari http://www.bassamtibi.de. 14 Website pribadi Prof. Bassam Tibi, http://www.bassamtibi.de.
Sejak 1982 Bassam Tibi mendirikan jaringan global untuk pengajaran dan
penelitian yang dimulainya di Universitas Harvard. Dalam konteks ini dia memperoleh
reputasi di bidang penelitian melalui buku-buku yang diterbitkannya dan tersebar luas
di seluruh dunia. Dia beberapa kali mengadakan kunjungan guru besar di antaranya,
ke USA (Harvard, Princeton, Berkeley, Ann Arbor), Turkey, Sudan, Cameroun, dan
akhir-akhir ini di Swiss, Indonesia dan Singapura. Sejak Juli 2004 dia memegang
jabatan guru besar di Universitas Cornell Amerika Serikat.
Dari pengalaman akademisnya baik di Amerika serikat maupun di Jerman,
pemikiran Bassam Tibi berkembang dan tumbuh secara matang. Hal ini karena Bassam
Tibi tampaknya dapat memanfaatkan pergaulan ilmiah di berbagai universitas di dua
negara tersebut. Ia secara aktif ikut merespon berbagai perdebatan dan isu ilmiah
sebagai wahana pertukaran intelektual (intellectual exchange) menyangkut topik-topik
keislaman, isu regionalitas, dan rekayasa peradaban.15
Di Universitas Harvard, Bassam Tibi bersahabat dengan Prof. Samuel P.
Huntington dan Herbert C. Kelman (Harvard University); Prof. Ernest Mc.Carus, G.
Windfuhrn, dan kemudian Richard Mitchell (Universitas Michigan, Ann Arbor); dan
Prof. Barbara Stowasser dan Michael C. Hudson (Universitas Goergetown,
Washington D.C). Merekalah yang punya andil dalam membantu Bassam Tibi dalam
penulisan karya Bassam Tibi, ” Islam and the Cultural Accommodation of Social
Change”, selama cuti panjang pada tahun 1982. 16
15 Jaenal Arifin, M.Ag, Pemikiran Pembaharuan: Analisa Terhadap Gagasan Sekular
Bassam Tibi, (Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian IAIN sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 28.
16 Arifin, Pemikiran Pembaharuan, h. 29.
Pengalaman intelektual Bassam Tibi di Amerika Serikat dilaluinya dengan
berbagai aktivitas akademisnya, seperti penelitian, penulisan, perkuliahan. Kesemuanya
itu memungkinkan Tibi untuk memperluas pergaulan intelektualnya. Dari sini pula
Bassam Tibi merasa telah terbantu memperluas keahliannya. Sejak tahun 1985-1989,
Bassam Tibi bersahabat dekat dengan Prof. Roy Mottahedeh, yang menjadi sponsor
ketika di Harvard. Ketika beliau melakukan penelitian di Princeton (1986/7) dan
sebagai Rockefeller Fellow pada Universitas Michigan, Ann Arbor (1988), Bassam Tibi
merasa terbantu atas budi baik dari Prof. Abraham Adovitch, Bernard Lewis, Charles
Issawi, Carl Brown, Prof. Ernest Mc Carus dan Gernot Windfuhr dari Ann Arbor, serta
secara khusus John Waterburry dan Clifford Geertz dari Princeton.
Selain berkunjung ke Barat, Tibi juga melakukan perjalanan penelitian ke
Timur Tengah dan Sub Sahara Afrika. Perjalanan ini didukung oleh The Goethe
Institute (Lembaga Kebudayaan Jerman). Walaupun lembaga ini tidak terlibat dalam
penelitian yang berkaitan dengan keahlian yang berhubungan dengan ilmu hubungan
internasional - namun amat berjasa dalam dialog interkultural. Dalam dialog dan
diskusi yang disponsori oleh The Goethe Institute, telah memungkinkan Bassam Tibi
untuk menguji tesa-tesa yang diajukannya selama ini.
Pada tahun 1989-93 dia menjadi anggota proyek fundamentalisme "The
Fundamentalism Project" dari akademi seni dan ilmu pengetahuan Amerika Serikat dan
juga co-author dari lima volume dari proyek tersebut (University of Chicago Press).
Pada tahun 1994 Bassam Tibi menjadi visiting professor di Universitas California,
Berkeley dalam bidang perdamaian dan konflik pada tahun 1995 dan juga tahun 1998
di Universitas Bilkent di Ankara.17
Dengan banyaknya karya intelektual dan keterlibatan Bassam Tibi dalam
berbagai forum dan penelitian ilmiah di Jerman dan di belahan dunia lainnya, Presiden
Jerman, Roman Herzog memberinya penghargaan. Pada tahun 1995 Presiden Jerman,
Roman Herzog, menganugerahinya medali tertinggi dari negara untuk prestasinya.
Pada tahun 2003 dia menerima anugerah tahunan dari Swiss Foundation.18. Bassam
Tibi juga pernah terpilih sebagai “Man of the Year” oleh American Biographical
Institute pada tahun 1997.19 Selain aktivitas intelektualnya, Bassam Tibi juga terlibat
sebagai dewan pengurus dari berbagai institusi penting.
B. Karya-karya Bassam Tibi
Sebagai seorang intelektual, Bassam Tibi sangat produktif menelurkan karya
tulis, baik yang berbentuk buku, ataupun yang berbentuk artikel. Karya-karya
ilmiahnya pada umumnya ditulis dengan menggunakan bahasa Jerman, Inggris, dan
Arab. Bassam Tibi telah mempublikasikan enam buku dalam bahasa Inggris dan 26
buku dalam bahasa Jerman (diterjemahkan kedalam 16 bahasa). Buku-bukunya
berkenaan dengan peradaban Islam wilayah Timur Tengah. Sebagai tambahan Bassam
Tibi juga menjadi penulis dari berbagai macam buku yang dihasilkan dari proyek
penelitian. Antara tahun 1968 dan 2004 banyak artikel dan esainya telah
17 Lihat http://www.stgallen-symposium.org/cv_prof._dr._bassam_tibi.pdf, diakses 30
Januari 2007. 18 Website pribadi Prof. Bassam Tibi, http://www.bassamtibi.de. 19 Lihat daftar Pembicara Seminar Internasional “Islam and the West” yang diadakan
oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Hotel Kontinental, tanggal 11-13 September 2002.
dipublikasikan dalam jurnal-jurnal terkemuka seperti International Journal of Middle
Eastern Studies, Millenium, The Fletcher Forum, Religion-Staat-Gesellschaft, human
Rights quarterly, Middle East Journal dan dalam insklopedi seperti The Oxford
Encyclopedia of Modern Islam, Routledge Encyclopedia of Government and Politics
dan Encyclopedia of Democracy.20
Sebagai seorang sarjana Bassam Tibi memulai menerbitkan karya-
karyanya dalam jurnal-jurnal bahasa Arab (Dirasat Arabiyya, Mawaqif, al-Ulum,
etc.) di Beirut dan Kairo (1968-1971) dan kemudian mempublikasikan sekitar 40
artikel. Kemudian dia merubah penulisan terutama dalam bahasa Jerman. Tibi
juga mempublikasikan buku-buku utama dalam bahasa Inggris (penulisan secara
langsung dalam bahasa Inggris maupun penulisan ulang dalam bahasa Inggris). Di
sana ada enam karangan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris (di USA dan
UK) dan juga memperbanyak publikasi dengan memperluas edisi-edisi baru, di
antaranya:
1. The Challenge of Fundamentalism. Political Islam and the New World
Disorder, two editions: 1998 and updated in 2002 (University of
California Press). Buku ini mengkaji fundamentalisme-Islam dengan fokus
perhatiannya pada aktualisasi cita-cita sosial politik Islam, bukan cita-cita
sosial keagamaan. Dalam buku ini juga digambarkan dan diperdebatkan,
apakah fundamentalisme sebagai terorisme yang menakutkan dengan atau
apapun nama lain yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan
20 Website pribadi Prof. Bassam Tibi di (http://www.bassamtibi.de).
untuk mencapai tujuannya. Buku ini menarik karena mengkaji bagaimana
lika-liku kajian tentang fenomena fundamentalisme Islam secara utuh.
2. The Crisis of Modern Islam. A Preindustrial Culture in the Scientific
Technological Age (Utah University Press, 1988). Buku ini sangat menarik
karena hasil penelitian atas berbagai proses kultural kontemporer di Timur
Tengah dan Afrika Utara disamping juga sebagai sebuah karya yang
dibuat oleh Bassam Tibi, seorang sarjana yang mengaku dirinya sekular
untuk orang-orang sezaman yang dibingungkan oleh peningkatan
fundamentalisme Islam dalam pencarian ekspresi kuat pandangan-
pandangan sekular. Di samping itu, buku ini menjelaskan apa yang terjadi
di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah bahwa teologi dan hukum ulama
menjadi korban sekularisasi, dan dalam proses digantikan secara progresif
oleh teologi-teologi civil atau personal yang saling bersaing untuk meraih
keunggulan kultural. Koeksistensi teologi civil dan personal yang tidak
mudah dicapai itu bukan hanya merupakan ciri khas Timur Tengah dan
Afrika Utara tetapi juga meningkat di Amerika Utara. Jadi, refleksi-
refleksi Bassam Tibi amat penting bagi pemahaman nasib agama dan
kultural di berbagai belahan dunia di akhir abad ke-20 ini.
3. Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, two printings
1990, 1991 (Westview Press). Buku ini membahas tentang Islam dan
akomodasi kultural dari perubahan sosial, dan mengkaji problematika yang
menimpa umat Islam saat ini. Di dalam buku ini Bassam Tibi
melemparkan cahaya terang tentang pertemuan Islam dengan kekuatan-
kekuatan perubahan yang menggemparkan dari Maroko sampai Iran
dengan pendekatan teori sosiologi dan antropologi. Originalitas dan
kekuatan buku ini terletak pada konseptualisasinya, didasarkan pada
sosiologi agama, yang mana Bassam Tibi mampu mengintegrasikan ke
dalam framework persoalan-persoalan ilmu politik. Bassam Tibi dalam
Buku ini merefleksikan hubungan-hubungan yang biasanya menstimulasi
bagi penelitian di Timur Tengah modern dan juga bagi penelitian tentang
negara-negara pada umumnya. Bassam Tibi dengan karya ini telah
membuktikan dirinya sebagai pengarang dan intelektual yang bijaksana,
reflektif dan inovatif.
