Full Paper Uas

3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya menciptakan stabilitas politik yang sempurna dalam sebuah negara, sepatutnya terjalin kerjasama yang baik pula antara aktor pemerintah dan non-pemerintah. Namun sayangnya, kekompakan yang diharapkan tercipta antar kedua pihak, dalam beberapa kesempatan justru menghasilkan buah pahit. Cukup banyak fenomena yang menggambarkan bagaimana kemudian terjadi perpecahan akibat perbedaan kepentingan aktor-aktor, yang akhirnya menyebabkan politik di negara terkait terjerat huru-hara besar. Demikian adanya yang terjadi di Fiji. Nihilnya kesamaan nilai yang dijunjung antara pihak pemerintah dan non-pemerintah, serta didukung oleh faktor- faktor internal lainnya, menyebabkan negara ini terjebak dalam krisis politik yang berkesinambungan. Terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006, terjadi setidaknya empat kali kudeta terhadap pemimpin negara yang telah dipilih secara demokratis – tiga diantaranya dilakukan oleh militer. Kudeta militer pertama terjadi pada 14 Mei 1987 yang ditengarai terjadi akibat sentimentil etnisitas oleh etnis Fiji akibat dominansi peran etnis pendatang, yakni Indo-Fiji. Namun kemudian, timbul kekecewaan militer atas kinerja Jendral Sir Penaia Ganilau yang ia angkat sebagai kepala pemerintahan pasca kudeta Mei 1987. Akhirnya, kudeta militer pun kembali dilancarkan pada 25 September 1987. Selang tiga belas tahun setelahnya, kudeta juga kembali terjadi pada Mei 2000 di bawah pimpinan George Speight yang merupakan seorang nasionalis Fiji

description

kml

Transcript of Full Paper Uas

Page 1: Full Paper Uas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam upaya menciptakan stabilitas politik yang sempurna dalam sebuah negara,

sepatutnya terjalin kerjasama yang baik pula antara aktor pemerintah dan non-pemerintah.

Namun sayangnya, kekompakan yang diharapkan tercipta antar kedua pihak, dalam beberapa

kesempatan justru menghasilkan buah pahit. Cukup banyak fenomena yang menggambarkan

bagaimana kemudian terjadi perpecahan akibat perbedaan kepentingan aktor-aktor, yang

akhirnya menyebabkan politik di negara terkait terjerat huru-hara besar. Demikian adanya

yang terjadi di Fiji. Nihilnya kesamaan nilai yang dijunjung antara pihak pemerintah dan non-

pemerintah, serta didukung oleh faktor-faktor internal lainnya, menyebabkan negara ini

terjebak dalam krisis politik yang berkesinambungan. Terhitung semenjak tahun 1987 hingga

2006, terjadi setidaknya empat kali kudeta terhadap pemimpin negara yang telah dipilih

secara demokratis – tiga diantaranya dilakukan oleh militer.

Kudeta militer pertama terjadi pada 14 Mei 1987 yang ditengarai terjadi akibat

sentimentil etnisitas oleh etnis Fiji akibat dominansi peran etnis pendatang, yakni Indo-Fiji.

Namun kemudian, timbul kekecewaan militer atas kinerja Jendral Sir Penaia Ganilau yang ia

angkat sebagai kepala pemerintahan pasca kudeta Mei 1987. Akhirnya, kudeta militer pun

kembali dilancarkan pada 25 September 1987. Selang tiga belas tahun setelahnya, kudeta

juga kembali terjadi pada Mei 2000 di bawah pimpinan George Speight yang merupakan

seorang nasionalis Fiji beretnis campuran.1 Hal ini diakibatkan oleh gelombang protes akibat

disparitas ekonomi antara etnis Fiji dan etnis pendatang. Alhasil, Perdana Menteri Mahendra

Chaudhry yang beretniskan Indo-Fiji yang telah dipilih melalui pemilihan demokratis harus

turun dari jabatannya.

Speight juga di saat bersamaan mengambil tindakan sewenang-wenang berupa

pemecatan terhadap perdana menteri dan presiden menjabat. Guna menstabilisasi politik

negara, militer di bawah pimpinan Frank Bainimarama kemudian turun tangan dengan

memenjarakan Speight serta melantik seorang bankir beretniskan Fiji asli bernama Laisenia

Qarase sebagai perdana menteri. Tetapi ternyata, kinerja Qarase tidak memenuhi ekspektasi

militer sehingga pada 5 Desember 2006 kudeta militer kembali terjadi yang melahirkan

Banimara sebagai penguasa pemerintahan tunggal di Fiji.

1 B. V. Lal, Islands of Turmoil: Elections and Politics in Fiji, ANU E Press, Canberra, 2006, p. 185

Page 2: Full Paper Uas

Untuk membahas lebih lanjut mengenai isu dinamika sipil-militer di Fiji, dalam

risalah ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai kilas umum militer Fiji dan kronologis

peristiwa kudeta terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006. Penulis juga akan memaparkan

bagaimana kemudian para militer bertindak dan mengambil keputusan pasca diturunkannya

pemimpin menjabat. Selanjutnya, penulis akan menganalisa menggunakan beberapa landasan

konseptual guna memahami lebih dalam bagaimana dinamika hubungan sipil-militer ini di

Fiji berjalan hingga kudeta militer yang terjadi menunjukkan sebuah pola keteraturan.

1.2 Rumusan Masalah

Pemaparan-pemaparan di atas mengantarkan penulis pada sebuah pertanyaan,

“Bagaimana relasi antara sipil-militer di Fiji hingga sering kali terjadi kudeta

militer?”

1.3 Landasan Konseptual

1.3.1 Profesionalisme Militer

1.3.2 Supremasi Sipil

1.4 Argumentasi Utama

Supremasi sipil memang menjadi jawaban utama dalam memahami dinamika relasi

antara sipil dan militer di Fiji. Ketidakmampuan sipil-militer Fiji dalam memenuhi kualifikasi

dua indikator utama dalam konsep supremasi sipil – yakni netralitas dalam politik dan kontrol

demokrasi terhadap militer – dinilai menjadi penyebab dasar mengapa kemudian militer

kerapkali melakukan kudeta manakala mereka merasa tidak dipuaskan dengan sistem yang

ada. Dengan demikian, profesionalisme dalam militer pun urung menunjukkan

kecenderungan ke arah negatif. Hal ini juga tidak lepas dari ketidakefektivitasan institusi

politik yang ada di Fiji.