4. Conflict and War in the Middle East. From Inter-State War to New
Security, two editions 1993 and 1998, (revised and expanded, published in
association with Harvard University by St. Martin’s Press). Buku ini
melihat perpolitikkan yang terjadi di Timur Tengah dengan pendekatan
teori-teori disamping data-data empirik di lapangan yang dikaitkan dan
dibenturkan dengan konteks politik dunia yang lebih luas. Dalam buku ini
Bassam Tibi menggunakan teori sistem untuk menguji hubungan antara
dinamika regional dan kepentingan kekuasaan yang besar selama perang di
Timur Tengah pada tahun 1967, 1973 dan 1990-1991. Dalam buku ini
layak diacungi jempol karena mencoba untuk mempelajari dan mengkaji
Timur Tengah dari perspektif teoritis. Buku ini menarik dan bernilai lebih
karena Bassam Tibi meletakkan kajian Perang dan konflik Timur Tengah
dalam konteks Historis. Bassam Tibi menulis buku ini dengan mengadopsi
pendekatan rasionalistik pada analisisnya paska perang dunia kedua pada
konflik yang terjadi di Timur Tengah.
5. Islam between Culture and Politics, reprinted twice and published in
association with Harvard University (Palgrave Press, 2001), enlarged 2nd
edition 2005. Buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya umat Muslim
menghadapi tantangan modernitas. Buku ini juga secara khusus
menjelaskan 4 pembahasan penting. Pertama, Mendiskusikan pada dunia
Islam dalam membangun ide bahwa Islam adalah sebagai sebuah
peradaban. Kedua, bagaimana Islamisme muncul sebagai respon yang
difensif terhadap globalisasi dan modernisasi. Ketiga, menjelaskan jalur-
jalur mengenai Islamisme, bagaimana hukum Islam dan syariah
dicocokkan dengan prinsip-prinsip dalam Islam Politik, dan bagaimana
Islamisasi pendidikan sebagai jalan menuju politisasi agama. Keempat,
menjelaskan kemungkinan mediasi antara Islam dan Barat melalui
munculnya Islam Eropa.
6. Arab Nationalism. Between Islam and the Nation-State, 3 editions 1980
expanded, 1990 and 1997 (London and New York: Macmillan Press and
St. Martin’s Press), (revised and expanded).
Karya-karya di atas memperlihatkan keahlian, ketekunan dan keragaman
penguasaan Bassam Tibi atas berbagai disiplin ilmu yang ditekuninya. Ini
sekaligus mencerminkan reputasi intelektualnya yang tinggi.
Sedangkan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari 6
buku di atas diantaranya adalah:
1. “Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial” ( Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogyakarta, 1999) Cet. I
2. “Krisis Peradaban Islam Modern Sebuah Kultur Pra Industri dalam Era
Ilmu Pengatahuan dan Teknologi” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogyakarta, 1994) Cet. I
3. “Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 2000).
Selain karya-karya yang ditulis sendiri oleh Bassam Tibi di atas, masih
terdapat banyak sekali karya-karya ilmiah Bassam Tibi yang disumbangkannya
dalam berbagai macam karya bunga rampai. Karya-karya itu diantaranya:
1. Edward Said, ed., The Arabs Today. Alternatives for Tomorrow
(Columbia/Ohio: Forum Associates, 1973), Tibi pp. 31-42.
2. Samih Farsoon, ed., Arab Society (London: Groom Helm, 1985), Tibi pp.
48-64.
3. Yehuda Lukacs, ed., The Arab Israel Conflict (Boulder/Col: Westview,
1988), Tibi pp. 147-163. Georges Atiyeh/Ibrahim Owess, eds., Arab
Civilization (Albany/NY: State University of New York Press, 1988), Tibi
pp. 166-182.
4. Michael Hudson, ed., The Middle Eastern Dilemma: Arab Integration
(New York: Columbia University Press, 1999), Tibi pp. 92-106 (Project at
Georgetown University, Center for Contemporary Arab Studies).
5. Tami A. Jacoby/Brent Sasley, eds., Redefining Security in the Middle East
(Manchester: Manchester University Press, 2002), Tibi pp. 62-82.
6. Philip Khoury/Joseph Kostiner, eds., Tribes and State Formation in the
Middle East (Berkeley: University of California Press, 1990), Tibi pp.
127-152 (MIT-Harvard-Project).
7. Martin Marty, Scott Appleby, eds., Fundamentalism and Society (Chicago:
Chicago University Press, 1993), Tibi pp. 73-102 (the big Fundamentalism
Research Project of the American Academy of Arts and Sciences,
published in 5 volumes). Tibi co-authored vol. 2.
8. Sohail Hashmi, ed., Islamic Political Ethics (Princeton: Princeton
University Press, 2002), Tibi pp. 175-193.
9. Michèle Schmiegelow, ed., Democracy in Asia (New York: St. Martin’s
Press, 1997), Tibi pp. 127-146 (Project at the Université Catholique de
Louvain/Belgium, Center for Asian Studies, Summer 1994).
10. Alan M. Olson/David M. Steiner/Irina S. Tuuli, eds., Educating for
Democracy: Paideia in an Age of Uncertainty, (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2004), Tibi chapter 19, pp. 203-219.
11. Chaider S. Bamualim a.o., eds., Islam and the West. Dialogue of
Civilizations in Search of Peaceful Global Order, Jakarta 2003 (Tibi: two
chapters, pp. 15-26 and pp. 249-254).
12. Karlina Helmanita et al., eds., Dialogue in the World Disorder. A
Response to the Threat of Unilateralism and World Terrorism, Jakarta
2004 (Tibi on pluralism pp. 159-202).
13. Roman Herzog and others, Preventing the Clash of Civilizations (New
York: St. Martin’s Press, 1999), Tibi p. 107-126 (Roman Herzog was
President of Germany; this publication is the alternative to Huntington’s
Clash of Civilizations).
14. Furio Cerruti/R. Ragionieri, ed., Identities and Conflict. The
Mediterranean (London: Palgrave 2001), Tibi pp. 121-134 (Project at the
University of Florence/Italy).
15. Terry Nardin, ed., The Ethics of War and Peace (Princeton/NJ: Princeton
University Press, 1996), Tibi pp. 128-145 (Research Project of the Ethicon
Institute/Cal., conducted in Jerusalem 1993).
16. Abdullahi A. An-Na’im and Francis Deng, eds., Human Rights in Africa.
Cross-Cultural Perspectives (Washington/DC: The Brookings Institute,
1990), Tibi pp. 104-132 (Research Project at the Wilson Center,
Washington/DC).
17. T.K. Oomen, ed., Citizenship and National Identities (London: Sage,
1997), Tibi pp. 199-226 (The papers of a project run at UC-Berkeley in
1992).
18. Nezar AlSayyad and Manuel Castells, eds., Muslim Europe or Euro-
Islam? (Berkeley and Lanham: Lexington Books, 2002), Tibi pp. 31-52,
UC-Berkeley project 1998-2000 on Islam and the changing identity of
Europe. Prof. Tibi was involved in an inter-civilizational dialogue in
Jakarta/Indonesia 2003/04. The papers were jointly published in two
volumes by the Center of Languages and Cultures/UIN and Adenauer
Foundation in Jakarta. Both volumes include lengthy contributions by
Tibi:
19. The Emirates Center for Strategic Studies, ed., The Gulf. Challenges of the
Future, Abu Dhabi 2005 (Research Project), Tibi chapter 17, pp. 313-330.
20. Barbara Stowasser, ed., The Islamic Impulse (London: Groom Helm,
1987), Tibi pp. 59-74.
Buku-buku No 1,2, 4, 5 dan 6 mengkaji tentang dunia Arab dan Timur
Tengah pada umumnya. Sementara buku No. 7-13 mengkaji tentang
Fundamentalisme sebagai cita-cita politik Islam, etika politik, demokrasi dan
benturan peradaban antara Islam dan Barat. No. 14-17 mengkaji tentang hak asasi
manusia (HAM) dan konflik dan perdamaian.
Sementara artikel-artikel dalam ensiklopedi-ensiklopedi Amerika: artikel-
artikel utama yang dipublikasikan oleh Prof. Tibi berdasarkan ensiklopedi-
ensiklopedi US adalah:
1. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, 1995, four
volumes, article “Authority and Legitimation”, vol. One, pp. 155-160
2. Encyclopedia of Democracy, 1995, four volumes, article on
fundamentalism and democracy, vol. II, pp. 507-510.
3. Protest, Power and Change. An Encyclopedia of Non-Violent Action,
1997, one volume, article on jihad, pp. 277-281.
4. Second edition of Encyclopedia of Government and Politics, 2004, article
on fundamentalism, vol. I, pp. 184-200.
Antara tahun 1968 dan 2004 Prof. Tibi mempublikasikan lebih dari 300
artikel dan esai-esai, awalnya secara mendasar dalam bahasa Arab (contohnya:
Dirasat Arabiyya/ Mawaqif/Beirut dll.)
Antara tahun 1969 dan 2005 Prof. Tibi mempublikasikan 26 buku,
semuanya dicetak sekitar 500.000 copi. Salah satu hasil dari cetak ulangnya bisa
dilihat di homepage dari Prof. Tibi http:/www.gwdg.de/~uspw/IIB/start_dt.htm
dan di “Amazon”. Terutama buku-buku Jerman yang dipublikasikan dalam bentuk
hardcover oleh Tibi sejak tahun 1993.
Adapun publikasi dari kegiatan-kegiatan dalam proyek-proyek penelitian
besar yang dipublikasikan yaitu:
1. 1989-93, Project: The Fundamentalism Project (publication 1993-95). The
American Academy of Arts and Sciences/Cambridge,MA and Chicago.
2. 1988-90, Project: State Formation in the Middle East (publication 1990),
Harvard/MIT.
3. 1992-93, Project: Nation, National Identity and Nationalism (published
1997), University of California, Berkeley.
4. 1995, Project on German foreign policy/chair Karl Kaiser, DGAP/German
Council on Foreign Relations, published in three volumes (1994-96), co-
author vol. 2, Deutschlands Außenpolitik, Bonn 1995, pp. 61-80.
5. 1998-99, Islam and the Changing Identity of Europe/University of
California Berkeley publication: Muslim Europe or Euro-Islam?,
Lexington Books 2002, Tibi chapter 2.
6. 1999, Project on Political Islam and Security at the Program for Strategic
and International Security Studies at the Graduate Institute of International
Studies/Geneva. Published by Frédéric Grare, ed., Islamism and Security
(chapter Tibi, pp. 63-102) as PSIS Special Studies Nr. 4, Geneva 1999.
7. 2003 ongoing, Culture Matters at Fletcher School, Tufts University, will
be published in three volumes by Routledge.
8. 2004 on going, Transnational Religion and Europeanization at Cornell
University and Colgate University, publication edited by Peter
Katzenstein, ed., Religion in an
9. Expanding Europe, in 2006 by Cambridge University Press. Chapter:
Europe Between Islamization and Europeanization.
10. 2005 Project: International Security Conference/2004, published under the
title: Countering Modern Terrorism, edited by Martin van Crefeld and
Katharian van Knop (Bertelsmann 2005). Tibi pp. 131-172.
11. Project 2004/05: Europe. A Beautiful Idea/The Nexus Institute,
Netherlands
Prof. Tibi bekerja sebagai penulis tetap dari artikel khusus and kontributor
untuk surat kabar utama dan majalah-majalah berita di Jerman, termasuk Der
Spiegel dan Focus: Antara tahun 1987 dan 2000 Tibi sebagai seorang kontributor
utama dan penerbit ratusan artikel disemua bagian dari harian Fankfurt
Allgemeine Zeitung, untuk meninjau ulang buku-bukunya. Dia meninggalkan
suratkabar tersebut karena merasa ada tuntutan editor-editor yang
membingungkan “guest author” dalam pandangan Jerman “guest workers” karena
merasakan beberapa perbedaaan.
Sejak awal tahun 2000 Prof. Tibi dipublikasikan sebagai penulis tetap di
harian Financial Times Deutschland, pertama dibentuk pada tahun itu. Oleh
karena itu beliau menerbitkannya dalam kolom Rhein-Zeitung, selanjutnya
Süddeutsche Zeitung dan Handelsblatt dan selanjutnya di Die Welt. Sejak 2005
beliau adalah tetap untuk International Herald Tribune.
Sejak 2002 Tibi juga mempublikasikan sebuah esai tahunan dalam
mingguan Die Zeit dan sejak 2001 menjadi bulanan di St. Galler Tagblatt,
Switzerland. Tibi juga sebagai kontributor utama untuk The Spiegel (1992-98)
kemudian bersaing dengan majalah Jerman Focus (1996-2005) 1996-2004. Antara
1990 dan 2000 beliau juga ilmuwan Islam dan Timur Tengah dari German ZDF
television.
C. Pokok-Pokok Pikiran Bassam Tibi
Bassam Tibi adalah seorang intelektual muslim brilian dan agresif yang
populer di belahan dunia. Ia dikenal sebagai pemikir Islam di bidang politik dan
hubungan Internasional. Di bawah ini akan diilustrasikan beberapa pokok-pokok
pikiran Bassam Tibi mengenai Islam, demokrasi, dan sekularisme.
a. Islam dan Demokrasi
Gagasan mengenai demokrasi berakar dari masyarakat Yunani kuno.
Demokrasi tidak bisa dipungkiri sebagai realitas sosial yang hadir di depan mata kita.
Ia merupakan fenomena yang muncul dan berkembang di era modern dan berhubungan
secara integral dengan perkembangan modernisasi di Barat. Demokrasi Barat telah
menjadi model dalam menandingi budaya-budaya dan peradaban-peradaban non-
Barat, termasuk di dalamnya peradaban Islam.21 Demokrasi merupakan sebuah
prestasi Barat, sehingga sering dicurigai oleh sebagian kalangan non-Barat. Tibi
memandangnya sebagai berikut:
“Democracy and Pluralism are a basket. It is basket universal? What is the view of Islam on this issue? In the large, as well as within each civilisation, there is a conflict between those who have one vision to be imposed on the entiere humanity and others, who subscribe along the lines of pluralism to diversity. Islamic civilation is no exeption. Regardless of these different views, the Qur’an teachs us diversity”.22
Demokrasi dan pluralisme adalah sebuah jaringan. Itu adalah jaringan universal?apakah ini masalah dalam Islam? seperti dalam setiap peradaban, disana ada suatu konflik diantara siapapun yang memiliki satu pandangan yang menentukan masuknya kemanusiaan dan yang lainya, yang menganut garis pluralisme yang berbeda. Peradaban Islam bukanlah harapan. Tiada pengakuan dari pandangan-pandangan yang berbeda, al-Qur’an yang mengajari kita perbedaan.
b. Sekularisme
Bassam Tibi dalam hal ini berkeyakinan bahwa dengan menggunakan ideologi
sekular (Pemisahan agama dan politik) sebagai ideologi negara akan dapat membuat
Islam lebih maju, baik di bidang keamanan, politik, sosial budaya dan ekonomi dll.
Menurutnya, sekularisasi merupakan alternatif bagi pengembangan Islam di masa yang
21 Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World
Disorder, (University of California Press: 1998) Cet. I, h.30. 22 Bassam Tibi, Islamic Civilization the Quest for Democratic Pluralism: Good
Governance and the Political Culture of Non–violence, dalam Karlina Helmanita, Irfan Abubakar, Dina Afrianty (Ed) Dialogue in the World Disorder, (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2004) Cet. I, h.159.
akan datang, sebab sekularisasi adalah merupakan fenomena pemikiran, bahkan
fenomena filsafat, dan masyarakat Muslim kini sedang mengembangkannya.2324
Akan tetapi dengan berbagai alasan, kaum tradisionalis dan fundamentalis
muslim tidak bisa mengapresiasi konsep “sekularisasi” karena dalam konsepsi mereka,
istilah itu tidak sesuai dengan Islam. Menurut Tibi penolakan kaum tradisional dan
fundamentalis terhadap sekularisme dan atau berbagai istilah Barat Eropa, sebagian di
antarannya dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka terhadap pengertian dan
signifikansi dari sekularisasi. Karenanya, Tibi menilai bahwa sudah saatnya Timur
Tengah Islam untuk mengacu kepada pergumulan tradisi agama dan peradaban lain
untuk dapat mengembangkan potensi diri mereka secara maksimal.
23 Aripin, Pemikiran Pembaharuan, h. 8.
BAB III LANDASAN TEORITIS FUNDAMENTALISME ISLAM
A. Pengertian dan Asal Usul Istilah Fundamentalisme
Istilah “fundamentalisme” pada awalnya dimunculkan oleh kalangan
akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat
sendiri. Fundamentalisme secara harfiah berarti dasar dan merujuk pada gerakan
protestan Amerika awal abad ke 20 yang menyerukan agama untuk kembali
kepada penafsiran Injil secara puritan. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran
yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran
terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.25 Sedangkan secara
terminologi, fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang
cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis
(tekstual).26 Munculnya fundamentalisme juga terkait dengan reaksi terhadap
adanya gerakan reformisme dan liberalisme.27
Sementara di dalam kamus Oxford, fundamentalisme didefinisikan sebagai
"pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti
kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya
sebagai fundamental dalam pandangan Kristen Protestan".28 Ia merujuk pada
25 Martin H. Manser, The Oxford English Dictionary,(Oxpord University Press: 1988). 26 Lihat Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi,
Kritik dan Wacana Politisasi Agama, Jurnal Afkar edisi No. 13 tahun 2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The Asia Foundantion, h. 20.
27 Ismail Al Bandjar, Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, Jurnal Ilmu Politik No.12, h. 4.
28 Lihat kamus Oxford dan A Fatih Syuhud, Bias Makna Fundamentalisme, Harian Pelita, 23 September 2005.
gerakan keagamaan berbagai sekte Kristen Protestan Amerika yang muncul di
sekitar akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.29 Sebagai sebuah istilah,
fundamentalisme diadopsi dari judul buku The Fundamentals: a Testimony to the
Truth, sejumlah tulisan yang berasal dari para teolog konservatif.30 Cakupan
istilah fundamentalisme begitu luas, maka tidak heran bila definisi
fundamentalisme sering ditentang dan menimbulkan perdebatan.
Sementara, istilah ini tidak ditemukan padanannya secara persis dalam
Bahasa Arab. Namun kata dalam Bahasa Arab yang paling mendekati
fundamentalisme adalah ushul (Ushul bisa diartikan sebagai fundamental, akar,
asas).31 Kaum fundamentalis sering juga disebut ushuliyyun. Selain cara
penafsiran agama yang literal, kelompok-kelompok fundamentalisme seringkali
memperjuangkan aspirasi keagamaan, sosial maupun politik secara radikal dengan
menjustifikasi kekerasan yang mereka lakukan dengan retorika keagamaan
semisal ajaran jihad. Penafsiran harfiah terhadap agama juga ditegaskan
Abdurrahman Wahid. Menurutnya fundamentalisme muncul akibat ajaran Agama
ditafsirkan secara harfiah di tengah keinginan kuat masyarakat untuk kembali
kepada ajaran agama.32
29. Fatih Syuhud, Bias Makna Fundamentalisme. 30 James Barr, Fundamentalisme, terj. Stephan Suleman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), Cet. II, h. 2. 31 Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalsme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002) Cet. I, h. 41. 32 Lihat Fundamentalisme Muncul karena ditafsirkan Harfiah, Kompas, Minggu, 23
September 2001, hasil wawancara dengan Gus Dur, dan lihat juga Kliping koran, Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Jilid I, h. 2.
Dari berbagai ilustrasi di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
fundamentalisme adalah paham atau gerakan keagamaan yang menuntut perlunya
kembali kepada asas-asas ajaran agama sebagaimana tersurat dalam kitab suci,
menafsirkannya secara rigid (kaku) dan literalis, serta cenderung memperjuangkan
perwujudan keyakinannya dan aspirasi-aspirasinya secara radikal.
Untuk memahami pemikiran dan gerakan fundamenlaisme dengan baik,
adalah penting untuk menggunakan pendekatan sejarah, sosial-keagamaan
maupun politik. Dengan pendekatan ini diharapkan akan mudah mengidentifikasi
pertumbuhan dan alur dinamika, motif dan tujuannya, serta faktor-faktor sosial
yang mungkin mempengaruhi bangkitnya fundamentalisme sebagai fenomena
gerakan keagamaan yang bersifat sangat ideologis itu.
Secara historis, sebagaimana disinggung dalam Bab sebelumnya,
bangkitnya fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai respon dan reaksi
terhadap modernisme dan post-modernisme.33 Dalam masyarakat Barat,
fundamentalisme muncul di dalam gereja pada abad XIX dan awal abad XX
ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, sementara gereja mengalami
kemunduran. Munculnya fundamentalisme dalam konteks seperti ini bertujuan
untuk membangun benteng bagi keimanan Kristen, sebab cara ini diharapkan
dapat memperdalam dan meningkatkan kepercayaan kaum Kristiani kepada
doktrin-doktrin gereja serta dapat menanamkan militansi serta semangat dalam
menghadapi musuh.34
33 Rihlah Nur Aulia, Fundamentalisme Islam Indonesia, Studi atas gerakan dan
pemikiran Hizbut Tahrir, Thesis S2 Pascasarjana UIN Jakarta, 2004, h. 43. 34 Soetarman Sp, Weinata Sairin, Loanes Rakhmat, Fundamentalsime Agama-agama dan
Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1992) Cet. II, h. 18.
Dalam sejarah agama-agama, fundamentalisme tidak hanya ditemukan
dalam tradisi monoteisme, tetapi juga dalam tradisi agama-agama non-
monoteisme. Misalnya fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Khong Hu Cu,
yang sama-sama menolak butir-butir budaya liberal, saling berperang atas nama
agama (Tuhan), dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan
politik dan negara.35
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme
Menurut Fouad Ajami, ciri-ciri fundamentalisme di antaranya bahwa
gerakan ini cenderung “menafikan pluralisme”. Bagi kaum fundamentalis, di
dunia ini hanya ada dua tatanan masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid
Qutbh sebagai Al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan Al-nidham al-
jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin
ada titik temu. Karena, yang satu adalah haq (benar) dan bersifat ilahiyah
(ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala).
Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk
menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa,
warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia
hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.36
Bahkan memiliki militansi yang kuat untuk membela dan mempertahankan
35 Karen Armstrong , Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta-Bandung:
kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001), Cet II, h.x. 36 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,
(Jakarta, Paramadina, 1999) Cet. I, h. 19.
keyakinan keberagaman mereka.37 Arah dari kencendrungan ini dapat ditebak.
sebagaimana ditegaskan Bruce Lawrence, fundamentalisme berupaya untuk
membangun “tuntutan kolektif”, atau semacam komunalisme dimana keyakinan
dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama mendapatkan persetujuan dari
masyarakat dan wajib dilaksanakan.38
Ciri lain dari fundamentalisme menurut R. Hrair Dekmejian adalah lebih
mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” dari pada pengungkapan gagasan
secara terperinci. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang
utama bagi kaum fundamentalis. Mereka dapat dicirikan dari kecenderungannya
terhadap simbol-simbol keagamaan, termasuk dalam memberantas maksiat,
mengobarkan semangat “jihad fi sabilillah” dan romantisme mereka terhadap
negara Islam. Di samping itu, bagi kaum fundamentalis “jihad” memerankan
fungsi yang sangat penting untuk menggugah militansi dan radikalisasi umat.
Jihad juga dipergunakan sebagai media untuk memperjuangkan dan membela
agama dari mereka yang dianggap musuh (Barat dan pemeluk agama non-
Islam).39 Selanjutnya, menurut R. Hrair Dekmejian, kaum fundamentalis lebih
cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun
kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya.40
37 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, No. 3 Vol. IV, 1993, h.3. 38 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan
Sosial, diakses 29 April 2007dari http://Interseksi.Org/Page4/Papers/Papers/. 39 Rihlah Nur Aulia, Fundamentalisme Islam Indonesia, h. 66. 40 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan
Sosial Lihat juga Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 20.
Selain ciri-ciri di atas, fundamentalisme Islam juga memiliki pandangan
yang khas mengenai ijtihad. Menurut Leonard Binder, bagi kaum fundamentalis,
ijtihad hanya dimungkinkan manakala syari’ah tidak memberikan ketentuan
hukum yang rinci mengenai suatu masalah. Selain itu, harus tidak ada preseden
dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang
silam tentang persoalan tersebut. Selain itu, ijtihad juga hanya boleh dilakukan
oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad.41
Sementara itu, sosiolog Agama Martin E. Marty, menyebut setidaknya
empat ciri gerakan fundamentalisme. Pertama adalah oppositionalism (paham
perlawanan). Fundmentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk
perlawanan yang sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan
membahayakan eksistensi agama, baik itu modernisme, sekulerisme, dan tata nilai
Barat pada umumnya. Kedua penolakan terhadap hermeunetika. Dengan kata
lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya.
Ketiga adalah penolakan terhadap relativisme dan pluralisme, sebagaimana juga
disebut Fouad Ajami di atas. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan
hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Keempat penolakan
terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalsis
berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa
manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.42
Sementara itu, James Barr43 menemukan beberapa ciri-ciri
fundamentalisme sebagaimana berikut. Pertama, Penekanan yang sangat kuat
41 Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h.18. 42 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 19. 43 James Barr, Fundamentalisme, h.1.
akan ketidaksalahan ( innerrancy) Alkitab. Kedua, anti terhadap teori modern dan
segala metode studi kritik modern terhadap Alkitab. Ketiga, dalam konteks
Kristen, ada klaim bahwa mereka yang tidak menganut pandangan ini bukanlah
”Kristen sejati”. Demikian halnya, gereja sejati hanyalah gereja kaum
fundamentalis. Jelas, kaum fundamentalis Islam juga cenderung beranggapan
bahwa Islam merekalah yang paling sejati.
Fundamentalisme tumbuh dan diidentikkan sebagai bagian dari fenomena
global, tetapi kerap kelompok ini disebut-sebut sebagai kelompok yang
menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-citanya. Ini terlihat dalam
bangkitnya fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, fundamentalisme
Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India,44 dan fundamentalisme Islam
di banyak negara Islam.
Berdasarkan berbagai ciri-ciri fundamentalisme sebagaimanan disebut di
atas, penulis dapat memberikan beberapa ciri-ciri fundamentalisme sebagai
berikut: Pertama cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku)
dan literalis (tekstual); kedua cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama
(menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah),
sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak sealiran; ketiga
meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; keempat
memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat; kelima mendeklarasikan
perang terhadap paham dan tindakan sekuler; dan terakhir cenderung radikal
(menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang
44 Lihat Jo. Priastana, Fundamentalisme dalam Buddhis dan Penghancuran Sangha
Perempan, Jurnal Perempuan No.31 2003, h. 8.
diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas
yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.45
C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam
Karena tidak pernah dikenal dalam Islam, penerapan istilah
fundamentalisme pada kaum Muslim seringkali menimbulkan kontroversi.
Perdebatan banyak dimulai dari implikasi istilah ini yang memperburuk citra
Islam, dan bahkan ketika digunakan untuk menggambarkan orang Kristen
sekalipun. Dikatakan oleh sebagian orang bahwa istilah ini memiliki konotasi
kebodohan dan keterbelakangan, dan dengan demikian menghina gerakan-gerakan
kebangkitan Islam yang absah.46
Pada tahun 1970-an kebanyakan analisis Muslim menolak istilah
fundametalisme sebagai label bagi gerakan kebangkitan Islam. Akan tetapi, pada
tahun 1990-an analis fundamentalisme Muslim mulai menggunakan istilah ini
dalam perdebatan politik dan ilmiah.47
Terlepas adanya pro dan kontra terhadap fundamentalisme dalam Islam,
ternyata, dari akar historisnya ada beberapa gerakan Islam yang dianggap berciri
fundamentalistis. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: pertama, gerakan
Khawarij yang muncul kurang lebih pada dua dasa warsa sesudah kematian Nabi
Muhammad. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Kaum
45 Lihat Martin E. Marty dan R. Acott Appleby, Fundamentalism Comprehended, (The
University of Chicago Press, 1995) dan Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana, dan Politisasi, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi, No. 13 Tahun 2003.
46 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000) Jilid 2, h. 84.
47 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84..
Khawarij mula-mula menjadi pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang menjadi Khalifah
tahun 661 M. Kemudian mereka memisahkan diri dari Khalifah Ali Ibn Abi
Thalib karena tidak setuju dengan sikapnya yang menerima keputusan kompromi
dalam menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Muawiyah Ibn
Sufyan. Dengan anggota sekitar dua belas ribu orang, mereka membentuk
kelompok sendiri di bawah pimpinan Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi.48 Gerakan
Khawarij bergerak dalam bidang politik dan teologi. Bidang politik terlihat dalam
keterlibatan mereka menentang atau mendukung penguasa yang berkuasa.
Sedangkan dalam bidang teologi terlihat dalam pengawasan mereka secara ketat
terhadap pelaksanaan syari’ah. Selain itu, gerakan ini juga cenderung radikal,
nyaris tanpa kompromi, dan eksklusif. Dalam pandangan mereka, siapapun yang
dipandang kafir (termasuk anak dan istri) layak dibunuh.49 Secara umum, ajaran-
ajaran pokok golongan khawarij adalah: pertama Kaum muslimin yang
melakukan dosa besar adalah kafir. Kedua, kaum muslimin yang terlibat dalam
perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn
Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya)
dihukumi kafir. Ketiga, khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari
keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi,
seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu
memimpin dengan benar.50
48 Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, (Yogyakarta: Kalika,
2003), Cet. I, h. 60. 49 Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, h. 6. 50 Khawarij, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses 5 Juni 2007 dari http://
id.wikipedia.org.
Kedua, Ikhwanul Muslimin. Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan oleh
Hasan al-Banna pada tahun 1928 di Mesir. Adapun tujuan dari didirikannya
gerakan ini adalah untuk menciptakan dan bahkan mendirikan suatu negara
Muslim yang teokratik (Islamic State). Gerakan ini berupaya untuk
mengaplikasikan doktrin-doktrin Islam. Selain itu dalam mencapai tujuannya
mereka memperkenalkan cara-cara pembunuhan dan revolusi meliter.51
Fundamentalisme Islam mendapat tempat di kalangan Barat, dan mulai
populer berbarengan dengan terjadinya revolusi Iran pada 1979, setelah Ayatullah
Khomaeni secara sensasional menumbangkan kekuatan rezim Syah Iran, yang
kemudian memunculkan kekuatan Muslim Syiah radikal dan fanatik yang siap
mati melawan the Great Satan, Amerika Serikat.52 Khomaeni bahkan berjanji
mengekspor revolusinya itu ke negara-negara Islam di seluruh dunia.
Setelah terjadi Revolusi Islam Iran, istilah fundamentalisme Islam
menyebar dan digunakan secara luas oleh banyak kalangan akademis, serta
digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul dalam
gelombang yang sering disebut sebagai ”kebangkitan Islam” (Islamic
Revivalism).53
Meski gerakannya bersifat radikal dan pemikiran keagamaan cenderung
terkebelakang, fudamentalisme Islam tidak harus diidentikkan dengan
konservatifme. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tokoh-tokohnya juga
memanfaatkan sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik
51 Chaider S. Bamualim dan Ridwan al-Makassary, Nexus antara Fundamentalisme Islam
dan Terorisme, Jurnal Millah, Vol. VI, No.1, Agustus 2006, h. 40. 52 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 18. 53Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme hingga Post-
Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) Cet.I, h. 107.
kebangkitan modern dalam gerakannya. Mereka menyerukan pula kepada kaum
muslimin untuk belajar sains dan teknologi.
Bruce Lawrence dan Juergenmensyer melihat bahwa munculnya
fundamentalisme Islam terkait erat dengan kegagalan proses-proses modernitas
dan negara-bangsa (nation-state). Pada dasarnya, mereka berdua melihat bahwa
kaum fundamentalis tidak menafikan modernitas dalam pengertian ilmu
pengetahuan dan teknologi. Yang ditolak kaum fundamentalis adalah ideologi
(sistem ide-ide) di balik itu; yaitu sekularisme, westernisme dan materialisme.
Karena itu, pernyataan Ira M. Lapidus bahwa kaum fundamentalis tidak sedang
memperjuangkan tatanan sosial yang pernah ada dalam sejarah Islam, namun
mengupayakan suatu rekonstruksi identitas dalam bidang sosial dan politik baru
yang diperoleh dari ajaran-ajaran agama, mungkin lebih rasional dan logis.54
Fundamentalisme Islam di era modern menjadi perdebatan banyak
kalangan, antara lain; apakah fundamentalisme Islam itu khas modern atau tidak?
R. Hrair Dekmejian, dan John O. Voll berpendapat bahwa sepanjang sejarah Islam
selalu muncul dan ada gerakan aktivis yang menyerukan ”kembali ke asas-asas
agama”. Pendapat ini tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Marthin
Marty, R. Scott Apleby (pimpinan proyek fundametalisme Akademi Sains dan
Amerika), dan Bruce Lawrence bahwa fundametalisme merupakan produk zaman
modern sekalipun tampaknya memiliki anteseden historis. Menurut padangan ini
54 Tarmidzi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam buku
Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.
kondisi modernitas itu unik, dan fundametalisme adalah tanggapan religius
terhadap tantangan modernitas.55
Definisi fundametalisme Islam adalah sesuatu yang elusif (sulit dipahami),
dan tidak ada persepsi yang tunggal mengenai apa itu fundamentalisme Islam.
Karenanya penting penulis memberikan ilustrasi pandangan tokoh-tokoh tentang
fundamentalisme Islam seperti berikut ini:
Menurut Musa Keilani fundamentalisme Islam adalah sebagai suatu
gerakan sosial dan keagamaan yang menyerukan umat Islam kembali kepada
“Prinsip-prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan
cara mengintegrasikannya secara positif [dengan doktrin agama], kembali kepada
keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan kepribadiannya sendiri”.56
Sedangkan menurut Jan Hjarpe, mengartikan fundamentalisme Islam
adalah sebagai “Keyakinan kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber
otoritatif yang mengandung norma- politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan,
untuk menciptakan masyarakat yang baru”.57
Fundamentalisme Islam, menurut Norman Daniel, adalah universalisme
yang absolut, visi tatanan dunia yang didasarkan pada Islam. Karena alasan inilah
–dan bukan karena “kebencian terhadap Islam”--perdebatan tentang
fundamentalisme dan politik dunia, harus dipusatkan di sekitar Islam dan Barat.
Secara tradisional, dua pihak itu telah memiliki kesan yang bermusuhan satu sama
55 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84. 56 Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 16. 57 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam, h. 16.
lain.58 Sedangkan Freed Halliday mendeskripsikan fundamentalisme Islam,
dengan melihat kasus Iran dan Tunisia, sebagai “a revolt against the intrusive
secular state.59
Sementara Bassam Tibi mendefinisikan fundamentalisme Islam adalah
bukan sebagai kepercayaan spiritual keislaman, melainkan sebagai ideologi politik
yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan
ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan di muka bumi.60 Definisi ini
dapat memberikan inspirasi untuk memetakan bahwa salah satu tujuan dari
gerakan fundamentalisme Islam adalah berkehendak untuk memformalisasikan
syariat Islam dalam sebuah negara, cita-cita kaum fundamentalis meniscayakan
hubungann antara agama dan negara berjalan harmonis.61 Terutama demi
terbentuknya lembaga dan institusi yang berlabelkan Islam, seperti isu negara
Islam dan formalisasi syari’at Islam. Pada tingkat tertentu mereka juga berupaya
untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan Khilafah.
Sistem Khalifah dianggap sebagai trademark politik Islam yang harus ditegakkan
sebagai sebuah sistem berbangsa dan bernegara. Runtuhnya sistem kekhalifahan
di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk pada 1924 dianggap sebagai titik hancurnya
sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, untuk mengangkat kembali cita-cita
58 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. I, h. 8. 59Valerie J. Hofman, Muslim Fundamentalists: Psyhosocial Profiles, dalam
Fundamentalism Comprehended, (ed. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby), Chicago: the University of Chicago Press, 1995) h. 207.
60 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politi, h. 23. 61 Persepsi kaum fundamentalis tentang harmunisasi hubungan antara agama dan negara ,
tidak seluruhnya terrealisir.
politik Islam, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menegakkan kembali
sistem Khalifah Islam.
Terlepas dari utopia yang ada dalam gerakan tersebut, romantisme politik
demikian hampir menjadi cita-cita semua gerakan fundamentalis. Meskipun
terdapat variasi dalam menentukan strategi gerakan, namun secara umum gerakan
fundamentalis menghendaki adanya penyatuan agama dan negara sebagai
manifestasi dari keyakinan bahwa Islam din wa Daulah (Islam adalah agama dan
negara).
Berpijak pada kerangka berpikir tentang fundametalisme Islam di atas
secara umum, dapat digambarkan tujuan politik fundamentalisme Islam adalah
Islamisasi masyarakat dengan merebut kekuasaan baik melalui cara-cara kudeta
ataupun dengan proses-proses demokrasi, untuk menempatkan dan menjalankan
praktik fundamentalis sebagai penyelenggara tatanan Tuhan di muka bumi.
BAB IV
PEMIKIRAN BASSAM TIBI
TENTANG FUNDAMENTALISME ISLAM
A. Fundamentalisme Islam: Gejala Ideologisasi Agama
Di mata Bassam Tibi fundamentalisme bukanlah merupakan kepercayaan
spiritual, melainkan sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi
agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan
tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurutnya, ideologi kaum fundamentalis bersifat
eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama
terhadap pandangan-pandangan sekuler yang menolak hubungan antara agama
dan politik. Jadi sesuai dengan wataknya fundamentalisme bersifat absolut, dan ia
tampak sedang menempatkan jejaknya di atas panggung politik dunia.62
”Religious Fundamentalism not as a spiritual faith, but as a political ideology based on the politicizing of religion for sociopolitical and economic goals in the pursuit of establishing a divine order. By definition, then, this ideology is exclusive, in the sense that it attacks opposing options, primarily those secular outlooks that resist the linking of leligion to politic”.63
Kemunculan fundamentalisme Islam di pentas panggung politik dunia
dapat ditelusuri sejak runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Runtuhnya simbol
komunisme itu, agaknya membuat Barat, terutama Amerika Serikat kehilangan
musuhnya, dan karenanya sejak itu pula Barat sedang mengintai musuh baru,
62 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. I, h. 35. 63 Bassam Tibi, The Challenge of Fundametalisme Political Islam and the New World
Disorder, (University of California Press: 1998) Cet. 1, h. 20.
yaitu Fundamentalisme Islam.64 Fundamentalisme dipilih karena gerakan Islam
ideologis ini dianggap berpotensi mengancam kepentingan Barat di seluruh dunia,
dan bukan mustahil dapat mengancam eksistensi peradaban Barat.65
Asumsi bahwa gerakan fundamentalisme Islam oleh Barat dianggap dapat
mengancam eksistensi peradaban Barat lahir dari kenyataan bahwa kelompok
inilah ayng seringkali beraksi keras terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial,
budaya, politik dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan
Barat maupun melalui para pemikir Muslim itu sendiri. Bagi kaum fundametalis,
kelompok modernis sekular dan westernis, serta rezim pemerintahan sekuler
merupakan perpanjangan tangan dari Barat. Ini berbeda dengan gerakan-gerakan
Islam pada zama pra-modern dimana kemunculannya lebih disebabkan oleh
situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat Muslim sendiri. Karena itu gerakan
tipe ini lebih genuide dan inward oriented – berorientasi ke dalam diri kaum
Muslim sendiri.66
Penting untuk ditekankan bahwa mengapa kaum fundamentalisme Islam
dianggap sebagai musuh baru oleh Barat paska runtuhnya komunis? Jawabannya
sederhana; karena gerakan fundamentalisme merupakan gerakan ideologi politik.
Padahal, agama Islam merupakan kepercayaan yang inklusif, bukan ideologi
politik yang intoleran, bukan pula agama yang memaksakan orang-orang untuk
memeluknya. Dengan sangat jelas al-Qur’an menyebutkan bahwa ”Tidak ada
paksaan dalam agama”. Namun, kaum fundamentalis menampilkan Islam
64 Bassam Tibi, The Challenge of Fundametalisme, h. 3. 65 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 35. 66 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme hingga Post-
Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) Cet.I, h. 111.
sebagai agama yang menakutkan serta mengancam tatanan kehidupan politik,
keamanan dan stabilitas dunia.67 Faktor inilah yang oleh Bassam Tibi dianggap
sebagai sebab mengapa Barat melihat fundamentalisme Islam sebagai musuh bagi
mereka. Dengan kata lain, Islam sebagai agama sesungguhnya bukan menjadi
masalah bagi Barat, namun Islam sebagai ideologi politik lah yang ditakutkan.68
Berpijak pada pemikiran Bassam Tibi di atas dapat dilihat bahwa ajaran-
ajaran fundamentalisme Islam lebih merupakan jelmaan dari kumpulan teori-teori
politik ketimbang teologi dan praktek sosial keagamaan. Karena itu, tidak heran
mengapa banyak kalangan sepakat bahwa fundamentalisme Islam dapat menjelma
menjadi sebuah fenomena yang mangancam tatanan dunia. Dan bahkan kaum
fundamentalis disinyalir mempunyai agenda politisasi Islam, dalam pengertian
bahwa mereka telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik.69 Karena itu,
fundamentalisme menurut Bassam Tibi memiliki beberapa karakter di antaranya
bahwa fundamentalisme agama memiliki agenda politisasi agama yang agresif
dan dilakukan demi mencapai tujuan-tujuannya.70
Sebagai agama Islam ditarik masuk ke dalam wilayah politik dengan cara
memformulasikan legalitas Islam (syari’at Islam), merealisasikannya, serta
membangun sistem yang Islami kemudian mempertahankan dengan sedemikan
rupa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fundamentalisme Islam,
lanjutnya, tidak harus diidentikkan sebagai konservatif, terbelakang dan
67 Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik dan
Wacana Politisasi Agama, Jurnal Afkar edisi No. 13 tahun 2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The Asia Foundantion, h. 19.
68 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 5. 69 Menggugat Fundamentalisme Islam, Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagaman dan
Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 117. 70 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. X.
menentang peradaban modern. Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya,
banyak pendukung gerakan ini yang beraliran progresif dan juga memanfaatkan
sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik modern dalam
menjalankan gerakannya. Bahkan mereka meyerukan kepada kaum Muslimin
untuk belajar sains dan industri, juga sistem-sistem kebebasan dan demokrasi.71
Terlepas dari sikap mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
media-media dan teknologi modern, seruan mereka kepada kaum Muslimin untuk
mempelajari sains dan teknologi, tidak disertai paradigma dan konsep yang jelas.
Yang pasti, agitasi kaum fundamentalisme seringkali menyebabkan kekacauan,
bukan hanya di dunia Islam melainkan juga di seluruh dunia.
Menurut Bassam Tibi, Islam sebagai ideologi politik sebenarnya
merupakan sesuatu yang baru dalam Islam. Baginya, tidak ada dasar hukumnya
dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang dengan tegas memerintahkan politisasi Islam
yang dikembangkan oleh gerakan fundamentalis. Bassam Tibi menambahkan
bahwa perkataan hukumah (pemerintahan) atau daulah (negara) tidak ada dalam
al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, ini merupakan penafsiran baru terhadap
Islam, atau gejala baru yang baru ditemukan di zaman modern.72
Para fundamentalis Muslim menurut Tibi menolak dengan tegas
nasionalisme sekuler dan eksistensi negara bangsa (nation state), sebagai institusi
politik dan negara di dunia. Fundamentalisme Islam jelas-jelas merespon gagalnya
71 Hasan Hanafi, Aku bagian dari Fundamentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003),
Cet. 1, h. 109. 72 Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, hasill wawancara dengan
Bassam Tibi, Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 118.
negara bangsa yang mulai mengakar dan tumbuh di wilayah Islam, khususnya
Arab kontemporer.73
Ditinjau dari proses munculnya fundamentalisme Islam, menurut Bassam
Tibi, merupakan reaksi terhadap krisis yang berkelanjutan dari berbagai ideologi
dunia, dan karenanya fundamentalisme tampil dan mencoba menawarkan solusi
berupa Islam sebagai ideologi alternatif (Islam is the solution). Betapapun
demikian, jika ditelaah lebih jauh, tegas Bassam Tibi, mereka sendiri tidak
memiliki ide yang jelas tentang bagaimana sesungguhnya solusi yang ditawarkan
itu. Pada sisi yang lain, cita-cita fundamentalisme Islam untuk membangun suatu
sistem sosial politik berdasarkan syari’at tidak mungkin terwujud di zaman
modern karena minimnya dukungan dari umat Islam itu sendiri.74 Dari ilustrasi
Bassam Tibi di atas, ternyata fundamentalisme Islam itu tidak hanya merupakan
problem bagi kalangan non-Islam tetapi juga bagi kalangan Muslim, seperti
terlihat dari munculnya banyak pro dan kontra terhadap gejala ini.
Sementara dilihat dari latar belakang lahirnya gerakan fundamentalisme
dalam persepsi Bassam Tibi, paling tidak ada beberapa alasan di antaranya;
Pertama, munculnya negara-negara bangsa di Eropa yang berawal dari
meletusnya revolusi Perancis hingga kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah
bangsa Eropa. Sebelumnya ide negara bangsa ini tidak pernah ada Munculnya
negara bangsa ini turut pula mendorong lahirnya fundamentalisme Islam, yang
mana menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif bagi berdirinya pemerintahan
nasional.
73 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 205. 74 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 117.
Kedua terkait dengan yang pertama adalah kegagalan percobaan ide dari
ideologi-ideologi Barat yang dicoba diterapkan di negara-negara Islam yang baru
merdeka. Kalau dilihat secara lebih mendalam, kegagalan ini bukan hanya
disebabkan ideologi itu sendiri, melainkan juga karena realitas sosial yang ada di
negara-negara itu yang tidak mendukung. Solusi alternatif Islam yang ditawarkan,
bagaimanapun juga kurang mendapat respon luas mainstream umat Islam
mengingat kelompok ini tidak memiliki ide yang jelas mengenai bagaimana
sesungguhnya solusi yang ditawarkan itu dapat diterapkan untuk menggantikan
ideologi politik masyarakat modern ataupun model negara bangsa yang diterima
luas kebanyakan negar-negera berpenduduk mayoritas Muslim.75
B. Fundamentalisme Islam dan Miskonsepsi terhadap Doktrin Jihad
Jihad adalah salah satu doktrin Islam yang kontroversial dan paling sering
disalahartikan baik oleh non Muslim di Barat maupun oleh kaum Muslimin
sendiri, terutama kaum fundamentalisme. ”Bagi sebagian sarjana Barat, perang
agama (holy war) yang sering kali juga secara keliru dianggap padanan ”jihad”,
merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Karenanya, Islam dicap sebagai
agama brutal, yang menerapkan pola-pola militerisme serta menyatakan perang
bukan saja absah tetapi juga suci. Islam, dikarenakan oleh doktrin itu -juga
dianggap mendorong digunakannya kekerasan untuk menarik masuk
(proselytizing) non-Muslim ke dalam Islam. Dalam perkembangan terakhir, jihad
kembali dipersoalkan karena sifatnya yang potensial dapat menjadi justifikasi
75 Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, Afkar, h.119
teologis bagi aksi teror.76 Padanan seperti ini seolah-olah menemukan
pembenarannya dalam aksi-aksi teror bom yang seringkali dilakukan kaum
fundamentalis seperti kelompok Al-Qaedah.
Menurut Hasan al-Banna, jihad adalah sebagai perjuangan spritual, yaitu
perjuangan melawan hawa nafsu dan perang melawan musuh Islam. Sementara al-
Maududi melihat Jihad adalah perjuangan yang harus dilakukan oleh kaum
Muslimin untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai sebuah gerakan revolusioner
internasional. Jihad sebagai perjuangan politik dan bersenjata revolusioner
dilakukan tidak hanya untuk kepentingan sosial tertentu, juga tidak hanya
terhadap sasaran tertentu, tetapi terhadap semua penindas dan pengeksploitasi.77
Jihad menurut al-Maududi terbagi ke dalam dua kategori, defensif dan
korektif atau pembaharuan. Jihad pertama adalah perang yang dilakukan untuk
melindungi Islam dan para pemeluknya dari musuh-musuh luar atau kekuatan-
kekuatan perusak asing di dalam dar al-Islam, sedangkan jihad yang kedua dapat
dilakukan terhadap mereka yang berkuasa secara tiranik atas kaum Muslimin yang
hidup di negara mereka sendiri. Bagi Maududi yang sering diidentikkan sebagai
salah satu tokoh kaum fundamentalis, kedua bentuk jihad ini penting.
Menurut Khalid Yahya Blankinship Jihad adalah perjuangan untuk
menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi dengan cara-cara militer
terhadap non Muslim sampai mereka memeluk Islam atau membayar upeti
76 Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas, (Jakarta : Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003), Cet. I, h.4 77 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 138-139
(jizyah) atas jaminan keamanan yang diberikan.78 Konsepsi jihad menurut
Maududi dan Khalid Yahya lah yang sering dipergunakan kaum fundamentalis
dalam melaksanakan aksi-aksi mereka.
Pertanyaannya, benarkah jihad identik dengan peperangan? Jika merujuk
pada ayat-ayat Al-Qur’an, jawabannya adalah tidak. Al-Qur’an menggunakan dua
istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl.
Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti
peperangan. Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad)
artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila
menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya
sudah khusus yaitu peperangan. Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh Al-
Quran tadi berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun
semenjak periode Islam Mekkah yang dikenal pada periode itu tidak pernah
terjadi satupun peperangan. Jihad dalam periode Islam Mekkah adalah “jihad non-
perang”, dan sangat mustahil bila jihad pada periode itu dimaknai dengan
peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan di surat al-Furqan ayat
52, al-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan al-Ankabut ayat 69. Sementara ayat-
ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh
peperangan.79
Kedua, dibolehkannya peperangan lebih sering bersandar pada ayat-ayat
qital secara jelas (sharih), bukan dengan ayat jihad. Dalam surat al-Hajj ayat 39
78 Saiful Mujani, Jajat Burhanudin dkk, Benturan Peradaban Sikap dan Perilaku Islamis
Indonesia terhadap Amerika Serikat, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta & Freedom Institute, 2005) Cet. I, h.80
79 Bentara Kompas Sabtu 02 Desember 2006 dan dalam http://islamlib.com
disebutkan, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi (li al-
ladzîna “yuqâtalûna”). Demikian juga, dalam surat al-Baqarah ayat 190, dan
perangilah (qâtilû) orang-orang yang memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum),
dan ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan
muncul makna kontekstual “jihad” waktu itu; yaitu peperangan. Dari sinilah
sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat
qital.80
Adapun pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama,
Pada konteks diri pribadi – yaitu berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-
pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri,
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, komunitas –
yaitu berusaha agar din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak
dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan. Ketiga, kedaulatan
– yaitu berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun
pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat
di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan amar ma'ruf
nahi munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan din Islam
secara menyeluruh (Kaffah).81
Dengan demikian, jihad cenderung lebih bermakna defensif.82 Karenanya,
setiap kali penggunaan konsepsi jihad untuk tujuan-tujuan peperangan atau untuk
melegitimasi kekerasan atau terorisme, sesungguhnya bertentangan dengan makna
80 Bentara Kompas Sabtu 02 Desember 2006, dan dalam http://islamlib.com 81 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad 82 Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas, h. 14.
jihad itu sendiri. Karena itu pula, praktik-praktik jihad kekerasan yang sering
dipertontonkan kaum fundamentalis adalah tidak berdasar.
Menurut Bassam Tibi Jihad dilakukan untuk menyebarkan Islam sebagai
agama yang benar. Dalam doktrin klasik, penggunaan kekuatan untuk penyebaran
Islam bukanlah perang tetapi lebih merupakan Jihad. Menurut mereka
(fundametalis) jihad Islam yang benar adalah jihad dengan menggunakan
kekerasan untuk mencapai tujuannya.83
Karena itu adalah sulit untuk memberikan penjelasan kepada pembaca
Barat mengenai makna jihad Islam sebagai sebuah perdamaian yang diusung
untuk kemanusiaan. Bahkan sebaliknya Barat melihat Jihad sebagai perang.84
Menurut Bassam Tibi kaum fundamentalis terjadi miskonsepsi terhadap
doktrin jihad, keliru memaknai jihad dengan harus melakukan kekerasan dan
terorisme. Harusnya tegas Bassam Tibi Jihad dilakukan bukan untuk bunuh
membunuh tetapi bagaimana menuntut perjuangan Islam melawan kemiskinan,
kebodohan dan penyakit juga melawan keterbelakangan. Karena itu Mereka harus
menyebarkan Islam dengan cara damai bukan dengan cara kekerasan.85
C. Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah
Negara merupakan persekutuan hidup tertinggi, paling mulia dan paling
luhur, bila dibandingkan dengan tujuan persekutuan hidup lainnya.86 Plato dan
Aristoteles berpendapat bahwa salah satu tujuan didirikannya negara bukan untuk
83 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 104. 84 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 93. 85 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 103. 86 Dr. J.H. Rapar, Th.d, P.hd, Filsafat Politik Aristototeles, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993),
Cet. II, h. 39
negara itu sendiri melainkan untuk manusia yang menjadi warganya. Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa tujuan utama pembentukan negara adalah untuk
manusia.87 Untuk itu bagaimana mungkin gerakan fundamentalisme Islam
berupaya membangun Islam sebagai ideologi politik yang bisa diterima oleh
semua golongan dan tidak hanya untuk golongan tertentu, yaitu Islam atau
bahkan untuk kelompok Islam mereka sendiri?
Perbedaan mendasar antara fundamentalisme dengan sekularisme adalah:
kaum fundamentalisme menghendaki pelaksanaan syari’ah secara total, yaitu
penerapan syari’ah yang cenderung ditafsirkan secara rigid dan literalis.
Sebaliknya kaum sekular adalah memandang kemajemukan sebagai suatu hal
yang positif, dan optimal bahwa kemajemukan akan membawa kepada
kebaikan.88 Di tengah kemajemukan itu, kaum sekuler meyakini kaum Muslimin
adalah ummatan wasathan yang menjadi penengah di antara kecendrungan
ekstrimitas golongan-golongan lain.89
Salah satu karakter pokok ideologi fundamentalis adalah cara pandang
baru yang diwakili dengan istilah al-islam al-siyasi.90 Seruan kaum
fundamentalis di antaranya adalah bagaimana membangun dan memperbaharui
kehkhalifahan dan bagaimana menemukan konsep baru tentang Daula Islamiya
(negara Islam) yang dapat menjalankan nizam Islami (sistem pemerintahan Islam).
Sementara, cita-cita daulah Islammiyah sesungguhnya bukan sebuah Islamisasi
87 Rapar, Filsafat Politik Aristototeles, h.40 88 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islami Pembentukan dan Tujuan
Partai Fundamentalis, Ulumul Qur’anNo. 3, Vol.IV, 1993, h. 43. 89 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islam, h. 43. 90 Politik Islam adalah istilah yang digunakan dan dipilih oleh kaum reformis Muslim
untuk mengidentifikasi fundamentalisme agama.
demokrasi, bukan juga negara sempurna yang dibangun dalam filsafat politik
kaum nasionalis Islam abad pertengahan, terutama Abu Nasr al-Farabi.91 Model
negara yang diinginkan kaum fundamentalisme Islam pada dasarnya adalah
bentuk kekuasaan totalitarian.
Pandangan al-Awwa tentang negara Islam mewakili mainstream politik
Islam. Muatan yang paling konkret dari kontribusinya terhadap persoalan ini
adalah idenya bahwa legitimasi sistem ini berasal dari shari’a.92 Terlepas dari
bagaimana implementasinya, pernyataan ini menfokuskan seruan implementasi
shari’a Islam sebagai substansi pemerintahan Islam. Dalam kenyataannya, shari’a
adalah konstruksi pasca-Qur’anik, yang pada dasarnya bertujuan untuk mengatur,
semacam hukum sipil yang berkaitan dengan urusan warisan, perkawinan dan
semacamnya. Dalam sejarah Islam, shari’a tidak pernah menjadi konstitusi
kekhalifahan Islam tradisional, yang sebenarnya adalah “monarki yang absolut”.
Dewasa ini, kaum fundamentalis mereka-reka hadits tentang shari’a sebagai
konstitusi negara Islam. Inilah interpretasi din wa dawla yang berasal dari hadits
buatan kaum fundamentalis.93
Menurut Husain al-Najjar tidak ada suatu teks otentik dalam sumber
shari’a Islam klasik yang mendukung formula din wa daula:
“Kami tidak yakin bahwa Muhammad mendirikan sebuah kerajaan maupun negara, dia hanyalah seorang Rasul dan Nabi bagi semua manusia. Islam tidak mengharuskan umat manusia untuk tunduk pada misi
91 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 274 92 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 93 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285
ini, karena dalam Al-qur’an diungkapkan tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah:256).94
Ajaran politik Islam hanyalah terbatas pada pemberian bobot etika bagi
pemerintahan, dan bukan perintah teknis untuk mendirikan pemerintahan dalam
sebuah negara Islam. Dalam pandangan al-Najar, hanya Nabi dan dua khalifah,
Abu Bakar dan Umar (tidak termasuk Ustman dan Ali) yang memerintah dengan
spirit etika Islam. Dalam sejarah, hanya bay’a Muslim terhadap dua khalifah yang
dapat dibandingkan dengan para penguasa hasil pemilu modern.95
Menurut Bassam Tibi, jika ada klaim yang mengatakan bahwa shari’a
merupakan konstitusi negara yang suci, maka klaim semacam itu adalah khas
klaim kaum fundamentalis (seperti al-Awwa). Namun jika ada yang memandang
syariah sebagai etika, maka ia adalah seorang reformis liberal (seperti al-Najjer).
Para sarjana hukum Islam menyadari fakta bahwa tidak ada ketentuan hukum
yang homogen, terdefinisi dan terbatas yang kita katakan sebagai shari’a.96
Ide tentang negara Islam adalah konsep yang kabur atas dasar politisasi,
dan cenderung membangkitkan kembali kesewenang-wenangan dengan
menyeleksi komponen-komponen doktrin Islam tanpa menyadari bias modern ke
dalam sejarah dan pemikiran Islam klasik. Pendeknya, anggapan Islam sebagai
din wa dawla dan shari’a adalah konstitusi negara Islam, merupakan tradisi yang
94 Husain Fawzi al-Najjer, al-Islami wa al-siyasa: Bahth fi usul al-nazariyya al-siyasiyya
wa nizam al-hukm fi al Islam, h. 141 dan dapat dilihat juga Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285
95 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 288 96 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 290
dibuat-buat dan tidak ada rujukannya dalam sejarah Islam klasik maupun sumber-
sumber kitab suci yang otoritatif.97
Bassam Tibi tidak setuju dengan pendirian negara Islam, karena
menurutnya sekulerisasi untuk modernisasi merupakan satu-satunya alternatif bagi
pembangunan dunia ke depan dan kemajuan Islam di masa yang akan datang.
Sekularisasi menurutnya adalah manifestasi sampingan dari perubahan pada
sistem budaya, namun bukan proses akomodasi kultural yang aktual untuk
perubahan yang dibutuhkan pada masing-masing fase sejarah.98
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bassam Tibi di atas, Abdullahi
Ahmed An-Na’im seorang pakar HAM, Hukum Islam, dan Hukum Internasional
di Emory University USA mengatakan bahwa syariat Islam tidak bisa
dilaksanakan melalui hukum positif, tetapi harus tetap diberlakukan sebagai
sumber normatif keagamaan. Secara konseptual, lanjut An-Na’im, negara Islam
merupakan sesuatu yang tidak mungkin diterapkan. Sebagai institusi politik, suatu
negara tidak bisa dicirikan sebagai Islam atau tidak Islami, dan usaha untuk
melaksanakan syariat dalam hukum positif akan menanggalkan Islam dalam
hukum normatifnya. Negara, tegas An-Naim merupakan otoritas politik dan
kekuasaan, memberlakukan syariat melalui negara dalam situasi sekarang harus
melalui badan legislatif ataupun pemerintahan. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaanya akan sangat bergantung pada kemauan politik dan interpretasi
97 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 291 98 Bassam Tibi, Arab Nasionalism: A Critical Inquiry, (Trans. Marion Faraouk Stuglett &
Peter Sluglett), (New York: St. Martin Press, 1971), h. 4, ini juga dikutip oleh Jaenal Aripin, Pemikiran Pembaharuan: analisa Terhadap Gagasan Sekular Bassam Tibi, hasil penelitian Penelitian Lemlit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001, h. 6
orang-orang yang berada dalam kekuasaan baik di tingkat legislatif maupun
eksekutif.99
Dalam tradisi Islam tidak ada sistem hukum yang konsisten dan koheren,
apakah shari’a atau yang lain. Lebih lanjut Bassam Tibi mengatakan bahwa
shari’a lebih merupakan metodologi hukum dan sebagai etika, bukan sebagai
hukum itu sendiri.
Merujuk pada pandangan-pandangan di atas, kecenderungan kaum
fundamentalis untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat sebagai
konstitusi adalah sesuatu yang mengada-ada karena tidak punya dasar dan
legitimasi kuat, baik dalam Quran dan Hadis, maupun dalam sejarah Islam klasik.
D. Fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban
Sebagaimana ditekankan beberapa kali di atas, Bassam Tibi melihat
fundamentalisme merupakan sebuah gejala ideologi, dan bukan didasari pada
keyakinan keagamaan. Baginya, fundamentalisme muncul sebagai respon atas
problem-problem globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban.100 Peristiwa
serangan 11 September oleh fundamentalis Islam terhadap lambang dominasi
dunia Amerika di New York dan Washington telah secara masif menghidupkan
kembali debat mengenai fundamentalisme Islam dan tantangan benturan dua
peradaban besar di dunia yaitu Islam dan Barat. Peristiwa ini tampaknya sejalan
dengan apa yang diisyaratkan Samuel P. Huntington mengenai kemungkinan
benturan peradaban Barat dan Islam. Dalam kaitan ini Huntington memandang
99 Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Syariat Islam Tidak Bisa Dipaksakan Melalui Negara, Kompas, Senin, 6 Januari 2003
100 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 8.
Barat sebagai sebuah kebudayaan dominan dan hegemonik, sedangkan umat Islam
Islam sering merasa inferior dan terancam, bahkan mengalami penindasan.101
Karena itu, benturan antara keduanya sangat mungkin terjadi.102
Apa yang dimaksudkan Huntington adalah kaum fundamentalisme Islam.
Kelompok ini berpotensi menebar ancaman dan bersifat konfrontatif.
Fundamentalis sering menyajikan simbol-simbol agama demi mensukseskan
target politik mereka. Sehingga, perlu dibedakan antara agama sebagai sebuah
kepercayaan dan sistem budaya dengan agama sebagai alat untuk membangun
legitimasi politik dari sederetan gerakan fundamentalisme.103
Meskipun fundamentalisme Islam dituduh Huntington sebagai penebar
ancaman bagi Barat, namun fundamentalsime, dalam pandangan Bassam Tibi,
merupakan fenomena global, fenomena yang dapat ditemui di semua agama besar
dunia. Ketika perspektif politik dunia hanya dibatasi pada relasi Islam –Barat,
maka perspektif itu bagi sebagian orang yang berbicara tentang fundamentalisme
berarti melemparkan tuduhan.104
Jelas Bassam Tibi benturan peradaban yang terjadi tidak lepas dari
kontribusi Fundamentalisme sebagai sebuah ideologi politik. Perang peradaban
antara Islam dan Barat tidak berperang dalam ranah meliter, tetapi perang
kompetisi antara padangan dunia yang terlihat sebagai kerangka referensi yang
bermacam-macam mengenai urusan politik. Karena itu, Fundamentalisme adalah
istilah yang lebih tepat untuk menyebutkan pandangan dunia yang dipolitisasi dari
101 Lihat M. Dawam Rahardjo, di Kolom Pakar di Media Indonesia, 3 April 2006. 102 Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia,
(Yogyakarta: Qalam, 2002), Cet. III, h. 110. 103 Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah, h.20 104 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 22
peradaban-peradaban yang bersaing. Sementara Bassam Tibi menulak semua
usaha mempolitisasi agama yang dipergunakan sebagai alat dalam benturan
peradaban.105
105 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, 28-29
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah penulis paparkan, dapat disimpulkan
bahwa cara Bassam Tibi melihat fundamentalisme Islam sebagai gejala
ideologisasi agama adalah khas pendekatan Barat dalam melihat agama.
Pendekatan ini biasanya melihat agama tidak saja sebagai fenomena ketuhanan
yang normatif, tetapi juga gejala sosial-politik yang empirik. Pendekatan semacam
ini juga biasa diterapkan dan diterima luas di kalangan Islam modernis dan
liberalis di berbagai kawasan dunia Islam. Seperti disebutkan sebelumnya,
fundamentalisme Islam adalah gerakan sosial-politik keagamaan yang dibangun
atas dasar pemahaman al-Qur’an dan hadist yang rigid, kaku dan literalis tekstual
untuk diaplikasikan dalam tatanan sosial dan politik kontemporer.
Kalangan fundamentalis Islam memiliki utopia politik yang berorientasi ke
belakang-masa lalu. Mereka menentang model Negara bangsa yang demokratis,
dan cenderung memilih syari’ah sebagai konstitusi Negara. Negara Islam dalam
pemikiran mereka adalah inti dari tatanan politik Islam guna mewujudkan solusi
bagi sistem negara sekuler yang dianggap gagal. Pandangan ini dilatarbelakangi
pemikiran bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik kedaulatan dan karena itu ia
merupakan satu-satunya legislator. Bagi Bassam Tibi, pandangan semacam ini
adalah bid’ah, karena pandangan ini dalam praktiknya akan menghadirkan
kehendak penguasa sebagai kehendak Tuhan.
Menurut Bassam Tibi, pembangunan sistem sosial politik berdasarkan
syari’at sesuatu yang tidak mungkin terwujud di zaman modern. Ini disebabkan
minimnya dukungan dari umat Islam sendiri. Karena gerakan fundamentalisme
Islam tidak diterima luas dan bahkan ditentang oleh mayoritas kaum Muslim.
Penolakan fundamentalis Islam terhadap paham nasionalisme sekuler dan negara
bangsa (nation state) sebagai institusi politik, sesungguhnya disebabkan
penerapan sistem itu yang memuaskan mereka. Dengan demikian, bukan
sistemnya yang salah, tetapi penerapannya yang belum sempurna sehingga tidak
memuaskan kelompok ini.
Meski lahir di Arab, keterlibatan Bassam Tibi dengan kelompok
fundamentalisme Islam tidak terlalu dekat sehingga kajiannya berpotensi
menimbulkan bias dan tidak objektif. Apalagi, ia telah lama dibesarkan dalam
tradisi akademik dan budaya Barat yang sekuler. Demikian halnya, berbagai
kritikan yang disampaikan Bassam Tibi terhadap gerakan fundamentalisme Islam,
baik kritik terhadap visi ataupun aksi fundamentalisme itu sendiri, cenderung
menghakimi tanpa memberikan tawaran alternatif secara memadai, ataupun
solusi cerdas bagaimana seharusnya umat Islam menyalurkan aspirasi politiknya.
Selain itu, dalam berbagai tulisannya Bassam Tibi cenderung mengulang-
ulang wacana dan tema yang sama tentang gerakan fundementalisme Islam,
kaitannya dengan visi, ideologi dan aksi yang dibenturkan dengan peradaban
Barat yang berdiri di atas pilar demokrasi, nasionalisme sekular dan negara
bangsa. Di sini Tibi lebih banyak menghakimi fundamentalisme Islam dan
mengagungkan peradaban Barat. Menurut hemat penulis Tibi tidak memberikan
kritik yang setara dan seimbang terhadap dua ideologi dan peradaban yang
berseberangan ini.
Bassam Tibi sebagai pemikir yang demokratis harusnya memberikan
ruang bagi berdiri dan berkembangnya gerakan fundamentalis dalam sebuah
negara. Karena demokrasi menghargai perbedaan, karenanya keberadaan gerakan
tersebut sesuatu yang tidak bisa dielakkan.
b. Saran-saran
Penelitian terhadap khazanah pemikiran kontemporer bukanlah suatu
pekerjaan yang dapat dituntaskan dengan frekuensi pengkajian terbatas. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan pengkajian tersebut membutuhkan
berbagai disiplin ilmu dan membutuhkan ketelatenan serta kesabaran dalam
menelaahnya, karena proses pencarian naskah-naskah yang berkaitan dengan tema
tersebut belum banyak.
Hendaknya kajian terhadap pemikiran politik tentang fundamentalisme
perlu dikembangkan bagi para pemerhati politik Islam mengingat wacana
Fundamentalisme Islam akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan
pengetahuan dan perkembangan zaman, sehingga sintesa pemikiran akan terwujud
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Aripin, Jaenal. Pemikiran Pembaharuan : Analisa Terhadap Gagasan Sekuler
Bassam Tibi, Laporan Penelitian Lembaga Penelitian IAIN sekarang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001.
Armstrong , Karen. Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta:
Bandung: kerjasama Serambi dengan Mizan,2001), Cet II
Armstrong, Karen. Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2002), Cet. I
Aulia, Rihlah Nur. Fundamentalisme Islam: Studi Tentang Gerakan dan
Pemikiran Hizbut Tahrir, Thesis S2 IAIN Jakarta 2005.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam, dari fundamentalisme hingga Post-
Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet.I.
Bamualim, Chaider S. Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, September
2003), Cet. I
Barr, Jamesa. Fundamentalisme, terj. Stephan Suleman, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996), Cet. II.
Daftar pembicara Seminar Internasional “Islam and the West” yang diadakan oleh
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakartadi Hotel
Kontinental tanggal 11-13
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan
tahun ….) Jilid II.
Euben, Roxanne L. Musuh dalam Cermin Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalsme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002) Cet. I
Hanafi, Hasan. Aku bagian dari Fundamentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika,
2003), Cet. 1
Hofman, alerie J. Muslim Fundamentalists: Psyhosocial Profiles, dalam
Fundamentalism Comprehended, (ed. Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby), Chicago: the University of Chicago Press, 1995)
Manser, Martin H. The Oxford English Dictionary,(Oxpord University Press:
1988).
Marty, Martin E. dan Appleby, R. Acott. Fundamentalism Comprehended, (The
University of Chicago Press, 1995).
Maulani, ZA. Dkk. Islam dan Terorisme dari Minyak Hingga Higemoni Amerika,
(Yogyakarta: UCW Press, Oktober 2003) Cet. I
Misrawi, Zuhairi dan Zada, Khamami. Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSP
Oktober 2004), Cet. I.
Mujani, Saiful dan Burhanudin, Jajat. dkk, Benturan Peradaban Sikap dan
Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat, (Jakarta: PPIM
UIN Jakarta & Freedom Institute, 2005) Cet. I.
Najjer, Husain Fawzi al. al-Islami wa al-siyasa: Bahth fi usul al-nazariyya al-
siyasiyya wa nizam al-hukm fi al Islam.
Rapar, J.H. Th.d, P.hd, Filsafat Politik Aristototeles, (Jakarta: Rajawali Pers,
1993), Cet. II.
Roy, Oliver. Gagalnya Islam Politik (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996)
Cet. I.
Sp, Soetarman, Sairin, Weinata, Rakhmat, Loanes. Fundamentalsime Agama-
agama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1992) Cet. II.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. II.
Taher, Tarmidzi. Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam
buku Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998).
Tibi, Bassam. Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Baru, (Yogyakarta: November 2000), Cet. I.
Tibi, Bassam. Arab Nasionalism: A Critical Inquiry, (Trans. Marion Faraouk
Stuglett & Peter Sluglett), (New York: St. Martin Press, 1971).
Tibi, Bassam. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial ( Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogyakarta, 1999) Cet. I.
Tibi, Bassam. Islamic Civilisation the Quest for Democratic Pluralism: Good
Goverrnance and the Political Culture of Non–violance, dalam Karlina
Helmanita, Irfan Abubakar, Dina Afrianty (Ed) Dialogue in the World
Disorder, (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2004) Cet. I.
Tibi, Bassam. Post-Bipolar Order in Crisis: The Challenge of Politiced Islam,
Millennium Jurnal of International Studies, Millennium Publishing
Group London School of Economics. (2000 Vol. 29 No. 3).
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundametalisme Political Islam and the New
World Disorder, (university of California Press: 1998) Cet. I.
Jurnal
Bamualim, Chaider S. dan Makassary, Ridwan al, Nexus antara
Fundamentalisme Islam dan Terorisme, dalam Jurnal Millah, Vol. VI,
No.1, Agustus 2006.
Bandjar, Ismail Al. Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan
Afrika Utara, Jurnal Ilmu Politik, h. 12.
Fahmi, Ismail. International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jurnal
Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003.
Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, No. 3 Vol. IV, 1993.
Kasdi, Abdurrahman. Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi,
Kritik dan Wacana Politisasi Agama, Jurnal afkar edisi No. 13 tahun
2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The
Asia Foundantion.
Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, wawancara dengan
Bassam Tibi, Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002.
Mahendra, Yusril Ihza. Maududi dan Jama’at -I-Islami Pembentukan dan Tujuan
Partai Fundamentalis, Ulumul Qur’anNo. 3, Vol.IV, 1993.
Menggugat Fundamentalisme Islam, Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagaman
dan Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun 2002.
Misrawi, Zuhairi. Fundametalisme; Memenjarakan Perempuan, Jurnal
Perempuan No.31 2003.
Priastana, Jo. Fundamentalisme dalam Buddhis dan Penghancuran Sangha
Perempan, Jurnal Perempuan No.31 2003.
Koran An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Syariat Islam Tidak Bisa Dipaksakan Melalui
Negara, Kompas, Senin, 6 Jasnuari 2003.
Kompas, Minggu, 23 September 2001
Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, Kliping koran, (Jakarta: Pusat Bahasa dan
Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Jilid I
Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad 20 Maret 2007
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1179 dan Bentara Kompas
Sabtu 02 Desember 2006
http://www.bassamtibi.de, 3 April 2007
http://www.stgallen-symposium.org/cv_prof._dr._bassam_tibi.pdf
Makassary, Ridwan al. Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan
Sosial” dalam http://Interseksi.Org/Page4/Papers/Papers/.
Rahardjo, M. Dawam di Kolom Pakar di Media Indonesia, 3 April 2006
Romli, M. Guntur. Dari Fundamentalisme Menuju Sekularisme,
http://islamlib.com.